Tetangga

13 Okt

Tidak biasanya aku ingin bergossip di sini. Tentang tetangga sih, terutama yang muncul dalam berita seminggu ini di Jepang.

Mengenai tetanggaku sendiri?  Aku cuma kenal tetangga sebelah kiriku, sebuah keluarga dengan anggota 5 orang, bapak-ibu dan anak kembar dua, serta neneknya. Karena ada neneknya, kami cukup akrab sampai saling memberikan oleh-oleh berupa makanan atau sayur/buah kiriman. Osusowake お裾分けnamanya dalam bahasa Jepang, artinya membagi sedikit. Sayangnya keluarga ini anggota sebuah partai politik, sehingga agak mengganggu jika dia membawa misi partainya. Dan untungnya aku tidak punya hak pilih di Tokyo jadi aku cuma jawab, “OK saya sampaikan suami saya” hihihi.

Tetangga sebelah kanan? Aku tidak kenal, tapi yang aku tahu dia punya anak perempuan yang masih di TK, karena kadang bertemu di parkir sepeda, atau waktu mau naik lift. Well, kami memang sudah tinggal di apartemen yang sama selama 13 tahun, jadi banyak penghuni yang sudah berganti, kecuali penghuni kamar yang tinggal di bawah kami, yang pernah jadi korban banjir, seperti kutulis di sini.

Tuntutan kehidupan di Tokyo memang membuat tetangga tidak saling mengenal. Untuk yang punya rumah (bukan apartemen) mau tidak mau harus mengenal tetangga, karena mereka harus mengerjakan tugas se-rt (chonaikai) termasuk mengedarkan pengumuman dari kelurahan, dan utamanya penanganan sampah. Biasanya (menurut yang aku dengar dari ibu mertua) mereka mempunya grup yang wajib membersikan tempat (titik) pengumpulan sampah yang sudah ditentukan. Petugas sampah tinggal mengambil saja, jadi mereka yang membereskan jaring net penghalau burung gagak atau jika ada sampah yang tidak terangkut karena salah hari (Di sini sampah diangkut berdasarkan hari pengambilan, misalnya hari senin pengambilan kertas bekas, selasa sampah dapur dsb). Belum lagi setiap rumah, harus menyapu dan membersihkan jalanan di depan rumahnya, tentu setiap hari. Jadi kalau ada jalan yang kotor itu merupakan tanggung jawab rumah yang ada di dekatnya. Keruwetan ini pun yang membuat aku agak malas pindah (sewa atau beli) rumah, karena apartemen punya tempat pengumpulan sampah sendiri, dan kami sudah bayar orang yang memelihara kebersihan sekitar apartemen kami.

Nah, di perumahan seperti beginilah biasanya terjadi masalah antar tetangga. Dua hari yang lalu kami dikagetkan dengan berita bahwa seorang ibu berusia 60-an mati ditusuk seorang kakek tetangga depan rumahnya yang berusia 80 tahun, Berita ini menjadi besar, karena si kakek adalah mantan polisi ranking tinggi. Dan si kakek akhirnya bunuh diri dengan pedang (samurai) miliknya, dengan menebas lehernya sendiri. Masalahnya apa? Kalau aku dengar dari beritanya, sebetulnya masalahnya hanya dari kesukaan si nenek untuk merawat kebun, dan dia meletakkan tanamannya sampai di depan rumah, sehingga agak mengganggu jalanan. Ya memang, orang seperti itu ada! Menimbun rumahnya dengan tanaman sampai meluap ke jalan. Tapi sebetulnya kalau tanaman masih mending! Ada yang menimbun sampah! duh… Dan sepertinya si kakek sering memperingatkan dia tapi dicuekin.

Aku setiap mengajar hari kamis pasti naik sepeda ke stasiun terdekat, dan di salah satu pojok ada sebuah rumah berlantai 3 yang sekilas seperti rumah kosong, tapi BAUUUU sekali. Bau kucing! Sepertinya pemilik rumah seorang nenek yang suka kucing, dan mungkin karena sedih kucingnya hilang, dia menyimpan semua barang-barang milik kucingnya begitu saja, dan dia sendiri tinggal di luar rumah 🙁 Aku benar-benar kasihan pada tetangganya, karena bau pesing itu bisa tercium sampai jarak 100 meter loh. Aku belum sempat tanya gossip mengenai rumah itu sih, tapi sepertinya pihak kelurahan harus turun tangan menyelesaikan masalah itu. Nah, kan… takut kan kalau pindah rumah lalu dapat tetangga yang aneh begitu 😀

Selain masalah tetangga yang berkelahi sampai menyebabkan kematian, akhir-akhir ini juga timbul kejahatan pada mereka yang tinggal sendirian di mansion/apartemen. Secanggih-canggihnya keamanan apartemen yang memakai pintu lock otomatispun jika memang ada yang “gila” ya kejahatan bisa saja terjadi. Karena itu biasanya aku (dan aku ajarkan kepada Riku juga) untuk tidak naik lift hanya berduaan dengan orang yang tidak dikenal. Lebih baik pura-pura lupa sesuatu di sepeda, atau pura-pura pergi beli minuman di toko tetangga, aau kalau perlu ke koban/pos polisi dan bilang takut, pasti akan ditemani pulang. Untung saja rumahku dekat sekali dengan pos polisi, tidak sampai 200 meter.

Tapi tetangga itu memang dibutuhkan jika terjadi apa-apa juga. Tetangga juga bisa meredam jika ada pertengkaran dalam keluarga. Aku ingat beberapa tahun yang lalu, di apartemen seberang kami, terdengar teriakan-teriakan. Anak remaja berteriak minta tolong, dan ntah siapa menelepon polisi, sehingga polisi cepat datang. Aku dan beberapa tetangga keluar di teras rumah dan melihat ke arah apartemen itu. Rupanya anak itu yang seperti “kemasukan” sampai ibunya keluar dan berteriak minta maaf kepada tetangga-tetangga. Waktu polisi datangpun, masalah sudah selesai.

Sampai sekarangpun aku binkan (alert) jika mendengar anak-anak yang menangis keterlaluan dan lama. Biasanya kami bisa dengar masalahnya apa, apakah ibunya memarahi atau karena ibunya memukul. Kejadian pemukulan ibu kepada anak-anak, akhir-akhir ini cukup banyak, bahkan sampai menyebabkan sang anak meninggal. Dalam satu bulan ini saja di seluruh Jepang ada empat berita besar yang menyorot pembunuhan ibu terhadap anaknya. Gyakutai 虐待(ぎゃくたい), mungkin kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia cukup KDRT saja. Dan tadi di TV dibahas kenapa ibu-ibu itu bisa sampai ‘hilang akal’ dan membunuh anak-anaknya sendiri. Kata kuncinya: Isolasi. Mengisolasikan diri dari masyarakat, tak punya teman, dan memikirkan semua masalah sendiri, tidak berbagi, tidak bisa curhat, sehingga sampai pada tahap ‘meledak’. Pantas saja setiap ada vaksinasi atau pemeriksaan berkala, dari puskesmas selalu ditanya, apakah kamu punya masalah dalam membesarkan bayimu. Dan aku selalu bilang: Tidak ada. hehehe.

kematian anak-anak usia s/d 3 tahun yang terbanyak menjadi korban meninggal akibat kekerasan yang dilakukan ibunya sendiri

Jadi, beruntunglah ibu-ibu Indonesia yang mempunyai teman berbagi, punya suami yang mendukung dan mau membantu, punya orang tua yang bisa tinggal sama-sama atau bisa dimintai tolong, punya baby sitter atau pembantu khusus untuk bayinya. Atau bahkan punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Ini semua merupakan kemewahan bagi ibu-ibu di Jepang, yang harus merawat bayinya benar-benar sendiri.

Ibu-ibu… gambarou ne (semangat ya) dan tentu saja kita harus berusaha membina hubungan yang baik dengan tetangga kita.

Have a nice weekend!

Huruf Titik

10 Okt

Bukan hurufnya tulisan teman kita, si Titik, tapi memang huruf yang terdiri dari titik-titik. Setidaknya itulah terjemahan dari 点字 Tenji , atau yang kita kenal dengan huruf Braille. Kenal? Pernah lihat? Aku ragu apakah orang Indonesia pernah melihat langsung (bukan foto) pemakaian huruf Braille di sekitar kita. CMIIW

Ini sebetulnya tugas pelajaran Bahasa Jepangnya Riku (4SD). Kami memang libur berturut dari hari Sabtu, Minggu, Senin lalu. Bahkan hari Jumatnya sebetulnya adalah akhir semester satu SD nya Riku. Dan tidak ada libur antarsemester karena sudah banyak libur pada musim panasnya. Jadi hari Selasa adalah hari permulaan semester dua, dan Riku mempunyai PR yang harus diselesaikan. Padahal seperti yang kutulis di posting kemarin, kami sampai di rumah pukul 12 malam. Jadi?

Tugas Riku adalah mencari pemakaian huruf Braille di sekitar kehidupan kita, dan menuliskan laporan singkat, untuk kemudian dipresentasikan dalam grup mereka di kelas. Ini merupakan bagian pelajaran Bahasa Jepang yaitu menulis sakubun 作文 dan presentasi happyou 発表. Bagian ini menurutku penting sekali, karena dengan demikian mereka terbiasa memresentasikan pendapat mereka, sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Teratur deh kalau mendengar orang Jepang happyou, karena mereka sudah biasa dari kecil. (Indonesia bagaimana ya? hehehe)

Biasanya ‘Huruf Titik’ ini bisa dijumpai di stasiun. Banyak! Seperti daftar harga tiket ke setiap tujuan, lalu di lift juga banyak yang memiliki huruf braille. Pegangan tangga untuk memberikan informasi tangga itu ke mana, dan …(mungkin) berapa anak tangga (aku tak bisa baca jadi tidak tahu info apa yang tertulis). Tapi sebetulnya tidak usah jauh-jauh, karena di jalanan atau di stasiun pun ada biasanya berwarna kuning, dengan ‘tonjolan) bulat atau panjang, khusus untuk pejalan kaki tuna netra.

garis kuning dengan tonjolan, juga merupakan tenji bagi penyandang tuna netra

Tapi masalahnya Riku tidak sempat mencari contoh sebagai bahan penulisan. Waktu di rumah mertua di yokohama, aku sempat menemukan sebuah contoh yaitu tenji di kaleng minuman bir. Mungkin untuk memberitahukan kepada penyandang tuna netra bahwa kaleng minuman itu beralkohol. TAPI rasanya kurang cocok untuk dipakai sebagai contoh oleh Riku yang kelas 4 SD (kok minuman alkohol gitu). Jadi waktu pulang, sebelum kami pulang ke rumah, kami bermaksud mampir ke stasiun lalu mengambil foto untuk bahan PR nya Riku. Riku sendiri waktu itu sudah tertidur di mobil. Dan tiba-tiba aku teringat pernah melihat di bus surat di depan kantor pos dekat rumah kami. Kantor pos itu lebih dekat daripada stasiun, dan pastinya tidak banyak teman Riku yang “menemukan” pemakaian braille di bus surat. Jadi aku langsung memotret bus surat itu. Dan kalaupun perlu, Riku bisa ke kantor pos pagi harinya (pasti lewat sini juga kalau pergi ke sekolah).

Pagi harinya Riku menulis laporannya berdasarkan foto yang kubuat, dan menurutnya memang tidak ada temannya yang menulis sama dengannya. Horree…..

Dan secara tidak sengaja kemarin itu rupanya Hari Pos Sedunia. Rasanya pas sekali memadukan pos dengan huruf braille sebagai pengetahuan untuk Riku.

Bagaimana? Pernah lihat pemakaian huruf ini di tempatmu? Atau mungkin malah bisa membacanya? Hebatnya di buku pelajaran bahasa Jepangnya Riku ada loh daftar huruf braille itu lengkap dengan ‘tonjolan’nya.

pengenalan huruf braille kepada murid SD kelas 4

Penggalan dari postinganku di sini :

Pada tanggal 1 November 1890 untuk pertama kalinya huruf Braille yang memakai 6 titik dipakai untuk menggantikan huruf titik bagi penderita tunanetra di Jepang yang 12 titik. Yang merupakan bapak huruf titik untuk tuna netra di Jepang adalah Ishikawa Kuraji ( Huruf titik di Jepang berlainan dengan huruf yang dipakai di luar negeri, mungkin dikarenakan Bahasa Jepang tidak memakai alfabet, sehingga tidak cocok jika huruf Braille dipakai begitu saja. ) Yang pasti penderita tuna netra di Jepang sejak tahun 1890 ini sangat diperhatikan dengan pemakaian huruf titik ini di hampir semua fasilitas umum. Bahkan di kaleng-kaleng minuman, atau pegangan tangga, pasti didapati tulisan titik ini. Bila mau melihat dokumen mengenai huruf titi silakan baca wikipedia ini , yang memang berbahasa Jepang, tapi dengan melihat fotonya saja mungkin dapat kita lihat usaha-usaha melakukan Barrier Free bagi penyandang Tuna netra.

Spoiled

9 Okt

Aku agak bingung menerjemahkan kata ‘spoiled‘ yang akan aku pakai sebagai judul posting hari ini. Pasti teman-teman tahu kalau artinya “manja”. Biasanya kita pakai untuk “Anaknya spoiled (manja)”. Tapi rasanya kok kurang tepat jika kata “manja” dipakai dalam kasus kami.

Kemarin hari Senin 8 Oktober, adalah hari libur di Jepang, hari Olahraga taiiku no hi . Cerah tapi sejuk. Ya sudah jelas-jelas masuk musim gugur, meskipun masih bisa pakai baju lengan pendek pada siang hari. Nah hari itu, Gen ingin sekali mengajak ibunya pergi ke luar, ke mana saja untuk jalan-jalan. Kebetulan bapaknya sedang pergi mendaki gunung, jadi ibunya sendiri di rumah. Tapi sebetulnya sudah lama aku ingin sekali mengajak ibu mertuaku itu untuk makan pizza di Saitama. Ya, tempat tinggal ibu mertua di Yokohama, sedangkan toko pizzanya di Saitama. Dari rumahku saja butuh 1 jam ke restoran itu, apa lagi kalau dari Yokohama. Dobel deh waktunya. Dan jika kami pergi jemput dulu ibunya di rumahnya, ada 2 jam waktu yang terbuang. Untung ibunya masih sehat dan gesit, sehingga ibunya menawarkan diri untuk datang ke stasiun Kichijoji, yang relatif lebih dekat dari rumah kami, baru pergi langsung ke restoran yang dimaksud.

Memang aku tahu kalau janjian dengan ibunya itu, kami harus perkirakan bahwa akan lebih cepat dari rencana 😀 Beliau itu tidak mengenal “Biar lambat asal selamat”, atau “Terlambatlah  5 menit supaya tuan rumah sudah siap untuk pesta”. Ya, ibunya itu selalu datang lebih cepat dari janji 😀 Aku berjanji menjemput di stasiun Kichijouji pukul 11, padahal beliau sudah ada di situ pukul 10:45 dan menawarkan diri untuk naik bus saja ke rumah kami 😀 Memang orang Jepang asli, tidak akan terlambat (malah kecepatan)! hehehe.

Restoran Napoli no kamado (Tungku Napoli) di Saitama, waktu malam.

Kami tetap menjemput ibunya di Kichijouji naik mobil setelah aku menyuruh semua bergegas naik mobil, sambil ngomel-ngomel kepada the boys dan berbicara di telepon dengan ibu mertua untuk menentukan tempat yang paling strategis untuk ‘pickup’ di stasiun Kichijoji. Begitu ibu mertua naik mobil, kami langsung menuju restoran yang bernama Napoli no Kamado ナポリのかまど “Tungku Napoli” di Saitama. Kami sampai di restoran ini pukul 12:00 teng, dan harus menunggu giliran selama 30 menit. Tapi karena memang tujuan kami ke sini, kami ‘jabani’ juga menunggu 30 menit. Restoran ini tidak pernah sepi!

Pelayan mengeruk keju Parmesan untuk Caesar Salad di depan meja kami.

Kok segitunya?

Ya restoran Italia ini memang restoran yang tepat untuk keluarga, karena murah dan enak SEKALI! Sejak mengenal restoran ini, terus terang aku tidak bisa lagi makan pizza sembarangan di tempat lain, apalagi untuk delivery pizza. I am spoiled! Adonan rotinya khas Napoli, yang tipis dan dibakar di tungku khusus bukan oven. Sehingga rasa rotinya sendiri sudah enak, kenyal dan empuk. Aku pernah terkecoh memesan delivery dengan nama yang mirip Napoli no kamado (kanjinya lain), tapi rasanya jauh deh. Lebih enak makan langsung di restorannya, panas-panas, fresh from the oven. Dan apa kata ibu mertuaku?
“Pizza yang ini jauuuuh lebih enak daripada pizza yang aku makan di Italianya langsung” hihihi. Tentu itu juga karena suasana yang mendukung, makan bersama anak cucu kan?

Selain pizza tentu ada spaghetti dan dolce atau dessert khas resto tersebut yang yummy. Tapi yang juga membuat aku dan Gen suka dengan restoran ini adalah Caesar Saladnya. Romainne Lettuce diberi salad topping bacon bits dan roti goreng yang crunchy dan parmesan cheese. Parmesan cheesenya diserut langsung dari balok keju besar di depan kami. Tidak banyak restoran yang melayani tamunya dengan parutan keju langsung seperti ini, karena selama 20 tahun aku baru melihat di 3 restoran. ( mungkin banyak karena aku juga jarang wiskul sih hehehe)

Dessertnya cantik-cantik dan enak tentu saja. Aku juga pesan dessert khas Jepang: Anmitsu

Yang pasti kami merasa senang dan terpuaskan menikmati salad, pizza, spaghetti dan dolce dari restoran ini. Kai yang biasanya makan sedikitpun, kemarin makan cukup banyak. Pizza dan salad. Aku pun senang karena sudah bisa mengajak ibu mertuaku makan bersama di sini. Dan sepulang dari restoran ini, kami sempat pergi ke toko ikan untuk membeli kerang, kemudian ke Taman Showa Memorial di Tachikawa untuk melihat bunga khas musim gugur, Cosmos. Sayang waktu kami sampai di taman ini, hanya tinggal 40 menit sebelum tutup, padahal untuk menuju bukit cosmos itu butuh waktu 40 menit pulang pergi. Jadi kami hanya sempat berfoto di depan pintu masuknya saja. Next time.

cuma sempat berfoto di depan gerbang 😀

Dalam kemacetan akhir liburan panjang, kami mengantarkan ibu mertua pulang ke yokohama, beristirahat dulu sebentar dan dan sampai kembali ke rumah kami sudah pukul 12 malam. Hari yang panjang, melelahkan tapi puas! Yang penting, kami bisa melewatkan waktu bersama satu keluarga.

NB: Bapak mertuaku pergi mendaki gunung ke 100 hari ini. Target kelompok mereka memang untuk menaklukkan 100 gunung terkenal di seluruh Jepang. Banyak sekali foto-foto gunung dan tetumbuhan di puncak gunung yang dibuat bapak mertuaku. Nanti suatu waktu, aku ingin menuliskannya, meskipun bukan aku sendiri yang mendaki 😀

Sport Day

7 Okt

Dalam pojok bahasa Inggris acara ZIP di chanel TV Nihon beberapa hari yang lalu, diajarkan bahwa undokai 運動会 itu dalam bahasa Inggrisnya adalah Sport Day, tapi menurutku lebih tepat diterjemahkan Sport Meeting, karena Sport Day lebih tepat untuk menerjemahkan Taiiku on hi 体育の日, yang akan diperingati tanggal 8 Oktober besok.

Hari Sabtu, 6 Oktober kami pergi ke acara undokainya Kai di TK nya. Sebetulnya aku cukup khawatir dengan kesehatan Kai, karena beberapa hari sebelumnya dia batuk-batuk dan Kamis kemarin demam, sampai aku terpaksa membatalkan kelas hari Jumatnya. Aku memang agak memaksa dia supaya jangan libur selama ini, karena aku tidak mau kejadian seperti tahun lalu karena Kai nangis terus selama pelaksanaan sport meeting di TK nya, sampai kami malu diliatin orang-orang.

Pagi harinya aku bangunkan pukul 7 pagi supaya dia ada waktu untuk sarapan, dan nonton tv, sekaligus bisa mempersiapkan hati untuk pergi. Sambil aku menyiapkan bekal makanan untuk kami berempat, karena ada acara makan ‘piknik’ bersama di lapangan TK. Tentu saja buat yang mudah, dan seperti biasanya dibuat ibu-ibu lainnya, yaitu onigiri. Bedanya bekal makanan (bento) tidak pernah kubuat lucu-lucu, karena kupikir toh dimakan juga. Enaknya punya anak laki-laki ya begitu, tidak pernah iri lihat bento teman-temannya yang lucu-lucu hehehe.

Kami berempat akhirnya berangkat pukul 8:25, karena anak-anak harus berkumpul di TK jam 8:45. Jalan kaki ke TK nya Kai sebetulnya cukup 15 menit, lebih cepat naik sepeda cuma 6 menit. Tapi kami sudah diimbau sedapat mungkin jalan kaki, karena parkir sepedanya kecil. Maklum deh kalau pertandingan olahraga, undakainya TK itu satu anak yang datang minimum 3 orang, belum kakek-nenek nya kalau mau datang hehehe. Aku dulu heran sekali karena kupikir, “Duuuh kok kakek nenek sampai ikut nonton sih… kayaknya over deh…”Dan dapat jawaban dari Gen, “Tentu saja, ini kan pertama kalinya cucu mereka bersosialisasi, tampil di depan umum, jadi biasa di undokai TK itu penuh nuh nuh….”

Kai bersama teman-temannya. Ada 4 kegiatan termasuk lari

Dan aku kemarin bisa merasakan kebanggaan itu, sekaligus terharu. Tahun ini aku duduk saja terus, tidak berdiri dan bergerak ke sana kemari. Kamera kami berikan pada Riku, karena dia kecil, jadi mudah berkelit masuk ke depan dan mengambil foto sedekat mungkin. Papanya masih jalan-jalan melihat Kai berdiri di mana, tapi aku cukup melihat dari kejauhan.
“Mama, aku tidak usah menjadi yang pertama kan?”
“Tidak usah. Kalau bisa, bagus. Tapi mama sudah senang kalau Kai mau ikut acara, dan tidak nangis. Enjoy saja”
“Nanti mama janji belikan kado untuk aku kan?” (dia mau sabuk plastik dari Kamen rider yang harganya tidak mahal)
“Iya kan mama sudah janji, Jadi berusahalah”

Dan di situlah aku, duduk di bawah pohon di tikar plastik yang kami bawa dari rumah, sambil menahan p*nt*t tidak merosot, karena kami kebagian tempat yang miring. Tapi beberapa kali aku harus menghapus air mata, melihat defile anak-anak usia 3 sampai 5/6 tahun ini berbaris, dan ada yang bermain pianika dan genderang. Ah terharu, meskipun aku tahu Kai tidak terlalu antusias dengan acara ini, aku melihat kerjasama di antara anak-anak dan guru. Mereka yang sekecil itu sudah belajar untuk “mendengar”, menyimak, menaati dan berpartisipasi. Pantas saja kakek nenek mau melihat cucu-cucu mereka, karena sebetulnya aku juga sempat berbisik dalam hati, “Ma… lihat cucumu itu yang lahir tidak sampai 2000 gr dan di inkubator 1 bulan itu… sudah besar dan bisa mengikuti acara seperti ini” Ah, pastinya mama juga ikut bangga yah di surga sana.

Beberapa kali aku harus menelan keharuan dan menghapus air mata, waktu melihat seorang guru tua, wakil kepsek TK yang tetap aktif padahal rambutnya sudah memutih (aku pernah tulis kan bahwa kepala sekolahnya berusia 80 th-an) dan ibu itu mengingatkanku pada mama. Selalu dikucir dan selalu tersenyum. Juga waktu melihat senam ritmik yang dibawakan seluruh murid nenchou (Kelas atas usia 5-6 tahun) yang membentuk formasi-formasi sampai pada piramida manusia. Memang hanya 3 tingkat, tapi ini TK loh. Dan ditutup dengan lomba lari estafet gabungan anak-anak terpilih, guru dan orang tua murid. Penutupnya tentu ayah-ayah yang berusaha berlari secepat mungkin agar kelasnya yang menang. Mengharukan.

“piknik” di lapangan sekolah

Sayangnya setelah acara penutupan kami tidak bisa berfoto dengan gurunya Kai, karena semua buru-buru pulang. Ya, saat bubar itu hujan mulai menetes dan cukup besar. Kebanyakan tidak membawa payung, sehingga semua berlari pulang. Kami hanya ada 1 payung lipat, sehingga aku dan Kai berdua pakai payung, sedangkan Riku memakai tikar plastik di atas kepala. Untung saja hujan cepat berhenti. Dan kami beristirahat di rumah. Bukan kami yang berlari dan berolahraga, tapi kenapa ya menonton saja pun capek? Katanya orang Jepang karena kitsukau 気遣う capek hati menjaga tindakan di depan orang lain. Mungkin kalau bahasanya abg sekarang ya JAIM!

 

Sekolah dihias dengan bendera dari berbagai negara, dan masih ada bendera Rusia hehehe. Memang TK ini sudah berusia lebih dari 30 tahun

Tahun depan Kai tahun terakhir. Akan ada pertandingan estafet, ada senam ritmik, lebih sulit, lebih membutuhkan latihan. Semoga dia pun bisa mengetahui bahwa tanggungjawabnya sebagai TK nenchou itu semakin sulit, dan bisa mempersiapkan memasuki dunia baru, dunia sekolah dasar. Gambatte ne Kai kun! (Dia marah kalau pakai -chan :D)

Tahu Batik

3 Okt

Tentu saja semua tahu batik ! Gimana sih mama…. (gayanya Kai). Tapi maksudku benar-benar TAHU ,makanan yang terbuat dari kedelai  bukan ‘tau’. Nah lebih aneh lagi ya, kok ada Tahu bermotif Batik? hehehe. Ya paling di Jepang ada tahu seperti ini,

tahu yang dibakar bagian atasnya

 

yang disebut dengan Yakidofu, tahu bakar, tahu jenis momen tofu yang seratnya lebih kasar daripada tahu sutra (kebanyakan tahu di Indonesia termasuk jenis momen, tahu yang dibungkus dengan kain katun) tapi bagian atasnya dibakar, sehingga kalau dari jauh ya bisa saja kelihatan seperti batik hehehe. Yakidofu ini biasanya dipakai untuk memasak Sukiyaki. Nanti bisa juga mungkin dibakarnya dengan cap batik, sehingga bisa benar-benar terlihat seperti tahu yang bermotif batik 😀

Tanggal 2 Oktober  sudah ditetapkan menjadi Hari Batik Nasional, di Indonesia. Dan tentu saja aku mau dong berpartisipasi, jadi memang berniat untuk pakai baju batik untuk keluar rumah. Kebetulan kemarin itu aku ada janji bertemu dengan dua pastor dan seorang tante anggota gereja di Kichijouji. Sayangnya aku lupa mengingatkan ke 3 orang Indonesia itu untuk memakai baju batik…. terlambat deh. Kami janjian untuk lunch bersama kuliner rendah kalori yang bernuasa tradisional Jepang, karena ruangannya memang ruangan Jepang. Sayangnya kamar yang kami dapatkan adalah KUTANI 2 tidak begitu sesuai dengan bayangan aku. Aku inginnya Imari atau Arita yang pernah aku datangi sekian tahun yang lalu bersama mama. Ya restoran tahu “Ume no Hana” ini menamakan kamar-kamar privatnya dengan nama daerah penghasil keramik. Aku suka keramik, jadi sedikit sedikit aku mulai mengingat motif-motif khas suatu daerah. Memang aku paling suka dengan Arita(yaki) yang kerap memakai warna biru dan merah dalam hasil bakarannya.

Pertemuan itu sebetulnya untuk merayakan ulang tahun Tante Kristin yang jatuh tanggal 28 September, Pastor Ardy yang jatuh tanggal 30 September dan kedatangan pastor Denny dari Kumamoto ke Tokyo. Aku kenal dengan pastor Denny melalui multiply, waktu beliau masih di Italia dan sedang mempersiapkan kedatangan ke Jepang. Sayangnya beliau ditempatkan jauuuh dari Tokyo, di Kumamoto. Setelah ‘kenal’ di dumay (dunia maya)selama bertahun-tahun, baru tahun ini sempat bertemu. Jadilah hampir 3 jam kita bercakap-cakap sambil makan sajian course yang dibawakan bertubi-tubi. Hampir semua terbuat dari tahu, dan kami dilayani seorang pelayan pria yang memakai hakama (kimono untuk lelaki)… cakep juga loh, sayang kok aku tidak kepikiran untuk berfoto bersama dia ya? hahahaha… mungkin karena ‘jaim’ pergi dengan pastor hehehe. (Jadi ngga mau pecicilan gitu). Tapi dari dia kami mendapat info bagus tentang SkyTree 🙂

jenis makanan yang sebagian besar terbuat dari tahu

Sebanyak 15 piring jenis makanan diantarkan dan ditutup dengan nasi, sup kembang tahu dan desert. Meskipun semua jenisnya kecil-kecil kenyang juga euy. Dan waktu aku memesan tempat ini memang ditanyakan apakah ada yang berulang tahun? Karena jika ya, mereka akan memberikan hadiah berupa sumpit kepada yang berulang tahun dan memberikan foto bersama kepada yang hadir. Bagus juga jadi kami ada foto bersama tanpa harus mengeluarkan tripod.

Pelayanan yang sempurna. Foto dari mereka, dekorasi ruangan yang indah, bahkan sampai wc-nya pun nyaman, dan disediakan ruang membetulkan make up. Pintunya rendah seperti memasuki ruang untuk tea ceremony -chado/sado- sehingga kita memang harus membungkuk untuk memasukinya. Jaman dulu yang melakukan upacara minum teh adalah para samurai. Karena memasuki ruangan dengan menunduk, mereka HARUS melepaskan pedangnya dulu sebelum masuk. Memang upacara minum teh harus dengan perdamaian dan kesederhanaan. Wabi dan sabi.

Setelah selesai makan, kami berjalan menuju gereja Kichijouji dan berfoto bersama di depan gereja, juga melihat sepeda lipatnya pastor Denny yang dibawa dari Kumamoto. Jadi selama di Tokyo beliau bersepeda kemana-mana, bahkan malam harinya akan pergi ke Nagano untuk bertemu seorang suster Jepang di sana…. Buatnya jarak 17 km dari Shibuya sampai Kichijouji itu DEKAT! hihihi. (Aku aja dari rumahku bisa juga sih naik sepeda ke Kichijouji, mungkin makan waktu 50 menit… padahal kalau naik bus cukup 20 menit. Hmmm belum berani coba sih). Cukup tergoda juga sebenarnya, karena pastor Denny itu bisa turun berat badannya 20 kg selama 6 bulan hanya dengan mengubah pola makan dan  bersepeda. huhuhuhu pengeeen 😀

sempat juga berfoto di gereja. Pastor Denny dengan sepeda lipatnya.

Lalu kenapa aku menuliskan judul Tahu Batik? Ya, selain kemarin itu hari Batik di Indonesia, di Jepang adalah hari TAHU, karena 10/2 (2 Oktober) dibaca TOFU. Jadi cocok sekali kan kalau makan Tahu sambil pakai baju batik?

(Eh ternyata aku juga baru tahu bahwa tanggal 1 Oktober, selain hari Tokyo, juga hari KOPI … duh ada-ada saja nih orang Jepang. Tapi mungkin yang lebih ada-ada lagi waktu aku melihat iklan di TV pagi tadi tentang teh yang terbuat dari biji kopi yang dikeluarkan oleh Nescafe…. gimana ya bilangnya? Teh kopi? bingung heheheh)

Canggih tapi….

29 Sep

Masih lanjutan dari Budak Gadget deh, yaitu betapa tergantungnya kita, terutama warga Jepang terhadap Gadget. Di satu sisi aku menyayangkan jika kita menjadi budak gadget, sehingga tidak bisa hidup tanpanya, tapi di sisi lainnya, ternyata dalam hidup di kota metropolis megapolitan Tokyo ini kadang mau tidak mau HARUS menjadi budak gadget.

Pertama cerita dari adikku Tina. Dia pemakai iPh*ne memang, dan sudah lama. Maklum karena orang IT, dia tentu tahu segala macam yang berkaitan dengan komputer. Beli tiket juga kalau bisa dengan online. Memang akupun sudah lama e-shopping juga, tapi untuk yang murah-murah, sedangkan kalau membeli tiket online, baru 2-3 tahun terakhir. Lebih nyaman kalau lewat telepon, dan memang karena aku harus beli tiket untuk anak dibawah 12 tahun, biasanya harus lewat telepon karena ada special request. Tapi aku baru terbatas pada pembelian tiket saja. Setelah mendapatkan e-tiket, aku printout dan bawa ke counter check in, dan mendapatkan boarding pass yang dicetak. Pernah mau mencoba online check in, ternyata pasporku sulit terbaca, jadi stop deh daripada ada masalah macam-macam 😀 Langsung ke counternya saja.

Nah adikku ini sering online check in, dan ternyata dari Tokyo, boarding passnya bisa berupa QR code, tanpa kertas boarding pass. Waktu mau mengurus imigrasi pun tinggal kasih HPnya, lalu pihak imigrasi baca dengan reader… atau waktu mau boardingpun tinggal menyerahkan HP atau menempelkan permukaan HP yang ada QR Codenya di pintu otomatis yang bisa membaca code tsb. Tentu saja cara ini tidak bisa dipakai waktu kembali dari Jakarta ke Tokyo, harus dengan kertas printout.

Aku tidak punya smartphone. Telepon genggamku di Jepang, masih telepon biasa, meskipun bisa terima email dan browsing dengan internet. Ya pas-pasan lah. Aku beli HP bernama biblio ini karena sesuai namanya bisa dipakai untuk membaca e-book. Padahal kenyataannya, aku malas memakainya karena displaynya yang kecil. Juga aku sadar masih banyak fungsi lainnya yang belum kukuasai semaksimal mungkin.

Fungsi yang baru-baru ini aku pakai adalah mendaftar sebagai anggota gerai karaoke dengan beberapa kali mengirim email, sampai dinyatakan sebagai member, diberi “kartu anggota” virtual berbentuk QR Code (yang belum tahu QR Code, bisa lihat di side bar kiri ada QR Codenya Twilight Express) . Lalu sebelum masuk ruangan karaoke aku harus menyentuh QR Code itu di reader untuk menyatakan bahwa aku adalah anggota, supaya bisa dapat diskon khusus dan harga anggota. Akhirnya aku cukup terbiasa dengan penggunaan QR Code ini.

Nah, hari ini aku merasa “dikerjai” lagi oleh kecanggihan teknologi ini. Jadi ceritanya nanti tanggal 20 Oktober 2012( 28 Oktober) , di Tokyo  akan diadakan Tokyo International Film Festival (TIFF). Dan tentu saja ada beberapa film Indonesia yang akan ditayangkan di sana. Suamiku Gen memang suka sekali menonton Film. Waktu TIFF beberapa tahun yang lalu, dia pernah pergi sendiri untuk menonton pertunjukan film Ada Apa Dengan Cinta di TIFF dan melihat dengan langsung si Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra sebelum pemutaran film. Jadi dia selalu mengikuti informasi penyelenggaraan TIFF setiap tahunnya. Dari dia aku tahu ada film : Atambua 39 ⁰Celsius (Riri Riza),  Mata Tertutup (Garin Nugroho), Soegija (Garin Nugroho),  Kebun Binatang (Edwin),  Babi Buta Yang Ingin Terbang (Edwin),  Laskar Pelangi (Riri Riza),  Sang Pemimpi (Riri Riza). Wah ada tujuh film loh!

Sayang waktunya banyak yang tidak cocok bagi pekerja. Dan diantara 7 film itu, ada satu film yang harus aku lihat, yaitu Soegija (tentu saja karena aku katolik :D). Dan menurut daftar penayangan film, “Soegija” ini akan diputar pada hari pertama tanggal 20 Oktober, pukul 20:20. Konon Garin Nugroho sendiri akan datang sebelum pemutaran film. Wah aku tentu tidak mau kehabisan tiket, kalau perlu beli tiket sebelumnya dulu. Nah waktu mau membeli tiket itulah aku merasa “dipermainkan” oleh gadget! Karena untuk pembelian tiket TIFF ini harus melalui sebuah situs yang bernama Ticket Board via website atau smartphone, dan sebelumnya harus menjadi anggota dulu (gratis sih). Dan kalau membaca peraturan pembeliannya satu HP hanya bisa membeli maximum 2 tiket saja. Wah kok angel (susah) ya. Sepertinya mereka akan mengirimkan tiket dalam bentuk QR Code sebagai tanda masuknya. Tadi aku sudah mencoba mendaftar menjadi anggota pakai bahasa Jepang, dan lumayan nyebelin 😀 Dan berhubung penjualan tiket TIFF itu baru dibuka tanggal 6 Oktober nanti, aku belum bisa mengetahui proses pembeliannya. Sepertinya kalau tidak bisa membeli dari website atau smartphone bisa sih menghubungi telepon khususnya. Kita lihat nanti saja apakah aku berhasil membeli online.

Tentu saja harapanku sebagai orang Indonesia, semoga banyak orang Indonesia yang tinggal di Tokyo bisa ikut meramaikan film-film Indonesia ini. Untuk mengetahui daftar film dan daftar penayangan bisa melihat website resminya yang berbahasa Inggris. Kita ketemu di Toho Cinemas Roppongi Hills ya 😉

Tanpa Anak = Sepi

27 Sep

Bukan aku yang bilang loh…. Karena kalau aku mestinya bilang Ada Anak = Ramai hahaha. Well punya dua anak krucil pastilah ramai dan…. repot. Nah pernyataan itu bukan keluar dari mulutku, karena aku tahu banyak juga pasangan yang belum/tidak mau punya anak karena satu dan lain hal. Ini adalah pernyataan KAI!

Tadi sore aku sedang melipat baju cucian. Di sini kalau tidak perlu sekali, aku tidak menyeterika baju-baju. Hanya kemeja dan baju luar yang lecek sekali yang aku seterika, sedangkan baju dalam cukup dilipat. Tiba-tiba, Kai yang sedang bermain di dekatku berkata (dalam bahasa Jepang):

“Nanti kalau Kai besar, Kai bisa punya anak ngga ya?”

“Kai mau punya anak?”

“Mau dong…. ”

“Kenapa?”

“Eh… kalau ngga ada anak kan sepi…”

“Iya sih. Ya mungkin saja punya anak. Tapi Kai tidak bisa melahirkan.”

“Loh kok?”

“Ya untuk punya anak, Kai harus menikah.”

“Kalau begitu, aku mau nikah sama Riku saja” (aku udah tahan ketawa nih)

“Ngga bisa nikah dengan Riku. Harus dengan perempuan.”

“Hiiii ngga mau menikah dengan perempuan”

“Ya kalau tidak menikah dengan perempuan ya ngga bisa punya anak. Karena perempuan yang melahirkan”

“Hmmmm… siapa perempuannya?”

“Ya ngga tahu. ”

“Susah dong kalau ngga tau”

“Ya mama doakan Kai dapat bertemu perempuan yang baik ya”

……. dia diam dan pembicaraan terhenti 😀

Aduuuh Kai… udah berpikir sampai sejauh itu. Tapi pemikirannya itu benar juga. Tanpa anak itu sepi!  Meskipun kadang kalau Riku dan Kai bertengkar duuuuh rasanya menyebalkan. Ribut! dan aku mendambakan rumah yang sepi….. Tapi kalau mereka sudah tidur seperti sekarang ini. Rumah memang sepi, tapi… kangen suara mereka juga.

Apalagi tadi waktu aku mendongengkan Kai, dia tanya macam-macam yang membuat aku pusing juga jawabnya. Buku Toy Story3.

“Mama kenapa  boneka itu tidak makan?”

“Ya karena tidak hidup… mereka tidak perlu makan”

“Tapi kan mereka hidup, mereka bergerak kok…” (Mampus gue!)

“Mmmm ini kan cerita Kai. Kalau cerita ya semua mungkin Tapi pada kenyataannya kan boneka itu tidak ada yang bergerak, berbicara apalagi nafas. Coba kalau boneka ultraman (yang ada di sebelah tempat tidur dia) tiba-tiba bicara…Hei Kai… Kai pasti takut.”

“Ngga, aku ngga takut. Aku senang.” (dooohhh)

“Kai buku cerita itu memang menceritakan macam-macam. Tikus bisa bicara, atau ada Setan Merah dan Biru di cerita Jepang,  Atau Momotaro yang lahir dari buah peach. Mana ada seperti begitu di genjitsu 現実 (kenyataan ), karena itu semua kuusou 空想 (khayalan) seperti dalam yume 夢 (mimpi) . Coba kalau tiba-tiba kamar ini bicara… susah kan”

Sambil ketakutan dia bilang, “Ya sudah, lanjutin bacanya…”

“Loh mama kan jelaskan karena Kai tanya-tanya. Makanya  udah dengerin aja mama baca”

Dan tak seberapa lama…

“Ma, ini kenapa ada tanda bulatnya (titik) di sini?” (Ada tanda titik di setiap kalimat)

“Ya kalau tidak ada tanda titik, mamanya cape bacanya sambung semua… Ini namanya titik, yang menandakan satu kalimat”

Hmmm memang Kai sudah masuk ke tahap bertanya yang susah-susah,dan aku harus siap menjawabnya. Dan pertanyaannya lain lagi dengan pertanyaan-pertanyaan Riku dulu. Lucu ya … setiap anak memang berbeda.

Kai meniru pastor dalam misa. Waktu kutanya, “Kai mau jadi pastor?” Dia jawab “Mau”… eh tapi kok mau punya anak ya hari ini 😀 Dia belum tahu bahwa pastor (Katolik) tidak boleh menikah dan punya anak 😀

So….. sepikah malammu kawan? Kalau sepi, silakan baca buku-buku fiksi yang bisa membawamu ke alam mimpi. Siapa tahu kamu bertemu dengan pangeran berkuda putih hahaha.  (Untung waktu aku kecil tidak pernah bermimpi menjadi putri sehingga tidak usah menunggu pangeran berkuda…lah wong pangeranku datangnya naik kereta listrik :D)

 

Budak Gadget

26 Sep

Wah sadis bener ya sebutan itu. Tapi kadang kala aku ingin sekali nyeletuk itu jika melihat foto dan berita seperti ini :

orang-orang yang antri di Ginza untuk membeli iPh*ne5, sudah sejak seminggu sebelum dirilis ….. gambar diambil dari http://weekly.ascii.jp/elem/000/000/108/108945/

Bayangkan orang-orang ini antri iPhone 5 di gerai Ginza sejak seminggu sebelumnya. Sampai ada yang bawa komputer lengkap dengan modem, atau bahkan ada yang bawa peralatan masak untuk berkemah! Segitunya deh. iPhone5 itu dirilis hari Jumat tanggal 21 September lalu, mulai pukul 8 pagi. Jadi aku bisa lihat tuh di TV panjangnya antrian yang mencapai 650-an orang (lebih mungkin). Duh segitunya! Ampun deh. Tepat ngga kalau aku katakan seakan manusia diperbudak barang?

Memang sih orang Jepang akan berbuat seperti ini juga jika ada produk-produk baru yang akan dirilis. Semua ingin menjadi yang pertama mendapatkannya sampai rela bersusah payah begitu. Tapi dari sisi lain, aku juga bisa melihat passion mereka, loyalitas mereka terhadap sesuatu. Ya, ada sisi buruk tapi ada sisi baiknya juga.

Mungkin kita tidak sampai diperbudak gadget, tapi kecanduan atau ‘gila’ gadget. Ada seorang temanku yang punya 5 buah handphone, dengan 2 BB, iPhone,dan 2 HP biasa…total 5 biji untuk dia sendiri (Dia baca ngga ya hehehe). Mungkin dia juga tidak marah kalau dikatakan “iiih kamu gila gadget, maniak banget sih!”, karena memang begitulah dia. Kalau dengan gadget dia bisa happy ya bagus kan? 😉 Untungnya dia tidak mengeluarkan semua HPnya ke atas meja waktu bertemu denganku… bisa-bisa aku tilep deh satu hehehe. Rasanya akan mengganggu juga jika waktu bertemu dengan teman, janjian di cafe, lalu misalnya dia mengeluarkan BB, iPhone, Tablet, dan iPadnya sekaligus….. oi oi… mau jualan bu? (Believe it or not, orang seperti ini ada). Cukup satu yang penting saja dong 😀 😀 😀

Meskipun aku tidak menyangkal bahwa gadget itu memang diperlukan, tapi menurutku jangan sampai kita dikuasai gadget. Susah loh keluar dari cengkeramannya. Contohnya si Kai. Selama di Jakarta dia diberi pinjaman Tab oleh omnya, karena sepupunya yang lain memakai Tab punya orangtuanya. Sampai di Tokyo dia sempat minta “Mama kenapa sih ngga beli iPad?”  dan aku jelaskan “Loh kan mama sudah bilang sejak di Jakarta, mama tidak akan beli iPad atau Tab, apalagi lihat kalian begitu kecanduan angry bird… oh no way!”. Padahal sebetulnya Gen sempat menawarkan membelikanku iPad sbelum ke Indonesia. Untung tidak jadi dan tidak akan! Dan aku miris melihat semakin banyak anak-anak yang tergila-gila dengan gadget, kalau bisa begitu lahir sudah dibelikan gadget oleh orang tuanya. Dan ini pemandangan khas di Indonesia loh. Di Jepang aku jarang sekali, hampir tidak pernah, melihat anak-anak (TK/SD) memegang HP apalagi Tab/iPad.

Jika sebuah kamera digital jika termasuk dalam kategori gadget, maka sudah pasti aku tergantung pada gadget. Karena aku suka memotret dan hampir selalu membawa kamera digital dalam tasku. Dari sejak sebelum Riku lahir (sekitar 10 tahun yang lalu) kami berdua memilih Canon PowerShot G2 sebagai kamera keluarga. Ketika G2 rusak, ganti dengan ‘kakak’nya G6, lalu waktu Kai lahir kami ganti lagi dengan G9, sampai dengan ke Jakarta Agustus lalu. Tapi akhirnya kami harus berpisah dengan G9 yang kami cintai itu, karena dia mati begitu saja menjelang Gen datang menyusul kami. Karena masih ada DSLR, kupikir aku akan bertahan tanpa kamera kecil. Tapi akhirnya Gen mengatakan, “Ayo beli saja Canon. Sejak dulu kan kita suka Canon, dan memang sekarang sudah ada yang terbaru. Tapi kita jangan beli yang terbaru, beli saja yang G12, karena itu yang terakhir sebelum namanya berubah (menjadi G1X)”… Ah kami berdua memang sentimentil soal beginian. Ciri khas capricorn, kalau sudah pilih satu, pasti itu terussss 😀

Yang lama dan yang baru….

Jadilah kami membeli Canon PowerShot G12 di Jakarta, dengan harga murah! Jauuuuh lebih murah daripada beli di Jepang. Yatta! Dan kami masih sempat pakai untuk merekam acara jalan-jalan kami di Kota Tua dan Museum Fatahilah. Dan ternyata tidak kecewa deh membeli kamera ini. Karena bisa meredam goncangan sehingga dalam kondisi bergerakpun bisa memotret (dan membuat video) dengan stabil.

Ada lagi satu gadget milikku yang terasa sekali kehadirannya terutama setelah aku kembali ke Jepang. Ya, namanya memang bisa menjadi singkatan dari Bau Badan sih, dan dimusuhi oleh teman bloggerku yang ini, mungkin karena imagenya yang jelek di matanya.

Jadi selama di Jakarta aku memakai BB, yang sudah berusia 2 tahun, tapi masih gres. Karena aku cuma pakai selama 1 bulan dalam setahun (ditambah kemarin jadi 2 bulan). Ya, BB itu tidak bisa dipakai di Jepang. Tentu saja karena aku tidak mau membayar roaming. TAPI, ternyata, jika network telepon dimatikan dan aku punya Wifi di rumah, aku masih bisa pakai untuk BBM dan email saja! Padahal di rumahku di Tokyo tidak ada Wifi. TAPI setting wifi itu ternyata mudah ya…. Aku tinggal membeli ruter dan… voila… jalanlah semua laptop dan gadget yang memakai wifi. Jadi deh aku bisa ber BB ria di Tokyo juga. Dan aku merasa bermanfaat sekali, karena papa dan kedua adikku di Jakarta hanya bisa respon cepat melalui BB. Manfaat pertama langsung terasa  waktu tanggal 1 September  pagi aku terbangun dan mendapatkan BBM bahwa papa masuk RS 🙁 Sejak itu hampir setiap hari aku menanyakan kabar papa, atau mendengar curhat papa yang sering kesepian di malam hari. Di waktu-waktu seperti itu rasanya ingin terbang ke Jakarta menemani dia ….

So, kesimpulannya gadget memang penting dan jika kita memang tahu memakainya bisa menjadi alat yang sangat berguna. Asalkan jangan kita diperbudaknya sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Gadget apa yang sedang kamu inginkan?Aku sudah mencoret iPad dan Tab dari daftar keinginanku karena rasanya aku tidak perlu, sekarang tinggal iPhone hanya karena aku tertarik pada fungsi kameranya 😀 So, aku sedang menunggu ada yang berbaik hati membelikan iPhone5 (sambil melirik Gen….:D ) tapi tanpa antri! hehehe

 

20 Tahun dan Kopdar Tokyo

25 Sep

♥♥♥♥ Sebetulnya tanggal 23 September kemarin merupakan hari yang bersejarah untukku. Karena tepat hari itu 20 tahun yang lalu aku mendarat di Tokyo, untuk memulai  “petualangan” sebagai mahasiswa persiapan program S2 di Yokohama National University. Seharusnya aku menulis sesuatu yang “berbobot” untuk memperingati 20tahun kedatanganku, dan kebetulan juga 13 tahun tercatat di catatan sipil Jepang, sebagai Mrs Miyashita. Namun…. ya berbagai alasan yang bisa dikemukakan tapi pada intinya, aku tak tahu mau memulai menulis dari mana.

Sejak jumat sore, kami menginap di rumah mertua, di Yokohama. Karena seminggu sebelumnya, tepat pada hari lansia, kami tidak bisa pergi ke sana karena Gen harus mengajar (lalu aku pergi karaoke dengan anak-anak). Karena aku mulai semester genap di universitas S, maka aku otomatis keluar rumah dari pagi. Padahal hari jumat itu juga ada open school di sekolahnya Riku. Open School adalah kesempatan bagi orang tua murid untuk melihat dari dekat kegiatan pembelajaran di kelas anaknya. Jadi aku minta Gen untuk ambil cuti dan mengikuti acara open school itu. Gen sendiri senang karena dia jarang mempunyai kesempatan untuk melihat, lain dengan aku yang selalu hadir. Jadi setelah mengantar Kai ke TK, Gen ke SD dan berada di sana sampai harus menjemput Kai di TK pukul 2 siang. Kesan Gen : “Riku disukai teman, dan tidak terpengaruh pada teman yang ribut… itu yang penting. Dan dia juga aktif menjawab pertanyaan guru (padahal kalau aku yang datang dia malu-malu loh huh)”. Dan setelah kedua anak selesai sekolah, Gen bertiga naik mobil ke Yokohama, ke rumah mertuaku.

Sake Jepang : Momo no Shizuku, fanta jenis baru dan mozarella cheese+tomat dengan olive oil+ pepper

Aku sendiri dari pagi mengajar ke kampus yang kebetulan tidak begitu jauh letaknya dari rumah mertua. Sekitar 40 menit naik kereta. Jadi begitu selesai mengajar, aku menuju stasiun terdekat (meski terdekat juga masih harus naik bus 20 menit, atau taxi ) dan berbelanja dulu sebelumnya. Terutama berbelanja makanan yang mentah seperti sashimi dan roti serta keju. Aku juga sempat membeli sake Jepang yang enak, tapi karena ada persediaan sake yang dibeli ibu mertua, sake itu disimpan di lemari es saja. Tak disangka rombongan Nerima yang naik mobil pun bisa sampai di rumah mertua pada pukul 5 sore karena tidak macet, sehingga kami bisa mulai makan bersama lebih awal. Sake yang disediakan ibu mertua berasal dari Kyoto (jizake 地酒)  bernama Momo no shizuku 桃の滴 (Tetesan Peach), nama yang bagus dan rasanya juga bagus… tapi entah kenapa tidak seperti biasanya aku cepat mabuk minum sake ini. Mungkin karena aku tidak begitu fit juga ya. Alhasil  ibu mertua dan Gen terkapar di tempat tidur pukul 8 malam, sedangkan aku sebelum tidur masih sempat menyediakan nasi untuk anak-anak yang mengeluh lapar. (Kalau minum sake memang yang dimakan semua makanan ringan, seperti sashimi, salad, ikan dan nasi biasanya paling belakang, atau bahkan tidak makan nasi sama sekali…. jadi anak-anak juga makan sashimi, salad segala lauk tanpa nasi. Giliran sudah mau tidur, mereka mengeluh lapar, dan minta nasi).

Hari Sabtunya, kami makan siang dengan daging domba yang dibawa bapak mertua dari daerah Hokkaido. Daerah hokkaido memang terkenal dengan daging dombanya yang diberi nama Jengis Khan. Kupikir daging dombanya bau dan amis, eh ternyata cukup empuk dan enak. Anak-anak suka sekali makan daging domba, sampai aku tercengang melihat Kai yang tambah daging dan nasi terus. Hmmm anakku ini juga mulai menunjukkan sukikirai (pilih-pilih) makanan, tapi memang sejak kembali dari Indonesia aku melihat dia semakin tinggi saja.

Kami memang berencana pulang ke Nerima malam hari, karena aku mau ke gereja di Kichijouji hari Minggunya dan janji bertemu dengan Andori di Kichijoji untuk makan siang bersama. Tapi karena Gen ingin makan di restoran Indonesia Cabe, kupikir kalau dia bisa gabung maka lebih baik bertemu untuk makan malam saja, daripada makan siang. Jadi aku tanya apakah dia bisa memajukan janji bertemunya ke hari sabtu malamnya. Dan bisa.

Ya hari Sabtu malam itu kami mengadakan Kopdar (blogger) Tokyo yang ke tiga untukku, (yang pertama waktu bertemu Mas Agustus Nugroho, dan yang kedua Ade Susanti). Meskipun demikian aku pertama kali bertemu dengan Andori yang bertempat tinggal di Nagoya. Blognya (Toumei Ningen) memang berisi tentang kehidupan di Jepang, terutama film dan musik. Dia fans beratnya band Jepang Laruku deh ([L’Arc~en~Ciel). Andori juga mengajak Grace Kamila, yang konon juga blogger dan sekarang tinggal di Niigata. Pembicaraan kami apa ya? Selain soal blog/blogger, aku tidak bisa ingat, karena kebanyakan meredakan pertengkaran Riku dan Kai. Riku malam itu memang mengantuk, sehingga diam terus, sedangkan Kai full battery, sehingga maunya bermain. Susah deh…. setiap aku bicara, Kai pasti mau bicara juga dan menanyakan hal-hal remeh kepadaku. Sudah sering aku beritahu bahwa tidak boleh ribut kalau mama sedang bicara, tapi entah akunya yang gagal mungkin, dia selalu begitu. Minta perhatian. Setiap aku telepon juga, bahkan kalau aku telepon masuk ke kamar supaya sepi, dia juga ikut masuk ke kamar. Meskipun akhirnya dia juga akan minta maaf, aku sering harus meminta maaf pada teman yang di telepon karena ribut. Aku berharap kalau dia SD mungkin sudah bisa lebih tenang. (Makanya jangan telepon aku kalau malam hari/anak-anak bangun dan ada di rumah deh. Bakal tidak tenang ngegossipnya hahaha). Maaf juga kepada Andori dan Grace atas kenakalan anak-anakku ya. Nanti lain kali silakan datang ke rumah saja, biar lebih bebas bicara ya hehehe.

kopdar Tokyo ke 3 di restoran Cabe, Meguro

Jadi perayaan 20 tahunnya bagaimana? Selain dirayakan malam sebelumnya bersama Andori dan Grace, aku merayakan dengan “diam” berdoa di gereja pada misa jam 9:00. Tema misa kali itu juga tentang pengungsi/imigran, yang terpaksa harus meninggalkan negaranya untuk hidup di negara lain. Dengan bacaan : “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” Anehnya aku tidak merasa sedih atau terharu atau menitikkan air mata pada misa itu, seperti kalau aku mengikuti perayaan untuk saat-saat khusus pada kehidupanku kecuali pada saat menyanyikan lagu pujian ini :

Lihatlah burung di udara
Hidup tenang di padang bakung
tanpa menabur tanpa menuai
Sedangkan makhluk sekecil itu
Ada Tuhan yang menjaga

Sahabatku, hari ini mari kita memuji dengan nyanyian
Kasih Bapa di surga meresap pada semua makhluk.

ご覧よ 空の鳥 野の白百合を
蒔きもせず 紡ぎのもせずに 安らかに 生きる
こんなに小さな いのちにでさえ 心を かける父がいる

友よ 友よ 今日も たたえて歌おう
すべての物に 染み通る 天の父の いつくしみを

Buku pujian di gereja dengan not balok semua. Pertama kali datang ke Jepang mabok deh karena aku tidak bisa baca not balok. Sekarang sih sudah lumayan deh hehehe

Dan setelah gereja aku sempat berbelanja untuk makan malam bersama sekeluarga berempat…dan lupa mengambil foto :D. Kesimpulannya: Perayaan genap 20 tahun aku di Jepang aku lalui dengan …. sederhanaaaaaa sekali. Yang pasti aku mengucapkan syukur pada Tuhan dan kedua orang tuaku yang sudah melindungi aku dengan doa-doanya selama ini. Amin.