Bouya

6 Mei

Bouya 坊や adalah sebutan kesayangan untuk anak laki-laki di Jepang. Bahasa resminya otoko no ko 男の子, tapi seperti kalau di Indonesia menamakan anak laki-laki dengan bocah atau buyung, di Jepang juga sering memanggil anak-anak laki-lakinya dengan bouya.

Koinobori

Tanggal 5 Mei adalah hari khusus untuk anak laki-laki, yang berasal dari perhitungan kalender China Kuno yang disebut dengan sekku. Hari libur ini merupakan serangkaian hari libur di akhir April dan awal Mei yang disebut Golden Week (Minggu Emas) di Jepang. Berdasarkan hukum Hari Anak-anak diperingati sejak tahun 1948 dan ditetapkan dengan undang-undang hari libur Jepang (Shukujitsu-hō) untuk “menghormati kepribadian anak, merencanakan kebahagiaan anak sambil berterima kasih kepada ibu.”

(dari kiri-kanan) Papa Gen - Om Taku - Nobu - Kai
judul: Tukeran anak? (dari kiri-kanan) Papa Gen - Om Taku - Nobu - Kai

Kira-kira sebulan sebelum hari ini, di tiap rumah yang mempunyai anak laki-laki akna menghias rumahnya dengan bendera berbentuk ikan koi, yang disebut Koi Nobori. Semakin kaya keluarga itu, semakin besar dan bagus bender yang dipasang. Karena kami tinggal di mansion (apartemen) jadi tidak memasang bendera seperti itu (sekipun saya tahu ada 2-3 keluarga yang memasang di teras rumahnya). Dan biasanya kakek-nenek lebih antusias merayakan upacara anak laki-laki ini dibanding dengan keluarga muda sekarang.

Jaman dahulu, untuk merayakan hari anak laki-laki ini, keluarga akan membelikan replika baju samurai yoroi, topi/helm samurai kabuto, dan sebagai tambahan patung anak laki-laki kuat dalam dongeng Kintaro. Semakin besar, semakin lengkap menunjukkan kekayaan keluarga itu. Dan  memang harga satu set perlengkapan ini tidak main-main loh. Satu kabuto helm samurai saja, saya lihat berlabelkan harga 250.ooo yen di sebuah departemen store terkenal. Baru kabuto, belum yoroi (yang biasanya jarang dipunyai).

Tapi sekarang karena keluarga muda banyak yang tinggal di apartemen, tidak ada tempat untuk meletakkan perhiasan seperti itu, sehingga semakin kecil semakin bagus (meskipun harganya belum tentu semakin murah hehehe).

Kai - Nobu - Riku

Tahun ini kami memperingati hatsu sekku, peringatan anak laki-laki pertama untuk Nobu (10 bl), sepupu Riku dan Kai. Jadi seperti biasa kami berkumpul di rumah mertua di Yokohama. Di sana sudah terhias satu set perhiasan yoroi dan kabuto yang sudah berusia 60 tahun lebih (yang dibelikan untuk bapak mertua saya olehbapak-ibunya). Biasanya kami mengadakan pesta di rumah, tapi karena kali ini dihadiri oleh besan, orang tua adik ipar saya, maka acara makan-makan diselenggarakan di sebuah restoran dekat rumah.

Sulit sekali untuk mengumpulkan kami yang memang tinggal di berlainan kota, apalagi mengumpulkan ke tiga cucu keluarga Miyashita untuk bisa berpose dengan baik, tanpa menangis, di depan hiasan untuk diambil fotonya. Well, yang penting ketiga cucu laki-laki ini bisa hidup sehat dan menjadi besar dan kuat, serta berbakti pada orang tua.

Imelda - Nobu - Om Taku
Imelda - Nobu - Om Taku

Anda juga bisa membaca tulisan saya tahun lalu tentang “Hari Anak Laki-laki“.

Tambahan informasi:

Ada pula  upacara untuk anak perempuan yang dirayakan tanggal 3 Maret,  yang sering disebut dengan Hina Matsuri. Saat ini menghias rumah dengan hina ningyo (boneka hina)

Jumlah anak-anak berusia 15 tahun ke bawah menurut data 1 April 2009  sebanyak 17.140.000, lebih sedikit 110.000 dibanding tahun sebelumnya dan sudah 28 tahun berturut-turut mengalami penurunan jumlah.

Kai dan mama kampai!!!
Kai dan mama kampai!!!

Pengalaman Demokrasi -1-

4 Mei

Saya tidak mau berbicara tentang politik di Jepang. Buat apa? Saya bukan ahli politik, dan sedapat mungkin saya selalu menghindari pelajaran politik. Karena itu saya tidak mau masuk ke jurusan Sejarah di sini, karena pasti dong saya akan bertemu dengan politik di jurusan Sejarah. Saya pilih jurusan pendidikan meskipun saya harus jungkir balik belajar semuanya dari awal. (Tema saya adalah sejarah pendidikan)

Tapi, kebetulan waktu saya baru datang ke Jepang, saya tinggal bersama keluarga politikus. Ya bapak-semang saya adalah (mantan) anggota parlemen Jepang dari partai Liberal Demokrat. Seorang laki-laki bertubuh tinggi,  boleh dibilang cakap, berkacamata dan…. bodynya OK. Untuk pria seumuran dia banyak yang perutnya buncit, tapi dia tidak. Karena hobinya adalah lari marathon. Tidak heran kalau tidak ada janji khusus, dia akan lari dari rumah ke kantornya yang berjarak kurang lebih 30 km setiap pagi. Pernah dia mengajak saya ikut dia, but …no way deh bisa-bisa aku semaput di jalan.

Karena saya mahasiswa asing, dan waktu itu juga sedang menerima beasiswa dari pemerintah Jepang, saya tidak boleh ikut aktif dalam politik praktis. Padahal sebetulnya banyak kesempatan untuk bisa “menyelusup” ke kantor persiapan kampanye bapak semang saya itu, dan melihat-lihat kegiatan itu dengan mata kepala sendiri. Tapi daripada merepotkan banyak pihak, saya tidak bisa melakukan hal itu. Satu-satunya yang saya bisa lakukan, hanya melambaikan tangan dan memberikan semangat padanya, waktu dia berpidato di stasiun dekat rumah kami.

Merupakan kebiasaan kampanye di sini, bahwa si calon harus turba, mengenal warganya, dan tempat yang paling praktis adalah stasiun. Berdiri memegang mike, berbicara tentang pandangan politik dan program- programnya,  sambil sesekali mengucapkan terima kasih pada warga yang “sudi” mendengar ocehannya. Seperti yang si bapak-semang teriakkan pada saya, waktu saya beri  lambaian tangan, “Itterasshai…. gambattene (Selamat pergi…. selamat belajar ya!)”. Untung dia tidak sebut nama saya, kalau tidak malu deh jadi pusat perhatian. Orang asing yang disapa oleh Mr. K.

Untuk calon yang baru terjun ke kancah politik, belum banyak pengikut dan pembantu, dia hanya berdiri seorang diri di depan stasiun. Tapi bagi yang sudah punya banyak pendukung, pasti ada beberapa orang pendukungnya yang berdiri dengan membawa bendera bertuliskan nama calon. Ada juga yang membagikan selebaran tentang temuwicara di suatu tempat dll. Tidak boleh membagikan uang dan barang meskipun hanya tissue. Well, memang strick sekali hukum  di sini.

Ada satu lagi cara selain berpidato di stasiun, yaitu dengan berkeliling wilayah pemilihannya naik campaign car, mobil kampanyenya yang di bagian atasnya bisa menjadi tempat berdiri untuk pidato. Pakai mike, memperkenalkan diri dan mohon dukungan, sambil melambaikan tangan ke warga yang sedang jalan, atau ke arah rumah /mansion/apartemen yang dilewati. Calon yang baru, yang masih sedikit pendukungnya biasanya tidak mempunyai mobil kampanye, sehingga tidak jarang juga terlihat jalan kaki atau naik sepeda. Tentu saja sekaligus mengumandangkan hidup sehat dan mendukung lingkungan yang bersih dan sehat. (Tentu saja si bapak semang juga pernah kampanye dengan lari marathon loh. Yang kasihan sekretarisnya harus ikut lari juga di belakangnya)

Baliho? tidak ada. Baliho boleh dipakai dalam gedung saja, misalnya waktu mengadakan ceramah politik di sebuah aula. Yang boleh dipasang di jalan umum hanya poster seukuran karton manila yang bisa dipasang di dinding/pagar rumah dari pendukungnya. Isi poster tentu saja foto muka si calon, nama (tanpa gelar) dan sepatah slogan politiknya.  Tentu saja poster ini bisa dipasang juga di papan besar yang memuat semua poster calon, yang dipasang di tempat-tempat strategis persis beberapa hari sebelum pemilihan (supaya tahu orangnya yang mana).

Pada hari pemilihan, saya ikut duduk di depan televisi untuk melihat hasilnya, sedangkan Mr K dan istrinya berada di kantor kampanye, untuk bersiap merayakan kemenangan, jika menang (selama saya tinggal di Jepang baru satu kali periode saja dia kalah). Yang hebat, penghitungan suara itu selesai dalam malam yang sama dan sebelum malam berlalu sudah tahu siapa saja yang bisa menjadi anggota parlemen. Semua penghitungan bisa diikuti di televisi.

Tapi selain memenangkan kursi di parlemen, ada lagi saat mendebarkan lainnya yaitu apakah dia terpilih menjadi anggota kabinet atau tidak. Sayang sekali waktu Mr K terpilih jadi Menteri Pendidikan, saya sudah lulus program pasca sarjana, dan sudah mandiri tinggal sendiri di apartemen yang berjarak hanya  2 menit dari rumahnya.

Kalau dipikir memang saya banyak pengalaman yang mungkin belum tentu bisa dirasakan mahasiswa asing lainnya. Namun saya tidak bisa menuliskannya semua karena menyangkut privacy yang sangat ketat di Jepang. Karenanya saya tidak mencantumkan nama asli keluarga induk semang saya, apalagi foto-fotonya. Padahal sebetulnya saya ingin sekali pasang foto waktu “manjat” naik mobil kampanye hanya untuk berfoto sebelum pindah rumah.

Nah, ini pengalaman saya pertama kali mengenai demokrasi di Jepang. Setelah ini saya ingin menceritakan soal  demokrasi praktis, yang saya alami sendiri dalam bermasyarakat baru-baru ini, yang cukup membuat saya tertawa…” Ohhh gini toh caranya di Jepang!”. Tunggu ya…..

Berburu Conan

3 Mei

Sabtu malam minggu aku pergi date dengan two georgeus boys in the block. Pasalnya, Gen  sedang pergi ke sebuah seminar dan pameran seorang pengarang kesukaannya, alm. Yonehara Mari 米原万里. Tapi karena pameran itu diadakan di Ofuna, 3 jam dari Tokyo, jadi pulangnya dia menginap di rumah orangtuanya di Yokohama. Jadi deh aku bertiga dengan anak-anak saja di rumah, dan malas masak. Lagi pula aku sudah berjanji pada Riku untuk pergi ke Mac Donalds, untuk membeli Happy Set dengan hadiah Mainan berkarakter Conan.

Aku  tidak tahu seberapa terkenalnya Conan di Indonesia, tapi aku tahu beberapa orang yang getol dengan anime detective Edogawa Conan ini. Aku juga termasuk senang menonton animenya (yang lumayan panjang dari ceritanya biasanya panjang) , meskipun tidak segetol menonton BlackJack. Nah ceritanya Sabtu malam itu, kami akan memburu (mainan) Conan.

Mau naik mobil, malas…. membayangkan macet di mana-mana karena sedang libur panjang Golden Week. Mau naik sepeda sampai stasiun, capek… membayangkan harus membonceng dua anak dan juga gelap. Jadi kuputuskan naik bus ke stasiun. Riku sudah biasa naik bus, tapi Kai jarang sekali, sehingga dia kegirangan bisa naik bus. Dan karena Golden Week anak-anak usia SD cukup membayar 50 yen saja. (biasanya 110 yen- di bawah usia SD tentu saja gratis). Lucky!

Tapi begitu sampai di Mac D, ternyata hadiah Conannya tinggal 2 pilihan dari 6 pilihan. Rupanya banyak yang mengumpulkan mainan gratisan dari Mac D ini. Jadi dengan membeli 2 set Happy set, kami mendapatkan 2 buah/jenis mainan Conan. Melihat aku menggendong Kai, sedangkan masih harus naik tangga ke atas, pelayan Mc D ini menawarkan bantuan untuk membawakan sampai atas. Well, thanks for the hospitality.

Yang lucunya, di dekat kami duduk, ada dua gadis SMA yang selalu melihat ke arah Kai. Sambil  giggle mereka berkata, “Aduh itu anak lucu banget sih… ehh dia liatin kita juga”… kasak kusuk… dan aku pura-pura cuek. Ibu mana sih yang tidak suka kalau anaknya jadi pusat perhatian (karena lucu, bukan karena nakal hihihi). Dan mengetahui dia diperhatikan, Kai menjadi malu, dan sembunyi-sembunyi dia juga memperhatikan dua gadis itu. (Wahhh anakku yang ini kayaknya kalau gede bisa lebih bermasalah daripada kakaknya hihihi). Aku geli aja melihat dia yang malu-malu tapi mau.

Dan terbahaklah aku waktu dua gadis itu pergi, si Kai mengikuti dengan pandangan kecewa, seakan berkata “Yaaah ngga ada yang peratiin gue lagi dong”. Mengetahui Kai tetap memandangi mereka waktu akan pergi, mereka berbalik dan melambaikan tangan ke Kai. Serta merta Kai membalas lambaian tangan si cewe-cewe itu. Dooohhhh….

Waktu Riku kecil, dia selalu cool. Pasang harga. Tapi si Kai, memang dari kecil suka mengumbar senyum dan suka memperhatikan orang-orang terutama yang berjenis kelamin perempuan hehehe. Apa zodiak berpengaruh ya? Riku Pisces, sedangkan Kai Cancer.

Berburu Conannya, kami lanjutkan Minggu sore waktu Gen pulang dengan pergi ke gerai yang agak jauh dari rumah naik mobil. Hasilnya sama saja, cuma ada satu yang kami belum punya. Sebetulnya apa sih 3 pilihan yang lainnya sampai laris begitu? Ternyata mainan berbentuk HP,  berbentuk laptop dan satu lagi camera. Jelas laris….

(sumber gambar dari MacDonald Japan)

Yang pasti untuk sementara waktu aku ngga bakal kepengen makan hamburger lagi… ngeliatnya aja udah mabok (baca eneg)  hehehe. Ini dia yang namanya belanja bukan untuk barangnya tapi untuk hadiahnya hehehe.

5:30

2 Mei

Setiap hari, kecuali hari Rabu, saya menitipkan Kai di penitipan sampai jam 6 sore. Kebetulan sekali saya setting mulai dari jam 8 pagi sampai jam 18:00 untuk  4 hari seminggu sejak bulan April.  Sehingga begitu ada telepon dari Paulo Berwanger, mantan rekan penyiar radio InterFM, yang juga CEO nya Praia KK, yang menawarkan pekerjaan terjemahan sebanyak 200 halaman, langsung saya OK-in (tanpa menanyakan deadlinenya kapan … stupid hehehe) .

Riku biasanya berangkat dari rumah pukul 7:45 , mampir ke rumah Fuuka chan jemput dia, atau jika ada sempai (kakak kelasnya) yang lewat di jalan, dia mengikut dari belakang. Nah saat itu juga Kai bersikeras untuk pergi ke luar… sibuk mengambil kutsu くつ (sepatu) dan kutsushita くつした (kaus kaki) , sambil marah-marah minta dipakaikan. (Anak ini benar tidak sabaran deh hihih). Jadi pukul 7:45 itu Riku, Kai dan saya keluar rumah dan pergi ke tujuan masing-masing. Setelah antar Kai ke penitipan saya kembali lagi ke rumah dan bekerja di rumah atau ke universitas kalau hari Jumat.

Nah biasanya pukul 5:30 sore saya berangkat dari rumah naik sepeda ke arah stasiun untuk menjemput Kai. Ada suatu tanda yang membantu saya mengingatkan bahwa sudah jam 5:30 sore. Yaitu sebuah bel dengan alunan lagu yang dikumandangkan ke seluruh wilayah Nerima-ku (mungkin, tapi yang pasti di daerah saya ya. Dan dulu di Meguro saya juga pernah dengar, rupanya tergantung pemdanya) . Serentak disampaikan pengumuman sebagai berikut:

“Yoiko no minasan, go jihan ni narimashita. Soto de asondeiru kodomo wa ouchi ni kaerimashou” . 良い子の皆さん、五時半になりました。外で遊んでいる子どもはおうちに帰りましょう。

artinya begini,

“Anak-anak yang baik, sudah jam setengah enam sore. Mereka yang masih bermain di luar, pulanglah ke rumah”.

Pengumuman ini terdengar sampai di seluruh pelosok karena pakai pengeras suara yang dihubungkan ke kantor kelurahan Kuyakusho 区役所. Selain sebagai pengingat bagi anak-anak, juga menjadi semacam alarm bagi semua warga. Memang di Jepang biasanya makan malam mulai jam 6 (bagi yang punya anak kecil).

Satu lagi keuntungannya dengan adanya pengumuman ini adalah bahwa pengeras suara itu masih bekerja dengan baik, sehingga jika terjadi gempa bumi besar, dan perlu mengumumkan kebijakan pemerintah daerah, pengeras suara ini terbukti bisa dipakai. Saya juga pernah memang mendengar suatu pengumuman penting (meskipun lupa tentang apa) yang disampaikan lewat pengeras suara ini. Kadang ada juga latihan menghadapi bencana alam lewat pengeras suara ini.

Jadi kalau di Indonesia biasanya saya mendengar suara azan subuh dan magrib dari mesjid terdekat, atau lonceng gereja setiap pukul 12 siang, kalau di Jepang hanya mendengar bell dan pengumuman itu setiap pukul 5:30 sore saja. Pagi hari? tidak ada … paling-paling lonceng sekolah hehehe.

Satu lagi tatanan bermasyarakat di Jepang, yang saya rasa bagus dan berguna.

70 hari lagi

29 Apr

Ah aku sudah tidak pintar berhitung. Dan tidak mau berhitung untuk hal ini. Meskipun sebenarnya harus memperhitungkan masak-masak sebelum bertindak. Siapa saja calonnya pun aku tak tahu (bisa klik di situ juga kan mel… nanti deh aku lihat). Tapi sebagai warga negara, yang mempunyai hak, akan kupakai hak itu. Ya, hak untuk memilih Presiden.

70 hari menuju pilpres ini saya tahu dari situs PPLN Tokyo. Dan di situ juga diberitahukan bahwa pendaftaran pemilih dan verifikasinya diperpanjang sampai 10 MEI 2009. Jadi untuk semua warga negara Indonesia yang berdomisili di JEPANG, silakan daftar lewat situs tersebut. Anda juga bisa tahu hasil pemilihan caleg kemarin di situs itu (Yang belum saya buka, dan tidak tahu siapa yang terbanyak). Pokoknya ke situs itu saja deh, jika Anda masih mau memakai hak pilih Anda. Ingat…. sampai 10 Mei saja.

Selamat memilih ….

PPLN Tokyo sudah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009 berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif 2009.

Silakan mengecek data Anda di http://pilpres.pplntokyo.org

Bagi pemilih yang sudah terdaftar di Pemilu Legislatif tetap diharuskan melakukan verifikasi data pemilih.

Bagi pemilih yang belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara, dapat melakukan pendaftaran baru di link yang sama.

Batas akhir pendaftaran Pilpres adalah 20 April 2009 10 Mei 2009.

PPLN Tokyo

Kebetulan pas tanggal 18 April lalu, saya ikut rapat KMKI di Sekolah Republik Indonesia Tokyo, dan itu berbarengan dengan pembukaan surat suara yang dikirim lewat pos. Hei, ada tuh satu lembar punya saya….

suasana pembukaan surat suara, sayang saya ngga boleh masuk hehehe
suasana (sesudah) pembukaan surat suara, sayang saya ngga boleh masuk hehehe

Kartu Nama

28 Apr

Ada satu hal yang kadang saya rasakan kurang ketika bertemu dengan teman-teman lama atau teman-teman baru, baik waktu reuni, maupun  kopdar blogger di Indonesia. Yaitu tidak adanya kebiasaan untuk bertukar kartu nama. Seperti saya dengan Lala, saya tidak punya kartu namanya, sehingga kalau saya mau mengirim sesuatu, saya harus menanyakannya via email atau sms. Dari sekian banyak blogger/teman lama yang pernah saya temui, mungkin hanya 5-10 lembar kartu nama yang pernah bertukar tempat dengan kartu nama saya.

Mungkin memang cukup dengan nama, blog dan email saja. Tapi mungkin karena saya sudah (seperti) orang Jepang, maka saya merasakan ada kejanggalan. Ya, di Jepang, jika mau bertemu dengan seseorang , harus menyiapkan KARTU NAMA atau MEISHI  名刺. Kalau tidak membawa, seakan kamu tidak “serius” dalam berkenalan, dan saya yakin, kamu akan kehilangan chance untuk mendapatkan pekerjaan. Terutama untuk orang seperti saya yang freelancer, then don’t leave home without it! (kalau Anda hanya ibu rumah tangga tentu saja tidak perlu, sekarang cukup tukar menukar nomor HP dan email HP saja!)

Tidak berbeda dengan di Indonesia, Kartu Nama di Jepang tentu saja memuat Nama, Alamat dan Nomor telepon. Untuk bisnis, biasanya hanya mencantumkan alamat dan nomor telepon kantor, nomor HP dan email HP. Dan untuk kalangan entertainer (maklum pernah bekerja di Radio) biasanya dipasang juga foto wajah (bukan pas photo).

kartu nama ini sempat saya pakai sebentar, tapi sekarang sudah habis

Nah ada satu fenomena yang menunjukkan bedanya masyarakat Jepang dan Indonesia mengenai pendidikan. Dan ini saya sering pakai untuk menjelaskan mengenai Gakureki shakai 学歴社会 society which places excessive [undue] emphasis on academic records . Dalam kartu nama saya yang berbahasa Jepang, tidak pernah saya cantumkan gelar kesarjanaan saya. Tetapi dalam kartu nama yang berbahasa Indonesia “terpaksa” saya pasang gelar itu. Saya selalu memberikan contoh kartu nama orang Indonesia misalnya Prof. Dr. H. Alibaba SE, MA, MSc dst dst. (Jadi bahan juga untuk menjelaskan singkatan apa saja itu, termasuk bedanya singkatan dan akronim). Saya rasa sedikit sekali orang Indonesia yang “tidak mau memamerkan” gelar mereka yang panjang-panjang itu. Lah…untuk dapatkannya juga susah payah …mungkin itu alasannya. Dan inilah gakureki shakai… yang jumlah elite berpendidikan masih sedikit (dibanding Jepang), sehingga gelar yang didapat haruslah dipajang.

Saya tidak bermaksud mengritik siapa-siapa, lah wong saya juga akhirnya pakai penulisan gelar itu karena memang masyarakat Indonesia menuntutnya. Sayang saya tidak sempat memotret baliho-baliho caleg di Indonesia waktu itu. Duuuh banyak sekali gelar kesarjanaan yang saya TIDAK TAHU singkatan apa itu. Coba lihat poster caleg Jepang! tidak ada satupun yang memakai gelar kesarjanaan. Dan memang pada dasarnya gelar kesarjanaan TIDAK ditulis. Lulus Universitas itu atarimae 当たり前, lumrah. Gelar kesarjanaan hanya dipakai di biografi buku yang ditulisnya, atau di seminar-seminar ilmiah.

Ada satu cerita lucu yang saya dapatkan dari teman saya. Dia cerita begini:

“Mel, kamu punya kebiasaan nulis sesuatu ngga di kartu nama orang?”
“Ya dong, biasanya tulis pake pensil, ketemu kapan, di mana”
“Tulis ciri khas orang itu ngga?”
“Hahahahahaha … iya, abis orang jepang kan mirip semua. Kadang aku tulis berkacamata, atau pinter bhs indo, atau cantik, atau spt somebody dll”
“Nah …. ini kejadian. Aku dan temanku pergi bertemu orang Jepang. Setelah selesai, kita masih ada di kantor itu beberapa saat, sambil ngopi di coffee shopnya. Terus temen gue ini pergi ke WC. Di situ ketemu dua kartu nama yang jatuh. Ternyata itu kartu nama kita. Dan……

“Hahahaha ada tulisan apa di belakangnya?”
“Ah elu mel, nyela aja. Iya gitu deh, ternyata si Jepun itu tulis ciri khas kita. Nah si temen gue ini sampai pucet, ternyata di kartu namanya ditulis cerewet, gendut, rambut kriwil. Sebel banget dia.
“Haahahaha. Makanya kalo nulis di kartu nama orang tuh yang bagus-bagus aja. Atau jangan pake bahasa yang bisa dimengerti orang lain. Kode dong kode…..”
“IYAAAAA…. tapi kan ini orang Jepang. Dan lu tau ngga di kartu nama gue ditulis apa? Si temen gue ini sampe ngga mau kasihin ke gue, takut gue marah.
“Apa? Gendut? ”

“Masih mending… ditulis HAGE はげ alias BOTAAAAAAAAAAAAAAAKK!”

“Hahahahahahahahaahah…. sorriiiiii but…. abis …. gimana lagiiiiiii”
“Sompret bener tuh orang”
“Hahahaha….. ya sudah… abis mau digimanain lagi kan? ”
“Iya…sekarang masalahnya. Dia ngejatuhin kartu nama kita nih kan. Nah kalo dia mau urusan sama kita kan ngga bisa jadinya. Dia mungkin cari ke WC. Tapi itu kan udah kita ambil. Mau kita balikin, ntar diambil org lain gimana? NAHHHH, kalo kita kembaliin ke YBS, lebih gawat lagi dong. Dia akan tahu kalo kita udah baca “MEMO” dia di kartu nama itu kan. Mazui まずい。 Payah!”
“Hahahahahahha… buah simalakama ya…. susyah deh. Ya diemin aja lah, mustinya dia bisa usaha tanya temennya yang lain atau gimana.”
“Ho oh. Cuman gue kan KESEL banget ditulis gitu”

Cerita nyata dengan sedikit modifikasi. Untuk yang merasa sorry ya …. hehehe.

So, hari ini tentang Kartu Nama ada dua pelajaran penting yang harus dihapal:

1. Selalu siapkan kartu nama jika bertemu dengan orang Jepang
2. JANGAN menulis yang negatif sebagai keterangan di kartu nama orang lain.

eh yang ketiga:

3. JANGAN menjatuhkan kartu nama orang lain di tempat senonoh….hihihihi  (Kalau kartu nama sendiri sih namanya promosi atau cari masalah hihihi)

Mana kelingkingku?

27 Apr

***Posting ini adalah isi Kebaktian Paskah Oikumene KMKI yang dilaksanakan hari Sabtu, 25 April lalu, di gereja Anselmo, Meguro. ***

Dua jari kelingking yang hanya separuh, rajah bak baju menempel abadi, itu hanya penampilan luar yang tidak bisa berubah dan tak bisa diubah siapapun juga. Tapi Hati dan Keinginan hidup yang pernah ingin dibuang, tidak ada yang tahu perubahannya kecuali dia dan Tuhannya.

dua kelingking yang hanya separuh dan rajah di badan

Adalah seorang Suzuki Hiroyuki yang memukau 70-an orang Indonesia di Gereja Meguro, Sabtu lalu. Dengan semangat yang diselingi usapan air mata, dan sesekali gelak tawa mengalirlah cerita mengenai kekuatan “Sang Pemberi Hidup” pada hidupnya.

Pada usia 17 tahun memasuki dunia hitam Yakuza, gangster di Jepang. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa untuk menjadi Yakuza, seseorang harus mengorbankan separuh jari kelingkingnya. Belum lagi tato sekujur badan. Tidak ada rasa sakit bagi Yakuza, karena hidupnya harus TEGA untuk kekerasan. Kalau perlu membunuh orang.

Dan selama 17 tahun, Suzuki muda ini menjalani hidup yang seenaknya, sampai membuang istri dan anaknya. Sampai saat 17 tahun sesudahnya, dia diusir dari kelompoknya.  Tidak ada tempat berlindung. Dia dikejar-kejar oleh musuhnya yang lain karena ada hutang juga. Dia tidak punya apa-apa lagi, karena dia juga telah memutuskan hubungan dengan istrinya. Tidak ada saudara, tidak ada uang, tidak ada pekerjaan. Siapa yang mau mempekerjakan seorang “bekas” Yakuza?  Salah-salah orang yang mempekerjakan dia akan dibunuh dan dijadikan target juga oleh gerombolan Yakuza yang lain.

Salah satunya jalan adalah bunuh diri. Tapi saat itu dia bertemu dengan seorang pendeta. Yang memberitahukan bahwa ada “Yesus” yang telah mati untuk dia, orang yang tidak berguna itu. Jika kamu percaya, maka apa saja akan bisa dilampaui. Dan ingat… “Yesus tidak pernah mengatakan hidupmu akan MUDAH, tapi bahwa engkau akan diselamatkan”.

Siapa sangka dengan penampilan seperti ini, beliau adalah mantan Yakuza?
Siapa sangka dengan penampilan seperti ini, beliau adalah mantan Yakuza?

Tidak mudah membuang masa lalu. Sekitar 17 tahun yang lalu, dia memanggul salibnya sampai ke Hokkaido. Dia ingin merasakan penderitaan Yesus sendiri. Sambil berjalan dan mendengarkan, bertukar pikiran dengan umat Kristen Jepang yang sangat sedikit.

Di suatu tempat dia berjumpa dengan seorang nenek berusia 86 tahun yang beragama Kristen. Lalu dia bertanya pada si Nenek,

“Nek, apa yang kamu rasa paling sulit dalam hidup beragama?”

Si Nenek berkata:

“Saya percaya Tuhan. Percaya saja itu mudah. MUDAH sekali. Tapi yang sulit adalah… TERUS PERCAYA.”

Sebagai umat baru, yang baru menerima Yesus, atau yang baru menganut agama, biasanya semanagat masih menyala-nyala. Tapi setelah sekian lama, banyak mengalami hal-hal sulit, yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Di situ lah tantangan untuk TETAP percaya bahwa Tuhan itu ada. Begitu mudah kita akan jatuh lagi ke dalam Ketidakpercayaan kita.

Saya tidak bisa menuliskan kembali kesaksian Pendeta Suzuki ini semuanya. Ada cerita yang lucu dikemukakannya, ketika dia memanggul salib, dia diminta untuk berbicara dalam acara agama kristen di televisi. Dia pikir, acara itu disiarkan hari Minggu, pagi lagi, tentu tidak ada teman yakuza yang akan menonton acara religius seperti itu. TAPI dia salah…. ternyata ada orang yang tahu, dan seluruh dunia yakuza tergoncang. Apalagi si penagih hutang yang akhirnya mendatangi dia. Saat itu dia sudah hidup bersama istri dan anaknya kembali. Betapa takutnya dia menghadapi kawanan Yakuza itu, tapi ternyata Tuhan melindungi dia, melalui tangan anak kecil, anaknya sendiri, yang tidak takut-takut, membelai kepala botak si Yakuza, dan bermain di sebelahnya. Sampai si Yakuza itu malah mengeluarkan dompet dan memberikan uang 20.000 yen untuk uang saku si anak. Tuhan bekerja!

Suzuki Sensei ini juga merupakan satu-satunya orang Jepang, Kristen yang diundang dalam acara makan pagi kenegaraan di Washington DC. Presiden Clinton hanya berpidato 5 menit.  Pendeta Billy yang terkenal itu hanya punya plot waktu 5 menit. Tapi Pendeta Suzuki ini mendapat waktu 15 menit + termasuk terjemahan. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak bisa masuk Amerika karena pernah di”pulangkan” karena tidak bervisa waktu ke Hawaii.

Banyak buku dan ada sebuah film yang dibuat berdasarkan jalan cerita hidup Pendeta Suzuki. Sayangnya masih berbahasa Jepang.

Kai dan Banner

Saya merasa beruntung bisa mendengarkan langsung kisah hidupnya, hari Sabtu yang lalu. Meskipun dalam hujan, saya berhasil datang ke gereja bersama Kai dan Riku naik bus dan kereta. Karena hujan, hanya 70 umat kristen dan katolik Indonesia berkumpul di Meguro.Tapi dengan sukses 70 orang ini menghabiskan jatah makan 200 orang, makan nasi kare, bubur ketan hitam dan masih bisa membawa bekal pulang ke rumah. Ya kami semua bisa membawa pulang bekal makanan jasmani, tapi yang terutama bekal makanan rohani yang memperkuat iman untuk TETAP percaya pada TUHAN.

Petinggi KMKI Pdt Atsumi, Pdt Suzuki, Rm. Harnoko, Rm Leo, Pastor Caleb
Petinggi KMKI Pdt Atsumi, Pdt Suzuki, Rm. Harnoko, Rm Leo, Pastor Caleb

DVD dan Buku-buku karangan Pdt Suzuki:

Last Supper @ Sunset Cafe

23 Apr

Beberapa hari terakhir ini saya memang memasang status di YM dan GTalk saya dengan “Last Supper” dan “Sunset Cafe”.  Sampai Mbak Noengki menyapa saya dan berkata, “Duh enaknya yang online di Cafe“. Padahal itu tidak benar, karena sebetulnya Sunset Cafe tidak ada di kenyataan (Baru-baru ini saya googling ternyata ada yang baru buka di cafe di pulau Bali, padahal sebelumnya — well 10 tahun yang lalu belum ada. Sampai pernah saya dan teman Suto san bilang kita buat di Jakarta yuuuk ). Dan bagi pendengar setia “Gita Indonesia” di InterFM 76,1 masih ingat tentunya lagu ini. “Sunset Cafe” oleh Rita Effendy, karena lagu ini salah satu lagu kesayangan yang sering saya putar.

Bias jingga senja menjelang
senandung ombak berkumandang
matahari turut terbenam
mengiringi angan kita

Secangkir cappucino panas
berbagi mimpi menembus batas
sekumpul nyiur tersenyum
mendengar janji kita

Reff.
Di Sunset Cafe kita bersama
di Sunset Cafe kita berdua
di Sunset Cafe kita bercinta
memandang lautan lepas
khayalan kita seakan jadi nyata…
di Sunset Cafe

Kecupan hangat pipi kiri
terasa menggetarkan hati
redup lilin-lilin menyala
melihat gairah kita

Cinta bersemi di Sunset Cafe
angan melambung di Sunset Cafe
hasrat membara di Sunset Cafe
cinta yang indah ini
terukir di Sunset Cafe

Irama yang enak didengar dan sambil membayangnya Tasogare, Twilight, Senja ….. saya hirup cappucino panas. Hmmmm…..

Lalu apa hubungannya dengan “Last Supper”. Kalau saya tulis 2 minggu yang lalu tentu semua tahu yang saya bicarakan adalah perjamuan terakhir Yesus bersama 11 orang muridnya. Dan topik “Last Supper” ini muncul kembali hari Senin yang lalu, tanggal 20 April.

Hari itu, saya sempat pergi “date” untuk lunch, dan menikmati makanan Perancis-Jepang di sebuah restoran di Kichijoji. Kaisen Shokudo, sebuah restoran yang kadang kami datangi untuk menjamu tamu atau merayakan pesta dengan jumlah orang yang sedikit. Hanya 14 tamu yang biasanya bisa masuk, sehingga harus menelepon dulu sebelumnya untuk memesan tempat. Makanan juga dipesan sebelumnya, pilih course dengan menu main dish saja yang berbeda, dan harganya tergantung mau half course atau full course. Kalau siang ada lunch course.


Mungkin untuk laki-laki, makan “seuprit” begini tidak akan kenyang, tapi bagi wanita lumayan, karena dishesnya disajikan satu per satu, dan harus sediakan waktu minimum 1 jam untuk menikmati obrolan, makanan dan …. wine kalau mau. Oh ya satu lagi…di sini bisa menikmati indahnya piring-piring keramik yang mereka pakai. Keramik Jepang memang lain dengan keramik eropa, white porcelain. Keramik Jepang lebih menonjolkan tanah liat, bentuk asimetris, dan warna-warna “bumi”. Saya suka keramik Jepang, ingin coba membuat, tapi belum ada waktu. Ibu mertua saya kadang membuatkan saya piring keramik sesuai pesanan bentuk dan warna yang saya sukai.

Nah, waktu makan appetizer yang di foto kanan atas, dalam gelas itu, ada mouse sayuran dan di atasnya adalah roti bakar dengan “UNI” di atasnya. Uni ini artinya bukan kakak perempuan untuk bahasa Minang,  tapi bahasa Jepangnya untuk Sea Urchin (Bulu Babi). Orang Indonesia tidak makan bulu babi, padahal itu merupakan makanan mewah bagi orang Jepang. Saya ingat salah satu murid saya pernah naik perahu di Laut Makassar, membawa pisau dan shoyu, kecap asin Jepang (kikkoman) . Ambil bulu babi, dan buka kulitnya yang seperti rambutan berduri hitam itu, dan …. nyammmm… makan isinya dengan kecap asin yang dibawanya. Mungkin bentuknya tidak menarik, tapi rasanya? …… Heaven…. katanya (dan kata saya, kata Riku dan kata Ayu-san).


Ya, Teman date saya adalah Ayu san, yang pernah saya tulis di posting ” Perbedaan Usia“. Hari itu saya mau merayakan “She becoming a salarywoman”. Dia sudah berstatus pegawai sekarang , sudah shakaijin (harafiahnya : manusia masyarakat… yang bergaji dan bisa mengabdi masyarakat). Shakaijin adalah suatu status bahwa kamu bukan mahasiswa, dan bukan pengangguran. Dan di Jepang, Bulan April adalah titik awal untuk menjadi shakaijin, dengan upacara-upacara penerimaan pegawai baru di setiap kantor. (Untuk menceritakan shakaijin dan upacara penerimaan pegawai baru ini perlu posting tersendiri).

Tema pembicaraan kami saat itulah, tentang “Last Supper”, Perjamuan Terakhir, Saigo no Bansan 最後の晩餐. Yang juga menjadi judul prgram TV di Jepang, yang isinya “Makanan apa yang kamu ingin makan di hari terakhir kamu hidup?”. Bagi Ayu, dia paling suka UNI, jadi pada saat terakhir itu dia ingin makan UNI. dan dia bertanya, “Kalau Imelda Sensei? ”

Well, terus terang saya tidak tahu. Sedih juga kalau tidak tahu makanan apa yang kamu sukai, yang kamu ingin makan sebagai makanan terakhir di dunia ini. Saat ini kalau ditanya, saya benar-benar tidak tahu. Saya suka macam-macam, tapi kalau disuruh menyebutkan satu dari macam-macam itu? Saya tidak tahu jawabannya.

“OK”,  kata Ayu. “Kalau begitu,tidak usah makanan, tapi tempat terakhir yang sensei inginkan sebagai tempat terakhir waktu meninggal?”. Nah… kalau itu saya bisa jawab! Ya, saya ingin berada di suatu tempat, yang bisa memandang ke matahari tenggelam, tasogare, senja ….. Menikmati karya Tuhan yang amazing. Dan bersamaan dengan tenggelamnya matahari itu, saya ingin hidup saya berakhir. Warna tasogare, twilight adalah warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saya namakan blog saya ini Twilight… Twilight Express.

“Well, kalau begitu di beach? Sunset at the beach?”

“No, Aku tidak begitu suka pantai…. tapi aku suka danau. Pantai kesannya panas, beta-beta suru…. (peliket). Kecuali mungkin pantai waktu musim dingin ya? Tapi saya suka sekali danau. Magis…. tranquil… melenakan. Mungkin seperti foto ini.


So, teman-teman? Jika Anda ditanya, apa yang ingin Anda santap di hari terakhir Anda, apa jawab Anda? Atau di mana Anda ingin berada sebagai tempat terakhir Anda hidup di dunia ini?





Childlens

21 Apr

Waktu saya pergi ke Sendai, saya menemukan sebuah buku yang berjudul “Childlens”, yaitu kumpulan foto-foto yang dibuat oleh anak-anak. Anak-anak itu disuruh memotret apa saja yang dia ingin potret. Dan dengan melihat hasil jepretan mereka, seakan kita menjadi anak-anak itu dan melihat pemandangan dari ketinggian mereka. Dan itu sangat menarik, menurut saya. Karena itu saya juga menyuruh Riku banyak memotret waktu dia pergi berwisata di okinawa bersama kakek-neneknya, seperti yang pernah saya muat di sini.

menikmati childlens... lucu-lucu loh fotonya (ada foto ibunya ganti baju juga hihihi)
menikmati childlens... lucu-lucu loh fotonya (ada foto ibunya ganti baju juga hihihi)

Saya bercita-cita  untuk mengumpulkan foto-foto karya Riku dan Kai, dan ingin  membuat kumpulan foto, yang bisa menjadi kenangan buat mereka jika sudah besar nanti. Terima kasih pada kecanggihan masa modern, yang menyediakan kamera digital, komputer dan hard disk, sehingga kita tidak perlu memikirkan bengkaknya biaya jika dibanding dengan dahulu, yang harus cuci cetak dahulu sebelum bisa menikmati karya foto.

Kali ini saya mau pasang foto-foto karya “keluarga fotografer” cieeee. Yaitu foto “Pertama” yang diambil Kai (kiri) , foto yang diambil Riku ( kanan) serta……

(Foto yang diambil anak-anak sering terpotong dan tidak simetris biasanya. but itulah seninya)

Foto yang diambil papanya Riku dan Kai, waktu mereka bermain ke taman, dan memberikan saya sedikit waktu tenang pada hari Minggu lalu, sehingga saya bisa mengerjakan terjemahan sedikit.

click to enlarge.