Janganlah kau menangis di depan pusaraku
Aku tidak berada di sana….
Aku tidak tidur di sana….
Aku menjadi seribu angin
seribu angin
yang bertiup di angkasa luas
Aku menjadi cahaya
yang menerangi ladang
Pada musim dingin
aku menjadi salju yang berkilauan bak berlian
Pada pagi hari aku menjadi burung
yang akan membangunkanmu
Malam hari kumenjadi bintang
yang menjagamu
Janganlah kau menangis di depan pusaraku
Aku tak ada di sana, aku tidak mati
Aku menjadi seribu angin
seribu angin yang bertiup
di angkasa luas…..
In Memoriam orang-orang tercinta yang telah berpulang ke asalnya.
especially S. Yabuki (28-11-2008) Roger Downey SJ (26-12-2007)
Sen no Kaze ni natte by Akikawa Masafumi translated into Indonesian by Imelda 2007. Sebuah lagu yang pasti membuat kita menangis, apalagi jika dinyanyikan pada upacara pemakaman. Lagu ini pernah dinyanyikan oleh pastor Bruno SVD, untuk koleganya pastor Norbert Nahak SVD asal Timor yang meninggal di Tokyo tanggal 11 Desember 2006. Komunitas Katolik Indonesia di Tokyo, dua tahun berturut-turut kehilangan pastor yang selalu melayani misa, Pastor Norbert 11 Des 2006 dan Pastor Downey 26 Des 2007. May they rest in peace. Amen
Bagi yang mau mendengar lagunya bisa dengar di
NB: Khusus untuk Mega (Seiya suka lagu ini ya), kalau membaca posting ini kirim kabar dong. Saya khawatir pada perkembangan kehidupan di sana apalagi nomor HP nya sudah ganti. Kirim berita dik, please. EM
Well, kemarin malam aku gembira karena menemukan sebuah komentar dari adikku atas posting saya waktu ulang tahunnya. Tinggal bapak saya saja yang belum komentar, meskipun katanya beliau sudah pernah baca weblog saya (berharap mode.on). Dengan senyum, saya tidur di sebelah Kai yang agak kurang sehat, sambil tak lupa memasang alarm pukul 4 pagi. Niatnya saya mau beres-beres rumah dan siap-siap kerja mulai jam segitu. (Padahal tidurnya sudah jam 1 sih)
Jam 4 pagi, bangun, saya nyalakan komputer dan sambil beberes sesekali membaca komentar di blog saya (maaf belum sempat balas komentar teman-teman semua). Nah sekitar jam 4:30, handphone saya berdering menyatakan ada email masuk. Ternyata dari ibu mertua saya. Dia hanya menuliskan pendek: Om sakit, detilnya saya kasih tahu nanti kalau ke sana. Ibu mertua selalu datang ke rumah saya hari Jumat untuk menjaga Kai di rumah sementara saya pergi mengajar. Sebetulnya waktu membaca email itu, saya tidak yakin dengan kanji yang dituliskannya, karena memang jarang dipakai. Pokoknya asumsi saya Om sakit. Dan karena ibu mertua tidak membatalkan rencana, mungkin sakitnya tidak parah (salahnya saya juga tidak cek di kamus).
Nah waktu pagi hari Gen bangun, saya menyampaikan tentang kanji yang saya baca, apa artinya? Sakit? Dan karena dia tidak mengerti penjelasan kanji yang seperti apa, saya kasih lihat email HP saya itu. Dan …. kamu pernah lihat wajah orang berganti menjadi putih? pucat? Pertama kali saya lihat perubahan itu. Ya, wajah Gen menjadi putih sekali dan bilang…Om kesayangannya meninggal! HAH….. how come?
Om ini adalah adik ibu mertua (mereka hanya berdua). Dia dan istrinya baru saja pindah ke luar kota, yang tadinya rumahnya di Yokohama. Merupakan impiannya untuk pindah ke desa dan berladang di desa sesudah pensiun dua tahun yang lalu. Dan itu terwujud bulan Agustus lalu. Tapi yang saya mau tulis di sini bukan soal cita-citanya atau kehidupannya di desa. Tapi soal peristiwa yang terjadi kemarin.
Kemarin pagi, tanpa ada tujuan mampir, ayah dan ibu mertua saya melewati rumah om yang di Yokohama. Tapi tiba-tiba mereka melihat bahwa ada om dan istrinya di situ. Rupanya mereka sebulan sekali, turun desa, mampir ke rumah yang di Yokohama untuk melihat perkembangan pembangunan apartemen di tanah mereka. Tanpa janjian, kebetulan saja bapak dan ibu mertua lewat situ dan melihat om dan istrinya. Sepertinya memang sudah harus lewat jalan itu…. Waktu ditanya apa rencana untuk hari itu, om mengatakan bahwa dia berniat nyekar ke makam ibunya lalu pulang jam 1 dari stasiun Ueno untuk pulang ke desa. Jadilah bapak dan ibu mertua saya mengantar om dan istrinya sekaligus nyekar bersama dan antar ke stasiun. Bercakap-cakap, bertukar berita dan ibu mertua saya senang bahwa adiknya berbahagia tinggal di desa.
Tapi siapa sangka, itu adalah pertemuan terakhir mereka… sebuah pertemuan yang kebetulan terjadi. Karena pagi tadi jam 4, tiba-tiba ada telepon dari istri om yang memberitahukan bahwa om tiba-tiba terbatuk dan kelihatan parah. Langsung telepon ambulans dan dinyatakan jantungnya berhenti.
Ibu mertua berkata,”Kemarin itu apa ya? kok kami bisa bertemu kebetulan tanpa rencana, dan tahu-tahu hari ini dia sudah tidak ada”. Saya katakan, “Mungkin itu bukan kebetulan, tapi sudah diatur Tuhan. Apapun namanya itu, kebetulan atau takdir, saya rasa kematian Om itu indah. Karena dia sempat berpamitan dengan kakaknya, sempat melihat rumah tempat tinggalnya dari kecil, sempat nyekar ke makam ibunya, dan hanya dalam waktu singkat menghembuskan nafas terakhir”.
Saya teringat, baru saja kemarin membaca posting tentang kebetulan yang ditulis Daniel Mahendra. Kebetulan Daniel adalah kebetulan yang menyenangkan. Bertemu dengan teman-teman lama, bersenang-senang. Tapi kebetulan yang terjadi pada ibu mertua saya kemarin itu? Apakah itu juga bisa disebut kebetulan? ataukah takdir? Kami umat Kristen tidak percaya takdir atau nasib. Tapi kami percaya bahwa Tuhan itu yang mengatur segala kehidupan kita, kadang dengan cara-cara yang tidak dimengerti manusia. Well, apapun namanya entah kebetulan, takdir, nasib, sekali lagi saya diingatkan bahwa manusia itu kecil, tidak berdaya yang sewaktu-waktu bisa dipanggil menghadapNya. Siapkah kita? Siapkah saya?
Besok malam akan diadakan malam perpisahan, yang diberi nama otsuya 通夜. Dan Minggu pagi akan diadakan upacara kremasi yang disebut Kokubetsushiki 告別式. Karena itu saya (mungkin) akan istirahat posting dulu. Semoga saya bisa menulis sesuatu hari Senin yang akan datang.
If tomorrow never comes
So tell that someone that you love
Just what you’re thinking off
If tomorrow never comes
(If Tomorrow Never Comes was released in 1989 by Garth Brooks ~~my favorite country music singer~~. It was written by Garth Brooks and Kent Blazy.)
Di Shibuya, Tokyo, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.
Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasiun Shibuya bersama Hachiko. Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”
” Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.
Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
Sungguh kisah yg menggugah hati….tak habis2nya saya meneteskan air mata membaca cerita hidup Hachiko….
Film ttg kisah hachiko dibuat d jepang tahun 1987 dgn judul “Hachiko Monagatari”. Film ini byk memperoleh penghargaan. ..
Dan saat ini versi hollywoodnya sedang dibuat dgn judul “Hachiko : A Dog’s Story” (Starring and Co-Producted by Richard Gere)….
Hachiko: A Dog’s Story,[9] to be released in 2008, is an American movie starring actor Richard Gere, directed by Lasse Hallström, about Hachikō and his relationship with the professor. The movie is being filmed in Rhode Island, and will also feature actresses Joan Allen and Sarah Roemer.[10]
(sumber dari milis IKAJA UI)
NB: Saya heran kok Richard Gere lagi, soalnya sebuah film Jepang yang terkenal di sini “Shall We Dance” versi bahasa Inggris juga diperankan oleh Richard Gere. Saya pernah posting tentang film Shall We Dansu/Dance versi bahasa Jepang di sini
Ya… hanya dua menit dan dijelaskan juga apa sebabnya.
Pagi ini hujan mengguyur Tokyo mulai jam 10. Untung waktu aku antar Riku ke TK dan Kai ke penitipan belum hujan. Cepat-cepat ke halte bus untuk pergi ke stasiun, tapi ternyata masih cukup lama bus yang kutunggu itu datang. Mulai terasa udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hmmm aku salah tidak membawa mantel. Aku pikir cukup sehelai sweatshirt dan jas untuk hari ini. Memang aku lupa tidak melihat prakiraan cuaca hari ini.
Setelah sampai di stasiun, aku naik kereta semi ekspress menuju stasiun Takadanobaba. Untung kereta tidak begitu padat, dan sambil berdiri berpegangan aku mulai melamun. Ahhh suasana melankolis jika hari hujan mulai menyergapku. Tapi saat kereta mendekati tujuan itulah aku mendengar kata-kata dari pembantu kondektur seperti ini.
“Sebentar lagi kita akan sampai di stasiun takadanobaba. Kereta ini terlambat 2 menit dari jadwal, karena ada penumpang yang sakit. Kami mohon maaf atas keterlambatan ini, padahal para penumpang sedang dalam keadaan sibuk dan tergesa-gesa. Maaf sudah merepotkan para penumpang. Karena hujan kami ingatkan jangan lupa membawa turun payung Anda. Kita telah sampai di Stasiun Takadanobaba.”
Aduh…. 2 menit aja sampe minta maaf begitu ya? Dan lagi bukan gara-gara kereta, melainkan gara-gara ada penumpang sakit. Dia tidak usah bilang kita terlambat 2 menit dari jadwal aja, pasti tidak ada yang tahu. hmmm benarkah? Pasti tahu…. orang Jepang selalu menghitung waktu perjalanan dengan detil. Jika dia terlambat 2 menit samapi di stasiun ini, padahal dia masih harus melanjutkan perjalanan dengan kereta atau transportasi lain… ada kemungkinan dia terlambat naik. Atau jika dia ada rapat penting, dan dia terlambat, akan merugikan perusahaan dan lain-lain. Betapa orang Jepang di satu pihak terlalu ketat dengan waktu yang membuat hidup terbelenggu, tapi di lain pihak menjadi amat sangat menghargai waktu. Tapi yang pasti, lamunanku yang agak suram tadi di dalam kereta bisa terobati sedikit hanya dengan permintaan maaf tadi. “Maaf kita terlambat 2 menit”…
Bagi yang pernah ke Jepang, Anda mungkin pernah menemui tanda ini di LANTAI. Biasanya di tempat-tempat umum. Kalau di atas pintu atau tangga/pintu darurat sudah biasa. Tanda HIJOUGUCHI, atau emergency Exit. Tapi ini di LANTAI. Tahukah Anda kenapa di lantai?***
Dan bagi orang Jepang yang pernah ke Indonesia, pernahkah Anda memperhatikan ke LANGIT-LANGIT? Biasanya di tempat umum ada tanda ini. Arah kiblat untuk bersembahyang.
Bagi yang belum pernah melihat, mungkin baiknya sekali-sekali longoklah lantai yang Anda pijak, dan tengadahlah perhatikan langit-langit yang menaungi Anda. Banyak hal yang belum kita ketahui….. Begitu pula dengan hidup. Pandanglah ke bawah, jangan melulu ke atas.
(hmmm niatnya mau photoblog jadi sekian dulu)
*** Kenapa ada tanda itu di lantai? Jika terjadi kebakaran dan ruangan penuh asap, Anda diharapkan merunduk mencari jalan keluar. Jika tanda ini hanya ada di atas, maka kita tidak tahu arah yang benar. Tapi sambil merunduk, dan mengikuti arah ini. Maka ada kemungkinan kita bisa keluar dari jebakan kebakaran.
Iniadalah sebuah lagu anak-anak yang populer di Jepang berjudul Nanatsu no ko, menceritakan seekor gagak yang diciptakan pada tahun 1921 oleh Noguchi Ujou. Tidak ada orang Jepang yang tidak tahu lagu ini. Yang mengherankan kenapa gagak yang menjadi tema dalam lagu anak-anak tersebut. Karena sebetulnya gagak yang berwarna hitam itu dari zaman dulu dikenal sebagai burung pembawa bencana. Tetapi Noguchi mengangkat “derajat” gagak itu dengan mengatakan bahwa burung yang buruk rupa itu pun mengkhawatirkan anaknya. Hmmm karena buruk rupa = malang… suatu prejudice yang sebetulnya tidak boleh terjadi, bahkan dalam kehidupan manusia. Waktu saya browsing saya juga menemukan alasan kenapa di dalam lagu itu dipakai kata anak berusia 7 tahun. Ternyata si pencipta lagu Noguchi ditinggal mati ibunya waktu dia berusia 7 tahun. Jadi dia sendiri menggambarkan dirinya seperti Gagak yang buruk rupa? Tidak ada yang tahu…
Namun saya juga tidak suka pada gagak-gagak hitam ini. Dan saya rasa tidak ada yang tinggal di Tokyo suka pada gagak. Karena Gagak menimbulkan masalah yang pelik bagi warga Tokyo. Mereka merajalela di mana-mana. Bahkan kadang-kadang dengan berani menukik ke arah manusia. Pernah ada berita yang menceritakan ada Gagak yang menukik masuk ke dalam kamar seorang bayi di lantai dua perumahan dari jendela yang terbuka. Gagak yang pemakan daging itu kemudian memakan bayi tersebut. Aduh!!!
Gagak di Tokyo sudah merupakan Hama bagi lingkungan Tokyo. Mereka terbiasa mengorek sampah-sampah dan beberapa tahun terakhir ini semakin ganas. Di kawasan pertokoan sesudah restoran tutup pukul 11 malam, biasanya sampah dibuang di luar. Begitu fajar tiba, burung-burung gagak berpesta pora dengan sisa-sisa makanan yang ada. Sampah-sampah berhamburan mengotori jalanan dan membuat pemandangan yang tidak sedap dipandang mata. Dan sialnya setelah krisis ekonomi terjadi, sampah-sampah yang dibuang rupanya “tidak cukup” bagi si burung gagak, sehingga teritorinya meluas ke daerah pemukiman penduduk. Dan samapi merekapun tidak segan “merebut” makanan yang dibawa oleh penduduk, misalnya yang sedang piknik atau makan di taman. Bahkan bayi dan anak kecil bisa disambarnya.
Sekarang usaha untuk mengurangi serangan burung gagak sudah dilakukan, misalnya dengan menutup kantong-kantong sampah dengan jaring dan membuang sampah pada waktunya. Namun pemerintah daerah Tokyo masih pusing mengurangi populasi burung gagak di Tokyo ini. Dan yang pasti pemda dan masyarakat tidak akan menganggap tangisan burung gagak itu sebagi indah…. tetapi justru MENGERIKAN.
gagak gagak gagah itu
menghitami langit tokyo
menyebarkan bau busuk
mengancam manusia manusia bodoh
OL…. sebuah singkatan yang sering dipakai di dunia maya. Tentu saja semua sudah tahu artinya.. yaitu Online. Tapi terus terang memang pemakaian kata OL ini membuat kami yang tinggal di Jepang agak bingung karena OL di Jepang berarti Office Lady, wanita yang bekerja di kantor. Jadi, mungkin Office Lady itu online, tapi mungkin juga tidak .
Waktu saya browsing kebetulan menemukan sejarah kata OL itu. Pada tanggal 25 November 1963, pertama kali kata Office Lady dimuat dalam majalah mingguan wanita “Josei Jishin“. Dengan penerbitan majalah itu, istilah OL menempati peringkat satu dari angket yang mereka lakukan kepada pembaca untuk menggantikan istilah BG atau Bussiness Girl yang dipakai sampai saat itu. Karena pemuatan di majalah ini maka kata OL menyebar luas ke seluruh Jepang dan dipakai sampai sekarang. Di sini kita bisa juga melihat betapa besar pengaruh media terhadap penyebaran sebuah kata. OL, OB dan OG adalah kata-kata yang ada hubungannya dengan kantor. OB adalah Old Boy dan OG adalah Old Girl, alumnus.
Dan tentu saja hari ini tanggal 25 November merupakan peringatan untuk pegawai wanita or wanita karir di Jepang.
Kemarin sebetulnya bukanlah hari yang baik untuk bepergian, karena hujan rintik yang akhirnya menderas di malam hari membuat udara semakin dingin. Untung aku berhasil menemukan mantel kecil kepunyaan Riku dulu untuk membalut tubuh Kai sehingga bisa dipastikan dia hangat. Padahal sudah lewat tengah hari waktu kami keluar rumah kemarin.
Sudah lama aku tidak bertemu adikku Tina. Pernah aku janjian akan bertemu dia waktu kami menginap di rumah mertua, tapi akhirnya tidak jadi. Padahal dia punya sesuatu untuk kami oleh-oleh dari Italia katanya. Jadi di hari libur untuk buruh ini, dia mau datang ke rumah kami ceritanya. Tapi karena menurut prakiraan cuaca hari ini akan hujan terus, kami janjian untuk bertemu di restoran Cabe, Meguro. Sudah lama kami tidak ke sana, dan kami sekeluarga butuh jalan keluar rumah! So sekitar jam 12:45 kita berangkat, melewati Kan-7 douri yang biasanya macet…. tapi entah kenapa saat itu begitu lancar sehingga rekor dalam 40 menit kita sampai di Meguro.
Soal makan-makan tidak penting, yang pasti ada dua peristiwa yang terjadi. Riku seperti biasanya menganggap restoran itu sudah seperti rumahnya sendiri. Dia sering jalan-jalan ke belakang menemui pemilik restoran atau duduk di counter. Nah waktu dia kembali ke tempat duduknya, dia terpeleset jatuh. Aku duduk agak jauh sehingga tidak bisa menangkap dia. Dia terjerembab dan sempat menyenggol meja sebelah kami yang diduduki sepasang keluarga muda, ibunya sedang hamil bersama suaminya. Suaminya waktu itu sedang ke kamar kecil, sehingga kursinya kosong. Seandainya suaminya ada, pasti si Riku akan jatuh ke dia dulu dan tidak menyentuh meja. Alhasil meja tersenggol dan sup yang ada di atas meja tumpah sedikit ke atas meja. Sementara anakku masih di lantai, dan berusaha bangun sendiri.
Aku tanya, “Daijoubu Riku (tidak apa-apa Riku)? Sakit?”
Sambil menahan tangis, dia menggeleng. Aku tahu dia malu.
“Riku terpeleset ya…. ya sudah sini duduk saja”
Dan kepada si ibu hamil, yang diam cemberut saya bilang, “Sumimasen….(maaf ya)”
Dasar restoran Indonesia dengan pelayan Indonesia, tidak cepat tanggap. Kalau di restoran Jepang, pelayan akan segera datang, membantu si anak berdiri, tanya sakit atau tidak, bawa lap, dan bersihkan meja tanpa DISURUH. Nah, karena ini restoran Indonesia, lain servicenya…. (Yang orang jepang di situ hanya pemilik dan istrinya yang waktu itu ada di dapur dan tidak tahu kejadian itu). Si ibu hamil, sambil cemberut, minta si pelayan Indo ini untuk mengganti sup yang tumpah dengan yang baru. OK… si pelayan bawa ke belakang. Tapi, dia tidak mengelap meja!!! dan si ibu hamil itu tunggu terus sampai pelayan datang lagi dan minta meja segera di lap. Oiiii service service, memang orang Indonesia masih banyak harus belajar service dari orang Jepang. Tapi bu… jangan nyinyir gitu dong.
Aduh bu…. aku kasihan deh sama kamu. Ada anak di dalam perut kamu, tapi sifat keibuan kamu ngga ada. Biasanya seorang IBU akan bilang kepada anak yang jatuh siapapun dia … “aduh sakit ya…. kasihan” kek apa kek..basa basi gitu. Lalu…. akan lap itu meja sendiri pake tissue wong lap pake tissue selembar aja ngga akan penuh deh . cuman dikit banget tumpahnya juga. Ini bisa-bisa jadi ibu jutek yang suka marahin anaknya mulu deh tipikalnya orang Jepang heheheh.
Bla bla bla…. cukup lama juga kami menunggu pesanan datang…dan akhirnya tiba waktu pulang. Kai juga senang karena dia bisa makan banyak (nasi soto) dan bisa melihat pemandangan yang baru, juga bertemu tantenya. So, sekitar jam 4-an kami pulang, tapi karena hujan mulai deras, kami mau antar tante titin ke stasiun terdekat. Nah kejadian lagi…. happening yang ke dua adalah: Kai muntah di dalam mobil. Waktu itu aku sedang gendong/peluk dia karena dia rewel didudukkan di baby seat. Jadilah dia muntah ke baju saya dan bajunya. Untung aku selalu bawa baju ganti dan popok lengkap untuk dia. Jadi langsung bisa ganti di dalam mobil. BUT, aku tidak bawa ganti untuk aku sendiri. Dan kebetulan aku juga tidak membawa jaket. Hanya baju sweater satu-satunya itu yang aku pakai. Huh…. terpaksa deh pakai baju dalam – kaos thermal saja (untung pakai hihihi). Untung di Jepang ngga ada UU pornoaksi (kalo di Indo aku ditangkap kali ya?) …. untung gelap karena winter…dan untung mobilku pakai heater yang afdol, dan untung jarak ke rumah tinggal 30 menitan lagi, untung ada selimut selalu di dalam mobil jadi bisa selimutan…… untung ada “untungnya” jawa dan aku tidak seperti ibu jepang nyinyir tadi hahaha. Always look on the bright side…. please.
Alhasil sebelum pulang ke rumah, masih sempat drive through di Mac D untuk beli Happy set untuk Riku yang sudah mengeluh lapar….
Memang benar kata Chrisye…tak selamanya Mendung itu Kelabu……. yang pasti tidak untuk Kai.
Saya suka otak-otak untuk dimakan …hmmm apalagi kalau pakai sambal kacangnya ya… Juga suka gulai otak meskipun sekarang harus hati-hati karena kolesterolnya tinggi dan tidak baik untuk kesehatan. Tapi Otak yang ingin saya tulis sekarang bukan otak yang untuk dimakan. Ini Otak kita , otak manusia yang menjadi pusat pikiran kita. Sudah banyak tulisan yang mengulas tentang otak, baik tentang otak laki-laki dan otak perempuan oleh Mbak Tuti, juga tentang High Concept, High Touch. Tapi tadi pagi saya bertandang ke blog milik deden di Samarinda, dan membaca tulisannya tentang Otak Kiri atau Kanan, dan menemukan test untuk melihat kesimbangan pemakaian otak kiri dan kanan di MindMedia Life Enhancement Network. Seperti biasa saya paling getol ikut kuis atau test-test semacam itu sehingga langsung coba. Eeee ternyata hasil saya sangat berbeda dengan orang-orang yang kebetulan komentar di blognya deden… saya emang aneh kali ya? So kalau penasaran silakan coba saja ikuti test itu (sukur-sukur kalau sekalian BW ke tempatnya deden hehehe).
Hasil dan review tentang otak saya sbb:
Your Brain Usage Profile:
Auditory : 60%
Visual : 40%
Left : 35%
Right : 64%
Emiko, you show a slight right-hemisphere dominance with a moderate preference for auditory processing, an unusual and somewhat paradoxical combination of characteristics.
You are drawn to a random and sometimes nonchalant synthesis of material. You learn as it seems important to a specific situation, and might even develop a resentment of others who attempt to direct your learning down a specific channel.
Your right-hemispheric dominance provides a structure that is only loosely organized and one which processes entire swatches of reality, overlooking details. You are emotional in your reactions and perceptual more than logical in your approach, although you can impose structure and a language base when necessary.
Your auditory preference, on the other hand, implies that you process information sequentially and unidimensionally. This combination of right-brain and auditory modes creates conflict, as you want to process data more rapidly than your natural processes allow.
Your tendency to be creative and free-flowing is accompanied by sufficient ability to organize and be logical, allowing you a reasonable degree of success in a number of different endeavors. You take in information methodically and systematically which can then be synthesized rapidly. In this manner, you manage to function consistently well, although certainly less efficiently than you desire.
You prefer the abstract and are a theoretician at heart while retaining the ability to be practical. You find the symbolism in a great deal of what you encounter and are something of a “mystic.”
With regards to your lifestyle, you have the mentality which would be good as a philosopher, writer, journalist, or instructor, or possibly as a systems designer or social worker. Perhaps most important is your ability to “listen to your inner voice” as a mode of skipping over unnecessary steps to achieve your goals.