Aku tidak begitu suka menulis review, ulasan buku yang sudah kubaca. Karena kupikir buku itu seharusnya semuanya bagus, tergantung dari kesukaan kita pada suatu topik. Seperti yang pernah kutulis, aku tidak suka membaca Harry Potter, tapi itu alasannya karena aku tidak begitu suka fiksi yang terlalu melampaui batas pemikiran manusia. Tapi aku menonton filmnya loh (menemani Kai yang sangat suka menonton Harpot, Riku sedapat mungkin tidak mau menonton karena takut hehehe). Selain itu, aku tidak suka membaca buku yang berbau filsafat, kecuali jika itu merupakan tugas dari dosen. Ya, jika tugas kuliah tentu saja harus dibaca, kan? suka tidak suka.

Dalam beberapa posting hari ini dan mendatang, aku ingin memperkenalkan buku-buku yang ada di dalam rak bukuku. Mungkin ini sedikit narsis, karena seakan memamerkan “harta”ku, tapi sekaligus ingin memperkenalkan sedikit cerita tentang buku, penulis, penerbitan di Jepang.

Di Jepang ada buku yang disebut sebagai bunkobon 文庫本. Semua bunkobon berukuran sama yaitu A6, 105mm×148mm. Dipelopori oleh penerbit Iwanami Bunko, bagian dari sebuah penerbit Iwanami Shoten, termasuk penerbit lama di Jepang (berdiri th 1913). Iwanami Bunko menerbitkan buku-buku dengan ukuran sama A6 ini untuk mempopulerkan buku klasik yang pernah diterbitkan dengan harga murah kepada masyarakat umum pada tahun 1927. Tapi sesudah perang (1945) beberapa penerbit juga meramaikan penerbitan bunkobon ini. Buku bunkobon ini bisa disebut sama dengan paperback dalam bahasa Inggris (ukurannya sedikit lain), tapi bunkobon ini mempunyai cover pelindung tambahan yang tidak terdapat dalam paperback di negara lain.

Ada satu lagi kebiasaan dalam penerbitan buku di Jepang yaitu “ban buku” hon no obi 本の帯 (obi sebenarnya artinya ikat pinggang – stagen yang dipasang di pinggang), yang dipasang diatas cover pelindung buku. Dalam obi ini dituliskan pesan sponsor, kata-kata memikat untuk memilih buku itu. Atau bisa juga berupa promosi dari film yang berkaitan dengan buku tersebut (seperti pamflet/flyer kecil). Atau obi tersebut bisa diberi warna, sesuai dengan kategori bukunya. Misalnya warna kuning adalah kategori sastra Jepang kuno, warna biru kategori science/pemikiran, warna hijau sastra Jepang, warna pink sastra luar negeri, dan warna putih social science.

Keberadaan bunkobon ini juga yang membuat rak buku di Jepang bisa terlihat teratur. Besarnya sama, dan bisa dibuat lemari khusus yang kedalamannya tidak perlu terlalu dalam (16 cm). Juga jarak antara papan juga sudah pasti. Tentu saja kalau semua bukunya bunkobon. Selain bunkobon, masih ada ukuran-ukuran lain misalnya dari buku-buku hardcover. Yang paling menyebalkan menyusun buku picture book karena besarnya tidak sama , kecuali dalam satu seri yang sama.

Bagaimana teman-teman mengatur buku-buku di rak buku? Apakah susunan buku dalam rak berdasarkan besar/kecil atau berdasarkan nama pengarang/kategori? Atau… tidak diatur? hehehe.
waaaah… rapi bener raknya mbak. rak buku di rumahku di sini, kacau banget. hehehe. apalagi setelah pindahan ke kontrakan yang baru. aduh, kacau deh. pengennya bisa rapi hehe. males kayaknya nih. soalnya juga raknya nggak muat, mesti berbagi dengan barang-barang lain. sebagian buku sudah dipindah ke jogja. postingan ini mengingatkanku untuk menata rak bukuku…
btw, kalau bisa banyak bahasa kayaknya asyik ya. jadi bisa baca lebih banyak buku dari berbagai negara…
heheheh di sini cuma ada bahasa Inggris, Jepang, dan Indonesia saja kok. Tapi kalau kamus, ada sih kamus Jerman, Belanda, Malaysia, Latin, Batak, Bali, Jawa, Sunda dsb dsb 😀 EM
tambahin kamus bahasa CINA 1 lg mba hehehe
Yang ngatur buku-buku di rumahku, Mas Iwan, suamiku. Dia rajin ngatur dan membersihkan debu-debu di rak 😀
Sementara aku orangnya teledor, suka baca tapi taruh buku sembarangan.
Kalau buku di rumah diatur berdasarkan bacaan siapa. Misalnya rak paling atas buku-buku ayahnya, yang ribet dibaca. trus rak yang agak mudah dijangkau, isinya buku anak-anak.
kalau aku untuk anak-anak punya rak sendiri yang pendek, tidak aku campur jadi satu rak. Buku aku dan suamiku juga beda rak 😀
EM
Waaah penting neh mbak ukurannya sama.. soalnya aku kadang risih juga ngelihat ukuran buku yg beda.. jadi gak rapi dipajang di rak.. kalau aku karena hanya punya rak kecil didalam kamar jadi gak.terlalu disusun.. ya seperti kata mbak…cuma berdasarkan ukuran aja.. biasanya dari besar disebelah kanan.. ke kecil disebelah kiri.. dan klo buku berseri disimpan berdekatan 🙂
wah kalau aku kebalikan yang besar sebelah kiri dan mengecil ke sebelah kanan. Hmmm ada pengaruh dengan otak kanan atau otak kiri ngga ya? Kamu kidal ngga?
EM
eh kita sama mba, aku juga mulai menyusun buku yg sebelah besar di sebelah kiri terusss seperti anak tangga, yg paling kiri pasti yg paling kecil bukunya 😀
toss
EM
Eeehh.. aku salah arah neh kayaknya setelah dibaca mbak.. maksud aku kiri yg besar.. terus kanan yg kecil.. hehehe.. iya ternyata sama yak.. aku gak kidal seh.. 😀
rak buku waktu tinggal di rumah bekasi, cantik bener, warnanya hijau muda, bahannya apa itu ya, yg jelas bukan kayu. semua buku dikasi kode sesuai kategorinya, tapi sejujurnya bukan saya yang mengerjakan langsung. saya hanya memberikan ide pada asisten dan dia yang mengeksekusinya 😀
tapi sejak pindah ke rumah yg sekarang, wlo sudah punya rak buku yg besar dan tinggi, sayangnya blum meluangkan waktu untuk mengeluarkan buku2 itu dari box2 plastik dan kardus. hiks … sepertinya harus disegerakan, kuatir ada tetesan air, bisa rusak semua bukunya kan 🙁
btw mba, gpp klo pun pamerin harta karun, wong belinya ga nyicil kan xixixixi
Ya belinya ngga nyicil lah. Seandainya pakai kartu kredit juga, sudah lunas pada bulan berikutnya heheheh
seneng ya kalau ada asisten… pengen banget buat katalog, perpustakaan mini di rumah. Biar tahu ada berapa sebetulnya bukuku dan buku suamiku.
Kalau CD dulu sudah pernah bikin dan jumlahnya 500-an hehehe (CD Indonesia saja loh)
EM
standar ukuran A6 untuk buku itu.. apakah memang sudah ditetapkan, mbak imel ?
soalnya kalo di Indonesia.. ukuran buku khan macam2..
buku2 di rak putri ukurannya macam2 jadinya terlihat seperti deretan punggung gunung… 😀
*walaupun sudah di susun berdasarkan tinggi buku.. he.. he..
tidak semua begitu, untuk buku hard cover dan bukan keluaran bunkobon ya ukurannya lain-lain. Tapi biasanya orang yang suka baca tapi tidak punya banyak dana akan membeli bunkobon daripada buku hardcover yang begitu mahal. Terutama sastra klasik. Jadi semisal nih sastra klasik Indonesia diterbitkan kembali, bisa dicetak dalam ukuran yang sama, oleh penerbit yang sama. Dengan ukuran bunkobon bisa dibaca dimana-mana. Manga (komik) pun ada ukuran bunkobonnya. nanti aku tampilkan di posting lain ya. Ini adalah salah satu upaya untuk mencerdaskan bangsa 😉
EM
hahaha lucu itu kaleng indomilk bisa nangkring disitu… 😛
kalo kita nyusun bukunya sih ngasal mbak. hahaha.
sebetulnya di sebelahnya ada kaleng rokok GG, tapi ntar ada yang ngiri produknya tidak terpasang di situ, jadi GG nya disingkirkan hahahah
EM
Nah, hal semacam ukuran kertas standar ini yang tadinya ingin aku tanyakan kepada narasumber pekan lalu di Klub Buku GRI, Bu. Tapi tidak sempat. Sering ke Kinokuniya melihat buku-buku dari Jepang, indah sekali. Penjilidan dan pengemasannya bagus. Kertas-kertasnya pun kualitas bagus. Ingin rasanya di Indonesia juga nantinya akan semacam ini.
BTW, lagunya bagus, Bu. Enak didengar; lembut. 😀
Aku tidak tahu apakah penerbit/percetakan Indonesia mempunyai standar untuk penerbitan buku. Dan semestinya sih ada, yang ditetapkan mungkin oleh departemen…hmmm apa ya? hihihi
EM
Departemen apa dong, Bu? Sepertinya tidak ada departemen yang mengurusi tentang percetakan semacam ini, Bu. Lha wong lembaga yang menerbitkan “best seller” aja nggak ada.
Sebentar. Ternyata bunkobon itu kecil juga, ya? Haha. Ternyata A6. Kecil banget.
Tapi saya benar-benar suka dengan sistem penyampulan dan penjilidan Jepang ini, Bu. Keren! 😀
Memang kalau menunggu pemerintah ya, mana bisa ya. Jepang itu kuat dengan serikat perusahaan yang sama. Jadi produsen sesuatu yang sama, akan membuat asosiasi, menjadi kuat dan membuat ketetapan-ketetapan yang dipatuhi oleh semua anggota. Hampir semua bidang punya asosiasi ini. Jadi seperti IKAPI semestinya bisa menjadi pelopor penentuan best seller atau ukuran kertas dsb.
EM
Jepang bangsa yg sangat maju dalam industri packaging. Bahkan bukupun mereka kemas sedemikian rupa, sehingga tampak menarik sekali. Cita rasa seni mereka tinggi banget yah Mb Imelda 🙂
Yang paling repot memang jika ukuran bukunya aneka macam…
Dari 10 buku bisa beda semua. Susah nyari rak yg pas…
Satu lagi yg saya liat dari buku2 terbitan Indonesia…
Covernya tampak lux tapi mutu penjilidannya amburadul…
Saya sering menjumpai.
Amat beda dengan buku2 lama bahkan saat jaman Belanda, kertasnya halus, ulet dan cetakannya rapi.
Sering iri jika lihat koleksi buku mbak Imelda. terutama yang di facebook tuh. Waaa… tanpa sadar sudah aku like dan kukomentari!!!
Aku belum menata buku dengan baik, mbak. Masih di dalam kardus meski kuatur sesuai ukurannya. Sengaja taruh di dalam kardus agar jika pindah rumah lebih cepat karena jika ditata lebih dari 1 bookcase. lagi pula jika ada keluarga datang & lihat koleksi bukuku pasti diomelin.
Meski era e-book saya masih juga senang dengan buku cetak. Rapi nian susunan buku jeng EM, selamat menikmati membaca buku. Salam
Buku-buk di meja kantorku termasuk berantakan mbak, soalnya besarnya gak sama. Jadi aku coba urutkan aja dari yg terbesar sampai terkecil…
buku-buku kayak gini baru membuka halaman pertama rasanya udah pengen nangis, hehe…
menurutku tampilan novel-novel jepang kok gak ada menariknya sama sekali ya mbak, cover, tulisan isi dempet2 dan kecil-kecil. tapi isi dan ceritanya tetap markotop :).
mbak mau tanya, apa buku di jepang kalau misalnya lebih dari 200 halaman itu dibikin jadi dua buku? soalnya novel norwegian woodnya murakamu haruki, hanya satu novel, tapi versi jepangnya ada 2 buku, bagian 上 dan下.
terimakasih 😀
Yang rajin buat klasifikasi itu adikku. Buku2 lama kami masih di rumah mama, dia semua yang urus.
Aku tak suka buku dengan cover tambahan lagi, waktu bacanya jadi ribet, harus dilepas dulu. Dan disimpan berdiri di rak juga lama2 kertas covernya jadi keriting.
aku juga ngga suka dengan cover tambahan, tapi orang Jepang pakai cover ini sebagai sampul buku, waktu baca di kereta, cover ini dibalik shg menjadi putih, dan TIDAK KETAHUAN DIA SEDANG BACA APA. Ngga suka mamer hahaha. Jadi untuk cover aku masih bisa terima, tapi ban buku obi itu…bener-bener jama, ngerepotin hihihih
EM
iya mbk..masukan yg bagus..klo buku sy belm teratru peletakannya
Aku menyusun buku di rak berdasarkan kategori; kedua, pada masing-masing kategori baru aku susun berdasarkan ukuran. Tapi, seringkali susunan itu kacau. Terutama kalau aku sedang menulis sebuah artikel yang membutuhkan banyak referensi. Buku-buku itu akan bergeletakan di atas meja atau ditumpuk di depan rak. Kalau sudah selesai, seringkali aku lupa menyusunnya secara rapi lagi. Jadilah dia berantakan… Baru, kalau sudah “sadar”, aku rapikan lagi, hehe… 🙂
aku bedakan bukuku, buku suami dan buku anak2, gawat kalau tercampur, pasti susah nyarinya…sudah dipisahkan pun masih bisa tercampur…hehe….di rak bukuku, juga ada beberapa kelompok, ada yg novel, buku kuliah dulu, kamus, buku2 parenting….di kelompok novel (belum sampai ber-rak2), aku susun menurut pengarangnya….dengan nama pengarang yang sama saja, kadang ukuran buku bisa beda
Hehe, ini toh Bunkobon yang Mbak Imel bilang. 😀
Saya berharap desain sampul, kualitas kertas sampul dan kertas isi buku di Indonesia bisa sedikit “dikurangi”. Maksud saya, desain sampul novel gak usah terlalu artistik. Cukup judul dan nama pengarang aja. Lalu jenis kertas juga cukup kertas buram aja, dan sampul tak perlu hardcover (kecuali edisi khusus). Saya yakin ini bisa menekan harga novel. 😐
Wah, ukuran A6 itu enak banget, pas buat digenggam dan pas buat dibawa kemana-mana…. 😀
Hanya satu kata….iri…
Benar-benar iri melihat rak bukunya Imel, terus menengok rak bukuku, yang bukannya makin rapih tapi malah makin amburadul……
Entah kapan saya sempat merapihkannya, tadinya kupikir bisa bulan Desember ini, ternyata bulan Desember, kegiatannya makin gila-gila an.
saya malah kaget waktu ada kaleng IndoMilk nampang 🙂