Hujan Berudu

9 Jun

hmmm kalau seandainya saya tuliskan hujan beludru, maka akan terbayangkan sesuatu yang romantis… velvet rain… meskipun saya tahu kadang hujan tidak bisa selembut beludru.

Tapi yang saya mau tulis adalah berudu, atau kata lainnya cebong/kecebong, anak katak. Dan yang pasti menjijikkan sekali ya jika terjadi hujan berudu.

Fenomena alam yang aneh ini terjadi sejak tgl 4 Juni lalu, di Ishikawa Prefektur sekitar pukul setengah lima sore. Seorang pegawai pemda mendengar suara “pletak pletak” di pelataran parkir salah satu fasilitas pemda. Waktu didekati ternyata di atas mobil dan sekitar pelataran parkir itu ada banyak sekali kecebong sepanjang 2-3 cm berjatuhan. Dilihat dari posisi jatuhnya cuma bisa diperkirakan bahwa kecebong itu jatuh dari langit…. dan berarti? hujan kecebong? Dan kejadian ini berlangsung juga di beberapa tempat dalam beberapa hari.

Foto dari sini

Ternyata di daerah Ishikawa pada musim-musim sering terjadi angin puting beliung memang sering terjadi “hujan ikan dan benda benda lain” tapi saat ini bukanlah musim angin puting beliung. Pada saat kejadian cuaca sedang stabil. Kepala kebun binatang Ishikawa mengatakan,” Memang kadang burung bangau atau bebek makan kecebong,  tapi tidak mungkin kalau sampai menjatuhkan 100 ekor lebih kecebong pada saat yang bersamaan” .

Kalau hujan kecebong yang sekecil-kecil uprit sih ngga papa mungkin ya… meskipun agak geli juga. Tapi kalau sampai hujan kodok? hiiiiiii

Bicycle

8 Jun

Bicycle bicycle bicycle
I want to ride my bicycle bicycle bicycle
I want to ride my bicycle
I want to ride my bike
I want to ride my bicycle
I want to ride it where I like

(Bicycle Race by Queen)

Ada satu fenomena dalam bahasa Jepang yang kurasa juga aneh, yaitu kita tidak bisa memakai kata “bike” untuk mengatakan sepeda, karena bike di dalam bahasa Jepang = sepeda motor.

Bicycle atau sepeda merupakan alat transportasi umum di Tokyo. Dari anak-anak sampai lansia (tentu saja yang masih kuat mengayuh sepeda), dari wanita memakai rok mini sampai nenek-nenek bercelemek, kemana-mana pergi mengendarai sepeda. Sepeda teronggok begitu saja yang sering mengganggu pejalan kaki merupakan pemandangan yang lazim terlihat di stasiun-stasiun.

Riku sudah punya sepeda dari tahun lalu, pernah aku posting di sini. Tapi selama setahun ini boleh dibilang sepedanya dibiarkan saja di tempat parkir. Riku hanya bisa latihan kalau papanya libur, dan itu berarti hari minggu. Pernah sekali dua kali aku temani dia main sepeda waktu Kai tidur, tapi itu saja tidak membuat dia mahir bersepeda.  Sampai kira-kira sebulan yang lalu, Gen dan Riku membawa sepeda itu ke tukang sepeda untuk dilepaskan roda penyangga. “Aku kan sudah SD, sudah besar!” Dan itu juga membuat dia bersemangat untuk berlatih.

(horeee aku sudah bisa bersepeda!!!)

Oleh kakek tukang sepeda disarankan untuk menyuruh Riku duduk di sepeda sambil “berjalan” membiasakan duduk di sepeda tanpa mengayuh sekaligus belajar keseimbangan. Jadi Gen selalu mengajak Riku “membawa sepedanya” pergi ke tempat-tempat dekat rumah, sembari dia berjalan di belakangnya. Tanpa sadar Riku mencoba mengayuh, dan tahu-tahu dia sudah mengayuh 2-3 kali tanpa jatuh.

Kapan ya aku belajar bersepeda? Yang pasti sudah sejak SD, dan masih bisa bersepeda di halaman belakang rumah di Jakarta karena masih luas, belum ada tambahan kamar-kamar. Kami dulu bahkan sempat bermain kasti di halaman belakang rumah. Kalau sekarang sih sudah tidak bisa. Dan aku juga ingat pernah mengajari teman Srilanka aku, Leela di Tokyo untuk naik sepeda, jaman masih indekost di Meguro.

Hari Sabtu kemarin merupakan hari “full of achievement”. Riku puas karena sudah bisa bersepeda, dan Gen puas sudah bisa melakukan tugas sebagai ayah  dengan menyediakan waktu mengajari Riku bersepeda. Jam 5 sore, Gen masuk rumah dan menyuruh aku ke bawah sambil membawa kamera. Dan aku tahu Riku pasti mau memperlihatkan kebolehannya bersepeda.

Minggu pagi jam 9, Riku sudah cerewet membangunkan papanya (Dianya sendiri sudah bangun jam 7:30). Biasanya orang tua yang cerewet membangunkan anak-anak, tapi khusus anak-anakku, semua early bird….. selalu bangun pagi, tanpa dibangunkan. Jadi tak jarang aku menutup pintu kamar, supaya Gen tidak terganggu tidurnya di hari Minggu. (Dan kalau aku biarkan bisa-bisa bangun jam 12 siang! heran deh kok bisa ya bayar tidur? aku paling ngga bisa tuh, pasti harus bangun dulu, baru tidur siang kalau mengantuk)

Tadinya kami berencana untuk pergi ke pabrik kereta api, tapi karena sudah terlambat (jam 10 pagi) kami batalkan. Dan hari ini adalah hari untuk Riku …. again! Mereka berdua pergi lagi naik sepeda, sementara aku di rumah bersama Kai membereskan rumah sambil mengerjakan pekerjaan editing.

(Shakujii Koen – Taman Shakujii)

Dan ternyata Gen dan Riku pergi bersepeda sampai ke Taman Shakujii yang berjarak kira-kira 20 menit (bersepeda 40 menit jalan kaki) dari rumah kami. Taman ini merupakan kompleks dengan hutan dan 2 kolam/danau kecil yang bernama “Kolam Sanpouji” 三宝寺池 dan “Kolam Shakujii” 石神井池. Di kolam Shakujii ini kita dapat menaiki boat memutari kolam selama 30-1 jam. Taman ini adalah taman kota yang didirikan tahun 1959 dan menempati areal seluas 201.374,83m2.

(Taman Sanpouji)

Selain kolam dengan boat (hanya bisa naik boat pada musim panas saja), di dalam areal taman juga terdapat lapangan baseball, panggung terbuka, dan hutan lindung yang sering disinggahi burung-burung tertentu. Setiap tahun pada bulan April-Mei di areal taman ini diadakan Teruhime Festival, dan bulan Oktober Nerima Festival.

So, yang mau kopdar di Tokyo, silakan datang dan kalau mau  saya akan ajak ke taman ini. Saya tunggu loh  …. 😉

(biar di rumah boleh dong beraksi ya Kai hihihi)

Kencan (?) Pertama

4 Jun

(Tulisan ini bukan untuk melengkapi series PERTAMA nya Eka loh hihihi)

Kencan itu biasanya kan antara laki-laki dan perempuan. De-to kalau bahasa Jepangnya (lafal japlish dari date). Bisa pergi ke luar rumah atau mendekam di rumah saja. Kalau ditanya kamu kencan pertama kapan? wahhh ngga bisa jawab deh. Karena jaman dulu kan strict banget, mana bisa pergi berdua-dua. Atau didatangi rumahnya oleh satu cowo aja.  Kalaupun mau, bertandang ke rumah perempuan biasanya serombongan. Dan dalih yang paling ampuh adalah “belajar bersama”. Waktu SMP, cara ini sering kami lakukan. Buat kelompok belajar dan biasanya sesudah jam sekolah akan berkumpul di rumah salah satu anggota. Tapi yang terbanyak berkumpul di rumahku, karena yang paling dekat dari sekolah.

Kemarin aku kaget sekali, karena tiba-tiba pukul 4 sore, Riku mengajak seorang teman perempuan ke rumah. Aku sedang mengetik di laptop dan terdengar percakapan mereka, di pintu rumah,
“Silakan masuk”
“Mama kamu ada?”
“Ada tuh lagi kerja”

“Mama… ini aku ajak teman…” Aku bengong. Loh…cewe. Tadi memang ada telepon dari temannya Riku untuk janjian bertemu di sekolah. Mau main bola katanya. Dan aku sempat bicara dengan ibunya, yang mengatakan mulai jam 3 saja ya. Jadi jam 3 Riku pergi ke sekolah untuk bermain bola. Jelas aku pikir temannya laki-laki (setelah si cewe pergi aku bilang soal ini pada Riku, dan dia jawab,”Emangnya perempuan ngga bisa main bola?” Nah loh….yang gender siapa? ternyata mamanya!!! hiks)

Aku langsung menyambut si cewe ini dengan ramah…
“Namanya siapa?”
“Aska (samaran)”
Lalu Riku meminjamkan mainan DS nya sedangkan dia sendiri mulai menggambar. Oi oi jadi berdua berpunggung-punggungan deh. hihihi.
“Aska mau minum apa?”
“Apa aja yang ada” (ngga ada apa-apa sih palingan teh…)
“Teh dingin mau?”
“Mau”

Jadi aku buatkan teh dingin… tau-tau Riku minta cocoa dingin. Huh cerewet. Coba ngga ada Aska aku udah omelin hahaha.
Akhirnya cocoa dingin selesai untuk Madam Aska dan Mister Riku.

Aku kembali kerja dan sekitar jam 5 Aska pamit.
“Saya pamit”
“Hati-hati ya…” sambil antar ke pintu, tapi ternyata Riku juga ikut keluar. Loh???

“Aku anter Aska dulu sampai rumah”
Woooooowwwwwww gentleman! Hebat! Ngga ngerti aku dia tau dari mana tuh, bahwa harus antar cewe sampai rumah. Good boy!

Sekitar 15 menit, telepon berdering.
“Saya ibunya Aska”
“Oh iya, tadi Aska main ke sini”
“Hmmm tadi Aska cerita bahwa dia dapat minuman botol coca cola dari Riku dan uang 100 yen.”
%$'(‘&(=)(‘(%&# ngga ngerti…

“Tadi memang saya buatkan minum kok…”
“Aska bilang katanya jangan cerita tapi …Riku membelikan minuman untuk Aska. Saya ngga enak jadi mau kembalikan uangnya.”
“Oh…saya tidak tahu ceritanya. Tapi kalau Riku belikan ya sudah tidak apa-apa tidak usah diganti. (Tapi orang Jepang TIDAK BISA, harus ganti uangnya karena tidak mau merepotkan orang lain dan menimbulkan giri –hutang budi–) Tapi kalau Anda kepikiran nanti saja kalau bertemu di sekolah tanggal 17 ya”
“OK kalau begitu nanti saja tanggal 17 (peda pertemuan orang tua murid)”

Setelah telepon ditutup aku  interogasi Riku. Rupanya dia mengambil uang sakunya 500 yen, lalu membeli 2 minuman botol seharga @150. Kembaliannya ada 2 lembar 100 an. Karena Aska tidak punya uang, dia kasihkan 1 lembar itu ke Aska. LOH?

Memang kalau dipikir aneh, tapi ya menurut Riku wajar kali ya. Pemurah banget Riku … Tapi saya jelaskan padanya, bahwa tidak boleh memberikan uang ke teman, karena belum tentu orang tuanya senang anaknya menerima. (Susah deh di Jepang, setiap tindakan harus dipikirkan dampaknya) Tentang membelikan minuman tidak apa-apa tapi jangan kasih uang. Mulai sekarang Riku harus kasih tahu menggunakan uang untuk apa saja ke mama.

Tadi di atas aku katakan uang saku, tapi sebetulnya itu bukan uang saku. Itu memang uang Riku yang diberikan oleh kakek neneknya waktu tahun baru (Angpao). Aku tidak (belum) memberikan uang saku pada Riku. Tapi aku  memberlakukan sistem “upah”, untuk mengajarkan Riku betapa berharganya uang. Setiap sen yang dia pakai (minta) adalah hasil kerja keras. Jadi aku membuat perjanjian dengan Riku yaitu, setiap dia membuang sampah 1 kantong ke tempat pengumpulan sampah apartemen kami, maka akan mendapat 10 yen. Semacam arbaito tapi bukan (ada hukum tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur, sehingga sistem seperti ini pun bisa saja membuat aku dihukum oleh hukum Jepang… hiiii ngeri… nanti kejadian seperti Ibu Prita lagi). Berapa kali dia harus membuang sampah supaya bisa membeli minuman kaleng jus yang seharga 120 yen? 12 kali! dan dia tahu sulitnya bekerja membuang sampah 12 kali. Sekaligus dia bisa belajar berhitung juga. (Well dia lambat membaca dan menulis, tapi cepat sekali kalau ditanya penambahan loh. Padahal belum belajar penambahan di sekolah hihihi ) Sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui! (Dalam bahasa Jepangnya Isseki nichou 一石二鳥)

Malam hari aku ceritakan kejadian hari itu pada Gen, dan dia berkata,
“Wow …Riku… cewenya cakep ngga?”
“hahaha… mayan lah… aku ambil foto kok, pake ijin mereka”
“Jangan kamu pasang di blog ya”
“Tentu….”
Jika aku memasang foto mereka berdua akan menjadi pelanggaran privacy di Jepang, kecuali aku blurkan wajah si cewe. Karena aku belum mendapatkan ijin orang tua si cewe untuk memasang di blog.

repro foto dari Kim Anderson

So, beginilah cerita kencan(?) pertamanya Riku, or cerita dia mengajak cewe ke rumah. Tapi setelah itu aku ingatkan Riku sekali lagi, “Tidak boleh mengajak teman baik laki-laki atau perempuan ke rumah kalau mama tidak ada”. Karena Riku punya kunci rumah… dan bahaya juga membiarkan anak-anak tanpa pengawasan orang tua di rumah.

Surat Kabar untuk Anak SD

3 Jun

Kapan Anda mulai membaca surat kabar? Saya sendiri sudah mulai membaca surat kabar sejak saya mulai bisa membaca. Karena dulu kami tidak mempunyai bacaan yang cocok untuk anak-anak. Paling-paling membeli majalah Bobo dan Kawanku. Baru setelah SD tahun-tahun akhir (1980-an), kami sering pergi ke pameran IKAPI untuk memborong buku cerita anak-anak. Saya ingat suatu kali kami pergi ke pameran buku dan membeli 20-an buku …yang saya lalap dalam satu hari.
Sampai mama bilang, “Mbok yo kalo baca di eman-eman, satu hari satu biar ada bacaan tiap hari kan?”.
Tapi tidak oleh papa, yang berkata, “Biar saja mumpung mau baca. Kalau sudah habis ya bisa diulang baca lagi berkali-kali kan?. Dan memang itu yang kulakukan.

Kembali ke surat kabar, memang karena saya “kekurangan” bacaan, jadi terpaksa  membaca surat kabar juga. Hingga suatu hari saya menemukan kata “diperkosa” tertulis besar-besar sebagai judul di halaman tengah.
“Mama? Apa artinya diperkosa?”
“Kamu baca di mana? Koran ya? sudah tidak usah baca koran!”
Baru setelah saya cari artinya di kamus W.J.S. Poerwadarminta, saya menemukan arti “dipaksa”. Hmmm kenapa mama marah ya?

Memang surat kabar adalah konsumsi manusia dewasa. Di Indonesia, rasanya aneh juga jika ada anak-anak yang hobinya membaca surat kabar, atau menonton dunia dalam berita. Padahal di Jepang, banyak ujian masuk sekolah SMP/SMA ternama yang mengambil bahan dari surat kabar. Karena itu murid-murid yang akan juken 受験(mengikuti ujian masuk) wajib rajin membaca surat kabar dan berita TV.

Surat kabar juga merupakan “ujian bahasa” karena untuk membaca  surat kabar bahasa Jepang, Anda harus tahu banyak kanji. Tidak cukup hanya kanji yang diujikan di JLPT level 4 atau 3.  Di surat kabar umum, hanya kanji yang amat jarang dipakai saja yang memakai furigana (tulisan keterangan cara baca dalan hiragana) .Jadi untuk bisa mengerti satu artikel dalam surat kabar diperlukan pengetahuan kanji yang tinggi.

Kami sudah lama tidak berlangganan surat kabar. Dulu sebelum Riku lahir kami pernah berlangganan harian Asahi (Asahi Shimbun), tapi kami hentikan dengan kelahiran Riku. Karena sering kali surat kabar tersebut masih dalam keadaan terlipat masuk ke dalam tempat surat kabar bekas. Mubazir. Tidak disentuh. Karena Gen tidak ada waktu untuk membca di pagi hari, dan saya sendiri…. buat apa membaca berita dalam bahasa Jepang kalau ada beritanya di televisi, atau bisa membacanya di internet?

Padahal berlangganan surat kabar juga tidak terlalu mahal juga sih. Apalagi jika berlangganan surat kabar, di selipkan juga banyak pamflet promosi dari toko/departemen store dll. Kadang kala pamflet ini lebih banyak dan lebih tebal dari korannya sendiri. Ibu rumah tangga sangat menyukai pamflet-pamflet ini, karena bisa mengetahui ada obral “merek ini” di Toko Anu. Atau ikan hari ini murahnya di toko A, sedangkan sayur di toko B. Setelah mendapat informasi ini, pergilah ibu-ibu ini ke pasar untuk berbelanja. Tapi… saya tidak perlu, karena saya juga tidak suka belanja. Saya masih menganut paham belanja “seminggu sekali” yang saya bawa dari jakarta. Tapi ibu-ibu di sini belanja setiap hari! (Akhir-akhir ini saya juga begitu sih untuk sayuran dan ikan)

Nah, sejak Riku masuk SD, kami merasa perlu berlangganan surat kabar. Paling tidak membiasakan Riku untuk melihat huruf! Daripada dia menonton TV terus.  Saya sudah siap untuk menelepon agen koran Asahi lagi, waktu Gen memberitahukan soal “Surat Kabar Khusus Murid SD”. Katanya adiknya yang bekerja sebagai wartawan, mungkin lebih baik coba langganan surat kabar khusus ini. Juga dari penerbit surat kabar Asahi.

Jadi beberapa hari menjelang akhir Mei, saya membuka internet dan memesan langganan melalui online untuk diantarkan ke rumah mulai tanggal 1 Juni. Sayangnya uang langganan tetap pakai cara lama, menagih di pintu menjelang akhir bulan. Kadang heran juga kok tidak pakai cara yang lazim yaitu dipotong otomatis dari rekening bank. Tapi bisa dimaklumi juga, karena biasanya agen koran suka membagikan hadiah-hadih dari sponsor, misalnya sabun atau tiket gratis menonton base ball dan lain-lain. (Dulu bahkan saya pernah dapat gift card seharga 5000 yen… hanya supaya pelanggan jangan berhenti atau lari ke surat kabar lain)

seorang kakek berusia 84 tahun menanam daun semanggi (clover) berkelopak 56 lembar. Empat sudah biasa, bukan ajaib lagi.

Jadi mulai tanggal 1 Juni kemarin, datanglah surat kabar khusus murid SD. Besarnya persis surat kabar biasa, dengan 8 halaman (2 lembar A0 — eh bener ngga ya ukuran A0— setahuku A1 dilipat empat jadi A4 jadi mustinya bener hihihi). Yang pasti membedakan dengan surat kabar biasa yaitu setiap tulisan kanji ada tulisan hiragananya di sebelahnya. Topiknya juga terpilih, topik-topik yang menambah pengetahuan umum. Juga terdapat cerita komik dengan tokoh Ninja Rantarou.

Memang masih sulit untuk Riku, tapi lumayan menghibur saya yang sudah lama tidak memegang surat kabar. Dan setelah Riku pulang sekolah bisa membaca berdua, topik yang menarik sebelum bersama-sama menjemput Kai di penitipan. (Akhir-akhir ini saya mulai dipusingkan  dengan pertanyaan Riku seperti… “Mama kenapa burung hinggap di kabel listrik tidak kesetrum padahal manusia kalau pegang kabel listrik kan kesetrum”. Dan dia tanyanya pas saya lagi mengayuh sepeda. Hayooooo ada yang bisa jawab ngga? Jangan-jangan musti buka buku SD nya semua hihihihi)

Dengan kehadiran surat kabar di rumah, Riku juga ingin meniru membuat (menggambar) surat kabar sendiri…. yang akhirnya malah menjadi komik hihihi.

NB: Penjelasan sedikit mengenai huruf Jepang. Huruf Jepang ada 3 macam, yaitu hiragana, katakana dan kanji. Sekarang Riku sedang belajar hiragana sejumlah 50 buah, setelah itu katakana 50 buah. Hiragana dan katakana ini layaknya alfabet dalam tulisan kita. Aiueonya, tapi hiragana dipakai untuk umum dan katakana untuk nama atau kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kanji (karakter Cina) sendiri jumlah amat banyak. Satu kanji mewakili satu arti, dan perpaduan 2 kanji untuk arti yang lain. Jumlah kanji yang harus dikuasai murid SD sampai lulus kelas 6 sejumlah 1006 huruf.

Musim Hujan Tlah Tiba

1 Jun

Meskipun Jepang terkenal dengan 4 musim, yaitu Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Dingin, ada lagi tambahan satu musim yang bisa dikatakan “nyempil” di antara Musim Semi dan Musim Panas. Dalam bahasa Jepang disebut dengan Tsuyu. Dan biasanya itu dimulai awal bulan Juni, dengan pernyataan dari Japan Meteorological Agency akan adanya Tsuyu Iri 梅雨入り , awal musim hujan.

Anjing dan anak-anak pada hari hujan karya Iwasaki Chihiro
Anjing dan anak-anak pada hari hujan karya Iwasaki Chihiro

Sudah sejak Hari Kamis lalu hujan terus turun di Tokyo, terutama pada sore hari. Sehingga saya dan Riku harus menjemput Kai di penitipan naik bus bersama, tidak bisa naik sepeda. Karena hujan rintik-rintik maka Kai cukup memakai jas hujan dan dia enjoy sekali jalan di bawah hujan. Tapi hari Minggu ini, hujan tidak bercanda.

Sabtu saya dan anak-anak sudah seharian berada dalam rumah, karena di luar hujan dan temperatur menunjukkan 20 derajat celcius. Brrr. Minggu pagi lebih sedikit hangat 25 derajat, dengan hujan rintik. Dan sekitar jam 11 kami memutuskan untuk keluar rumah. Bisa “berjamur” rasanya jika kami tinggal dalam rumah saja. Tujuannya makan siang dan pergi ke Museum Seni Chihiro. Dua tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kamu, selalu kami lewati tapi belum sempat kami mampiri. So today is the day!

Taman yang tertanam dalam lantai... hmmm ide interiornya boleh juga nih

Restoran Marushima 丸嶋 spesialisasi soba (mie Jepang) dan ikan. Kami tidak menduga restoran ini begitu bagus interior dalamnya. SO JAPANESE. Harga makanannya juga tidak mahal, dan yang pasti Gen dan Riku suka Soba dingin, jadi….bisa-bisa pamor restoran ini di keluarga Miyashita akan mengalahkan restoran sushi dekat rumah.

Sashimi maguro dengan parutan yamaimo

Jadi kami memesan Soba untuk kami berempat, padahal aku sebetulnya kepingin sekali makan ikan. Jadi Gen memesan Yamakake Maguro, yaitu Maguro (Tuna) mentah yang dipotong kotak-kotak dan diberi parutan ubi “Yamaimo” Dioscorea japonica, yang juga disebut dengan Tororo. Parutan ubi ini akan membentuk sebuah saus seperti kanji. Hmmm mungkin orang Indonesia tidak akan suka dengan penampilan yamaimo ini karena ….. mmmm maaf ..seperti ing*s yang berwarna putih. Tapi percayalah, yamaimo ini sangat berkhasiat untuk pencernaan bahkan menjadi bahan obat tradisional China untuk penderita kencing manis.

Dan yang mengherankan adalah Riku, terlebih Kai suka sekali makan maguro dengan yamaimo itu. Cuma bagi orang tertentu yamaimo memang bisa menimbulkan alergi gatal-gatal. Dan karena Kai pertama kali, saya tidak tahu bahwa ternyata Kai agak alergi dengan yamaimo. Dia sempat rewel mulutnya gatal. Tapi untung tidak parah, tidak sampai membuat bibir dower seperti disengat lebah.

Meja dengan hiasan display

Setelah selesai makan, kami berjalan menuju Museum Seni Chihiro yang ternyata terletak persis di seberang restoran ini. HTM Museum ini 800 yen untuk orang dewasa, bagi balita sampai pelajar SMU gratis. Senang sekali kami berdua, karena Riku senang melihat lukisan-lukisan Chihiro dan langsung berkata bahwa dia juga ingin mencoba melukis.
“Jadi mama … belikan aku pensil warna dan cat air ya? …”
“Ada di rumah… kamu saja selalu berantakin jadi tidak tahu bahwa kamu punya sebetulnya”. Diem deh hihihihi….

Chihiro Art Museum

Chihiro Iwasaki was born on December 15, 1918, in Takefu, Fukui Prefecture, and moved to Tokyo the following year. She began to study sketching and oil painting at the age of fourteen under Saburosuke Okada, and Japanese calligraphy when she was eighteen, under Shuyo Oda of the Fujiwara Kozei School. Her first work for children was a set of illustrated “paper-theater” storytelling panels called Okasan no Hanashi (The Story of a Mother) in 1950, and in 1956, she created her first picture book, Hitori de Dekiru yo (I Can Do it All by Myself). She won many prizes, among them: Graphic Prize Fiera di Bologna for Kotori no Kuru Hi (The Pretty Bird) in 1971, and Bronze Medal of the Leipzig International Book Fair for Senka no Naka no Kodomo-tachi (Children in the Flames of War) in 1974. In autumn of 1973 Chihiro was diagnosed with liver cancer. She died the following year on August 8 at the age of fifty-five.

Yang membuat satu keluarga bisa betah berkunjung ke museum ini, yaitu disediakannya perpustakaan Picture Book dan sebuah Ruang Bermain bagi balita. Sementara Riku membaca di perpustakaan, saya dan Kai bermain di play room nya. Di playroom itu tentu terdapat juga buku-buku untuk anak balita. Ada beberapa Picture Book yang kami sudah punya, tapi banyak lagi yang lain yang belum punya. Benar-benar seperti toko buku bagi balita.  Apakah saya membacakan buku untuk Kai? Tidak, dia konsentrasi penuh bermain mobil-mobilan sendirian hihihi. Persis waktu kami mau pulang itulah hujan deras turun membasahi bumi. Sudah lama sekali kami tidak melihat hujan sederas ini. Karena mobil kami diparkir di restoran Soba, Gen lari pergi mengambilnya dan memindahkan ke parkiran museum yang tadi wkatu kita datang penuh parkirannya. Sementara itu saya dan dua anak memasuki Gift Cornernya.

Aduuuh susah deh membawa dua anak yang cerewet dan memiliki kemauan masing-masing. Ada aja yang satu mau minta dibelikan ini, sedangkan Kai langsung main ambil dan bermain di pojokan (yang memang disediakan) . Gift Corner dipenuhi dengan bermacam barang yang berhiaskan lukisan Chihiro yang khas. Anak-anak! Memang karyanya banyak dipakai untuk program Unicef juga.  Selain lukisan Pater Sato yang memakai media craypas, lukisan Chihiro yang memakai cat air ini juga termasuk dalam koleksi seni saya (seni ni yeee).

Akhirnya dalam hujan, dengan dua payung, saya dan Kai, serta Riku dan papanya, kami  pulang ke rumah dengan gembira. Ternyata berempat dalam payung berhujan-hujan juga cukup romantis…..as a family!

Menyetir di Jepang

31 Mei

Pertama kali saya datang ke Jepang, a long long time ago, saya mendapatkan lalulintas Jepang yang…. tenang dan dewasa (uhuy). Terbiasa dengan lalulintas di Jakarta, saya agak kaget dengan perbedaan yang mencolok. Mobil-mobil yang berseliweran itu kebanyakan berwarna putih/silver. Jarang sekali saya melihat mobil berwarna-warni merah, biru, hijau dll. Ya mungkin kebetulan saja, atau jaman itu orang-orangnya belum begitu “ekspresif”. Karena sekarang cukup banyak mobil berwarna dibanding tahun waktu saya datang pertama. Selain warna mobil, yang pasti beda dengan mobil di Indonesia adalah soal kaca jendela yang tidak rayban. Kalau di Jakarta sedapat mungkin pakai kaca film 70% lebih , tapi di sini hampir tidak bisa dijumpai yang sehitam di Jakarta. Kalaupun ada biasanya mobil itu putih, disupiri pemuda berkacamata hitam dan bertirai putih renda di dalamnya. Nah biasanya ini mobil milik geng yakuza. Katanya sih dulu ada nomor tertentu di plat nomornya, tapi waktu aku tanyakan pada gen dia tidak tahu.

Selain faktor fisik mobilnya, ada lagi yang lain, yaitu tidak terdengarnya klakson mobil. Mereka hanya mengklakson JIKA DARURAT. Tidak ada ketergesaan, salip-menyalip, dan yang pasti belok kanan harus setelah jalur lawan selesai lewat. Kecuali memang kosong atau diberi “beam” oleh pengemudi di jalur lawan. WAHHHH masalah “beam” atau lampu besar yang terbalik dengan di Jakarta ini benar-benar membuat saya pusing awalnya. Kalau di Indonesia orang memberikan lampu “beam” berarti… “SEENAKNYA AJE LU, JANGAN MASUK GUE MAU LEWAT!” , sedangkan di Jepang, “MONGGO JENG, kamu masuk duluan aku tunggu…..”. Sehingga awal-awal menyetir saya masih suka bengong kalo di beam, sampai berkali-kali dibeam  baru “ngeh” dan jalan…. tak lupa mengangkat tangan mengucapkan terima kasih.

Kondisi ini juga sama jika kita ingin masuk dalam antrian. Dan tak lupa setelah diberi jalan, biasanya kita menyalakan “lampu hazard” 2-3 kali sebagai isyarat “arigatou–terima kasih”. Pertama saya tidak mengerti kenapa setiap mendapat jalan, Gen, suamiku selalu menyalakan lampu hazard itu. Baru setelah dia jelaskan bahwa itu “etika berkendara” saya juga selalu berusaha menyalakan hazard untuk menyatakan terima kasih. Kecuali kalau terburu-buru, daripada bingung ya bisa beri klakson ringan satu kali. Lampu Hazard juga dipakai jika tiba-tiba mendadak terjadi kemacetan/antrian di highway supaya mobil di belakang kita “alert” dan berhati-hati sehingga tabrakan beruntun dapat terhindari.

Pejalan kaki diutamakan, jadi tidak ada tuh yang “bablas” Zebra Cross jika ada yang mau menyeberang. Mobil harus menunggu pejalan kaki. Sangat senang melihat anak-anak SD yang imut-imut menyeberang sambil mengangkat tangan kanannya. Pertama saya pikir kenapa harus angkat tangannya ya? Lalu teringat…. mereka kan masih pendek, kalau-kalau tidak terlihat jadi lebih baik angkat tangan. Selain itu di badan mereka pasti ada warna kuning sebagai alert. Entah di ranselnya atau topinya.

Pokoknya menyetir di Tokyo itu harus sabar, alon-alon penuh perhitungan. Karena kondisi jalan yang sempit, berkelok-kelok, apalagi dekat stasiun yang banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda… wadaw deh. Belum lagi di jalan besar perasaan setiap  500 meter ada lampu merahnya… huh… Kalau sekali sudah terjebak lampu merah, biasanya berikutnya dan berikutnya juga pasti akan bertemu lampu merah hihihi. Apalagi kalau musti berada di belakang pengemudi amatir yang menggunakan tanda “hijau” yang disebut wakaba mark (melambangkan musim semi? wakaba= daun muda…. hihihi masih ijo gitu) dan pengemudi lansia yang mengunakan tanda “merah” yang disebut momiji mark (melambangkan musim gugur… udah mau gugur?….hiiiii).

(Lambang daun hijau dan daun merah ini ditempelkan pada mobil di tempat yang mudah terlihat depan belakang)

Yang sering menjadi pertanyaan adalah berlakukah SIM Internasional di Jepang? Hmmm saya sendiri tidak pernah pakai SIM Internasional, jadi lebih baik ditanyakan di Jakarta sebelum ke Jepang. Tapi menurut saya akan sulit sekali menyetir di Jepang tanpa tahu bacaan Kanji, atau paling sedikit lambang-lambang kanji yang dipakai dalam berlalu lintas. Memang ada car-navigation yang berbahasa Inggris, tapi mencari mobil dengan car-navi yang berbahasa Inggris di rental car juga cukup sulit.

Saya sendiri menukar SIM A Indonesia saya tidak lama setelah tinggal di Jepang (itu berarti miminal 15-16 tahun lalu…. ) . Waktu itu saya sempat tersandung di ujian praktek karena tidak memperhatikan kanji  徐行  dibaca JOUKO (aduuuh mas JOKO ini memang menyulitkanku saja) artinya harus berhenti dalam jarak 1 meter setelah menginjak rem atau kecepatan 10 km. Oleh petugas testing, saya disuruh ikut kursus lagi. No way lahhh, kursus mengendara di sini?  Minta ampun mahalnya… 300.000-500.000 yen. Nah solusinya, saya pergi ke Tempat Ujian yang lain di Samechu, Shinagawa. Di sana memang bagi pemegang SIM Indonesia bisa menukar tanpa test, cukup membawa paspor saja. (Mungkin karena di daerah ini banyak diplomat Indonesia). Jadi deh dalam sejam saya punya SIM Jepang, sampai sekarang memegang Gold Card (Pengendara teladan tanpa kesalahan)

Mas Joko yang menyandungku...
Mas Joko yang menyandungku

Tapi cara seperti saya itu tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Jadi bagi yang mau menukar SIM Indonesia di Jepang harap mencari informasi yang lebih aktual seperti di sini.

Oh ya satu lagi tambahan, kalau mau menyetir di Tokyo, disarankan pakai mobil otomatis, jangan manual. Selain jalan banyak tanjakan (pegeeeeel deh) jalan juga sering macet, apalagi di jalan-jalan utama. Mobil kami sekarang adalah manual, sehingga saya harus siap mental dan jasmani jika mau nyetir ke dalam kota Tokyo atau ke Yokohama. Kalau Gen yang nyetir sih…. saya bobo hihihihi…

Sekarang saya malas nyetir karena sebelum pergi sudah harus bertengkar dengan supir baru yang cerewet ini
Sekarang saya malas nyetir karena sebelum pergi sudah harus bertengkar dengan supir baru yang cerewet ini

(Posting ini terinspirasi oleh tulisannya Mbak Tuti yang berjudul “Nyopir Ampe Mati“.  )

Topeng Monyet? BUKAN!

30 Mei

Waktu saya baru datang ke Jepang, saya sempat kaget waktu berjalan di daerah pertokoan, dan mendengar suara musik seperti topeng monyet. Tentu saja lebih berirama dan lebih lengkap, tapi pasti mengingatkan saya pada topeng monyet di Indonesia. Karena pertunjukan musik sambil berjalan yang ada di Indonesia hanyalah topeng monyet, bukan?

sumber: wikipedia japan
sumber wikipedia Japan

Tapi yang pasti orang Jepang akan marah kalau kita menyamakan Chindon-ya ini dengan topeng monyet. Karena Chindon-ya adalah artis terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan komposisi 3 atau 5 orang dengan pakaian kimono. Mereka membawa tetabuhan dan alat tiup dan berjalan ke sana ke mari. Untuk minta uang seperti pengamen jalanan?

Tidak! Tugas mereka adalah mempromosikan sebuah toko yang akan dibuka atau memanggil tetamu supaya datang ke toko tersebut. Kadang kala mereka akan membagikan selebaran/pamflet yang berisi keterangan toko. Memang kebanyakan toko yang memakai jasa chindon-ya ini adalah toko pachinko (semacam pinball).

Chindon-ya ini awalnya di Osaka pada akhir abad 19, dan sekarang sudah mulai jarang terlihat. Jika Anda sedang berlibur ke Jepang, dan masih berkesempatan melihatnya, pasti Anda beruntung!

Galaxy Express dan buku

29 Mei

Apa hubungannya Galaxy Express dengan Twilight Express? Twilight Express adalah jalur kereta pada kenyataan yang bisa kita naiki, dan berlari di atas rel di dunia ini. Sedangkan Galaxy Express ini adalah jalur kereta fantasi yang “terbang” di galaxy, yang tentunya hanya ada di dunia animation.

Bahasa Jepangnya adalah Ginga Tetsudo 999, 銀河鉄道999 sebuah anime atau film kartun mengenai perjalanan fantasi di galaxi andromeda untuk mencari badan mesin abadi. Cerita lengkapnya bisa dibaca di wikipedia sini, soalnya saya sendiri tidak mengikuti anime ini. Tapi yang saya tahu adalah bahwa Matsumoto Reiji, si pengarang anime ini tinggal di daerah rumah saya. Sehingga jalur kereta yang menuju stasiun rumah saya dan eki (stasiunnya) sendiri sering dihias dengan lukisan dan karakter dari Galaxy Express ini. Kebetulan Riku dan papanya hari Minggu lalu pergi ke Ikebukuro dan sempat berpotret dengan kereta yang dilukis dengan karakter Galaxy Express.

 

 Hari Minggu kemarin adalah hari kencannya Riku dengan papanya. Seperti biasa saya dan Kai tinggal di rumah, karena Kai sedang tidak begitu sehat alias batuk-batuk. Apalagi sejak virus Flu babi sudah mulai menyebar di Tokyo, sedapat mungkin menghindari tempat-tempat yang penuh kerumunan orang. (Dan sebetulnya hari Seninnya Riku sempat demam dan saya bawa ke dokter. Ternyata kena bakteri di tonsil – amandel- nya sehingga harus minum antibiotik selama 10 hari).

Tujuan mereka pergi ke Ikebukuro adalah pergi ke sebuah toko buku besar di sana.  Riku ingin sekali membeli ZUKAN 図鑑 picture ensiklopedia yang berisi gambar burung dan binatang. Biasanya kalau kami sudah tahu judul bukunya, kami memesan lewat amazon.co.jp dan buku akan diantar keesokan harinya. Tapi Gen lebih suka pergi dan melihat sendiri di toko buku bersama Riku. Memang lebih asyik pergi ke toko buku langsung, tapi dengan resiko (BESAR)  “tergoda” membeli juga buku yang lain, bukan? Seperti Mang Kumlod yang berencana beli satu buku “Black Swan” di gramed gara-gara ada 30% diskon dan berdoa semoga tidak tergoda beli yang lain…. hehehhe.

capek berjalan di toko buku
capek berjalan di toko buku

Sebetulnya Riku sendiri punya gift-card “BUKU” seharga kira-kira 5000 yen, hadiah waktu dia masuk SD. Sehingga tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membayar buku. Tapi waktu dia memasuki toko buku, seperti mamanya (cihuy) matanya jatuh pada buku yang mahal (mata mahal katanya). Picture encyclopedia itu seharga 1900 yen satu, sehingga kalau beli 3 jenis sudah melebihi anggaran. Lagipula isinya lengkap sekali untuk mahasiswa pun bisa. Untuk Riku tidak perlu sebagus itu, karena pasti akan cepat rusak…. maklum anak-anak. Jadi papanya mengajak mencari yang lain. Terbelilah 3 buku, dan 2 picture book pilihan Riku dan Papanya. Tapi untung mereka masih ingat mamanya yang kesepian di rumah, dan sebetulnya punya “wishlist” picture book yang “Skeleton Hiccups” itu. Jadi, dibelikan deh ….asyiiiikk…

Langsung mengambil crayon dan mulai menggambar
Langsung mengambil crayon dan mulai menggambar

Sesudah sampai di rumah Riku langsung membuka picture encyclopedia mininya dan mulailah dia menggambar. Memang tujuan dia membeli buku itu untuk dijadikan contoh menggambar. Lihat tampangnya sudah seperti artis kan?

Dan mamanya Riku langsung membaca Picture Book yang berjudul “Tengkorak Cegukan” shakkuri gaikotsu しゃっくりがいこつitu dalam 3 menit hahahaha. Memang lucu sih. Bayangin saja kalau tengkorak yang cegukan mau menghentikan cegukannya? Kalau manusia menghentikan cegukan bagaimana? Di sana disarankan minum air, atau makan gula, atau menekan sudut mata…. jadi bayangkan saja jika tengkorak yang berbuat begitu. Ya tidak bisa kan? Jalan keluar terakhir adalah membuatnya terkejut. Dan akhirnya memang si Tengkorak bisa terkejut dengan…… melihat mukanya sendiri di cermin. hahahaha….. Nonsense!!!!!

panen buku
"panen" buku

Tapi untuk anak-anak justru cerita nonsense itu yang disukai/digemari. Ternyata Picture Book lain yang dibeli juga cerita nonsense. Yang pertama adalah Suteki na sannin gumi すてきな三人ぐみ “The Three Robbers” karangan Tomi Ungerer. Tentang 3 orang perampok bermantel dan bertopi hitam yang mengumpulkan harta hasil rampokan tapi tidak tahu untuk apa. Mereka terbuka matanya karena ditanya oleh seorang anak perempuan yang mereka culik, “Untuk apa harta sebanyak ini”. Jadi mereka bertiga dan si anak perempuan membagi-bagikan harta itu kepada orang miskin dan sisanya dibelikan sebuah kastil. Mereka tinggal di sana, dan banyak anak yatim piatu yang dititipkan di sana, sehingga akhirnya setelah bertahun-tahun daerah sekeliling kastil itu menjadi sebuah desa yang bertopi dan mantel merah untuk menghormati 3 perampok itu.

Satu lagi Picture Book karangan orang Jepang berjudul Kyabetsu kun キャベツくん (Si Kubis). Cerita diawali dengan Babi yang ingin makan si Kubis. Tapi Kubis berkata, “Kamu jangan makan saya nanti kamu jadi Kubis”, dan di awan tergambarlah Babi yang bertranformasi menjadi kubis. Percakapan dilanjutkan dengan bermacam-macam binatang, sehingga Babi menjadi takut melihat gambar di awan itu. Tapi Si Kubis baik hati sehingga akhirnya mengajak Babi yang lapar itu pergi ke restoran.

Nonsense…. tapi penuh imajinasi. Dan bukankah anak-anak perlu imajinasi sehingga bisa menjadi orang dewasa yang bercita-cita?

Tidak henti-hentinya saya juga mengajak orang tua untuk membacakan buku cerita pada anak-anaknya yang belum bisa membaca. Dan memang hobi keluarga kami mengumpulkan Picture Book. Kebiasaan membaca harus ditanamkan sejak balita.

Saya mau mengutip pernyataan dari Pak Eka Budianta, sempai (senior) saya di Sastra Jepang UI, yang beliau muat di FB:

Eka Budianta: Mengherankan. Kegemaran membaca berbanding lurus dengan kemakmuran bangsa. Begitu juga kesadaran lingkungannya. Semakin suka membaca, semakin cinta lingkungan, semakin makmur masyarakat. Jadi bukan kaya dulu baru membaca dan cinta lingkungan. Justru dengan rajin membaca dan mencintai lingkungan, suatu bangsa bisa belajar untuk hidup cerdas, makmur dan berkelanjutan.

Mari mbaca yuuuk

 

 

 

Tidur Cepat, Bangun Pagi dan Makan Pagi

28 Mei

Ini adalah kampanye dari Departemen Pendidikan Jepang kepada pelajar di Jepang, serta orang tua mereka. “Hayane, Hayaoki, Asagohan 早寝早起き朝ごはん”。 Sudah sejak Riku di penitipan anak (hoikuen) 保育園 saya mengetahui slogan ini. Waktu itu baru mulai digembar-gemborkan. Tapi kondisi waktu itu tidak memungkinkan bagi saya untuk menjalaninya. Karena saya masih sering pulang mengajar larut, sehingga Riku baru pulang sampai rumah jam 9 malam bersama papanya. Saya sendiri sampai rumah jam 10 malam, masak 30 menit, makan 30 menit, dan tidur jam 11:30- 12:00an. Jadi Riku terbiasa tidur larut, meskipun bangun paginya juga tidak terlalu lambat (paling lambat jam 8 sudah bangun).

Tapi sejak Riku masuk TK, saya berhenti mengajar semua kelas malam. Sehingga Riku bisa tidur pukul 8-9 malam, dan bangun pukul 6-7 pagi keesokan harinya. Karena harus membawa bento (bekal makanan) di TK, maka sekaligus saya persiapkan makan pagi untuk dia, dengan menu yang sama dengan apa yang dibawa.

Simbol slogan Tidur Cepat, Bangun Cepat dan Makan Pagi
Simbol slogan Tidur Cepat, Bangun Cepat dan Makan Pagi

Kenapa sih Departemen Pendidikan Jepang sampai harus mengumandangkan slogan ini? Pertama, adanya kenyataan bahwa jumlah kejahatan anak dan remaja yang semakin serius. Misalnya pada tahun 2004 terdapat 134,852 kasus kejahatan anak/remaja. Selain itu dirasakan ritme kehidupan anak-anak yang semakin “ngawur”. Misalnya balita yang tidur sesudah pukul 10 malam, jumlahnya semakin bertambah. Dalam survey tahun 1990 diketahui bahwa jumlah yang sebesar 31% itu, 10 tahun kemudian (2000) menjadi 50%.  Jumlah murid SD/SMP yang tidak makan pagi juga dibandingkan 5 tahun sebelumnya terlihat pertambahan yang mencolok. Misalnya data tahun 1995 menunjukkan 13% murid SD dan 19% murid SMP tidak sarapan pagi, sedangkan pada tahun 2000 jumlah itu menjadi 16% dan 20%. Padahal dari survey diketahui bahwa murid yang selalu makan pagi, test/ujiannya cenderung mendapat nilai yang tinggi.

Dari berita NHK yang saya tonton seminggu lalu, juga dibahas tentang kegiatan kampanye “Tidur Cepat, Bangun Pagi dan Makan Pagi” ini.  Berdasarkan suatu survey, anak-anak yang tidak bersemangat (malas-malasan) ternyata 9% dari mereka selalu makan pagi setiap hari, sedangkan 38% tidak makan pagi. Hal ini juga terjadi pada anak-anak yang bertempramen “cepat panas, jengkel/kesal”. Ketika ditanya apakah kamu sering merasa jengkel/kesal, maka didapat jawaban 32% dari mereka itu tidak makan pagi, dibandingkan 18% dari mereka yang makan pagi setiap hari. Jadi makan pagi ternyata berpengaruh pada semangat dan kepribadian anak-anak. (Selain itu ada juga survey mengenai makan bersama keluarga atau makan sendiri… ternyata makan bersama keluarga itu lebih baik daripada makan sendiri —- ya memang semestinya begitu sih)

Jadi, sekarang pun saya selalu menyiapkan makan pagi untuk Riku sebelum dia berangkat ke sekolah pukul 7:45. Meskipun saya sudah tidak usah menyiapkan bento (bekal makanan) lagi.Wah tidak usah menyiapkan bento ini merupakan suatu “anugerah” buat saya. Pusing juga loh memikirkan isi bento itu. Karena harus memikirkan keseimbangan gizi/vitamin , dan faktor “keindahan” (supaya mau dimakan —untung Riku makan apa saja) dan “kepraktisan” (tidak bisa memasukkan masakan yang berkuah dalam bento itu).

Sekitar pukul 12:20 sampai 13:00 sesudah jam pelajaran ke 4, disediakan makan bersama di sekolah yang namanya kyushoku 給食. Karena sekolah Riku adalah sekolah negeri, maka yang memasak di dapur sekolah itu berada dibawah (dipekerjakan oleh)  pemerintah daerah. Sebetulnya hari Rabu kemarin, saya bisa mencoba makanan yang disajikan kepada anak-anak itu. Tapi karena kemarin ada rapat/kegiatan PTA dari pagi dan setelah itu saya harus cepat-cepat menjemput Kai di penitipan, maka saya tidak bisa mencoba makanan murid SD itu. Tapi bau kare yang enak (karena mild saya tidak merasa keberatan karena pada dasarnya saya tidak suka makan kare) yang dipersiapkan di dapur itu memenuhi satu gedung sekolah. Dan bau itu cukup menggugah perut yang lapar.

Menurut Riku sih makanan yang disajikan setiap hari sekolah (Senin-Jumat) ini enak. Selain makanan utama juga ada buah/kue dan susu. Jadi setiap hari Riku juga minum susu di sekolah. Bahkan pada tanggal 25 kemarin, dengan riangnya pulang ke rumah dan mengatakan, “Mama tadi kyushokunya dessertnya cake loh…enak!” Dalam hati saya pikir, mentang-mentang tanggal 25 adalah hari gajian (di Jepang kebanyakan hari gajian adalah tgl 25), jadi makanannya juga istimewa hihihihi.

Petugas kyushoku harus memakai baju ini, dan tugas ini berlaku selama satu minggu. Pada hari jumat, pakaian ini dibawa pulang untuk dicuci dan dibawa kembali ke sekolah seninnya.
Petugas kyushoku harus memakai baju ini, dan tugas ini berlaku selama satu minggu. Pada hari jumat, pakaian ini dibawa pulang untuk dicuci dan dibawa kembali ke sekolah seninnya.

Murid-murid itu makan di mana? Tentu saja makan di kelas masing-masing, karena tidak ada ruang makan khusus. Masing-masing anak setiap hari harus membawa alas piring dan serbet untuk melap mulut. Lalu setiap kelas mempunyai daftar petugas kyushoku. Murid-murid yang bertugas itu bersama gurunya akan mengambil sebuah meja dorong yang berisi panci nasi, sup dan lauk yang sudah diatur oleh pemasak. Jadi ada yang bertugas membagi nasi, membagi sup dan lauk. Juga jika ada sisa, bagi yang mau tambah masih bisa. Awal-awal Riku masuk SD, dia sering melapor pada saya bahwa dia menambah makanan waktu kyushoku (oi oi, jangan banyak-banyak ntar gendut hihihi)

meja dorong berisi nasi, sup dan lauk pauk
meja dorong berisi nasi, sup dan lauk pauk

Makan yang sama bersama teman-teman, bertanggung-jawab pada tugas masing-masing, menghabiskan makan tanpa ada suka/tidak suka pada makanan, banyak sekali manfaat dari kyushoku ini (selain meringankan tugas ibu menyiapkan bekal). Memang SD di Jepang itu gratis, tidak bayar uang sekolah, tapi untuk makan kyushoku ini kami harus membayar 4.358 yen (kelas 1 SD) setiap bulannya. Dengan perincian 1 tahun makan 198 kali, satu kali makan 227 yen. Yang pasti tidak bisa membeli makanan di restoran seharga 227 yen dengan keseimbangan nutrisi yang diperhatikan. Cara bayarnya dengan transfer otomatis dari rekening pos. (Jangan disangka tidak ada yang tidak mau membayar juga loh. Akhir-akhir ini banyak kejadian orang tua tidak mau membayar kyushoku bukan karena tidak bisa membayar tapi karena tidak mau membayar. Sehingga pemerintah daerah harus menutupi biaya tersebut dari pemasukan pajak warga. )

Well memang tidur cepat, bangun pagi dan makan pagi merupakan kebiasaan yang sangat baik untuk menuju hidup sehat.  BTW, hari ini sudah makan pagi belum?????

28-5-2009-12:12