Domo Arigato Mr Roboto

15 Mei

Aku yakin banyak pembaca TE muda yang tidak mengenal lagu ini (bahkan belum lahir mel…). Sebuah lagu asyik dari STYX, sebuah band rock dari Amerika, yang menjadi di hit di tahun 1980-an (tepatnya lagu ini muncul tahun 1983, saat aku masuk SMA). Jaman itu memang banyak lagu rock-techno-disco (ngga ngerti deh kalau soal musik, mending tanya sama mas NH18 yang ahlinya), karena aku ingat kelasku di SMA pernah membuat performance dance dengan baju ala robot-robot gitu deh (dan tentu saja aku tidak pernah ikut, wong aku ngga bisa goyang). Buat yang mau tahu lagunya silakan dengar di Youtube ini.

Tapi sedikitnya kalimat itu akan aku ucapkan kepada Mr Sato yang cocok sekali disebut sebagai Mr Roboto, bukan karena dia robotnya, tapi dia yang “menghibur” aku dan pengunjung pameran robot kecil di Tama Rokuto Kagakukan (Tama Rokuto Science Center) hari minggu 9 Mei yang lalu (maaf yah, sekali lagi aku pamer kegiatan keluarga kami hari minggu lalu). Sebetulnya ini kali kedua untuk Riku dan Gen, karena mereka sudah pernah pergi ke sini yang laporannya aku tulis di Menumbuhkan Kemampuan Berkreasi pada Anak Indonesia.

Teman bloggerku Dewa Bantal, pernah buzz aku di YM dan bilang, “Jalan-jalan teruuuuusss….(iri)”.  Dan ketika aku ceritakan pada Gen, kami sepakat menjawab alasan kami jalan-jalan terus setiap weekend adalah karena ngga betah di rumah terus. Apartemen kami kecil, selama seminggu kami menghabiskan kehidupan dalam kotak  cubicle kami, rumah dan kantor. Sehingga kami usahakan setiap weekend untuk keluar rumah, mencari pemandangan atau pengetahuan, semurah mungkin. Paling sedikit ke taman dekat rumah.

Nah tanggal 8 Mei, Sabtu sepulang Gen kerja, yang lumayan pagi sampai rumahnya (jam 6 sore itu pagi menurut kami), kami mencari tempat yang bisa dikunjungi hari minggunya supaya tidak dadakan pergi. Untuk tgl 15 sudah ada jadwal, dan harus pergi. Lalu kami menemukan di homepage bahwa planetarium sekaligus science center yang berada dekat rumah kami mengadakan pameran mini “Takuto Robot Park” dengan workshop membuat jangkrik solar. Karena setiap workshop hanya bisa 15 orang, jadi kami harus pergi pagi-pagi untuk antri. Asal tahu saja, biasanya orang Jepang akan hadir 1 jam sebelum acara dimulai. Kadang untuk pertunjukan musik yang jam 7 malam misalnya, diberitahukan bahwa pintu terbuka pukul 6, tapiiiiiii jika tempat duduk/berdirinya bebas, para pengunjung PASTI datang minimum 1 jam sebelum jam pintu dibuka. CAPEK DEHHHHH!!!! Untuk acara yang cuma dua jam, nunggu 2-3 jam. HUH! (Makanya aku males deh pergi konser atau pertunjukan gitu)

Dan benar saja. Science Center itu buka jam 9:30, tempat parkirnya buka jam 9:15. Kita datang persis jam 9:15, parkir mobil, dan disitu baru terlihat 6 mobil. Save, pikirku…. Eeeh baru kami jalan keluar lapangan parkir terdengar suara anak-anak beserta ibu mereka naik sepeda, dan lari-lari ke depan loket. Ya ampuuuuuun udah berderet yang antri. Dan kami harus terima bahwa kami itu nomor 16 yang mau mengikuti workshop jangkrik solar. Terpaksa deh mengikuti bagian ke dua yang dimulai pukul 1 siang…hiks.

Tapi memang tujuan kami ke sini kan bukan HANYA untuk si jangkrik doang. Ini kan planetarium, jadi ngga aci dong kalau tidak lihat bintang-bintang berserakan di langit (pasti susah tuh ngumpulinnya hihihi). Nah, di sini ada 5 kali pertunjukan film/penjelasan ttg bintang. Kami harus memilih ingin mengikuti yang mana, dan itu juga berpengaruh pada harga karcis. Tanda masuk pameran saja 500 yen, untuk pameran+ planetarium 1000 yen, sedangkan kalau mau nonton semua planetarium dan Pan-hemispheric movie ada tiket terusan seharga 1400 yen. Ini karcis dewasa, sedangkan anak-anak tiket terusannya hanya 500 yen (Usia SD ke atas, Kai tidak membayar).

Kami memilih menonton planetariumnya pukul 10:00 dengan judul “Oz the wizard”, sebuah film anime yang memperkenalkan rasi bintang tapi dikemas dengan cerita anak-anak. Keseluruhan penayangan dan penjelasan makan waktu 45 menit, dan Kai bisa duduk tenang ikut menonton dan menikmati planetarium itu. Hmm ternyata Kai juga sudah bisa aku ajak menonton bioskop nih. Nanti deh kalau ada film anak-anak yang bagus dan tidak terlalu panjang, mau ajak mereka berdua. Toh aku sekarang sudah berani menonton di bioskop.

Naik Moon walker, yang bergerak berdasarkan gerakan tubuh

Sebelum menonton film pertama dan di sela-sela film pertama dan kedua, kami berkeliling tempat pameran. Riku mencoba Moon walker, dia duduk di semacam crane yang akan membuat dia melambung-lambung hanya dengan gerakan tubuh waktu duduk. Ya mungkin begitu kalau berada di ruang angkasa.

"Mama...uchu dayo" (Mama...planet) kata Kai, begitu dia melihat gambar planet di perpustakaan center ini.

Pertunjukan Pan-hemispheric movie kali mengenai dunia 3D, dan dimulai pukul 11:50. Selama menunggu kami sempat melihat pameran yang ada. Wah bener-bener seperti game center! Tapi semuanya ada keterangannya mengapa bisa begini, bisa begitu. Isi tempat itu anak-anak semua! Kai saja senang berlari-lari ke sana kemari sendiri, pencet tombol ini itu. Dan kalau tidak ingat aku harus jaga mereka, aku juga pasti cobain satu-satu tuh alat-alat. (Dan suamiku entah jalan kemana, enjoy diri dia sendiri… sabar…sabar… ntar kalau anak-anak udah gede, gue jalan sendiri!)

Ternyata film 3D menakutkan Kai. Pertamanya sih memang menarik, karena harus pakai kacamata kan. Tapi karena filmnya banyak ngaget-ngagetin, dia minta dipeluk deh. Dan …dia tertidur dalam pelukanku. Dan…karena ada selimut hangat di dadaku (badannya Kai), aku juga sempat tertidur hahaha.

Sesudah film 3D selesai, Riku dan papanya mengikuti workshop, membuat jangkrik solar panel. Biaya workshop ini 940 yen, yaitu biaya bahan  untuk membuatnya. Lucu juga jadi jangkrik berpunggung solar panel, yang akan bergetar jika kena sinar matahari, tapi jika berada di bayangan akan berhenti. Workshop ini dilakukan di ruangan yang sama dengan pameran robot kecil-kecilan.

Kai mencoba satu alat yaitu yang menggerakkan mainan shinkansen hanya dengan kepalan tangan. Begitu tangan membuka kepalan akan berhenti. Kok bisa gitu, tanpa ada gerakan lain hanya dengan mengepalkan tangan maka kereta itu berjalan di relnya. Nah menurut penciptanya ini nantinya akan dikembangkan untuk penderita catat tubuh untuk menyalakan atau menggerakkan sesuatu.

Selain itu ada juga sebuah robot berwujud anak anjing laut berbulu putih. Si Seal bernama Paro ini berfungsi untuk terapi penyembuhan, sehingga dinamakan robot therapy. Jika dibelai, dia akan bereaksi, mengeluarkan suara dan gerak. Dan matanya berkedip-kedip…cute. Pasien karena alasan alergi, penyakit menura atau digigit dsb, tidak bisa memelihara binatang asli. Padahal dipercaya interaksi dengan manusia dan hewan dapat memberikan ketenangan rohani, memberikan semangat, menstabilkan tekanan darah dan denyut jantung, serta sarana komunikasi. Jadi robot Paro ini dikembangkan sebagai Mental Commit Robot oleh Dr Takanori Shibata (sudah masuk Guinness World Records). Harganya? 350.000 yen saja! (35 juta rupiah deh). Waktu kutanya apa ada yang beli, si petugas bilang, yang beli biasanya RS dan klinik untuk dipinjamkan ke pasien rawat inap. Hmmm aku lalu membayangkan orang tua Jepang yang banyak memelihara anjing atau kucing sebagai “teman” mereka. Daripada susah-susah merawat binatang yang hidup, bagus juga kalau beli saja Seal robot Paro ini. Tidak repot. Si Paro ini tidak perlu diberi makan tiap hari. Paling-paling dicharge baterenya.

Nah, kemudian kami bertemu si Mr Roboto itu, Mr Sato. Orangnya lucu dan antusias sekali berbicara dengan anak-anak, dibandingkan peneliti yang lain yang datang di tempat itu dia yang paling ramah dan lucu. Dia menciptakan humanoid, robot berbentuk manusia dengan dua kaki mini. Katanya dari usia 10 tahun dia sudah mencoba sendiri membuat barang elektronik dengan memakai bahan yang ada di rumah. Jam bekas, batere, kardus dibuat robot-robotan. Dia berharap anak-anak yang datang ke sini tergerak hatinya untuk belajar mencipta.  Dia sendiri salah satu dari peneliti (yang di foto-foto berompi kuning) yang bekerja di National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) atau singkatan bahasa Jepangnya 産総研 sansoken. Dia sendiri berkata bahwa dia ingin menciptakan robot bukan untuk mengambil alih pekerjaan yang bisa dilakukan manusia. Robot haruslah mengerjakan sesuatu yang memang tidak bisa dikerjakan manusia. Misalnya untuk mengelus rambut pasien karantina, atau menyelam meneliti ke dasar samudra. Dan aku sangat setuju dengan pendapat dia.

Dalam lirik lagunya Mr Roboto itu pun ada:

I’m not a Hero
I’m not a Savior
Forget what you know

I’m just a man who’s
Circumstances went beyond his control
Beyond my control,
We all need control

I need control
We all need control

……..

The problem’s plain to see
Too much technology
Machines to save our lives
Machines de-humanize

Jangan, jangan sampai mesin “memesinkan” manusia!

Karena manusia bukan mesin, maka kami butuh makan… sesudah 5 jam lebih berada di sini, kami pun pulang dan sebelum ke rumah mampir ke  SUSILO! Wah di Jepang ada juga nih mas Sushi loh! Sebuah resto Sushi yang piring-piringnya diletakkan di atas ban berjalan, alias kaiten sushi. Resto ini ternyata sudah mempunyai 263 resto di seluruh Jepang, dan katanya  nomor satu di bidang kaiten sushi. Yang membuat Sushilo ini menarik memang karena harganya tetap semua piring berharga sama 105 yen. MURAH! Karena biasanya di kaiten sushi, harga sushi berubah tergantung jenis ikan/hasil laut yang dipakai, misalnya Maguro dengan banyak lemak bisa berharga 525 yen satu piring, sedangkan maguro biasa seharga 160-an . Nah yang membedakan adalah warna atau corak piring yang dipakai. Dan biasanya di resto sushi kaiten ada 5 jenis harga. Tapi di sushi lo ini hanya ada dua jenis, dan itu bukan berdasarkan pembedaan harga, tapi hanya pembedaan sushinya pakai wasabi atau tidak. Wasabi adalah sejenis umbian berwarna yang menimbulkan rasa pedas di hidung, yah “cabe”nya Jepang deh.

karena sudah jam 4 jelas aja resto ini kosong hehehe

Tapi terus terang aku tidak mau ke resto ini lagi….maaf. Begitulah kalau kamu sudah dimanjakan dengan rasa yang enak, bisa membedakan kesegaran dan mutu bahan, jadi spoiled! Sedangkan kita makan harus bisa menikmati kan. Dan setiap orang seleranya lain-lain. Kalau dipikir-pikir tentunya sulit dong jika restoran padang menetapkan harga sama untuk semua jenis masakan yang ada. Kalau rendang harganya sama dengan sayur singkong, ya aku pasti pilih rendang deh! Tapi kalau rendangnya berasa sayur singkong, mending ngga makan rendang kan? hihihi (Eh tapi kalau aku ajak orang asing yang belum pernah makan rendang pasti suka aja kali yah 🙂 )
Tapi aku senang karena my koala yang biasanya makan sedikit, di sini dia puasss makan sushi dengan telur ikan, ikura, kesukaan dia. Jadi dia makan banyak tuh. Ngga biasanya. (Sambil aku bayangin sedikit lagi aku musti siap-siap masak banyak untuk kedua anakku ini hihihi).

Weekend lalu kami kembali belajar sedikit dengan melihat kecanggihan teknologi di Tamarokuto Science Center , dan weekend minggu ini kami berencana pergi ke Museum of Maritime Science di Odaiba. Tunggu saja laporan dan fotonya ya (bagi yang berminat saja sih hehehe).

Mix Business with Pleasure

10 Jan

Biasanya berlaku “Don’t mix bussiness with pleasure” tapi Jumat lalu, aku melanggarnya. Lebih tepatnya aku terpaksa melanggarnya.

Riku masih bengkak lehernya karena Mumps (gondong) , dan selama masih bengkak berarti masih bisa menular pada anak lain, sehingga tidak boleh ke sekolah. Sekolah di sini ketat sekali untuk hal-hal seperti ini. Padahal Jumat tanggal 8 lalu, Riku harusnya masuk sekolah sesudah libur musim dingin (26 Des-7 Jan). Karena tidak bisa ke sekolah, dan tentu saja saya tidak bisa menitipkan ke keluarga lain (ya takut lah kalau nularin anak-anak mereka kan), jadi terpaksa aku mengajak Riku ke kampus.

Kalau dulu dia sudah ke kampus Universitas Waseda (lihat: Jika Anak Libur…), kali ini dia terpaksa aku ajak ke kampus Universitas Senshu. Dari sebelumnya aku sudah wanti-wanti bahwa kampus ini jauh, jadi dia harus bisa menahan diri, jangan ngomel-ngomel. Sempat sih terpikir untuk menyetir mobil sendiri, minta Gen untuk naik bus, dan aku yang pakai mobil. Tapi…. aku sendiri yang tidak berani, karena malam sebelumnya aku kurang tidur. Sibuk menilai test mahasiswa.

Jadilah aku, Riku dan Kai keluar rumah pukul sembilan pagi. Sampai di penitipan, pas tepat mereka bersiap untuk jalan-jalan ke Taman. Kai paling senang jalan-jalan ke taman bersama teman-temannya, sehingga jarang dia menolak untuk pergi ke penitipan. Setelah menyerahkan Kai pada gurunya, aku dan Riku menuju ke stasiun. Tapi Riku berkata bahwa dia lapar… Saking sibuknya mempersiapkan macam-macam, aku tidak bisa menyiapkan sarapan paginya. Jadilah kami mampir ke Mac D dan pesan Happy set (hadiahnya Naruto soalnya, jadi aku juga ambil happy set deh, supaya dapat 2 mainan). Well, aku memang perlu datang ke universitas untuk tanda tangan saja, jadi bisa agak santai.

Riku di universitas Senshu, Ikuta

Setelah ganti kereta 2 kali dan naik bus khusus dosen dan karyawan, akhirnya kami sampai di kampus pukul 11:45. Riku senyum-senyum sendiri, ketika aku bilang bahwa mahasiswa tidak ada yang boleh naik bus ini loh. “Wah aku lebih hebat dari mahasiswa ya Ma?” hihihi…iya karena kamu sama mama jadi tidak apa.

Aku meninggalkan Riku di pelataran gedung 120th, dan menuju ke ruang dosen, untuk menyelesaikan absen. Setelah selesai, aku kembali ke tempat Riku dan mengajak dia pergi ke planetarium yang berada di sebelah kampus universitas.
“Mama sudah selesai kerjanya?”
“Sudah”
“Kok cepat? Bisa dapat uang kalau cepat begitu?”
“Hehehe ya bisa. Begini Riku, di dunia ada dua jenis pekerjaan, yang satu memakai tenaga, biasanya kerjanya lama dan dapat uang sedikit. Tapi yang satunya lagi memakai otak, biasanya kerjanya cepat, dan dapat uang banyak. Tinggal Riku mau yang mana. Kalau mau yang memakai otak, berarti Riku harus belajar yang rajin, menjadi pintar, dan bekerjalah dengan otak. Kalau Riku malas-malasan, tidak mau sekolah, ya siap-siap saja bekerja dengan tenaga, tetapi dapat uang sedikit.”
Dia diam saja, masih belum mengerti.

Karena aku sendiri tidak tahu tepat letak planetarium itu, aku bertanya pada petugas satpam universitas. Untung saja dari tempat universitas kami, jalannya menurun. Tidak begitu jauh, hanya jalan 15 menit, tapi jika sebaliknya harus menanjak, pasti menggeh-menggeh deh.

Planetarium ini terletak dalam satu wilayah yang bernama Ikuta Ryokuchi, Wilayah Hijau Ikuta. Di sini terdapat beberapa bangunan rumah tradisional Jepang, Nihon Minka-en 日本民家園. Yang masing-masing harga masuknya 500 yen. Wahhh lumayan juga jika mau masuk ke sekitar 10 rumah di situ (meskipun untuk anak SD gratis).

Tapi Riku tidak mau mampir-mampir. Tujuannya hanya satu, yaitu Planetarium. OK, karena Riku juga sudah mau menemani aku, jadi sekarang gantian Mamanya temani Riku. Tapi…. begitu kami sampai di planetarium harus menggigit jari. Apa pasal?

Planetariumnya kecillll... hihihi

Kami sampai di tempat itu pukul 12:30. Dan tiket untuk menonton planetarium baru dijual pukul 2:00, baru bisa masuk ke dalamnya jam 2:40, dan pertunjukan mulai jam 3. Waduuuhhh… aku tidak tahu informasi ini. Di website tidak ada informasi ini. Tadinya aku tidak mau mengecewakan Riku, dan kami sempat  menunggu setengah jam. Tadinya memang karena kena matahari terasa hangat, tapi semakin siang, matahari mulai ngumpet di balik awan, mulai terasa dingin. Jadi aku tanya apakah Riku benar-benar mau menunggu selama itu? (Perut mulai lapar juga)

Akhirnya Riku bilang, “Pulang aja yuuk ma”… horeeee itu yang kutunggu hihihi. Jadi kami menuruni planetarium menuju jalan besar. Nah, masalahnya aku tidak tahu berada di mana, dan bagaimana caranya untuk ke stasiun terdekat. Untung di dekat jalan besar itu ada perbaikan jalan,  dan ada seorang ibu yang bekerja mengatur jalan. Kami bertanya pada ibu itu, dan disarankan jalan kaki ke stasiun. Katanya sih tidak begitu jauh, sekitar 10 menit. Hmmm. Tidak ada bus, tidak ada taxi.

Ada lokomotif di depan planetarium, jadi berfoto deh ngabisin waktu

Baru aku selesai bicara dengan si ibu itu, tiba-tiba aku lihat taxi turun dari tanjakan. Langsung deh aku angkat tangan memanggil taxi itu. Si ibu langsung bilang, “Lucky!!”.

Sampai di stasiun, makan spaghetti dan pizza dulu baru pulang. Well, kami akhirnya tidak jadi nonton planetarium memang. Tapi setelah sampai di rumah, Riku mengakui bahwa dia juga capek. “Aku ngerti kenapa mama hari Jumat selalu capek. Jauh sekali ya?” ….

Jumat itu aku telah mix kerja dan pleasure. Pleasure menghabiskan satu hari bersama Riku.

Menumbuhkan Kemampuan Berkreasi pada Anak Indonesia

23 Jul

atau lebih tepatnya, “menumbuhkan kemampuan berpikir secara ilmiah pada anak-anak Indonesia”. Ini adalah sebuah tujuan mulia, yang saya dukung sepenuhnya, meskipun waktu itu saya satu-satunya anggota yang bukan berasal dari ilmu eksakta. Hanya sayangnya “keinginan” yang pernah menjadi tujuan sebuah organisasi di Jepang (saya rasa tidak etis juga menyebutkan namanya di sini), yang anggotanya terdiri dari alumni universitas Jepang kandas di tengah jalan. Alasannya, masing-masing sibuk dengan kegiatan dan pekerjaannya — termasuk saya. Saya akui karena waktu kegiatan itu dicanangkan tahun 2003 itu, saya baru saja melahirkan Riku. Dan setelah itu sempat beberapa kali ikut kegiatan organisasi ini, dan akhirnya sekarang statusnya “mati suri”.  Baru berhasil ikut serta sebagai fasilitator kerjasama SMA Jepang – Indonesia, dan ikut dalam kegiatan Pasca Tsunami. Padahal waktu itu targetnya tahun 2010, kami ingin membuat sesuatu tindakan nyata di Indonesia. Sayang… sungguh sayang…. karena sebetulnya banyak ide-ide brilian yang bisa diwujudkan.

Kreatifitas haruslah diajarkan dan dilatih. Jarang ada orang yang lahir langsung kreatif. Manusia kreatif biasanya ditempa oleh alam dan kehidupannya dan didukung oleh otak yang encer. Tapi kreatifitas ini amat penting jika kita mau menghasilkan generasi “pencipta” bukan hanya “pemakai”. Monozukuri istilah di Jepang, membuat barang, inventor. Bahkan di Jepang ada Universitas untuk mendidik para inovator itu, Monozukuri Daigaku, yang mereka terjemahkan menjadi University of Technologist.

Kreatifitas itu juga sebetulnya bukan melulu sebuah bentuk barang, yang bisa terlihat. Ide, gagasan dari sebuah pemikiran juga memerlukan kreatifitas. Bahkan menurut saya setiap segmen kehidupan, membutuhkan kreatifitas. Seorang ibu yang kreatif akan bisa menghasilkan sebuah menu baru dari makanan sisa. Bisa menggunakan kembali barang-barang yang sudah tidak dipakai sehingga bisa dipakai untuk tujuan lain. Kalau saja setiap ibu rumah tangga bisa kreatif, misalnya seperti Bintang di postingannya yang ini, duhh kampanye Cinta Lingkungan tidak perlu terlalu digembar-gemborkan. Karena secara tidak langsung, seharusnya kreatifitas akan mendukung perlindungan lingkungan hidup.

Banyak sebetulnya yang bisa dicoba oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk kreatif. Daripada membelikan gameboy, lebih baik membelikan lego misalnya. Atau mengajak anak-anak pergi ke planetarium, atau museum. Namun memang saya akui, sarana-sarana yang bersifat mendidik di Indonesia masih kurang, karena lebih banyak mall yang didirikan daripada sebuah “perpustakaan” misalnya. Saya amat sangat iri dengan anak-anak Jepang yang memang kreatifitasnya ditunjang oleh pemerintah. (Jangan pikirkan alasan kurang dana dulu deh, meskipun memang dana itu penting)

Setelah mengikuti pendidikan dasar bagi Riku di  kelas 1 SD selama 4 bulan, saya menemukan beberapa hal menarik. Yaitu penggunaan kertas origami, untuk melipat berbagai bentuk, dan penggunaan lilin/malam nendo yang cukup sering. Dengan dua media yang murah ini, anak-anak dilatih kreatifitasnya tanpa batas. Origami juga dibiarkan anak-anak membuat bentuk apa saja yang mereka inginkan. Well, awal-awal saya selalu menggerutu, dan berkata “Buang kertas saja…” Tapi apa sih yang tidak pakai modal? Kreatifitas juga perlu modal meskipun tidak perlu mahal-mahal. Jadi setiap Riku minta kertas origami atau kertas untuk menggambar, selalu saya kabulkan.

Lilin/malam juga fantastis. Sudah lihat kan hasil eskrim yang ibu-ibu buat untuk acara bazaar anak-anak SD? Bermacam bentuk bisa dibuat, tak terhingga. Dan anak-anak dibiarkan membentuk imajinasinya. Dan kualitas lilin/malam itu benar-benar mengagumkan. Tangan tidak menjadi merah jika kita bermain dengan lilin merah. Saya cuma bisa iri hati pada anak-anak Jepang.

duuuh tampang serius amat
duuuh tampang serius amat

Sehari sebelum keberangkatan kami ke Jakarta tanggal 20 Juli lalu, Hari minggunya, Gen mengajak Riku untuk pergi ke planetarium dekat rumah. Saya sempat membatalkan kegiatan saya packing, dan berusaha siap-siap berniat pergi dengan Kai juga, tapi Gen memberitahukan terlambat sekali. Dalam waktu 15 menit menyiapkan anak dan diri sendiri, belum mengurus tutup-tutup rumah segala… impossible. Jadi saya biarkan Gen dan Riku pergi berdua, diiringi tangisan Kai, yang begitu menyayat hati karena kakaknya pergi tanpa dia.

Gen dan Riku pergi ke Tamarokuto Science Center, yang terletak kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kami. Mereka mengejar tayangan film mengenai planetarium yang diputar mulai pukul 10:30 selama 50 menit. Tempat tersebut mempunyai panggilan kesayangan, “Science Egg”, karena bentuknya seperti telur raksasa. Dan saya bisa bayangkan betapa asyiknya jika tanggal 22 kemarin menikmati gerhana matahari di “Science Egg” ini. Jika mau memang harus mendaftar, karena pasti banyak anak-anak akan datang karena persis liburan musim panas.

Saya tidak tahu persis apa saja yang mereka lihat di dalam planetarium itu. Karena setelah mereka kembali, saya masih sibuk membereskan rumah, packing barang, belanja dan akhirnya lupa mendengarkan cerita mereka. Tapi yang pasti saya kaget menemukan foto-foto Riku membuat bentuk bangunan dari tumpukan kayu seperti lego.

Rupanya di dalam planetarium tersebut ada sebuah hall, yang bisa dipakai untuk event tertentu. Dan hari itu ada event dari perusahaan KAPLA. balok kayu terkenal buatan Perancis yang ditemukan oleh seorang belanda kolektor/dealer  benda bersejarah dan antik bernama Tom van der Bruggen. Kata Kapla itu sendiri berasal dari kata Kabouter Plankjes (Plang/papan kecil)

Melihat Riku menyusun Kapla seperti di foto, saya lalu teringat bahwa setiap musim panas di Jepang ada lomba menyusun domino. Domino Taoshi ドミノ倒し, merubuhkan domino yang telah diatur sedemikian rupa sehingga waktu domino itu jatuh membuat gambar yang bagus. Untuk anak SD, pertandingan begini diadakan untuk tingkat seluruh Jepang, dan tidak mudah loh untuk menciptakan kekompakan dalam regu, kesabaran memasang domino karena setiap kali jatuh berarti harus ulang semua, dan kreatifitas menciptakan bentuk-bentuk unik. Tapi yang paling penting memang kerjasama. Kadang saya ikut menangis melihat usaha-usaha anak-anak itu yang terekam dalam tayangan televisi. Bagaimana mereka berusaha dan menghasilkan tangis gembira maupun tangis sedih karena kalah.

foto kegiatan sekolah di Gifu diambil dari sini http://school.gifu-net.ed.jp/ogknisi-hs/ibento/h17/bunnkasai/bunkasai.htm

Saya memang tidak tinggal di Indonesia, sehingga tidak tahu sampai sejauh mana kegiatan anak-anak di Indonesia dalam mengembangkan kreatifitasnya. Semoga saja masih banyak orang yang mau bersama-sama memikirkan anak-anak Indonesia terutama di Hari Anak Indonesia, hari ini. Saya tetap optimis (harus) bahwa anak-anak Indonesia bisa menjadi inovator yang bukan hanya bisa mengangkat nama bangsa Indonesia tapi juga mengajak teman-temannya memajukan bangsa kita ini.