Pengalaman Demokrasi -1-

4 Mei

Saya tidak mau berbicara tentang politik di Jepang. Buat apa? Saya bukan ahli politik, dan sedapat mungkin saya selalu menghindari pelajaran politik. Karena itu saya tidak mau masuk ke jurusan Sejarah di sini, karena pasti dong saya akan bertemu dengan politik di jurusan Sejarah. Saya pilih jurusan pendidikan meskipun saya harus jungkir balik belajar semuanya dari awal. (Tema saya adalah sejarah pendidikan)

Tapi, kebetulan waktu saya baru datang ke Jepang, saya tinggal bersama keluarga politikus. Ya bapak-semang saya adalah (mantan) anggota parlemen Jepang dari partai Liberal Demokrat. Seorang laki-laki bertubuh tinggi,  boleh dibilang cakap, berkacamata dan…. bodynya OK. Untuk pria seumuran dia banyak yang perutnya buncit, tapi dia tidak. Karena hobinya adalah lari marathon. Tidak heran kalau tidak ada janji khusus, dia akan lari dari rumah ke kantornya yang berjarak kurang lebih 30 km setiap pagi. Pernah dia mengajak saya ikut dia, but …no way deh bisa-bisa aku semaput di jalan.

Karena saya mahasiswa asing, dan waktu itu juga sedang menerima beasiswa dari pemerintah Jepang, saya tidak boleh ikut aktif dalam politik praktis. Padahal sebetulnya banyak kesempatan untuk bisa “menyelusup” ke kantor persiapan kampanye bapak semang saya itu, dan melihat-lihat kegiatan itu dengan mata kepala sendiri. Tapi daripada merepotkan banyak pihak, saya tidak bisa melakukan hal itu. Satu-satunya yang saya bisa lakukan, hanya melambaikan tangan dan memberikan semangat padanya, waktu dia berpidato di stasiun dekat rumah kami.

Merupakan kebiasaan kampanye di sini, bahwa si calon harus turba, mengenal warganya, dan tempat yang paling praktis adalah stasiun. Berdiri memegang mike, berbicara tentang pandangan politik dan program- programnya,  sambil sesekali mengucapkan terima kasih pada warga yang “sudi” mendengar ocehannya. Seperti yang si bapak-semang teriakkan pada saya, waktu saya beri  lambaian tangan, “Itterasshai…. gambattene (Selamat pergi…. selamat belajar ya!)”. Untung dia tidak sebut nama saya, kalau tidak malu deh jadi pusat perhatian. Orang asing yang disapa oleh Mr. K.

Untuk calon yang baru terjun ke kancah politik, belum banyak pengikut dan pembantu, dia hanya berdiri seorang diri di depan stasiun. Tapi bagi yang sudah punya banyak pendukung, pasti ada beberapa orang pendukungnya yang berdiri dengan membawa bendera bertuliskan nama calon. Ada juga yang membagikan selebaran tentang temuwicara di suatu tempat dll. Tidak boleh membagikan uang dan barang meskipun hanya tissue. Well, memang strick sekali hukum  di sini.

Ada satu lagi cara selain berpidato di stasiun, yaitu dengan berkeliling wilayah pemilihannya naik campaign car, mobil kampanyenya yang di bagian atasnya bisa menjadi tempat berdiri untuk pidato. Pakai mike, memperkenalkan diri dan mohon dukungan, sambil melambaikan tangan ke warga yang sedang jalan, atau ke arah rumah /mansion/apartemen yang dilewati. Calon yang baru, yang masih sedikit pendukungnya biasanya tidak mempunyai mobil kampanye, sehingga tidak jarang juga terlihat jalan kaki atau naik sepeda. Tentu saja sekaligus mengumandangkan hidup sehat dan mendukung lingkungan yang bersih dan sehat. (Tentu saja si bapak semang juga pernah kampanye dengan lari marathon loh. Yang kasihan sekretarisnya harus ikut lari juga di belakangnya)

Baliho? tidak ada. Baliho boleh dipakai dalam gedung saja, misalnya waktu mengadakan ceramah politik di sebuah aula. Yang boleh dipasang di jalan umum hanya poster seukuran karton manila yang bisa dipasang di dinding/pagar rumah dari pendukungnya. Isi poster tentu saja foto muka si calon, nama (tanpa gelar) dan sepatah slogan politiknya.  Tentu saja poster ini bisa dipasang juga di papan besar yang memuat semua poster calon, yang dipasang di tempat-tempat strategis persis beberapa hari sebelum pemilihan (supaya tahu orangnya yang mana).

Pada hari pemilihan, saya ikut duduk di depan televisi untuk melihat hasilnya, sedangkan Mr K dan istrinya berada di kantor kampanye, untuk bersiap merayakan kemenangan, jika menang (selama saya tinggal di Jepang baru satu kali periode saja dia kalah). Yang hebat, penghitungan suara itu selesai dalam malam yang sama dan sebelum malam berlalu sudah tahu siapa saja yang bisa menjadi anggota parlemen. Semua penghitungan bisa diikuti di televisi.

Tapi selain memenangkan kursi di parlemen, ada lagi saat mendebarkan lainnya yaitu apakah dia terpilih menjadi anggota kabinet atau tidak. Sayang sekali waktu Mr K terpilih jadi Menteri Pendidikan, saya sudah lulus program pasca sarjana, dan sudah mandiri tinggal sendiri di apartemen yang berjarak hanya  2 menit dari rumahnya.

Kalau dipikir memang saya banyak pengalaman yang mungkin belum tentu bisa dirasakan mahasiswa asing lainnya. Namun saya tidak bisa menuliskannya semua karena menyangkut privacy yang sangat ketat di Jepang. Karenanya saya tidak mencantumkan nama asli keluarga induk semang saya, apalagi foto-fotonya. Padahal sebetulnya saya ingin sekali pasang foto waktu “manjat” naik mobil kampanye hanya untuk berfoto sebelum pindah rumah.

Nah, ini pengalaman saya pertama kali mengenai demokrasi di Jepang. Setelah ini saya ingin menceritakan soal  demokrasi praktis, yang saya alami sendiri dalam bermasyarakat baru-baru ini, yang cukup membuat saya tertawa…” Ohhh gini toh caranya di Jepang!”. Tunggu ya…..

5:30

2 Mei

Setiap hari, kecuali hari Rabu, saya menitipkan Kai di penitipan sampai jam 6 sore. Kebetulan sekali saya setting mulai dari jam 8 pagi sampai jam 18:00 untuk  4 hari seminggu sejak bulan April.  Sehingga begitu ada telepon dari Paulo Berwanger, mantan rekan penyiar radio InterFM, yang juga CEO nya Praia KK, yang menawarkan pekerjaan terjemahan sebanyak 200 halaman, langsung saya OK-in (tanpa menanyakan deadlinenya kapan … stupid hehehe) .

Riku biasanya berangkat dari rumah pukul 7:45 , mampir ke rumah Fuuka chan jemput dia, atau jika ada sempai (kakak kelasnya) yang lewat di jalan, dia mengikut dari belakang. Nah saat itu juga Kai bersikeras untuk pergi ke luar… sibuk mengambil kutsu くつ (sepatu) dan kutsushita くつした (kaus kaki) , sambil marah-marah minta dipakaikan. (Anak ini benar tidak sabaran deh hihih). Jadi pukul 7:45 itu Riku, Kai dan saya keluar rumah dan pergi ke tujuan masing-masing. Setelah antar Kai ke penitipan saya kembali lagi ke rumah dan bekerja di rumah atau ke universitas kalau hari Jumat.

Nah biasanya pukul 5:30 sore saya berangkat dari rumah naik sepeda ke arah stasiun untuk menjemput Kai. Ada suatu tanda yang membantu saya mengingatkan bahwa sudah jam 5:30 sore. Yaitu sebuah bel dengan alunan lagu yang dikumandangkan ke seluruh wilayah Nerima-ku (mungkin, tapi yang pasti di daerah saya ya. Dan dulu di Meguro saya juga pernah dengar, rupanya tergantung pemdanya) . Serentak disampaikan pengumuman sebagai berikut:

“Yoiko no minasan, go jihan ni narimashita. Soto de asondeiru kodomo wa ouchi ni kaerimashou” . 良い子の皆さん、五時半になりました。外で遊んでいる子どもはおうちに帰りましょう。

artinya begini,

“Anak-anak yang baik, sudah jam setengah enam sore. Mereka yang masih bermain di luar, pulanglah ke rumah”.

Pengumuman ini terdengar sampai di seluruh pelosok karena pakai pengeras suara yang dihubungkan ke kantor kelurahan Kuyakusho 区役所. Selain sebagai pengingat bagi anak-anak, juga menjadi semacam alarm bagi semua warga. Memang di Jepang biasanya makan malam mulai jam 6 (bagi yang punya anak kecil).

Satu lagi keuntungannya dengan adanya pengumuman ini adalah bahwa pengeras suara itu masih bekerja dengan baik, sehingga jika terjadi gempa bumi besar, dan perlu mengumumkan kebijakan pemerintah daerah, pengeras suara ini terbukti bisa dipakai. Saya juga pernah memang mendengar suatu pengumuman penting (meskipun lupa tentang apa) yang disampaikan lewat pengeras suara ini. Kadang ada juga latihan menghadapi bencana alam lewat pengeras suara ini.

Jadi kalau di Indonesia biasanya saya mendengar suara azan subuh dan magrib dari mesjid terdekat, atau lonceng gereja setiap pukul 12 siang, kalau di Jepang hanya mendengar bell dan pengumuman itu setiap pukul 5:30 sore saja. Pagi hari? tidak ada … paling-paling lonceng sekolah hehehe.

Satu lagi tatanan bermasyarakat di Jepang, yang saya rasa bagus dan berguna.

Kartu Nama

28 Apr

Ada satu hal yang kadang saya rasakan kurang ketika bertemu dengan teman-teman lama atau teman-teman baru, baik waktu reuni, maupun  kopdar blogger di Indonesia. Yaitu tidak adanya kebiasaan untuk bertukar kartu nama. Seperti saya dengan Lala, saya tidak punya kartu namanya, sehingga kalau saya mau mengirim sesuatu, saya harus menanyakannya via email atau sms. Dari sekian banyak blogger/teman lama yang pernah saya temui, mungkin hanya 5-10 lembar kartu nama yang pernah bertukar tempat dengan kartu nama saya.

Mungkin memang cukup dengan nama, blog dan email saja. Tapi mungkin karena saya sudah (seperti) orang Jepang, maka saya merasakan ada kejanggalan. Ya, di Jepang, jika mau bertemu dengan seseorang , harus menyiapkan KARTU NAMA atau MEISHI  名刺. Kalau tidak membawa, seakan kamu tidak “serius” dalam berkenalan, dan saya yakin, kamu akan kehilangan chance untuk mendapatkan pekerjaan. Terutama untuk orang seperti saya yang freelancer, then don’t leave home without it! (kalau Anda hanya ibu rumah tangga tentu saja tidak perlu, sekarang cukup tukar menukar nomor HP dan email HP saja!)

Tidak berbeda dengan di Indonesia, Kartu Nama di Jepang tentu saja memuat Nama, Alamat dan Nomor telepon. Untuk bisnis, biasanya hanya mencantumkan alamat dan nomor telepon kantor, nomor HP dan email HP. Dan untuk kalangan entertainer (maklum pernah bekerja di Radio) biasanya dipasang juga foto wajah (bukan pas photo).

kartu nama ini sempat saya pakai sebentar, tapi sekarang sudah habis

Nah ada satu fenomena yang menunjukkan bedanya masyarakat Jepang dan Indonesia mengenai pendidikan. Dan ini saya sering pakai untuk menjelaskan mengenai Gakureki shakai 学歴社会 society which places excessive [undue] emphasis on academic records . Dalam kartu nama saya yang berbahasa Jepang, tidak pernah saya cantumkan gelar kesarjanaan saya. Tetapi dalam kartu nama yang berbahasa Indonesia “terpaksa” saya pasang gelar itu. Saya selalu memberikan contoh kartu nama orang Indonesia misalnya Prof. Dr. H. Alibaba SE, MA, MSc dst dst. (Jadi bahan juga untuk menjelaskan singkatan apa saja itu, termasuk bedanya singkatan dan akronim). Saya rasa sedikit sekali orang Indonesia yang “tidak mau memamerkan” gelar mereka yang panjang-panjang itu. Lah…untuk dapatkannya juga susah payah …mungkin itu alasannya. Dan inilah gakureki shakai… yang jumlah elite berpendidikan masih sedikit (dibanding Jepang), sehingga gelar yang didapat haruslah dipajang.

Saya tidak bermaksud mengritik siapa-siapa, lah wong saya juga akhirnya pakai penulisan gelar itu karena memang masyarakat Indonesia menuntutnya. Sayang saya tidak sempat memotret baliho-baliho caleg di Indonesia waktu itu. Duuuh banyak sekali gelar kesarjanaan yang saya TIDAK TAHU singkatan apa itu. Coba lihat poster caleg Jepang! tidak ada satupun yang memakai gelar kesarjanaan. Dan memang pada dasarnya gelar kesarjanaan TIDAK ditulis. Lulus Universitas itu atarimae 当たり前, lumrah. Gelar kesarjanaan hanya dipakai di biografi buku yang ditulisnya, atau di seminar-seminar ilmiah.

Ada satu cerita lucu yang saya dapatkan dari teman saya. Dia cerita begini:

“Mel, kamu punya kebiasaan nulis sesuatu ngga di kartu nama orang?”
“Ya dong, biasanya tulis pake pensil, ketemu kapan, di mana”
“Tulis ciri khas orang itu ngga?”
“Hahahahahaha … iya, abis orang jepang kan mirip semua. Kadang aku tulis berkacamata, atau pinter bhs indo, atau cantik, atau spt somebody dll”
“Nah …. ini kejadian. Aku dan temanku pergi bertemu orang Jepang. Setelah selesai, kita masih ada di kantor itu beberapa saat, sambil ngopi di coffee shopnya. Terus temen gue ini pergi ke WC. Di situ ketemu dua kartu nama yang jatuh. Ternyata itu kartu nama kita. Dan……

“Hahahaha ada tulisan apa di belakangnya?”
“Ah elu mel, nyela aja. Iya gitu deh, ternyata si Jepun itu tulis ciri khas kita. Nah si temen gue ini sampai pucet, ternyata di kartu namanya ditulis cerewet, gendut, rambut kriwil. Sebel banget dia.
“Haahahaha. Makanya kalo nulis di kartu nama orang tuh yang bagus-bagus aja. Atau jangan pake bahasa yang bisa dimengerti orang lain. Kode dong kode…..”
“IYAAAAA…. tapi kan ini orang Jepang. Dan lu tau ngga di kartu nama gue ditulis apa? Si temen gue ini sampe ngga mau kasihin ke gue, takut gue marah.
“Apa? Gendut? ”

“Masih mending… ditulis HAGE はげ alias BOTAAAAAAAAAAAAAAAKK!”

“Hahahahahahahahaahah…. sorriiiiii but…. abis …. gimana lagiiiiiii”
“Sompret bener tuh orang”
“Hahahaha….. ya sudah… abis mau digimanain lagi kan? ”
“Iya…sekarang masalahnya. Dia ngejatuhin kartu nama kita nih kan. Nah kalo dia mau urusan sama kita kan ngga bisa jadinya. Dia mungkin cari ke WC. Tapi itu kan udah kita ambil. Mau kita balikin, ntar diambil org lain gimana? NAHHHH, kalo kita kembaliin ke YBS, lebih gawat lagi dong. Dia akan tahu kalo kita udah baca “MEMO” dia di kartu nama itu kan. Mazui まずい。 Payah!”
“Hahahahahahha… buah simalakama ya…. susyah deh. Ya diemin aja lah, mustinya dia bisa usaha tanya temennya yang lain atau gimana.”
“Ho oh. Cuman gue kan KESEL banget ditulis gitu”

Cerita nyata dengan sedikit modifikasi. Untuk yang merasa sorry ya …. hehehe.

So, hari ini tentang Kartu Nama ada dua pelajaran penting yang harus dihapal:

1. Selalu siapkan kartu nama jika bertemu dengan orang Jepang
2. JANGAN menulis yang negatif sebagai keterangan di kartu nama orang lain.

eh yang ketiga:

3. JANGAN menjatuhkan kartu nama orang lain di tempat senonoh….hihihihi  (Kalau kartu nama sendiri sih namanya promosi atau cari masalah hihihi)

Last Supper @ Sunset Cafe

23 Apr

Beberapa hari terakhir ini saya memang memasang status di YM dan GTalk saya dengan “Last Supper” dan “Sunset Cafe”.  Sampai Mbak Noengki menyapa saya dan berkata, “Duh enaknya yang online di Cafe“. Padahal itu tidak benar, karena sebetulnya Sunset Cafe tidak ada di kenyataan (Baru-baru ini saya googling ternyata ada yang baru buka di cafe di pulau Bali, padahal sebelumnya — well 10 tahun yang lalu belum ada. Sampai pernah saya dan teman Suto san bilang kita buat di Jakarta yuuuk ). Dan bagi pendengar setia “Gita Indonesia” di InterFM 76,1 masih ingat tentunya lagu ini. “Sunset Cafe” oleh Rita Effendy, karena lagu ini salah satu lagu kesayangan yang sering saya putar.

Bias jingga senja menjelang
senandung ombak berkumandang
matahari turut terbenam
mengiringi angan kita

Secangkir cappucino panas
berbagi mimpi menembus batas
sekumpul nyiur tersenyum
mendengar janji kita

Reff.
Di Sunset Cafe kita bersama
di Sunset Cafe kita berdua
di Sunset Cafe kita bercinta
memandang lautan lepas
khayalan kita seakan jadi nyata…
di Sunset Cafe

Kecupan hangat pipi kiri
terasa menggetarkan hati
redup lilin-lilin menyala
melihat gairah kita

Cinta bersemi di Sunset Cafe
angan melambung di Sunset Cafe
hasrat membara di Sunset Cafe
cinta yang indah ini
terukir di Sunset Cafe

Irama yang enak didengar dan sambil membayangnya Tasogare, Twilight, Senja ….. saya hirup cappucino panas. Hmmmm…..

Lalu apa hubungannya dengan “Last Supper”. Kalau saya tulis 2 minggu yang lalu tentu semua tahu yang saya bicarakan adalah perjamuan terakhir Yesus bersama 11 orang muridnya. Dan topik “Last Supper” ini muncul kembali hari Senin yang lalu, tanggal 20 April.

Hari itu, saya sempat pergi “date” untuk lunch, dan menikmati makanan Perancis-Jepang di sebuah restoran di Kichijoji. Kaisen Shokudo, sebuah restoran yang kadang kami datangi untuk menjamu tamu atau merayakan pesta dengan jumlah orang yang sedikit. Hanya 14 tamu yang biasanya bisa masuk, sehingga harus menelepon dulu sebelumnya untuk memesan tempat. Makanan juga dipesan sebelumnya, pilih course dengan menu main dish saja yang berbeda, dan harganya tergantung mau half course atau full course. Kalau siang ada lunch course.


Mungkin untuk laki-laki, makan “seuprit” begini tidak akan kenyang, tapi bagi wanita lumayan, karena dishesnya disajikan satu per satu, dan harus sediakan waktu minimum 1 jam untuk menikmati obrolan, makanan dan …. wine kalau mau. Oh ya satu lagi…di sini bisa menikmati indahnya piring-piring keramik yang mereka pakai. Keramik Jepang memang lain dengan keramik eropa, white porcelain. Keramik Jepang lebih menonjolkan tanah liat, bentuk asimetris, dan warna-warna “bumi”. Saya suka keramik Jepang, ingin coba membuat, tapi belum ada waktu. Ibu mertua saya kadang membuatkan saya piring keramik sesuai pesanan bentuk dan warna yang saya sukai.

Nah, waktu makan appetizer yang di foto kanan atas, dalam gelas itu, ada mouse sayuran dan di atasnya adalah roti bakar dengan “UNI” di atasnya. Uni ini artinya bukan kakak perempuan untuk bahasa Minang,  tapi bahasa Jepangnya untuk Sea Urchin (Bulu Babi). Orang Indonesia tidak makan bulu babi, padahal itu merupakan makanan mewah bagi orang Jepang. Saya ingat salah satu murid saya pernah naik perahu di Laut Makassar, membawa pisau dan shoyu, kecap asin Jepang (kikkoman) . Ambil bulu babi, dan buka kulitnya yang seperti rambutan berduri hitam itu, dan …. nyammmm… makan isinya dengan kecap asin yang dibawanya. Mungkin bentuknya tidak menarik, tapi rasanya? …… Heaven…. katanya (dan kata saya, kata Riku dan kata Ayu-san).


Ya, Teman date saya adalah Ayu san, yang pernah saya tulis di posting ” Perbedaan Usia“. Hari itu saya mau merayakan “She becoming a salarywoman”. Dia sudah berstatus pegawai sekarang , sudah shakaijin (harafiahnya : manusia masyarakat… yang bergaji dan bisa mengabdi masyarakat). Shakaijin adalah suatu status bahwa kamu bukan mahasiswa, dan bukan pengangguran. Dan di Jepang, Bulan April adalah titik awal untuk menjadi shakaijin, dengan upacara-upacara penerimaan pegawai baru di setiap kantor. (Untuk menceritakan shakaijin dan upacara penerimaan pegawai baru ini perlu posting tersendiri).

Tema pembicaraan kami saat itulah, tentang “Last Supper”, Perjamuan Terakhir, Saigo no Bansan 最後の晩餐. Yang juga menjadi judul prgram TV di Jepang, yang isinya “Makanan apa yang kamu ingin makan di hari terakhir kamu hidup?”. Bagi Ayu, dia paling suka UNI, jadi pada saat terakhir itu dia ingin makan UNI. dan dia bertanya, “Kalau Imelda Sensei? ”

Well, terus terang saya tidak tahu. Sedih juga kalau tidak tahu makanan apa yang kamu sukai, yang kamu ingin makan sebagai makanan terakhir di dunia ini. Saat ini kalau ditanya, saya benar-benar tidak tahu. Saya suka macam-macam, tapi kalau disuruh menyebutkan satu dari macam-macam itu? Saya tidak tahu jawabannya.

“OK”,  kata Ayu. “Kalau begitu,tidak usah makanan, tapi tempat terakhir yang sensei inginkan sebagai tempat terakhir waktu meninggal?”. Nah… kalau itu saya bisa jawab! Ya, saya ingin berada di suatu tempat, yang bisa memandang ke matahari tenggelam, tasogare, senja ….. Menikmati karya Tuhan yang amazing. Dan bersamaan dengan tenggelamnya matahari itu, saya ingin hidup saya berakhir. Warna tasogare, twilight adalah warna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saya namakan blog saya ini Twilight… Twilight Express.

“Well, kalau begitu di beach? Sunset at the beach?”

“No, Aku tidak begitu suka pantai…. tapi aku suka danau. Pantai kesannya panas, beta-beta suru…. (peliket). Kecuali mungkin pantai waktu musim dingin ya? Tapi saya suka sekali danau. Magis…. tranquil… melenakan. Mungkin seperti foto ini.


So, teman-teman? Jika Anda ditanya, apa yang ingin Anda santap di hari terakhir Anda, apa jawab Anda? Atau di mana Anda ingin berada sebagai tempat terakhir Anda hidup di dunia ini?





satu satu nol

19 Apr

110 – seratus sepuluh dan bahasa Jepangnya biasa disebut Hyaku-toban (110 番). Bagi yang mengerti bahasa Jepang, akan bertanya, “Loh kok bukan hyaku juu sih?) . Ya, memang bukan disebut hyaku juu, karena angka ini adalah angka keramat. cieee…

Seperti pernah saya ceritakan di “Di Jepang ada pencuri?”, bahwa 110 adalah dial, telepon khusus untuk polisi. Di mana saja Anda berada di Jepang, jika menelepon ke 110, pasti akan disambung ke kantor polisi terdekat. Jadi layaknya  nomor 110, memberikan keamanan dan keselamatan bagi warga Jepang.

Pada lambang/papan  yang ada di sebagian rumah di daerah-daerah pemukiman, ada yang bertuliskan “Kodomo 110(こども110番)”. Kodomo = anak-anak (bukan komodo lohhh…. tapi komodo no kodomo itu berarti anak komodo hehhehe bingung yah) . Jadi anak-anak jika mengalami ketakutan, merasa diikuti orang, dikejar penjahat atau segala sesuatu yang membahayakan dirinya, bisa lari ke rumah-rumah dengan tanda itu. Dan di daerah Nerima, daerah kami, selain tulisan “kodomo 110” ini juga memakai lambang bunga matahari, “himawari“.

Bahkan kata Gen, jika anak-anak haus dan tersesat, bisa mengebel rumah dengan tanda itu, dan minta air minum, minta bantuan. Shelter for children. Dan waktu saya jalan-jalan memang sering sekali menemukan tanda itu. Dulu belum punya anak, jadi belum “mengerti” artinya. Tapi sekarang setelah anak saya mulai sekolah, merasa aman dengan kehadiran rumah-rumah 110 itu. Dan memang karena sekarang saya adalah anggota pengurus PTA sekolahnya Riku, saya harus mengecek rumah-rumah mana saja yang 110 di sekeliling sekolah dan rumah.

Sebagai tambahan usaha untuk keamanan anak-anak bersekolah, semua anggota pengurus PTA (satu kelas 3 orang) dibagikan lencana yang dipakai di lengan atau tas, bertuliskan bohan 防犯 (pencegahan kejahatan) , dan juga sebuah kertas berlaminating dengan tulisan パトロール (Patrol) yang dipasang di sepeda. Semua dengan warna dasar hijau.

Saya tidak tahu kenapa hijau yang dipakai. Coba saja tanda emergency exit yang dipakai di gedung-gedung. semua berwarna hijau bukan? belum lagi tanda-tanda itu mengkilat/berlampu sehingga saat gelappun bisa terlihat. Kenapa bukan kuning? yang lebih alert daripada hijau? Mungkin, mungkin loh, menurut hipotesa saya saja, jika terlalu banyak warna kuning dipakai rasanya kehidupan manusia akan berisi ketegangan terus. Alert terus. Sedangkan warna hijau, lebih nyaman di hati, seakan memberikan perlindungan. Hmmm mungkin saya harus mencari lagi di google jepang, kenapa dipakai warna hijau. Saya senang sekali “melacak” di google jepang, karena sering pertanyaan aneh-aneh seperti saya ini, bisa terjawab di sana. Dan itu karena, ORANG JEPANG SUKA MENULIS. Apapun didokumentasikan (tulisan/foto) oleh orang Jepang. So, menurut saya, Jepang adalah surga bagi penelitian. ASAL BISA BAHASANYA.

Lalu apa tugas saya yang membawa kedua tanda itu? Tugasnya bukan seperti polisi yang melakukan patrol memang. Tapi bila dengan tidak sengaja menemukan sesuatu yang mencurigakan, kita bisa langsung melapor ke polisi. Jadi diharapkan saya juga waspada terhadap keamanan sekeliling, dan jika diminta bantuan oleh anak-anak yang melihat tanda saya itu, saya wajib menolong dan membawanya ke pos polisi terdekat.

Papan Kodomo 110 himawari di rumah penduduk, lencana bohan, tanda patrol di sepeda. Ini semua memperlihatkan lagi kerjasama antara pemda, polisi, masyarakat sekitar,dan orang tua murid dalam keselamatan anak-anak. Dan mungkin sedikit banyak tulisan ini bisa menjawab pertanyaan teman-teman dalam komentar yang diberikan dalam tulisan-tulisan tentang Riku pertama kali bersekolah. Dan ya…. ini adalah satu lagi oleh-oleh dari pertemuan orang tua murid PTA yang saya ikuti hari kamis lalu.

(Masih ada yang bisa saya ceritakan lagi ngga ya dari pertemuan itu? Hmmm masih banyak… misalnya bagaimana cara pemilihan pengurus, dan kegiatan-kegiatan mereka…. tunggu saja kapan bisa terungkapnya)

Lonceng membahanakan cinta

17 Apr

Kemarin saya sibuk! Benar-benar sibuk! Huh…segitu aja laporan siy? Boleh dong tulis curhatan di blog sendiri. hehehe. Selain mengerjakan terjemahan yang baru selesai seperempatnya, padahal sudah 3 hari tidak tidur… , kemarin saya pertama kali mengikut Hogoshakai 保護者会 PTA (Parent Teacher Association) di SD nya Riku.

Banyak yang saya mau ceritakan tentang pertemuan kemarin, tapi karena saya hanya punya waktu sedikit untuk menulis, maka saya hanya akan menulsi satu topik yang saya rasa menarik. Tentu kalau membaca judul posting ini, berpikiran tentang bel sekolah ya? No… saya tidak mau menulis  soal itu sekarang, tapi lonceng yang lain lagi.

Salah satu kegiatan PTA adalah mengumpulkan ベルマーク BELL MARK. Tanda lonceng. Saya memang sudah pernah mendengar soal tanda bel ini, tapi belum ngeh sampai kemarin. Persis waktu saya membuka sekantong potato chips untuk ngemil sambil menerjemahkan di tengah malam (gemuk..gemuk deh, bodo deh!) Nah, saat itu saya  menemukan bell mark itu.

Saya sempat “membongkar” sampah plastik syaa dan menemukan 3 buah bellmark itu. Dan setelah saya perhatikan di setiap bawah gambar lonceng itu ada tulisan 1,6 – 2,0 dan 2,9 … wah apa nih artinya.

OK saya mengerti bahwa saya harus mengguntingnya, kemudian mengumpulkannya ke PTA. Tapi setelah itu bagaimana? Katanya itu menjadi dana bagi kegiatan murid-murid. Seberapa besar? Dan siapa sih yang memulai kegiatan ini? Rasa ingin tahu saya mulai menggelitik dan akhirnya “terpaksa” saya stop kerja dan mencari di paman google.

Saya bertemu homepage dari BellMARK itu dan menemukan informasi sbb:

Bellmark pertama kali dimulai tanggal 24 Oktober 1960, diprakarsai oleh Kelompok Pendukung Sarana Pendidikan dengan porosnya Harian Asahi (Asahi Shimbun) setelah mendapat ijin dari Departemen Pendidikan Jepang. Sekarang namanya sudah menjadi Yayasan Pendukung Pendidikan Bellmark. Kegiatan ini diikuti oleh PTA sekolah (harus mendaftar terlebih dahulu), dan sekarang jumlahnya sudah mencapai 28.000 sekolah. Untuk pribadi, tidak bisa menerima bantuan, tapi bisa membantu mengumpulkan dan diberikan ke PTA sekolah terdekat atau dikirim ke kantor Belmark.

1 point yang tertulis pada tanda lonceng berharga 1 yen. Jadi kalau saya kemarin mengumpulkan 1,6 – 2,0 dan 2,9 berarti saya sudah mengumpulkan 6,5 yen! Itu baru satu hari dan hanya dengan menggunting saja loh. Wahhhh bayangkan kalau saja semua keluarga mau sedikit bersusah dan mengumpulkan tanda lonceng ini berapa banyak dana yang bisa dikumpulkan untuk membantu kegiatan pendidikan?Dan waktu saya membaca daftar top 100 pengumpul bellmark tertulis sebuah nama sekolah di daerah Shizuoka yang berhasil menjadi nomor satu dengan mengumpulkan 758,616 point = 758,616 yen! WOW

Saya merasa KAGUM pada usaha-usaha seperti ini. Seharusnyalah Persatuan Orangtua Murid di Indonesia juga bisa berikhtiar mengadakan kegiatan yang sedikit bisa membiayai pendidikan. Seperti yang pernah saya tulis tentang Eco-cap, yang dengan membantu mengumpulkan “sampah” , memilah, dan tutup botol itu bisa menjadi uang!

Tapi uang/dana itu dari mana? Tentu saja perusahaan yang mencetak label bellmark di kemasannya itu yang mengeluarkan dana sebanyak yang dicap. Ada banyak perusahaan yang mengikuti kegiatan Bellmark ini, dan sayangnya saya belum menemukan berapa jumlah perusahaan itu. Ada beberapa nama besar di daftar website, seperti Kirin Beverage, Morinaga Seika, Toshiba, Kewpie dll. Ada kerjasama, ada “simbiosis mutualisma” antara perusahaan dan bellmark. Karena untuk mengumpulkan bellmark, mereka membeli produknya, bukan? Untuk promosi juga bisa, karena perusahaan itu ikut mendukung pendidikan. Hei, adakah perusahaan Indonesia ikut memikirkan pendidikan Indonesia (harusnya ada, kalau tidak… miris deh)? Jangan-jangan nama yang keluar tidak lain dan tidak bukan adalah perusahaan PMA  juga.

Apakah sudah ada kegiatan yang mendukung pendidikan yang merupakan kerjasama antara perusahaan -sekolah-orang tua murid dan masyrakat seperti ini? Untuk kepentingan satu sekolah, bukan pribadi-pribadi tertentu seperti beasiswa dll. Bukan hanya satu arah saja, murid/sekolah minta-minta duit pada perusahaan tertentu setiap kali mau mengadakan kegiatan, bersifat short term. Lalu perusahaan tertenu yang dimintai itu memberikan duit dengan imbalan pasang banner…. mustinya ada yang lebih “mendidik”. Saya salut dengan KERJASAMA jaringan ini.  Ayo dong!

Akhirnya kenapa kegiatan ini disebut Bellmark? Katanya dipilih lonceng sebagai lambang karena lonceng dapat menggemakan suara cinta, sampai ke seluruh pelosok, baik dalam dan luar negeri. Dan saling menolong murid-murid dalam kegiatan pembelajaran.

Ini baru satu oleh-oleh cerita yang saya dapat dari pertemuan PTA kemarin. Masih banyak hal-hal baru yang saya temukan dan ingin saya sharekan di TE, tapi untuk hari ini segini dulu ya. Doakan kerjaannya cepet selesai, dan saya bisa menulis lagi.

Banyak Jalan Menuju …..

14 Apr

Roma. Memang itu jawabannya. Siapapun tahu peribahasa itu. Menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mencapai tujuan. Dan jika Anda pernah ke Roma, bisa melihat memang bahwa tata kota mereka benar-benar rapih (terlepas dari orangnya rapih atau tidak). Dan jika saya menyebut peribahasa ini pasti saya teringat sebuah buku karangan Idrus yang berjudul “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”. Terus terang saya baru saja punya bukunya. Belum 10 tahun di dalam genggaman saya, tapi saya sudah tahu nama Idrus sejak Sekolah Dasar. Saya selalu pikir Idrus ini pasti seorang religius… paling tidak beragama Kristen. Tapi nyatanya, judul memang hanya gabungan judul tulisan pertama dan terakhir dari bukunya. Dan isinya? Silakan baca sendiri.

Seminggu sudah lewat dari pertama kali Riku pergi berjalan ke sekolahnya tanpa aku antar. Memang banyak jalan menuju sekolahnya yang bisa dia ambil, tapi oleh pihak sekolah kami sudah diberikan peta lengkap dengan pembagian wilayah dan keterangan jalan-jalan mana yang sebaiknya diambil, dan yang sebaiknya dihindari karena rawan kecelakaan. Wilayah rumah kami berwarna kuning, dan semua murid baru yang tinggal di wilayah kuning, memakai pita kuning di tas ranselnya.

Seharusnya aku memperkenalkan Riku dengan sempai (kakak kelasnya) yang tinggal di mansion (apartemen) yang sama atau tetangga, dan meminta sempai itu untuk “menjaga” Riku dan berjalan bersamanya sampai ke sekolah. Tapi sempai yang aku kenal ternyata pindah rumah, dan tidak ada waktu untuk minta tolong orang lain. Jadi aku pikir kalau perlu akan kuantar sampai tengah jalan, dan jika bertemu teman-teman satu sekolahnya, biarkan dia berjalan dengan rombongan.

Pagi itu, selasa minggu lalu, sebelum jam 8 pagi aku melihat ke jalanan bawah, dari apartemenku di  lantai 4. Waaaah ternyata banyak juga murid sekolah SD yang sama dengan Riku. Bagaimana tahunya? Meskipun mereka tidka memakai seragam. mereka memakai topi yang sama, berwarna biru muda. Hanya murid baru kelas satu yang memakai cover kuning di tas ransel mereka, bertuliskan. “Saya membawa buzzer anti kejahatan”, dan dibawahnya ada gambar sepasang murid lelaki dan perempuan yang menyeberang, “Kami mematuhi peraturan lalulintas”.

(kanan yang biru itu buzzer, dan suaranya rek kenceeeeeng banget. maksudnya keras deh hehehe)

Melihat rombongan anak-anak itu, aku pikir ini kesempatan untuk menitipkan Riku pada mereka. Jadi kami bergegas ke lantai bawah, dan kebetulan lewat dua murid lelaki di depan mansion kami. Aku langsung berkata, “Oniisan (kakak laki-laki) , bisa minta tolong, titip Riku supaya berjalan bersama ya.” Dan mereka mengangguk. Sempat kutanya mereka kelas berapa, dan jawabnya, “Kelas 3”. Ja, yoroshiku ne. Riku berjalan di belakang mereka dengan menunduk.

Aku selalu berpikir bahwa aku orang yang “tegaan”. Aku cukup keras pada Riku dan menuntut dia supaya bisa apa-apa sendiri. Tapi memang untuk urusan pergi sendiri, Riku masih belum bisa. Seberapapun aku paksa dia untuk pergi. Dan aku tidak mau paksa lebih keras karena takut jika dia malah menjadi trauma. Jadi kupandangi Riku menjauh mengikuti sempainya dengan kepala tertunduk. Kebetulan aku juga harus mengantar Kai ke penitipan, jadi kami ke tempat sepeda. Dan di situ aku merasa sedih dan terharu… aduh anakku ini apa bisa berjalan sendiri? Apa dia tidak tiba-tiba memisahkan diri dan lari pulang ke rumah kembali?

Aku putuskan untuk menyusuri jalan yang dia lalui dengan temannya itu sambil menaiki sepeda. Aku berhenti di ujung jalan yang dia lewati, hanya untuk melihat apakah dia masih bersama rombongan. Dan aku memang tidak bisa menahan air mata. Anakku sudah besar! Sudah bisa pergi sendiri, dan aku harus bersiap bahwa dia akan lebih sering memisahkan diri dari orang tuanya untuk bermain dengan teman-temannya. My baby has already grown up. He is not a baby anymore. Aku berhenti di pinggir taman depan sekolahnya. Hanya punggungnya yang terlihat dari jarak 1o meter. Entah kenapa dia menoleh ke belakang, dan melihat aku. Dan dia hanya melambai dengan melihat ke depan kembali. Huh, cool.


Sebetulnya jalan menuju ke sekolah itu sangatlah aman. Tinggal mengikuti jalan yang berambu 通学路 , dan setiap tiang listrik pasti diberi tanda hijau dengan tulisan 文 (lambang berarti sekolah). Dan setiap mau menyeberang jalan pada jam berangkat dan pulang sekolah selalu ada kakek-kakek yang berpakaian kuning, yang membantu menyeberangkan jalan dengan memakai bendera kuning. Aku selalu penasaran juga dengan kakek-kakek ini, mereka digaji siapa ya? Apakah pihak kepolisian? Sepertinya mereka adalah pensiunan yang dipekerjakan kembali. Nanti deh jika ada waktu aku akan cari tahu.

Dan pukul 11:30, Riku pulang sendiri. Menggedor pintu dan berkata, “Tadaimaaaaa (aku pulang)”. Senang sekali aku melihat dia pulang dengan ceria. Dan sambil menaruh ranselnya, dia berkata, “Aku pulang dengan Fuuka chan loh ma (teman perempuan sekelas di TK). Rupanya dia pindah di rumah baru yang depan hotel kita (Riku suka menyebut apartemen kami dnegan hotel karena bertingkat….hehehhe) ” Waaah aku kenal juga dengan ibunya, sehingga seketika aku menjadi lega. Seandainya ada apa-apa aku bisa bertanya dan minta tolong pada ibunya Fuuka chan.

Sejak itu dia bisa mencari teman siapa saja yang lewat depan rumah untuk berjalan sampai sekolah. Dan kemarin sore, pertama kalinya dia mau pergi ke toko sebelah rumah sendiri, membeli puding dan coklat. Well, sedikit demi sedikit wilayah “kekuasaan”nya meluas dan mungkin sebentar lagi aku harus menanamkan chip GPS di bawah kulitnya untuk tahu dia ada di mana, seperti yang pernah aku tulis di “Jangan Beri Anak Anda HP“. (Semoga aku jangan jadi parno ahhh)

Tapi untuk kunci aku belum memberikannya, dan hari jumat kemarin aku minta tolong Akemi san untuk datang ke rumah dan menemani dia sampai aku pulang. Jumat minggu ini? Gimana baiknya ya? Siapa mau volunter jaga Riku di rumah saya? Dikasih uang arbaito dan makan, tapi transport tidak ditanggung hehehhe (mahal euy kalo pesawat JAL)

Roti Sebagai Sumber Ide

5 Apr

Tanggal 4 April kemarin merupakan hari Anpan, yaitu roti yang berisi an, selai yang terbuat dari kacang merah. Roti ini pertama kali dibuat tanggal 4 April tahun 1875 oleh perusahaan roti Kimuraya, dan disajikan pada Kaisar Meiji. Roti ini merupakan roti khas Jepang, yang mengambil contoh dari Manju, kue tradisional Jepang seperti bakpau isi kacang hijau tapi kecil ukurannya. Dengan modifikasi roti berisi an atau selai kacang merah ini, Anpan dapat diterima masyarakat jepang. Selain berisi selai kacang merah, ada yang berisi selai wijen, ogura, selai kacang merah diberi keringan bunga sakura, rasa melon dan lain-lain. Pokoknya semua rasa yang cocok di mulut orang Jepang dicoba menjadi isi roti.

Kai beserta Anpanman and friends

Dan saya terkagum-kagum bahwa ternyata roti An, atau Anpan ini bisa menjadi sumber ide bagi  penciptaan karakter ANPANMAN. Memang orang Jepang pintar menciptakan karakter-karakter dari sesuatu yang ada di keseharian kita. Seperti crayon atau kacang babi yang sudah saya bahas di tulisan Story of Black Crayon dan Tempat tidur si Kacang Babi. Saya tidak tahu apakah komik Anpanman ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau belum, tapi mari kita lihat tokoh-tokoh dalam cerita Anpanman ini.

Tokoh utama tentu saja si Anpanman “Manusia Anpan” yang bermuka tembem dengan dua pipi merah, berkostum merah kuning dan memakai mantel untuk terbang berwarna coklat. Dia adalah si pembela kebenaran, Seigi no mikata, ciptaan Paman Selai (Jam Ojisan). Jam Ojisan ini membuat roti di pabrik rotinya dibantu oleh Batako san (asal kata =Butter) dan mempunyai anjing bernama Chizu (asal kata = Cheese).

Anpanman selalu menolong siapapun yang kesusahan dan terutama kesusahan itu diakibatkan kelakuan buruk Baikinman (asal kata = Baikin = bakteri yang merusak). Terkadang pula akibat keusilan Dokinchan (Bakteri perempuan yang menyukai Shokupanman, shokupan adalah roti tawar). Teman-teman Anpanman di antaranya adalah Karepanman (roti kare), Meronbannachan (roti Melon), Rorubanna (roll bread), Kurimubanda (roti krim).

Karakter Anpanman ciptaan Yanase Takashi ini pertama kali muncul tahun 1969. Tapi baru tahun 1975, muncul  sebagai cerita bergambar (picture book) berseri dengan judul “Soreike Anpanman”. Karakter ini cepat merebut hati anak-anak seluruh Jepang (juga hati Kai sekarang), sehingga dijadikan film dan anime. Karena karakter yang muncul dalam cerita ini amat beragam (dan kebanyakan berhubungan dengan makanan) maka sampai dengan tahun 2009 saja, dari seluruh cerita yang terbit karakternya sudah berjumlah lebih dari 1500 karakter (bahkan sampai 2000 jenis jika perubahan transfom juga dihitung) . Katanya sampai si penciptanya sudah lupa jumlah sebenarnya berapa …hehehe. Dan setiap tanggal 6 Februari, hari ulang tahun si pencipta Yanase Takashi( 6 Februari 1919 – 13 Oktober 2013), diperingati juga sebagai hari ulang tahun Anpanman.

Hebat ya roti sebagai sumber ide… Kalau saya sih roti memang sebagai sumber ide untuk …MAKAN hehhehe. Padahal bagi Jepang, roti juga merupakan kebudayaan serapan dari luar negeri, sama juga halnya dengan Indonesia. Tapi kenapa orang Indonesia kurang ide untuk menciptakan karakter dari sekeliling kita ya? Kalau di Jepang ada Anpanman, mungkin di Indonesia bisa ada Roti Bakso, Roti Abon, Roti Coklat, Roti Sarikaya atau Roti Gambang (pernah dibahas Mas trainer juga) yang katanya khas Indonesia ? (Roti Bagelen tuh asli Indonesia ngga ya?)

roti abon

roti gambang

Atau bisa saja dari kue-kue jajanan pasar kan? Semisal Kue Ku, Kelepon, Cenil dll … Uuuh jadi lapar deh…

 

Anak Kunci

4 Apr

Hari Kamis dan Jumat, tanggal 2 dan 3 April, benar-benar hari untuk Riku. Kamisnya aku titip Kai di Himawari dari jam 10. Sebetulnya rencananya jam 9, tapi karena begitu banyak yang aku harus persiapkan jadi terlambat. Foto copy Asuransi Kesehatan, isi formulir pertanyaan mengenai kehidupan sehari-hari, membuat daftar jenis vaksin apa saja yang sudah dan belum diterima, Surat Ijin membawa ke RS seandainya sakit atau kecelakaan, Catatan Nama dan Nomor telepon emergency dll. Belum lagi semua baju, apron, lap mulut, handuk kecil, alas tidur dan selimut handuk harus diberi nama satu-per-satu…. wahhh bener-bener kerjaan deh. repot….

Karena sudah lama tidak dititipkan, Kai menangis waktu kami tinggalkan di penitipan. Aku sering membayangkan pikiran Kai atau Riku dulu, setiap aku tinggalkan di penitipan. Pasti mereka berkata dalam hatinya, “Mama, aku mau sama mama terus, kenapa tinggalkan aku di sini. Guru-guru di sini galak-galak. Aku harus makan semua yang dikasih, padahal aku tidak suka. Aku harus tidur waktu semua tidur, padahal aku tidak ngantuk…” Dan dengan rasa bersalah aku berjalan, dan membatin… maaf ya nak. Mama juga bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk bekerja.

Aku dan Riku naik kereta menuju ke Seibu Department Store di Ikebukuro. Tujuannya? Mencari celana pasangan Jasnya Riku. Karena sesungguh aku dulu sudah membeli setelan jas untuk Riku, tapi celananya tidak muat. Gara-gara… ndut hihihi. (aduh Nak, kalau kamu baca nanti kalau dewasa jangan marah ya hihihi). Cari celananya aja, dengan warna yang bisa masuk ke Jaketnya. Masuk keluar toko, tapi memang yang terbanyak baju-baju formal untuk anak perempuan. Duh kalau punya anak perempuan, aku bisa bayangin deh berapa uang harus dikeluarkan untuk mendandani anaknya. Pilihan untuk anak laki-laki amat sedikit. Mau cari di Polo Ralph Lauren, semua jasnya bahan wool, jadi terlalu panas untuk musim sekarang. Akhirnya masuk ke toko Perancis deh, “comme ca du mode”. (to tell the truth, aku sebenarnya tidak begitu suka Perancis, entah kenapa)

Gadis pelayan yang melayani kita amat ramah dan cantik. Dia sabar sekali mencarikan segala alternatif dan dengan mulut manis seorang penjual, berhasil mendandani Riku dari atas sampai bawah. Padahal Rikunya sudah sebel, ngomel terus karena dia maunya pergi ke tempat mainan. Susah deh anak laki! Didandani ngga mau. Sampai aku marah dan bilang, “Ya sudah Riku, kalau Riku tidak mau tampil keren, ngga papa. Mama ngga usah buang uang beli baju untuk kamu. Kamu pake pajama aja ke sekolah ya. Semua teman-teman kamu pakai Jas, keren-keren. Mama ngga mau tahu lagi. Silakan pergi sendiri sama papa. Diurusin ngga mau…huh….” Kalau aku sudah bicara gini, dia cuma bisa nangis aja deh…  Emang sifatnya anak laki kayak gitu ya?

Jadi hari kamis itu berakhir dengan belanja dan kencan makan di Mac Donald, es krim dan pulang bersama Kai dengan badan letih. Hari Jumatnya jam 9 aku titip Kai, tapi kali ini kami berdua tidak pergi ke mal, malah berbelanja sayur dan keperluan rumah tangga. Nah, pada saat aku pergi ke sebuah toko kelontong dekat rumah itulah aku teringat tentang KUNCI.

Riku memegang-megang kunci dengan lapisan plastik bergambar karakter disney. Memang toko itu juga bisa membuat kunci duplikat atau bahasa Jepangnya Aikagi. Aku teringat untuk membuatkan Riku duplikat kunci rumah, sehingga dia bisa masuk ke dalam rumah kalau-kalau aku tidak ada di rumah. Yang pasti setidaknya untuk semester ini setiap hari Jumat, dia harus menunggu aku di rumah sampai aku pulang mengajar. Waktu di TK, ada kelas tambahan sampai dengan jam 5 tapi di SD tidak ada. Kalau mau aku harus mendaftar ke tempat belajar anak-anak SD selepas sekolah. Tempat ini namanya Gakudo. Tapi aku tidak bisa mendaftar ke situ karena waktu kerja aku di luar rumah tidak sampai 5 hari seminggu. Repot deh. Sehingga memberikan kunci adalah jalan satu-satunya, selain menitipkan /menyuruh dia pergi ke rumah teman (which is rather difficult, karena dia tidak punya teman akrab).

Anak Sekolah Dasar yang membawa kunci sendiri ini disebut dengan Kagikko atau diterjemahkan Anak Kunci. Bukan anak kunci sebagai pasangan lubang kunci, tapi benar-benar anak yang membawa kunci. Aku ingat dulu, 20 tahun yang lalu, waktu belajar kebudayaan dan masyarakat Jepang aku pernah membaca soal ini. Dalam ilustrasinya digambarkan anak SD yang berkalungkan kunci.

Fenomena Anak Kunci ini timbul sekitar tahun 1960, waktu Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sampai tahun 1968, pemerintah merasa perlu mengadakan “Penelitian kondisi dan strategi penanggulangan Kagikko” . Dalam survey yang dilakukan terhadap ibu-ibu yang bekerja ini didapatkan hasil bahwa, ibu-ibu yang “tidak mengalami kesulitan keuangan tapi menginginkan tambahan pemasukan” sebanyak 49,2%. Sedangkan ibu-ibu yang “Jika tidak bekerja maka keluarga akan mengalami kesulitan ekonomi” sebanyak 28,4%. Dengan demikian diketahui bahwa timbulnya Kagikko ini karena wanita perlu keluar rumah dan bekerja demi memenuhi standar kehidupan yang tinggi akibat kemajuan perekonomian Jepang. Selain alasan ibu yang bekerja ini, alasan lain adalah bertambahnya keluarga Kakukazoku (Keluarga Inti) yang kakek-neneknya tidak tinggal bersama-sama (jadi tidak bisa dititipkan).

Mulai tahun 1963, untuk mengatasi kesendirian anak-anak kagikko ini, didirikanlah Gakudo Hoiku (semacam penitipan) dan perpanjangan penggunaan halaman sekolah untuk bermain. Dan mulai tahun 1975, banyak timbul Bimbingan Belajar (Gakushu Juku) yang kemudian menjadi semacam tempat “menaruh” anak-anak ini saja.

Jumlah anak-anak sekarang semakin sedikit, sehingga tentu saja jumlah kagikko ini menurun. Tetapi jika diteliti lebih lanjut, pada survey (5 tahun yang lalu) terhadap anak berusia di bawah 18 tahun dan kedua orang tuanya bekerja, jumlahnya mencapai angka 54,7%. Jadi jumlah kagikko ini sebenarnya semakin banyak dengan alasan kemungkinan  lebih banyak lagi wanita yang bekerja merubah statusnya dari partimer menjadi full timer. Kondisi kagikko seperti di Jepang tidak akan terjadi di Amerika, karena orangtua kagikko atau orangtua yang membiarkan anak-anak untuk tinggal di rumah sendirian akan dituduh “neglect -mengabaikan” dan bisa dituntut. (sumber wiki jepang)

Kagikko tidak akan terjadi di Indonesia. Mungkin. Paling sedikit ada asisten (pembantu rumah tangga) yang menunggui rumah. Atau jika tidak ada sama sekali, anak-anak bisa menunggu di rumah tetangganya. Sedangkan di Jepang, tidak bisa. Tidak ada pembantu, dan hubungan dengan tetangga tidak begitu erat seperti di Indonesia, atau tetangga itupun mempunyai masalah yang sama, rumah kosong! Problem kota besar! Dan memang aku juga tidak mau sebetulnya Riku menjadi kagikko, tetapi untuk saat ini kelihatannya menyerahkan anak kunci pada Riku akan lebih praktis.  Paling tidak untuk seminggu sekali.