Hari ini aku mau tulis gundahnya ibu rumah tangga ya… tolong didengerin ajah hehehe. Ngedumelnya pasti sama sih dengan ibu RT di mana saja. Yaitu soal harga barang-barang yang bikin pusing kepala. Apalagi kalau naik terus. (Eh tapi …. pinternya orang Jepang yah, harganya tetap cuma berat/volume/kemasannya diperkecil….jadi konsumen ngga sadar bahwa sebetulnya harganya naik hihihi)
Sebelumnya aku mau memasang sebuah foto, belanjaanku pagi ini. Memang tidak banyak sih karena … tidak bawa duit hehehe… ngga juga sih, lebih karena tujuan utamanya lain, bukan belanja harian. Nah, dari foto ini kira-kira kamu-kamu bisa menebak tidak, benda apa yang harganya paling mahal…..
sudah bisa menebak? barang apa yang termahal di situ?
.
.
.
.
.
hmmmm…. sudah nebaknya?
OK, aku buka kartu ya…. di antara semua barang di situ yang paling murah air mineral seharga 85 yen. Dan yang termahal adalah …..rokok. hiks hiks
Hari ini aku membeli rokok sampai 3 karton loh, untuk suami tersayang. Padahal aku sebetulnya paling anti orang merokok… tapi gimana lagi, cinta mengalahkan segalanya (cihuuuy). Dan aku memang menghargai hak azazi manusia, selama Gen tidak merokok di depan aku dan anak-anak, then its allright. Dan Gen memang sejak pacaran tidak pernah merokok di depan aku. Dia selalu merokok di luar rumah.
Nah, kenapa aku sampai beli rokok begitu banyak? Apakah Gen ulang tahun? Bukan…. bukan ulang tahun. Tapi….. karena harga satu pak rokok hari ini masih 330 yen, dan mulai besok menjadi 440 yen ….huaaaaa coba tuh satu pak = satu bento makan siang. hiks… yang menangis jelas aku lah.
Hampir separuh orang Jepang yang perokok melihat kenaikan harga rokok ini sebagai kesempatan untuk berhenti merokok karena terlalu mahalnya harga rokok. Aku juga baca di tulisan salah satu teman di FB bahwa di Jerman satu pak rokok menjadi 5 euro….(berarti jauh lebih mahal dari di Jepang tuh). Aku sih berharap supaya Gen berhenti merokok, tapi aku tahu juga rokok dan game komputer adalah satu-satunya pelarian dia kalau sedang stress. Semoga dengan ekonomi rumah tangga yang makin ketat ini dia bisa berhenti (berdoa yang kencang)…..
Kami di sini tidak boleh membuang minyak bekas pakai ke saluran pembuangan air. Harus dibekukan dengan obat khusus atau diserap ke kertas lalu dibuang sebagai sampah terbakar. Terutama di musim dingin, karena minyak beku dapat menghambat saluran pembuangan.
Salah satu obat pembeku minyak itu seperti foto ini. Aku memang tidak tahu apakah semua orang Jepang berbuat sama seperti aku, tapi dari percakapan teman-teman orang Jepang, ya selain membekukan minyak, ada yang memakai koran untuk menyerap minyak dll. Tidak ada teman Jepangku yang membuang langsung ke saluran pembuangan. Semoga teman-teman Indonesia yang tinggal di Jepang juga bisa turut “care” dengan masalah ini.
Tuh kan ceritaku hari ini ngalor-ngidul… tapi yang penting nulis kan ya…hehehe. Selamat menuntaskan hari Rabu 😉
Sekarang jamannya Eco, bukan Ekonya mas Eko yang wong jawa, tapi eco yang merupakan singkatan ecology. Seperti yang sudah kutulis di postingan yang ini, kami mendapat potongan pajak yang cukup besar 75% karena membeli eco-mobil, mobil (baru) yang dianggap tidak atau kurang mengotori lingkungan. Sebetulnya agak rugi juga waktu itu, coba seandainya mobil lama sudah dipakai lebih dari 12tahun, maka kami malah akan mendapat “bonus” tambahan potongan yang banyak, karena berarti mengurangi jumlah mobil lama berseliweran di jalan-jalan yang sudah jelas akan mengotori lingkungan.
Di Jepang sekarang juga sedang giat-giatnya mengumpulkan eco-point dari perumahan. Jika membangun rumah dengan memakai solar panel (berarti mempunyai pembangkit listrik sendiri) atau jendela rangkap dua (mengurangi pemakaian heater dan AC), maka akan mendapat eco-point yang bisa dipakai sebagai potongan harga.
Lalu kenapa aku menulis judul Eco Kitchen? Sebetulnya masih rancu pengertian eco kicthen itu sendiri, apakah merefer pada dapur yang “ramah lingkungan” seperti pemakaian gas bukan minyak tanah, atau bahkan pemakaian listrik bukan gas, yang katanya lebih irit energi. Dengan alat pencuci piring, yang katanya juga lebih irit air, dengan alat pembuat kompos sendiri dll. Yang pasti aku belum tahu seberapa iritnya barang-barang ini, mungkin lebih irit dapur alam di desa-desa terpencil sana, daripada dapur di kota-kota besar. Tapi yang lebih mau aku tonjolkan dengan pemakaian eco-kitchen ini adalah HEMAT MAKANAN/Bahan Makanan.
Bapakku, P.L. Coutrier, boleh dikatakan seorang pemerhati lingkungan, meskipun dia lebih berkutat di masalah pertambangan dan minyak. Sering dia memberikan seminar-seminar baik di tingkat nasional maupun tingkat yang lebih kecil, kumpulan-kumpulan kekerabatan. Pada suatu kesempatan, setelah memberikan seminar, tibalah acara makan siang (atau malam…saya lupa). Dan sambil mengambil makanan, bapakku berkata, “Dengan kita mengambil makanan secukupnya saja, kita sudah ikut andil dalam menjaga lingkungan a.k.a environment.”
“Loh, kok bisa begitu pak?”
“Ya, dengan tidak menyisakan makanan, Anda mengurangi sampah. Dan dengan makan yang cukup dan tidak berlebihan memasak, Anda menjaga kebutuhan makan sekian banyak orang. Jika petani tidak berlebihan memproduksi beras, maka kesuburan tanah bisa dipertahankan dst, dst. Selain hemat tentunya, banyak aspek yang sebetulnya jika dikaitkan bermuara ke perlindungan lingkungan. ”
Kemudian ibu-ibu yang hadir di situ berkata, “Aduh bapak Coutrier sih bicara begitu, lihat semua jadi mengurangi nasi dan makanan yang diambil….”
dan bapakku berkata, “Saya tidak mengatakan tidak boleh makan banyak. Ambil secukupnya. Kalau kurang, boleh tambah, tapi juga jangan sampai menimbulkan sampah dengan membuang makanan.”
Sampah makanan…. Aku tidak tahu bagaimana pendidikan di keluarga masing-masing, tapi dulu oleh mama, kami tidak boleh meninggalkan nasi sebutirpun di piring. Itu kupegang sampai datang ke Jepang, sampai menikah… tapi begitu punya anak, sulit rasanya untuk tidak membuang makanan sisa anak-anak (makanya badan melar gini kan… hihihi alasan). Tapi seberapapun sedikitnya aku sudah mengambil makanan untuk anak-anak, pasti ada sisanya. Dan aku biasanya makan sisa-sisa mereka….. Tapi ada batasnya, karena aku juga harus menjaga jarum timbangan badan supaya tidak naik terus kan….
Sulit sekali untuk tidak buang makanan di Jepang. Menurut data yang ada, setiap tahunnya Jepang membuang 22.000.ooo ton, wuih 22 juta ton itu setengahnya berasal dari dapur rumah tangga biasa. Padahal jumlah 22 juta ton itu sama dengan jumlah program bantuan pangan dunia selama 2 tahun! Jadi makanan yang dibuang orang Jepang satu tahun bisa dimakan selama 2 tahun melalui program bantuan pangan sedunia! Dan sesungguh sepertiga dari bahan makanan di Jepang berasal dari impor…. bayangkan betapa mubazirnya… SEKEH-SEKEH kata mas trainer di blognya.
Memang di Jepang, kadaluwarsa atau batas konsumsi lewat satu detik saja, langsung masuk tempat sampah. (Mungkin Anda bingung soal kok batas konsumsi bisa per detik. Di konbini di Jepang jika menjual sandwich, onigiri atau bento, pasti tercantum kadaluwarsa sampai tanggal berapa, jam berapa lengkap dengan menitnya. Jadi kalau lewat, tidak boleh dijual lagi. Karenanya satu atau dua jam sebelum jam habis terkadang di beri tanda potongan harga, supaya terbeli… daripada dibuang kan?) .
OK kalau masalah kadaluwarsa begitu, masing-masing punya pandangannya sendiri, padahal sebetulnya kita musti jeli membaca kadaluwarsa di Jepang itu biasanya best before, lebih enak jika dimakan sebelum tanggal itu, bukan berarti makanan itu sesudah tanggal tercantum akan rusak. Aku sendiri tidak terlalu peduli soal kadaluwarsa, karena bisa ketahuan kok sebetulnya makanan itu masih baik atau tidak. Tentu saja faktor suhu, cara penyimpanan, musim juga sangat berpengaruh.
Nah yang paling tidak “etis” rasanya, makanan yang dibuang itu akibat kesalahan pencantuman. Misalnya onigiri berisi ikan tuna dari suatu negara, tapi ditulis kokusan (produk Jepang). Nah berarti terjadi kesalahan pencantuman atau labeling kan? Itu semua masuk tempat sampah! Pabrik tidak mau susah-susah ganti label, atau suruh pegawai membenarkan dengan spidol kek apa kek. Semua masuk tong sampah! Duuuh… Aku pernah baca di suatu display dalam kereta, bahwa setiap detik ada sekian ratus onigiri terbuang di tempat sampah, padahal di seluruh dunia masih banyak orang yang kelaparan. Menurut data, 1 menit di seluruh dunia 17 orang meninggal karena kelaparan, dan 12 di antaranya adalah anak-anak.
Aku tahu, aku juga akhirnya di sini sering buang makanan, karena berbagai alasan. Setiap kali aku membuang nasi sisa makanan anak-anak dalam plastik, aku berucap, “Maafkan saya…”. Dan kalian tahu kenapa aku menulis tentang ini…. karena kemarin aku terpaksa harus membuang nasi sekitar 1 piring karena telah kering, dan tidak bisa dimakan lagi. Tapi kemudian aku terpikir, aku kumpulkan saja deh, cuci dan jemur supaya benar-benar kering, lalu digoreng jadi rengginang. Sambil berkata dalam hati, “Makanya masak yang pas-pasan aja, atau kalau sisa langsung masuk cling warp ditaruh freezer!”. Akhir-akhir ini sering lupa sih masukin freezer, ngga sadar bahwa musim dingin cepat sekali membuat nasi menjadi kering. Sekarang aku sedang sibuk mencari kira-kira nasi kering sisa itu bisa diolah jadi apa lagi ya?
Sambil berharap Jepang lebih hati-hati soal makanan dan bahan makanan, aku berusaha juga jangan membuang makanan jika tidak perlu sekali. Mari ibu-ibu, kita juga mulai menggalakkan eko-kitchen yuuuuk.
“Eco” adalah kata trend di Jepang. Bukan mas Eko dari Jawa meskipun mirip. Tapi Eco singkatan dari Ecology. Maksudnya jika suatu barang bisa “memamerkan” eco nya, pasti dapat diterima di masyarakat Jepang. Meskipun hampir mirip dengan tulisan Yoga di greenwashing, Eco disini tidak bermaksud menutupi kegiatan yang salah yang terkait dengan lingkungan hidup. Malah suatu kegiatan berlomba untuk memperhatikan lingkungan hidup kita. Mobil yang Eco, AC Eco, Mesin cuci Eco….semua produsen alat listrik perumahan di Jepang berlomba-lomba menciptakan barang yang ramah lingkungan (hemat energi).
Kali ini saya ingin menengahkan Eco di kampus. Saya sudah 9 tahun mengajar bahasa Indonesia di Universitas Waseda, di kampus pusat di Takadanobaba, Shinjuku. Dan sejak saya pertama mengajar di sana, saya selalu mendengar berbagai himbauan dalam kampus untuk aktif melakukan kegiatan “eco”. Dibanding dengan kampus universitas lain, kampus Waseda ini memang terlihat lain. Di setiap sudut ada paling sedikit 5 tempat sampah, dengan tulisan penuntun, apa saja yang boleh dibuang di situ. Kertas, plastik, botol plastik, kaleng, sampah terbakar. Semua sampah harus dipilah. Bekas kartu fotocopy dikumpulkan setelah selesai dipakai. Dan yang saya perhatikan juga tidak disediakan tisue lap tangan atau mesin “angin” untuk mengeringkan tangan di wastafel WC.
Tapi minggu lalu saya menemukan satu lagi usaha untuk mencapai “Eco campus”. Biasanya kalau membeli makanan di mana saja di Jepang, pasti dimasukkan dalam kotak plastik. Tapi ada makanan kotak (nasi kotak) yang dijual dalam kampus memakai kemasan dari kertas tebal yang dilapis plastik. Jadi setelah makan diharapkan kita melepaskan plastiknya untuk kemudian menaruh di tempat sampah khusus daur-ulang (recycle) kertas. Tergantung lagi kita si konsumer mau menjalankannya atau tidak. Tapi karena ini sangat praktis, saya rasa mahasiswa sanggup dan mau melakukannya. Dan meskipun ini baru sedikit jumlahnya (saya tidak tahu persis, tapi baru ada di dalam kampus dengan jumlah tertentu) benar-benar merupakan usaha yang patut dicontoh.
Lalu sambil makan saya berpikir bagaimana nasi kotak di Indonesia sekarang yang sering dimasukkan dalam wadah styrofoam(?) yang pastinya sulit untuk dibakar/daur ulang …kecuali hanya bisa di reuse (Tapi kalau bekas nasi padang yang berminyak begitu, siapa yang mau re-use lagi?). Hmmmm sampah lagi. Lalu teringat jaman dulu yang nasi kotaknya masih berupa nasi bungkus pakai kertas yang relatif lebih bisa dibakar. (Bahkan kalau mau lebih jadul lagi yang pakai daun pisang. ) Betapa kemajuan jaman semakin membuat sampah-sampah itu lebih sulit dikelola. (Paling bagus sih membuat bento atau bekal makanan di kotak bekal yang permanen seperti yang saya buat setiap pagi untuk Riku. Sehat isinya hemat kemasannya. Ramah lingkungan dan ramah dompet)
Satu lagi yang bisa saya perkenalkan tentang usaha “hemat energy” di kampus ini adalah “Peringatan” untuk menyetel setting temperatur yang sesuai musim sehingga tidak membuang energy berlebihan. Pada musim panas, setelan AC hanya boleh 28 derajat. Panas dong? Ya memang, misalnya di luar suhu udara 36 derajat maka dengan setting 28 derajat saja sebetulnya sudah cukup terasa dingin. Jangan seperti di Indonesia yang kadang hampir semua menyetel lebih dingin dari 22 derajat. Selain boros listrik, tidak baik untuk kesehatan badan. Menimbulkan penyakit modern akibat AC yang dalam bahasa Jepang disebut “Reibobyou” (penyakit AC).
Demikian pula dalam musim dingin. Misalkan di luar suhu udara di luar 13 derajat, maka setting 20derajat cukup sudah. Jangan kita set menjadi 28 derajat. Perbedaan suhu luar dan dalam yang terlalu besar akan menimbulkan penyakit, selain boros energi.
Hai mas-mas jawa yang bernama Eko (nama pasaran kayaknya yah). Jangan ge-er karena nama Anda sering disebut di Jepang sebagai himbauan untuk lebih memperhatikan environment.
Akhir-akhir ini saya agak sebal dengan sistem pembuangan sampah yang berubah di Tokyo. Karena kita harus lebih memperhatikan lagi bahan-bahan dari sampah yang akan kita buang itu. Kalau dulu tinggal memilah dengan sampah dapur+ kertas sebagai sampah terbakar), kemudian botol, kaleng terpisah, dan yang lainnya yang tidak terbakar bisa dijadikan satu sebagai sampah tidak terbakar. Sudah terbiasa dengan pemilahan begitu sejak saya datang di Jepang sini tahun 1992…. Tapi ternyata sekarang ada penambahan pemilahan lagi yang lebih mendetil. Botol plastik harus dipisah tersendiri untuk didaur ulang, Dan tutupnya yang berbahan plastik (dengan lambang segitiga) itu harus dibuang bersama sampah plastik lainnya. Bahan aluminium dipisah juga supaya bisa didaur ulang, tetapi bahan steel bisa dijadikan satu dnegan semua barang yang tidak jelas tapi tidak bisa dibakar. Padahal ada juga yang menurut saya tidak bisa terbakar tapi boleh dijadikan satu dengan sampah dapur. Huh…. merepotkan sekali. Sampai saya terpaksa mencetak panduannya dan menempelkannya di dapur. Karena jika kita menaati peraturan itu, sampah kita tidak akan diambil…hiks….
Memang saya tahu bahwa pet botol (botol plastik) yang dikumpulkan itu bisa didaur-ulang menjadi karpet, baju atau bahkan botol yang baru. Juga kaleng-kaleng alumunium itu bisa didaur-ulang lagi. Demikian juga dengan botol kaca…. Tapi saya sempat tertegun waktu membaca di sebuah iklan di bus atau kereta (saya lupa) tentang sebuah yayasan yang mengumpulkan tutup botol plastik…. Ya tutupnya saja loh. Katanya 400 biji tutup botol plastik itu berharga 10 yen. Itu jika dikumpulkan, sedangkan jika kita buang begitu saja menjadi sampah maka akan menghasilkan 3150 gram CO2.
Dan gerakan mengumpulkan tutup botol plastik ini bertujuan untuk memberikan VAKSIN kepada anak-anak di negara berkembang. Katanya biaya vaksin polio seorang anak adalah 20 yen. Nilai itu sama dengan 800 tutup botol plastik. Tanpa kita keluar uang, hanya mengumpulkan saja…. kita dapat membantu perkembangan anak-anak di dunia ketiga. Betapa mulia kegiatan ini.
Menurut penjelasannya di web, tutup botol plastik yang terkumpulkan itu akan “dijual” ke pabrik dan dengan uang hasil penjualan akan dibelikan vaksin-vaksin yang akan dikirim ke negara ketiga.
Well saya juga akan coba kumpulkan tutup botol plastik itu, entah sampai berapa banyak…sebisanya (tentu saja ada pool tempat mengumpulkan tutup plastik itu yang ditaruh di daerah-daerah tertentu. Kalau saya bisa mengumpulkan perangko, masa saya tidak bisa mengumpulkan tutup botol saja?
Tapi sebetulnya kegiatan pengumpulan dengan tujuan membantu negara berkembang ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan tutup botol plastik saja. Perangko (ya perangko dan ini membuat saya tidak bisa koleksi lagi) dan kartu telepon/kereta/bus. Setelah dikumpulkan mereka daur-ulang dan uangnya dipakai untuk pendidikan dan kesehatan di negara-negara Asia-Africa.
Sedikit membuang tenaga, tapi banyak senyum yang terkembang…..
Global Warning for Global Warming, istilah yang trend sekarang ini, dan sudah sepantasnya kita sebagai anggota planet bumi ini ikut memikirkan apa yang dapat kita lakukan demi masa depan anak cucu kita kelak. Waktu membaca tulisan Nepho tentang Global warming, saya juga jadi berpikir apa sih yang Jepang sudah lakukan untuk penghematan energi? Rasanya masih banyak yang “BOROS”, tapi memang ada usaha-usaha untuk lebih memikirkan lingkungan hidup kita.
Sebetulnya tidak usah terlalu ekstrim juga, sedikit demi sedikit kalau kita berusaha menghemat pemakaian sumber energi yang ada, juga sudah bagus. Dulu waktu saya ikut kursus bahasa Jepang di Japan Foundation, Matsushima sensei pernah menanyakan, ” Kalau sikat gigi, Anda buka keran terus?”… Hmmm itu saya tidak sadar bagaimana biasanya saya sikat gigi. Dan karena mendengar pertanyaan itu saya baru menyadari bahwa saya selalu membuka keran sambil sikat gigi, dan setelah selesai, pakai tangan untuk berkumur. (ketrampilan pake tangan untuk menampung air pernah dikagumi Kimiyo ya heheheh). Betapa banyak air yang terbuang selama kita gosok gigi….dan itu tidak disadari. Berkat sensei itu, saya berusaha menampung air berkumur dalam gelas sebelum sikat gigi. Penghematan air….
Pemakaian WC tradisionil di Indonesia, yang dengan menyiramkan air memakai gayung setelah selesai sangat “ramah lingkungan” (environmental friendly) menurut saya. Saya membaca bahwa satu kali kita ‘flush’ WC dengan tuas [besar 大] berarti kita membuang 16-17 liter air….. Wah banyak sekali. Padahal memang di Jepang hampir semua WC mempunyai dua tuas, [kecil 小] dan [besar 大] jadis ebenarnya kita bisa memilih ingin memakai volume air seberapa banyak. Untuk yang ‘kecil’ bisa menarik ke belakang, sedangkan yang ‘besar’ menarik ke depan….. byuuuurrrr… Meskipun pada kenyataannya masih sedikit yang membedakan pemakaian besar/kecil ini. Memang mendengar air yang mengalir jika kita menarik ke depan ini juga rasanya “aman” karena pasti semuanya tersapu bersih…. tapi berarti kita membuang 16-17 liter sekali flush.
Pernah ada suatu acara di TV jepang yang menanyakan apa yang paling banyak memakai air :
1. bak mandi untuk berendam (seperti foto Riku dan Kai di posting bawah)
2. WC
3. Cuci Piring
4. Mesin Cuci Pakaian
Dan ternyata jawabannya adalah WC itu. Sempat saya berpikir Bak mandi yang berkapasitas 200 liter itu, tapi memang orang Jepang hanya masuk berendam 1 kali sehari. Sedangkan WC, berkali-kali sehari dikalikan berapa orang….. wahhh memang jumlah yang banyak. Saya tidak perhatikan WC di Indonesia apakah sudah ada pembedaan besar/kecil seperti di sini, tapi seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, WC tradisional yang jongkok dengan flush gayung itu memang yang paling hemat (selain mungkin buang air di kali ya…. tapi tidak hygienis)
Satu lagi yang saya mau tuliskan di sini, masih tentang pemakaian WC, terutama oleh wanita di Jepang. Mungkin banyak yang menganggap saya jorse tapi ini saya kaitkan dengan penghematan air. OK, begini… di tempat umum di Jepang, saya sering mendengar orang yang berada di bilik WC itu flush 2-3 kali. Langsung saya berpikir “kenapa sih? apa karena tidak bersih?”. Tapi ternyata saudara-saudara, ini hanya untuk menutupi rasa malu. Yup…. rasa malu kalau kedengaran “plung” nya itu. Jadi orang Jepang sering flush selama “proses” dan terakhir waktu selesai. Bayangkan saja 3 x 16-17 liter satu kali masuk WC umum loh….
Karena itu sebuah perusahaan sanitasi terkenal pada tahun 1985 mengembangkan suatu alat yang mengeluarkan bunyi air, dan dinamakan “Otohime 音姫”, jadi selama berada dalam bilik itu, bisa menekan tombol alat ini untuk menutupi “suara-suara” dan menghemat pemakaian air flush. Cukup sekali flush yang terakhir. Jadi jika ada di anatar teman-teman yang nanti akan ke Jepang dan melihat alat ini sudah tahu kegunaan alat ini. Suatu device …usaha untuk menghemat air yang saya rasa bagus sekali jika memikirkan kebiasaan wanita Jepang. Padahal saya pikir orang ke WC kan sudah tahu untuk apa…kenapa sih pake malu-malu. Dan saya tidak tahu apakah alat OTOHIME ini ada di WC laki-laki atau tidak, karena saya belum pernah masuk ke WC laki-laki (kalo saya masuk heboh kali ya heheheh).
Ada lagi penghematan air yang dilakukan oleh sebuah keluarga di Jepang yang mempunyai anak 5 orang. Biasanya memang jumlah anak di Jepang rata-rata 1-2 orang, tapi keluarga ini punya 5 anak…. Wah pengeluaran yang besar, bagaimana cukup gaji bapaknya untuk ber7. Dari acara TV itu saya lihat usaha-usaha yang mereka lakukan, yang mungkin sulit sekali untuk bisa saya praktekkan di keluarga saya. Usaha mereka misalnya:
– 5 anak bergiliran buang air kecil, tanpa flush…baru yang terakhir boleh flush (waaah kalau belum mau buang air kecil gimana coba?)
– Setiap anak hanya punya 2 pasang baju, satu yang dipakai, satu yang dijemur. Jadi tidak perlu lemari pakaian ( waaaahhh sulit deh)
– Kalau mau masuk ofuro (bak mandi) setiap anak bawa pet botol kosong 2 liter untuk pergi ke taman, dan mengambil air dari taman di bawa pulang. Bak mandi diisi setengah lalu 5x 2 liter pet botol dimasukkan sehingga tinggi air di bak bisa mencapai pundak…. (waaah ini sih mah memakai air umum… dianggap mencuri ngga ya?)
Akhirnya melihat acara TV tersebut membuat saya sadar….. jangan buat anak banyak-banyak di Jepang… susyah…. Cukup dua saja maximum hehehe… meskipun pemerintah memberikan tunjangan 10.000 yen untuk anak ke tiga dan selebihnya. Apa arti 10.000 yen untuk hidup di Tokyo??????
Saya sendiri berusaha menghemat air bak yang 200 liter itu dengan memakainya untuk mencuci pakaian. Karena sebetulnya air di bak itu masih bersih. Orang Jepang harus membersihkan badan dengan sabun dulu sebelum masuk berendam di bak. (baca Kei-chan dari Pemandian Fukunoyu)Sehingga air itu masih bisa dipakai untuk yang lain, misalnya mencuci pakaian, mencuci mobil, menyiram tanaman dll. (hmmm pergi ke pemandian umum (sento) juga merupakan salah satu usaha hemat air ya…. )
Banyak yang bisa kita lakukan sendiri untuk penghematan sumber air. Bagaimana dengan teman-teman, apakah secara sadar (environmental awareness)ikut mengadakan penghematan air ? Untuk listrik nanti di posting lainnya ya….
Selamat Ulang Tahun Pa!!! 70 tahun….. 七十歳お誕生日おめでとうございます. Niatnya papa dalam menghadapi ulang tahun istimewa ini sebetulnya adalah membuat buku tentang lingkungan dan atau pengalamannya selama ini, tapi karena sibuk meeting/rapat sana sini, dan mengurus cucu, belum sempat terealisasikan. Papa bilang; sejak pensiun dia jadi PENGACARA (Penganggur yang banyak acara). Saya tulis sedikit kenangan bersama Papa ya…. Mungkin banyak terms yang salah, but aku tulis saja dulu apa yang terlintas di pikiranku beberapa hari ini. (sudah dapat perbaikan langsung nih dari ybs hehehe)
Papa bekerja selama 35 tahun di Pertamina, dan setelah dipanggil Menteri KLH waktu itu Pak Emil pada tahun 1990, papa bekerja delapan tahun di Lingkungan Hidup (Bapedal) , menjadi Ketua IPLHI ( Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia) dan terakhir menjadi Executive Director IMA ( Indonesian Mining Association). Sementara itu setelah menjadi Alumni KSA III Lemhanas, Papa aktif sebagai Anggota POKJA SKA LEMHANAS(Kelompok Kerja Sumber Kekayaan Alam di Lembaga Ketahanan Nasional) Karir pertama papa di mulai di kilang SHELL Indonesia di Plaju ,bidang Pengolahan (eh bener ngga ya pa?), tapi kemudian juga menangani Lingkungan hidup dalam Pertamina sendiri di BKLL( Badan koordinasi Lindungan Lingkungan). Jadi papa sering harus pergi ke tempat-tempat yang terjadi kecelakaan untuk memonitor penanganan pertolongan sesuai dengan penanganan ramah Lingkungan. Karena tugasnya ini pulalah, saya mengetahui tentang proses penanganan limbah minyak jika tertumpah di laut/perairan. Atau jika terjadi kebakaran di kilang minyak darat/lepas pantai.
Saya juga masih ingat papa pernah mengisi rutin acara Dunia Minyak di TVRI. Saya yang masih kecil waktu itu duduk dengan manis di depan televisi, seakan-akan mendengarkan kuliah papa, mengisap memori gambar-gambar kilang eksplorasi dsb, padahal saya tidak mengerti apa-apa.
Papa memang guruku. Atau mungkin hanya saya yang mau mendengarkan kuliah ‘gratis’ papa dengan seksama dan alim, seakan-akan saya mengerti. Yang paling senang adalah menyambut papa pulang dari tugas di luar negeri, mendapatkan oleh-oleh (dasar anak-anak selalu minta oleh-oleh), dan kemudian makan bersama di meja makan sambil mendengarkan cerita papa mengenai perjalanannya waktu itu.
Sejak 1970 Papa memang sering ditugaskan ke luar negeri untuk Seminar,Conference ,Workshop dan Rapat Dinas dengan partner Pertamina. Setelah menjadi eselon I di pemerintah, Papa mendampingi Menteri Lengkungan Hidup di UNCSD (United Nations Council for Sustainable Development) di New York dan di Governing Council UNEP (United Nations Environment Program) di Nairobi (Kenya). Pengalaman yang sangat bersejarah baginya adalah ikut safari di malam hari di hutan Kenya. Dia sangat terkesan dengan melihat seekor Leopard yang besar berjalan dekat pohon dimana Papa berlindung. Leopard tersebut kelihatan sangat megah didalam kerajaannya waktu malam hari.
Papa juga sering mewakili instansinya di forum-forum luar negeri, bahkan sering memimpin delegasi Republik Indonesia ke Forum internasional seperti ASEAN Marine Pollution Experts Group , ASEAN sub regional group meeting, atau memimpin delegasi ahli standardisasi ke ISO TC 207 yang membahas standard ISO 14000 di Oslo (Norwegia) 1995, Rio de Janeiro (Brasil) 1996, Kobe (Japan) 1997. Bagaimana jalannya konferensi, Papa harus memimpin/ menjadi moderator simposium, atau papa bertemu dengan orang-orang terkenal si ini, si itu (Baca juga “ketik cepat=baca cepat”). Papa sudah mengunjungi kota-kota yang penting di pantai Timur,pantai Barat dan Mid west Amerika Serikat Demikian juga dengan pantai Timur dan pantai Barat Canada serta daerah sekitar Niagara dan Ontario.Kecuali Burma/Myanmar dan Laos,Semua negara ASEAN sudah dikunjungi. Praktis semua kota besar di Australia seperti Brisbane,Sydney,Melbourne,Perth,Fremantle dan Canbera sudah dikunjungi.
Dalam banyak kunjungan tersebut Mama diajak ikut,tentunya ticket Mama bayar sendiri tapi hotel dan transport boleh ikut Papa. Jadi Mama juga banyak melihat dunia (dan sering berjalan sendiri loh). Banyak negara telah papa kunjungi , dan setiap pulang dari negara itu, saya menemukan waktu berharga yang hilang karena sibuknya papa berkeliling dunia dan menjalankan tugas sehari-hari.
The important thing is the quality not the quantity of being together. Saat itu saya banyak bisa mendapatkan pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan orang-orang asing. Tidak jarang juga diselipkan humor-humor yang di dapat saat itu. Saking serunya papa bercerita kadang dia tidak menyadari bahwa yang mendengar omongannya waktu itu tinggal saya (do you remember those old day pa?).
Yang pasti sebelum saya berangkat ke Jepang papa selalu mengingatkan saya untuk berpikir berjenjang. “Imelda, kamu sering menganggap orang lain sudah tahu sehingga melompati urutan pemikiran. Dengan orang Jepang kamu tidak bisa begitu. Jangan dari A, B, lalu kamu lompat ke M, P dst. Orang Jepang tetap harus melampaui jenjang A, B, C, D….. dst. Sistematis. Jangan dilompati!! Ingat itu”. Dan berkat peringatan itu, saya berhasil mengubah kebiasaan saya yang melompati sesuatu, sehingga bisa bekerja/menjelaskan secara berurut… sistematis. Memang benar harus seperti itu karena orang Jepang kadang terlalu berpatokan pada Buku Manual. (Dan saya tidak pernah membuka buku manual jika harus set up komputer or elektroniks lainnya….sangat kontradiksi)
Cerita yang kadang membuat saya sedih, atau saya tahu papa juga sedih, adalah cerita jika orang-orang asing itu menanyakan papa lulusan universitas mana. UCLA? Barclay? Oxford?… then papa harus menjawab…. no I did’nt go to universities, I have no graduate tittle. Sampai lama-lama papa hanya menjawab ” Yes, I like fox”, then semua pikir papa lulusan dari Universitas yang berlambang fox (saya lupa universitas apa yang disebutkan). Papa berkata, yang penting saya tidak berbohong. Saya hanya mengatakan I like fox, not I went there. Menjadi sarjana adalah obsesi papa yang tidak bisa terpenuhi sampai saat ini. Karena itu papa selalu mengatakan kepada kami anak-anaknya untuk mengejar ilmu setinggi mungkin. Papa otodidak sehingga mendapat post-post tugas yang penting-penting itu tanpa gelar sarjana dengan kekuatan bisa berbahasa Inggris. Mana ada sih Eselon satu yang tidak bergelar sekarang? Sering dia memuat pidato atasan dalam bahasa Inggris, papers dalam bahasa Inggris dan mengisi majalah Science dan majalah lingkungan lain yang berbasis di luar negeri.
Saya dengar dari Tina, bahwa papa melarangnya untuk belajar bahasa Perancis jika belum menguasai bahasa Inggris… Tapi itu jaman nya, jaman dulu, karena jaman sekarang tidak bisa tanpa gelar kesarjanaan seberapapun pintarnya engkau dan seberapa kuatnyapun engkau berusaha. Karena dorongan dan dukungan papa itu maka kami ke tiga anak perempuannya bisa mendapatkan gelar minimal Master. Saya master pendidikan ( dari Yokohama National University, Jepang), Novita Doktor (PhD) in Microbiology (Melbourne University, Australia) dan Tina Master Arsitek (Yokohama National University, Jepang). Kecuali Tina, semua dengan beasiswa dari negara ybs. Sedangkan papa tetap harus puas dengan sebutan “Sdr” di depan namanya dan menghibur diri dengan mengatakan my title is “Senior Doctor abv Sdr“. I still remember how proud he was when he attended my graduation day from University of Indonesia.
But you have to know papa…. You are our Proffessor in many aspects especially for me. I am proud of you. I want to write more about you someday. But for today… Happy Birthday, my dearest Papa from your eldest daughter.