Hari ke 8 – 88 dan Cantent in Viis Domine

26 Feb

Seperti yang pernah saya posting di Apa artinya sebuah angka! Bagi orang Jepang, angka delapan adalah angka mujur. Dan dalam kehidupan manusia, ada suatu titik-titik usia tertentu yang “Diagungkan”. Usia o tahun atau usia 1 tahun pada hitungan Jepang lama yang merupakan hari kelahiran, usia 20 tahun yang menurut pemerintah merupakan pengakuan seseorang menjadi dewasa dengan sebutan khusus HATACHI 二十歳 , usia 60 tahun dengan sebutan KANREKI 還暦 (genap 4 kali putaran shio dan dikatakan bahwa manusia kembali lagi menjadi bayi), usia 88 tahun yang disebut BEIJU 米寿 , 90 tahun disebut SOTSUJU 卒壽 dan 99 tahun yang disebut HAKUJU 白寿.

Sedikit sekali orang yang bisa mencapai umur 88, dan lebih sedikit yang bisa mencapai 90 tahun. Ada dua muridku, orang Jepang yang bisa mencapai sotsuju, yaitu Almarhum Dr Fukuoka Yoshio, yang meninggal 11 januari lalu, dan Bapak Watanabe Ken yang masih segar bugar sekarang dengan usia 93 tahun. Ah aku ingin segera berjumpa Bapak Watanabe sepulang dari Indonesia. Dialah yang memberikan kesadaran pada saya bahwa umur tidak menjadi penghalang untuk belajar, belajar dan belajar terus. Dia mulai belajar bahasa Indonesia denganku pada umur 83 tahun dan sampai saat ini masih belajar di sebuah sekolah bahasa di Shinjuku. Bayangkan… SEMBILAN PULUH TIGA tahun.

Di keluarga Coutrier sendiri, Opa dan Oma (dari pihak papa) berhasil melewati 88 tahun. Padahal boleh dibilang mereka juga tidak fit 100% sampai akhir hidupnya. Opa meninggal persis di hari ulang tahunnya yang ke 88 dan saya bisa menghadirinya. Oma meninggal usia 89 tahun, tanpa ada yang memberitahukan saya (mungkin karena pikir saya toh tidak bisa datang). Dan dari Coutrier Clan ini, sesepuh yang masih hidup adalah Oma Dorothea Versluys yang tinggal di Amersfoort dan baru saja merayakan ulang tahun ke 89 tahun tanggal 7 Januari lalu. Aku juga sangat menyayangi oma Do ini, dan berkhayal kapan lagi bisa bertemu beliau in real.

Dan tanggal 18 Februari lalu, seminggu sebelum Riku ulang tahun, seorang Oma berulang tahun yang ke 88 tahun. Beliau memang bukan Oma yang terdaftar dalam pohon keluargaku. Oma Poel Fernandez dan saya, cucunya, tak ada hubungan darah sama sekali. Beliau yang terus melajang sampai sekarang, hanyalah tetangga belakang rumah kami yang lama. Tapi Oma Poel yang kucinta itu sudah hadir sejak aku lahir, yang memberikan aku nama julukan BARENDJE DONDER KOP (arti harfiah bocah gundul…. yang penggambarannya amat cocok dengan Ikkyu_san, si pendeta Buddha kecil yang gundul dan pintar).

Dan sejak aku bisa berjalan, beliau selalu membuatkan, menjahitkan baju untukku sampai aku SMA. Yang terakhir dia jahitkan adalah rok seragam Tarakanita dalam empat warna/corak, putih untuk hari Senin, abu-abu dan kotak-kotak, serta rok berwarna krem untuk hari Sabtu. Setelah itu dia angkat tangan, dan berkata, “Aku sudah terlalu tua untuk bisa menjahitkan kamu lagi, beli saja. Saya bahkan tidak yakin bisa hidup sampai kamu menikah.”

Nyatanya dia masih bisa melihat foto-foto pernikahan kami (karena dilaksanakan di Jepang), dan bisa menggendong Riku setiap kali aku ke Jakarta, dan bisa bertemu juga dengan cicit ke duanya, Kai di Jakarta. Tuhan memang yang terindah, dan Hanya DIA yang membuat hidup kita menjadi indah pada waktunya.

KAU YANG TERINDAH
DI DALAM HIDUP INI
TIADA ALLAH TUHAN YANG SEPERTI ENGKAU
BESAR PERKASA PENUH KEMULIAAN

KAU YANG TERMANIS
DI DALAM HIDUP INI
KUCINTA KAU LEBIH DARI SEGALANYA
BESAR KASIH SETIA-MU KEPADAKU

REFF:
KUSEMBAH KAU YA ALLAHKU
KUTINGGIKAN NAMA-MU SELALU
TIADA LUTUT TAK BERTELUT
MENYEMBAH YESUS TUHAN RAJAKU

KUSEMBAH KAU YA ALLAHKU
KUTINGGIKAN NAMA-MU SELALU
SEMUA LIDAH KAN MENGAKU
ENGKAULAH YESUS TUHAN RAJAKU

Aku menangis sambil mendengar dan ikut menyanyikan lagu ini. Sebuah lagu kesayanganku yang dinyanyikan oleh teman-teman yang tergabung dalam Paduan Suara Cantent in Viis Domine, atau disingkat CAVIDO, pada misa syukur ulang tahun Oma Poel Fernandez di gereja St Johannes Penginjil Blok B, tanggal 22 Februari (hari ke 8 aku di Jakarta) yang lalu. Aku memang pernah menjadi anggota Paduan Suara ini sejak SMP, sampai sebelum keberangkatanku ke Jepang tahun 1992. Adalah Oma yang mendorongku bergabung dalam paduan suara ini, sehingga menjadi anggota paling rawit saat itu. Tapi setiap kali selalu ditanya, mbak SMA kelas berapa? , karena badanku yang bongsor itu, padahal aku masih SMP.

Pindah ke Jepang tahun 1992, aku merasa kehilangan pada suasana kekeluargaan yang kocak yang ada dalam paduan suara ini. Tapi yang membuat aku bahagia adalah, bahwa mereka, meskipun banyak anggota baru yang tidak mengenal aku, tetap menyambutku dengan hangat setiap aku mampir dalam tugas-tugas mereka di gereja setiap kali aku mudik ke jakarta. Aku masih dianggap sebagai anggota. Dan seandainya aku mau jujur, aku merasa menyesal tidak mendengarkan mereka mengiringi misa pernikahanku karena dilaksanakan di Jepang. (Dan aku tahu Oma Poel juga kecewa dengan keputusanku…. maafkan aku Oma)

Paduan suara ini memang tidak bisa melupakan kehadiran Oma Poel dalam sejarahnya. Kepala sekolah SMA Tarakanita waktu itu, Sr Fraceline yang mendirikan paduan suara ini. Karena anggotanya adalah murid SMA Tarakanita maka tentu saja hanya bersuara wanita saja. Kemudian membuka diri dan menerima murid SMA Pangudi Luhur (yang pria semua) supaya bisa lengkap 4 suara, dan akhirnya menerima anggota umum. Baru setelah itu pelaksanaan sehari-hari untuk latihan dan pemilihan lagu kemudian dilakukan oleh Oma Poel Fernandez ini. Terus dilakukannya sampai saat kesehatan dan pendengarannya bermasalah sehingga akhirnya koordinasi latihan dan lagu-lagu diserahkan pada Mas Atok Joko dan istrinya Mbak Savitri. Dan PS Cavido tahun lalu sudah merayakan lustrum ke 6 atau 30 tahun berdirinya.

88 tahun dan 30 tahun

Oma Poel dan Cavido

aku dan komunitas gereja katolik indonesia

ikatan yang hanya bisa “abadi” dengan campur tangan Bapa Surgawi saja

Selamat ulang tahun untuk Oma Poel

Selamat berkarya dan terus maju untuk Cavido. I love you all, and always miss our togetherness.

The Lord bless you and keep you; The Lord make his face to shine upon you and be gracious unto you; The Lord lift up the light of his coutenance upon you and give you peace. Amen(Bilangan 6:24~26)

http://www.youtube.com/watch?v=O2WQ5yKhgLw compossed by Peter C. Lutkin. yang sering dinyanyikan Cavido juga.

Foto lengkap bisa dilihat di

http://www.facebook.com/album.php?aid=64867&id=787239774&l=31bec

The Crown Prince

25 Feb

Tepat 6 tahun yang lalu, 25 Februari 2003. Aku harus pergi ke Obgyn untuk memeriksakan kandungan yang memasuki bulan ke 8 pukul 12 siang. Biasanya aku pergi ke rumah sakit sendiri, tapi karena sudah disuruh bed rest sebulan, lalu oma juga sudah datang dari Jakarta, dan aku pikir kami harus membicarakan rencana kelahiran anak pertama kami yang rencananya tanggal 28 Maret itu. Mungkin ingin minta dipercepat menjadi 14 Maret saja. Kemudian aku juga merencanakan pergi ke bank untuk mencairkan deposito, dan mempersiapkan uang bersalin yang tidak sedikit. Jadi aku minta Gen untuk ambil cuti dan menemani ke dokter.

Tapi ternyata si jabang bayi, tidak sabar untuk segera menikmati udara luar. Karena pukul 7 aku terbangun dengan merasa aneh. Pergi ke WC dan menemukan “tanda” bercak yang diperkirakan mulainya proses persalinan. Memang biasanya masih lama, tapi entah kenapa aku merasa bahwa hari ini lah harinya. Benar saja. Tak lama kontraksi mulai dengan selang waktu 10 menit. wah sudah teratur begitu, jadi lebih baik telepon RS untuk minta periksa. Kami harus cepat-cepat sebelum traffic padat dengan orang yang akan ngantor.

Jadilah aku masuk kamar bersalin pukul 9, persiapan epidural yang memang hanya ada di rumah sakit ini, dan tepat pukul 12:06 siang seorang anak laki-laki lahir ke dunia ini. Beratnya hanya 2070 gram, karena memang kurang bulan. Untung saja dia hanya masuk inkubator untuk 1 hari saja. Tapi dia masih harus tinggal di RS sampai beratnya mencapai 2500 gram, yaitu satu minggu setelah aku keluar RS. Aku sendiri satu minggu berada di RS, dan karena RS itu adalah RS advent yang vegetarian, begitu keluar RS saya dan Gen langsung pergi ke resto sushi deh…. ngga bisa jadi vegetarian. Selama satu  minggu itu aku besuk Riku dan memberi ASI, serta menyelesaikan urusan-urusan kelurahan.

Siapa sangka pemilik jari mungil ini bisa menjadi anak lelaki yang segemuk sekarang? Sejak keluar RS, dia tidak pernah sakit yang berat, yang dikhawatirkan pada anak-anak prematur seperti dia. Bahkan sejak dia umur 6 bulan, terpaksa harus mulai bersosialisasi dengan anak-anak lainnya di penitipan, karena aku mulai bekerja lagi. Kadang dia harus berada di penitipan dari jam 9 pagi sampai 9 malam. Melebih jam kerja orang kantor.

Tapi berkat menjadi anggota penitipan Himawari itu, dia tidak pernah menolak sayur, selalu makan dengan teratur, lebih toleransi, dan mandiri. Aku ingat sekali begitu dia bisa jalan, dia pernah mengambil saputangan dan mengepel lantai. Aku menangis melihatnya. Dia berbuat begitu pasti karena dia selalu melihat di penitipannya. Dan dia sampai hari ini masih merindukan suasana di penitipan yang memang lebih mengutamakan bermain daripada belajar seperti di TK.

Kemudian 1,5 tahun yang lalu dia harus berbagi kasih sayang papa dan mama dengan Kai. Awalnya dia masih mempertanyakan, kenapa sih harus ada Kai? Tapi sekarang dia  malahan menunjukkan sikap seorang kakak terhadap adiknya, dengan berbagi mainan, makanan dan buku.

Yah hari ini, 25 Februari 2009, the crown prince Riku Miyashita menjadi 6 tahun!

Selamat ulang tahun dan peluk cium dari papa,mama, dan kai

Hari ke 7 – Berburu Persahabatan

24 Feb

Kebanyakan cerita-cerita dalam kamar, akhirnya pukul 9:50 kami turun ke restoran yang menyediakan makan pagi ala prasmanan. Restoran ini berada di lantai 2, tepat di atas lobby. Tidak ada yang istimewa dari restoran ini, layaknya restoran umum yang bisa kita jumpai di mana-mana. Kalau melihat sajiannya juga memang masih kalah dengan hotel sebelumnya, tapi bolehlah sebagai “bensin” kami untuk beraktifitas hari ini. Seperti biasa, saya ambil bubur ayam, dan agak terpaksa makan omelette yang sudah dibuat. Teman makan saya ternyata tidak bisa makan separah di Hanamasa malam sebelumnya. (Makannya dikit gitu hehhehe)

Kami bertiga makan dengan tidak tergesa-gesa. Tujuan kami hari ini hanya mencari DVD untuk Lala, dan perangko untukku. Paginya saya sempat menelepon jakarta, dan memberitahukan saya akan pulang sekitar jam 1 dari Bandung. Tapi untung juga sempat berbicara dengan Novita, adikku yang jam 4 akan menuju Bandara Cengkareng untuk berangkat ke Belanda. Semestinya dia berangkat minggu lalu, tapi karena sample DNA yang seharusnya dia bawa tidak dijinkan untuk masuk bagasi (padahal sudah diurus perijinannya di KLM), jadi dia batal berangkat. Beginilah cara kerja orang Indonesia, meskipun sudah di maskapai penerbangan international, “semangat kerja” dan “prosedur kerja” tidak dijunjung tinggi. Bagaimana koordinasi pusat dan petugas bandara yang tidak “Harmonis” sehingga merugikan penumpang. Dan JANGAN SEKALI-KALI  Anda mempercayai ucapan petugas yang mengatakan OK, tanpa ada bukti tertulis!!! Itu pelajaran UTAMA. Harus ada hitam di atas putih, berupa surat atau fax, jangan email. Jika peristiwa ini terjadi di Jepang, pasti ada permohonan maaf bahkan pelayanan ekstra. Tak henti-hentinya saya mengatakan, betapa saya mengagumi Jepang, yang benar-benar menjunjung tinggi konsumen. Motto Pembeli adalah Raja, tidak bisa diganggu gugat di Jepang. (Karena itulah saya bisa bertahan hidup 16 tahun di sana).

Judul foto: Mamer O2 hahahha. kok bisa sama ya? (coba ditukar ya, saya ingin tahu tuh Adrress Booknya pastiiiiiiii deh 90% cewe dan penggemar hahaha)

****************

Sesaat sebelum jam 12, kami cek out Hotel Aston Tropicana. Setelah menyelesaikan pembayaran extra, kami menuju tempat parkir, dan mendapat kehormatan diantar oleh Boss nya Bandung sendiri, Daniel Mahendra dengan mobilnya yang nyaman. (Kayaknya aku udah hapal tuh nomor mobilnya, yang berciri khusus hehehe)

Kami pergi ke kantor travel Xtrans yang berada berapa meter saja dari Aston.  Wah kalau jarak segini, di Jepang TIDAK AKAN kami menggunakan mobil. Yang ada mobil tetap kami tinggal di hotel, jalan kaki, setelah selesai urusan, jalan kaki kembali ke hotel, lalu naik mobil menuju tempat lain. Tapi memang karena sekaligus jalan, kami seakan hanya pindah tempat parkir saja. Lah wong deket banget gitu jeh.  ( Kadang kala saya memang berpikir manusia-manusia Indonesia itu males! biar 100 meter kalau bisa naik mobil, pasti naik mobil. Dan aduuuuh manjanya, maunya diturunin persis depan gerbang, dibukakan pintu, dan tidak terburu-buru meskipun tahu bahwa ada banyak antrian mobil dibelakangnya yang sedang menunggu. Hal-hal seperti ini memang tidak dapat kita jumpai di Jepang. Dan aku lebih cocok dengan ala Jepang, dalam hal ini. Selama kita masih bisa berjalan, berjalanlah! Selama kita masih bisa buka pintu sendiri, bukalah! Masak musti nunggu pak supir turun, dan berputar membukakan pintu mobil kita?)

Ternyata “kloter” Bandung-Jakarta yang tercepat baru saja diberangkatkan, jadi kami mendapat tiket untuk yang jam 13:45. Setelah selesai mendaftar di Xtrans itu, kami pergi mencari toko DVD yang katanya murah itu untuk memuaskan sang putri surabaya. Setelah sampai, ternyata toko itu dekat dengan Gedung Filateli Bandung, hanya berjarak 300 meteran. Jadi kami menurunkan Lala di toko DVD, dan lanjut ke Gedung Fi;ateli itu. Eee ternyata sudah tutup. Karena hari Sabtu, jadi cuma sampai jam 12 siang saja. Padahal saat itu baru 12:30 an. Jadi kami putar haluan menuju Kantor Pos Besar, karena kalau kantor pos pasti terbuka terus.

Melewati Braga, Asia Afrika, kangen juga dengan suasana Bandung (yang sudah panas). Terakhir aku ke sini sekitar 3-4 tahun yang lalu dengan Riku dan dua mahasiswa Universitas Senshu. Waktu itu kami menginap di Panghegar. Dan sempat berjalan kaki ke mana-mana.

Sampai di Kantor Pos, saya dan Danny langsung belok ke kiri ke bagian kiosk yang menjual barang-barang filateli. Kebetulan kiosk yang terdekat pintu dijaga oleh seorang ibu keturunan. Saya langsung menanyakan perangko yang saya cari, yaitu Perangko “50th golden year of Friendship 2008 Indonesia-Japan”  50 tahun persahabatan Indonesia Jepang. Untung saja masih ada, dan dengan harga asli per sheetnya 25.000 rupiah. Tapi si ibu pinter banget, tahu saya suka koleksi dan tanya macam-macam jadi dia mengeluarkan koleksi perangko yang menggiurkan. Untuk saya tidak terlalu termakan rayuannya, kalau tidak bisa-bisa saya tidak jadi ke Yogya hihihi.

Selesai di Kantor Pos, kami menjemput Lala yang sudah selesai memborong DVD, lalu langsung pergi ke Xtrans Cihampelas. Sambil menunggu waktu keberangkatan, saya sempat masuk ke toko Oncom Raos yang berada di sebelahnya. Putar-putar melihat makanan kecil yang dipajang di situ. Ingat dulu kalau Papa bertugas ke Bandung, pasti pulang-pulang bawa satu kardus besar oleh-oleh dari Oncom Raos, atau Karya Umbi, atau Sus Merdeka, atau Coklat Braga, atau tape singkong alias peuyem. Tapi entah kenapa tidak ada satupun snacks itu yang menggoda saya untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Apakah saya berubah ya? Banyak makanan dari masa lampau saya yang rasanya sudah tidak menarik lagi di mata saya. Saya makan hanya karena memuaskan “mata” daripada memuaskan “perut”. Banyak yang rasanya juga sudah berbeda, atau jauh dari harapan. Hmmm jaman berubah memang, tapi saya juga merasa sedih jika masa lalu saya akan hilang begitu saja dengan adanya perubahan-perubahan itu. Dan tampaknya saya harus meneriakkan lagi di telinga saya sebuah kalimat yang saya tulis di komentar postingannya Lala, sebuah judul lagu dari Keane  “Everybody changing”… and everything is  changing.

You say you wander your own land
But when I think about it
I don’t see how you can

You’re aching, you’re breaking
And I can see the pain in your eyes
Since everybody’s changing
And I don’t know why.

So little time
Try to understand that I’m
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody’s changing
And I don’t feel the same.

You’re gone from here
Soon you will disappear
Fading into beautiful light
cause everybody’s changing
And I don’t feel right.

Tepat jam 1:45 saya dan Lala naik mobil yang akan mengantar kami ke Kartika Chandra. Mobilnya memang lebih besar daripada mobil yang saya pakai waktu berangkat ke Bandung dari Cipaganti Travel. TAPI…. goyangannya sama aja. Untung ada Lala, jadi bisa sambil ngobrol sampai ketiduran. Kalau tidak tidur sepertinya isi perut juga akan keluar deh. Apa sayanya yang terlalu manja selalu naik sedan (dan pesawat) ya? Next time ke Bandung, aku akan naik kereta aja ah…..

Well Bandung, terimakasih… aku sudah berburu persahabatan di sini, dan sudah menemukannya. Dalam arti yang sempit dan arti yang luas. And… I will come again! thats for sure.

Hari ke 6 – Pusat Orang Pintar

22 Feb

Tibalah hari ke dua di Bandung. Jam 7:40 saya dapat berita via sms, “Imelda san, Ohayo. Ini nomor HP saya, Barangkali diperlukan. Arigato. Nanang”, Nah, akhirnya saya bisa menghubungi beliau deh. Maklum pak Nanang ini orang penting, sayanya juga takut mengganggu. Jadi saya cuma mengirim via email, kalau bisa hari Jumat mau bertemu, dan tak lupa menyertakan no HP saya.

Ongkos menginap di hotel The Valley ini termasuk dengan Breakfast, yang tersedia di Restorannya dari pukul 7 sampai 10 pagi. Nah, saya menuju Restoran pukul 9:45. Saya pikir biarlah kalau tidak bisa sarapan lagi, saya akan “turun gunung” dan sarapan di dalam kota saja. Sambil membawa laptop untuk buka internet, ternyata saya masih bisa sarapan di situ. Menempati tempat duduk di tengah-tengah restoran, saya ambil bubur ayam dan kopi. Wah memang banyak juga variasi makanan untuk buffet breakfastnya. Soalnya saya terbiasa dengan menu Jepang yang disediakan hotel-hotel di Jepang, hanya ada roti dengan segala selai, dan sosis/daging-dagingan, yoghurt dan teman-teman, serta Japanese Breakfast, yaitu nasi/bubur, ikan bakar dan natto. Tapi di hotel ini, masak ada sate ayam, opor, gule, nasi uduk, soto mie juga. Aneh aja rasanya kalau makan pagi nasi opor hehhehe.

Sambil menikmati bubur ayam (sambil teringat bu Enny yang suka bubur ayam…. wah bu Enny terus-terusan masuk dalam pikiran saya jeh), saya buka laptop dan menyambung internet. Kalau di restoran ini ada wifinya. Saya masih bisa membuka TE (Twilight Express) tetapi malas membuat tulisan baru. Setelah membaca email yang masuk, akhirnya saya matikan laptop, dan kembali ke kamar. Sebabnya…. karena kenyang jadi ngantuk. Dan saya toh masih punya waktu banyak sebelum cek out hotel yang jam 12 itu. Sempat tidur sebentar, dan menanyakan pada Pak Nanang, apakah bisa bertemu waktu sholat jumat (Kami sama-sama beragama katolik). Dan dikatakan beliau masih di luar kantor, dan baru kembali pukul 1 siang.

Jam 11:45, saya menelepon front desk dan konfirmasi cek out dan meminta dicarikan taxi. Maklum Bell boynya yang kemarin bilang, bu… kalau mau panggil taksi kasih tahu 30 menit sebelumnya, karena mungkin agak sulit taksi untuk naik ke atas bukit. Conciergenya tanya apa saya perlu bantuan untuk mengangkat barang? Then saya bilang, PERLU. Masalahnya saya juga sulit mengangkat barang sambil naik tangga yang tak terhitung itu. Bisa menggeh-menggeh deh saya sampai di atas, hehehhe. Mana di atas bukitpun jika sudah tengah hari begini puanasnya minta ampun rek. Terus saya ngebayangin Tokyo yang dingin, hmmm jadi kangen Tokyo.

So, tujuan saya berikutnya kemana? Masih banyak waktu sebelum jam 1, jadi saya pergi ke hotel ke dua yang telah saya pesan untuk cek in. Yaitu Aston Tropicana. Tadinya bingung antara Aston Braga atau Aston Tropicana. Saya senang berada di daerah Braga, karena saya selalu pergi ke Braga Permai untuk membeli coklat, setiap saya ke Bandung bersama keluarga. Tapi katanya Aston Topicana ini masih baru, dan terletak di jalan Cihampelas. Jadi kepada supir Taksi saya minta dia mengantarkan saya ke Aston Tropicana. (Saya pikir waktu cek in nya pukul 12:00, setelah saya masuk kamar baru lihat di buku panduannya, bahwa waktu cek in pukul 2 siang, cek out pukul 12 siang. Nah ini persis hotel-hotel di Jepang)

Di Lobby saya disambut cewek-cewek cantik. Rasanya memang lain ya, jika disambut dengan senyuman dari perempuan-perempuan manis. Meskipun saya sendiri wanita. Soalnya di The Valley, semua petugas hotelnya laki-laki (dan tidak bisa dibilang jelek atau tidak ramah juga… tapi Valley memang kesannya kok “gelap”, sedangkan Aston ini “terang”). Jadi deh yang bawakan tas seret saya si mojang priangan yang senyumnya cukup bisa membuat tersepona. Sambil mengantar saya ke kamar dia bertanya,

“Ibu pertama kali ke Bandung?”
“Tidak, sudah beberapa kali, besok saya ke Jakarta”
“Ibu biasanya menginap dimana di Bandung?”
“Ohhh di Panghegar….” (Entah kenapa saya tidak bisa bilang, eh kemarin tuh saya nginap di the Valley hehehe)
“Ini kamarnya bu, selamat beristirahat” Dan Pintu tertutup… (tentu saja setelah “salam tempel”)

Oioi,,, dia tidak menyalakan AC, atau menjelaskan pemakaian remote control… heheheh meskipun sudah tahu sih, tapi sepertinya itu prosedur yang biasa dijalankan oleh petugas hotel. But, thats OK. Kamar standar di Aston memang terlihat lebih terang dengan nuansa warna krem. Hmmm benar-benar hotel standar, alias…biasa saja (atau standar saya terlalu tinggi ya?).

Nah, karena sudah 12:40, saya menelepon front desk dan minta dicarikan taxi. Karena si mojang priangan ini menyarankan telepon saja, daripada ibu cari sendiri di jalanan depan. Eeeee ternyata sodara-sodara, Taxi yang saya pesan tidak ada kabarnya sampai jam 1 lewat 20 menit. Tidak sabar saya menelpon ke front desk dan bilang, kalau saya sudah terlambat dan tolong carikan taxi apa saja deh. Aneh memang sistem pertaksian di Bandung ini. Sepertinya petugas hotel bergantung pada Taxi Bluebird saja. Tau gitu kan lebih cepat saya “turun ke jalan” dan mencegat taksi yang lewat di jalan cihampelas itu. Banyak gitu kok yang berseliweran. Dasar maunya manja! kena batunya deh.

Tidak lewat dari 5 menit, telepon berdering, “Ibu Imelda, taksinya sudah ada, tapi Gemah Ripah  bu”… yey masa bodo namanya apa… yang penting saya butuh kendaraan ke Pusatnya Orang Pintar dan Penting ini. Ya, tujuan saya berikutnya adalah berkunjung ke ITB. Tapi bukan ITB yang ini:(Institute Tambal Ban)

Melainkan ITB (Institute Teknologi Bandung) yang almamaternya Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Dan ternyata letaknya tidak begitu jauh dari Cihampelas, karena saya cuma membayar 10.000 rupiah saja untuk taxinya. Argo awal taxi Rp6.000 (hmmm dibanding deh dengan Jepang yang 710 yen. nyengir aja dulu deh…. Yang pasti di Jepang ngga bisa seenaknya naik taxi) .

Akhirnya saya bisa bertemu dengan dua tokoh dari ITB ini. Yang satunya tentu sudah tidak asing lagi di blogsphere dengan julukan Oemar Bakri dan yang seorang lagi adalah Dr Nanang T Puspito yang merupakan teman seperjuangan di Tokyo, awal-awal kedatangan saya di Tokyo, tahun 1992-1993. Pak Nanang ini amat pintar bernyanyi di Karaoke, dengan lagu “Yukiguni” atau “Osake yo”, lagu-lagu enka jaman baheula deh. Karena Pak Nanang masuk program doktor, jadi kurang fasih membaca kanji, dan selalu dibacakan oleh kami-kami yang masuk dari program S1-S2. Tapi semangat menyanyinya boljug deh. Biasanya anak-anak muda katolik yang berkumpul di gereja Meguro setiap sabtu, akan pergi makan bersama dan karaoke setelah misa pukul 5 sore. Kebiasaan ke karaoke ini hampir setiap minggu dilakukan, dan ini amat sangat membantu saya untuk bisa membaca kanji dengan cepat. Sayangnya saya baru bergabung dengan Mudika (Muda-mudi Katolik) di meguro, Pak Nanang sudah menyelesaikan program doktornya. Jadi waktu pak Nanang pulang ke tanah air, kami mengadakan pesta perpisahan dan mengantar ke Narita. Dengan demikian  saya sudah 15 tahun tidak bertemu pak Nanang ini (untung beliau masih ingat saya…yang dulu kurus itu loh hihih).

Saya juga senang karena akhirnya bisa bertemu dengan dosen ITB yang terkenal itu, Pak Grandis, yang meluangkan waktu untuk “Kopdar” di ruangnya pak Nanang.  Padahal Pak Grandis lagi sibuk-sibuknya mengurusi programnya. Saya baru tahu Pak Grandis ternyata Ketua Program tuh, pantas sibuk.(Nama lengkap programnya saya tidak tahu pak, dan saya pikir bukan wewenang saya menulis di sini, tanpa persetujuan bapak. Maklum kebiasaan di Jepang ternyata “Lupa” saya lakukan saat itu, yaitu tukar menukar Kartu Nama.) Pak Grandis juga sebetulnya yang menghubungkan saya dengan Pak Nanang, waktu membaca postingan saya yang mengenai gempa.

Karena ke dua bapak ini sibuk, saya juga tidak mau berlama-lama berada di kantor ITB ini, dan cepat-cepat pamit. Saya juga tidak sempat berjalan-jalan mengambil foto-foto kampusnya orang-orang terkenal ini. Soalnya dulu waktu saya daftar masuk Universitas, ngga berani daftar ke sini… mentok-mentoknya ke Parahyangan… dan itupun ngga keterima hihihi. Sayang juga teman sekelas saya di SMA, Keke Wirahadikusuma sedang berada di Perancis (kayaknya sih soalnya sulit untuk mengontak beliau).

Kembali ke Aston, saya mampir dulu ke giant supermarket di sebelahnya hotel untuk beli camilan. Sekembalinya ke kamar, nyalakan komputer dan konek internet. Dan dengan sedihnya saya mendapatkan bahwa saya tidak bisa membuka blog TE, blog saya sendiri. Bisa buka yang lain, tapi khusus untuk blog saya, dan blog pak Amin yang pakai hosting sama, tidak bisa dibuka sama sekali. mungkin masalah proxy atau apa. Sebeeeel banget deh. Jadi tidak bisa posting lagi, dan juga jadi malas untuk blogwalking. Jadi deh saya siesta, tidur siang. Tutup tirai (gordijn tuh kan bahasa Belanda… jadi saya hindari pemakaian kata ini), matikan semua lampu, dan ZZZzzZzZzzZZ…. uh Nikmat banget deh tidur siangku saat itu. Terbangun pukul 4, aku dengar suara hujan, buka tirai dan mendapatkan Bandung diguyur hujan deras sekali. Wow. saya buka semua tirai dan sambil tiduran, dan memandangi hujan. tranquilizer.

Tapi lama-lama kok saya jadi takut. Soalnya kadang-kadang terdengar suara ketawa-ketawa orang, dan suara bersin laki-laki di kejauhan yang periode bersinnya seperti teratur. Lalu saya pikir, masak saya mau menyiksa diri dengan  makan sendiri lagi malam ini. Tiba waktunya menghubungi DM , si Penganyam Kata,  Daniel Mahendra hihihi. Biarlah saya ganggu dia sekalian dari kesibukannya. Waktu saya telepon dia, ternyata beliau kaget dan berkata, “loh adikmu itu kan juga sedang menuju ke Bandung”. Hahahaha, ternyata Lala, akan mendarat tiba di Bandung dengan Kereta dari Surabaya jam 8 malam. Toh dia akan nginap di rumah saya besok, jadi kita bisa pergi bersama ke Jakarta besok pagi. Jadilah saya dan DM jemput sang Putri di Stasiun Bandung jam delapan, tapi keretanya di delayed (gaya amat deh bahasanya delayed, TERLAMBAT langsir aja susah-susah pakai bahasa linggish). Tentu saja surprise!!!

Dalam hujan akhirnya kami bertiga mencari makan soalnya sudah jam 9 tuh, dan cacing-cacing di perut sudah megap-megap minta makan (iya loh terakhir makan itu kan breakfast jam 10 pagi itu, yang membuat perut hampir meletus hihii). HANAMASA aja deh, kayaknya aku pernah denger bahwa Danny Boy ini suka hanamasa hihihi. (bener ngga sih Danny?)

Ngamuk deh makan di hanamasa, dan ternyata kita merupakan tamu terakhir di situ karena rupanya resto ini tutup jam 10 malam. Cepet banget ya tutupnya? Terima kasih Danny dianterin makan, dan saya malam ini juga ditemanin Lala tidur di hotel. Hari ini penuh acara kopdar deh bagi saya.

Hari ke 5- Healing getaway

22 Feb

Ya, hari ke 5 saya kasih judul healing getaway, karena saya memang getaway, melarikan diri ke Bandung. Selain tujuan untuk “memanjakan diri sendiri”, saya sebenarnya ingin bertemu seseorang, yang ternyata mendadak tidak bisa ditemui. Beliau adalah Romo Pujasumarta, uskup Bandung, yang saya kenal lewat internet. Tapi saya terus saja menjalankan rencana saja meskipun rencana tidak terlaksana.

Saya tahu dari penguasanya Bandung si DM, lalu Ibu Enny, bahwa untuk ke Bandung bisa naik travel. Dulu, kalau ke Bandung saya selalu naik kereta Parahyangan. Tapi karena kelihatannya travel ini mempunyai pamor yang cukup cemerlang di kalangan Blogger, saya pikir saya mau coba naik travel saja. Apa sih travel itu?

Saya ingat dulu ada transportasi darat menuju Bandung ada mobil 4848. Nah, gantinya si 4848 inilah yang disebut dengan travel. Memang ada banyak nama travel itu seperti Xtrans, Cipaganti travel dll. Sejauh saya mencari di Internet, Cipaganti Travel ini yang rutenya paling dekat rumah saya yaitu Pondok Indah -HangLekir – Senayan City -BTC Bandung. Biasanya travel ini berangkat sejam sekali (tergantung dari trayeknya).

Kamis, 19 Februari. Saya pesan travel untuk jam 11:30. Tapi karena Kai tidak tidur-tidur, saya terpaksa merubah jam keberangkatan menjadi 12:30. Saya naik dari Pondok Indah Arteri, persis jam 12:30. Karena saya penumpang yang pertama mendaftar saya mendapat kursi persis di belakang supir. Enaknya jarak kaki menjadi lebih luas dibanding posisi kursi lain. Dan waktu menaruh tas di bagian bagasi, saya bilang “Hati-hati pak ada komputernya”. Si Supir jadi keder, jadi menyaran saya untuk menaruhnya di tempat di bawah kaki saja.

Hmm saya kurang yakin apa jenis mobil yang saya tumpangi itu. Mungkin sejenis L300. Tapi yang pasti memang lebih jelek dari mobil yang saya lihat juga menyusuri jalan tol dari travel yang sama. Wah sial deh saya. Dan, saya suka mabok darat jika mobilnya bergoncang keras, atau bau solar/minyak tanah, dan jika terlalu mendadak berubah jalur alias ngebut ugal-ugalan. Lengkap deh penderitaan saya, karena ternyata mobil yang saya tumpangi begitu. Ada 4 orang lain yang menggunakan travel ini, dan salah satu ibu sering berteriak, “Astagfirullah…. pak hati-hati…”. Saya yakin sih di Pak supir tidak dengar, tapi secara psikologis saya pikir lebih baik saya tidak ikut memperingatkan. Karena saya pikir pak supir itu akan lebih marah dan lebih ugal-ugalan jika diperingati. Itu sifat manusia…. offence. Jadi sepanjang perjalanan saya usahakan tidur atau memejamkan mata, sambil pegangan terus. Hmmm tidak ada sabuk pengaman sih di bagian penumpang. Kalau di Jepang, ini sudah melanggar aturan lalu lintas. Karena sekarang semua penumpang, bahkan penumpang taxi sekalipun harus mengenakan sabuk pengaman. Sambil meram begitu, saya teringat Bu Enny, dan ingin tahu juga bagaimana ibu apakah tidak pernah mengalami seperti saya ini…. mabok darat.

Mobil berhenti di tengah perjalanan, di semacam parking area untuk mengisi solar, dan istirahat serta memberikan kesempatan untuk yang mau ke WC. Saya tidak tahu apa namanya, karena tidak tercantum di mana-mana. Saya pikir perjalanan sudah dekat, ternyata masih jauh. Akhirnya jam 3 lebih saya sampai di BTC (Bandung Trade Center). Lebih dari perkiraan waktu perjalanan yang 2 -2,5 jam. Tapi untunglah, saya masih utuh, belum pecah terburai hihihi.

Tidak ada orang yang tahu detil rencana saya ke Bandung hari ini. Hanya orang yang membaca tulisan saya di dinding FB Pak Oemar Bakri saja, yang mengetahui bahwa saya memang pernah menanyakan pada beliau apa bisa bertemu sekitar tanggal 19/20. Pak Oemar bahkan sempat menanyakan detil rencana saya apa saja, karena beliau sibuk harus menemani professor. Jam 11 pagi, dapat sms,”Imelda posisi di mana?”. “hehehe, masih di Jakarta pak, mungkin paling cepat baru jam 3 siang sampai”. Saya memang tidak mempunyai rencana yang tersusun rapih untuk perjalanan ini, karena memang saya mau “tanpa rencana”… unplanned. Saya capek dengan membuat rencana seperti orang Jepang. Toh hari ini saya mau “memanjakan diri saya sendiri”.

Mungkin orang Indonesia berpikiran aneh untuk seorang wanita bepergian sendiri, menginap sendiri tanpa tujuan, dan rencananya tidak diketahui siapapun. Memang saya tahu itu berbahaya, tapi khusus satu hari itu saja, saya ingin tidak ada seorang pun yang mengatur hidup saya, tidak juga saya. Nah loh!(Saya yakin sih Tuhan akan melindungi saya selama perjalanan)

Jadi begitu saya tiba di BTC, saya ngiderin dalamnya BTC. Pikir saya kalau ada Starbuck, saya mau ngopi dulu. Ya ilah, BTC itu seperti ITC Permata Hijau aja kecilnya, dan yang pasti tempat nyaman yang ada hanyalah Kentucky Fried Chicken dan “JK apa sih tuh lupa”, gerai toko kue dengan lambang berwarna pink. Jadi sesudah saya ke WC, saya masuk Kentucky meskipun tidak lapar. Saya pernah dengar mas trainer bilang, Colonel Yakiniku enak. Jadi saya coba pesan itu, dan membeli ayam goreng+kentang untuk persiapan makan malam atau nyemil jika lapar di hotel (saya tidak yakin berani ke restoran hotel sendirian, paling-paling room service). So, bagaimana saranya si Colonel Yakiniku itu? Ngga dua kali deh…aneh rasanya! (sorry ya mas trainer)

Lima menit selesai (suatu kebiasaan yang tidak pantas ditiru! tapi saya –sebagai orang Jepang– memang biasa makannya cepat apalagi kalau sendiri). Saya ngederin lagi tuh toko-toko, dan sama sekali tidak tertarik untuk membeli apa-apa. Tapi teringat, kalau bisa beli minuman karena pasti di mini bar hotel lebih mahal. Sesudah membeli minuman, saya tanya pada seorang “entah-polisi-entah-tentara” yang menjaga di daerah situ, “Pak, tempat nyari taxi di mana?”

Dia langsung mengatakan arahnya tapi dia bilang, taxi yang ada itu tidak ber-argo. Jadi kalau mau pake argo, harus telepon. Karena Bandung sudah dikotak-kotakkan daerah penguasaan taxinya. Dan di BTC itu dikuasai taxi yang dari AU. Nah loh, bagaimana saya bisa menawar ongkos taxi, kalau saya tidak tahu “harga pasar” nya. Tadinya sempat mau saya tanyakan ke DM, tapi berarti dia akan tahu saya datang ke Bandung dan menginap di hotel itu kan?. Waktu saya tanyakan pada si tentara itu dari situ ke hotel yang saya tuju berapa, dia juga tidak tahu. “Palei? wah ngga tahu bu!”.

Ya sudah terpaksa saya harus menawar sendiri. Saya pergi ke tempat antrian taxi, dan langsung tanya,

“Ke Valley berapa?”
“Oh …palei…palei… bisa bu.”
“Iya berapa?”
“60 ribu aja”
“Mahal banget?”
“Kan di atas bu… naik”
“Iya di Dago atas, tapi kan ngga jauh-jauh banget” lalu temennya bilang, eh si ibu ini tahu loh
” ya sudah 30 ribu ya? (saya ikutin taktiknya mama, menawar setengah harga…keder juga sih tadinya hihihi)
“Ngga bisa bu…” (Ahh kasian bapak-bapak ini, sudahlah yang pas saja supaya tidak ada kembalian juga)
“Ya sudah 50”

So, meluncurlah taxi yang bentuknya sudah tidak jelas lagi ke arah hotel yang saya tuju. Dalam hati pikir, yaah ke hotel bagus naik taxi bobrok hihihi. Tapiiiiiiii , ternyata hotel itu memang jauh naik berkelok-kelok ke atas bukit. JAUH deh pokoknya. Saya sampai pikir 50 ribu tuh memadai ngga ya? Jadi kasian saya.

Ya, saya menginap di “The Valley”. Sebuah hotel di atas bukit, yang menawarkan panorama indah kota Bandung terutama di malam hari. Dan yang mengetahui saya menginap di Bandung dan di hotel ini, dan Aston keesokan harinya hanyalah dik WITA. Dia bekerja di travel biro indo.com, bagian copywriter. Temannya Alma, yang mau mendengarkan “cerewet”nya saya memilih-milih hotel. Awalnya saya memilih hotel lain, sudah konfirm, baru saya tahu dari pembicaraan dengan teman SMP, Shinta Ambarsari, bahwa ada restoran enak dan bagus namanya the Valley. Dan waktu saya cari di internet, loh kok, ada hotelnya juga. Hmmm kalau tidak mahal-mahal banget ingin juga menginap di sana. Jadi deh, saya ubah ke The Valley ini.


Taxi memasuki sebuah bangunan apik yang merupakan lobby dan Cafe. Saya langsung dipersilakan duduk untuk mengurus check in. Karena pakai voucher hotel, jadi gampang saja prosesnya (untung aku tidak lupa membawa KTP indonesia). Dibantu oleh bell boynya, melewati beragam tangga, akhirnya saya sampai di kamar 301, yang terletak beberepa level di bawah lobbynya. Ternyata kama-kamar memang dibangun berdasarkan kontur lereng, sehingga menyebabkan lobby letaknya di atas kamar-kamar. Begitu kamar dibuka, saya mendapati interior yang manis dari kayu hitam. Hmmm lumayan. Dan begitu bell boynya pergi, saya langsung mengambil foto. Kebiasaan saya, segala macam memang difoto. Kalau bisa setiap sudut, dari WC nya sampai pernik-pernik kecil yang unik.. Sayangnya di hotel itu, tidak banyak pernak-perniknya, sehingga saya tidak begitu banyak memotret.

Memang begitu saya membuka pintu ke arah balkon, menjumpai pemandangan seluruh kota Bandung. Sayangnya, saya juga hars melihat pembangunan sebuah apartement mewah di sisi kiri, dikejauhan yang sedang di kerjakan. Hmmm, katanya daerah ini adalah resapan air untuk Bandung. Kok dibangun hotel, villas, dan apartemen menjulang seperti itu. Ah, aku tidak mengerti lah, yang aku tahu, aku mau enjoy stay saya di the Valley.


So, saya melewatkan satu malam di the Valley sendirian, hanya ditemani TV, yang sengaja saya nyalakan supaya tidak “lonely”, sambil leyeh-leyeh dan membaca buku. Oh ya, satu yang saya kecewa dengan hotel The Valley ini, yaitu … tidak adanya WiFi/sambungan internet dalam kamar. Jadi kalau saya mau memakai internet, saya harus “mendaki” tebing lagi, ke Lobby atau Cafe sebelah lobby. Duh, malas juga kan…. Jadi malamnya sekitar jam 7 malam saya pergi ke Cafe yang sepi pengunjung, dan melihat emails, dan blog saya selama kurang lebih 1 jam saja. Malas juga berada sendirian di Cafe, meskipun saya memang bisa menikmati pemandangan malam hari. Dan di luar banyak mobil dan orang-orang berdatangan untuk makan di Bistro Valley, yang terletak di sebelah Cafe ini. Nah, di Bistro dengan dek teras inilah yang memang menjadi “primadona” hotel ini. Sayangnya, saya tidak mempunyai keberanian (no nyali deh) untuk makan sendirian di Bistro, dengan kemungkinan “digoda” orang (huh merasa kecakepan aja sih kamu mel…hihihi).

Jadi saya kembali ke kamar, dan menghabiskan malam “panjang” di sana, sambil mengunyah ayam kentucky. Aku menikmati sekali my healing-getaway, tanpa tangisan Kai, meskipun merasa kangen dikeloni (eh salah…. mengeloni) Riku dan Kai. Oh ya dua lagi yang merupakan kekurangan hotel ini, yaitu…percakapan dan suara TV dari kamar sebelah terdengar jelas! (untung tidak terdengar ah-uh-ah-uh yang menggoda iman hihihi), serta, setiap saya mengganti posisi tidur, tempat tidur mengeluarkan suara yang lumayan keras. Awalnya saya sempat kaget sendiri sih… masak saya sedemikian berat sehingga setiap bergoyang dikit, tempat tidurnya bunyi? ternyata emang salah si tempat tidur deh yang suka bunyi-bunyi hahaha.

Hari ke 4 – Grand Indonesia n others

19 Feb

Waktu saya masih di Tokyo, saya menghubungi Yeye, kakak kelas di Sastra Jepang. Meskipun beda angkatan aku dan Yeye lumayan akrab, selalu mengirim berita dan pasti ketemuan kalau saya ke Jakarta. Juga ada teman seangkatan yaitu Yati dan Susi yang selalu menyempatkan menyediakan waktu untuk bertemu biarpun sebentar. Dan waktu saya tanya mau bertemu di mana? Yeye langsung bilang Grand Indonesia aja. Wah aku belum pernah ke sana, so kesempatan bagus deh.

Tadinya janjian ketemu jam 11, tapi karena Susi tidak jadi ikut, diubah jadi jam 11:45. Dan hari ini aku bawa Riku dan Kai beserta mbak Lia. Waktu naik taxi, Kai udah mulai ngantuk, dan tertidur. Tapi begitu sampai, karena kita pindahkan dia ke baby car nya, jadi dia terbangun deh. Ternyata kita salah turun, Jadilah kita musti jalan jauuuuh banget sampai di tempat janjian yaitu depan seibu/starbuck.

Hmmm gedung yang bagus, dengan gerai-gerai mahal. Kok Indonesia (baca jakarta) menuh-menuhin tanahnya dengan ginian sih? Selain menciptakan pola konsumtif juga seakan membuat jenjang pengunjung lebih lebar lagi. Saya mah ngga tertarik deh dengan toko-toko kayak gini. (emang pada dasarnya ngga suka window-shopping sih…apalagi shoppingnya)

Setelah ketemu Yeye, kita naik elevator sampai lantai 5, ke tempat mainan Fun space. Langsung Riku kegirangan. Dia bilang aku mau main. Dan kelihatan si Kai juga sudah ngantuk berat, jadi aku belikan Riku tiket untuk bermain, sementara mbak Lia jagain Kai yang sudah ketiduran san liatin Riku. Mamanya jadinya bisa jalan cari makan deh.

Oleh Yeye, diajak makan Lontong Cap GoMeh dari Sate Senayan Express. Katanya yeye, ini menu special cuman sampai akhir bulan ini saja. Mungkin dalam rangka Imlek ya? Ya akhirnya kita bertiga pesan menu special ini. Enak juga. Cuman kayaknya aku sering liat juga di Satay House Senayan dekat rumah. Jadi apa specialnya? Apa cuma beda di pakai telur atau tidak pakai telur? hihihi

Selesai makan, kekenyangan jadi ngga bisa makan dessert apa-apa, meskipun ditawari Yeye makan Cendol duren… hmmm duren kan aku alergi, meskipun tempting juga. So tanpa nambah desert, kita berlalu dari food court itu, kembali ke tempat bermain. Pas kita sampai di situ lihat Riku berbicara dengan mbak penjaganya. Ngga tau dia bicara apa, meskipun Yeye sempat tanya ke mbaknya, tuh anak tadi bicara bahasa apa? hehehhe

Wah riku bener-bener menikmati harinya. Naik macam-macam, sampai sempat ditemani tante Yati. Temenku yang satu ini emang suka anak kecil sih. Sampai ikutan naik kereta api segala hihihi.

Sambil nunggu Riku main, aku sempatkan pergi ke Toilet. Oh ya lantai ini disetting dengan nuansa Jepang. Jadi ada bunga sakura, rumpun bambu Jepang dan taman Jepang. Karena memang di sekitarnya banyak restoran Jepang. Sempat sih Riku mau masuk ke Kaiten Sushi,  itu loh sushi yang muter-muter di ban jalan hehehhe. Tapi begitu lihat areal bermain, lupa deh dia untuk makan.

Tuh kan, lupa ceritakan tentang toiletnya. Jadi karena di Zona Jepang, maka toiletnya juga bernuansa Jepang deh. Dimulai dengan gambar kokeshi (boneka kayu jepang) di pintu masuk …. yang dilatarnya ada tulisan kanjinya JOSEI 女性 TAPI TERBALIK ahahahaa…. rupanya waktu nyetak berhubung ngga bisa baca kanji, jadi upside down deh. Yang herannya kok ngga ada yang sadar ya management gedungnya? Atau sudah sadar tapi malas buat baru lagi?

Masuk ke toilet wanita langsung disambut dengan interior bambu, dengan bilik-bilik terbuat dari bambu. Detilnya bagus juga, karena waktu aku liat ke langit-langit, di atas juga dipakai anyaman tikar. Yang bagus memang wastafelnya. Basinnya terbuat dari batu, dengan keran memakai bambu yang runcing ujungnya. Mengingatkan pada upacara minum teh. Dan detil kerannya cukup menyatu dengan bambunya. Di sisi kiri kanan cermin dihias dengan bambu. Nice!

(kiri: yeye-ime-yati , kanan: ime-yati-riku)

Bosan bermain di zona yang sama,  Yeye yang expert dengan GI ini mengajak Riku pindah ke zona padang pasir, sementara Kai yang tertidur dan mbak Lia tunggu di Zona Jepang. Tante Yati menawarkan menemani Riku bermain, sementara itu aku dan Yeye pergi ke Gramedia. Well, memang besar spacenya di sini. Setelah beli kertas untuk gambar pesanan Riku, kita turun ke lantai bawahnya untuk melihat buku bahasa Indonesia.

Melihat di rak buku dan novel populer, aku baru sadar apa yang dibicarakan Yoga dengan Beni and Mice. Ternyata aku punya Lagak Jakarta 1-2, tapi tidak sadar penulisnya adalah Beni and Mice itu hihihi. Memang harus lihat langsung ya.

Kemudian lihat di bagian novel-novel dan aku hanya beli 3 buku, yaitu “Bilangan Fu” nya Ayu Utami, “Roro Mendut”nya YB Mangunwijaya, dan “3 cinta 1 pria” nya Arswendo Atmowiloto. Ngga janji deh kapan bisa baca.

Setelah selesai dari Gramedia itu, kita jemput Riku dan ajak pulang (soalnya mamanya ngantuk karena kekenyangan heheheh). Karena Riku belum makan, aku beli kentucky saja untuk makan di rumah. Buat Riku dan sepupu dia yang 3 orang itu. Mereka berempat dengan “damai” makan kentang dan ayam setelah kami sampai di rumah.

Begitu buka YM langsung mendapat berita dari Yoga, bahwa dia sudah tahu letak Barcode ancer-ancernya di mana, dan setelah pulang kantor akan jemput aku untuk survey bersama. Memang waktu hari Senin sudah janjian untuk bertemu hari Rabu karena dia mau ajak aku makan bakwan di Teebox. Jadi jam 6 lebih sedikit, Yoga sudah menjemput, dan dengan taxi yang sama kami langsung ke Teebox. Terpuaskan deh makan bakwan. Dan untung bakwan menunya, soalnya perutku masih kenyang sebetulnya heheheh. Kalau misalnya disuruh makan nasi atau lainnya mungkin aku akan pass saja.

Ngobrol ngalor ngidul, akhirnya kita keluar dari teebox dan naik taxi lagi menuju Kemang. Tujuannya Barcode deh. Barcode ini letaknya sesudah hotel Gran Kemang, di sisi kanan jalan. Ada semacam mall yang namanya La Codefin. Barcodenya sendiri terletak di lantai 3. Bagus juga sih, kesannya seperti berada di deck, ruang terbuka, dan di pinggiran bisa melihat pemandangan ke jalan Kemang Raya di bawah dan di kejauhan gedung-gedung tinggi jakarta. Tapi ini memang harus dilihat di sela-sela tanaman dan lampion yang menghias sekeliling lantai 3 ini.

Karena tujuannya survei, jadilah aku tanya gono gini sama petugas yang ngantar kami. Selain di open space, ada bangunan yang dinamakan Barcode Club. Semacam tempat melingkar dengan panggung untuk DJ. Di sisi tembok terdapat semacam sekat-sekatbertirai merah beludru dengan sofa. Memang sih kapasitasnya paling banyak 10 orang, tapi di ada satu  sudut yang bisa digabung untuk 20-an. Berlainan dengan open space di sini lebih tenang, sepi karena sebetulnya sebelum jam 10 malam hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sudah reserve. Hmmm tempting juga tempat ini.

Selanjutnya tinggal coba makanan, dan melihat menu. OMG, aku sudah ngga bisa makan lagi, jadi terpaksa kita pandangi menu saja. Dan akhirnya pesan es pisang ijo (desert dari makassar) untuk dimakan berdua dan es cappucino. Iseng-iseng sambil ngobrol, saling memotret, tapi kayaknya tidak ada yang layak untuk ditampilkan di sini hehehe. (jadinya tampilkan foto lilin yang ada di meja, dan pintu masuk WC Barcode untuk WC wanita…. saru deh gambarnya. Tadinya mau ambil versi WC Prianya, tapi takut disangka mau ngintip heehhe)

Jam 9 akhirnya kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Terima kasih ya Yoga, sudah temani saya survey tempat.

Eeee sampai di rumah kedua unyilku belum tidur. Dan maunya bobo dikeloni mamanya. Jadi belum jam 10 udah ketiduran deh saya. meskipun akhirnya terbangun jam 11:30 sampai menulis blog ini jam 2:30. Waktu bangun jam 11:30 itu, nyalakan komputer, dan kaget menemukan blog saya tidak ada!. Yang ada hanya suatu thema yang memang pernah saya install, dan tulisan, What you are searching of is not found! PANIK deh… Bagaimana ini…kalau semua tulisanku hilang. Langsung telpon Marten, dan dia baru bisa buka komputer pagi-pagi. Katanya mungkin server sedang memindahkan hosting, lalu ada yang tidak terikut. Masalahnya saya buka cpanel juga ngga ngerti musti ngapain hihihi. So harus bersabar tunggu sampai pagi. Tapi setelah telepon aku tutup, aku pikir tanya saja dulu pada mas Ray Asto, si pemilik hosting di YM. Untung saja beliau online….. dan setelah menjelaskan bla bla bla, periksa C panel, kutak kutik dikit …. VOILA! sembuh deh. Tapi mas Ray Astonya bilang, “Jangan tanya saya apa kesalahannya, karena saya cuma memperbaiki beberapa script saja. Jadi tidak tahu sumber masalahnya di mana” heheheh. No problem deh, yang penting udah sembuh. Cuman sekarang aku musti belajar untuk buat backup database secara berkala.  Well hari ini tanggal 18 Februari merupakan hari yang sibuk, sibuk jalan, sibuk makan, dan sibuk blogging hehehe. Tapi saya senang sekali karena tadi sebelum tidur, Riku berkata, “Mama terima kasih ya hari ini, aku senang sekali bisa bermain sepuas-puasnya”. Your welcome, my lovely beloved son!

Hari ke 3 di jakarta

18 Feb

wah kok jadinya aku bikin serial seperti Lala ya, the Jakarta Stories hehehe. Gpp deh sekedar untuk mencatat juga aku ngapain aja selama di liburan (Buat laporan ke Tokyo juga gitchu hihihi). Atau kali-kali ada yang mau ngundang saya gitu.

Tgl 17 Feb, aku tidak kemana-mana. Berkutat depan komputer terus, cari info, nulis posting dsb dsb, sampai matanya pedes deh. But jam 6 lewat Wita janji akan datang ke rumah untuk antar tiket so aku siap-siap mandi jam 5. Jadi kopdar dengan Wita deh….

Aku seharian juga chat dan sms pentolan teman-teman di SMP untuk membicarakan reunian SMP yang mau diadakan tanggal 27 nanti. Selalu kalau aku pulang, baru tergerak untuk ngumpul. Pikir-pikir iya juga sih kalau ngga ada event khusus, ngapain juga ngumpul ya? (so aku ini event khususnya??? ngga juga deh, cuman emang aku aja yang ngga ada kerjaan hihihi).

Pak RT nya Wawam dan Bu Monika, trus yang pusat informasi clubbing Intan. Yang selalu membingungkan emang mencari tempat yang enak, ambiencenya, makanannya, dan tidak berada di daerah macet, karena hari jumat malam. Pak Wawam usul Barcode Kemang, Monika sih apa  aja katanya  (Monika juga masih ada bayi sih jadi jarang jjl), nah giliran aku tanyain Intan, ternyata Intan yang tukang jalan aja belum pernah ke Barcode. Dia usul Cafe Amor di Dharmawangsa Square atau Juststeak di Barito, atau FX. Masalahnya aku belum pernah ke FX jadi buta bener-bener. Dan kalau mau mikir macet, parkir dsb emang enakkan Juststeak atau Cafe Amor ini. Hmm Kalau juststeak bisa kira-kira deh tempatnya , tapi si Amor ini gimana. So, aku pikir mumpung Wita datang, aku seret aja dia untuk temenin aku (maksa judulnya).

So begitu Wita datang, tanpa ba bi bu, takut ketahuan Kai dan dia nangis, jadi langsung keluar rumah deh.. Berhubung wita naik motor dan saya tidak bisa mbonceng (karena takut) jadi kita naik taxi ke Dharmawangsa Square. Biasanya sih kalau ke sini, aku pasti ke Gelato, tapi karena hari ini membawa misi untuk ke Amor ya langsung deh ke lantai 4.

Tempatnya sih bagus, dan waktu kita masuk ke situ sepi…. Yang ada dua cewek sedang belajar dansa tango. Wah bisa dansa juga di sini? Anyway, aku tanya sama pelayannya bagaimana kalau mau bikin kumpul-kumpul untuk 20 orang. Ada beberapa tempat duduk sofa yang comfortable dan diberitahu juga ada terrace seat di lantai atasnya. Dan untuk ke lantai atas ini kita harus naik tangga di luar. Ternyata lantai atas juga luas, tapiiiiiiii tidak ber- AC. hmmm sebetulnya enak sih, tapi Jakarta tanpa AC keknya males deh. Ya akhirnya aku putuskan pake tempat di bawah aja, di tempat sofa yang agak luas, sehingga nanti bisa di setting untuk 20-an orang. (Eh ada wine cellarnya juga loh….)

Tapi aku sih bilang, karena belum tahu berapa orang yang datang, nanti aku telpon utk reserve. Nah, sekarang giliran survey makannya. Hmmm pilihan makanannya sih banyak, then aku tanya specialtynya di situ apa. Jawabnya, Sup Buntut Goreng. Yaaah jauh-jauh ke Cafe, masak sup buntut goreng sih. Tapi daripada yang masakan erop nanggung, jadi aku pesan itu aja. Wita pesan spaghetti. Begitu dihidangkan, hmmm aku kok kurang sreg ya? Apa standarnya aku ketinggian? Masak buntut gorengnya dibumbui dengan bawang bombay dan paprika dan pake semacam demi glace sauce? Ini mah judulnya mustinya nasi buntut goreng + sup hahaha…. Aku ngelirik spaghettinya juga kayaknya ngga lezat-lezat banget (Wita kamu makannya lambat sih hahaha…terpaksa ditelen ya?)

Cerita punya cerita, begitu makanan abis, kita langsung cabut deh. Sebelum pulang, mampir WC dulu dong. Nah, di sini ada masalah lagi. Masak keran wastafelnya ngga ada! Gimana mau cuci tangan dong? Wahhhh sudah deh, terpaksa musti dicoret dari list. Begitu keluar aku tanya sama pelayannya, “WC nya mana sih pak?”. Diantar memang di tempat yang kita masuki tadi. Trus saya bilang, “Kok wastafelnya ngga ada airnya?”…. Eeeh ternyata sodara-sodara, pemutar keran memang tidak ada, tapi kalau mau mengeluarkan air dari selang yang ada itu musti injak semacam bola di lantai. Halah! Saya bilang sama si bapak, “Ya tulis dong pak, kalau ngga tau bahwa ada bola di lantaii gini, kan ngga bisa cuci tangan?” Maunya nyentrik kali ya? Tapi sama sekali inconvinience.

Kami pulang ke rumah dan mendapatkan Kai nangis teriak-teriak. Kasian dia ngga bisa tidur tanpa mamanya… Terpaksa deh Wita pulang cepet-cepet dan aku masuk ke kamar liat Kai. Dan Kai begitu liat mamanya langsung DIAM. Huh manja ! Tapi sebetulnya dia memang belum ngantuk rupanya dan masih mau main, sehingga minta diajak keluar. huhuhuhu…..

Jadi apakah aku akan reserve Cafe Amor? menurut Monika kalau makanannya ngga enak ngapain mel…. iya juga sih. Terpaksa deh hari ini survey tempat lagi. Barcode deh! Semoga hari ini ada orang yang bisa aku culik untuk nemenin ke Barcode hihihi.

Hari kedua di Jakarta

17 Feb

Hari kedua itu tanggal 16 Februari 2009. Ngapain aja ya?

Pagi bangun jam 4 (gara-gara beda jam 2jam dengan Jepang). TRus si oma dan asisten menyantroni aku dengan pertanyaan, “Masak apa bu?” Duh…. jauh-jauh datang dari Tokiyo akhirnya musti mikirin masak apa (masih mending sih ngga usah masak). Ya sudah aku minta buatin ayam Karmanaci dan Sayur Leko-leko (pasti ngga ada yang tahu jenis masakan apa pulak itu hihihi… Hei G, kamu harus tahu loh!)

Jam 9 dianterin ke RSPP untuk cek-up. Dan selesai dari situ jam 10:40 an, bingung mau ngapain. Berhubung perut sudah lapar juga ya akhirnya nyebrang deh …. makan sate ayam dulu…. cihuy…sendirian menikmati sate atau si sate yang menikmati kesendirianku ya? Berhubung aku sayang anak, sayang adik, sayang ibu, sayang semua, jadi aku minta bungkusin deh satenya untuk orang rumah. NAH, berhubung cadangan rupiah menipis, naik bajaj deh ke Apotik Mahakam. Ini apotik juga sudah lama sekali berdiri ya. Orang tua teman satu kelas dulu, si Chandra kalo ngga salah yang punya apotik Mahakam ini. Lama-lama dia mengembangkan ke Gran Mahakam hotel juga.

Kok cadangan rupiah menipis malah ke apotik? emang ada kali ya obat pengembang duit hihihi. Aku kadang ke money changer Bali Inter di sini. lumayan ratenya. Kalau ada mobil sih mending ke Piti Pili yang di Panglima Polim, ratenya lebih tinggi. Hari ini kurs yen jual 1 yen 124 rupiah. Berasa jadi orang kaya dong? Hmmm ngga juga, soalnya biaya di jakarta gila juga ya? masak naik bajaj aja minimum 8000 rupiah? Gimana ya yang ngga punya duit? makin pusing aja nih aku mikirin orang-orang yang hidup di Jakarta. (kan aku masih punya saudara banyak di sini… jadi ngga bisa bilang its not my bussiness.) Tapi menurut Yoga kemarin waktu dia ke Grand Indonesia, banyak aja tuh yang belanja….

Jaman sudah berubah. Ingat dulu kalau beli kaset 7000 rupiah satu. Sekarang? semua kudu ditambah nol satu lagi di belakangnya. Udah gitu aku cukup terbelalak melihat bekas pasar bunga dan ikan Barito, yang di depan apotik mahakam/gereja blok B itu. Sudah jadi Taman yang luas dan bagus (sayang ngga dipotret buat kasih tahu Gen, dulu dia suka jalan sepanjang toko ikan di sini). Kalau seperti begitu sih kayaknya bisa bikin live music juga di situ. Jadi Ingat dulu Fakultas Sastra UI (FIB sekarang) juga punya taman yang ke bawah begitu, dengan skala kecil, yang sering dipakai untuk kampanye pemilihan senat, baca puisi dll. (Waktu Agustus ke sana juga sudah hilang tuh)

Aku meninggalkan apotik mahakam naik taxi, sesudah membeli Gethuk Lindri dan cenil… Huh makan mulu deh kayaknya hari ini. Padahal baru setengah hari loh. Aku pikir malam mau pergi ke mana gitu, ternyata ngga jadi pergi ke mana-mana. Malahan siesta, dan posting malam harinya. Bener-bener santai hari ini. Anybody wanna join me?

(kiri Gethuk, kanan cenil — baru tahu aku cenil makannya pakai gula jawa cair… yummy)

Bunga – Mekarkan bunga di dalam hati semua orang

17 Feb

Bagi mereka yang pernah ke Jepang, dan mungkin pernah pergi ke karaoke di Jepang, kebanyakan tahu lagu ini. Hana – Subeteno hito no kokoro ni hana wo- ~すべての人の心にを. Begitu lagu ini mengalir dan masuk ke telinga, pasti kita akan merasa damai, dan FAMILIER. Karena cengkok lagu ini mengingatkan kita pada lagu-lagu jawa. Padahal lagu ini asli Jepang, yang dikarang oleh orang Jepang (or I should say lagu asli Okinawa, yang diciptakan oleh orang Okinawa) .

Shoukichi Kina and the champloose merupakan sebuah grup musik Okinawa yang dibentuk pada tahun 1968 (waduh setua saya nih) dan pada tahun 1979 melahirkan sebuah lagu yang terkenal seantero Jepang, bahkan sampai ke luar negeri. Ya sebuah lagu yang berjudul Hana atau BUNGA ini. Menurut teman saya, Zay yang memang ahlinya radio (yang punyanya Radio Soka di Jember) , lagu ini bisa dikenal di segala penjuru dunia karena dicover oleh Emil Chou dengan judul “Hua Xhin”.

Coba deh dengar lagu ini yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya di depan kuil Toudaiji. Saya kok kalau melihat penyanyinya Shoukichi Kina jadi ingat pada Sujiwo Tejo, yang kemarin sempat lihat waktu kopdar dengan mbak Tuti. (Yug, kalau boleh dipasang tuh foto kamu dengan Pak Sujiwo Tejo).

Saya coba terjemahkan lirik lagunya sebagai berikut :

Bunga – Mekarkan bunga di dalam hati semua orang

Sungai mengalir …entah kemana
Manusiapun bergerak entah kemana
kelika aliran itu sampai tujuan
Ingin kumekarkan sebagai bunga
Menangislah  dan tertawalah
entah kapan
Mekarkanlah bunga itu

Air mata mengalir… entah kemana
Cinta pun mengalir entah kemana
dan aliran itu pada saatnya
ingin kusambut sebagai bunga
Menangislah  dan tertawalah
entah kapan
Mekarkanlah bunga itu

Bunga  dapatlah tertawa sebagai bunga
Manusia dapat mengeluarkan air mata sebagai manusia
Itulah lagu alami
di dalam hati mekarkanlah bunga itu
Menangislah  dan tertawalah
entah kapan
Mekarkanlah bunga itu

( by Shoukichi Kina and the champloose) terus terang waktu saya baca nama kelompoknya yang ditulis katakana, saya pikir asli penulisannya the Campurs. Karena memang di Okinawa ada masakan bernama Goya Campur (Pare campur yang ditumis). Diperkirakan kata campur ini memang berasal dari bahasa Indonesia yang menyeberang sampai ke Okinawa.

teks bahasa Jepangnya

川は流れて どこどこ行くの
人も流れて どこどこ行くの
そんな流れが つくころには
花として 花として 咲かせてあげたい
泣きなさい 笑いなさい
いつの日か いつの日か
花を咲かそうよ

涙流れて どこどこ行くの
愛もながれて どこどこ行くの
そんなながれを このうちに
花として 花として むかえてあげたい
泣きなさい 笑いなさい
いつの日か いつの日か
花を咲かそうよ

花は花として わらいもできる
人は人として 涙もながす
それが自然のうたなのさ
心の中に 心の中に 花を咲かそうよ
泣きなさい 笑いなさい
いつの日か いつの日か
花を咲かそうよ

喜納 昌吉&チャンプルーズ  作詞・作曲:喜納 昌吉

Nah lagu ini memang akhirnya banyak di-cover oleh penyanyi-penyanyi muda terkenal Jepang seperti Otaka Chizuru (saya justru punya CDnya Miss Otaka ini, bukan CD penyanyi asli). Suaranya memang cocok untuk lagu ini. Melengking tinggi. Bagi yang mau mendengar bisa melihat di

http://www.youtube.com/watch?v=FPGMsifqRgg

Selain itu Natsukawa Rimi, penyanyi terkenal dari Okinawa juga menyanyikan lagu ini. Suara Rimi ini lebih halus dan cengkoknya cocok bagai pesinden. Adik ipar saya suka sekali dengan lagu okinawa dan akrab dengan penyanyi ini. Jika Anda mau mendengar suaranya bisa lihat di

http://www.youtube.com/watch?v=tz0scjJC-wk

Tapi Saudara-saudara, yang meng-cover lagu Hana ini bukan hanya orang Jepang, Karena ada orang Indonesia juga yang menyanyikan lagu ini. Hebatnya dia menyanyikan dalam bahasa Jepang dan bahasa JAWA. (nah loh saya tidak bisa menerjemahkan bahasa jawanya heheheh) Dia adalah WALJINAH.

Waljinah pernah merelease CD di Jepang dengan judul Ratu Jawa. Lihat saja cover CDnya, Wajinah berpakaian kimono. hehehe. Nah CD ini diproduce oleh Zay dan Tanaka Katsunori. Jika ingin membaca ulasan lengkap pembuatan dan review CD Wajinah Ratu Jawa ini silakan baca di

http://sokaradio1009.multiply.com/photos/album/13/Waldjinah_-_Ratu_Jawa#

Ulasan Zay untuk lagu Hana yang dinyanyikan Wajinah:

7. Kumanthil Neng Ati (Hana)
Mungkin ini adalah lagu Jepang yang paling terkenal diera 90’s, judul originalnya: “Hana”, ciptaan Kina Shokichi. Tembang ini berkat didaur-ulang oleh penyanyi Taiwan kelahiran Hongkong; Emil Chou dirilis dengan judul “Hua Xhin” meledaklah dimana-mana….sampai keseluruh penjuru dunia!
Arasemenya dibuat pop keroncong. Accordionist S Atan dan pianist Marc Chu, keduanya dari Malaysia, ikut meramaikan tembang ini. Mbak Waldjinah bernyanyi dalam 2 bahasa, Jawa dan Jepang!

Sayang tidak ada contoh lagunya Waljinah ini di Youtube, jadi saya tidak bisa memperdengarkan lagu ini. Saya sendiri diberikan CD ini langsung dari yang buat, gratis! hehehe. (arigatou ne Zay)

Ya, bunga itu memang indah dan cocok bila berada dalam hati setiap insan.