Pintu Pemeriksaan

11 Feb

Posting kali ini adalah catatan wisata berbau sejarah, yang merupakan lanjutan perjalanan kami di Hakone yang telah saya tulis di Paten(i) Seni.

Pada bagian akhir saya menjelaskan bahwa ternyata tempat yang kami kunjungi itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Dan sebetulnya daerah Hakone memang terkenal sebagai jalan masuk/keluar menuju Edo (Tokyo) dan Kyoto. Karena itu di Hakone ada Pintu Pemeriksaan yang disebut Hakone Sekisho.

Pintu masuk Tokyo

Jaman Edo dulu (1603-1868) , para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota pada waktu-waktu tertentu. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan, tapi berdampak buruk untuk perekonomian, karena biaya perjalanan ditanggung oleh sang tuan tanah Daimyo.

Nah untuk melindungi keamanan Edo (Tokyo) maka pemerintah Bakufu (pemerintah Edo Pusat) mendirikan Pintu Pemeriksaan atau Sekisho ini di 53 titik yang dianggap sebagai pintu masuk ke Edo (Tokyo). Selama pemerintahan Bakufu, sedikitnya 260 tahun, Sekisho   menjalankan tugasnya untuk mengamankan Edo (Tokyo) sampai awal Meiji (runtuhnya pemerintahan Bakufu).

Loket penjualan karcis masuk di Pintu Kyoto. Lihat Kai "bersembuyi" di bawah....

Sebetulnya saya sudah pernah pergi ke Hakone Sekisho ini, di awal kedatangan saya di Jepang, sekitar tahun 1992-an.  Saya masih ingat, dulu tempat ini kusam, tidak banyak bangunan dan yang membekas ada semacam museum dengan dokumen-dokumen kuno. Hmmm boleh dikatakan tidak menarik untuk orang asing awam (kecuali yang suka sejarah). Dulu memang saya juga tidak membawa kamera sehingga tidak ada kenangan yang diabadikan.

Yang sebelah kiri tuh ceritanya pendeta Buddha Ikkyu-san

Tapi waktu kami pergi ke hakone Sekisho ini, amat banyak perubahan yang ada. Tempat pemeriksaan ini ternyata sudah direnovasi, setelah 140 tahun terbengkalai. Di bangunan yang di cat hitam ditempatkan patung penjaga, patung kuda, bahkan dilengkapi dengan dapur lengkap dengan panci dan patung orang yang sedang memasak. Patung-patung ini seukuran manusia dan karenanya Kai takut melihatnya.

Kami masuk dari pintu Edo, melintasi Kantor Pemeriksaan dan pos pengawal, untuk kemudian keluar lewat Pintu Kyoto. Tapi untuk melihat ke dalam Kantor Pemeriksaan termasuk dapur dan menara pengintainya, kami musti membeli karcis seharga 500 yen untuk dewasa di dekat pintu Kyoto. Saya merasa agak aneh saja, kok loket karcisnya hanya di pintu Kyoto. Dan sebetulnya 500 yen untuk melihat ke dalam Kantor itu agak mahal deh…. Untuk orang Jepang yang mengerti sejarahnya OK lah. Tapi untuk wisatawan asing…. hmmmm. Baru kali ini saya menyetujui perbedaan karcis masuk untuk wisdom dan wisman di tempat wisata Indonesia.

Pemandangan di kantor pemeriksaan

Di Kantor Pemeriksaan kami bisa melihat proses pemeriksaan yang dilakukan oleh satu petugas Bangashira, satu asisten Yokometsuke, 3 orang Jobannin, dan  15 petugas bawahan. Dan satu lagi yang tidak kalah penting perannya adalah hitomi-onna. Hitomi onna ini bertugas memeriksa wanita yang lewat. Karena peraturan sankin kotai itu mewajibkan tuan tanah meninggalkan anak-istrinya di Edo selama pulang ke daerah mereka. Sebagai tawanan sehingga mereka tidak bisa memberontak melawan penguasa pusat.

Jenis paku jaman Edo. Kok aku ngeliat gini jadi ngeri kalau paku itu dipakukan ke orang ya? hiiii

Meskipun saya merasa mahal karcis masuk yang 500 untuk melihat fasilitas seperti itu, bisa terobati juga sih karena memang pemandangan dari atas menara pengintai itu bagus. Di latar belakang terlihat danau Ashi dengan kapal wisata berbentuk kapal bajak laut. Kalau ada waktu banyak lumayan juga duduk di atas bukit sambil baca buku sambil menikmati pemandangan yang terhampar.

Setelah dari tempat ini, kami sempat mampir juga di sebuah hotel kuno di daerah Hakone Yumoto yang bernama Miya no shita Fujiya Hotel. Kami sudah 2-3 kali ke hotel ini, tapi memang tidak menginap. Karena tarif per malam menginap di hotel ini mahal sekali. Satu orang per malam bisa 3,6 juta rupiah saja hihihi. (FYI: menginap di penginapan Jepang hampir semua dihitung per kepala, bukan per kamar)

halaman hotel Fujiya

Hotel yang didirikan tahun 1878 ini memang terkenal sebagai hotel kuno, yang sering dikunjungi seleb dan orang terkenal dari manca negara. Karena kami belum menjadi seleb, jadi belum mampu deh menginap di situ. Cukup makan nasi kare saja di restorannya. Nasi Kare restoran di hotel ini begitu terkenal sampai dijadikan makanan retort (siap saji dalam kemasan).

Gambar kompleks hotel Fujiya. Diambil dari web resmi hotel ini.

Dan kami pernah mengajak papa-mama mampir ke hotel ini waktu papa mama datang ke Jepang. Salah satu foto mereka yang amat saya suka…. (obat kangen nih)

aku suka foto ini yang aku ambil 29 Mei 2005 di Fujiya Hotel, Hakone

Dengan selesainya tulisan ini, selesai deh perjalanan kami ke Hakone tanggal 11 Januari yang lalu. Satu hari wisata dengan 3 tulisan, yaitu: kerajinan Yosegisaiku Paten(i) Seni, Museum Pangeran Kecil , dan Pintu Pemeriksaan ini.

Bela Diri

8 Feb

Sabtu malam kami menonton acara di TV tentang Prefektur Saitama, yang terletak persis di sebelah barat Tokyo. Dan sebetulnya cukup dekat dengan rumahku, wilayah Nerima. Nah, kemarin itu banyak memperkenalkan tentang resto/rumah makan enak , dan terbanyak adalah rumah makan yang menjual ramen, soba dan udon. Pokoknya serba mie deh. Tapi ada satu tempat yang diperkenalkan di situ yaitu Nasi Kare siap saji yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat Jepang. Dan katanya bisa dibeli di Rikkun Land.

Rikku land adalah nama kesayangan untuk Rikujo Jietai Kohou Center (JGSDF Public Information Center). Kalau kita orang Indonesia akan lebih mudah mengatakan Pusat Informasinya Angkatan Darat deh… tapi perlu diketahui, AD di Jepang bukan ARMY tapi SELF DEFENCE (sejarahnya tentu saja panjang, sepanjang usia kemerdekaan Indonesia). JGSDF adalah singkatan dari Japan Ground Self Defence Force.

Karena nama Riku memang berarti daratan, kami ingin mengajak Riku pergi ke Pusat Informasi itu dan melihat-lihat kalau ada kaus T Shirt bertuliskan kanji Riku  陸. Asyik kan tuh kalau pakai kaos dengan nama sendiri, bukan nama orang lain seperti Chanel, Agnes B, Tommy Hilfiger dll hihihi. Jadi Minggu pagi, Gen memeriksa homepage Pusat Informasi GDSDF di Asaka, Saitama dan menemukan informasi bahwa hari itu, tanggal 7 Februari, Prajurit Jietai itu akan memasak sup miso tonjiru dengan memakai dapur di camp, dan menjual dengan harga murah kepada pengunjung mulai pukul 10 pagi! Waktu Gen berkata itu jam sudah menunjukkan pukul 9… yaaah telat deh. Tapi Gen bilang jarak rumah kita sampai tempat itu hanya 15 menit naik mobil. Wow…

Jadi aku cepat-cepat bersiap-siap, menjemur cucian, dan mempersiapkan anak-anak, dan sempat mencuci rambut yang berdiri semua, mungkin seperti kata Lala  Megaloman. Cepat-cepat naik mobil dan berangkat, pukul 8:50. Hmmm pasti terlambat deh…

Kami sampai di tempat itu pukul 9:15, setelah antri untuk masuk ke pelataran parkir. Peraturan di sana, semua penumpang harus turun, dan supir saja yang mengemudikan mobilnya ke parkiran. Pasti untuk keamanannya. Sambil menunggu Gen datang, kami melihat-lihat foto-foto yang ada di lobby yang sudah dipenuhi orang.

Kami dilayani dua jietai yang membagikan sup tonjiru

Begitu Gen datang, kami langsung membeli dua mangkuk tonjiru (sup miso pakai daging babi – untuk yang muslim kalau dengar tonjiru itu pasti pakai babi) seharga 300 yen (1 mangkuk 150 yen). Kami menerima sajian tonjiru dalam mangkuk foam dari jietai wanita. Sambil duduk di meja lipat, di ruangan itu juga diputar kegiatan GDSDF di berbagai belahan dunia, sebagai anggota pasukan keamanan PBB.

Setelah makan, kami pergi ke ruang pameran yang memamerkan helikopter dan tank serta berbagai simulasi. Tapi waktu kami melihat keluar, ada antrian yang cukup panjang, Rupanya mereka antri untuk bisa menaiki truk tentara, dan berkeliling kamp dalam truk serasa jietai. Jadi kami ikut antri deh. Pas duduk di antrian, aku sempat mengajak Kai jalan-jalan, dan waktu kembali Gen memberitahukan aku sesuatu yang cukup membuat shock.

Ya, warga negara asing tidak boleh mengikuti ekskursi menaiki truk tersebut. Selain itu tentu ada banyak peraturan lain, seperti anak belum sekolah juga tidak boleh naik, karena harus memakai helm dan harus bisa naik turun sendiri. Tapi bahwa gaikokujin, orang asing tidak boleh naik itu loh (bisa tapi harus mengurus surat ijin yang cukup lama) , cukup membuat aku termenung. Hmmm…. kemudian aku pikir, ya tentu saja, truk itu kan kepunyaan militer sebuah negara. Tentu saja orang asing tidak bisa seenaknya pakai milik negara lain. Kan ada kemungkinan mata-mata juga.

Papan petunjuk yang membuat aku tercenung. Japanese only …hiks

Gen minta maaf (padahal yang membuat peraturan kan negaranya hihihi) lalu aku dan Kai melewatkan waktu sendiri di pelataran halaman luar sambil berfoto-foto. Tentu saja ada tank, truk dan yang mengagumkan ada mobil unit operasi, lengkap dengan meja operasi dan…. CD player..pokoknya musik deh.  Katanya untuk menenangkan pasien. Aku berkelakar dengan prajurit yang berdiri di situ, “Jangan-jangan yang luka tidak dibius ya?” Dan dia hanya mesem tertawa…. (hiiiiii ngga berani bayangin)

Mobil operasi, lengkap dengan meja operasi dan pemutar musik …

Cukup lama juga menghabiskan waktu berdua Kai saja. Sempat mengabadikan Kai menjadi fotografer. Kai memang benar-benar suka memotret dan menganggap kamera lama kami sebagai kameranya. Marah kalau tidak ada/tidak bisa pakai kamera. Lalu aku mengajak Kai untuk makan tonjiru lagi. Kali ini Kai saja yang makan. Hebat! Dia biasanya agak sulit makan, tapi kali ini dia makan semua sayuran yang ada dalam sup itu.

Kai sampai nungging untuk mengambil foto yang selevel mata dengan dia

Lalu kami berdua kembali lagi ke ruang pameran dan bertemu dengan Gen dan Riku yang sudah selesai naik truknya. Riku sedang mencoba menggendong ransel tentara seberat 12 kg. Persis seberat Kai (dan memang Riku sering menggendong Kai). Selain itu juga mencoba jaket anti peluru. Juga sama 12 kg.

Sesudah itu aku dan Kai masih harus menunggu lagi 1 jam, karena Gen dan Riku antri untuk mencoba flight simulator. Untung saja aku tidak mencoba, karena kata Gen dia menjadi mual setelah naik flight simulator itu. Jelas aja dong.

Mustinya naik motor ini dengan seragam tentara. Sebetulnya bisa pinjam tapi Gen ngga suka tuh…

Akhirnya kami meninggalkan Pusat Informasi GDSDF itu sekitar pukul 12:45. Ada satu atraksi yang kami lewati yaitu theater 3 D. Kami sepakat tidak mau kasih liat Riku. Dan sebagai oleh-oleh untuk Riku dan Kai adalah serutan pensil berbentuk pesawat tempur. Kaus Rikunya? Karena tidak ada sizenya kami tidak jadi beli. Alasan saja sih sebetulnya karena cukup mahal –2000 yen– dan sssttt Gen sebenarnya tidak suka Army Look! Bayangin aku pernah beli celana panjang Army Look untuk Riku, dan dia tidak suka sama sekali! Lah? Terus kenapa ajak ketempat begituan? Hihihihi, kan pengetahuan mengalahkan rasa suka tidak suka. Tidak suka matematika bukan berarti tidak belajar matematika kan? Apa yang harus dipelajari dan diketahui tidak sejajar dengan apa yang disukai atau tidak disukai. Itulah hidup!

Riku dengan pakaiaan “Bela diri”

Makan sushi malu-malu

4 Feb

Kemarin ada kebiasaan di sini untuk makan sushi gulung malu-malu. Loh kok malu-malu? Sebetulnya sih bukan malu tapi maru. Tapi bagi orang Jepang kan pengucapan “malu” dan “maru” itu sama, jadi ya saya pilihkan kata malu-malu untuk judul.

Maru itu adalah bulat. Jadi kalau yang pernah pergi ke Jepang dan mengenal sebuah departemen store yang bernama Daimaru, ya artinya Bulat Besar. Saya juga pernah bingung melihat nama toko di Shibuya yang hanya bertuliskan OIOI kok dibaca Marui. Ternyata O nya itu Maru = bulat dan I nya ya dibaca i. Memang membaca tulisan di Jepang perlu putar otak untuk bisa mengerti artinya, meskipun kamu sudah bisa bahasa Jepang.

Tapi dengan adanya kata maru yang berarti bulat itu juga, bisa membuat orang Jepang yang belajar bahasa Indonesia cepat hafal kata Malu. Biasanya saya mengajarkan “Maru hadaka de Malu” (Telanjang bulat jadi Malu). Biasanya sih tokcer tuh untuk menghafal kata malu.

Lalu apa hubungannya dengan makan sushi malu-malu? Ya kemarin itu adalah hari SETSUBUN, yang merupakan hari peringatan (tidak libur), sehari sebelum RISSHUN, hari dimana mulai mempersiapkan kedatangan musim semi, meskipun tidak berarti bahwa musim dingin sudah berlalu dan menjadi hangat.  Dan pada peringatan SETSUBUN ini ada kebiasaan untuk makan sushi bulat-bulat, sushi yang berbentuk gulung, yang memang juga “bulat padat” berisi 7 macam “lauk”. Namanya “Marukaburi” まるかぶり atau “Ehomaki” 恵方まき. Dan ternyata waktu aku mencari informasi, eho berarti lucky direction, arah mujur.

Marukaburi atau ehomaki, sushi gulung berisi 7 lauk, untuk perayaan SETSUBUN

Aku membeli satu batang ehomaki ini, dan dibungkusnya terdapat cara makan sushi gulung ini. Di situ tertulis bahwa arah mujur tahun ini adalah barat-barat daya. Jadi sambil menghadap ke arah barat daya dan makan bulat-bulat satu batang sushi gulung ini. Dan sembari makan membatinkan keinginan untuk tahun ini. Misalnya supaya lulus ujian, dapat pacar, sehat dll. Wah memang kalau makan sushi satu batang seperti begini ditanggung badannya kuat dan sehat, dan siap menghadapi dinginnya hari-hari yang masih harus dilalui… sampai musim semi nanti.

kertas berisi cara makan ehomaki

Cerita lainnya mengenai perayaan SETSUBUN ini bisa dibaca di postingan saya tahun lalu yang berjudul Pergilah Kesialan, Datanglah Keberuntungan.

Akhirnya dia datang!

3 Feb

Yang pasti Riku sudah lama menunggu-nunggu kedatangannya. Ingin sekali Riku memeluknya, menggenggamnya, dan bermain dengannya. Terbayang dirinya yang lembut menawan, putih seputih kapas. Memang “dia” agak dingin tapi kehadirannya membuat hangat di hati… paling tidak untuk Riku.

Ya, Riku sudah lama menantikan salju. Tapi siang hari Senin lalu (1 Februari) hanya hujan yang turun. Aku tahu dari ramalan cuaca, tapi aku pikir baru senja hari, jadi aku tidak mengecek apakah Riku sudah membawa payung atau tidak. Padahal sejak pukul 1 siang, hujan yang dingin membasahi bumi. Sekitar jam 2:30 kulihat keluar, hujannya tetap deras… Wah pasti Riku pulang kebasahan dan kedinginan. Jadi sekitar jam 2:45 aku membawa payung Riku dan menuju sekolahnya untuk menjemput dia. Tahu-tahu di tengah perjalanan aku melihat sosok Riku memakai payung transparan berjalan terseok-seok karena membawa tas lain, sementara tangan satunya memegang payung. Rupanya bapak pembantu penyeberang jalan yang baik itu memberikan payungnya pada Riku, begitu dia melihat Riku tidak pakai payung. Ahhh kebaikan bapak itu memang terpancar dari mukanya.

Karena toh aku sudah membawakan payung Riku, jadi kami mengembalikan payung si Bapak sambil mengucapkan terima kasih, baru pulang ke rumah. Aku masih harus bersiap-siap untuk mengajar malam ini. Ya, mulai hari ini setiap senin malam sebanyak 5 kali, aku harus menggantikan guru bahasa Indonesia di Kursus Orientasi Bahasa Indonesia (KOI) , sebuah kursus yang diselenggarakan oleh KBRI bekerjasama dengan Japinda (Japan Indonesia Association) yang diadakan di Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Karena tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah, maka anak-anak aku bawa ke SRIT itu dan aku biarkan mereka bermain selama aku mengajar 2 jam di situ.

Untuk itu aku perlu mobil, karena sulit membawa anak-anak dan barang naik kereta dan bus sampai ke Meguro. Dan sebetulnya ini merupakan kali pertama aku menyetir mobil yang baru kami beli. Temanku menanggapi kerisauan aku mengatakan, “Kan menyetir mobil apa saja sama saja”. Ya memang, tapi tidak bisa dipandang enteng jika mobil sebelumnya adalah buatan eropa dan manual, sementara mobil yang sekarang buatan Jepang dan otomatis. Stang sign yang terbalik letaknya (kiri menjadi kanan) juga stang lampu dan wiper. Karena itu aku ingin pelan-pelan saja perginya supaya terbiasa (jangan menimbulkan kecelakaan), sehingga aku memutuskan berangkat jam 4 sore.

Dalam hujan aku menjemput Kai di penitipan, dan langsung menuju ke arah Meguro. Untung jalanan tidak begitu ramai dan kami bisa sampai jam 5 di SRIT. Sementara di luar hujan deras, aku menitipkan Kai pada Mbak Ayu dan mengajar mulai pukul 6:30. Dasar Kai manja jadi kira-kira pukul setengah 8 dia menangis dan terpaksa aku mengajar sambil menggendong dia. Kai seperti koala banget saat itu, diem nempel di dadaku.

Nah, giliran sudah selesai ngajar, jam 8:40 malam lihat ke luar mulai terlihat salju turun. Salju pertama di Tokyo pada tahun 2010. Aku sempat mencatat tahun 2008 pada tanggal 3 Februari juga turun salju, jadi salju di Tokyo turun setelah 2 tahun tanpa salju. Melihat salju mulai deras aku cepat-cepat menyuruh anak-anak naik mobil, karena aku ingin sampai rumah cepat, sebelum salju menumpuk. Terus terang aku takut menyetir dalam hujan salju karena belum pernah. Setahuku di daerah bersalju seperti di Niigata, ban mobil harus diberi rantai supaya pakem mencengkeram jalanan bersalju. Kalau tidak pakai rantai akan mudah slip.

Memang karena Meguro di dalam kota, masih hangat dan salju tidak menumpuk, tapi menjauh sedikit butiran salju semakin banyak dan deras, dan anehnya kecepatan mobil juga otomatis tidak bisa lebih dari 60 km/jam. Aku selalu senang menguntit mobil besar, karena berarti salju juga “terbawa” oleh mobil besar itu, dan aku tidak perlu “membuka” jalan. Tapi 3-4 km mendekati rumahku, mobil semakin sedikit, jalanan semakin putih sehingga aku mengurangi kecepatan dan sedapat mungkin mengerem dari jauh.

Waktu kami sampai di rumah, Gen sudah pulang dan menyambut kami dengan lega. Aku hanya sempat mengirim sms bahwa kami di tengah jalan waktu lampu merah yang cukup lama. Pesan sponsor: Jangan pernah menelepon atau menulis sms sambil menyetir. Apalahi menyetir sesudah minum minuman keras. Bahaya! DON’T DO THAT.

Pemandangan dari teras rumah kami di pagi hari pukul 6:26.... Membuat ingin kemulan terus.

Well karena sudah jam 10 malam tidak sempat bermain salju dan mau memotretpun tidak bagus hasilnya. Jadi aku sempatkan memotret pemandangan fajar, pagi hari …sudah siang sih pukul 6:26 dari apartemen kami. Atap putih semua. Dan mobil semua tertutup salju. Menurut televisi, Tokyo ditutupi salju setinggi 1 cm, tapi karena daerahku adalah desa dalam Tokyo, sepertinya sekitar 5 cm deh.

Untung saja saljunya berhenti turun waktu kami bangun tanggal 2 pagi. Aku sempat bermimpi menerima telepon yang mengatakan bahwa sekolah ditutup karena hujan salju hehehhe. Jadi tanggal 2 pagi Riku dengan gembiranya pergi ke sekolah, sementara papanya manyun karena harus pergi naik bus. Berbahaya menyetir dalam keadaan tertutup salju soalnya. Dan aku juga akhirnya membatalkan penitipan Kai untuk kemarin.

Deretan mobil di parkiran kami yang tertutup salju. Supaya tidak patah, batang wiper lebih baik diberdirikan.

Salju memang indah, dan merupakan pengalaman yang mendebarkan bagi orang Indonesia…. Tapi jika sudah banyak dan sering seperti teman-teman di daerah utara Jepang, menjadi muak setiap musim dingin tiba. Apalagi kalau salju itu sudah bertumpuk sampai setinggi langit-langit. Terpaksa harus keluar rumah dari lantai dua deh. Tadi pagi saja aku sempat sebal karena tanganku membeku waktu membersihkan kaca mobil dari salju yang sudah membeku. Akhirnya aku berdua Gen membasahi seluruh kaca dengan air hangat, sehingga Gen bisa berangkat ke kantor naik mobil lagi. Kalau jalanan sih sudah bersih dari salju dan sudah bisa lewati lagi.

Lihat betapa tingginya salju menutupi kuil. Berdiri di depan adalah kakek buyut keluarga Miyashita, harus menyerok salju dari atap supaya tidak rubuh.

Mau lihat salju? Bukalah lemari pendingan “freezer” dan di kotaknya ada seperti serutan es? Ya seperti itulah salju meskipun waktu turun memang halus. Menurut ahlinya, butiran salju (disebut kristal) yang turun itu mempunyai banyak bentuk partikel tapi yang pasti bentuk dasarnya adalah segi enam.

Kristal salju, semuanya pasti segi enam. Foto diambil dari wikipedia Jepang.

Paten(i) Seni

1 Feb

Masih ingat tanggal 2 Oktober lalu, kita warga Indonesia beramai-ramai memakai batik? Sekarang kemana ya gaungnya? Itu “hanya” karena UNESCO menentukan batik sebagai sebagai Warisan Budaya Dunia, tanggal itu. Lalu ini membuat aku berpikir jauh, yaitu kenapa Indonesia tidak mempunyai “hak paten budaya” seperti yang dilakukan Jepang dengan penunjukkan “Harta Negara/ Kekayaan Budaya” (Kokuhou 国宝/Bunkazai 文化財). Memang katanya “Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah meminta pelaku kebudayaan dan pemerintah daerah untuk segera mempatenkan karya budaya asal Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) juga telah bekerja sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memproteksi karya budaya asal Indonesia.” “Contohnya rumah Toraja. Itu karya kolektif masyarakat Toraja. Pemda cepat-cepat daftarkan itu sebagai karya kolektif,” ucap Jero Wacik. Hmmm tapi selain itu bukankah seharusnya pemerintah yang “menunjuk” apa yang patut menjadi “Kekayaan Nasional” itu. Misalnya Borobudur, diakui sedunia tapi aku tidak tahu apakah ada “penunjukkan resmi” dari negara Indonesia bahwa Borobudur itu memang “Hartanya Indonesia” seperti layaknya Kokuho di Jepang. Huh, jadi ingin menulis tentang Kokuhou dan Bunkazai di Jepang, tapi nanti-nanti deh. Banyak yang musti diterjemahkan…. hiks.

Nah selain ada istilah Kokuho 国宝(Harta Negara) dan Bunkazai 文化財 (Kekayaan Budaya) , di Jepang ada istilah Dentoteki Kogeihin 伝統的工芸品 (Kerajinan Tangan Tradisional). Kalau Kokuhou dan Bunkazai diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kerajinan Tangan Tradisional diatur oleh Departemen Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Jadi kerajinan tangan tradisional suatu daerah di Jepang harus didaftar dan terdaftar supaya bisa mencantumkan bahwa barangnya itu adalah Kerajinan Tangan Tradisional loh. Tidak bisa cuma ngaku-ngaku saja. Bisa dilihat di peta di bawah ini bahwa tiap daerah mempunyai “kerajinan khas” nya dan sebelah kanan adalah lambang “Kerajinan Tangan Tradisional”.

Nah tanggal 11 Januari lalu (wih udah baheula ya?) sebelum kami pergi ke Le Petite Prince Museum, kami pergi melihat cara pembuatan kerajinan tangan yang terbuat dari kayu, kerajinan khas Hakone. Namanya Hakone Yosegizaiku 箱根寄木細工. Kalau lihat dari kanjinya saja bisa diterjemahkan menjadi kerajinan merapatkan kayu yang halus dari Hakone. Seperti apa kerajinan itu?

Waktu kami melaju menaiki pegunungan menuju Lake Ashi sebagai tujuan utama hari itu, tiba-tiba Gen teringat bahwa Hakone memang mempunyai kerajinan khas Yosegizaiku ini. Dan terbaca papan “Bengkel dan Toko Yosegizaiku Hamamatsuya”. Kami sepakat untuk melihat kerajinan ini (padahal waktu itu aku ngga bawa uang tunai banyak, tapi cukup tenang melihat lambang kartu kredit deh) sehingga kami langsung masuk ke parkiran mereka. Toko ini sepi oleh pengunjung padahal sudah lewat pukul 11 waktu kami masuk.

Kami langsung disambut dengan beraneka ragam kerajinan kayu, mulai dari gasing, gantungan kunci sampai lemari dengan laci-laci yang harganya muahaaal sekali. Memang aku sudah pernah mengenal kerajinan ini, ya tidak lain dari pemberian oleh-oleh dari mantan pacar, sebuah kotak perhiasan. Tidak menyangka juga bahwa harganya cukup mahal lah untuk ukuran mahasiswa. Tapi setelah melihat cara pembuatannya, aku bisa mengerti mengapa harganya mahal.

kotak perhiasan yosegizaiku dengan laci sliding dari mantan pacar

Kami beruntung sekali karena ternyata toko itu juga memperbolehkan tamu untuk melihat cara pembuatan di lantai atas. Pengrajin yang ahli itu sudah menunggu kami di atas, dan mulai berbicara. Dan dari dia pertama kali aku mengetahui bahwa tidak setiap kerajinan tangan di Jepang bisa disebut sebagai Kerajinan Tangan Tradisional.

Si Bapak langsung mempraktekkan pembuatan kerajinan Yosegizaiku ini. Kayu yang berwarna alami, mulai dari yang putih sampai coklat tua mendekati hitam, dipotong halus-halus. Bentuknya bisa segitiga, atau persegi panjang, bisa dipotong sebagai batangan atau lempengan.

Jenis kayu yang dipakai, dari dalam dan luar negeri. Lihat warnanya berbeda kan!

Kemudian potongan kayu berbagai bentuk ini dipadukan sehingga bisa menghasilkan motif-motif mozaik yang unik. Perpaduannya tergantung rasa seni si pembuat, ada kalanya hanya memakai dua warna, ada kalanya beberapa warna sehingga hasilnya cukup meriah. Perpaduan berbagai bentuk juga menghasilkan motif yang unik sehingga tidak bosan rasanya. Dan perpaduan itu tanpa batas!

Kotak penyimpan surat

Oh ya, potongan kayu itu ditempel dengan memakai lem kayu biasa, tapi dulu katanya memakai nasi! Jadi ingat dulu waktu TK, jika lem habis mama juga mengajarkan kami memakai lem dari nasi. Riku kaget mengetahui bahwa nasi bisa menjadi lem…. hmmm anak-anak sekarang tahu ngga ya? Dan lem dari nasi ini cukup kuat karena hasil karya yang memakai lem nasi itu bisa berumur ratusan tahun!

Jika sudah menjadi suatu blok kayu bermotif tinggal menentukan akan dijadikan apa. Diserut menjadi lembaran kayu bermotif yang bisa dijadikan macam-macam, mulai dari pembatas buku, hiasan dinding sampai “kulit” dompet dan lain-lain.

berfoto dulu dengan sang ahli kerajinan yosegizaiku

Atau digerus, dibentuk lagi untuk menjadi piring/wadah kayu. Memang sayang kalau digerus, karena berarti cukup banyak bagian yang harus dibuang begitu saja. Dan ini yang menyebabkan harganya mahal! Ngga sanggup deh aku mengeluarkan minimum 8000 yen (Rp. 800.000) untuk wadah kayu yang cantik ini.

wadah kayu hasil gerusan blok kayu yang kanan, banyak yang terbuang...

Menurut si pengrajin, dia merupakan cucu dari pengrajin yang terkenal, salah satu pelopor kerajinan tradisional yosegizaiku didaerah itu. Dia sendiri sudah menerima penghargaan macam-macam. Yang aku senang, Riku menunjukkan perhatian cukup besar pada penjelasan si bapak. Dan aku tahu dia juga suka Riku bertanya. Aku sampai dikasih extra lembaran kerajinan berukuran A6. Asyiiik!

Si Bapak udah masuk majalah dan buku loh!

Yang benar-benar mengagumkan adalah sebuah “lukisan” Gunung Fuji yang semuanya (lukisannya) terbuat dari potongan kayu, bukan gambar! Si Bapak memperlihatkan sebuah gergaji halus yang dipakai untuk “membolongi” papan lukisan. Bisa lihat potongan puncak Gunung Fuji, yang bisa dicopot untuk kemudian diganti dengan potongan lain yang “bersalju”. Dan kami diberi tahu tekniknya supaya potongan itu tidak jatuh. Hebat bener nih kesenian!

Lukisan gunung Fuji yang bisa diganti puncaknya dengan yang bersalju

Setelah selesai melihat demontrasi sang pengrajin, kami turun ke bawah lagi, dan melihat barang-barang yang ingin kami beli. Bagusnya ada sebuah plastik berisi potongan kayu untuk membuat coaster (tatakan gelas) lengkap dengan lem berikut caranya. Langsung Riku membeli dua untuk mencoba. Setelah pulang Riku mencoba dan tentu saja sebagai seniman si Riku membuat seenak perutnya dewe hihihi. Mana mau dia ngikuti denah untuk membuat tatakan gelas. ( Aku biasanya membiarkan saja dia ikut keinginannya. Yang penting di sekolah harus ikut peraturan… gitu aja hihihi)

Riku memilih kantong berisi potongan kayu untuk dibuat menjadi tatakan gelas

Dan seperti biasa, toko yang tadinya kosong tiba-tiba jadi banyak tamu datang dan menyibukkan penjaga toko (gara-gara kamu sih mel hihihi). Jadi kami cepat-cepat pamit setelah menghirup teh sajian penjaga toko. Begitu keluar toko, kami melihat ternyata tempat itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Jaman Edo dulu, para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota (kalau tidak salah dua kali setahun …musti liat catatan dulu) sehingga iring-iringan tuan tanah ini pasti akan terlihat. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan (tapi berdampak buruk untuk perekonomian). Well, I should stop here, karena kalau aku lanjutkan tentang sejarah Jepang ini, pembaca TE kabur semua. Nanti aku bahas di tulisan yang lain saja.

Di sini merupakan perhentian iringan tuan tanah jaman Tokugawa/Edo

Kerajinan Tangan Tradisional Jepang memang berkualitas tinggi, karena dijaga turun temurun, dan mutunya tidak dipengaruhi komersialisasi. Ini juga bisa terjaga karena adanya pengakuan dari pemerintah Jepangnya sendiri, selain dari kesadaran masyarakat Jepang untuk membeli produk dalam negeri.

(ssst judul postingan kali ini royaltinya Koelit Ketjil nih hihihi. Dan satu lagi…. ini merupakan posting ke 700 loh …. horeeeee)

Sesuai permintaan Nana, ini foto hasil karya Riku:

semestinya coaster (tatakan gelas) tapi oleh Riku dimodif jadi bentuk gitu deh

Kapan Kamu Merasa “Tua”?

27 Jan

Hmmm sudah berturut-turut aku menulis postingan yang agak berat, sehingga ingin istirahat sebentar dengan mencari topik yang ringan dulu. Dan aku ketemu sebuah topik yang menarik, soalnya aku juga sudah merasa semakin tua nih. Judulnya, “Kapan kamu merasa (sudah) tua?”. Dari angket/poling  yang didapat, ternyata nomor satu menjawab: “Waktu tidak bisa lagi begadang”… Hmmm memang aku kadang insomnia, tapi memang benar juga tidak bisa kalau tidak tidur sama sekali. Pasti harus tidur barang sejam-dua jam. Hmm berarti memang sudah tua ya (ya iya lah mel…masak mau muda terus).

Nah berturut-turut ranking yang menyatakan “Wah saya sudah tua” di waktu:

  1. Tidak bisa begadang lagi
  2. Dalam sport profesional, yang bercahaya adalah yang lebih muda (huh boro-boro sport profesional, mau lari aja susah hahaha)
  3. Tidak tahu nama artis muda yang sedang naik daun. (Wah ini gue banget… ngga artis Jepang, ngga artis Indonesia… ora mudeng)
  4. Cepat lupa (amin deh)
  5. Lemak yang berkumpul tambah banyak (no comment)
  6. Waktu akan berdiri, memulai pekerjaan mengeluarkan suara “yoisho” supaya bersemangat. (Kalau orang Indonesia bilang apa ya?)
  7. Menemukan keriput di wajah (Oh nooooo, terutama di bagian mata tuh)
  8. Waktu kedinginan jadi beser (wah aku mah ngga dingin juga beser hihihi)
  9. Sakit pegal-pegal otot susah sembuhnya (hihihihi… diem ahhh)
  10. Menjadi jengkel waktu mendengar percakapan anak-anak muda (wah kalau aku emang jarang denger, tapi kalau baca tulisan mereka….ampuuuun deh )
  11. Pilih baju yang paling sederhana a.k.a tidak berani mengikuti fashion.
  12. Mulai menyebutkan “Anak muda sekrang itu….”
  13. Tidak bisa pergi minum-minum alkohol setiap malam lagi … (hmmmm)
  14. Lebam biru susah hilangnya (semakin tua kan lebam biru tambah banyak tuh)
  15. Malas date/pacaran
  16. Kulit tidak mulus lagi
  17. Tidak bisa membuka plastik tanpa membasahi jari lebih dulu
  18. Setelah berolahraga keras, capeknya tidak hilang-hilang
  19. Lebih memilih ikan daripada daging (NAH ini gue banget)
  20. Waktu memilih daging pasti yang tanpa lemak (hihihi kalo ini sih ngga, masih suka yang berlemak tuh..berarti aku masih muda dong!)

Nah, bagaimana dengan teman-teman… merasa tua itu waktu kapan sih? Kalau aku sih bener-bener waktu membaca blog atau tulisan anak muda sekarang…ampyuuun deh ngga ngertiiiiii!!!!
Sumber: Angket yang dilakukan oleh situs GOO

….. to the top of the Mountain

26 Jan

tulisan ini merupakan sambungan dari From the bottom of the sea, postingan sebelum ini.

Ya, setelah kami keluar dari Umi Hotaru, kami menuju ke Kisarazu. Sebetulnya tujuan kami awalnya adalah untuk ke DOITSU MURA (Deutsch Village – Perkampungan Jerman), karena kami melihat di website bahwa di situ ada iluminasi, hiasan lampu-lampu sampai dengan tanggal 14 Februari. Hmmm pikirnya biar sekalian makan malam di situ sambil menikmati lampu-lampu yang kelihatannya menarik.

Tapi berhubung waktu itu sudah atau masih jam 2, rasanya sayang membuang waktu (dan uang) di Perkampungan Jerman itu. Biasanya memang Jerman terkenal dengan susis dan birnya kan. Yang pasti Gen tidak bisa minum bir karena menyetir (kecuali aku ganti menyetir dan dia minum… tapi… kan aku juga mau nge-bir hihihi).

So, ganti haluan. Gen tanya apa aku tahu Nokogiri Yama, Gunung Nokogiri. Di situ ada patung Buddha besar. Memang aku belum pernah menuliskan di TE (masih pending terus) tapi aku sudah pernah pergi ke Great Buddha di Kamakura. Jadi ingin juga melakukan “perbandingan” dengan patung Buddha di Kamakura itu. Jadi, kami merubah tujuan di car navigator kami dengan Nokogiri Yama. Lagipula tempat yang kami tuju ini juga dekat dengan pelabuhan ferry, jika kami mau pulang ke Tokyo naik ferry.

Kami sampai di stasiun cable car sekitar pukul 3 lewat. Dan oleh petugasnya disarankan untuk tidak naik cable car, karena cable car selesai beroperasi pukul 4. Mungkin dia melihat kami bersama dua anak kecil, jadi tidak mungkin jalan jauh. Tapi dia bilang bahwa jika kita pergi sedikit lagi, akan sampai di lapangan parkir Kuil Jepang, Nihondera yang gratis. Di situ tutup jam 5, jadi masih cukup waktu. Paling tidak melihat patung Buddhanya (karena ternyata banyak sekali tempat yang bisa dilihat di sini)

Jadi kami menyusuri jalan pantai yang berkelok-kelok dan menyajikan pemandangan sangat indah. Sayang tidak ada tempat berhenti untuk memotret, lagipula tanpa filter rasanya sinarnya terlalu terang. So, kami langsung menuju parkir Nihondera.

Bunga Plum mulai bermekaran di sini, Nihondera

Waktu kami memasuki wilayah Nihondera itu, kami disambut dengan bunga suiren, dan bunga plum berwarna pink yang menyebarkan harumnya ke mana-mana. Well di sini memang lebih hangat daripada tempat lain, sehingga terasa musim semi sudah datang di sini.

Bunga plum menyambut kami

Dan aku mulai deg-degan melihat tangga yang cukup banyak. Aku memang tidak prepare untuk naik tangga apalagi mendaki gunung. Lihat saja pakaianku di postingan sebelumnya, pakai rok lebar dengan sepatu pantofel, dan coat/dawn jacket. Tapi aku pikir coba! berusaha! Setelah menaiki tangga yang SEDIKIT (karena setelahnya berkali-kali lipat jumlahnya), aku boleh tertawa senang melihat pemandangan yang terhampar di depan mataku.

Patung Buddha terbesar di Jepang, setinggi 31 meter

THE GREAT BUDDHA, terpahat di lereng gunung. Memang lebih besar dari patung Buddha di Kamakura yang hanya setinggi 13 meter saja.

Waktu itu tidak ada orang di situ, karena memang sudah sore. Keagungan Sang Buddha yang sedang bersila itu memang menimbulkan aura khusus ke daerah sekitar. Belum lagi di sebelah kiri ada sebuah tempat khusus untuk meletakkan patung permintaan, berwarna putih dan merah.

Patung Jizou yang melambangkan permohonan manusia

Sementara aku masih memotret dan menikmati suasana khas di situ, rupanya Gen mencari informasi lain. Dia sebetulnya ingin melihat sesuatu yang bernama Hyakusyaku Kannonsama, bukan Great  Buddha yang sudah terlihat di depan kami ini. Katanya Kannonsama itu yang terkenal. Dan dari tempat kami berdiri butuh waktu 20 menit mendaki.

MENDAKI? aduuuh… aku paling takut mendaki gunung. Takut! Aku takut ketinggian. Tapi tanpa mendaki aku tidak bisa melihat yang dimaksud Gen. Padahal sudah tinggal 20 menit lagi. Jadi teringat waktu mendaki bukit untuk melihat kawah gunung di Kusatsu. Well, waktu itu juga 20 menit, dan aku bisa (tapi waktu itu pakai sepatu kets, sekarang sepatu pantofel).

Akhirnya aku bilang, ayo kita coba. Karena sebetulnya mau dikatakan mendaki juga medannya tidak seperti orang Indonesia mendaki gunung ala hiking yang jalannya berlumpur dan berumput. Semua jalan mendaki ke atas berupa tangga batu…. yang curam. Jadi masih bisa lah pakai pantofel, asal aku berhati-hati waktu menginjak jangan selip.

YOSH!!! (teriakan semangat dalam bahasa Jepang) Aku mulai mendaki…dan terbata-bata! Takut benar. Karena ada beberapa tempat yang begitu terjal, dan tanpa ada sesuatu yang bisa dipegang. SEANDAINYA ada pegangan, aku pasti bisa lancar. Bukan capeknya tapi takutnya, yang harus aku kalahkan. Dan terus terang tangga ini mungkin ada seribu (hihihi) alias panjaaaaaaaang banget. Rasanya kok tidak sampai-sampai. Tentu saja, karena sebetulnya kami menaiki lereng di sebelah patung Great Buddha tadi, dan lebih tinggi lagi. Aku harus berusaha sendiri, karena Riku jalan sendiri, dan Gen menggendong Kai.

Tapi lama-lama aku mulai ketakutan, sampai akhirnya Gen menurunkan Kai di sebuah tempat istirahat, dan menyuruh Riku menemani Kai, kemudian turun “menjemput” aku. Well, hanya dengan berpegangan tangan saja, aku bisa naik lancar (sambil diteriaki anak-anakku… Mama gambare — ayo mama…)

Dan yang membuat aku merasa HARUS bisa, adalah pemandangan ini:

Duhhh anakku yang satu ini, berani sekali mencoba semua sendiri

Ya, Kai yang sekecil itu tanpa takut-takut manjat tangga sendirian. Dan akhirnya ditemani Riku di sampingnya memang. Tapi si cilik itu sambil mendaki dengan tangan dan kaki berhasil sampai di atas. Well, kalau perlu aku juga pakai tangan deh untuk bisa manjat.

Akhirnya kami bisa sampai di puncak gunung yang bernama Jigoku Nozoki (Tempat Mengintai Neraka). Well seandainya tempatku berpijak adalah surga, dan di bawah adalah neraka, aku bisa bayangkan ngerinya jika jatuh hihihi. Bahkan Gen saja mewanti-wanti Riku dan Kai jangan dekat-dekat pagar pembatas.

Jigoku Nozoku, Tempat Mengintai Neraka, puncak dari gunung Nokogiri

Ternyata kami berada di atas Kannonsama yang akan kami tuju. Jadi kami harus menuruni tangga lagi menuju tempat Kannonsama. Dan memang yang menyebalkan tadi wkatu kami naik sempat mendengar seorang bapak yang berkata, “Kenapa naik tangga yang ini. Ini 30 menit dan curam, kalau tangga yang satunya cuma 10 menit dan landai”. Huh, masak musti kembali lagi untuk mencari tangga yang landai? Untung dia berkata, “Gambare, sebentar lagi sampai kok”.

Akhirnya kami sampai ke tempat Hyakushaku Kannonsama. Waaaaahhhhhh hilang rasanya segala capek dan takut yang tadi ada. INDAH! Aku bisa mengerti mengapa orang sedunia marah-marah waktu peninggal Buddha of Bamyan di Afghanistan dirusak Taliban. Ini yang mungkin tidak ada seperberapa keindahan warisan dunia Unesco saja bisa membuat merinding. Apalagi Bamyan.

Hyakushaku Kannondama, berada di celah gunung yang lembab dan dingin, menimbulkan kesan mistis

Sebuah patung Kannon dipahat di lereng yang puncaknya adalah tempat Mengintip Neraka tadi. Besar sekali, sesuai namanya setinggi hyakushaku. 1 shaku = 0.33 meter jadi 100×0.33 = 33 meter. Bahasa Inggrisnya Kannon adalah Kwanyin. Dan karena terletak di celah bukit, kesannya memang lebih dingin dan lembab. Memang masih baru usianya, baru 44 tahun, belum terlalu lama kan? Tapi tetap saja suasananya membuat ingin berlama-lama di situ, tapi karena pelataran parkir dan kompleks kuil Nihondera akan ditutup jam 5, kami harus bergegas pulang. Tentu saja setelah berfoto di situ. (Dan batere Canon G9 kami dut di situ, untung ada kamera HP, dan kamera lama cadangan Canon G6).

(Foto kanan di atas adalah Tempat Mengintip Neraka sedangkan patung Kannonsama di sebelah kanan bawah)

Perjalanan pulang lebih cepat (tentu saja) tapi hal ini lebih disebabkan karena banyak pegangan yang bisa aku pakai selama menurun. Karena biasanya tangga turun sebetulnya lebih menakutkan daripada tangga naik. Dan waktu menuruni lembah itu lutut kita akan menahan berat badan, sehingga sampai pada suatu waktu dimana lutut kita akan bergetar. Nah, di sini ada pepatah yang mengatakan “Hisa ga warau” (Lututnya tertawa… ya bergetar/gemetaran mirip dengan tertawa kan). Jadi waktu tiba-tiba Riku mengatakan “Hisa ga warau”, kami benar-benar tertawa karena memang begitulah keadaan kami.

Kami sampai di pelataran parkir lewat dari jam lima dan tinggal tiga mobil yang berada di situ. Kami menuju jalan pulang dan mampir di tempat pemberangkatan ferry di Kanaya. Di sini kami menangkap matahari senja perlahan tenggelam di kejauhan, dan Nokogiri yama yang telah kami tinggalkan di sebelah kiri kami.

Pikir-pikir ternyata naik ferry jauuuh lebih mahal daripada naik jalan tol lewat AquaLine. Bedanya ada 5000 yen, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang melalui jalan yang sama, dan naik ferrynya lain kali saja. Untung saja, karena pemandangan di Umi hotaru pada malam hari juga indah.

menikmati senja di pantai penyeberangan ferry, dengan laut di muka, dan gunung Nokogiri di samping kiri

Well, kami sampai di rumah pukul 8 malam dengan kaki sakit, tapi puas bisa berjalan-jalan satu hari. Benar-benar perjalanan kami hari ini (Sabtu, 23 Januari 2010) bisa diberi judul  From the bottom of the sea, to the top of the Mountain.

From the bottom of the sea….

25 Jan

Ini merupakan bagian pertama dari perjalanan de miyashita hari Sabtu tanggal 23 Januari lalu.

Bagaimana rasanya jika kamu tahu kamu berada di dalam laut? Seperti berada di dalam kapal selam? Wuih aku membayangkannya saja sudah ngeri!! Terus terang aku memang punya penyakit panic syndrome plus phobia tidak bisa berada dalam ruangan tertutup, kecil dan tidak ada jendela yang menghubungkan aku dengan langit. Untuk lift aku masih bisa, karena bergerak cepat, tapi untuk kereta subway, memang aku belum bisa mencobanya lagi sejak aku mengidap penyakit ini 10 tahun yang lalu.

Nah, hari Sabtu kemarin, aku mau tidak mau harus menjalani kesempatan untuk berada di dalam laut, tepatnya di bawah dasar laut, dalam ruang berupa terowongan tertutup, tapi dalam mobil. Karena kebetulan Gen libur hari Sabtu dan Minggu, libur berturut-turut dua hari, merupakan kemewahan bagi Gen dan kami. Apalagi waktu kami memulai hari pukul 8 pagi Sabtu itu, hari benar-benar cerah, dan kami putuskan untuk menikmati kecerahan hari di LUAR, di UDARA TERBUKA.

Jadi kami memutuskan untuk pergi ke laut, dan karena kami jarang pergi ke daerah Chiba, maka kami tentukan untuk ke prefektur yang terletak bersebelahan dengan Tokyo. Tokyo bersebelahan dengan Yokohama dan Chiba, tapi sebetulnya bisa dikatakan untuk ke Yokohama tidak dihalangi oleh teluk Tokyo seperti kalau ingin ke Chiba. Nah, keadaan geografis yang seperti inilah yang membuat seakan Tokyo dan Chiba itu jauh.

Peta teluk Tokyo, kami melintasi Aqua Line yang bergaris merah dari kiri ke kanan

Nah, di situ aku menyarankan untuk pergi melalui jalan pintas yaitu AQUALINE, perpaduan terowongan bawah laut dan jembatan yang menghubungkan dua prefektur (Kanagawa dan Chiba) di Jepang ini. Aku sudah pernah 2 kali melewati Aqua Line, meskipun sambil deg-degan, bersama rombongan orang-orang Indonesia dengan naik bus. Selama bukan aku yang nyetir, memang tidak apa-apa. Dan tentu saja kami lupa berada di mana karena tidak henti bercakap-cakap.

Dahulu waktu jalur ini baru dibuka, aku ingat sekali biayanya mahal, yaitu sekitar 7000 yen. Karena banyak yang protes, dan mungkin campur tangan politik, maka sekarang biaya tolnya hanya 4000-an. Tapi…. ternyata setelah ada kebijakan pemerintah agar masyarakat menggunakan uangnya demi perputaran ekonomi, dan menyamaratakan semua biaya tol kemana saja menjadi 1000, plus pemakaian ETC maka kami bisa melintasi Aqua Line itu dengan hanya membayar 800 yen saja.

Jalur bernama Tokyo Wan Aqua-Line Expressway jika menurut penamaan lama adalah Jalan Negara No 409. Diresmikan pada tanggal 18 Desember 1997, sepanjang 15, 1 km, dimulai dari Kawasaki sampai Kisarazu. Jika berangkat dari sisi Kawasaki, 9,6 km pertama berbentuk tunnel bawah laut, kemudian kita akan sampai di Parking Area (PA) berupa pulau buatan bernama UMI HOTARU (arti harafiahnya: kunang-kunang laut). Dari PA ini kemudian AquaLine ini disambung dengan 4,4 km jembatan yang diberi nama Aqua Bridge menuju Kisarazu di Chiba. Akan tetapi persis kira-kira di pertengahan Aqua Tunnel terdapat sebuah pulau buatan yang diberi nama Pulau Buatan Kawasaki / Menara Angin. Menara ini sengaja dibuat untuk mengatur sirkulasi udara di dalam tunnel yang panjangnya hampir 10 km itu.

Begitu masuk pintu Kawasaki, kami memasuki tunnel yang diterangi lampu. Di sini ada peraturan untuk tidak membawa barang berbahaya dan tidak saling mendahului. Waktu aku sedang sibuk memotret dalam tunnel, tiba-tiba HPku berbunyi! Ada telepon! Cukup kaget, ternyata masuk juga sampai di dasar lautan tuh. Kabarnya terowongan ini berada di kedalaman 56 m di bawah dasar laut yang terdalam.

Dalam Aqua Tunnel, di kedalaman 56 m dari dasar laut, sepanjang 10 km

Sambil berbicara dengan temanku itu, sempat dia mengatakan, “Semoga jangan sampai pecah ya tunnelnya”. Hmmm sesaat aku sempat berpikir juga, kalau tiba-tiba gempa bagaimana ya? Tapi langsung aku tepiskan bayangan macam-macam, sambil berpikir…. yah kalaupun mati, matinya berempat sekaligus. hehehe (hush bukan lelucon ah mel…)

Hampir 10 km lewat dalam waktu kurang dari 10 menit. Kami sampai di Umi Hotaru, Parking Area yang dibangun di pulau buatan. Kabarnya PA ini bisa menampung 90 an bus, dan 400 mobil biasa. Sebelum masuk tunnel, katanya sih parkir penuh, tapi waktu kami sampai di sana, masih cukup banyak kok tempat kosong. Namun karena takut tidak kebagian tempat, kami terpaksa parkir di tempat yang agak jauh dari pusat perbelanjaan/istirahatnya.

Di sebelah kanan ada kelihatan bangunan putih. Itulah Menara Angin yang berada persis di tengah-tengah Aqua Tunnel

Umi hotaru terdiri dari 4 tingkat, dengan toko-toko dan game center dan tentu saja ada deck utama dengan pemandangan ke arah Tokyo. Kami bisa melihat tempat kamu masuk di kejauhan dan tepat di tengah-tengahnya adalah Menara Angin. Waktu itu persis ada pesawat yang akan mendarat di pelabuhan Haneda, yang terletak di sebelah kanan kami. Well, pemandangan waktu malam hari juga menawan (pulangnya kami juga melewati tempat ini lagi).

Tadi kami tuh berada di bawah laut itu loh hiiiiii

Berhubung sudah waktu makan siang, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di Food Court di Umi Hotaru ini, makan di atas Teluk Tokyo. Kalau aku sih pilih nasi tempura, tapi Gen memilih nasi dengan topping kerang asari (dan ternyata tidak enak hihihi).  Setelah memesan kami mendapat sebuah pager panggilan jika makanan kami sudah selesai. Jadi ingat postingan Pak Oemar Bakrie yang ini. Cuma memang bentuknya lain, yang di Jepang persegi panjang.

Akhirnya setelah makan kami keluar dari bangunan utama berbentuk kapal, dan kembali ke parkiran, kami menemukan museum kecil atau pusat data teknis mengenai pembangunan Aqua Tunnel ini. Sayang sekali tidak ada pamflet yang disediakan. Padahal kalau ada pamflet ingin saya kirimkan pada Mbak Tuti Nonka. Seharian itu pikiran saya melayang ke Mbak Tuti Nonka, ingin mengajak main ke Aqua Line ini. Soalnya Mbak Tuti kan memang hobbynya mengunjungi jembatan ya Mbak hehehe. (Mbak, kegigit ngga mbak, hari Sabtu lalu hehehe).

Shield dari Aqua Tunnel. Banyak panel-panel di museum kecil ini mengenai pembuatan terowongan bawah laut Aqua Tunnel.

Gen dan anak-anak senang sekali bisa melihat pemandangan laut dan sekaligus melintasi terowongan bawah laut pertama kali.
“Kok mama  sudah pernah ke sini sih? Kenapa papa belum pernah?” tanya Riku.
Jawab Gen, “Mama kan jalan-jalan terus, jadi sudah kemana-mana di Jepang, Papa belajar terus sih…”
hahaha…. tapi memang aku akui bahwa selama aku menjadi mahasiswa di Jepang, aku sudah pergi ke tempat-tempat yang sedangkan orang Jepang saja belum pernah pergi. Jadi? Kapan belajarnya dong? hihihihi….

Riku di depan pusat data teknis Aqua Line bernama Umi Megane

(Filsafatnya begini… kalau kamu merasa tidak akan kembali lagi ke suatu tempat, maka semua tempat akan dijelajahi, tapi jika kamu toh akan tinggal di situ, halaman rumahpun belum tentu dijelajahi…..)

bersambung ke     …. to the top of the Mountain

Dunia Kecil

24 Jan

what a small world…. adalah suatu frase yang akhir-akhir ini sering saya gunakan, yang disadari keberadaannya dan dikomentari oleh Daniel Mahendra dalam tulisan sebelum ini. Dunia itu kecil!

Ya, ya, ya aku tahu memang berkat internet maka dunia itu seakan tidak ada batas-batasnya lagi. Batas teritori, batas waktu, batas -batas yang dibuat manusia. Tapi bukan soal pengetahuan umum ini yang ingin kubahas kali ini.  Bukan pula blog bertajuk “Dunia Kecil” yang dikelola Indira, seorang Master yang Mrs dan baru berulang tahun tanggal 22 Januari lalu. Tapi aku ingin bercerita sedikit pada peranan Twilight Express a.k.a. TE , alias blogku dalam pertemuan-pertemuan yang boleh dikatakan aneh atau ajaib.

Masih ingat Wita, pelopor blogger yang kopdaran dengan aku di Tokyo? Ternyata waktu dia muncul di apartemenku itu melalui perjalanan yang tidak mudah. Dia baru tulis di blognya pengalaman mencari apartemenku di Tokyo, dengan judul: “Road to Nerima”.  Semenjak dia berkunjung ke blog TE memang akhirnya kami menjadi akrab.  Dan pada saat yang hampir bersamaan TE kedatangan seorang tamu reguler yang agak ROM namanya mirip yaitu Whita Kutsuki. Kata Gen ROM adalah kategori pembaca tanpa komentar, atau sesekali saja berkomentar. Singkatan dari Read Only Member (dan ada beberapa yang mengaku padaku bahwa dirinya adalah silent reader TE). Dengan Whita yang ROM ini, aku bisa bertemu di KBRI Tokyo, karena kebetulan dia mau perpanjang paspornya (dan aku mengambil paspor adikku). Ceritanya ada di sini.

Siapa nyana, sambil ngobrol-ngobrol begitu, aku menangkap satu benang merah yang akhirnya membuat Wita dan Whita ini bertemu (paling sedikit bercakap-cakap di FB). Ternyata sodara-sodara, kedua wita ini berasal dari jurusan yang sama di Universitas Moestopo (yang letaknya dekat rumahku juga).

Kebetulan yang seperti ini ternyata terulang lagi, belum lama ini, 4 hari yang lalu. Ketika Ria bercerita mengenai perjalanan karir dia di chat. Sejak kuliah sampai dia bekerja di indo.com. Nah waktu aku mendengar nama perusahaannya indo.com aku jadi teringat bahwa aku pernah memesan tiket jakarta-jogja melalui wita/alma yang kala itu bekerja di indo.com. Aku juga pernah memesan hotel di Bandung melalui indo.com juga. Ternyata Ria adalah “sempai” dari wita di kantor indo.com, yang telah keluar kerja dari situ waktu wita masuk.

Tentu saja akhirnya Ria dan Wita berteman dan mereka bisa bercakap-cakap menceritakan nostalgia di kantor lama mereka berdua. Bertemunya di TE, meskipun memang jika aku tidak akrab dengan mereka, mungkin selamanya tidak akan timbul “benang merah” itu.

Pertemuan antar teman sekampus, teman sekantor, atau bahkan hubungan yang agak jauh seperti  aku dan mas trainer yang merupakan kakak dari senior di SMA (yang sama-sama merupakan anggota Science Club dan Sanggar Fotografi) dapat terjadi karena membaca blog dan berinteraksi.

Bahkan berkat TE juga aku bisa menemukan nenek moyang dari keluargaku Coutrier yang ternyata berasal dari daerah Polombangkeng/Galesong di Makassar. Dan ternyata Jumria Rachman a.k.a Ria adalah saudara sedarah jika ditelusuri sampai ke 4-5 generasi di atas kami.  Mungkin karena darah kami sama itu ya, yang menyebabkan kami akrab. Lucunya, kalau aku yang sedang misuh-misuh, Ria yang menghibur dan menasehati. Tapi ada kalanya juga gantian, Ria yang misuh-misuh dan aku sambil tertawa meredam kekesalan dia.

Tapi bukan hanya unsur “darah” dan “gembil” nya saja deh yang menyebabkan kami akrab. Ditambah dengan beda 9 hari deh ulang tahun di antara kami. Ya Ria baru saja berulang-tahun  tanggal 23 Januari kemarin. Kadang aku berkata padanya, “Kamu mustinya lahir lebih cepat 1-2 hari supaya masuk horoskop Capricorn, karena kamu lebih banyak sifat Capricornnya daripada Aquarius” hehehe. So, selamat ulang tahun saudaraku tersayang, Jumria Rachman. Nanti aku cari waktu untuk kita berdua menjelajah tanah Galesong bersama dan menelusuri sejarah nenek moyang kita ya. Maaf terlambat menuliskan di TE, tapi sudah lewat fesbuk dan sms kan ya… Aku senang sekali menemukan Ria sebagai sahabat dan saudara di blogsphere.

(Dua orang bersaudara jauuuh, mirip ngga? dimirip-miripin deh ya. Umur sih beda jauh lahhhh hihihi. Bayangkan Ria di Duri, aku di Tokyo ketemunya di dunia maya….)

Well, aku masih menunggu kejadian-kejadian pertemuan antar pembaca TE yang aneh bin ajaib, sehingga bisa merasakan kehebatan internet dalam silaturahmi antar manusia. Yang sudah saling bertemu sendiri lapor-lapor ya!!! (weleh aku kok seperti mak comblang aja yah? hihihi)

Dan sebentar lagi TE di domain ini akan menyambut ulang tahun ke dua pada tanggal 1 Maret nanti. Kalau lihat di samping kiri tertera bahwa sudah ada 696 tulisan di TE (padahal semestinya bisa lebih banyak lagi, tapi terkadang rasa malas dan kurang waktu menyerang), dengan 10.958 komentar. Aku ingin menyambut komentator ke 11.111 sebagai peringatan yang terakhir (soalnya 22.222 masih akan lamaaaaaaa sekali), sambil aku juga akan melanjutkan menuliskan perjalanan hidup, dari dini hari ke senja hari, from dawn to dusk, sambil menaiki “kereta” Twilight Express. Aku tidak tahu seberapa pentingnya TE  bagi pembaca, tapi TE penting bagiku sebagai kenangan perjalanan hidup seorang Imelda.