Yuki dan Mochi

10 Des

Yuki adalah bahasa Jepang untuk Salju, sedangkan mochi tentu sudah banyak orang Indonesia yang tahu, yaitu kue yang terbuat dari beras ketan, yang kalau di Indonesia sering berisi kacang dan berlapis “bedak”. Kalau berbicara tentang Yuki dan Mochi, biasanya aku teringat pada produk LOTTE yang bernama Yuki Daifuku. Daifuku adalah mochi yang berisi sesuatu, bisa pasta dari kacang merah, atau stroberi dan lain-lain. Penampakannya seperti ini.

Dua hari ini, Jumat dan Sabtu, kami mengalami keduanya. Salju dan Mochi.

Sebagai bagian dari kurikulum TK nya Kai, tanggal 9 kemarin seharusnya kami mengikuti acara MOCHITSUKI (Membuat mochi dengan cara menumbuk beras ketan panas-panas, sampai halus dan bisa dibentuk menjadi kue mochi). Ini merupakan kegiatan tradisi TK ini yang selalu diadakan bulan Desember, sebelum libur Musim Dingin. Tapi, kenyataannya kemarin kami tidak bisa mengadakan acara itu karena hujan.

Ya, waktu aku bangun ternyata hujan dan aku menunggu telepon berantai yang menyatakan bahwa acara dibatalkan. Jika hujan memang pasti dibatalkan, tapi untuk kepastiannya akan ada pemberitahuan lewat telepon sekitar pukul 7 pagi. Setelah menerima telepon pemberitahuan dan meneruskan kepada orang tua yang lain, aku mempersiapkan bento (bekal makanan) untuk Kai. Karena aku kerja hari Jumat, aku telah minta pada Gen untuk ambil libur dan menemani Kai selama acara. Aku tidak bisa membatalkan kelas, karena sudah mendekati ujian akhir. Sambil mempersiapkan bento, aku melihat ke luar jendela, TERNYATA hujan berubah menjadi salju. Saljunya memang langsung mencair begitu menyentuh tanah, tapi tetap salju…..

WAH! Salju di awal Desember adalah hal yang aneh sekali. Belum pernah terjadi. Sudah bisa dipastikan transportasi akan terganggu. Jadi aku minta Gen untuk mengantarku ke stasiun setelah mengantar Kai dengan mobil. Benar saja, di halte bus kulihat banyak orang sudah menunggu bus yang tak kunjung datang. Mereka yang biasanya naik sepeda, pada hari hujan/salju akan menggunakan jasa bus. Aku bersyukur sekali Gen mengantarku sampai stasiun, sehingga aku malahan lebih cepat sampai di universitas daripada biasanya. Dan tentu saja Kai senang sekali diantar-jemput oleh papanya.

Memang sudah diberitahukan oleh pihak TK, bahwa jika Jumat hujan, maka acara akan digeser ke hari Sabtu. Orang Jepang memang selalu penuh perhitungan. Selalu ada simulasi, jika hujan bagaimana…. bahkan mereka juga berpikir sampai jika Sabtu hujan bagaimana. Jadi sering kami mendapat pemberitahuan pengadaan acara dengan dua alternatif tanggal pengganti jika hujan/badai/hal darurat lainnya.

Jadi Sabtu pagi ini aku bersama Kai (papanya ngantor, Riku tinggal di rumah) menghadiri acara Mochitsuki di TK nya Kai. Cuaca cerah hangat, sehingga aku tidak perlu memakai jaket tebal. Bersepeda ke TK, cukup sulit mencari tempat parkir sepeda, karena cuaca cerah menyebabkan satu keluarga datang! Satu anak paling sedikit 2 orang…bisa dibayangkan penuhnya deh.

Tapi acara pembuatan mochi ini dilaksanakan di luar, di halaman sekolah. Ada dua usu 臼 atau lumpang kayu dan sebuah penanak nasi tradisional untuk memasak nasi ketan. Setiap kelas (ada 9 kelas) mendapat 8 kg nasi ketan. Setelah ditaruh dalam lumpang, tiga bapak orang tua murid memukul/menumbuk nasi ketan dalam lumpang dengan palu khusus, sampai halus.

lumpang berisi nasi ketan yang sudah mulai halus

Tentu saja di tengah acara penumbukan nasi ketan itu diberi waktu untuk membuat acara potret bersama, guru, murid dan orang tua murid. TK ini bekerjasama dengan satu foto studio yang mengabadikan acara-acara TK sepanjang tahun. Nanti ada kesempatan orang tua murid untuk memesan dan membeli foto-foto kenangan tersebut. Tentu saja agak mahal dibanding dengan memotret sendiri, tapi memang bagus hasilnya. Untung aku sempat minta tolong mamatomo (mama temannya Kai) untuk mengambilkan fotoku. Jadi bisa aku pasang di sini. 😀 (Tak lupa harus diblur wajah orang yang lain ya)

Anak-anak diberi kesempatan memegang palu pemukul mochi

Aku senang dengan kegiatan ini, karena banyak anak-anak tidak tahu bagaimana mochi itu dibuat, apalagi secara tradisional. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya itu, siapa lagi dong. Nah, setelah mochi itu halus, ditaruh di dalam panci besar dan dibawa ke kelas masing-masing. Di kelas ibu-ibu yang bertugas membuat kue mochi bulat dengan 4 rasa. Pasta kacang merah, saus mitarashi yang asin, kecap asin dengan nori, dan bertabur bubuk kedelai. Karena buatan sendiri dan cepat-cepat tentu bentuknya tidak bagus, tapi rasanya enak, karena langsung dimakan saat itu juga. Mochi kalau tunggu terlalu lama menjadi kering dan kurang enak. Aku sampai lupa mengambil foto hasil jadinya, karena tidak begitu bagus dipandang hehehe. Ternyata 8 kg itu cukup banyak sehingga semua bisa makan, dan aku bawa pulang bagianku untuk Riku.

Untuk tahun ini, kegiatan mochitsuki adalah kegiatan TK terakhir, karena mereka akan libur musim dingin dari tanggal 22 Desember sampai 9 Januari.

Kamon

9 Des

Setiap pagi aku mengambil koran dari selipan pintu apartemen kami. Kalau hujan koran itu pasti dimasukkan plastik. Dan kemarin aku langsung menggunting plastik itu dan mengeluarkan selebaran pamflet-pamflet promosi yang pernah aku tulis di Sepuluh Pagi.  Nah kali ini mataku tertaut pada sebuah selebaran yang menarik menurutku.

Selebaran tentang rumah masa depan.... Laaah rumah masa sekarang saja belum punya 😀

Selebaran itu adalah promosi rumah masa depan! Letaknya cukup dekat apartemenku. Seluas 0,56m persegi harganya CUMA 2.478.000 yen. Itu sudah termasuk ongkos pemakaian abadi, biaya pembangunan, batu nisan dan biaya pahatan tulisan + pajak. Ya…pamflet yang menawarkan kuburan/makam. Harganya bisa semahal itu karena terletak di pusat kota. Kalau mau cari yang murah harus cari di pinggir kota, atau kalau perlu ke daerah sekalian. Dan di tempat ini tertulis shukyou jiyu (agamanya bebas). Memang dulu orang Jepang pasti maunya dimakamkan di kuil Buddha, dan berarti dengan cara Buddha. Tapi orang Jepang modern sudah lebih bebas menentukan agama apa yang dipilih atau tanpa agama sekalian. Karena itu biasanya mereka membeli makam di pemakaman swasta yang tidak mempersoalkan agama. Biasanya yang membeli kuburan sendiri adalah anak ke dua dan ke tiga (dst) karena anak laki-laki pertama (dan keluarganya)  akan dikubur di makam keluarga yang turun temurun.

Nah yang menarik dari selebaran itu bukan promo makamnya tapi halaman belakangnya. Di situ tertulis : “Apakah Anda tahu KAMON keluarga Anda?

gambar-gambar simbol di belakang pamflet yang sama : Kamon

Bukan kemon yang sering diucapkan oleh Riku dari bahasa Inggris Come ON. Tapi Kamon 家紋 dalam bahasa Jepang yang berarti lambang keluarga. Sejak dulu keluarga tertentu memakai Kamon sebagai lambang garis keturunan, garis darah atau hubungan keluarga, bahkan status. Pada jaman Heian (th 794 – 1185), kaum bangsawan memakai lambang keluarga ini pada kegiatan sehari-hari seperti  baju, kuda, surat-menyurat, yang dilanjutkan secara turun temurun, dan ini dapat dikatakan merupakan awal mulanya kamon. Pada jaman setelah itu yaitu jaman Kamakura (1185 – 1333), kaum samurai menyebarkan pemakaian lambang ini untuk memperjelas perbedaan keluarga yang berpihak pada samurai atau yang merupakan musuh.

Pada jaman sekarang, lambang ini bisa dilihat pada kimono hitam di bagian leher belakang, atau pada makam keluarga yang dipahat di batu nisannya. Tapi memang keberadaannya mulai berkurang, bahkan banyak anak muda sekarang yang tidak mengetahui kamon atau simbol keluarganya. Memang kesannya feodal sekali, tapi rasanya kalau kita lebih melihat itu sebagai bentuk budaya, kita bisa terus melestarikan keberadaannya, bukan?

Nah, sambil mengumpulkan bahan untuk tulisan ini, aku langsung menghubungi ibu mertuaku untuk menanyakan lambang keluarga deMiyashita. Karena aku memang pernah melihatnya di kimono yang dipakai ibu mertuaku itu, dalam perayaan perkawinanku. Dan inilah lambang keluarga kami.

Kamon keluarga kami : Migimitsu Tomoe 右三つ巴. Baru sadar bahwa lambang ini sering digambarkan juga di Taiko (gendang Jepang)

Memang Jepang mempunyai banyak lambang-lambang. Aku tidak tahu apakah keluarga bangsawan Indonesia punya lambang-lambang tertentu. Yang aku tahu paling kesultanan Hamengkubuwono dan Pakubuwono punya lambang kerajaannya. Tapi selain itu aku tidak tahu, mungkin teman-teman ada yang tahu?

My Bookshelves – Bunkobon

27 Nov

Aku tidak begitu suka menulis review, ulasan buku yang sudah kubaca. Karena kupikir buku itu seharusnya semuanya bagus, tergantung dari kesukaan kita pada suatu topik. Seperti yang pernah kutulis, aku tidak suka membaca Harry Potter, tapi itu alasannya  karena aku tidak begitu suka fiksi yang terlalu melampaui batas pemikiran manusia. Tapi aku menonton filmnya loh (menemani Kai yang sangat suka menonton Harpot, Riku sedapat mungkin tidak mau menonton karena takut hehehe). Selain itu, aku tidak suka membaca buku yang berbau filsafat, kecuali jika itu merupakan tugas dari dosen. Ya, jika tugas kuliah tentu saja harus dibaca, kan? suka tidak suka.

Bunkobon yang sebelah kanan dibandingkan dengan buku biasa di sebelah kiri(kebetulan hard cover)

Dalam beberapa posting hari ini dan mendatang, aku ingin memperkenalkan buku-buku yang ada di dalam rak bukuku. Mungkin ini sedikit narsis, karena seakan memamerkan “harta”ku, tapi sekaligus ingin memperkenalkan sedikit cerita tentang buku, penulis, penerbitan di Jepang.

Bunkobon dengan cover sederhana + cover pelindung yang bergambar + obi (ban buku)

Di Jepang ada buku yang disebut sebagai bunkobon 文庫本. Semua bunkobon berukuran sama yaitu A6, 105mm×148mm. Dipelopori oleh penerbit Iwanami Bunko, bagian dari sebuah penerbit Iwanami Shoten, termasuk penerbit lama di Jepang (berdiri th 1913). Iwanami Bunko menerbitkan buku-buku dengan ukuran sama A6 ini untuk mempopulerkan buku klasik yang pernah diterbitkan dengan harga murah kepada masyarakat umum pada tahun 1927.  Tapi sesudah perang (1945) beberapa penerbit juga meramaikan penerbitan  bunkobon ini.  Buku bunkobon ini bisa disebut sama dengan paperback dalam bahasa Inggris (ukurannya sedikit lain), tapi bunkobon ini mempunyai cover pelindung tambahan yang tidak terdapat dalam paperback di negara lain.

Pencetakan cover disesuaikan dengan membuat ruang untuk meletakkkan obi (supaya tidak tertutup obi)

Ada satu lagi kebiasaan dalam penerbitan buku di Jepang yaitu “ban buku” hon no obi 本の帯 (obi sebenarnya artinya ikat pinggang – stagen yang dipasang di pinggang), yang dipasang diatas cover pelindung buku. Dalam obi ini dituliskan pesan sponsor, kata-kata memikat untuk memilih buku itu. Atau bisa juga berupa promosi dari film yang berkaitan dengan buku tersebut (seperti pamflet/flyer kecil). Atau obi tersebut bisa diberi warna, sesuai dengan kategori bukunya. Misalnya warna kuning adalah kategori sastra Jepang kuno, warna biru kategori science/pemikiran, warna hijau sastra Jepang, warna pink sastra luar negeri, dan warna putih social science.

Ada beberapa buku bunkobon baru dari Iwanami Bunko tanpa obi, tapi langsung dicetak langsung di cover dengan warna berbeda.

Keberadaan bunkobon ini juga yang membuat rak buku di Jepang bisa terlihat teratur. Besarnya sama, dan bisa dibuat lemari khusus yang kedalamannya tidak perlu terlalu dalam (16 cm).  Juga jarak antara papan juga sudah pasti. Tentu saja kalau semua bukunya bunkobon. Selain bunkobon, masih ada ukuran-ukuran lain misalnya dari buku-buku hardcover. Yang paling menyebalkan menyusun buku picture book karena besarnya tidak sama , kecuali dalam satu seri yang sama.

bunkobon dalam rak buku koleksi suamiku. Eeeh ada kaleng indomilk tuh, dia suka banget sih ngumpulin barang-barang Indonesia 😀

Bagaimana teman-teman mengatur buku-buku di rak buku? Apakah susunan buku dalam rak berdasarkan besar/kecil atau berdasarkan nama pengarang/kategori? Atau… tidak diatur? hehehe.

Rahasia Arrietty

23 Nov

Meskipun aku bukan fans film, aku penyuka film-film dari Studio Ghibli, pembuat film animasi. Tapi di blog  TE ini aku baru menulis tentang Ponyo. Padahal banyak sekali yang aku suka loh, seperti Totoro Howl dan Majo no Takkyubin (Kiki Delivery Service).

Akhir pekan lalu kami meminjam DVD yang berjudul Karigurashi no Arrietty, yang kalau diterjemahkan menjadi The Borrower Arrietty atau The Secret World of Arrietty. Ini merupakan film terbaru dari Ghibli, yang diputar di bioskop musim panas tahun 2010 lalu.

poster film Ghibli: Karigurashi no Arrietty

Film ini dibuat berdasarkan novel dari Mary Norton yang berjudul “The Borrower” yang mendapatkan Carnegie Medal tahun 1953.  Rupanya Miyazaki Hayao memendam obsesi untuk membuat film animasi ini selama 40 tahun, dan akhirnya bisa selesai tahun lalu. Seperti Ponyo, warna-warna yang dipakai dalam film ini memang kaya dan penuh detil-detil yang mengagumkan untuk film animasi. Jika ada kesempatan menonton, coba perhatikan tetes hujan yang begitu real. Cuma aku merasa karakter manusia yang keluar dalam film-film Ghibli ini hampir sama semua mukanya. Ya memang sulit untuk menciptakan perbedaan yang mencolok dalam wajah wanita dan pria dalam film animasi. Yang pasti mata mereka besar dan bagus, seperti idaman semua orang Jepang untuk memiliki mata yang besar dan bagus.

Cerita dimulai dengan kedatangan pemuda Sho ke rumah tante ibunya (selanjutnya aku sebut Sadako) . Kabarnya setting rumah ini di Koganei, daerah barat Tokyo, yang cukup dekat dengan rumahku. Sho menderita penyakit jantung bawaan dan akan dioperasi. Orangtuanya sudah bercerai, dan ibunya adalah seorang diplomat yang sering pergi ke luar negeri. Bagi Sho, hubungan keluarga sangat tipis dan dia merasa dia akan mati dalam operasi nantinya. Waktu Sho datang, dia melihat kucingnya mengejar sesuatu, dan dia merasa seperti melihat seorang  “mini” yang mungkin hanya setinggi 10 cm. Sho sering mendengar dari ibunya bahwa di rumah itu, rumah tempat ibunya dibesarkan, terdapat manusia kecil seperti liliput.

Arrietty tinggal di bawah lantai rumah nenek Sadako, bersama ibu dan bapaknya. Ibunya bernama Homily dan bapaknya bernama Tod. Waktu Sho datang, Arrietty sedang mencari dedaunan dan bunga untuk ibunya. Mereka adalah “borrower” karigurashi, yang “meminjam” barang-barang dan makanan dari manusia untuk bertahan hidup. Padahal menurut manusia, mereka adalah “pengambil” titik. Nah malam itu Arrietty ikut dengan bapaknya untuk “berburu” makanan dan barang. Homily minta mereka mengambilkan gula cube dan tissue. Bagi seorang liliput yang hanya setinggi 10 cm, perjalanan mengambil barang-barang itu merupakan petualangan yang berbahaya. Kecoak menjadi binatang yang berbahaya buat mereka.

Setelah berhasil mengambil gula cube,  mereka mengambil tissue yang berada di atas meja sebelah tempat tidur Sho. Sho terbangun dan melihat Arrietty. Mereka bertatapan, dan Arrietty menjatuhkan gula waktu melarikan diri bersama bapaknya. Ya, keberadaan mereka tidak boleh diketahui manusia. Begitu ada manusia yang tahu, mereka harus pindah rumah. Padahal Sho hanya ingin berteman dengan Arrietty dan membuktikan cerita ibunya tentang liliput ini. Sho juga iri pada Arrietty yang tinggal bersama kedua orang tuanya.

Tetapi di rumah itu selain Sadako, tinggal juga seorang pembantu bernama Haru, yang ingin sekali menangkap liliput ini. Dia berhasil menangkap Homily dan memanggil “pasukan” pembasmi tikus. Sho membantu Arrietty membebaskan ibunya yang ditaruh dalam stoples dalam gudang.

Perpisahan Sho dan Arrietty mengharukan tapi menjadikan titik awal kehidupan mereka yang baru. Sho bersemangat untuk sembuh, sedangkan Arrietty bersama keluarganya pindah ke tempat yang baru. Durasi film ini 94 menit, tapi dari segi isi cerita aku merasa ada yang kurang, terasa biasa saja. Tapi tentu saja aku menikmati gambar dan warna yang bagus, bagaikan di surga (ntah surga seperti itu atau bukan hehehe). Silakan menilai sendiri film ini jika ada kesempatan untuk menontonnya.

Kamar Arrietty yang berada di bawah lantai rumah manusia. Warnanya keren kan...

4L4Y di J3P4N9

12 Nov

Hmmm jangan-jangan aku tulis judul seperti itu lalu tidak ada sahabat blogger yang mau membaca postingan ini. Mungkin ada yang bilang, “Itu si Imelda pasti lagi rada-rada”…hehehe.

Aku sudah pernah menulis tentang tulisan yang disingkat-singkat di posting yang ini. Dalam tulisan itu aku memberikan informasi tentang penyingkatan bahasa Jepang. Karena satu kanji bahasa Jepang sudah memiliki arti, maka seandainyapun dipakai hanya satu kanji saja, kita masih bisa tetap mengerti arah pembicaraan. (Untuk lengkapnya silakan baca postingan itu).

Memang yang menjadi masalah dalam tulisan aku itu adalah singkatan atau penulisan yang memakai campuran huruf dan angka. Nah waktu itu memang belum ada istilah ALAY, jadi kami yang merasa sebal dengan penulisan campur-campur seperti itu hanya bisa ngedumel saja.

Baru-baru ini aku mendapat komentar dari Nila seperti ini:

hehe..info mba Imelda keren, komen2nya apalagi..seruuu..tp saya salah seorang pengguna singkatan. terutama memang ‘krn’ (ini satu contoh) suka merasa capek kalo (ini lagi) harus berlengkap2 mengetik kalimat (di hp atau laptop). ‘tp’ (yaaahhh..ini juga) saya sering menyingkat hanya pada kata2 ‘yg’ (terus aja…’lg’) umum disingkat orang. seperti ‘tp’, ‘yg’, ‘utk’, ‘jg’, ‘ga’, ‘dlm’, atau ‘btw’, ‘thx’ dan…’bbrp’ kata lain.tp suer, ga bermaksud melecehkan b.indonesia 🙂
tp saya setuju bahwa penggunaan kata2 yg disingkat dlm satu kalimat itu membingungkan, apalagi dicampur angka & huruf besar/kecil. aaaarrggghhh…jg…!krn saya mengalami sendiri waktu baca sms dari adik saya yg beda usia 8 th.terus terang mba, baca tulisan ini saya jd inget tulisan mba yg judulnya “kapan kamu merasa tua?”. saya udh dapat jawabnya: waktu kesulitan baca sms dari adik saya!
tp saya pernah baca bahwa trend menyingkat dan menggunakan bahasa sok imut ini adalah salah satu tren anak2 al4y yg lagi ‘in’ di indonesia skrg ini. OMG..

Tepat sekali apa yang dikatakan Nila bahwa trend penulisan campur atau ALAY ini memperjelas perbedaan usia dan merupakan “mode” kaum muda di Indonesia. Dan sebetulnya tidak hanya di Indonesia saja, setiap lapisan/kelompok “remaja” setiap negara, pasti mempunyai “bahasa”nya sendiri yang ingin sekali membedakan dirinya dengan masyarakat biasa. Rasanya mereka akan senang jika bisa berkomunikasi antar remaja yang isinya TIDAK diketahui orang lain. Rahasia-rahasiaan deh. Dulu jaman aku muda juga ada bahasa slang yang menggunakan partikel “ok” di tengah kata, seperti bokap, nyokap dsb. Sekarang ada bahasa alay. Yang lucunya remaja INGIN dimengerti kaum dewasa tapi dirinya sendiri MENJAUHKAN diri dari kebiasaan umum.

Nah kali ini aku mau menyinggung sedikit tentang bahasa alay di Jepang. Agak sulit menjelaskannya karena berhubungan dengan penulisan kanji, Jika tidak bisa menulis/membaca kanji pasti akan sulit mengerti.

Bahasa yang setara dengan bahasa alay Indonesia di Jepang dinamakan GYARU MOJI (ギャル文字)gyaru adalah pengucapan girl-nya bahasa Inggris yang artinya tentu cewe muda (dalam hal ini siswa SMP-SMA). Moji = huruf. Nah gyaru moji ini memang berkembang sejajar dengan perkembangan kecanggihan telepon genggam di Jepang.

Penulisan sms atau email di HP Indonesia tidak bisa memakai emoticon. Maksudnya langsung keluar gambarnya seperti di fungsi chat (atau blog), sehingga memakai kode saja, semisal : D (untuk nyengir) : ) (untuk senyum) dll. tapi di HP Jepang kami dapat langsung memilih “emoticon” yang tepat. Dulu setiap perusahaan (provider) HP mempunyai gambar tersendiri yang hanya bisa terbaca oleh perusahaan (provider)  yang sama, tapi sekarang sudah bisa dibaca di semua perusahaan (provider). Deretan gambar-gambar itu amat banyak dan memang dapat menyingkat penulisan huruf selain menjadi hiasan sms/email.

sedikit contoh emoticon dalam HP bahasa Jepang

Tapi tetap saja untuk penulisan kata-kata yang tidak ada emoticonnya, kami harus menulis lengkap misalnya ohayo おはよう。 Tapi sekarang para remaja ini mengganti huruf-huruf hiragana dengan simbol-simbol lain.

おはよう     (hiragana) ぉレ£ょ  (katakana)   ォ八∋

こんにちは  (hiragana)  こωL=ちレ£  (katakana)  ⊃冫二千ハ

おやすみ (hiragana)        ぉゃ§α   (katakana)       才ャス彡

Jika menerima email semacam itu pastilah kami-kami akan menganggap itu mojibake (文字化け) atau kesalahan pengubahan huruf/kanji. Tapi ternyata di kalangan remaja sekarang sudah ada “kamus”nya sendiri untuk merubah masing-masing tulisan hiragana dengan kode-kode atau simbol-simbol yang sebetulnya jaraaaaang sekali dipakai. Yang pastinya jika kita mau mengikuti trend anak muda tersebut, kita pasti butuh waktu 5 kali atau 10 kali lebih lama daripada menulis dengan huruf biasa. Ya sama deh seperti jika kita mau menulis dengan bahasa alay di Indonesia. Tapi yang penting buat mereka kan justru gaya/mode dan cap modern/tidak ketinggalan jaman. Dan bahasa-bahasa seperti ini biasanya tidak akan bertahan lama, sampai ada kode-kode yang lebih baru lagi yang bisa menggeser bahasa anak muda yang ada sekarang. Kita tunggu saja ya bagaimana 10 tahun mendatang.

Coba saja klik link di bawah dan Anda akan bisa mengubah kalimat bahasa Jepang yang benar menjadi gyaru moji

Bagi yang mau coba menulis gyaru moji bisa loh sebetulnya tulis kalimat yang benar dan masukkan ke dalam “mesin pengubah” menjadi gyaru moji di link ini. Silakan coba sendiri ya (aku sih malas hihihi)

 


Dongeng

26 Okt

Seperti yang teman-teman ketahui, aku mengajar bahasa Indonesia di universitas, kepada mahasiswa Jepang. Untuk kelas “Elementary” biasanya selama satu tahun, aku mengajar memakai buku buatanku sendiri, yang memang sudah lama sekali aku pakai, karena sudah nyaman dengan urutan-urutan pengajarannya. Nah, untuk kelas menengah, aku memakai banyak media sebagai bahan pelajaran. Kadang lirik lagu, film, komik, atau surat kabar kupakai sebagai bahan pelajaran. Semester kemarin aku pakai satu cerita awal dari komik Hattori Ninja versi bahasa Indonesia. Asyik juga bisa membaca dan berbagi beragam fenomena dalam satu cerita.

Nah, semester ini aku memberikan sebuah cerita anak-anak dari majalah Bobo. Kebetulan sekali aku mempunyai sisa fotokopi, dan kulihat ceritanya masih relevan dan bisa bercerita banyak dari bahan tersebut, termasuk pemakaian pola-pola kalimat. Cerita itu memang kudapat dari majalah Bobo online, bertahun lalu (yang sekarang sudah tidak ada linknya). Ceritanya seperti ini:

Lari Kepagian

 oleh : Sucahyo Widiyatmoko (Bobo No 34/XXVIII)

Kukuruyuuuuuuk…..!!
“Oaaaaaheemmm….!” Piyun menguap. Kokok ayam jantan itu membangunkannya. Berarti sudah pagi. Ia mengintip dari balik tirai jendela. Di luar masih gelap. Hari Minggu pagi. Waah, asyik untuk lari pagi. Piyun menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu memakai sepatu olah raga.
Brr..! Cuaca di luar sangat dingin. Piyun melakukan senam pemanasan. Setelah badannya terasa agak hangat, ia mulai lari pagi.
Jalanan kampung masih sepi. Piyun berlari seorang diri. Jantungnya berdetak kencang. Berarti peredaran darah di tubuhnya lancar. Keringat pun mulai mengalir.
“Aneh, biasanya setiap hari Minggu banyak orang lari pagi. Tapi sekarang tak seorang pun yang terlihat,” kata Piyun dalam hati. Tapi ia tak begitu peduli.
Piyun berbelok menuju ke jalan setapak yang melintasi sebuah kebun. Keadaam masih gelap gulita. Rasa heran Piyun muncul lagi. Sudah setengah jam ia berlari, tapi matahari belum muncul juga.
“Jangan-jangan masih malam. Aduuh, kenapa tadi aku tidak melihat jam dulu yaa?” Piyun menepuk dahinya. Ia menghentikan larinya. Tiba-tiba ia merasa takut. Bulu tengkuknya berdiri. Keringat dingin mulai membasahi. Ia memang bukan penakut. Tapi seorang diri di kebun yang gelap begini, siapa tahaan?
Belum hilang rasa takutnya, samar-samar Piyun melihat sebuah bayangan hitam bergerak-gerak di depan. Semakin lama bayangan itu semakin jelas. Bayangan itu berbentuk manusia yang berjalan bungkuk dan mengendong sesuatu di punggungnya. Bayangan itu berjalan menuju ke arahnya!
Piyun menahan napas. Rasa takutnya semakin jadi. Ia diam terpaku.
“Tak salah lagi. Itu pasti hantu bungkuk yang menunggu kebun ini, seperti cerita teman-teman,” kata Piyun dalam hati. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa berat. Sementara bayangan hitam itu semakin mendekat!
Piyun bingung dan takut. Tanpa pikir panjang ia memungut sebutir batu kerikil dan melempar ke arah bayangan hitam itu.
Bukkk…!! Lemparannya tepat mengenai sasaran.
“Aduuh!” bayangan hitam itu mengaduh. Suaranya kecil, seperti suara seorang nenek. “Siapa yang berani kurang ajar melemparku, yaaa?”
Fiuuuh!! Piyun menarik napas lega. Bayangan hitam itu mengaduh kesakitan. Berarti bukan hantu. Piyun berlari menghampiri bayangan hitam itu.
Piyun terkejut. Ternyata itu Nenek Ranta, penjual kue serabi langganan Piyun. Setiap pagi Nenek Ranta berjualan kue serabi di pertigaan jalan kampung.
“Ooh, jadi kamu yang meleparku yaa?” ujar Nenek Ranta.
“Maaf, Nek. Aku keliru. Ada yang sakit, Nek?” tanya Piyun.
“Untung yang kamu lempar itu kerikil. Kalau batu, bisa pingsan aku,” jawab Nenek Ranta. “He, Piyun! Sedang apa kamu dini hari sendiri di kebun ini?”
“Aku sedang lari pagi, Nek,” jawab Piyun.
“Kamu ini ada-ada saja. Masih jam tiga dini hari sudah lari pagi,” kata Nenek Ranta sambil terkekeh.
“Jam tiga, Nek?” Piyun terbelalak.
“Iya. Kamu bukan lari pagi, tapi lari kepagian! He..he…he…!” Nenek Ranta terkekeh lagi. Piyun menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Hee, jangan bengong!” Nenek Ranta menepuk pundak Piyun. “Sebagai hukuman, kamu harus membawa tempayanku sampai di pertigaan jalan kampung!”
“Baik, Nek!” Piyun mengangguk.
Nenek Ranta menurunkan tempayan di gendongannya. Tempayan itu berisi adonan kue serabi. Piyun memanggul tempayan itu dan berjalan mengikuti Nenek Ranta.
“Jam berapa Nenek Ranta berangkat dari rumah?” tanya Piyun.
“Jam setengah tiga!” jawab Nenek Ranta.
“Setiap pagi?”
“Setiap pagi.”
“Tidak ngantuk, Nek?”
“Aku sudah terbiasa sejak muda. Tidak seperti anak muda jaman sekarang, suka malas-malasan.”
Sampai di persimpangan jalan kampung, mereka berhenti. Piyun menurunkan tempayan yang dipanggulnya. Nenek Ranta membuat tungku dari tumpukan batu bata. Piyun membantu menyalakan api. Setelah api menyala, Nenek Ranta mulai membuat kue serabi.
“Kamu tunggu saja di sini, Yun,” kata Nenek Ranta.
“Baik, Nek,” Piyun mengangguk. Ia berjongkok di belakang Nenek Ranta, sambil memperhatikan cara membuat kue serabi.
Terdengar beduk Subuh. Piyun terseyum sendiri. Ternyata ia memang bangun terlalu pagi. Ia berlari pagi saat orang-orang masih tertidur lelap.
Keadaan berangsur-angsur terang. Orang-orang mulai banyak yang lari pagi. Sebagian ada yang membeli kue serabi. Piyun ikut membantu melayani.
Ketika mau pamit, Nenek Ranta memberi sepuluh biji kue serabi. Tentu saja Piyun senang sekali.
Sampai di rumah, ternyata Ayah, Ibu dan adik sedang ribut mencarinya.
“Dari mana saja kamu, Yuun?” tanya Ayah.
“Piyun baru lari, Yah,” jawab Piyun.
“Lari pagi atau lari kepagian?” tanya Ayah lagi.
Piyun cuma garuk-garuk kepala.
“Bungkusan apa yang kamu bawa itu?” tanya Ibu.
“Kue serabi, Bu.”
“Keu serabi?” Ayah, Ibu terheran-heran. Lalu Piyun menceritakan semuanya. Tentu saja Ayah, Ibu dan adik tertawa mendengar cerita Piyun.
“Ternyata lari kepagian itu sangat menguntungkan. Selain badan sehat, juga mendapat kue serabi!” kata Ayah sambil tertawa tergelak.
“Semua itu gara-gara ayam berkokok terlalu pagi. Jadi Piyun terbangun,” ujar Piyun.

Aku senang memakai cerita seperti ini karena memang bisa saja terjadi di kenyataan, dengan muatan kata-kata yang mudah dan siap pakai. Dari judulnya “kepagian” bisa menjelaskan konfiks ke-an. Lalu kalimat pertama, bisa menceritakan soal beda bunyi-bunyian binatang di Jepang dan Indonesia. Yang lucunya waktu sampai kalimat “bulu tengkuknya berdiri”, aku juga rasa geli sendiri, membayangkan jika tengkuk kita berambut seperti kuda, dan jika berdiri lucu juga ya. Berdiri bulu tengkuk = bulu kuduk = bulu roma (sejak kapan ya roma ada di badan kita :D) bahasa Jepangnya Tori hada ga tatta. Nah, ini lebih lucu lagi, karena pakai perumpamaan “kulit (hada)  ayam (tori) berdiri” tapi bisa dibayangkan kulit ayam yang dicabuti bulunya kan memang mengerikan :D.

Nah, kemudian berlanjut sampai kata “bungkuk”, yang akhirnya aku jelaskan dengan “Si Bungkuk dari Notre Dame” (judul bahasa Inggrisnya :  The hunchbacked of Notre Dame) . Tapi sialnya cerita yang sama dalam bahasa Jepang judulnya menjadi Notre Dame no Kane  :ノートルダムの鐘、karena ” si bungkuk” bahasa Jepangnya semushi せむし dan itu merupakan kata-kata yang tidak sopan (henken 偏見 = prejudice) jadi tidak boleh dipakai. Jepang memang hebat deh, sedapat mungkin menghapus atau tidak menggunakan kata-kata yang mengandung prejudice dan menyakitkan hati yang mendengar. Perhatian Jepang terhadap penyandang cacat juga besar! (Bisa baca di sini)

Sambil menerangkan begitu, eh malah jadi membicarakan soal dongeng yang kadang sering tidak masuk akal. Menurutku cerita Si Bungkuk dari Notre Dame itu agak aneh, tapi ada satu lagi cerita yang aku baca waktu aku berusia 10 th dan aku ingat terus sampai sekarang yang amat aneh (tidak masuk di akal) menurutku yaitu Putri yang Sempurna atau bahasa Inggrisnya The Princess and The Pea. Masak ya bisa merasakan kacang polong yang ditimbun 20 kasur sih hehehe. Yah namanya juga dongeng, fiksi wajar jika tidak masuk di akal kan? Tapi ya gitu deh, aku suka dongeng dan fiksi tapi aku tetap tidak bisa menerima kalau terlalu jauh di luar nalar….dan itu juga yang menyebabkan aku tidak bisa menikmati Harry Potter :D. Eh iya, aku juga tidak suka Alice in the Wonderland tuh, membingungkan. Kata orang Jepang aku ini  kawaikunai かわいくない. hehehe.

Ada tidak dongeng atau cerita yang menurut kamu itu terlalu dibuat-buat? Atau kamu bisa menikmati semua dongeng atau fiksi begitu saja?

 

Gudbai, Masuk dan Mask

13 Okt

Topik kali ini memang si Kai. Anakku yang berusia 4 tahun. Setelah dia membuat “malu” kami dengan tangisan sekencang mobil pemadam kebakaran sehingga bisa didengar satu TK, kami berdua, aku dan Gen merasa perlu lebih memperhatikan dia. Berbicara dengannya. Karena itu, jika aku di rumah meskipun bukan waktu tidur, aku mengajak dia membaca buku bersama (biasanya hanya mendongeng sebelum tidur saja). Beberapa kali aku terharu mendengar dia membuat cerita bebas dari buku-buku cerita bergambar yang kami punyai.

Kemarin aku flu berat. Pilek dan sakit kepala, juga tenggorokan sakit. Jadi aku mengatakan padanya bahwa malam ini mama hanya bisa bacakan satu cerita saja (biasanya 2-3 cerita). Dia memilih cerita tentang Kacang Babi dan Kacang Panjang (Soramame kun to nagai-nagai mame). Dan waktu aku membaca karena pilek dan sakit kepala, aku baca tersendat-sendat. Dia tidak sabaran sehingga sering berkata, “Terus?…terus?…ayo dong baca yang cepat”. Akhirnya aku marah dan aku bilang, “Kai mau mama masuk Rumah Sakit ya? Mungkin lebih baik mama masuk RS supaya mama bisa tidur yang enak, ngga usah bacain Kai. Mama sedang sakit ini…. jangan paksa paksa.” Tapi namanya anak kecil, dia pikir mamanya superman superwoman kali ya? Sampai akhirnya Riku bilang, “Kai…kasian mama dong. Kalau mama tidak bisa lanjut, besok aja ya lanjutnya…..” uh My dear Riku memang selalu membantu aku dalam menghadapi Kai.

Akhirnya satu buku selesai. Riku sudah lama tertidur. Tapi Kai masih segar bugar. Salah juga sih aku mengajak dia tidur siang bersama, jadi meskipun sudah jam 10 malam dia masih melek. Kasihan juga melihat dia bolak balik di sebelahku (dia tidur di sampingku), jadi aku ajak dia bicara pelan-pelan… tadi belajar apa…. bla bla. Dan terdengar papa Gen membuka pintu rumah. “Papa pulang…..!” Dan dia keluar kamar menyambut papanya (tentu saja papanya senang sekali dan memeluknya), dan aku juga keluar kamar persiapkan makan malam.

“Pa, aku bobo duluan ya. Ngga tahan. Tolong temani Kai”, aku masuk ke kamar dan bersiap tidur lagi. Eh, tak lama aku dengar, “Pa, aku temani mama bobo ya….” Kai masuk kamar dan tidur di sampingku. Karena dia tidak pakai selimut, aku menawarkan dia masuk ke dalam selimutku. “Masuk sini!” (pakai bahasa Indonesia)
“Iya masuk” (pakai bahasa Indonesia)
“Emang Kai tahu artinya “masuk” apa? (dalam bahasa  Jepang)
“Tahu…. hairu deshou? ” (Hmmm hebat juga anakku, aku baru sadar dia tahu kata masuk) Tapi Mama kan ada lagi satu lagi arti yang lain? (Tentu saja dalam bahasa Jepang)
“Eh…. kata masuk?”
“Iya….. itu tuh. Kalau ada kebakaran kan disemprot air…. keluar asap…. susah nafas…..” (bahasa Jepang) Aku bingung awalnya… untung aku pintar (siapa lagi yang muji kalau bukan diri sendiri hahaha), aku langsung bilang….”Oooooooh MASK”
“Iyaaaaaa….. MASUK! マスク” Doooooh anakku emang pintar deh. Bahasa Jepangnya mask memang dilafalkan MA-SU-KU. Memang mirip dengan Masuk bahasa Indonesia. Langsung aku jelaskan padanya.
“BENAR KAI, tapi masuk yang hairu itu bahasa Indonesia, dan masuk yang mask itu bahasa Inggris. Tidak sama bahasanya, tapi sama lafalnya”
“Ooooo gitu…” (bahasa Indonesia…. untung dia tidak bilang oh gitu doang, karena akhir-akhir ini dia getol banget bilang doang hahaha)

Aku akhirnya tidak tahan, keluar kamar dan menceritakan kejadian ini ke Gen. Gen sendiri bingung kok Kai bisa ingat kedua kata itu. Kai memang akhir-akhir sering menyebutkan kata-kata bahasa Inggris yang dia dengar mungkin dari TV… aku tidak tahu dia tahu kata-kata itu dari mana, karena aku tidak pakai bahasa Inggris di rumah. Hanya bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Termasuk kata Goodbye. Never…aku tidak pernah pakai kata itu, tapi ada program TV NHK yang mengakhiri acara dengan “goodbye”. Jadilah dia setiap pagi mengantar papa ke kantor dan kakak Riku ke sekolah sambil berkata “Goodbye” dilengkapi senyum manisnya dan lambaian tangan depan pintu apartemenku. Dan jangan coba-coba tidak balas dengan “Goodbye” juga. Karena dia akan teruuuuuuuus berkata “Goodbyeeeeee” hahaha.

Rumah Beratap Merah

17 Mei

Dari jendela kereta,
kulihat rumah beratap merah
rumah tempat tinggalku waktu kecil
Biji buah kesemek yang kutanam, sudah besarkah sekarang?
Coretan krayonku apakah masih ada di dindingnya?
Sekarang, siapakah yang tinggal di rumah itu?

Meskipun aku sudah berdiri setinggi-tingginya
suatu hari rumah beratap merah itu tak terlihat
Tertutup bangunan tinggi di sekitarnya
Suatu saat memang akupun menjadi dewasa
Jalan kecil penuh dengan rerumputan yang kurahasiakan itu
apakah masih ada?

Biji buah kesemek yang kutanam, sudah besarkah sekarang?
Coretan krayonku apakah masih ada di dindingnya?
Kamu selalu ada di hatiku….

Rumah beratap merah.

でんしゃのまどから 見える赤いやねは
小さいころ、ぼくが すんでた あの家
にわにうめた 柿のタネ 大きくなったかな
クレヨンのらくがきは まだかべにあるかな
今は、どんなひとが すんでる あの家

せのびして見ても ある日赤いやねは、
かくれてしまったよ ビルのうらがわに、
いつかいつかぼくだって 大人になるけど
ひみつだったちか道 はらっぱはあるかな、
ずっと心の中
赤いやねの家

Rumahku di Jkt. Ah...sambil menyanyi lagu ini aku kangen rumahku ini. Hai papa... hai mama... hai Nov, Chris, Dharma, Sophie, Kei... I miss you all.

Sore tadi  Riku pulang ke rumah dari sekolah dengan berdendang. Kebetulan papa Gen ada di rumah karena kurang enak badan. Kai juga demam  sejak Minggu, dan aku sendiri sudah mulai merasa kurang enak badan. Sepertinya aku tertular Kai.

“Papa tahu lagu ini?”, dan papanya ternyata tidak tahu.
Dan dia menyanyikan lagu “Akai Yane no Ie 赤い屋根の家” “Rumah beratap merah”.

Aku langsung mencarinya di uak Google yang baik hati dengan gudang informasinya. Dan menemukan lagunya di Youtube (silakan klik jika mau mendengarnya). Ah, lagu ini memang enak didengar sekaligus membuat mellow. Dan aku ikut berdendang bersama Riku.

Lagu yang juga bagus liriknya.

Aku memang jarang berpindah rumah. Aku memang tidak lahir di rumah yang terpajang fotonya di atas. Tapi di sebuah rumah yang berjarak 300 meter dari situ. Kami pindah ke rumah yang sekarang waktu aku berusia sekitar 7-8 tahun. Rumah tua bangunan Belanda dengan halaman luas. Setiap rumah yang ada di kompleks itu mempunyai nama, tapi sayang rumahku itu sudah dicopot namanya. Mungkin dulu rumah-rumah ini merupakan bungalow? Aku tak tahu. Yang aku ingat rumah itu begitu besar bagi kami yang masih kecil, dengan halaman gelap tertutup pohon bambu dan kamboja di halaman depan, dan pohon pisang, mangga, nangka di halaman belakang. Angker sekali kelihatannya.

Dan rumah itu beratap merah! Genting merah bata. Sehingga waktu aku mendengar lagu ini, aku merasa kangen pada rumahku di Jakarta.

Dan, aku ingin berbagi lagu ini untuk Vania yang akan berulang tahun tanggal 22 Mei nanti. Memang masih lama bagi Vania untuk bisa mengerti arti sebuah rumah, tapi rumah itu adalah saksi bisu perjalanan hidup seorang manusia. Ia melihat kegiatan kita sejak bangun sampai tertidur, dan perkembangan hidup kita. Rumah kenangan.

Saya tidak mendaftarkan posting ini dalam acara Vania’s May Giveaways yang diadakan Lyliana Thia di blog berdomain barunya The Green Pensieve karena saya tinggal di luar Indonesia. Tapi bagi yang mau ikutan, silakan bertandang ke sana. Banyak sekali info yang bisa didapatkan di sana, terutama yang mau belajar berkebun hidroponik. Adem banget rumahnya loh.

 

Ondoku

11 Mei

Aku ingin menulis pendek saja, yaitu mengenai ondoku 音読. Bagi yang mempunyai anak SD yang bersekolah di SD Jepang pasti mengetahui ondoku ini. On adalah suara, doku adalah membaca. Membaca sambil bersuara, bukan dalam hati. Ini adalah satu usaha dalam pelajaran bahasa Jepang kokugo 国語, untuk membuat anak-anak sejak kelas 1 SD mengenal huruf, lancar membaca dan menulis.

Awalnya semua dalam hiragana, lalu perlahan diajarkan kanji dan katakana. Ceritanya juga cukup menarik, disesuaikan dengan musimnya. Jika musim semi maka bercerita tentang wakaba daun muda, bunga-bunga sedangkan waktu musim panas bercerita tentang tanpopo, sejenis bunga yang menyebar serbuknya di musim panas.

Setiap anak mempunyai satu helai kartu Ondoku, yang berisi hari itu membaca judul apa, bagaimana  kecepatannya dan ketegasan, serta perasaan waktu membaca itu. Siapa yang menilai? Nah itu dia, yang menilai adalah orang tuanya, dalam hal ini tentu ibunya.

Wah, aku paling tidak suka mengejar-ngejar anak (murid) untuk membuat PR. Karena dulu waktu aku kecil, bahkan sejak SD, aku tidak pernah disuruh membuat PR. Sepulang sekolah (SD) aku langsung membuat PR tanpa disuruh, dan pasti pukul 8 malam sudah tidur. Untuk keesokan harinya bangun pukul 5 pagi. Jadi menurutku PR adalah suatu rutinitas yang wajar dilaksanakan, dan aku berharap anak-anakku juga begitu…..

Untunglah Riku tidak sulit untuk membuat PR, tapi untuk Ondoku ini dia agak malas. Karena biasanya jika disuruh ondoku (dan itu hampir setiap hari) sewajarnya mencoba membaca berkali-kali. Tapi itu juga berarti mamanya juga harus mendengarkan berkali-kali…. hmmm…. payah ya 😀 Biasanya Riku hanya membaca satu kali saja. (Terus terang awal-awal kelas 1 aku tidak perhatikan apa yang dia baca. Dan kadang aku berpikir, untung sekali aku bisa bahasa Jepang ya 😀 )

Kartu "Membaca" dengan judul, kecepatan, ketegasan dan perasaan, kemudian tanda-tangan ortu dan sensei

Dan aku harus bisa menentukan akan menilai bagaimana, segitiga = kurang, bulat= bagus dan kembang = bagus sekali. Penilaian yang sulit :D. Tapi jika Riku bisa membaca dengan bagus, otomatis dia juga bisa menghafal isinya. Dan itu menguntungkan dia, jika ada “ulangan” dia bisa mendapat nilai bagus. (Lucunya di sini tidak diberitahu kapan ada ulangan, kecuali di akhir-akhir semester…. jadi diharapkan belajar harian deh)

Dan karena PR Ondoku ini hampir ada setiap hari, berarti mamanya juga harus menilainya setiap hari. Anak dan ibu sama-sama mengerjakan PR. Ondoku hari ini? Tentu sudah dong.

Pembaca TE sudah menyelesaikan PR hari ini belum? (aduuh aku ada PR dengan deadline  s/d tgl 15 Mei nih…. hihihi)

Peringatan : perhatikan cara membaca, dengan sikap yang baik, mulut dibuka, kapan penekanan keras-lemahnya dll. Selain itu warna kartu akan berubah sesuai dnegan banyaknya lembar yang terkumpul. Wah... Riku jangan malu-maluin mamanya yang pernah kerja di Radio dong 😀