Kopi Luwak dari Sahabat Lama

21 Jan

Semenjak saya mulai tinggal di Jepang 17 tahun yang lalu, boleh dikatakan hidupku jauh dari “suasana” Indonesia. Terutama di tahun-tahun awal. Memang sengaja juga dengan maksud untuk mengasah kemampuan bahasa Jepang dan mengurangi homesick. Aku biasakan makan tanpa sambal, karena banyak orang Indonesia yang membawa sambal kemana-mana dan menambahkannya di segala jenis masakan. Melebur dalam kebiasaan dan kebudayaan setempat adalah cara yang paling ampuh untuk mengurangi homesick. Itu menurutku. (Dan itu juga yang menyebabkan aku tidak pindah ke asrama internasional… keukeuh ngekost di rumah orang Jepang)

Tahun 1996, lulus program master, mulai bekerja di radio, membuatku harus menghubungi Indonesia atau orang Indonesia untuk mengetahui kejadian yang berlangsung di Indonesia. Di awal-awal ada Richard Susilo, ex reporter Media Indonesia (beliau juga yang menawarkan aku bekerja di InterFM 76.1 Mhz) , yang memasokku dengan berita Indonesia. Lama-lama aku mulai belajar internet dan mencari sendiri langsung dari sumbernya.

Baru 2-3 tahun terakhir aku menghubungi teman-teman ex SD, SMP dan SMA lewat beberapa “pentolan”, tapi memang kuakui bahwa FaceBook yang mewabah itu mempermudah pencarian teman-teman lama. Dulu yang mudah terkumpul adalah teman dari jenjang SMA dan Universitas, karena masih “baru”, tapi sekarang bahkan aku sudah menemukan banyak teman SD (dan TK karena kebetulan dekat hihihi).

Nah, jadi waktu temanku waktu SD dan SMP bernama Vivian menghubungiku lewat FB akan ke Tokyo, senangnya aku. Tapi …. ada waktu untuk ketemu ngga ya? Jadi aku pakai taktik seperti waktu aku ketemuan dengan Mas Nug dan Mbak Cindy, yaitu menemui di hotelnya pada hari kedatangan sekitar jam 12-an, supaya bisa cepat pulang juga dan berada di rumah waktu Riku pulang sekolah.

Vivian menghubungiku di FB dan bertanya mau dibawakan apa. Langsung aku bilang, “Aku akan senang sekali kalau kamu bawakan aku kopi luwak atau sekoteng” hihihi. Ya aku kan ngga bisa minta dibawain cabe keriting. Soalnya dia itu bekerja dengan designer Stephanus Hamy, yang akan mengadakan fashion show di Tokyo. Masak bawa cabe keriting di sela-sela baju keren-kerennya hihihi.

Salah satu karya Stephanus Hamy

Jadilah kemarin aku pergi ke Ritz Carlton Midtown Tokyo, tempat mereka menginap dan malam tgl 20 mengadakan fashion show… Ini juga pertama kali aku pergi ke hotel itu yang terletak di Roppongi, daerah elit tempat gaijin, foreigner berlalu-lalang, dan so pasti muahalllll.

Begitu Vivian mengabarkan lewat email bahwa dia sudah naik bus dari Narita, itu juga pertanda aku harus berangkat dari rumah. Perjalanannya kira-kira sama deh. Karena aku masih harus naik bus, kereta dan bus lagi.  Tepat pukul 12:15 aku sampai di lantai lobby hotel Ritz Carlton, yaitu lantai 45 (duh lobby aja kok tinggi banget sih hihihi). Ternyata mereka sudah cek in, dan aku dihubungkan dengan in house phone. Disuruh langsung ke kamar boss Hamy deh.

Well untung aku ngga kampungan banget, jadi masih bisa behave liat kamar segede itu. Ya jelas aja tarif semalam di situ kan juga ngga main-main. Yang aku suka kamar mandinya. Aku pasti harus melihat kamar mandi hotel-hotel berbintang begitu dan memotretnya…. Soalnya kamar mandi yang keren sulit deh dimiliki di Jepang dan di Indonesia!

Duh ini cerita kok jadi ngalor ngidul gini ya… hihihi. Yang pasti karena waktuku tidak banyak, aku cuma sempat ajak Vivi jalan-jalan ke bawah, tadinya mau ngopi, tapi kita lebih sibuk berfoto-foto ria. Hmmm blogger ngga blogger kayaknya semua suka berfoto deh. Dan yang menyenangkan “The Hotelman” menawarkan memotret kami di depan pintu masuk khusus hotel yang elegan itu. Sayangnya aku tidak ada keberanian untuk meminta dia memotret kami di depan mobil khusus mereka, BENTLEY! (Sorry ya Vi… hihihi) (Masalahnya aku juga ribet ngomong sama The Hotelman nya pakai bahasa Inggris… kalau pakai bahasa Jepang lebih mudah kali ya hihihih)

Alhasil kita ngider-ngider di Galeria sampai Ritz, sampai sekitar jam 1:30 lalu aku antar kembali Vivi ke kamarnya Boss. Itu juga pakai acara “nyasar” akibat lingkungan hotel yang begitu besar, dan liftnya berbeda dari lantai satu ke lobby, dan lobby ke guests roomnya.

Memang cuma 2 jam kami, aku dan Vivi bertemu, setelah kurang lebih 30 tahun tak bertemu, tapi itu hanya merupakan awal saja a.k.a pembuka, karena saya yakin masih akan banyak pertemuan reuni yang lain, baik di Tokyo maupun di Jakarta. Karena sesungguhnya aku sudah kenal dengan desainer Stephanus Hamy ini 5-6 tahun yang lalu waktu mengadakan fashion show di kediaman Dubes Indonesia untuk Jepang.  Siapa nyana, temanku bekerja untuk Mas Hamy ini….. what a small world!

pola wallpaper di kamar Ritz, kelihatan seperti keramik

Jam 2:00 aku berlari pulang, terpaksa naik taxi menuju stasiun Shibuya, supaya bisa sampai di rumah jam 3. Karena menurut jadwal Riku pulang jam 3 siang. Ehhh ternyata sekitar jam 2:20 pas aku naik kereta di Shibuya, ada telepon dari kepolisian … nomor belakangnya 110 lagi, wah ini pos polisi dekat rumahku. Pasti dari Riku lagi. Entah kenapa rupanya dia pulang cepat, lalu karena tidak ada aku di rumah, dia ke pos polisi untuk pinjam telepon. Aku bujuk dia untuk pulang ke rumah dan menonton TV, karena aku akan butuh waktu 30 menit lagi. Dan begitu aku turun kereta di Kichijoji, yang semestinya aku naik bus, aku ambil taxi, dengan maksud supaya aku bisa bicara dengan Riku terus di telepon, seandainya dia takut. Duh sempat sport jantung juga, tapi untuk waktu aku telepon, dia sudah enjoy menonton TV di rumah dan berpesan, “Mama cepet pulang, dan bawakan hadiah”… Aku jawab, “Kalau mama bawa hadiah, pulangnya lebih lama lagi… jadi ngga usah ya..”

kopi luwak dan sekoteng dari sahabat lama

Dan aku menuliskan kejadian kemarin sambil menghirup kopi luwak yang terkenal itu. Yang lucunya banyak orang Indonesia tidak tahu, apa itu kopi luwak. Padahal kopi luwak adalah kopi yang termahal di dunia, you know!  Kabarnya di Amerika 1 kgnya seharga $660, dan di Jepang 100 gramnya seharga 8000 yen (800.000 rupiah!) . Sementara pecinta kopi di luar negeri menahan air liur untuk bisa merasakan kopi luwak, sahabatku si Ria, terang-terangan OGAH minum kopi luwak hihihi. Ngga tega katanya. Memang sih kopi luwak itu melalui proses yang tidak biasa. Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) akan memakan biji kopi pilihan, dan melalui asam lambung luwak, biji kopi diproses dan dikeluarkan dalam bentuk biji utuh. Nah memang melihat biji utuh yang baru keluar dari Luwak  ini agak gimana gitu, tapi biji ini kan dicuci, dan dikeringkan dan digiling lagi. Aku sih seandainya disuruh kumpulin sendiri juga mau, bahkan jika disuruh minum kopi disamping si Luwak ok juga hahaha. Dasar Imelda pemakan (peminum) segala…

(gambar dari wikipedia. Aku menuliskan proses kopi luwak, karena kemarin seorang chatter bertanya padaku apa yang menyebabkan dinamakan kopi luwak. Katanya dia tidak belajar tentang Kopi Luwak di SD…. karena aku ingat sekali aku belajar tentang kopi Luwak di SD. Hmmm murid SD sekarang belajar apa ya?)

Kopdar atau Jumpa Fans?

20 Jan

Sebetulnya apa artinya kopdar sih? Kopi Darat, atau bahasa Inggrisnya Off Air. Suatu ajang pertemuan dengan sesama teman dalam suatu komunitas. Bisa jadi sesama pendengar acara Radio, atau TV, atau yang pasti sekarang adalah sesama pembaca blog. Tapi seringnya kopdar itu antar blogger, jarang kudengar pertemuan antara penulis dan pembaca bloggernya. Nah, aku tidak tahu deh apakah yang terakhir ini termasuk dengan Jumpa Fans hehehe.

Ekawati Sudjono, muncul di depan pintu apartemenku

Apapun namanya, yang pasti mulai tanggal 15 sampai 17 malam, aku kedatangan tamu di kandang kelinciku (usagi goya, sebutanku untuk apartemenku yang kecil). Kebetulan Gen tidak ada di rumah karena menginap di universitasnya yang dipakai untuk ujian sipenmaru Jepang. “Tante Eka” demikian Riku dan Kai memanggilnya, akhirnya sampai juga di pintu apartemenku jumat lalu, setelah mengikuti panduan naik kereta, bus dan jalan kaki. Ekawati Sudjono  merupakan orang kedua yang datang langsung ke rumah setelah Ekaperwitasari alias Wita yang pernah kutulis di “Ratu Kopdar?”.  (Heran deh di sekelilingku sekarang byk banget yang namanya Eka… helloooo EKA PNS hahhaha, apa kabar penatarannya)

Rumahku memang tidak begitu sulit dicapai, tapi harus ganti kereta beberapa kali dan naik bus. Biasanya orang asing takut untuk naik bus sendiri di Tokyo, karena memang tiap daerah cara membayarnya agak lain. (Silakan baca juga tulisan Hilda tentang naik bus di Jepang). Kalau dalam Tokyo biasanya 200-210 yen tarif tetap untuk berbagai jarak, dan membayar waktu naik.

bertiga dengan kue yang dibawa khusus dari Tsukuba

Berhubung aku bingung mau masak apa, jadi untuk hari jumat mulai jam 3 an, kita makan onabe, rebus-rebusan ayam, ikan, kerang dan sayuran. Malam juga masih sama. Aku malessss banget masak jumat itu.Tapi karena Eka bawa kue buatan temannya, jadi malam itu kita ada desert yang enak.

Kesempatan juga ada Eka, jadi aku minta dia untuk memotret aku dengan baju yang kuterima dari ketiga sahabat blogger. Biar bagaimanapun, difoto orang lain hasilnya akan lebih bagus daripada foto sendiri. hihihi…

Dan untuk menebus rasa bersalahku dalam penyambutan Eka hari sebelumnya, sabtunya aku masak deh. Ayam Bakar Padang plus balado terong. Asyik banget makan berdua pake tangan, serasa di Salero Bagindo deh. Sayang kurang pedas, karena aku masukkan cabenya terakhir, setelah ambil ayam tanpa cabe untuk anak-anak. Dan aku kaget ternyata Kai makan banyaaaak sekali, nasi dan ayam “gule”.

Kalau begini kan bisa makan pakai tangan, ngga usah pakai sumpit... sayang kurang pedas

Tadinya kami mau jalan-jalan sekitar rumah, tapi karena aku sakit kepala, jadi malas deh…. santai-santai aja di rumah, sampai hari berganti tanggal.  Tadinya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada Eka persis pergantian ke tanggal 17, tapi ternyata aku ketiduran bersama anak-anak dan baru bangun sekitar jam 5:30 pagi.

Aku tidak bisa siapkan kado apa-apa untuk Eka, karena aku sama sekali tidak tahu apa kesukaan dia. Terus terang aku juga baru kenal Eka. Gara-gara dia minta add di FB, tapi dengan pesan begini:  “Hi kk imelda… boleh kenal kah? eka salah satu peserta teacher training-nya monbukagakusho 2009 yg lagi belajar di university of tsukuba =) eka tahu blog kk imelda dari orang tua murid lho karena anaknya juga lagi belajar di ibaraki…eka tinggal di jakarta dan dulu anak sma 70 heheeh ga jauh dari tempat tinggal k imelda =p sebelum berangkat bulan oktober kemaren, sering bgt buka blog k imel =) di confirm yaaaaa.” Siapa yang tidak akan confirm kalau dapat “opening” semanis ini bukan? (heheheh makanya kalau mau add saya di FB, musti kasih alasan hihihi). Tapi setelah jadi friend di FB, baru tahun ternyata Ms Eka ini guru bahasa Inggris keponakanku… what a small world.

Tapi you know, lahir di bulan januari beda 3 hari, sedikit banyak tahu deh sifat-sifat yang dimiliki, yang memiliki persamaan. Jadilah waktu yang dilewatkan bersama kita bercerita tentang ciri-ciri “seorang capricorn sejati” hihihi.

Ini loh yang namanya tumpeng anak-anak..... 😀

Kebetulan rasa ingin masakku hari minggu itu timbul, sehingga waktu dengan berderai air mata Eka cerita bahwa kalau ulang tahun biasanya ibunya membuatkan nasi kuning, aku bilang padanya, “kenapa ngga bilang-bilang? ” Dan dengan lembutnya dia berkata, “Aku ngga mau repotin orang lain kak”…. hihihihi khas nya capricorn.

Happy Birthday sweet seventeen untuk Eka

Jadi deh hari Minggu aku nguprek isi dapur, kira-kira apa saja yang bisa dipersiapkan untuk nasi kuning. Tentu saja bumbu instant… dan jangan sangka bumbu instant tidak bisa enak loh. Yang penting kata Eka, “Masak dari hati”… itu yang menentukan makanan itu enak atau tidak. Eh tapi baru kali ini juga aku lahap makan nasi kuning buatanku (aku biasanya tidak suka makan masakan sendiri) …. kayaknya sih karena ada sambal….

Kai mau bantu.. kalau Riku sih sudah biasa... heboh deh

Demikian pula dengan kue tart Black Forrestnya. Bener-bener darurat karena aku lupa menyiapkan stock bubuk coklat. Jadilah bungkusan cocoa untuk minuman yang dipakai. Biasanya dalam sachet cocoa untuk minuman sudah ada susu/krimnya, jadi warna kuenya tidak bisa coklat tua deh. Tapi sekali lagi yang penting kan rasanya ya Eka….

Yang ulang tahun dengan yang buat kue

Dan sebetulnya selain hasil karya masakanku berhasil diicipi oleh Eka, ada juga hasil kerja tanganku yang lain, yang sayang sekali tidak bisa dipameri di sini. Ya, kata Eka sih sudah sekelas Jonny Andrean hihihi. (Siapa korban berikutnya ya? hihihi)

Well, liburan sudah berakhir, sayang sekali aku tidak bisa mengajak Eka jalan-jalan di Tokyo karena mobil dibawa Gen. Tapi selalu ada lain kali ya Ka…. Ayo, siapa lagi orang Indonesia yang berani datang sampai di depan rumah saya sendiri? Saya tunggu loh 😉 Untuk Eka yang baru tinggal di Jepang 3  bulan (sejak Oktober 2009) ini, selamat melanjutkan pelajarannya, semoga betah dan bisa diterima ke program master…. terima kasih juga untuk kedatangannya bisa membawa suasana Indonesia di rumah, dan menemani saya bersama dua krucil yang suka bertengkar 🙂

Kai yang selalu ngotot mau memotret

Sttt, aku lagi ngeracunin Ekawati Sudjono ini untuk jadi blogger. Di sini nih alamat URLnya dia… http://asakiri.wordpress.com/

Terima kasihku

14 Jan

Tepat hari ini, Minggu Legi pukul delapan pagi, 42 tahun yang lalu, seorang bayi perempuan yang amat rapuh lahir di RS Carolus. Kata ibunya, besar kepalanya seperti mangga golek, badannya keriput seperti anak monyet, dan…. detak jantungnya tak terdengar. Amat lemah. Ketika kutanya berapa beratnya? Tak sampai 2000 gram, karena dia lahir prematur.

Semenjak mengandung bayi ini, ibunya berhenti bekerja sebagai sekretaris di perusahaan minyak. Mempersiapkan diri untuk menyambut kelahiran bayi pertamanya. Dan setelah itu dia tidak pernah lagi kembali bekerja, mempersembahkan hidupnya untuk si kecil, baretje donderkop (si kepala bulat) dan adik-adiknya yang lahir sesudah itu.

imelda usia 6 bulan di Bantaeng

Hari ini aku ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan yang telah memberikan aku nafas dan kehidupan sampai saat ini. Dia telah memberikan aku Mama dan Papa terbaik sedunia, yang membesarkan aku sampai saat ini, dan merelakan putri sulungnya tinggal di belahan dunia lain. Itu suatu “hadiah” terbesar yang diberikan mereka padaku. Terima kasih Mama, Papa, kalian tahu kan bahwa aku selalu rindu untuk bertemu, tapi meskipun aku tidak di depan mata kalian, hatiku selalu bersama kalian…. selamanya. (Dan aku tahu tadi pagi di telepon ada isak tangismu Ma… dan aku pun terisak dalam bis, dalam kereta setiap mengingatnya. Ma, jangan nangis ya…. nanti aku usahakan mudik agustus kok!)

Terima kasih Tuhan telah memberikan seorang suami Gen Miyashita, yang juga berulang tahun di hari ini (kami beda persis dua tahun). Memang Tuhan telah mengatur semuanya, mungkin bahkan sebelum aku lahir di dunia ini.  Terima kasih suamiku, dan semoga kita bisa terus menyambut hari lahir bersama…. selamanya.

Terima kasih Tuhan atas anugerah dua permata hati, Paulus Riku Miyashita dan Kai Miyashita. Kedua permata yang selalu mencerahkan hari-hari kami berdua, dengan gelak tawa, perkelahian bahkan penyakit. Karena semua itu aku yakin ada artinya bagi kehidupan kami. Terima kasih telah melindungi Riku dari penyakit yang menakutkan (hepatitis atau limpa) , dan dia boleh bersekolah lagi hari ini. Hadiah dari Riku berupa pelukan dan cerita karangan dia untuk mama papa, serta coklat untukku.

Terima kasih atas anugerah, mertua dan orang tua, Achan dan Tachan yang selalu membantu kami. Dan melindungi kami dalam perjalanan pernikahan kami.

Terima kasih atas  anugerah teman-teman, sahabat yang begitu baik. Sahabat yang memberikan suprises untukku, sejak masuk tahun yang baru ini. Baik berupa barang ataupun kata-kata-dukungan dan sapaan. Mereka adalah sahabat-sahabat  khusus yang engkau berikan untuk menemaniku menjalani kehidupan ini.

ucapan dari ketiga sahabatku

Terima kasih untuk tiga sahabat blogger yang dengan sengaja mengirimkan baju khusus untukku yang kuterima persis kemarin. Mereka selalu menemaniku setiap hari di internet,  dan meskipun sibuk, kami tetap bersapa menanyakan kabar masing-masing. Yessy, Ria dan Eka…. Terima kasih banyak. Juga untuk kartu dilengkapi foto kalian bertiga. Semoga persahabatan kita tetap langgeng dan harmonis. Terima kasih juga untuk Ria yang telah menuliskan khusus untukku di blognya.

Baju berwarna maroon hadiah dari Yessy, Ria dan Eka. Love you ladies...

Terima kasih untuk Bro Neo dan Nana, yang mengirimkan buku yang memang sudah dijanjikan sejak lama. Anak Bajang Mengiring Angin, yang kuterima tanggal 5 Januari lalu. Dikirimkan langsung ke rumahku di sini. Aku begitu terharu menerimanya. Terima kasih banyak. Kita baru bertemu agustus lalu, tapi serasa sudah lama bersahabat ya. Maaf aku terlambat menuliskannya di TE, karena aku menganggap itu adalah hadiah ulang tahunku dari Bro dan Nana…. Khusus ingin kutuliskan di sini.

sebuah buku "jawa" yang sudah sampai ke "japan"

Terima kasih untuk sahabatku yang bernama Daniel Mahendra, novelis yang baru saja mengadakan soft launching novel pertama Epitaph. Memang Danny mengirimkan paket berisi novel dan teman-temannya itu ke rumah di Jakarta, dan dibawakan oleh Tina ke Tokyo awal tahun lalu. Hadiah karya sendiri…. itu saja merupakan hadiah yang berharga, apalagi dia menuliskan pesan dan tanda tangan di dalamnya dengan TINTA EMAS, sesuai permintaanku di blognya. Bolehkan aku anggap itu kado ulang tahun juga Danny? (pesan sponsor: pemesanan Epitaph bisa melalui email epitaph@penganyamkata.net)

Buku karangan Daniel Mahendra, Epitaph (trilogi bagian pertama)

Terima kasih juga untuk Yoga, yang juga menitipkan sebuah buku karangan Dee, Perahu Kertas lengkap dengan tanda tangan dari Dee. Selain buku, dia membawakan juga tengteng mente 2 box, yang aku habiskan sendiri dalam 10 hari hihihi. Aku juga anggap buku ini hadiah ulang tahun dari Yoga. Terima kasih untuk buku, snack dan lagu “You make my world so colourful”nya Daniel Sahuleka.

Untuk semua teman, sahabat, saudara yang sudah menyampaikan selamat di FB, sms dan blog. Terima kasih banyak-banyak… Masing-masing teman mempunyai peran dalam hidupku, really appreciate.

Aku ingin menutup tulisanku hari ini dengan sebuah lagu “ I Can’t Smile without You” dari Barry Manilow. Sebuah lagu yang selalu mengingatkanku pada seorang sahabat khusus yang memintaku untuk tetap tersenyum, apapun yang terjadi, dimanapun aku berada (terima kasih atas kehadiranmu). Memang benar, aku tak bisa tersenyum tanpa kehadiran kalian semua, sahabat-sahabatku. Terima kasih untuk senyum kalian juga yang telah mewarnai hidupku.

You know I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel sad when you’re sad
I feel glad when you’re glad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile without you

You came along just like a song
And brightened my day
Who would have believed that you were part of a dream
Now it all seems light years away

And now you know I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel sad when you’re sad
I feel glad when you’re glad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile

Now some people say happiness takes so very long to find
Well, I’m finding it hard leaving your love behind me

And you see I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel glad when you’re glad
I feel sad when you’re sad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile without you

Museum Pangeran Kecil

12 Jan

Pernahkah Anda begitu gembira melihat pemandangan terhampar di depan Anda, dan membuat Anda ingin kembali menjadi anak-anak? Well, kemarin Gen mengatakan begitu. Dia ingin menjadi anak-anak kembali. Tapi aku justru kebalikan, begitu aku melihat pemandangan itu, aku ingin menjadi wanita dewasa, a lady yang duduk di Terrace Cafe menikmati cappucino sambil mendengar chanson yang mengalun. Pandangan aku dan Gen memang berbeda mengenai apa yang kami lihat, padahal kami menikmati pemandangan yang sama. Mungkin karena setting dan waktu kami bertemu dengan tokoh hari ini yang berlainan.

“Le Petit Prince” yang diterjemahkan menjadi “Pangeran Kecil” dalam bahasa Indonesia (terbitan Gramedia), adalah sebuah buku karangan Antoine de Saint-Exupery. Dalam bahasa Jepang menjadi Hoshi no Oujisama 星の王子様. Buku dalam bahasa Jepang memang sudah lama kutemukan dalam rak buku kami. Yang pasti sudah 10 tahun berada di apartemen kami, selama usia pernikahan Gen dan aku. Dari covernya seperti ehon atau picture book, tapi terlalu banyak kata-kata, sehingga terus terang, tidak menarik aku untuk membacanya.

Aku tak mengira bahwa buku ini sudah diterjemahkan dalam 108 bahasa!

Aku bertemu dengan buku ini kedua kalinya, waktu Yoga meminjamkannya  waktu aku mudik bulan Februari tahun lalu. Dia sangat merekomendasikan buku ini, dan memperbolehkan aku memilikinya.

Buku “Le Petit Prince” menurut wikipedia Jepang, telah terjual 80 juta exemplar di seluruh dunia, dan di Jepang saja terjual 6 juta exemplar. Buku ini telah diterjemahkan dalam 180 lebih bahasa dunia. Menceritakan tentang pertemuan sang tokoh, seorang pilot yang sedang membetulkan pesawat dengan seorang pangeran kecil dari planet kecil.

Seperti yang telah dikatakan  Saint-Exupery dalam halaman persembahannya, dia menulis buku itu untuk seorang dewasa bukan kepada anak-anak (padahal ini adalah buku cerita anak-anak). Karena katanya, orang dewasa yang bernama Leon Werth, adalah sahabat terbaiknya di dunia, yang memahami segalanya bahkan buku anak-anak… dan dia tinggal di Perancis dengan kelaparan dan kedinginan, sehingga membutuhkan banyak hiburan. Well aku juga merasa tulisannya ini sulit. Pertama membaca tulisannya, terus terang aku tidak mengerti. Tidak mengerti jalan ceritanya. Meskipun aku menangkap beberapa filosofis pemikiran yang ada.(Karena tulisan ini tentang museumnya, maka aku tidak menulis isi buku secara detil)

Dengan berbekal cerita yang telah kubaca sampai halaman 90, dan tidak bisa kumengerti seluruhnya itu, aku memasuki “Le Petit Prince Museum”, yang terletak di Hakone, masih masuk perfektur Kanagawa, kemarin sore (11 Januari 2009). Museum ini didirikan tahun 1999, untuk memperingati 100 th hari lahir Saint- Exupery. Dan perlu kuwanti-wanti bagi yang mau ke museum ini. Bacalah dulu ceritanya, meskipun tidak mengerti. Akan lain sekali pandangan orang yang sudah pernah membaca dan hanya sekedar tahu judul saja. Dan aku beruntung sudah membacanya.

Setelah kami membayar 300 yen untuk parkir, kami langsung turun dan berpotret di depan kolam dengan patung Prince di atas planetnya. Ya, aku mengerti bahwa Prince tinggal di planet kecil dengan bunga mawarnya. Lucunya waktu itu ada seorang ibu yang sedang memotret suaminya dan bayinya. Lalu aku menawarkan untuk memotret mereka bertiga. Sebagai balasannya, kami berempat dipotret mereka. Jarang sekali kami mempunyai foto berempat.

Berfoto di depan kolam Prince dengan Planetnya

Hakone terletak di gunung, sehingga lebih dingin dari Tokyo. Dan kami bisa melihat air di dalam kolam membeku menjadi es. Yang juga membuat aku senang adalah Kai. Dia tanpa malu dan takut, jalan sana sini menyusuri tempat-tempat yang luas, yang masih berada dalam jarak pandang kami. Biasanya di Tokyo semua serba sempit, tapi di sini luas dan tidak berbahaya (pengunjungnya juga sedikit).

Kami membeli karcis, yang cukup mahal menurut kami. Untuk dewasa 1500 yen dan anak-anak 700 yen (Kai tidak membayar). Di sebelah kiri tempat penjualan tiket, kami disambut dengan taman mawar dalam lorong, yang akan membawa kami ke sebuah perkampungan di Perancis sana.

Mulai di sini kami senang sekali. Betapa sebuah pemandangan bisa membuat hati damai dan tentram. Dari pagar terlihat pohon Natal besar di tengah taman. Ada beberapa point di taman yang memberikan kesan perancis yang kental. Diselang-seling dengan patung Pangeran juga hints dari latar belakang si pengarang, Saint-Exupery. Deretan rumah bagaikan di provence itu membuatku ingin berwisata ke Perancis lagi.

Menaiki setapak berbatu menuju halaman tengah, kami ditemani alunan chanson, lagu berbahasa Perancis. Wahhh, aku jadi ingin belajar bahasa Perancis nih!(Sambil ingat ada CD learn French yang pernah kubeli dan belum dibuka).  Padahal sebelum ini aku malas berhubungan dengan segala yang Perancis. Whew, aku memang suka Eropa yang bersejarah itu.

Ada sebuah gereja di sebelah kanan taman, yang tidak kuingat muncul di mana dalam buku. Gen juga tidak ingat, sehingga kami berpendapat ini hanyalah tambahan supaya lebih berkesan alami. Patung Sang Raja, Geografer, Sang Pengusaha dan lain-lain, karakter yang keluar di dalam buku.

Setelah puas bermain di taman tengah itu, kami masuk ke gedung yang bernama “Theater du Petit Prince”. Begitu masuk kami disambut dengan model pesawat terbang berwarna merah. Kabarnya ini adalah pesawat yang biasa dikemudikan Saint-Exupery, yang di kenyataan juga pilot itu.

Kemudian kami masuk ke dalam sebuah ruangan dengan interior putih bagaikan Gurun Sahara. Kami disuguhkan film yang menceritakan tentang buku dan juga latar belakang si penulis, Saint-Exupery. Cukup dengan menonton film ini, aku merasa “terbuka”, yang tidak kumengerti di dalam buku, aku bisa melihat dengan lebih jelas. Wahhh buku itu memang BUKAN untuk anak-anak, itu filosofi hidup yang bagus untuk orang dewasa. (Believe it or not, sebelum menulis ini aku sempat mengulang membaca 108 halaman buku itu, dan gembira aku bisa mengerti apa yang tersirat dan tersurat).

(kiri – gambar “menakutkan”, dan kanan: “Gambarkan aku biri-biri”, yang aku rasa lucu kenapa pakai biri-biri ya? bukan domba terjemahannya hihihi)

Setelah menonton film tentang buku dan pengarangnya, kami mengikuti petunjuk dan menuju ke museum sesungguhnya. Di dalam museum, kami tidak boleh memotret. Sayang sekali, karena banyak yang bisa dipakai sebagai penjelasan terutama mengenai perjalanan sang Pengarang yang mati muda itu. Kami bisa melihat bagaimana kantor dan tempat tinggalnya di gurun Sahara, di Buenos Aires, waktu perang dunia, waktu Hitler berkuasa, bagaimana kehidupannya di Perancis, buku-buku yang telah dikarangnya, pameran gambar-gambar yang telah dilukisnya, dan terakhir showcase buku Le Petit Prince yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dan aku merasa sedih, tidak ada terjemahan bahasa Indonesia. (Tapi yah sulit juga kalau mau memamerkan 108 bahasa yang ada).

Keluar dari museum, kami kembali mengelilingi kompleks, dan melihat detil-detil tempat yang berada dalam buku. Dan kami keluar sampai ke taman dengan pohon Natal yang sebelumnya kami lihat melalui pagar. Di sebelah kanannya terdapat restoran Perancis, yang konon masakannya terkenal enak. Sayang sekali kami sudah kenyang karena sudah makan siang di tempat lain. (Untung juga sih karena biasanya makanan perancis itu mahal dan tidak mengenyangkan hihihi). Persis di sebelah restoran terdapat toko souvenir untuk oleh-oleh. Dan seperti biasa, memang pengunjung “digiring” untuk melewati toko souvenir, dan “digoda” membeli barang-barang dengan karakter Prince. Tapi…muahal, sehingga akhirnya Gen menyerah tidak membeli apa-apa. Kalau aku? Beli dong, yang termurah, yang masih kurasa berguna.

Keluar dari Toko Souvenir sudah gelap di luar. Taman depan diterangi oleh illuminasion, lampu-lampu yang menghias taman. Well, kami amat sangat terhibur dengan perjalanan hari ini. Apalagi Gen, sampai dia berkata, “Seandainya jalanan sampai Tokyo macet berkilo-kilo pun tidak apa. Aku merasa puas sekali hari ini”. Dan sambil tersenyum kami pulang ke apartemen kami yang hangat…. dalam waktu kurang dari 3 jam.(tidak macet dan ditambah makan malam di tengah perjalanan)

Tulisan ini seharusnya adalah bagian ke tiga dari perjalanan kami kemarin. Ada lagi dua tempat yang kami kunjungi sebelum ini, tapi aku sendiri sudah tidak sabar untuk menuliskan tentang Pangeran Kecil pembawa magic ini untuk sahabatku Yoga yang sudah memperkenalkanku padanya, juga untuk Koelit Ketjil yang sedang memvisualisasikan cerita Pangeran Kecil bersama anak-anak korban gempa. Supaya adil, aku juga menuliskan ini untuk Kika Syafii, yang aktif dalam program healing anak-anak korban gempa. Kami mau semua anak-anak korban gempa…. BERGEMBIRAAAAAA….

On ne voit bien qu’avec le cœur, l’essentiel est invisible pour les yeux. (Seseorang hanya dapat melihat dengan sebaik-baiknya melalui hatinya, karena yang terpenting dalam kehidupan tidak terlihat oleh mata.)


Mix Business with Pleasure

10 Jan

Biasanya berlaku “Don’t mix bussiness with pleasure” tapi Jumat lalu, aku melanggarnya. Lebih tepatnya aku terpaksa melanggarnya.

Riku masih bengkak lehernya karena Mumps (gondong) , dan selama masih bengkak berarti masih bisa menular pada anak lain, sehingga tidak boleh ke sekolah. Sekolah di sini ketat sekali untuk hal-hal seperti ini. Padahal Jumat tanggal 8 lalu, Riku harusnya masuk sekolah sesudah libur musim dingin (26 Des-7 Jan). Karena tidak bisa ke sekolah, dan tentu saja saya tidak bisa menitipkan ke keluarga lain (ya takut lah kalau nularin anak-anak mereka kan), jadi terpaksa aku mengajak Riku ke kampus.

Kalau dulu dia sudah ke kampus Universitas Waseda (lihat: Jika Anak Libur…), kali ini dia terpaksa aku ajak ke kampus Universitas Senshu. Dari sebelumnya aku sudah wanti-wanti bahwa kampus ini jauh, jadi dia harus bisa menahan diri, jangan ngomel-ngomel. Sempat sih terpikir untuk menyetir mobil sendiri, minta Gen untuk naik bus, dan aku yang pakai mobil. Tapi…. aku sendiri yang tidak berani, karena malam sebelumnya aku kurang tidur. Sibuk menilai test mahasiswa.

Jadilah aku, Riku dan Kai keluar rumah pukul sembilan pagi. Sampai di penitipan, pas tepat mereka bersiap untuk jalan-jalan ke Taman. Kai paling senang jalan-jalan ke taman bersama teman-temannya, sehingga jarang dia menolak untuk pergi ke penitipan. Setelah menyerahkan Kai pada gurunya, aku dan Riku menuju ke stasiun. Tapi Riku berkata bahwa dia lapar… Saking sibuknya mempersiapkan macam-macam, aku tidak bisa menyiapkan sarapan paginya. Jadilah kami mampir ke Mac D dan pesan Happy set (hadiahnya Naruto soalnya, jadi aku juga ambil happy set deh, supaya dapat 2 mainan). Well, aku memang perlu datang ke universitas untuk tanda tangan saja, jadi bisa agak santai.

Riku di universitas Senshu, Ikuta

Setelah ganti kereta 2 kali dan naik bus khusus dosen dan karyawan, akhirnya kami sampai di kampus pukul 11:45. Riku senyum-senyum sendiri, ketika aku bilang bahwa mahasiswa tidak ada yang boleh naik bus ini loh. “Wah aku lebih hebat dari mahasiswa ya Ma?” hihihi…iya karena kamu sama mama jadi tidak apa.

Aku meninggalkan Riku di pelataran gedung 120th, dan menuju ke ruang dosen, untuk menyelesaikan absen. Setelah selesai, aku kembali ke tempat Riku dan mengajak dia pergi ke planetarium yang berada di sebelah kampus universitas.
“Mama sudah selesai kerjanya?”
“Sudah”
“Kok cepat? Bisa dapat uang kalau cepat begitu?”
“Hehehe ya bisa. Begini Riku, di dunia ada dua jenis pekerjaan, yang satu memakai tenaga, biasanya kerjanya lama dan dapat uang sedikit. Tapi yang satunya lagi memakai otak, biasanya kerjanya cepat, dan dapat uang banyak. Tinggal Riku mau yang mana. Kalau mau yang memakai otak, berarti Riku harus belajar yang rajin, menjadi pintar, dan bekerjalah dengan otak. Kalau Riku malas-malasan, tidak mau sekolah, ya siap-siap saja bekerja dengan tenaga, tetapi dapat uang sedikit.”
Dia diam saja, masih belum mengerti.

Karena aku sendiri tidak tahu tepat letak planetarium itu, aku bertanya pada petugas satpam universitas. Untung saja dari tempat universitas kami, jalannya menurun. Tidak begitu jauh, hanya jalan 15 menit, tapi jika sebaliknya harus menanjak, pasti menggeh-menggeh deh.

Planetarium ini terletak dalam satu wilayah yang bernama Ikuta Ryokuchi, Wilayah Hijau Ikuta. Di sini terdapat beberapa bangunan rumah tradisional Jepang, Nihon Minka-en 日本民家園. Yang masing-masing harga masuknya 500 yen. Wahhh lumayan juga jika mau masuk ke sekitar 10 rumah di situ (meskipun untuk anak SD gratis).

Tapi Riku tidak mau mampir-mampir. Tujuannya hanya satu, yaitu Planetarium. OK, karena Riku juga sudah mau menemani aku, jadi sekarang gantian Mamanya temani Riku. Tapi…. begitu kami sampai di planetarium harus menggigit jari. Apa pasal?

Planetariumnya kecillll... hihihi

Kami sampai di tempat itu pukul 12:30. Dan tiket untuk menonton planetarium baru dijual pukul 2:00, baru bisa masuk ke dalamnya jam 2:40, dan pertunjukan mulai jam 3. Waduuuhhh… aku tidak tahu informasi ini. Di website tidak ada informasi ini. Tadinya aku tidak mau mengecewakan Riku, dan kami sempat  menunggu setengah jam. Tadinya memang karena kena matahari terasa hangat, tapi semakin siang, matahari mulai ngumpet di balik awan, mulai terasa dingin. Jadi aku tanya apakah Riku benar-benar mau menunggu selama itu? (Perut mulai lapar juga)

Akhirnya Riku bilang, “Pulang aja yuuk ma”… horeeee itu yang kutunggu hihihi. Jadi kami menuruni planetarium menuju jalan besar. Nah, masalahnya aku tidak tahu berada di mana, dan bagaimana caranya untuk ke stasiun terdekat. Untung di dekat jalan besar itu ada perbaikan jalan,  dan ada seorang ibu yang bekerja mengatur jalan. Kami bertanya pada ibu itu, dan disarankan jalan kaki ke stasiun. Katanya sih tidak begitu jauh, sekitar 10 menit. Hmmm. Tidak ada bus, tidak ada taxi.

Ada lokomotif di depan planetarium, jadi berfoto deh ngabisin waktu

Baru aku selesai bicara dengan si ibu itu, tiba-tiba aku lihat taxi turun dari tanjakan. Langsung deh aku angkat tangan memanggil taxi itu. Si ibu langsung bilang, “Lucky!!”.

Sampai di stasiun, makan spaghetti dan pizza dulu baru pulang. Well, kami akhirnya tidak jadi nonton planetarium memang. Tapi setelah sampai di rumah, Riku mengakui bahwa dia juga capek. “Aku ngerti kenapa mama hari Jumat selalu capek. Jauh sekali ya?” ….

Jumat itu aku telah mix kerja dan pleasure. Pleasure menghabiskan satu hari bersama Riku.

Eco-kitchen

9 Jan

Sekarang jamannya Eco, bukan Ekonya mas Eko yang wong jawa, tapi eco yang merupakan singkatan ecology. Seperti yang sudah kutulis di postingan yang ini, kami mendapat potongan pajak yang cukup besar 75% karena membeli eco-mobil, mobil (baru) yang dianggap tidak atau kurang mengotori lingkungan. Sebetulnya agak rugi juga waktu itu, coba seandainya mobil lama sudah dipakai lebih dari 12tahun, maka kami malah akan mendapat “bonus” tambahan potongan yang banyak, karena berarti mengurangi jumlah mobil lama berseliweran di jalan-jalan yang sudah jelas akan mengotori lingkungan.

Di Jepang sekarang juga sedang giat-giatnya mengumpulkan eco-point dari perumahan. Jika membangun rumah dengan memakai solar panel (berarti mempunyai pembangkit listrik sendiri) atau jendela rangkap dua (mengurangi pemakaian heater dan AC), maka akan mendapat eco-point yang bisa dipakai sebagai potongan harga.

Lalu kenapa aku menulis judul Eco Kitchen? Sebetulnya masih rancu pengertian eco kicthen itu sendiri, apakah merefer pada dapur yang “ramah lingkungan” seperti pemakaian gas bukan minyak tanah, atau bahkan pemakaian listrik bukan gas, yang katanya lebih irit energi. Dengan alat pencuci piring, yang katanya juga lebih irit air, dengan alat pembuat kompos sendiri dll. Yang pasti aku belum tahu seberapa iritnya barang-barang ini, mungkin lebih irit dapur alam di desa-desa terpencil sana, daripada dapur di kota-kota besar. Tapi yang lebih mau aku tonjolkan dengan pemakaian eco-kitchen ini adalah HEMAT MAKANAN/Bahan Makanan.

Bapakku, P.L. Coutrier, boleh dikatakan seorang pemerhati lingkungan, meskipun dia lebih berkutat di masalah pertambangan dan minyak. Sering dia memberikan seminar-seminar baik di tingkat nasional maupun tingkat yang lebih kecil, kumpulan-kumpulan kekerabatan. Pada suatu kesempatan, setelah memberikan seminar, tibalah acara makan siang (atau malam…saya lupa). Dan sambil mengambil makanan, bapakku berkata, “Dengan kita mengambil makanan secukupnya saja, kita sudah ikut andil dalam menjaga lingkungan a.k.a environment.”

“Loh, kok bisa begitu pak?”
“Ya, dengan tidak menyisakan makanan, Anda mengurangi sampah. Dan dengan makan yang cukup dan tidak berlebihan memasak, Anda menjaga kebutuhan makan sekian banyak orang.  Jika petani tidak berlebihan memproduksi beras, maka kesuburan tanah bisa dipertahankan dst, dst. Selain hemat tentunya, banyak aspek yang sebetulnya jika dikaitkan bermuara ke perlindungan lingkungan. ”

Kemudian ibu-ibu yang hadir di situ berkata, “Aduh bapak Coutrier sih bicara begitu, lihat semua jadi mengurangi nasi dan makanan yang diambil….”
dan bapakku berkata, “Saya tidak mengatakan tidak boleh makan banyak. Ambil secukupnya. Kalau kurang, boleh tambah, tapi juga jangan sampai menimbulkan sampah dengan membuang makanan.”

Sampah makanan…. Aku tidak tahu bagaimana pendidikan di keluarga masing-masing, tapi dulu oleh mama, kami tidak boleh meninggalkan nasi sebutirpun di piring. Itu kupegang sampai datang ke Jepang, sampai menikah… tapi begitu punya anak, sulit rasanya untuk tidak membuang makanan sisa anak-anak (makanya badan melar gini kan… hihihi alasan). Tapi seberapapun sedikitnya aku sudah mengambil makanan untuk anak-anak, pasti ada sisanya. Dan aku biasanya makan sisa-sisa mereka….. Tapi ada batasnya, karena aku juga harus menjaga jarum timbangan badan supaya tidak naik terus kan….

Sulit sekali untuk tidak buang makanan di Jepang. Menurut data yang ada, setiap tahunnya Jepang membuang 22.000.ooo ton, wuih 22 juta ton itu setengahnya berasal dari dapur rumah tangga biasa. Padahal jumlah 22 juta ton itu sama dengan jumlah program bantuan pangan dunia selama 2 tahun! Jadi makanan yang dibuang orang Jepang satu tahun bisa dimakan selama 2 tahun  melalui program bantuan pangan sedunia! Dan sesungguh sepertiga dari bahan makanan di Jepang berasal dari impor…. bayangkan betapa mubazirnya… SEKEH-SEKEH kata mas trainer di blognya.

Memang di Jepang, kadaluwarsa atau batas konsumsi lewat satu detik saja, langsung masuk tempat sampah. (Mungkin Anda bingung soal kok batas konsumsi bisa per detik. Di konbini di Jepang jika menjual sandwich, onigiri atau bento, pasti tercantum kadaluwarsa sampai tanggal berapa, jam berapa lengkap dengan menitnya. Jadi kalau lewat, tidak boleh dijual lagi. Karenanya satu atau dua jam sebelum jam habis terkadang di beri tanda potongan harga, supaya terbeli… daripada dibuang kan?) .

OK kalau masalah kadaluwarsa begitu, masing-masing punya pandangannya sendiri, padahal sebetulnya kita musti jeli membaca kadaluwarsa di Jepang itu biasanya best before, lebih enak jika dimakan sebelum tanggal itu, bukan berarti makanan itu sesudah tanggal tercantum akan rusak. Aku sendiri tidak terlalu peduli soal kadaluwarsa, karena bisa ketahuan kok sebetulnya makanan itu masih baik atau tidak. Tentu saja faktor suhu, cara penyimpanan, musim juga sangat berpengaruh.

Nah yang paling tidak “etis” rasanya, makanan yang dibuang itu akibat kesalahan pencantuman. Misalnya onigiri berisi ikan tuna dari suatu negara, tapi ditulis kokusan (produk Jepang). Nah berarti terjadi kesalahan pencantuman atau labeling kan? Itu semua masuk tempat sampah! Pabrik tidak mau susah-susah ganti label, atau suruh pegawai membenarkan dengan spidol kek apa kek. Semua masuk tong sampah! Duuuh… Aku pernah baca di suatu display dalam kereta, bahwa setiap detik ada sekian ratus onigiri terbuang di tempat sampah, padahal di seluruh dunia masih banyak orang yang kelaparan. Menurut data, 1 menit di seluruh dunia 17 orang meninggal karena kelaparan, dan 12 di antaranya adalah anak-anak.

Aku tahu, aku juga akhirnya di sini sering buang makanan, karena berbagai alasan. Setiap kali aku membuang nasi sisa makanan anak-anak dalam plastik, aku berucap, “Maafkan saya…”. Dan kalian tahu kenapa aku menulis tentang ini…. karena kemarin aku terpaksa harus membuang nasi sekitar 1 piring karena telah kering, dan tidak bisa dimakan lagi. Tapi kemudian aku terpikir, aku kumpulkan saja deh, cuci dan jemur supaya benar-benar kering, lalu digoreng jadi rengginang. Sambil berkata dalam hati, “Makanya masak yang pas-pasan aja, atau kalau sisa langsung masuk cling warp ditaruh freezer!”. Akhir-akhir ini sering lupa sih masukin freezer, ngga sadar bahwa musim dingin cepat sekali membuat nasi menjadi kering. Sekarang aku sedang sibuk mencari kira-kira nasi kering sisa itu bisa diolah jadi apa lagi ya?

Sambil berharap Jepang lebih hati-hati soal makanan dan bahan makanan, aku berusaha juga jangan membuang makanan jika tidak perlu sekali. Mari ibu-ibu, kita juga mulai menggalakkan eko-kitchen yuuuuk.

Sebuah foto yang sudah lama ada dalam folderku, ngga tahan melihatnya. Tapi harus! Mengingatkanku bahwa banyak orang yang tidak bisa makan hari ini.

Data-data mengenai Jepang diambil dari homepage Morino Kumahachi, seorang chef yang juga penyanyi. Beliau menuliskan “Memikirkan Lingkungan dari Dapur”.

Otayori – Mumps dan 10 tahun

6 Jan

Otayori お便り berarti kabar/ berita, atau pemberitahuan atau surat/kartu pos atau media lain yang memberitahukan perkembangan seseorang atau sesuatu.

Kemarin tanggal 5 Januari, hari pertama kerja di keluarga kami. Gen baru mulai masuk kerja tanggal 5. Tumben sekali, karena biasanya tanggal 4, dunia Jepang sudah banyak yang mulai bekerja setelah libur resmi tahun baru tanggal 1-2-3. Senang juga sih karena berarti tanggal 4 masih bisa pergi jalan-jalan (yang akhirnya dihabiskan waktunya oleh Gen dan Riku berdua ke dokter mata dan potong rambut). Gen ceritanya ingin tampil rapi di hari pertama tanggal 5, karena di kantornya ada sekedar upacara untuk karyawan, dan dia menerima penghargaan sudah bekerja 10 tahun (yang lain tentu saja ada yang sudah 20 tahun bekerja)

Jadi pagi-pagi Gen sudah berangkat kerja, dan berpesan padaku untuk mengantar Riku ke dokter karena dia pilek dan batuk. Lebih baik minta obat. Tapi setelah aku dan Riku mengantar Kai ke penitipan dan mau ke dokter, aku baru melihat bahwa ternyata lehernya bengkak. Wah jelas-jelas ini gondong atau Mumps (otafukukaze おたふく風邪). Jadi begitu sampai di RS, aku suruh Riku tunggu di tempat terpisah, dan aku mendaftar serta memberitahukan perawat bagian anak bahwa Riku kemungkinan gondong. Langsung dia dibawa ke kamar terpisah dengan satu tempat tidur anak-anak dan rak buku.

Tanpa demam, tanpa leher meradang, hanya bengkak saja sehingga dokter menyatakan “mungkin” gondong. Memang Riku waktu kecil sudah mendapat vaksin. Padahal vaksin otafuku BUKAN merupakan vaksin wajib di Jepang. Untuk itu kami harus membayar 8000 yen. Kalau wajib semua gratis. Nah, yang menjadi masalah, Kai belum menerima vaksin otafuku ini … moga-moga dia tidak tertular. Dan ternyata untuk gondong tidak ada obat khususnya. Hanya diberi 3 dosis ampul yang harus diminum jika merasa sakit atau demam tinggi. Thats all.

Tapi penyakit ini berasal dari virus yang biasanya menyerang anak sekolah. Kemungkinan Riku mendapatnya di sekolah persis sebelum libur tanggal 25 Desember lalu. Dan karena penyakit menular, biasanya tidak boleh pergi ke sekolah. Untuk itu harus mengurus “Berhenti sekolah sementara” (supaya tidka dihitung bolos) dan waktu akan masuk harus menyerahkan sertifikat “Sudah sembuh” dari pihak rumah sakit, baru boleh masuk sekolah kembali. Tapi untung saja sekarang Riku sedang libur, dan baru masuk lagi tanggal 8 hari Jumat nanti. Menurut perkiraanku sih Riku baru bisa masuk sekolah minggu depan.

Waktu aku chatting dengan Ria, dia tanya apakah aku memberikan “blau” di leher Riku? Wahhh mana ada blau di Jepang. Lagipula menurutku blau itu fungsinya hanya membuat adem leher saja kan? Obat tradisional terkadang memang bagus, tapi kadang ada obat yang lebih ampuh daripada “ramuan” turun temurun. Daripada aku susah-susah cari ramuan yang belum tentu ada, lebih baik ke RS hehehe. Yang penting sikonnya saja lah!

Makanan Tahun Baru

3 Jan

Dulu toko-toko tutup sampai tanggal 3 Januari, karena tanggal 1-2-3 Januari adalah hari libur resmi. Dan di tiga hari pertama tahun baru itu biasanya ibu rumah tangga bisa “beristirahat” dari tugas memasak, dengan sebelumnya mempersiapkan makanan khas tahun baru dalam jumlah banyak yang disebut osechi ryouri.

Untuk menjawab pertanyaan henny dalam komentar di posting Hari Pertama dan Belanja Pertama, maka saya perbesar foto osechi ryori keluarga kami tahun ini. Yang pasti harus ada dalam osechi ryori adalah:

1. Datemaki, bentuknya seperti rool tart (bolu gulung), karena memang dia terbuat dari banyak telur dengan rasa asin manis karena memakai garam dan gula, tapi berbeda dengan telur dadar biasa, datemaki memakai parutan daging ikan/udang, lalu dipanggang di cetakan persegi, kemudian digulung. Biasanya orang Jepang juga tidak membuat sendiri, karena sulit untuk mendapatkan warna dan bentuk yang bagus.

2. Kamaboko atau saya terjemahkan menjadi bakso ikan. Biasanya terdiri dari warna merah (pink) dan putih.  Juga terbuat dari pasta ikan yang dikukus, tapi tanpa telur. Biasanya adonan ikan tersebut ditaruh di atas sebuah papan kecil lalu dibentuk setengah lingkaran. Tapi ada pula yang dibentuk bundar dengan teknik khusus yang menimbulkan huruf atau gambar jika dipotong. Pada gambar yang pertama sebetulnya jika dipotong akan menampilkan gambar mickey mouse (sayang saya lupa mengambil fotonya).

3. Kuromame atau kacang hitam. Direbus dan diberi banyak gula sehingga manis, selain menimbulkan efek warna mengkilap.

4. Kurikinton, rebusan chestnut dengan pasta ubi yang manis.

5. Nimono atau rebusan yang biasanya terdiri dari renkon (akar teratai), wortel, konnyaku (lidah setan), ubi taro (sato imo) yang bulat, jamur shiitake dan ayam. Direbus memakai dashi (kaldu ikan). Membuat rebusan yang “pas” tidak lembek tidak keras, memerlukan latihan dan kemahiran sang juru masak. 3 tahun yang lalu saya pernah memasak rebusan ini, tapi kali ini saya membeli jadi.

6. kembang tahu isi sayuran (optional)

7. Buah plum kecil dan chorogi (semacam acar dari china yang berbentuk seperti kepompong). Paduan warna hijau dan merah, membuat makanan osechi terlihat menarik.

8. kacang kedelai rebus dan telur ikan nisin (kalau di makassar ada tuing-tuing atau telur ikan terbang…mirip)

9. Ada banyak tambahan bahan lain seperti daging atau lobster, tergantung selera keluarga ybs. Tentu saja semakin banyak memakai ikan/udang/daging maka osechi ryori siap saji akan menjadi mahal. Biasanya orang-orang memesan masakan osechi yang sudah jadi, tinggal bawa pulang, tapi kali ini saya membeli bahan yang sudah jadi dan menghiasnya sendiri dalam kotak susun tiga. Kacang dan ikan menjadi bahan utama dari osechi ryori. Bentuk makanan yang bundar atau panjang, semua mengandung arti, yaitu keharmonisan dan panjang umur.

Jika ditanya apakah osechi itu lauk atau bukan…. hmmm yang pasti osechi tidak cocok dimakan dengan nasi putih. Biasanya dimakan begitu saja. Karena banyak mengandung protein dan gizi, secara jumlah mungkin kurang, tapi sebetulnya cukup untuk mengganjal perut selama 3 hari.Mungkin karena manisnya ya.

Jika nasi putih maka berarti sang ibu harus menanak nasi, dan itu menyebabkan dia harus bekerja. Satu-satunya bahan makanan di tahun baru yang mengenyangkan adalah 0-mochi. Tapi karena keluarga Miyashita tidak begitu suka mochi, sering terlupa untuk saya tuliskan. Padahal di banyak keluarga o-mochi merupakan keharusan.

gambar dari pixta.jp
kagamimochi. Gambar diambil dari pixta.jp

Kagami -mochi merupakan hiasan mochi berbentuk bundar yang ditumpuk, dan biasanya di atasnya ditaruh mikan (jeruk). Biasanya kagami mochi ini ditaruh di depan altar Shinto, kamidana. Ini tidak dimakan sampai tanggal 4 Januari. Setelah tanggal 4 ada kegiatan yang diberi nama mochi biraki, dengan membelah kagami mochi yang ada, dan memakannya.

Mochi potong atau kirimochi. Gambar diambil dari wikipedia japan

Untuk dimakan setiap rumah membeli mochi potongan yang dibungkus plastik satu per satu. Laaah, kalau begitu ibu kerja lagi dong? Hmmm setiap orang bisa membakar mochi sendiri, bahkan kadang jika masih memakai heater dari minyak, kita bisa membakar mochi di atasnya. Atau membakar langsung di atas api kompor atau memakai toaster roti yang berpintu. Kalau mau lebih praktis lagi, masukkan dalam microwave dalam piring berisi sedikit air, dan panaskan selama 2 menit. Memang kurang afdol dengan microwave karena tidak ada “bagian gosong” nya. Cara memakannya bisa begitu saja, bisa dilapis dengan nori (ganggang laut) dan diberi kecap asin. Mochi ini bahan utamanya adalah beras, sehingga makan mochi = makan nasi.

mochi potong yang dibakar. Dimakan dengan nori (ganggang laut) dan shoyu (kecap asin). cocok sebagai pengganti nasi.

Selain dibakar, mochi juga biasanya dimasukkan dalam sup khusus tahun baru yang bernama Ozouni. Setiap daerah mempunyai resep yang berlainan untuk sup ozouni ini.

Ozouni ala Miyashita. Di bagian bawahnya terdapat mochi. Hati-hati jika makan mochi karena mudah menyangkut di leher. Banyak orang tua yang meninggal karena saluran pernafasan tersumbat mochi.

Mochi merupakan salah satu usaha mengawetkan nasi yang paling “canggih” menurut saya. Di musim dingin makan mochi merupakan kesenangan tersendiri. Selain mochi sebetulnya ada satu lagi cara mengawetkan nasi yang disebut dengan kiritanpo きりたんぽ.  Nasi yang telah ditumbuk ditempelkan pada batang bambu sehingga menyerupai susis. Kemudian dibakar di atas arang. Tetapi yang dijual di toko-toko sudah kering, berbentuk hampir seperti chikuwa tapi dengan lubang dibagian batang bambunya. Kiritanpo ini biasanya kemudian dimasukkan ke dalam nabe (panci dengan rebusan macam-macam) atau sukiyaki.

Kiritanpo, cara lain mengawetkan nasi. Banyak didapat di daerah utara Jepang yang suhu mencapai minus di musim dingin. Gambar diambil dari rakuten.co.jp

Karena biasanya selain makan osechi juga banyak yang minum sake, yang sebetulnya terbuat dari beras sehingga cukup mengenyangkan (selain memabokkan). Tapi biasanya sih, tidak ada orang yang tahan makan osechi selama tiga hari berturut-turut. Pernah seorang murid saya mengatakan, “Sensei, pada hari kedua atau ketiga, saya terpaksa lari ke konbini (waserba) dan membeli roti untuk membuat toast. Toast itu benar-benar menyelamatkan saya dari kebosanan pada osechi”. Well saya juga ingat, saya pernah masak Kare di hari kedua, karena bosan dengan rasa yang itu-itu saja. Manis dan asin.

 

Bisa baca juga tulisan serupa : http://imelda.coutrier.com/2011/01/10/semua-ada-artinya/

Hari Pertama dan Belanja Pertama

2 Jan

Hari terakhir tahun lalu, tanggal 31 Desember, dalam bahasa Jepang disebut dengan Oomisoka 大晦日, seperti biasanya dimeriahkan dengan acara Kouhaku Uta Gassen 紅白歌合戦, sebuah acara kebanggaan NHK yang sudah berlangsung 60 tahun. Kouhaku berarti Merah Putih, sedangkan Uta Gassen berarti pertandingan lagu. Kelompok Merah adalah kelompok penyanyi wanita, sedangkan kelompok Putih adalah kelompok penyanyi pria. Dan hasil pilihan pemirsa, tahun ini pemenangnya adalah kelompok Putih.

Riku, Kai dan sepupu Nobu

Yang menarik dari tahun ini adalah kehadiran penyanyi yang membuat seluruh dunia terkejut yaitu Susan Boyle. Dia menyanyikan lagu yang menjadikannya idola, sampai kami yang mungkin sudah terlalu sering melhat videonya di youtube bertanya-tanya, “Dia bisa ngga sih nyanyi yang lain ” hihihi. Setelah acara Kouhaku ini dia langsung pulang “kapan-kapan saya mau datang lagi” katanya. Jelas saja….  karena dia juga membawa pulang 5.000.000 yen sebagai honor.

Susan Boyle sebagai tamu acara NHK Kouhaku Uta Gassen

Terus terang aku agak kaget melihat foto-foto dari Mas Nug tentang pesta kembang api di Jakarta. Dan berpikir kenapa di Jepang tidak ada pertunjukan kembang api ya? Padahal waktu aku melewatkan tahun baru di Jerman, di kote kecilpun ada kembang api. Udara dingin semestinya tidak menjadi alasan. Baru aku tersadar setelah diingatkan Gen, bahwa pada pergantian tahun akan terdengar lonceng/gong kuil Buddha sebanyak 108 kali yang disebut Joya no kane 除夜の鐘. Dan jika ada kembang api pasti suara gong itu akan tertutup oleh ributnya kembang api di luar. Pergantian tahun justru dilewatkan dengan tenang, sambil mengingat dosa-dosa manusia (108 dentangan gong melambangkan 108 jenis dosa manusia). (Aku sebenarnya jadi penasaran 108 dosa itu apa saja sih? Setelah susah payah baca kanji sejumlah 108 dan belum semua terbaca karena kanji kuno, nomor satu adalah “Rakus” dan nomor dua “Marah” dst dst)

Otoso, sake obat khusus tahun baru untuk mendoakan keluarga sehat sepanjang tahun

Tanggal 1 Januari,  setelah melakukan tradisi otoso 御屠蘇, sejenis sake untuk obat, mengharapkan kesehatan satu keluarga, kami makan ozooni  お雑煮 sup khusus untuk tahun baru, dan osechi ryouri おせち料理 sederhana yang aku persiapkan.

Seperti yang pernah saya tulis di postingan tahun lalu, kami melaksanakan “Hatsumode, Sembahyang Pertama” di Takada Hachimangu dekat rumah mertua di yokohama. Merupakan kebiasaan orang Jepang untuk mudik ke rumah asalnya, jikka 実家. Sembahyang pertama selalu dilakukan di kuil Shinto.  (sebagai informasi: untuk hal duniawi orang Jepang memohon di kuil Shinto, untuk hal spiritual, terutama pemakaman orang Jepang berdoa ke Kuil Buddha). Karenanya kebanyakan orang Jepang beragama Buddha dan Shinto (jika Shinto bisa dikategorikan sebagai agama) .

Kami juga membakar Hamaya 破魔矢 panah pengusir bala tahun lalu, dan membeli Hamaya tahun ini. Di Kuil juga dijual omikuji, atau kertas bertuliskan ramalan nasib. Riku dan Kai membeli dan isinya lumayan bagus lah.

Riku diapit papa Gen dan om Taku

Biasanya tanggal 1 Januari, semua toko di Jepang akan tutup, dan pada tanggal 2 buka untuk mengadakan “Penjualan Pertama” Hatsuuri 初売り。 Tapi sekarang sudah cukup banyak toko-toko yang buka pada tanggal 1 Januari. Sayang sekali ada istilah “Penjualan Pertama” tapi tidak ada istilah “Pembelian Pertama”. Adanya Fukubukuro 福袋, kantong keberuntungan, kantong berisi barang yang tidak diketahui isinya dan harganya, tapi dijual dengan harga sama sekitar 5.000 yen sampai 10.000 yen.

Nah, karena kami mau membelikan notebook computer untuk ibu mertua, maka setelah dari Kuil, kami pergi ke sebuah departemen store yang besar dekat rumah mertua. Wah harga-harga komputer sekarang murah-murah ya. Memang kalau merek terkenal pasti mahal, tapi ibu mertuaku hanya perlu untuk melihat blog TE dan blog adik Gen di Sendai. Plus main game hehehe.

Jadi deh “Belanja Pertama” kami menghiasi kamar tamu, yang pasti nantinya akan kami pakai juga jika bermain ke rumah mertua.

Bagaimana hari pertama teman-teman semua? Bukan neshogatsu (hari tahun baru yang dilewatkan hanya dengan tidur dan makan) kan?

de miyashita melewati hari tahun baru di yokohama