Jemur

30 Nov

Inginnya sih bisa begini:

Tapi berhubung musim dingin, yang aku mau tulis sekarang adalah yang ini:

Menjemur baju adalah pekerjaan ibu-ibu banget ya… eits ngga juga sih, juga berlaku untuk mereka yang single, tinggal sendiri, sedang bepergian dan tidak mau mengeluarkan duit untuk membayar biaya laundry hotel.

Tadi pagi seperti biasa aku menjemur baju di beranda apartemenku yang berada di  lantai 4. Harus cepat-cepat karena biasanya setelah jam 10 matahari bergerak ke atas, sehingga berandaku tidak kena matahari lagi. Lain dengan beranda yang menghadap ke arah selatan (Karenanya kalau mencari rumah di Tokyo carilah yang Minamimuki 南向き menghadap ke selatan, dan memang biasanya lebih mahal). Sambil menjepit baju setengah basah (karena sudah diperas mesin cuci di gantungan baju), aku pikir apa ya yang lain dengan menjemur baju di Indonesia.

Ya, pertama tentu tempatnya. Di rumahku di Jakarta, halaman belakangnya luas, sehingga bisa menempatkan gantungan baju dengan kaki berbentuk segitiga (pernah lihat kan?) atau memasang tali dari tiang ke tiang. Baju dijemur langsung di tali tersebut. Lama-lama penghuni banyak, jadi baju ditaruh di gantungan baju hanger dulu baru di jejer di tali, sedangkan untuk handuk atau cucian yang bentuknya sulit untuk digantung, tetap memakai jemuran segitiga itu.

Tapi kondisi seperti itu tidak bisa dipakai di Jepang. Bisa sih kalau memang punya halaman. Tapi untuk kami yang tinggal di apartemen, tidak akan bisa memakai jemuran segitiga begitu. Biasanya di beranda apartemen/mansion terdapat 2 cantelan di langit-langit yang kemudian dipasang tongkat panjang.  Ditongkat itulah (tidak pakai tali) kami menggantung baju-baju dalam hanger. Kemudian untuk baju dalam, kaus kaki handuk kamu pakai gantungan dengan banyak jepitan. (Aku lihat gantungan semacam ini sudah banyak dijual di Jakarta)

Jika hari hujan dan terpaksa harus mencuci, maka kami menjemur baju di dalam rumah, dengan mencatelkan gantungan baju/hanger itu di rel gorden atau di kusen pintu, mana saja yang bisa dipakai untuk menggantung. Tapi biasanya jika kita menjemur baju dalam ruangan apalagi di musim hujan yang lembab, baju akan mudah bau apek. Untuk itu bisa diatas dengan memakai sabun khusus untuk menjemur di dalam ruangan (heyaboshi detergent 部屋干し. Mungkin ada tambahan sesuatu yang bisa mencegah bakteri pembuat apek baju untuk berkembang. Dan kalau aku juga kadang memasang “dry” di AC, supaya udara tetap kering dan tidak lembab.

Yang sulit memang waktu musim dingin. Kalau pagi yang hangat karena matahari memang senang menjemur baju, dan berpikir bahwa baju itu akan cepat kering. Biasanya sih memang kering, tapi waktu kita mengangkat baju-baju itu masih terasa dingin dan membuat kita ragu-ragu apakah baju ini sudah kering atau belum sih? Kalau begitu biasanya aku gantung dulu sebentar di dalam ruangan sebelum melipat untuk memastikan baju itu telah kering.

Melipat? Ya, kami di sini jarang memakai setrika, kecuali untuk kemeja atau baju luar yang dicuci sendiri. Pakaian dalam, handuk, baju rumah biasanya hanya dilipat saja. Demikian pula dengan sprei. Kalau lagi rajin, tentu aku akan menyeterika baju-baju dan handuk/sprei itu, tapi banyakan dilipat saja. Bahkan untuk kemeja pun masih banyak ibu-ibu Jepang tidak menyeterikanya.

Tidak kusut? Tidak, karena mereka mempunyai cara khusus untuk menjemur. Bagi yang tinggal di Jepang, coba perhatikan seringnya terdengar tepukan-tepukan pada baju-baju yang digantung. Ibu-ibu jepang itu sering menepuk-nepuk sambil menarik kemeja, sehingga kemeja itu tidak kusut. Kalau aku sih tidak terbiasa dengan tepuk-tepuk itu sehingga aku cukup kebut sekali sebelum jemur. Toh akan aku setrika ini. Tapi… memang di Jepang banyak dijual kemeja anti kusut (keitai kioku waishatsu 形態記憶ワイシャツ harafiahnya kemeja yang mengingat bentuknya 😀 )

Selain tepukan di baju, menjelang sore biasanya terdengar pukulan yang lebih keras. Ibu-ibu itu beraksi dengan pukulan dari kayu atau plastik di kasur futon yang mereka jemur dari pagi.  Tentu saja maksudnya untuk mengeluarkan debu yang menempel pada kasur. Orang Jepang memang selalu menjemur kasurnya setiap hari cerah. Nikmat loh tidur di kasur yang kering dan berbau matahari itu. (Tapi memang tidak bisa dilakukan untuk spring bed yah hehehe)

Waktu mencari-cari bahan tulisn ini, aku juga menemukan pertanyaan, jam berapa sebaiknya menjemur cucian? Ternyata banyak yang menulis dari jam 10 sampai 3 siang. Memang aneh rasanya kalau melihat cucian masih di luar pada malam hari. Kecuali kalau memang tidak ada waktu untuk menjemur keesokan paginya, aku juga sering menjemur malam. Tapi jangan pernah coba meninggalkan baju basah malam hari di musim dingin. Suatu saat aku pernah tertawa terpingkal-pingkal karena kebodohanku sendiri. Aku jemur baju yang basah di luar malam hari di musim dingin. Waktu pagi aku raba…. bunyi krik krik krik….kandungan air dalam baju itu menjadi es batu! hahaha

Apalagi ya cerita yang ketinggalan tentang jemur-menjemur ini? Ah, ada satu foto tentang barang yang aku rasa lucu. Duh orang Jepang emang kreatif dan spesialis, tapi kayaknya ngga usah segitu amat deh.

kalau semua cucian aku masuk ke celemek ini pasti jebol deh. Sekarangpun aku sering harus mencuci 2 kali sehari. Punya anak 2 segini repotnya, gimana kalau 10 yah? hahaha

Sebuah promosi celemek berkantung untuk menaruh cucian sehingga tidak usah sering membungkuk mengambil cucian dari dalam keranjang. Melihat celemek ini aku langsung teringat pada kangguru deh. Kamu mau beli? Kalau aku mungkin untuk sementara waktu tidak, tapi jika aku sudah menjadi nenek dan sulit membungkuk, mungkin bagus juga idenya ya? (Tapi kan bisa bikin sendiri tuh hehehe…)

Ya, tulisan ringan  ini aku buat untuk menceritakan kehidupanku sehari-hari, selain untuk menambah jumlah postingan untuk bulan November yang hampir habis.  Masak dibawah 15 postingan lagi sih…. (padahal banyak yang ngedon di draft tuh, cuma masih butuh referensi, dan sedang malas nyari referensi hihihihi). Mau ngebut aaahhhh……

Mama Sensei

25 Nov

Tadi malam waktu mau tidur, seperti biasa Riku dan Kai memilih buku yang mau didongengkan. Riku memilih sebuah buku berjudul “Keropeng” Kasabuta, karena memang dia punya keropeng di lututnya. Timely. Cocok.  Kai memilih buku “Si Kera George”, yang ceritanya cukup panjang. Lalu Riku berkata, “Mama sensei, tolong bacain dong!”
“Bukan Mama Sensei…. mama aja!” Kata Kai
“Kan mama memang sensei, ngajar juga, jadi Mama Sensei!” Riku memberi alasan.
“Iya Kai, mama besok jadi Mama Sensei, jadi besok bangun pagi yah” kataku.
“Ayooooo Mama Sensei cepet bacain!”
“BUKaaaaaaan mama sensei!”
“OK…OK .. Mama Kai dan Mama Riku  deh. Mama mulai baca yah. Ayo kamu masuk selimut”

Padahal Kai sebetulnya yang menyebutkan istilah Mama Sensei pertama kali, waktu aku bilang “Mama kerja di universitas”, sambil dia berkata heran “Heeeee?????”.

Kali ini aku mau menoleh kembali sejak kapan aku mengajar bahasa Indonesia, awal aku menjadi sensei atau guru. Tempatnya di rumahku di Jakarta. Waktu itu aku tingkat 3 Sastra Jepang FSUI. Muridku yang pertama ini seorang karyawan yang ditugaskan ke Indonesia, kalau tidak salah namanya Yoshida? Yoshino? Lupa. Lupa juga nama kantornya, tapi dia berasal dari Nagoya, karena logat bicaranya juga agak aneh, alias tidak buka mulut. Seperti ngedumel deh. Dia datang ke rumah seminggu 2 kali 2 jam, karena dia perlu cepat bisa bahasa Indonesia. Buku yang aku pakai waktu itu buku berbahasa Inggris, How to Master Indonesian Language yang dikarang Almatsier. Buku itu memang sudah lama sekali ada. Dari penerbit Djambatan. Menjelaskannya campur-campur bahasa Jepang dan bahasa Inggris (dia maunya begitu, katanya sekaligus belajar bahasa Inggris).

Buku klasik untuk belajar bahasa Indonesia

Setelah Mr Nagoya ini, aku mulai banyak mengajar. Biasa, kala itu berlaku kuchikomi, promosi yang berlangsung dari mulut-ke-mulut. Dan semua maunya diajarkan bahasa Indonesia di kantor atau di rumah. Jadilah aku resmi guru privat bahasa Jepang. Hampir setiap hari datang mobil keren-keren ke rumahku untuk menjemputku pergi ke kantor atau rumah si murid (Asal jangan disangka wanita panggilan aja yah hihihi). Biasanya satu kali pelajaran 2 jam. Enak sekali tinggal duduk di mobil lalu diantar sampai tujuan. Waktu itu aku sering sekali ke perumahan orang Jepang yang berada di belakang Setiabudi Building.

Hanya satu kali aku menerima pekerjaan mengajar, harus ke kantor si murid sendiri yang terletak di Hayam Wuruk. Katanya dia tidak punya supir tetap karena selalu berbagi supir dengan temannya. Aduuuh aku harus menyetir ke daerah yang selalu membuat spanning supir-supir. Terus terang waktu itu aku takut sekali, karena belum pernah menyetir sampai daerah sana. Karena itu sebelumnya aku coba menyetir sendiri diawasi oleh mantan sahabat yang naik motor (dia takut juga kalau aku ada apa-apa). Untung mobil Peugeot 504 kesayanganku itu tidak pernah gentar menghadapi siapapun dan apapun. Bus? Jangan coba-coba serempet loh! Klaksonnya saja keras begitu hehehhe. Ah aku kangen pada mobil itu. Mobil yang gagah (mobil papa sih, bukan mobilku hehehe).

Pengalaman menjadi supir eh guru bahasa privat itu akhirnya menjadi aset yang berharga. Karena begitu aku sampai di Tokyo, langsung ada tawaran untuk mengajar privat. Muridku yang pertama adalah sekelompok pecinta Indonesia, dengan salah satu membernya yang bekerja di Pusat Penelitian Ekonomi Asia IDE (sekarang menjadi friendku di FB malahan). Jadi kami selalu berkumpul di kantornya setelah jam kerja, dan belajar di sana. Aku selalu menolak waktu mereka mau memanggilku dengan “Imelda Sensei”. Aduh risih sekali dipanggil begitu…. Jadi aku dipanggil “Imelda san” saja oleh mereka. Aku merasa tidak pantas karena sebetulnya mereka sudah pandai berbahasa Indonesia. Aku hanya mendampingi mereka memahami kalimat atau nuansa yang tidak bisa tertangkap karena bahasa Indonesia memang banyak yang ambigu. Bayangkan bahan pelajarannya saja buku “Sepanjang Jalan Kenangan” (Muharyo Djojodigdo) dan buku biografi dari Prof. Slamet Imam Santoso, “Warna-warni kehidupan”. Kadang bercampur bahasa Belanda, Inggris, Jawa, dan betawi . (Waktu pas mudik dan melihat buku itu di gramed aku langsung beli. Waktu itu kami belajar memakai fotokopi saja. Semua hasil terjemahannya masih aku simpan. Suatu waktu ingin kubaca kembali).

Kenapa aku enggan dipanggil sensei? Sensei jika ditulis dengan kanji 先生、 kanji sen 先 berarti duluan dan sei 生 berarti hidup. Jadi harafiahnya hidup duluan (dari kita). Memang biasanya orang yang hidup duluan dari kita kan berpengalaman ya. Nah, waktu itu aku masih berusia 24-25 tahun, dipanggil sensei oleh murid-murid yang jauh lebih tua dari aku…. risih sekali rasanya. Tapi setelah aku lulus program Master tahun 1996, mau tidak mau aku menerima dipanggil sensei. Apalagi umur sudah semakin tua :D. Meskipun aku masih terus risih dipanggil sensei oleh Watanabe san (yang pernah kutulis di “Belajar terus sampai mati” atau alm. Fukuoka Sensei (ini beneran sensei karena beliau dokter)

Aku tidak pernah bercita-cita menjadi sensei, dan pasti akan menolak menjadi sensei untuk anak-anak. Hanya karena aku bisa bahasa Jepang dan suka mengajar macam-macam maka aku betah dengan profesi guru/dosen  bahasa Indonesia. Tapi jika aku harus mengajar anak SD misalnya… duh angkat tangan deh. Satu kali saja aku mengajar bahasa Inggris pada anak SD, itupun kebanyakan bermain hahaha. Ngga bakat deh.

Tapi aku bisa menjadi sensei di sini juga berkat pendidikan yang aku terima, mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan Universitas di Indonesia, serta program Master di Yokohama National University. Semua guru dan dosen telah mengajarkan aku pendidikan dasar, menengah dan lanjutan sehingga bisa menjadi Mama Sensei seperti sekarang ini. Rasa terima kasihku mungkin belum tersampaikan pada semua guru-guruku, tapi masing-masing guru ada dalam hati dan pikiranku…paling sedikit ajarannya. Di hari guru Nasional ini, aku mau mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada guru-guruku dimanapun mereka berada (Ya… cukup banyak yang sudah berada di surga. May they rest in peace)

NB: Dalam bahasa Jepang murid selalu memanggil Imelda Sensei, dan dari kamus mereka tahu bahwa sensei = guru. Jadi mereka sering memanggil aku Guru Imelda…. hehehe. Dan aku jelaskan bahwa di Indonesia “guru” adalah profesi, sehingga tidak memanggil Guru Imelda tapi Ibu Imelda. Tetap untuk memanggil wanita memakai Ibu, dan jika gurunya pria memanggil Bapak saja.

Autumn Leaves and Fishing

24 Nov

Judul yang aneh karena biasanya orang tidak memancing di musim gugur. Tapi di hari libur “Hari Pekerja” tgl 23 November ini, deMiyashita memancing daun dan …ikan!

Seperti biasa, Riku bangun pagi, jam 6 kurang. Karena aku sempat terbangun dini hari untuk 3 jam, maka aku masih tidur ketika dia membangunkan aku, “Ma, aku boleh masak Omuraisu (semacam nasi goreng yang dilapisi telur dadar) ?” Rupanya dia kelaparan.
“Boleh saja, tapi hati-hati dengan api ya….”

Tadinya aku mau tetap tidur, tapi rasanya kok khawatir juga membiarkan dia masak sendiri. Akhirnya aku bangun, hanya untuk mengawasi pemakaian api, dan…. memotret! Memang ini bukan yang pertama kali dia mencoba memasak, tapi pertama kali dia mengerjakan semua, sejak mengocok telur sampai menggoreng dan membuat nasi gorengnya. Nasi gorengnya tentu ala Riku, yang gampang, hanya nasi diberi saus tomat dan sedikit garam/lada. Dia sendiri tidak begitu suka daging, sehingga tidak pakai daging (kalau aku pasti masukkan ayam/daging giling/susis…apa saja).

Gayanya sih sudah seperti Chef beneran. Dua wajan dipakai! hahaha. Dan hasilnya lumayan enak loh. Telurnya empuk dan manis …fuwafuwa ふわふわ, karena diberi susu. Buktinya satu piring penuh dia habiskan sendiri hihihi (biasanya kalau aku bikin cuma makan setengahnya)

Nah, kemudian satu persatu penghuni apartemen kami bangun. Di luar hujan rintik terus menerus. Jadi aku tidak bisa mencuci baju. Kami melewatkan pagi itu dengan menonton tivi dan aku membersihkan ruangan.

Tapi setelah pukul 11, hujan berhenti dan hangat! Sejak hari Minggu udara dingin, jadi waktu udara menjadi hangat begini, rasanya ingin keluar rumah. Akhirnya Riku minta papanya untuk ke taman, dimana dia bisa berlari sepenuh hati. Dia sendiri yang menyarankan kami pergi ke  Tokorozawa Aviation Park di Saitama. Dia tahu di sana terdapat lapangan yang luas, dan ada tempat bermain untuk anak-anak.

Yosh! Kami berangkat pukul 1:30 siang. Langsung lewat toll ke arah Tokorozawa. Dan menjelang masuk parkiran Taman itu terpaksa harus antri cukup lama. Karena macet dan rupanya cukup banyak orang yang memanfaatkan cerahnya hari dengan berjalan-jalan ke Taman ini. Waktu masuk aku sempat kaget juga membaca bahwa ongkos parkir di situ gratis untuk 2 jam pertama, dan setiap jam berikutnya HANYA 100 yen. Weks, mana ada semurah ini di Tokyo? Rasanya ingin pindah ke Saitama aja deh.

Gayanya Kai and Autumn Leaves @Tokorozawa Aviation Park

Sementara Gen antri parkir, aku dan anak-anak turun duluan. Dan kami disambut dengan pemandangan musim gugur yang indah! Lapangan luas dengan pohon-pohon yang sudah mulai berubah warna. Banyak keluarga datang dan bermain di sini. Benar-benar pemandangan yang mengundang kita untuk berlari dan …tiduran di atas hamparan permadani daun emas!

Setelah Gen bergabung, aku mendapatkan kesempatan untuk NARSIS hehehe. Untung saja suamiku ini mau melayani permintaan istrinya yang juga mau memamerkan buku sahabatnya, Mas Nug yang baru diterbitkan. Mata Hati adalah buku foto+puisi yang mengajak kita berkeliling dunia, menikmati pemandangan dan hal-hal sepele yang tertangkap oleh mata-hati seorang lawyer kondang (yang berminat mendapatkannya silakan baca di sini) . Kalau tidak khawatir nasib anak-anak dan sungkan pada Gen, pasti bisa berjam-jam deh berfoto di sini… tentu saja dengan berbagai pose hehehe.

Memang kami tidak bisa mengelilingi Taman seluas ini semuanya. Bayangkan taman ini dulu merupakan bandara pertama di Jepang! Luasnya 11 kali Tokyo Dome, yaitu sekitar 47 ha. Sebuah taman yang bersejarah, yang bisa digunakan oleh semua warga dengan gratis. Tentu saja harus bayar jika ingin menggunakan lapangan tenis atau melakukan kegiatan khusus lainnya. Tapi kalau hanya untuk berjalan-jalan, jogging atau bermain di tempat anak-anak, bahkan piknik….semuanya gratis. Mau murah tinggal naik sepeda (kalau mobil kan bayar parkir). Ada juga sih museum pesawatnya, tapi untuk masuk museum harus bayar 500 yen untuk dewasa.

Riku dan Kai menikmati taman dengan bermain, berlari, memungut dahan, main perosotan (Kai takut-takut sih), kemudian ada pula jungle jim. Sementara mama Imelda memotret daun Momiji (maple) yang berubah warna oranye dan merah. Indah!

Puas bermain, kami mencari makanan kecil dan minuman hangat. Ada sebuah kantin di sana, dan kami membeli yakisoba (mie goreng jepang), takoyaki (octopus ball), potato fries dan frankfurt (susis). Bener-bener junk food deh hehehe.

Waktu mau kembali ke parkiran itulah kami mmapir ke museum dengan niat untuk masuk. Tapi karena sudah jam 4:30, tidak bisa beli karcis lagi (Museum tutup jam 5, dan 30 menit sebelumnya tiket tidak dijual). Akhirnya kami berjalan pulang setelah melihat toko souvenirnya saja (tanpa beli apa-apa) dan waktu itu pun sudah mulai gelap.

Lampu-lampu di pohon mengingatkan Natal yang sudah semakin dekat

Kami juga melewati gedung pertunjukan MUSE, sebuah tempat untuk konser dan hall serba guna. Katanya Universitasnya Gen juga sering menyewa tempat ini untuk upacara penerimaan mahasiswa baru. Kalau malam indah karena diterangi oleh lampu-lampu, baik di gedungnya maupun di taman bagian dalamnya.

Bingung memilih tempat makan malam, Gen mengajak kami pergi ke sebuah restoran yang unik. Namanya ZAUO. Dia pernah ke sana dengan dosen-dosen universitasnya dan berniat mengajak kami juga. Cukup mahal memang, tapi bulan ini memang kami tidak pergi ke mana-mana, jadi kami memutuskan menikmati restoran ini.

Riku tidak tahu tentang rencana kami ke restoran ini, sehingga begitu kami masuk, dia langsung teriak kegirangan. Betapa tidak, begitu kami masuk langsung melihat sebuah kapal di atas kolam dan beberapa anak-anak memancing. “Aku mau mancing…aku mau mancing!”

Memancing dari atas "kapal", tapi sisi sebelah sini kurang banyak ikannya. Lagipula pinter-pinter, tidak mau makan umpan padahal sudah di depan hidung.

Kami mendapat tempat duduk di atas kapal karena kamar-kamar kecil sudah penuh dipesan orang lain. Kalau di kamar kecil itu, memancingnya dari jendela kamar yang terbuat dari kaca yang bisa melihat langsung ikan berenang. Ya seperti memancing di akuarium deh.

Tapi justru dengan duduk di atas kapal itu, kami bisa bebas memancing kemana-mana. Sayangnya di sisi kapal dekat meja kami jarang sekali ikannya.

Kami memesan dua kail+ umpan. Semua ikan yang kami pancing harus dimakan atau dibawa pulang, tidak boleh dilepas lagi. Lagipula ada daftar harganya. Jika tidak memancing misalnya untuk seekor kakap harganya 3200 yen, tapi kalau memancing sendiri “cuma” 2300 yen. Tapi ya memang untung-untungan, karena cukup lama untuk bisa menangkap seekor ikan. Kelihatannya ikan-ikannya juga sudah pinter, tidak mau makan umpan biarpun sudah di depan hidung.

Riku dengan Kakap hasil pancingan kedua

Setelah 20 menitan muter-muter cari tempat yang enak, akhirnya Riku berhasil memancing satu ikan kakap. Wah betapa girangnya dia. Lumayan besar loh ikan itu. Dan ikan tangkapan Riku yang pertama, kami minta untuk dibuat IKEZUKURI, atau sashimi (arti harafiah dari ikezukuri adalah memotong ikan dalam keadaan hidup. Jika ikan jenis “aji” dia masih bisa megap-megap meskipun dagingnya sudah “dicincang”. Tapi ikan kakap ini tidak, meskipun pada bagian sirip punggung masih bergerak meskipun sudah cukup lama bertengger di atas meja).

Karena Riku sudah mendapat satu ikan besar, Gen meminta aku memancing di tempat ikan “Aji“, ikan kecil dan murah (680 yen) yang juga enak dibuat sashimi. TAPI ikan Ajinya itu ditaruh dalam satu kolam bersama ikan Hirame (ikan sebelah) yang harganya muahal (3480 yen). Nah, maksud hati mancing yang murah, eeeh yang makan umpan aku justru si Hirame ini. Sial! hahaha. Karena ikan sebelah ini tipis, maka kami minta untuk digoreng.

Imelda dan Hirame...huh aku ngga mau kamu kok sebetulnya hihihi

Kembali ke meja kami, tahu-tahu Riku berteriak…”Aku dapat ikan lagi”… ya, dia tangkap ikan Kakap lagi! Aku cepat-cepat ambil jala untuk menadah ikan tersebut. Wahhh 3 ikan yang besar, gimana abisinnya nih? Untung kami suka ikan, jadi ikan Kakap nya Riku yang kedua kami minta untuk dibakar dengan garam saja. Yang paling sederhana….dan paling enak kalau menurut aku. Kalau kebanyakan masakan Indonesia kan ikannya digoreng, tapi aku paling suka ikan dibakar tanpa bumbu apa-apa, hanya garam. Dan kamu bisa tahu segar tidaknya, enak tidaknya seekor ikan. Back to nature deh.

Kakap ikezukuri... sirip punggungnya masih bergerak-gerak

Sebetulnya Riku masih mau memancing, tapi kami larang. Karena 3 ikan saja sudah 10.000 yen! mahal hihihi. Dan sambil makan dia ngomong terus,
“Papa terima kasih ya hari ini aku senang sekali. Bayangin aku bisa pancing dua ikan! duh aku mau tulis di catatan harianku soal hari ini….”
“Papa janji ya untuk ajak lagi ke sini, Aku suka sekali restoran ini…”
“Papa, nanti kalau aku ulang tahun, mau buat pesti di sini saja…”
“Aku mau part time job di restoran ini deh, jadi bisa mancing terus-terusan”
“Papa, aku kalau besar mau jadi Nelayan aja ah…asyiknya bisa tangkap ikan setiap hari”
…. dan kami berdua meredakan kegembiraan dia dengan berkata, “Iya kalau ada rejeki”,
“Kamu bisa memancing untuk hobi buat sebagai matapencaharian”,
“Kamu belum tahu susahnya mancing di laut. Ikannya besar-besar, perlu tenaga besar”,
“Iya nanti minta ajak Pak Eto, dia ahli memancing ikan. Kamu ikut aja sama dia biar tahu sebenarnya bagaimana”.
Tapi terus terang kami juga senang Riku menemukan kegemaran baru, meskipun mungkin tidak berlanjut lama.

deMiyashita @ Zauo resto unik di Saitama

Pemandangan indah, pengalaman baru, makan enak, tertawa bersama. Satu hari yang indah yang kami lewatkan bersama, sambil menikmati bulan November yang hampir habis.

Have a nice Wednesday temans

deMiyashita

Open House

22 Nov

Kalau di Indonesia biasanya kita mendengar istilah Open House ini pada hari Raya semisal Idul Fitri dan Natal, yaitu pejabat-pejabat dan boss membuka rumah mereka dan menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat hari Raya. Kegiatan seperti ini tidak ada di Jepang (kecuali di KBRI) karena tentu saja orang Jepang tidak merayakan hari-hari agama (lagian rumahnya kecil sih hehehe).

Nah, hari Jumat-Sabtu kemarin (19-20 November) SD nya Riku mengadakan “Open House” atau mungkin kebih tepat diterjemahkan “Open School” (tapi takutnya orang Indonesia menyamakan Open School dengan Universitas Terbuka) . Bahasa Jepangnya memang persis sama dengan bahasa Inggris Open School gakkoukoukai 学校公開, membuka sekolah untuk umum, siapa saja boleh datang, asal mengisi buku tamu demi keamanan (kalau orangtua cukup memakai badge khusus). Istilah Open School ini aku bedakan dengan Open Class yang pernah kutulis di sini, yang bahasa Jepangnya jugyosankanbi 授業参観日 kunjungan ortu ke kelas untuk melihat proses pembelajaran.

Open school juga memperbolehkan orang tua melihat proses pembelajaran selama dua hari itu, tapi selain itu diadakan pameran hasil karya murid satu sekolah di gedung olahraganya.

Terus terang aku penuh dilema waktu itu, karena aku harus mengajar jumat sedangkan acaranya Riku itu jumat dan sabtu. Waktu kuberitahu aku tidak bisa datang jumatnya, Riku menangis. Dia bilang, “Tapi orangtua yang lain datang kan?”. Dia ingin memperlihatkan hasil belajarnya padaku. Ah, bingung, tapi kupikir kapan lagi Riku dengan senang hati, malahan berharap kedatangan orang tuanya ke kelas seperti ini. Biasanya sesudah kelas 4 SD, anak-anak tidak suka orang tuanya datang ke sekolah dan melihat mereka belajar.  Akhirnya aku minta ijin tidak mengajar, dan memberikan tugas saja kepada mahasiswa untuk pergi ke SD nya Riku.

Waktu aku sampai jam 9 pagi (jam pertama mulai jam 8:50 ~) mereka sedang belajar matematika. Dan …aku adalah orang tua yang pertama hadir. Betapa senangnya melihat wajah Riku yang berseri-seri tersenyum begitu. Dia memang duduk paling belakang, dan aku melihat pembelajaran itu di bagian belakang kelas. Gurunya- Chiaki sensei- senang juga melihat aku datang. Saat itu kelas dua sedang  mempelajari bentuk-bentuk segitiga, empat persegi panjang. Wah, aku juga jadi ikut belajar deh… karena sebetulnya aku tidak tahu istilah titik sudut itu chouten 頂点 (Inggrisnya vertex)  atau sisi itu hen へん   (Inggrisnya edge) … hahaha. Abis waktu universitas belajar bahasa Jepangnya kan tidak belajar matematika! (ngeles.com)

Pelajaran kedua adalah musik. Semua mengeluarkan pianika (di sini namanya kenban harmonika) . Satu kelas memainkan lagu edelweis dan yuuyake koyake. Aku langsung perhatikan tangan Riku…. benar deh dia kadang skip not yang dia tidak tahu, atau dia tidak tiup, sehingga tidak ketahuan kalau dia salah. Dasarrrr…. Memang oleh gurunya aku diberitahu bahwa Riku kurang bisa untuk pelajaran musik (kecuali nyanyi karena nyanyi dia bisa) dan olahraga. Dan musik itu sebetulnya bisa di -catch up dengan latihan. BUT persoalannya aku juga tidak bisa main musik. Paling yang aku bisa menyanyi  di sebelahnya dan membantu Riku mempertahankan tempo lagu. Itu yang aku lakukan, jadi untung saja waktu ada presentasi masing-masing murid, Riku tidak memalukan meskipun dia memilih lagu yang mudah hahaha. (Sampai aku berniat membeli metronom loh… tapi waktu aku bilang gen soal beli metronom, gen bilang tidak perlu)

Pelajaran ketiga adalah olahraga. Pemanasan dan permainan dodge ball. Yang lucu saking aku ngobrol dengan ibu yang lain, aku tidak tahu kapan Riku itu jatuh dan terluka lututnya. Tau-tau dia kembali ke lapangan dengan kaki kanan berplaster. Gurunya menghampiri aku dan menjelaskan bahwa Riku jatuh, sambil minta maaf kok terjadi di depan mamanya….semua kejadian di sekolah adalah tanggung jawab guru soalnya…. wah aku langsung bilang, no problem sensei. Aku yang mengikuti pelajaran dari awal (dan terus sampai akhir) saja capek apalagi si guru, benar-benar perlu stamina tinggi sebagai guru kelas 1-2-3 SD itu, karena harus mengajarkan semua pelajaran sendirian. Salut deh sama ibu guru SD.

Sesudah pelajaran olahraga,  jam keempat adalah jam prakarya. Tapi karena mereka sudah membuat hasil karya yang dipajang untuk pameran di gedung olahraga, maka jam pelajaran ini dipakai untuk melihat pameran.

Well, begitu masuk ruang olahraga aku terpana. Jujur, awalnya aku pikir, “Ah hasil karya anak SD bisa diprediksi hasilnya seperti apa…” Tapi, begitu masuk langsung terpampang karya seni yang mungkin kalau dipajang satu saja tidak “WAH” tapi dipajang banyak begitu, benar-benar menjadikan PAMERAN sungguhan (ya, masak boongan mel). Ungkapan Jepangnya: hakuryoku ga aru 迫力がある ada daya tarik yang besar.

Paling dekat pintu karya kelas 1, yang memamerkan lukisan dengan satu tema yaitu “Sarung Tangan”, sebuah cerita rakyat Ukraina (picture booknya terkenal juga di sini), dan topeng shishimai dari kotak tissue. Kelasnya Riku menampilkan lukisan hangga (nukilan kayu), lukisan memakai tinta hitam dan topi kertas. Lukisan hangganya Riku cukup bagus, menggambarkan tanuki (sejenis srigala) . Tapi topinya duuuuh HADE alias rameeee hiasannya. Ceritanya dia mau buat topi pet, jadinya tidak kelihatan seperti topi deh karena kebanyakan hiasan hahaha.

Yang membuatku terpana, setiap kelas menampilkan lukisan dan seni rupa yang berbeda dan memakai beragam media. HEBAT! ada paduan lukisan dan guntingan kertas, ada lukisan dengan memakai cat poster/cat air dipadukan robekan kertas, ada lukisan ala batik, ada hasil kerajinan keramik biasa (pot), tapi ada juga keramik dipadukan dengan kaca yang dibakar 1150 derajat sehingga menghasilkan semacam stained glass. Selain itu ada kursi karya kelas 6, dan lukisan bersama putih biru ala Henri Matisse.

topi pechanko (ambles) nya Riku....bener-bener ...rame! hahaha

Wah, melihat hasil karya anak SD sedemikian bagus dan beragam, benar-benar membuat aku ingin mempraktekkannya setelah pulang. Nanti ajak Riku dan Kai untuk membuat prakarya macam-macam ahhhh… (meskipun bisa bayangkan betapa berantakannya rumahku nanti …hiks…)

Sesudah jam ke4, murid-murid makan siang dan kami orang tua harus pulang (tidak boleh menonton mereka makan…alasannya? ngga ketelen makanannya hahahah) . Jadi setelah aku makan siang di rumah, aku kembali lagi untuk mengikuti jam ke 5. Pelajaran terakhir itu adalah Kokugo (bahasa Jepang), berdiskusi membuat cerita, dan menyatakan pendapat. Misalnya : “Aku suka ceritanya si anu bagian yang ini….” Bagus juga untuk pelajaran menyatakan pendapat.

Waktu aku masuk kelas awal pelajaran ke 5, sekali lagi aku yang pertama datang. Entah kenapa hari Jumat itu sedikit sekali ibu-ibu yang datang. Mungkin semua anggap toh bisa datang hari sabtunya bersama suaminya. Ada seorang murid teman Riku bertanya,
“Tante, tante datang dari pagi ya?”
“Iya…”
“Nggak capek?”
“Capek, tapi kan mau belajar sama kalian. Tante juga belajar loh hari ini. Semua pintar-pintar”
dan si murid tersenyum. Ah senangnya melihat beberapa teman sering memandang padaku dan menunjukkan hasil karya/tulisan mereka atau bertanya padaku. Apalagi Riku waktu pelajaran terakhir berkata, “Mama tunggu aku ya… pulang sama-sama” Anak lelaki ku ini memang masih manja, tapi aku menikmatinya, sebelum dia memasuki masa puber dan malu dekat-dekat ibunya hehehe.

Akhirnya memang benar tebakanku bahwa orang tua banyak yang datang hari Sabtunya. Sudah seperti pasar malam deh. Tapi kelas Riku juga sudah tidak belajar, karena mereka membuat semacam permainan-permainan untuk anak-anak dan pengunjung. Orang tua juga bisa ikut memancing, menebak barang, lempar gelang dan boling. Panitianya semua anak-anak.

Pelajaran ke 5 di hari kedua adalah bahasa Jepang tentang huruf Katakana. Waktu itu kami sebal juga karena seharusnya Riku bisa jiman, bangga menuliskan nama Indonesia atau Jakarta atau nama mamanya dalam katakana. Tapi Riku sama sekali menulis contoh yang lain hahaha. Tidak menjawab keinginan papa-mamanya.

Satu hal yang aku lihat di kelas yang membuat aku mengingat kembali apakah dulu kami begitu. Yaitu setiap jam pelajaran mulai  pasti semua dalam keadaan diam, duduk yang manis, dan waktu berakhir mengucapkan terima kasih, sambil menunduk pada guru. Sesudah pelajaran terakhir  juga menunduk memberikan hormat pada orangtua yang sudah hadir. Apakah di Indonesia masih melakukan hal-hal begini ya? Bukan gila hormat, tapi merupakan pelajaran disiplin yang aku rasa tetap perlu di jaman manapun, sekolah manapun, negara manapun… dmei membentuk anak-anak yang “teratur”.

Well, dua hari yang melelahkan bagi Riku dan bagiku juga. Dan karena Riku masuk sekolah di hari Sabtu, maka hari Senin ini Riku libur sebagai ganti hari Sabtu. Padahal besok (Selasa 23 November) merupakan hari libur nasional, hari untuk pekerja/buruh sehingga 3 hari berturut-turut libur. Tidak apa-apa sih untuk aku, cuma….. musti siapin makanan/snack yang banyak itu loh yang cukup merepotkan. Riku dan Kai sudah mulai makan banyak nih… hehehe

So… have a nice Monday temans!

(Hari ini aku masak ayam goreng, daging pedas, balado terong, ketoprak, jelly dan es buah…. kayak mau pesta yah hahahaha. Hujan! dingin! Aku pergi ngajar dulu yah)

Gagal

18 Nov

Pernah gagal? Pasti dong ya deh sih….hehehe. Kalau untuk perkara besar pasti sebel, jengkel, kesal, nangis guling-guling sampai tidak mau makan berhari-hari (mati dong 😀 …). Tapi untuk perkara kecil, ngapain juga buang energi jadi biasanya cuma nyengir atau tertawa, kemudian melupakannya. Tapi ada pula perasaan malu jika hal itu disaksikan atau diceritakan pada orang lain.

Kebetulan aku baca situs favoritku, dan kemarin menampilkan topik: “gagal masak”. Pas bener deh dengan keadaanku kemarin. Jadi ceritanya karena hujan dan belum beli snack, aku buat konyaku/jelly rasa lechi dan mau buat kue untuk anak-anak. Biasa, ontbijtkoek, cake rasa palmsuiker. Nah, ntah kenapa kemarin itu aku ngelamun, sesudah mengocok telur dan menaburkan kacang almond, aku langsung masukkan oven. Lupa belum ditaruh terigu!

Makanya aku heran kok belum waktunya (20 menit) bau harum telur sudah menyebar. Pas aku mau cek sudah matang atau belum, dengan menusukkan lidi….loooh kok masih encer. Ternyata bagian luar sudah jadi shumpjies – merengue, tapi bagian dalam masih adonan telur …hahaha. Yah sebel juga sih, tapi aku langsung potong bagian luar yang sudah padat, lalu aku masukkan tepung terigu ke bagian tengah yang masih encer itu. Lumayan deh terselamatkan, meskipun hasilnya agak keras hahaha.

Well, manusia tidak sempurna! (ngelesdotcom hihi). Dan kalau kita sedang ngelamun biasanya banyak terjadi “kecelakaan” seperti itu. Jatuhkan minuman di restoran, atau terpeleset jatuh, atau merobek surat penting dsb. Tapi ada kalanya kecelakaan juga terjadi karena kita tidak tahu.

Dalam situs itu diberikan contoh tentang ibu yang tidak tahu bahwa isi perut ikan itu harus dibuang. Dia langsung goreng saja, sehingga suatu saat “meletus” lah si ikan laksana gunung Merapi hehehe. Untung tidak terjadi korban, meskipun cukup mengagetkan. Atau ada yang cerita bahwa dia goreng udang dengan semua kulit untuk disajikan ke tamu, padahal biasanya supaya cantik dan tamu mudah makan, kulit udang dikupas tapi tinggalkan bagian ekor saja (kalau buat tempura juga begini).

Aku pernah mendapatkan pelajaran berharga di rumah teman. Selama itu aku tidak tahu bahwa waktu mau merebus telur mentah harus dari air, tidak boleh air panas/rebus mendidih. Karena jika kita masukkan telur mentah ke air mendidih, si telur langsung pecah. Itu sebabnya merebus telur harus memasukkan telur dalam air dari awal. Memang aku selalu begitu, tapi kebetulan waktu itu ada acara masak bersama, dan ada air mendidih sedangkan kita harus membuat telur rebus. Lalu aku bilang, “Masukkin aja ke situ”. Lalu diberitahu seorang ibu (Jangan-jangan dia pernah ngalami telurnya mledug yah hahaha). Well, satu pelajaran lagi. Hidup memang penuh dengan pelajaran ….cieeeee.

Pemakaian microwave juga akan berbahaya jika tidak tahu. Misalnya waktu mau memanaskan makanan memasukkan piring bersama sendok sekaligus. Dijamin deh microwavenya meledak deh hihihi. Nah kalo ini rugi besar deh, karena microwave kan tidak murah. Juga waktu memanaskan minuman dengan microwave harus sangat berhati-hati. Biasakan memanaskan cukup dengan 1  menit dulu, jangan lebih. Karena ada kejadian seseorang memanaskan susu 5 menit, begitu cing bunyi, langsung keluarkan gelas dan langsung minum. Langsung melepuh deh lidahnya hiiiiii.ngeriiiii….

Dan ada satu wanti-wanti dari ibu kos-ku dulu yang sampai sekarang aku selalu ingat. Di bawah keran tempat cuci piring ada baskom untuk menampung piring kotor. Biasanya kami menaruh piring kotor ke dalamnya lalu beri air dan sedikit sabun, tunggu sebentar baru dicuci dengan tapes. Nah, ibu kost ku itu selalu “cerewet” memberitahukan pembantunya agar jangan menaruh pisau ke dalam baskom itu. Hmmm aku langsung bayangkan, ngeri juga kalau pas ngudek-ngudek isi baskom lalu tangannya teriris pisau karena tidak ketahuan ada pisau di dalamnya….. bisa kecelakaan lagi deh.

Bagaimana dengan teman-teman? apakah pernah ada yang melakukan “kebodohan” ringan atau kegagalan seputar dapur dan meja makan? (Biasanya yang paling sering terjadi adalah memasukkan gula padahal mustinya garam, atau sebaliknya….kalau aku tidak pernah karena selalu aku rasa dulu sebelum masukkan hehehe)

Buku Bagus

16 Nov

Menurutku hampir semua buku itu bagus! Kalau ada buku jelek, ya itu mungkin karena cara penyampaian, atau topik yang tidak menarik (ini juga relatif sih), atau editornya kurang cerewet hehehe. Bener ngga mas Din?

Yang sedikit adalah buku “luar biasa”, dan memang itu berbeda karena di situ sudah masuk unsur pendapat dan kesukaan masing-masing individu. Buku favoritku dan buku favorit kamu pasti beda deh. Jadi daripada menanyakan buku itu bagus atau tidak, lebih tepat mengelompokkan buku menjadi : buku menarik dan tidak menarik.

Nah, aku di blog TE ini sudah banyak memperkenalkan Picture Book Jepang yang aku rasa bagus dan menarik. Aku memperkenalkan picture book itu karena memang aku kagum pada keberadaan picture book dalam pendidikan anak-anak di Jepang. Sampai-sampai waktu pergi memeriksakan kesehatan  berkala bayi pertama kali di puskesmas, orang tua akan diberikan hadiah picture book gratis, untuk dibacakan pada bayi mereka. Tujuannya cuma satu: supaya bayi dapat menjadi anak-anak yang cinta buku.

Kali ini aku ingin menulis lagi tentang picture book yang bagus. Buku ini sudah lama Gen beli, mungkin musim panas tahun yang lalu. Tapi aku baru bacakan untuk Kai beberapa malam yang lalu. Riku sudah dibacakan Gen sejak awal beli. Tapi karena Gen yang bacakan, aku sendiri tidak perhatikan isinya. Tapi begitu aku selesai bacakan ke Kai, esoknya aku bilang pada Gen, “Buku itu bagus ya!”.  Jawabnya, “Itu aku buka-buka di toko buku, dan aku beli karena menurutku memang bagus. Buku ini merupakan buku pilihan untuk tahun 2009.” Dan… harganya cukup mahal, 1500 yen. (ssst padahal gambarnya ngga bagus loh— sekali lagi pendapat pribadi)

sampul buku picture book kali ini

Judulnya?” Okodademasenyouni” 「おこだでませんように」 dan aku yakin orang Indonesia yang sudah belajar bahasa Jepang tidak bisa menemukan arti dari judul tersebut. Karena sebenarnya cerita dalam picture book ini memakai dialek Kansai (Osaka, Kyoto dan sekitarnya) yang berlainan dengan bahasa Jepang standar. Sedangkan okodademasennyouni sendiri merupakan bahasa anak-anak (seperti mam untuk makan dalam bahasa Indonesia). Aku pun agak terbata-bata waktu membacakan picture book ini pada Kai, tapi…. isinya tetap tersampaikan.

Seorang anak laki-laki kelas 1 SD, berjalan pulang ke rumah dari sekolah sambil menundukkan kepala…

Aku selalu dimarahi. Di rumah maupun di sekolah….
Kadang-kadang mama pulang lambat dari kerja,
karenanya aku harus bermain dengan adikku.
Tapi entah kenapa khusus di hari-hari mama tidak ada,
adikku itu manja sekali…
“Apaan origami seperti ini. Jelek! Kertas lipat buatan mama lebih bagus”
“Cerewet! Lebih muda dariku sudah cerewet!”

Kalau aku marah, adikku langsung menangis.
Dan biasanya nangis terus sampai mama pulang.
Memang sih tengah-tengah berhenti, tapi begitu mama pulang…
langsung nangis lagi! huh….

Waktu adik menangis itu, mama selalu marah.
“Kamu gangguin adik lagi ya!”  (abis dia lebih muda dari aku minta macam-macam)
“Kamu belum bikin PR?????” (Ya iya… kan aku main dengan adik… kapan aku bisa bikin PR?)

Tapi, kalau aku bilang apa yang kusebutkan dalam hati itu,
mama PASTI marah.
Makanya aku diam saja dan berpaling.
Berpaling dan tidak bicara apa-apa, terima dimarahi.

Huh, aku selalu dimarahi.

Di sekolah pun aku sering dimarahi. (gambar dia pegang jangkrik, dan murid perempuan menangis)

Hari ini waktu istirahat, aku ngga dibolehin ikut main sepakbola oleh Ma-kun dan Ta-kun
“Kenapa aku ngga boleh ikut main?”
“Kamu ngga tau peraturan dan sering kasar mainnya sih!”
Aku kesal!
“Ohhh gitu ya? Aku biar diminta kamu untuk main bersama juga ngga mau!”
sambil berkata begitu aku tendang Ma-kun dan pukul Ta-kun.
Keduanya langsung menangis.

Guru langsung datang, dan hanya marahin aku saja.
“Kamu apain?” (Tuh mereka berdua yang duluan musuhin aku)
“Tidak boleh kasar kan!” (Tapi waktu dibilang “kamu ngga boleh ikut” , itu adalah pukulan telak di hatiku)

Tapi kalau aku bilang apa yang ada dalam hati, PASTI guruku akan marah.
Karena itu aku diam saja, dan berpaling.
Berpaling dan tidak bicara apa-apa, terima dimarahi.

Huh, aku selalu dimarahi.

(gambar: sambil berjalan pulang ke rumah….)

Kemarin juga dimarahi…
Hari ini juga dimarahi…..
Pasti besok juga dimarahi……

Sesungguhnya aku ingin sekali dikatakan, “anak baik”
Tapi mama dan guruku setiap melihatku, pasti dengan muka marah..

Waktu itu, aku bilang pada mama,”Kalau mukanya seperti itu nanti keriputnya bertambah loh”…. dimarahin lagi. Padahal aku ingin mama tetap cantik.

Aku harus gimana ya supaya tidak dimarahi…
Aku harus gimana ya supaya dipuji……
Apa aku memang “anak nakal?”
Padahal aku sudah masuk SD
Sudah jadi anak kelas 1.

Tanggal 7 Juli, kami menuliskan keinginan di kertas Tanzaku.
Ma-kun dan Ta-kun menulis, “Supaya bisa jadi atlit sepakbola”.
Tomo-chan menulis,”Supaya bisa pintar bermain piano”.

Aku berpikir.
Aku berpikir apa keinginanku nomor satu.
Waktu aku sedang berpikir keras…
“Ayo cepat tulis!”
dimarahi lagi…….

Kemudian aku menulis keinginanku dengan huruf hiragana yang kupelajari sejak masuk SD.
Dengan hiragana satu per satu, penuh perasaan.

“Okodademasenyouni” (Supaya jangan dimarahi)

Selesai menulis, aku selalu yang terakhir. (Aaaah pasti dimarahi lagi)
Sambil berpikir begitu, aku menyerahkan kertas Tanzaku pada guruku.
Guruku melihat tanzaku milikku….
Guruku teruuuus membaca kertas tanzaku milikku.

Ahhhhhh

Guruku menangis!!!!!

“Bu guru selalu marah ya…. maaf ya. Pintar ya tulisannya. Keinginan yang bagus!”

Haaaaaa…. guruku memujiku!!!!!!

Aku kaget sekali
Abis…keinginanku langsung terkabulkan!

Malam harinya, ada telepon dari guruku.
Mama lamaaaa sekali berbicara di telepon dengan guruku.
Selesai telepon, mama memelukku seperti waktu memeluk adikku.
“Maaf yah, mama marah terus-menerus”
sambil berkata begitu, mama memelukku erat-erat.

Karena adikku iri, aku memeluk adikku.
“Kamu berdua, harta mama yang paling berharga”
Sambil berkata begitu mama memeluk aku dan adikku… lamaaaaa sekali.

Tanabata sama, terima kasih.
Banyak banyak terima kasih.
Hari ini aku bahagia sekali.
Sebagai terimakasihku, aku akan jadi anak baik.

ZzZZzzzzzzz

***(Tanggal 7 Juli adalah peringatan tanabata. Berasal dari dongeng pertemuan dua kekasih yang bisa dibaca di sini, sehingga setiap tanggal tersebut orang Jepang mempunyai kebiasaan untuk menuliskan keinginan mereka pada kertas tanzaku dan menggantungkan di daun Sasa. Bisa baca cerita permohonan tanabata ini juga di sini.)

(Terjemahan oleh Imelda. Cerita ini aku terjemahkan hampir semua karena tidak bisa sepotong-sepotong. Ingat copyright ada di tangan penerbit. Jadi dilarang menyebarkan cerita keseluruhan tanpa menyebutkan sumber, apalagi mencetaknya)

Aduuuuh aku menangis sambil membaca buku ini. Bohong kalau aku tidak pernah marah pada anak-anak. Dan buku ini menceritakan perasaan anak-anak sesungguhnya. Mereka TIDAK BERMAKSUD UNTUK NAKAL. Pasti ada sebabnya, sedangkan kita, orang dewasa selalu menyalahkan mereka. Selalu MENYURUH MEREKA MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEHENDAK ORANG DEWASA. Padahal mereka juga belum mampu. Oh Tuhan… memang keinginan anak itu adalah permohonannya juga pada Tuhannya. Supaya jangan dimarahi. Supaya dipuji.

Anak butuh pujian! Dan tidak ada salahnya orang tua minta MAAF pada anak.

Buku ini benar-benar buku yang bagus. Dan sebetulnya HARUS dibaca oleh para orang tua, bukan anak-anak. Kita selalu beranggapan bahwa picture book itu untuk anak-anak saja. NO! Sebetulnya banyak picture book yang cocok untuk semua umur! Betapa banyak aku belajar juga dari picture book (silakan search kata kunci “picture book” di TE, pasti ada beberapa cerita yang telah aku perkenalkan)

Cerita ini dikarang oleh Kusunoki Shigenori, gambar oleh Ishii Koyotaka. Diterbitkan oleh Shogakkan pertama kali Juli 2008 seharga 1500yen(+pajak 5%)

Kenangan Abadi?

15 Nov

Kadang kita mengatakan perbuatan memotret sebagai “mengabadikan”.  Menurut KBBI daring mengabadikan adalah : 2.membuat gambar kenang-kenangan (dng dipotret, dilukis, dsb); menjadikan peringatan yg kekal.

Kekal? Abadi? Seberapa abadinya? Terus terang aku sedang mangkel karena HardDisc External 160GB kepunyaanku macet. Tidak bisa terbaca. Mungkin masih bisa diusahakan oleh ahlinya tapi untuk itu aku harus mengeluarkan uang cukup banyak, dan sekarang belum ada budget untuk itu (bisa seharga DSLR Canon Kiss4 terbaru tuh). Padahal di dalamnya berisi foto-foto sejak tahun 2003 dan koleksi mp3 musik Indonesia-Inggris-Jepang-Jerman-Belanda  dll. Soal koleksi musiknya masih bisa aku kumpulkan lagi, karena kebanyakan memang sumbernya dari CD-ku sendiri, tapi foto? duh duh duh. Kesal sekali. Soalnya baru sebagian yang aku copy ke HD 1TB aku, keduluan rusak 🙁

Karena itu aku sekarang sering mengupload foto di Photobucket atau FB karena ternyata dengan aku upload di SNS  semacam multiply, FB banyak membantu jika koleksi di HD hilang begini.

Amankah data Anda? Sudah dibackup? Kalau mau tahu serba-serbi back-up silakan baca tulisan adik maya saya Jumria di TV (Tuti Nonka’s Veranda) untuk detilnya, tapi dari situ juga kita bisa tahu bahwa backup di CD/DVD juga tidak abadi. Ada batas waktunya. Yaitu cuma 20 tahun. (sumber dari 朝日小学校新聞2010年11月8日)

Dari surat kabar khusus untuk anak SD ini, selain bahwa umur CD/DVD hanya 20 tahun, aku juga tahu bahwa sebenarnya IC Memory seperti Flash disc itu umurnya hanya 5-10 tahun. Hard Disc hanya 5-20 tahun (yaaah pas aku ulang tahun umur 60, data itu bisa jadi hilang semua deh). Sedangkan media yang boleh dikatakan umurnya lebih lama adalah Microfilm 500-900 tahun, Kertas (hihihi pada lupa sama kertas ya….) 250-700 tahun…. kalau tidak ada banjir dan kebakaran. Dan yang paling lama mendekati kekal atau semi permanen adalah BATU! Nah loh, kembali ke jaman batu aja deh.

Dan kelihatannya memang tahan lama seperti “batu” itu yang menjadi cita-cita dari peneliti Jepang di Keio University. Prof. Kuroda Tadahiro mengembangkan sebuah media yang diharapkan bisa menyimpan data sampai 1000 tahun yang diberi nama Digital Rosetta Stone(DRS). Dengan memakai sistem seperti IC Memory , dia mengusahakan data “dipahat” dalam DSR ini layaknya kita memahat batu, yang tidak akan hilang. Di dalam IC Memory itu  banyak terdapat transistor yang dapat meng – on off aliran listrik dengan perintah 1 dan 0.  Pelat IC memory itu sendiri terbuat dari silikon yang memang tahan lama, tapi metal berupa garis halus menghubungkan sirkuit itu bisa berkarat terkena kandungan air di udara. Nah, kalau saja IC itu benar-benar tertutup dari udara luar, maka tidak akan karatan sehingga bisa menjadi penyimpan yang semi permanen. Tapi kalau benar-benar tertutup maka tidak bisa dialiri listrik apalagi membaca datanya. Untuk itu dipakai induksi elektromagnetik seperti sistem IC Card yang dikenal masyarakat, misalnya membuka pintu peron hanya dengan menyentuhkan kartu dengan panel scanner.

Pak Profesor Kuroda dengan DRS nya

Harga DRS ini diperkiraan bisa mencapai ratusan ribu yen jika dengan kapasitas komputer sekarang yang sekitar 300 GB. Tapi seperti harga IC Memory yang setiap tahun harganya turun, diharapkan 10 tahun mendatang bisa dibeli seharga ribuan yen saja. Apalagi dalam 20 tahun mendatang, DRS bisa jadi dapat dibeli amat murah, dan yang terpenting jaminan umur data Anda itu bisa 1000 tahun loh!

Hmmm…. tapi siapa yang bisa memastikannya ya? kita toh tidak hidup 1000 tahun untuk menggugat pak profesor jika ternyata DRS tidak memenuhi janjinya itu. Tapi yang pasti memang kita sendiri yang harus berusaha memakai bermacam media supaya data yang ingin kita abadikan bisa benar-benar abadi, sambil berharap anak-cucu kita tetap menganggap data yang kita simpan itu memang penting untuknya, atau untuk generasi lanjutannya. Paling tidak sebagai bukti sejarah kita. Semoga….

(Sumber data dan foto dari Asahi Shogakko Shimbun 08-11-10)

Jumat Ceria

13 Nov

Sudah lama ya aku tidak tulis tentang keseharianku. Mungkin terbawa juga kesibukan akhir-akhir ini yang membuat hati juga agak muram dan tak ada kesempatan untuk menikmati keseharian kami. Gen dalam satu bulan ini bekerja terus di hari Sabtu dan beberapa hari minggu, sehingga terus terang tidak ada waktu untuk santai jalan-jalan di akhir pekan. Aku yang harus melayani kedua boya (bocah) di akhir pekan, sehingga rasanya capek terus-menerus. Karena mobil dipakai Gen pergi kerja, aku malas pergi jauh-jauh sehingga cuma pergi ke tempat yang bisa dicapai dengan sepeda. Itupun paling makan di restoran dekat rumah.

Nah, hari jumat kemarin Gen mendapat libur pengganti. Senangnya dia sehingga malam sebelumnya dia berkata, “Aku antar kamu naik mobil ke universitas deh…. sebagai ganti kamu kan sering terpaksa ikut aku ke kampus hari senin (dan membawa pulang mobil)”. Duh, terus terang aku senang, meskipun tidak mau terlalu berharap karena jika dia kecapekan dia sulit bangun pagi kan. Memang kalau ditawari  naik mobil ke kampus begitu, aku pasti senang. Karena jarak rumah dengan kampus, jika naik kereta makan waktu 1,5 jam. Capek!

Tumben jumat pagi Gen bisa bangun pagi, dan kami berangkat pukul 9 pagi dari rumah. Setelah mengantar Kai ke penitipan, langsung menuju universitas. Menurut GPS car navigation, kami bisa sampai jam 10:10 menit. Wow cepat! Tapi…. kenyataannya macet di sekitar stasiun yang kebetulan harus kami lewati. Tapi karena kami berdua jarang bermobil berdua saja, rasanya seperti date (cihuuuy) , bisa bicara santai dan melihat pemandangan yang lain dengan jika naik kereta.

Akhirnya sampai di kampus jam 10:40 deh, padahal kuliah mulai jam 10:45 hihihi. Tapi betapa senangnya aku, karena Gen mau nunggu selama aku kasih kuliah. Katanya, “Kalau aku pulang sendiri, jangan-jangan ketiduran sambil nyetir nih”…wah alasan yang bagus juga hehehe. Jadi begitu kuliah pertama selesai aku cepat-cepat cari dia yang sedang baca di depan ruang dosen untuk makan siang bersama. Tujuannya ke kantin kampus di gedung10 dan makan ramen (mie) tantan men yang harganya harga mahasiswa cuma 380 yen. Meskipun kami berdua memakai jas seperti bussiness woman/man, rasanya kembali lagi menjadi mahasiswa makan di kantin mahasiswa deh. Padahal dulu kami jarang makan di kantin mahasiswa universitas Yokohama, karena di ruang mhs S2 ada kompor. Jadi biasanya kami beli makanan jadi atau masak yang gampang di ruang S2. Atau makan cup noodle hihihi. Jatuhnya lebih murah dan tidak usah antri kan.

Kelompok jazz mahasiswa mempertunjukan kebolehannya di lapangan univ.

Setelah makan kami kembali ke gedung tempat aku harus mengajar jam ke tiga, dan melewati sebuah lapangan terbuka. Ada beberapa mahasiswa yang membuat kegiatan ekstra kurikuler Band Jazz sedang promosi kegiatan mereka, dan memainkan lagu-lagu jazz. Aku berhenti di situ dan menonton mereka bermain, sementara Gen cari pojok untuk merokok. Di sini tidak bisa sembarangan merokok di mana-mana, ada tempat khusus bagi mereka yang mau merokok.

Kemudian aku meninggalkan Gen di atrium depan ruang dosen untuk mengajar jam ketiga. Kelas ini kelas dasar dan memang karena kuliah sesudah makan siang, pas mahasiswa (dan dosennya :D) kenyang, dan ngantuk apalagi kalau pasang heater sehingga hangat. Wahhhh perlu suara kencang dan pelajaran yang menarik supaya didengarkan mahasiswanya. Atau…kasih test hahaha. Dan memang khusus untuk kelas dasar aku setiap minggu mengadakan test kecil. Dan kuliah ketiga pun selesai. Langsung aku cari Gen yang tadinya bilang mau tidur di bangku taman aja, tau-tau dia sedang baca buku baru yang dibeli di toko buku universitas.

Nemenin aku dari jam 9 pagi sampai 2:30 siang. Jadi aku bilang Gen boleh tidur, dan biar aku yang menyetir perjalanan pulang. Toh ada navigation ini. Eh, tapi akhirnya ngobrol lagi terutama waktu mengetahui car navigationnya menyuruhku melewati jalan yang kita benci karena terkenal dengan kemacetannya, Kanpachi (Jalan no 8). Dan sepanjang jalan banyak sekali polisi, rupanya penjagaan keamanan sidang APEC diperketat di mana-mana. Jadi aku juga sangat berhati-hati waktu menyetir. Di jalan yang maksimumnya 30km, ya jalannya 30 km hahaha (padahal kalau tidak ada polisi dan sepi…. blas wae )

Gambar Riku mengenai "Human Space", rangkaian ruang untuk tinggal, bermain, bekerja. Gara-gara sambil menonton TV tentang arsitektur Jepang.

Sementara aku menyetir, seperti biasanya kalau Jumat  pukul 3 Riku menelepon dari rumah untuk memberitahukan dia sudah sampai rumah. Tapi karena aku sedang menyetir, Gen yang mengambil telepon. Riku kaget sekali kok papanya yang menyahut. Dia tidak tahu papanya libur hari itu, apalagi ikut mamanya ke kampus :D. Karena dia tahu kami akan pulang setengah empat, dia tidak mau ke les bahasa Inggris supaya dia ada di rumah waktu kami pulang. Ya sudah aku biarkan dia bolos bahasa Inggris. Kami berdua bernostalgia lagi karena Riku yang setahun lalu masih takut-takut tinggal sendiri di rumah, sekarang sudah bisa “jaga” rumah sendirian. Well… time flies.

Ternyata memang Kanpachi macet cet cet sehingga kami baru sampai di rumah pukul 4 sore. Aku taruh tas di rumah, dan cepat-cepat naik sepeda ke stasiun untuk menjemput Kai di penitipan. Kalau naik mobil agak sulit parkir, apalagi aku masih mau belanja untuk makan malam. Karena sudah lama kami tidak minum sake, aku mampir beli sake di toko langganan kami. Tapi karena capek akhirnya kami hanya minum sedikit saja. Menu makan malam kami serba ikan, ikan bakar dan ikan goreng, karena sake memang cocoknya dengan ikan.

Sebuah kompleks mansion dekat stasiun sudah memasang hiasan natal, di latar bulan sabit.

Sampai jam 9 malam, kami berempat mengelilingi meja makan, tentu saja tidak makan terus. Tapi setelah selesai makan, riku menggambar, aku pakai komputer, Gen membaca dan Kai bermain lego. Semuanya di meja makan. Kata Gen, “Ah hari ini aku senang sekali bisa melewatkan waktu benar-benar untuk keluarga… di rumah”. Ya just to be there!
(sambil aku ingat kata seseorang yang pernah mengatakan dia hanya berada di sana dimana ketiga anak lelakinya berada. just to be there.)

lego karya Riku... sweet heart!

Selamat Malam Minggu yaaa, dari aku, Riku dan Kai yang sedang menikmati okonomiyaki sebagai oyatsu, snack  sore.

Bertemu Tokoh

10 Nov

Kamu ingin bertemu tokoh? Ingin berfoto dengannya? Siapa dia? Penyanyi, pemain film atau bahkan presiden negara adikuasa yang baru datang itu?

Aku terus terang tidak punya keinginan untuk berfoto dengan tokoh semacam itu. Meskipun karena urusan kerjaan dulu sebagai DJ Radio punya kesempatan untuk berfoto dengan penyanyi/ musisi dan bahkan mantan-mantan  presiden yang pernah datang ke KBRI Tokyo. Tapi sebetulnya aku tidak punya “idola” yang sampai aku ingin mengejar-ngejar untuk berfoto atau minta tanda tangan segala. Kalau bisa ya syukur, kalau tidak, juga tidak ngoyo hehehe. (Aku pernah menolak Gen yang mau memotret aku dengan penyanyi R.S. yang datang ke Tokyo. Padahal ngga sampai 5 langkah jaraknya loh, karena aku jadi MC. Malas hehehe)

Tapi hari Sabtu lalu (6 November 2010) aku berkesempatan bertemu seorang “tokoh” di Jepang. Tokoh berkewarganegaraan Vietnam itu adalah tamu pembicara di Universitas tempat Gen bekerja. Gen yang menjadi penanggung jawab mendatangkan dia dari Vietnam. Kata Gen, semua orang Jepang tahu tentang tokoh dari Vietnam ini. Tapi…orang Indonesia pasti tidak tahu, bahkan katanya orang Vietnam pun belum tentu tahu.

Berfoto bersama Doku-san dari Vietnam

Dia dikenal dengan nama Doku-san (Nguyen Duc, 29 th ) dan menjadi tokoh dalam sebuah Picture Book yang berjudul, “Surat dari Beto-chan dan Doku-chan”, ベトちゃんドクちゃんからのてがみ karangan Matsutani Miyoko, gambar Iguchi Bunshuu (Doshinsha/1991).

Duc dilahirkan sebagai kembar siam tanggal 25 Februari 1981 (ulang tahunnya sama dengan Riku). Dia hidup “bersatu” di bagian perut bersama kakaknya Nguyen Viet sampai dipisahkan dengan operasi tahun 1988.

Kami lahir di sebuah desa dataran tinggi bagian tengah Vietnam. Ayah dan ibu kami pindah ke desa itu segera setelah perang dengan Amerika selesai. Kami lahir beberapa tahun setelah itu.

Waktu melihat dua anaknya menjadi satu badan, ibu kami pingsan. Kami memang tidak tahu tapi ternyata waktu itu di seluruh Vietnam banyak sekali bayi yang lahir dengan badan cacat. Tanpa tangan dan kaki, tanpa otak, buta dan bayi-bayi seperti kami.

Kenapa bisa tahu?
10 tahun setelah 1961… tidak… mungkin lebih lama lagi. Amerika menghujani racun yang disebut Agent Orange ke seluruh Vietnam, dengan pesawat. Seperti hujan, seperti embun, membasahi seluruh Vietnam. Juga manusia.

Eh, kenapa? Kenapa mereka melakukan hal itu?
Ya jika hutan, ladang dan sawah semua kering, maka Vietnam akan menyerah… mereka pikir.

Kalau menyebarkan Agent Orange (karehazai 枯葉剤 harafiah dari bahasa Jepang adalah obat membuat daun layu) , pohon dan rumput di hutan akan kering dan menjadi dunia kematian. Macan pun tidak bisa hidup. Kelinci pun tidak bisa hidup.

Agent Orange itu menakutkan! Dan diantara Agent Orange ada racun yang bernama Dioksin. Katanya 85 gram dioksin dalam membunuh 1o juta orang!
Tapi… ibu dan ayah kami tidak tahu hal itu…
mengolah tanah yang sudah dikotori dioksin,
minum air yang dusah dikotori dioksin,
membakar pohon yang mengandung dioksin…
kemudian….. anak seperti kami lahir.

Bukan hanya kami, tapi di seluruh Vietnam
Bayi-bayi cacat lahir, tapi kebanyakan mereka langsung mati….
Kami beruntung dirawat di rumah sakit, sehingga bisa hidup terus. (dari Picture book hal 3-10, diterjemahkan oleh Imelda)

Picture Book berjudul Betochan Dokuchan karano Tegami

Ya, Duc dan Viet dirawat di Rumah Sakit bernama Viet-Duc Hospital sejak berusia 1 tahun, sehingga diberi nama Duc yang berarti Jerman, dan Viet yang berarti Vietnam. RS itu adalah RS persahabatan Vietnam dan Jerman. Di sanalah mereka hidup terus, bahkan sampai Viet meninggal tahun 2007 dan sekarang Duc tetap bekerja di RS itu. Duc sendiri sudah menikah th 2006, dan bulan Oktober tahun lalu menjadi ayah bagi sepasang bayi laki-laki dan perempuan kembar, yang dia namakan Fuji dan Sakura.

Memang Duc (masih) beruntung karena mereka mendapat bantuan dari Jepang dan negara lain sehingga dapat menjalani operasi pemisahan dan dapat terus hidup. Tapi masih banyak anak-anak lain yang cacat sebagai korban pemakaian senjata kimia. Itulah sebabnya nama Duc tidak terkenal di Vietnam, karena dia sebetulnya hanyalah salah satu dari sekian banyak korban. Duc juga bisa menjadi “tokoh” di Jepang karena “kemurahan” hati orang Jepang yang membantu pembiayaan sampai keperluan medis. Dan orang Jepang kalau sudah melakukan satu kegiatan biasanya akan terus dimonitor (ingat saja dengan perkumpulan Gesang, perkumpulan orang Jepang ini terus-terus memperhatikan Gesang, bahkan sampai sesudah meninggalnya) , tidak “panas-panas tahi ayam”. Tapi memang dalam picture book itu juga disebutkan kenapa orang Jepang mau menolong, tidak lain karena ada rasa bersalah waktu perang, serdadu Jepang menyerang dan mengambil beras yang mengakibatkan 2 juta orang mati kelaparan.(p.22)

PERANG yang menyebabkan semuanya. Duc sudah sering datang ke Jepang, tak kurang dari 30 kali, dan setiap kali juga membawa pesan perdamaian. Jangan sampai ada bayi-bayi yang lahir seperti dia….

Kembar dempet Duc dan Viet sebelum dioperasi. Foto dari mainichi shimbun. http://mainichi.jp/select/wadai/graph/2007Requiem/24.html

NB:  Sebetulnya Gen mengatakan bahwa Duc datang ke universitasnya bukan dalam misi perdamaian, tapi ingin menggalang kerjasama internasional di bidang keperawatan/medis karena memang universitasnya memang bidang hospitality. Tapi aku juga yakin apapun tujuan Duc datang ke Jepang atau ke mana saja di dunia ini, dia menjadi semacam “cermin” keganasan perang, dan perlunya perdamaian internasional. Sulit dielakkan bahwa orang biasanya baru “melek” jika ada contoh nyata.