Takut Kehilanganmu

10 Jul

Ada sebuah percakapan antara aku dan temanku:

Aku :  Kamu suka Naruto?
Dia  : Suka banget…..
Aku : Sasuke?
Dia  : Nggak, aku suka Naruto karena mirip dengan sifatku.
Aku : hahaha… dasar kucing…. eh, kamu suka kucing? atau anjing?
Dia  : Aku suka dua-duanya. Tapi tidak bisa pelihara di rumah karena jarang di rumah sih.
Aku : Ntah ya, aku tidak suka kucing. Jadi kadang-kadang aku bisa berubah tidak suka orang kalau dia suka kucing.
Dia :  Syukurlah. Aku suka tapi tidak punya. **ngeles takut kehilangan**

dan kami tertawa. Lah kok bisa tidak suka pada seseorang hanya karena dia suka binatang tertentu atau barang tertentu. Hmmm tapi ya buktinya aku cukup sering tidak suka mereka yang suka kucing loh. Mungkin aku tidak suka sifatnya yang lain, tapi karena kebetulan dia suka kucing, si kucing lalu menjadi scape goat kambing hitam… (Lah kucing kok menjadi kambing, dasar imelda aneh hihihi)

Sebetulnya yang ingin aku tuliskan di sini adalah sebuah berita yang membuatku teringat masa lalu. Yaitu bahwa Sony mengumumkan menghentikan produksi MD player (Mini Disc Player), menyusul penghentian produksi Cassette Walkman Player yang sudah distop tahun lalu. Sekali lagi aku harus mengucapkan sayonara seperti floppy disc yang aku tulis di sini. MD player ini mungkin tidak begitu populer di Indonesia, tapi sempat booming di Jepang.

Yang dihentikan produksinya dari SONY

MD walkman ini mulai dijual tahun 1992, dan sampai Maret tahun ini sudah terjual sebanyak 22juta unit. Dibandingkan dengan Cassette Walkman dan CD Walkman, bentuknya lebih kecil dan compact,  sehingga menjadikannya populer. Lagipula MD adalah audio digital sehingga kualitas suaranya lebih tinggi daripada kaset.

Seperti sudah aku tulis di about me atau di sini, dulu (tahun 1997) aku pernah bekerja sebagai DJ Radio yang mengisi program musik Indonesia selama satu jam seminggu. Dan untuk memutar lagu-lagu Indonesia, aku hanya bisa mengandalkan CD saja (digital), karena suara yang berasal dari kaset tidak layak diputar. Padahal untuk lagu-lagu lama Indonesia dan lagu dangdut waktu itu kebanyakan masih berupa kaset. Kalau penyanyinya populer seperti Nike Ardilla, ok deh masih banyak album compilasinya, tapi untuk penyanyi yang belum mempunyai pendengar sebanyak Nike, masih merilis album dalam bentuk kaset saja. Nah, untuk mengatasi masalah kurang lagu ini, aku membeli kaset, begitu dibuka plastiknya , langsung aku pindahkan ke dalam MD. Jadilah lagu dalam bentuk digital meskipun mono dan mutu suaranya rendah.

MD pindahan dari kaset lagu, dan copy program acara Gita Indonesia

Satu kaset menjadi satu MD, dan aku harus meluangkan waktu ekstra juga untuk memotong-motong lagu dari in awal lagu sampai out nya. Kalau ada waktu senggang aku juga mencatat intro musiknya berapa detik, dan panjang lagu berapa menit. Aku scan cover kasetnya, dan tempel di MD untuk memudahkan. Meskipun kebanyakan kaset yang aku punya sudah aku pindahkan ke MD, masih ada berkotak kaset yang belum sempat aku pindahkan (terutama yang penyanyinya kurang populer, atau belum pernah ada yang request untuk diputarkan sampai acara itu selesai tahun 2001).

Selain memindahkan isi kaset ke MD, kalau aku mau mendengarkan CD di dalam kereta, aku tinggal memindahkan lagu-lagu yang kusuka dan membuat MD kompilasinya. Yah, sistemnya seperti iPod sekarang ini deh. Memang alasan Sony menghentikan produksi MD walkman ini sedikit banyak juga disebabkan oleh tersedia sarana audio digital yang lebih ringan lagi seperti iPod.

MD yang kupunya aku masukkan dalam kantong MD yang bisa memuat sekitar 25 lembar MD, dan kantong ini ada lebih dari 10 buah 🙂 Bisa bayangkan penuhnya rumahku kan? Baru MD saja loh. Tapi mau cari Lagunya Mel Shandy juga ada 😉

Waktu rekaman juga aku bisa membuat kumpulan lagu-lagu yang akan kuputar dalam 1 MD dan bergantian dengan CD dan DAD (Digital Audio Disc – program dalam komputer) memproduksi program satu jam acara yang kunamakan Gita Indonesia. Harus pintar-pintar mengatur sumber musik, karena aku memutar musik sambil bicara juga (one man studio – tanpa produser dan operator). Nah, program ini dimasukkan ke dalam DAT (Digital Audio Tape – Kaset Digital dan waktu aku mau beli playernya duuh mahal banget, sayang keluarkan uang untuk membelinya) untuk kemudian diserahkan pada Main Operator yang akan memutarkan pada jadwal pemutaran. Satu lagi fungsi MD di sini yaitu membuat backup program yang akan diputar, sehingga aku punya siaran setiap minggu langsung dari DAT (maklum jam programku itu hari Jumat dini hari, jadi aku tidak bisa terus bangun mendengar programku sendiri).

DAT berisi program acara, MD berisi copy nya

Waktu mendengar SONY menghentikan produksi MD walkman player ini, aku jadi teringat bahwa dulu aku sangat bergantung pada MD. Meskipun memang masih ada MD player yang menjadi satu dengan compo  (bukan portable) , aku bisa merasa bahwa MD tidak akan selanggeng kaset yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. Suatu waktu aku tak lagi bisa mendengar suaraku sendiri dari MD…. mungkin sudah waktunya untuk memindahkannya dalam bentuk lain. MP3 paling bagus, tapi kendalanya adalah waktu. Memutar lagu atau siaran dari MD satu persatu dan memasukkannya dalam program di komputer…duh repot rek.

Well, memang kita harus selalu siap untuk kehilangan sesuatu ya 🙂

waktu masih berprofesi sebagai DJ Radio, 1996 - 2006

Last Supper @ Sunset Cafe

23 Apr

Beberapa hari terakhir ini saya memang memasang status di YM dan GTalk saya dengan “Last Supper” dan “Sunset Cafe”.  Sampai Mbak Noengki menyapa saya dan berkata, “Duh enaknya yang online di Cafe“. Padahal itu tidak benar, karena sebetulnya Sunset Cafe tidak ada di kenyataan (Baru-baru ini saya googling ternyata ada yang baru buka di cafe di pulau Bali, padahal sebelumnya — well 10 tahun yang lalu belum ada. Sampai pernah saya dan teman Suto san bilang kita buat di Jakarta yuuuk ). Dan bagi pendengar setia “Gita Indonesia” di InterFM 76,1 masih ingat tentunya lagu ini. “Sunset Cafe” oleh Rita Effendy, karena lagu ini salah satu lagu kesayangan yang sering saya putar.

Bias jingga senja menjelang
senandung ombak berkumandang
matahari turut terbenam
mengiringi angan kita

Secangkir cappucino panas
berbagi mimpi menembus batas
sekumpul nyiur tersenyum
mendengar janji kita

Reff.
Di Sunset Cafe kita bersama
di Sunset Cafe kita berdua
di Sunset Cafe kita bercinta
memandang lautan lepas
khayalan kita seakan jadi nyata…
di Sunset Cafe

Kecupan hangat pipi kiri
terasa menggetarkan hati
redup lilin-lilin menyala
melihat gairah kita

Cinta bersemi di Sunset Cafe
angan melambung di Sunset Cafe
hasrat membara di Sunset Cafe
cinta yang indah ini
terukir di Sunset Cafe

Irama yang enak didengar dan sambil membayangnya Tasogare, Twilight, Senja ….. saya hirup cappucino panas. Hmmmm…..

Lalu apa hubungannya dengan “Last Supper”. Kalau saya tulis 2 minggu yang lalu tentu semua tahu yang saya bicarakan adalah perjamuan terakhir Yesus bersama 11 orang muridnya. Dan topik “Last Supper” ini muncul kembali hari Senin yang lalu, tanggal 20 April.

Hari itu, saya sempat pergi “date” untuk lunch, dan menikmati makanan Perancis-Jepang di sebuah restoran di Kichijoji. Kaisen Shokudo, sebuah restoran yang kadang kami datangi untuk menjamu tamu atau merayakan pesta dengan jumlah orang yang sedikit. Hanya 14 tamu yang biasanya bisa masuk, sehingga harus menelepon dulu sebelumnya untuk memesan tempat. Makanan juga dipesan sebelumnya, pilih course dengan menu main dish saja yang berbeda, dan harganya tergantung mau half course atau full course. Kalau siang ada lunch course.


Mungkin untuk laki-laki, makan “seuprit” begini tidak akan kenyang, tapi bagi wanita lumayan, karena dishesnya disajikan satu per satu, dan harus sediakan waktu minimum 1 jam untuk menikmati obrolan, makanan dan …. wine kalau mau. Oh ya satu lagi…di sini bisa menikmati indahnya piring-piring keramik yang mereka pakai. Keramik Jepang memang lain dengan keramik eropa, white porcelain. Keramik Jepang lebih menonjolkan tanah liat, bentuk asimetris, dan warna-warna “bumi”. Saya suka keramik Jepang, ingin coba membuat, tapi belum ada waktu. Ibu mertua saya kadang membuatkan saya piring keramik sesuai pesanan bentuk dan warna yang saya sukai.

Nah, waktu makan appetizer yang di foto kanan atas, dalam gelas itu, ada mouse sayuran dan di atasnya adalah roti bakar dengan “UNI” di atasnya. Uni ini artinya bukan kakak perempuan untuk bahasa Minang,  tapi bahasa Jepangnya untuk Sea Urchin (Bulu Babi). Orang Indonesia tidak makan bulu babi, padahal itu merupakan makanan mewah bagi orang Jepang. Saya ingat salah satu murid saya pernah naik perahu di Laut Makassar, membawa pisau dan shoyu, kecap asin Jepang (kikkoman) . Ambil bulu babi, dan buka kulitnya yang seperti rambutan berduri hitam itu, dan …. nyammmm… makan isinya dengan kecap asin yang dibawanya. Mungkin bentuknya tidak menarik, tapi rasanya? …… Heaven…. katanya (dan kata saya, kata Riku dan kata Ayu-san).


Ya, Teman date saya adalah Ayu san, yang pernah saya tulis di posting ” Perbedaan Usia“. Hari itu saya mau merayakan “She becoming a salarywoman”. Dia sudah berstatus pegawai sekarang , sudah shakaijin (harafiahnya : manusia masyarakat… yang bergaji dan bisa mengabdi masyarakat). Shakaijin adalah suatu status bahwa kamu bukan mahasiswa, dan bukan pengangguran. Dan di Jepang, Bulan April adalah titik awal untuk menjadi shakaijin, dengan upacara-upacara penerimaan pegawai baru di setiap kantor. (Untuk menceritakan shakaijin dan upacara penerimaan pegawai baru ini perlu posting tersendiri).

Tema pembicaraan kami saat itulah, tentang “Last Supper”, Perjamuan Terakhir, Saigo no Bansan 最後の晩餐. Yang juga menjadi judul prgram TV di Jepang, yang isinya “Makanan apa yang kamu ingin makan di hari terakhir kamu hidup?”. Bagi Ayu, dia paling suka UNI, jadi pada saat terakhir itu dia ingin makan UNI. dan dia bertanya, “Kalau Imelda Sensei? ”

Well, terus terang saya tidak tahu. Sedih juga kalau tidak tahu makanan apa yang kamu sukai, yang kamu ingin makan sebagai makanan terakhir di dunia ini. Saat ini kalau ditanya, saya benar-benar tidak tahu. Saya suka macam-macam, tapi kalau disuruh menyebutkan satu dari macam-macam itu? Saya tidak tahu jawabannya.

“OK”,  kata Ayu. “Kalau begitu,tidak usah makanan, tapi tempat terakhir yang sensei inginkan sebagai tempat terakhir waktu meninggal?”. Nah… kalau itu saya bisa jawab! Ya, saya ingin berada di suatu tempat, yang bisa memandang ke matahari tenggelam, tasogare, senja ….. Menikmati karya Tuhan yang amazing. Dan bersamaan dengan tenggelamnya matahari itu, saya ingin hidup saya berakhir. Warna tasogare, twilight adalah warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saya namakan blog saya ini Twilight… Twilight Express.

“Well, kalau begitu di beach? Sunset at the beach?”

“No, Aku tidak begitu suka pantai…. tapi aku suka danau. Pantai kesannya panas, beta-beta suru…. (peliket). Kecuali mungkin pantai waktu musim dingin ya? Tapi saya suka sekali danau. Magis…. tranquil… melenakan. Mungkin seperti foto ini.


So, teman-teman? Jika Anda ditanya, apa yang ingin Anda santap di hari terakhir Anda, apa jawab Anda? Atau di mana Anda ingin berada sebagai tempat terakhir Anda hidup di dunia ini?





Kartu Pos itu….

17 Des

Semua memang bermula dari sepucuk kartu pos yang ditujukan padaku. Pengasuh program acara Gita Indonesia InterFM 76,1 Mhz Tokyo.

Yah memang saya adalah DJ untuk acara Gita Indonesia, sebuah program “InterCommunity Square selama 1 jam setiap minggu yang disiarkan mulai tahun 1997-2001. (Cerita awalnya bisa dibaca di sini)

Banta san, demikian saya memanggilnya, mengirimkan sepucuk kartu pos berisi guntingan koran tertanggal 23 Agustus 1999. Ya guntingan koran itu ditempel begitu saja di bagian menulis berita (sebetulnya tidak boleh, tapi pihak kantor pos di sini “tutup mata”) . Saya bacakan kartu posnya pada siaran tanggal 10 September 1999. Kartu pos pertama, kemudian menjadi kartu pos yang 2, 3, 4 …hampir setiap minggu Banta mengirimkan kartu pos ke InterFM. Ya, dia  boleh dikatakan salah satu fans yang rajin. Pernah suatu kali dia mengirim kartu pos berbahasa aceh… bagaimana saya bisa bacakan kalau tidak tahu artinya? Nanti kalao isinya tidak baik bagaimana? Lagipula bagaimana pelafalan bahasa Aceh, saya tidak tahu. BUT, saya yakin isinya pasti bukan provokasi, sehingga setiap ada waktu, saya bacakan kartu pos dari dia…tentu saja bergantian dengan request atau kartu pos/fax dari pendengar lainnya. Isi kartu posnya kebanyakan tentang pertikaian di Aceh, betapa banyaknya orang yang harus mengungsi karena daerah tempat tinggalnya tidak aman lagi. Kerinduan akan kampung halaman, keluarga dan tanah air…..

Kemudian permohonan itu datang dari NHK, untuk pengisian acara Hallo Nippon, sebuah acara yang mengetengahkan orang-orang asing yang bekerja di Jepang. Sebelumnya sudah dua kali aku diminta mengisi acara yang serupa, dari TV Kanagawa dalam acara “Sekai kamado kara” (Dari belanga dunia) (OA 12-11-1997). Sebuah program memperkenalkan orang asing, hometownnya dan masakan yang mau diperkenalkan. Durasinya 20 menit, live. Hmmm, Acara ini bersifat talk show dengan memakai foto-foto dan saya menyediakan Tempe goreng + Gado-gado. Kemudian NHK BS1dalam acara “Ajia Jouhou Kousaten” (Asia Crossroad Information – OA 19 Desember 1998). Sebuah program yang memperkenalkan acara Gita Indonesia sebagai acara Radio unik dari InterFM. Durasinya 8 menit – rekaman.

Nah, acara NHK BS 1, yang “Hallo Nippon” ini cukup lama 20 menit, dan rekaman dengan menengahkan semua sisi kehidupan aku, ceritanya. Jadi rencananya selama 2 minggu, kamera akan menguntit aku kemanapun aku pergi (kecuali ke WC dan mandi hehehe), ke universitas, ngajar, menerjemahkan, siaran…dsb dsb…semua kegiatan aku, ceritanya. Yang bertugas menjadi director langsung seorang wanita muda, Kaneko Yuki san, padahal semula seorang director senior yang menangani rekaman yang menghubungi saya (ternyata mau ada regenerasi juga di PH -Production House mereka). Karena saya wanita, diharapkan Yuki san bisa menggali semua potensi yang ada dan credible menjadi acara TV yang bagus.

OK. Jadi mulailah rekaman-rekaman kegiatanku, sambil memikirkan plot cerita yang menarik. Di situlah muncul Kartu Pos dari Banta san. Dan saya jelaskan bahwa memang pendengar acara saya kebanyakan adalah pemagang atau Kenshusei yang bekerja di pabrik-pabrik kecil di Jepang, di bawah kelola IMM. Sebelum berangkat ke Jepang, yang berminat harus mendaftar di Dep Tenaga Kerja, kemudian diseleksi, lalu dikumpulkan diberi training (kalo tidak salah di Bandung) lalu dikirim ke Jepang, diterima oleh IMM,  baru dikirim ke perusahaan-perusahaan kecil ini. Bahkan menurut kabar di Bandung mereka selain mempelajari bahasa Jepang, juga diperlihatkan video kehidupan di Jepang, dan dalam video itu mereka pernah melihat saya (weks narsisnya keluar nih). Banyak sekali pemuda-pemuda yang berminat untuk bekerja di Jepang, karena mereka pikir mereka dapat membantu keluarganya di tanah air, dengan mengirimkan uang sekedarnya. Namun itu pun tidak semua yang akhirnya bisa menabung sebagian dari pendapatan mereka. Ada yang memang mendapatkan perusahaan yang baik yang memikirkan kesejahteraan mereka, namun ada pula yang kurang mendapat perhatian. Belum lagi kalau tertimpa musibah, mengalami kecelakaan dalam pekerjaan yang memang berbahaya itu.

Dan saya juga jelaskan pada Yuki san bahwa saya secara rutin membuat acara Jumpa Pendengar Fans Club Gita Indonesia (fansnya acara radionya loh, bukan fans saya). Dan kebetulan dalam waktu dekat akan membuat acara kumpul-kumpul di sebuah restoran, Bengawan Solo di daerah Roppongi (sekarang sudah tutup). Jadi tentu saja Kamera dan Yuki san ikut meliput acara tersebut, dan bertemu dengan pendengar yang waktu itu hadir sekitar 80 orang. Omong-punya-omong,  Yuki san mendesak saya untuk bertemu dengan kumpulan orang Indonesia yang biasa berkumpul di Taman Ueno, untuk membagikan pamflet tentang acara radio saya sekaligus promosi. Tentu saja di situ diharapkan bisa mengambil shoot yang bagus interaksi saya dengan pendengar, semacam temu pendengar singkat. Taman Ueno dijadikan ajang pertemuan bagi pemagang (TKI) Indonesia untuk bertemu, bertukar informasi, atau berbelanja kebutuhan makanan Indonesia yang tersedia di pasar Okachimachi (yang harganya tentu tidaklah murah).

Saya mewawancarai Banta di pabriknya (Yokohama)
Saya mewawancarai Banta di pabriknya (Yokohama)

Sementara camera terus berputar,  tidak disangka-sangka saya bertemu dengan DIA. Ya, si Banta san, pendengar asal Aceh. Saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegembiraan saya bertemu langsung dengan orang yang setia mendengar acara saya. Dan langsung di situ juga Yuki-san mengajukan skenario, supaya saya mengunjungi pabrik pendengar dan mewawancarai mereka langsung, termasuk menanyakan kehidupan mereka di Jepang dan kesan-kesan terhadap program radio saya. OK…tambahan kerja lagi hehhehe. Saya harus ke daerah yokohama, mengunjungi 2 pabrik yang satu pembuatan spare parts mobil/motor, sedangkan pabriknya tempat Banta kerja adalah pengolahan tulang besi beton.

Kalau tidak ada shooting untuk acara NHK ini tentu saja saya tidak akan kesampaian mengunjungi apartemen pendengar yang mayoritas cowok, bahkan sampai mewawancarai mereka. Saya merasa terharu sekali waktu mendapat penyambutan yang hangat dari pihak pabrik dan pemagang di rumah mereka, bahkan hampir menangis waktu tahu mereka (Banta dan teman-temannya) menyetel alarm supaya bisa bangun 5 menit sebelum acara radio saya dimulai pukul 2 pagi (Jumat jam 26:00- atau Sabtu dini hari pukul 2 pagi). Saya yang tadinya menyangka bahwa acara saya tidak ada yang mendengar….. kelu lidah saya. Ternyata acara saya waktu itu adalah satu-satunya hiburan mereka, yang waktu itu tidak mempunyai akses dengan internet.

Di apartemen Banta dan teman-teman setelah shooting (Banta-tengah)
Di apartemen Banta dan teman-teman setelah shooting (Banta-tengah)

Akhirnya sebagai penutup skenario saya dalam acara “Hallo Nippon” itu, saya mengundang 10 orang pendengar (termasuk Banta san) untuk datang ke studio dan mengambil rekaman berbincang-bincang di studio dengan mereka. Dalam pertemuan itu saya menanyakan apa “mimpi” mereka ttg Jepang, ttg Indonesia dan masa depan. Kelihatan sekali mereka enggan meninggalkan Jepang tapi rindu dengan tanah air. Bahkan saya bisa melihat mata mereka berkaca-kaca waktu saya putarkan lagu kemesraan sebagai penutup acara, yang diiringi dengan nyanyian lirih mereka…

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu

Hatiku damai
Jiwaku tentram di samping mu
Hatiku damai
Jiwa ku tentram
Bersamamu

Sebuah lagu yang sama yang saya putarkan pada acara terakhir Gita Indonesia yang terpaksa dihentikan Juli 2001 karena masalah pendanaan. (Yang pasti kali terakhir itu saya yang menangis…..hiks …. 4 tahun sebagai DJ…. dan meskipun saya menawarkan kerja sukarela tanpa gaji asal acara tetap bisa berlangsung, tetap ditolak. Sebabnya yang mahal adalah biaya penyiarannya yang dihitung perdetik sekian ribu Yen…. Pffffhhh)

Banta san memang hanyalah satu dari sekian banyak penggemar acara Gita Indonesia. Tapi Kartu Pos Banta san telah membuka suatu episode yang pasti tidak akan saya lupakan dalam kehidupan saya. Kenyataan bahwa saya mengelola suatu acara yang amat mereka nanti-nantikan. Dan saya menyesal tidak menghubungi Banta san waktu dia akan pulang ke Indonesia, paling sedikit untuk menanyakan kabar/rencana selanjutnya atau alamat di Indonesia. Dari 10 orang yang hadir di studio waktu itu hanya ada 1 orang yang mengabarkan bahwa dia mendirikan perusahaan di daerah bekasi… dan sayangnya saya tidak tindaklanjuti juga karena kesibukan saya yang lain. Saya ingin sekali bertemu dengan mantan-mantan pendengar acara Gita Indonesia, terutama Banta san yang beberapa saat ini menghantui pikiran saya.

Ya, 4 tahun yang lalu, 26 Desember 2004, Tsunami menghanyutkan ratusan ribu orang di Aceh. Yang masih tersisa di benakku sekarang…. apakah Banta san termasuk di antara ratusan ribu orang itu? Jika Ya, saya mendoakan arwahnya semoga diterima Tuhan…. dan jika tidak, ingin saya bertemu sekali lagi dengannya. Hanya untuk menanyakan…. Ogenki desuka? (Apa kabar?)

Bersama Yuki san sesudah pengambilan scene makan ramen kakilima
Bersama Yuki san sesudah pengambilan scene makan ramen kakilima

Catatan:

Siaran NHK BS1dalam acara “Ajia Jouhou Kousaten” (Asia Crossroad Information – OA 19 Desember 1998) yang mempertemukan saya dengan Ibu Sasaki, yang setelah itu mengajak saya bergabung menjadi dosen di Universitas Senshu mulai April,1999. Terima kasih banyak Sasaki Sensei. お世話になっております。