Bukan, aku tidak mau mengajarkan pembaca mengenai bagaimana cara-cara menipu loh. Tapi yang ingin kutulis adalah tentang kesenian yang bisa mengelabui mata. Kelihatannya seperti sesuatu yang lain, padahal itu adalah pinter-pinternya yang menggambar saja.
Aku pergi ke Tokyo Trick art Museum waktu pergi ke Legoland yang kedua kalinya. Karena Tokyo Trick art Museum ini terletak satu lantai di bawah legoland (Decks ODAIBA), sehingga pasti lewat waktu pulang. Karena harga tiket masuknya hanya 900 yen untuk dewasa, maka aku dan Sanchan sepakat untuk mampir di sini berdua, waktu anak-anak main lego, dan berfoto narsis 😀 Emang duo emak ini udah klop kalau soal foto berfoto 😀
Eh, tapi ternyata kami tidak bisa melepaskan diri dari anak-anak. Memang peraturan di Legoland itu, tidak boleh meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan orang tua. Waktu makan siang kami bisa meninggalkan satu jam, Riku dan Yuyu, tapi Kai kami bawa sebagai “jaminan” supaya waktu masuk kembali, kami bersama anak-anak. Untung saja Kai mau, dan kami ajak makan di restoran Surabaya, yang berada di gedung sebelah. Kai suka makan soto ayam, sehingga aku bisa “membujuk” dia untuk pergi sebentar dari Legoland dan makan soto ayam bersama duo emak. Riku dan Yuyu makan siang di dalam Legoland, yang ternyata menurut perhitungan duo emak, tidak terlalu mahal. Biasanya kalau makan di dalam sebuah thema park, harga makanan diketok habis-habisan (jadi inget Disneyland), tapi di Legoland, satu bento paling mahal 500 yen. Memang untuk dewasa tidak cukup (dan tidak enak), tapi untuk anak-anak lebih dari cukup. Apalagi karena kamu member, kami mendapat potongan 10% setiap berbelanja di dalam Legoland.
Balik ke Tokyo Trick art Museum, kami akhirnya masuk bersama pada pukul 18:30. Memang Legoland kali ke dua itu aku minta supaya anak-anak bisa selesai dan pulang jam 6 sore. Tidak seperti malam sebelumnya yaitu jam 8 malam (Legoland sendiri tutup jam 9 malam). Nah waktu menuruni eskalator itu lah kami memutuskan mengajak anak-anak juga. Tadinya kami pikir anak-anak tidak antusias, tapi perkiraan kami salah. Ternyata anak-anak jauuuuh lebih narsis daripada ibunya 😀
Untungnya waktu kami masuk itu masih sepi, tapi tak lama mulai berdatangan tamu yang lain, sehingga cukup menyebalkan, karena tidak bisa konsentrasi berfoto :D. Di pintu masuk kami disambut (lukisan) seorang wanita berkimono, yang jika dilihat dari berbagai sudut akan aneh. Jika melihat pada sudut yang tepat memang kita akan melihat tangannya seakan benar-benar tiga dimensi. Tapi yang cukup menarik adalah sebuah lukisan yang menggambarkan kedai minum teh ala jepang dengan payung di luar kios. Dengan menekuk lutut sedikit kita bisa memotret seakan-akan kita sedang duduk santai di situ.
Permainan lukisan yang menghasilkan tiga dimensi tentang kota pada jaman Edo. Satu yang perlu percobaan cukup banyak adalah sebuah ruangan yang bisa memutarbalikkan fakta. Aku yang sebesar ini bisa jauh lebih kecil daripada Riku. Dan memang harus memotretnya dari luar ruangan. Pada jaman Edo banyak pembantaian, dan cerita mengenai setan, hantu dsb nya itu sangat populer.
Anak-anak cukup takut untuk sendirian berada di dalam bagian ini. Setelah keluar dari bagian “perhantuan” kami bisa melihat beberapa lukisan manusia dan binatang.
Konon trick art seperti ini juga sudah menyebar ke Jakarta juga. Tapi aku baru pertama kali melihat berbagai trick di museum ini. Museumnya tidak besar sih, tapi ya kalau mau berusaha memotret dengan jurus yang diberitahukan (dengan tiduran atau menjengking segala) bisa menghasilkan foto yang bagus, sehingga HTM seharga 900 yen cukup murah lah. Tapi ternyata kami fotonya tidak seheboh waktu berada di Madame Tussaud. Kembali ke museum ini lagi? Nanti deh kalau musti antar tamu baru mau masuk lagi 😀
The Floating Castle adalah bahasa Inggrisnya sebuah film Jepang yang berjudul Nobou no Shiro. Sebuah film berlatar belakang sejarah Jepang di tahun 1590, waktu Toyotomi Hideyoshi sebagai daimyo (tuan tanah) berusaha menyatukan Jepang. Jaman itu memang jaman yang penuh peperangan yang disebut dengan Sengoku Jidai 戦国時代 . Nah, pasukan Toyotomi Hideyoshi ini mendapat perlawanan keras dari sebuah castle yang dikelilingi danau yang bernama Oshijou 忍城.
Pemimpin Oshi Castle ini adalah Narita Nagachika yang masih muda dan nyentrik, dan harus menggantikan ayahnya yang meninggal menjadi pemimpin daerah itu. Bagaimana tidak nyentrik atau bahkan gila dilihat dari sebutan yang diberikan “Nobou” (singkatan dari Dekunobou) padanya, yaitu dengan kekuatan pasukan 500 orang dia bersikeras untuk MELAWAN pasukan Toyotomi Hideyoshi sejumlah 20.000 orang!
Pada saat pasukan Toyotomi (di bawah pimpinan Ishida Mitsunari) terdesak pada serangan pertama, mereka kemudian membuat Ishida Tsutsumi (Dam Ishida) yaitu sebuah dam untuk membendung aliran sungai dan memaksa Narita a.k.a Nobou ini untuk menyerah. Semua daerah yang rendah tertutup air, dan warga petani berlari mencari perlindungan ke kediaman Nobou. Tempat istana yang tidak sembarangan bisa diinjak kaum biasa itu apalagi waktu itu warga yang mengungsi berlumpur kakinya. Satu yang menarik sekali bagiku adalah Nobou sendiri TURUN menginjak lumpur dan menjadikannya sama dengan warga yang mencari perlindungan itu. Dia dan permaisurinya dengan kaki kotor mengajak semua warga yang ada untuk masuk ke kastil untuk berlindung.
Mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menang dengan keadaan terendam air, maka Nobou pergi dengan perahu ke arah Ishida Tsutsumi di depan Maruhakayama Kofun (bukit makam yang menjadi pusat pasukan Toyotomi) untuk membuat pertunjukan tarian di depan musuh! Layaknya bunuh diri 🙁 Tarian Dengaku yang ditarikan merupakan tarian petani waktu berdoa pada dewa supaya panen berhasil. Nobou memang terkenal sebagai eksentrik yang suka bermain ke pertanian wilayahnya dengan maksud untuk membantu, tapi biasanya hanya akan mengganggu pekerjaan petani. Waktu dia sedang menari itulah, dia ditembak oleh pihak musuh.
Melihat pemimpinnya jatuh ke dalam air, beberapa petani yang menyusup ke dalam pasukan musuh membongkar tanggul sehingga air yang mengelilingi Shijo Castle itu surut. Pengaruh Nobou pada petani memang besar.
Setelah air surut, Nobou bersiap untuk berperang lagi. Demikian juga pihak musuh. Tetapi sebelum terjadi pertempuran, ada pemberitahuan bahwa Odawara Castle sudah kalah, sehingga peperangan tidak perlu dilakukan lagi. Odawara Castle lebih tinggi kedudukannya dari Oshi Castle. Pertempuran selesai dengan kondisi seri, namun tentu Nobou tidak bisa tinggal lagi di castle itu. Oshi castle adalah satu-satunya castle dalam perang Sengoku Jidai yang tidak “kalah”.
Dan yang mengesankan pada pertemuan dengan pihak musuh setelah perang usai, Nobou mengajukan dua syarat yaitu minta supaya sawah yang hancur oleh perang (ditimbun tanah waktu membendung tanggul) untuk dibersihkan. Katanya, “Jika tidak dibersihkan petani tak bisa bertanam lagi”. Dan yang ke dua, waktu pertempuran ada beberapa petani yang dibunuh oleh prajurit musuh. Petani bukanlah samurai, jadi tidak boleh dibunuh. Itu sudah merupakan etika perang. Jadi Nobou minta supaya prajurit yang membunuh petani untuk dihukum (dibunuh). Di sini dapat dilihat betapa Nobou berpihak pada petani.
Setelah itu memang tidak diketahui Nobou pergi dan tinggal di mana. Ada seorang panglima perangnya yang kemudian menjadi pendeta Buddha untuk mendoakan mereka yang sudah mati dalam peperangan. Oshi Castle bubar, dan terakhir menjadi milik keluarga Abe, salah seorang menteri berpengaruh di pemerintahan Tokugawa (abad 18).
Film yang cukup bagus menurutku. Aku sendiri baru menonton persis sehari sebelum kami pergi ke Oshi Castle tanggal 19 Mei yang lalu. Riku dan Kai diajak papanya menonton waktu film ini dirilis tahun lalu. Sebetulnya film ini akan dirilis bulan September 2011, tapi untuk menghormati Gempa Tohoku (Maret 2011) rilis film ini ditunda. Pertimbangannya karena ada adengan luapan air bagaikan tsunami yang menutupi daerah rendah sekitar castle, yang mungkin akan berpengaruh pada perasaan korban gempa dan keluarga yang ditimpa musibah. Rasanya tidak etis… Keputusan ini juga aku kagumi. Toleransi orang Jepang yang sangat tinggi! Selain itu di cover DVD yang kami pinjam juga tertulis peringatan bahwa akan ada adegan seperti tsunami.
Oshi Castle ini sendiri terletak di Gyoda Saitama, cukup dekat dengan rumah kami hanya dengan 1 jam bermobil. Kami pergi ke sana dan menemukan bangunan castle tetapi bukan peninggalan jaman Nobou tentunya. Castle ini masih baru dan berfungsi sebagai museum sejarah daerah setempat. Kami sampai di castle sekitar pukul 2 siang karena kami harus ke gereja dulu paginya. Kami lalu membeli karcis masuk seharga 200 yen untuk dewasa dan 50 yen untuk anak-anak. Untung sekali waktu itu Staf memberitahukan bahwa ada kesempatan untuk memakai baju perang yoroi sebagai sebuah acara tambahan museum. Gratis asal membayar tanda masuk castle yang 200 yen itu! Murah sekaliiiii….. Begitu mendengar bahwa bisa memakai yoroi, anak-anak sangat gembira sampai stafnya berkata, “Wah senang sekali melihat anak-anak ini begitu antusias”.
Kami langsung menuju aula tempat mencoba memakai pakaian perang itu dan mendaftar. Cukup lama harus menunggu giliran. Akhirnya Kai dipakaikan baju perang dari Takeda Shingen (yang kami kunjungi dua minggu sebelumnya). Yoroi itu ternyata terpisah-pisah. Pertama pakai pelindung kaki, lalu pelindung tangan baru semacam rok dan pelindung dada. Roknya terdiri dari lempengan besi dan keseluruhan berat pakaian ini sekitar 20 kg untuk orang dewasa (rata-rata sepertiga dari berat badannya). Bisa lihat beratnya baju perang ini dalam video Kai berputar memakai yoroi.
Riku memakai yoroi ukuran dewasa yaitu yoroi dari keluarga Abe, si penguasa Oshi Castle pada jaman Tokugawa. Memang setiap yoroi berbeda desain menurut keluarganya, sehingga bisa terlihat waktu perang, prajurit itu prajurit siapa. Dan staf yang memakaikan baju perang ini pada Riku amat baik dan menawarkan mengambil foto kami sekeluarga. Mungkin karena aku orang asing ya 😀
Setelah mencoba berpakaian yoroi, kami pun melihat benda-benda bersejarah dari Oshi castle ini yang dipamerkan di tiga lantai. Seperti kebanyakan museum, kami tidak boleh memotret dalam museum. Tapi memang tidak ada yang menarik sih. Mungkin yang menarik di situ adalah bahwa kota Gyouda ini terkenal juga sebagai pembuat kaus kaki untuk kimono. Dan di salah satu corner ada foto alas kaki pesumo terkenal dan kita bisa membandingkan kaki kita dengan pesumo itu. Wah memang kakinya pesumo itu besar ya 😀 Habis kaki itu harus menanggung berat badan yang tidak tanggung-tanggung sih.
Setelah melihat museum, kami pindah tempat menuju ke Ishida Tsutsumi, dam buatan waktu pasukan Toyotomi merendam Oshi Castle dengan air sungai. Di dekatnya terdapat Maruhakayama Kofun (makam) yang menjadi pusat pasukan Toyotomi. Makam ini berbentuknya seperti gundukan tanah yang tinggi, tapi karena waktu itu aku capek sekali, aku tidak ikut naik ke atas. Lagipula sudah mulai hujan rintik-rintik, aku takut kalau terpaksa harus bergegas turun, padahal aku takut ketinggian (sehingga pasti butuh waktu lama untuk menuruni bukit).
Sebetulnya di sekitar tempat itu juga ada museum dokumentasi lainnya, tapi karena sudah pukul 4:30 sudah tutup. Kami juga tidak sempat (lebih ke tidak berminat sih) mencoba makanan khas daerag Gyouda yaitu Gorengan dan Jelly Goreng … yieks.
Senang sekali perjalanan waktu itu, bisa mengunjungi castle yang menjadi tempat bersejarah. Sayangnya castle ini tidak termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang. DeMiyashita sedang berusaha mengunjungi dan mengumpulkan stamp dari castle-castle yang termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang 100名城. Ntah kapan bisa terlengkapi, tapi senang jika mengetahui bahwa kami mempunyai suatu target bersama, target keluarga dalam hidup kami.
Hari Sabtu, 1 Juni, hari yang ditunggu-tunggu Riku. Karena hari itu adalah hari undokai, sport day SD nya, dan jika hari ini berlalu berarti hari-hari penuh derita untuk latihan akan berlalu! Dan kekhawatiranku akan hujan, tidak terbukti karena hari ini cuaca cerah bahkan terik! Aku tak menyangka bahwa aku bisa terbakar matahari dan baru sadar waktu mencuci muka malam harinya, terlihat muka dan hidungku merah-merah karena terbakar 😀 Kupikir aku yang hitam ini pasti tidak terpengaruh oleh sinar matahari seperti layaknya Gen dan teman-teman Jepang lainnya…. eeehhh ternyata terbakar juga 😀
Pagi hari aku bangun jam 5 dan mulai memasak bento (bekal makanan). Sekaligus aku juga memasak ayam bumbu rujak untuk kegiatan bazaar gereja hari Minggunya. Jam 6 pagi Riku bangun dan minta sarapan. Hari itu kupikir aku harus menyiapkan bento untuk 4 orang, tapi ternyata tidak. Gen yang tadinya mengambil cuti supaya bisa menonton pertandingan olah raga anaknya, terpaksa harus bekerja. Riku tentu kecewa. Tapi aku bisik padanya, “Papa juga sebetulnya sedih sekali tapi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, terpaksa harus ke kantor. Besok kan bisa pergi dengan papa. Hari Senin kan libur, nanti pergi berdua mama ya….Hibur papa juga ya….” Dan dia bisa merelekan papanya pergi ke kantor.
Berarti? Aku harus pergi cepat-cepat dengan Kai untuk mengikuti acara undokainya Riku. Tahun lalu aku tidak perlu cepat-cepat karena Gen ada, dia pergi duluan dan setelah itu aku pergi sebentar. Tidak perlu juga untuk menonton keseluruhan acara. Tapi tahun ini Riku terpilih menjadi murid yang harus memimpin kelasnya untuk senam pemanasan. Jadi dia berdiri paling depan kelasnya. Selain ini pada program ke 3, dia akan berlari 100 meter. Untuk acara olah raga ini, yang benar-benar “bertanding” hanya lari 50 m (untuk kelas 1,2), 80 m (untuk kelas 3,4) dan 100 m (untuk kelas 5,6). Yang lainnya bersifat permainan dan exhibition. Meskipun bertanding dan permainan pun tidak dihitung siapa yang “paling” berdasarkan invidual tapi berdasarkan kelompok. Ya, kelompok Merah dan Putih. Riku termasuk kelompok Merah, dan sejak kelas satu SD dia memang selalu kelompok Merah. Tahun lalu yang menang adalah kelompok Putih, sehingga kelompok Merah bertekad untuk memenangkan undokai tahun ini.
Setelah menonton lari 100 m, aku dan Riku pergi ke taman dekat sekolah dan aku menunggui Kai bermain di situ, sampai tiba giliran Riku tampil lagi dalam acara “Kibasen 騎馬戦” dari kelas 5 dan 6. Pertandingan ini dilakukan dengan 4 orang dalam satu kelompok. Seperti prajurit berkuda, dengan 3 orang di bawah dan 1 orang di atas. Yang dibawah menahan yang diatas, tapi yang diatas harus berusaha mengambil topi lawan dan berusaha supaya topinya tidak diambil lawan…sama-sama berat tanggung jawabnya. Kulihat kelompok Riku berhasil mengambil topi satu kali, tapi juga diambil topinya satu kali. Tapi secara keseluruhan kelompok Merah menang dalam pertandingan Kibasen ini. Waktu selesai jam sudah menunjukkan pukul 11:30 lewat jadi aku dan Kai pulang ke rumah untuk makan siang. Sedangkan Riku makan siang bento yang kusiapkan dengan teman-temannya.
Aku kemudian kembali lagi ke sekolahnya sekitar pukul 12:40 karena ada exhibition, tarian Soranbushi dari kelas 5, sebuah tarian tradisional yang sangat dinamis. Riku sampai sakit kakinya karena setiap hari harus latihan. Memang otot paha sangat dipakai dalam tarian ini, serta kecepatan bergerak mengikuti irama. Senang sekali melihat Riku bisa mengikuti semua gerakan tanpa salah ataupun terlambat. Kalau aku yang di situ… pasti tidak bisa 😀 Untung sekali juga aku mengambil video dari depan, sehingga bisa melihat gerakan dan pada posisi terakhir Riku berada paling depan, menghadap ke kursi kepala sekolah dan tamu-tamu.
Sebetulnya setelah acara Soranbushi ini aku bisa pulang, karena Riku tidak tampil lagi sampai upacara penutupan. Tapi aku ingin sekali melihat senam oleh kelas 6. Karena aku tahu mereka biasanya membuat ningen piramid (piramida manusia) . Dan aku bersyukur sekali bisa melihat senam itu, karena… aku begitu terharu melihat kekompakan mereka.
Formasi pertama, berdua-dua membuat berbagai bentuk dan yang membuatku terharu pertama adalah pasangan yang satu muridnya berbadan besar sedangkan temannya kecil. Waktu formasi yang kecil harus menahan badan si besar yang berdiri dengan tangan, guru yang bertugas ikut membantu si kecil. Ya, dalam senam ini ada sekitar 8 orang guru yang mengawasi dari jauh di setiap sudut. Jadi anak-anak memang diberi tugas untuk membentuk formasi, berusaha, tapi jika tidak bisa salah seorang guru akan membantu. Tidak dilepas begitu saja, dan guru-guru juga menjaga supaya jangan terjadi kecelakaan. Bukan hanya memerintah tapi juga mendukung. Tanpa sadar air mata menggenangi sudut mataku 🙁
Formasi berikutnya bertiga, berempat, dan entah berberapa, ada beberapa formasi yang membuat aku menahan nafas. Ada anak yang didukung bersama sehingga bisa membetuk formasi terbang. Atau didorong sehingga berdiri di atas pundak beberapa anak dan… menjatuhkan diri. Wah, perlu kepercayaan yang besar bahwa dirinya tidak akan terjatuh. Kerjasama yang di atas dan di bawah, membuat penampilan mereka perfect, sempurna. Ah, mereka BARU kelas 6 SD. Aku dengan susah payah menahan haru, menahan tangis melihat penampilan mereka. Dan sambil berpikir dalam hati: “Tahun depan anakku kelas 6 SD, terakhir di SD dan pasti akan mengikuti senam seperti ini. Sedangkan sekarang saja aku susah payah menahan tangis…apalagi tahun depan ya? Undokai terakhir untuk Riku dan pertama untuk Kai yang akan masuk kelas 1 SD”…
Dan sebagai performance terakhir mereka membuat piramida manusia. Bagi yang mau melihatnya silakan videonya sudah saya upload di Youtube.
Sebagai acara terakhir yang menentukan kemenangan kelompok merah dan putih adalah menggelindingkan Bola Raksasa bersama. Ini juga merupakan acara kesukaanku. Melihat mereka berusaha mendorong, menggelindingkan dan mengangkat bola raksasa itu seakan-akan aku ikut dalam barisan mereka. Daaan, hasilnya kelompok Merah mendapat nilai 523 dan kelompok putih 417, jadi kelompok merah yang menang! Horreeeee
Aku pulang bersama Riku dan Kai sekitar pukul 3:30 sore. Capek, tapi senang. Dan sebagai hadiah untuk Riku, kami membeli es krim di Circle K dan yang paling menyenangkan bagi Riku adalah melihat papanya sudah sampai di rumah waktu memasuki apartemen kami. Malam itu Riku juga menantang papanya bermain catur Jepang “Shogi” dan bisa memenangkan satu kali pertandingan. Hari yang indah untuk kami sekeluarga, meskipun bagi Gen tidak begitu indah karena harus bekerja dan “kalah” shogi dari Riku. Tapi satu yang selalu kuingat dari undokai Riku adalah “kerjasama”, mau di atas, mau di bawah, atau kalah menang, semuanya sama berat tugasnya, tapi semua “beban” akan menjadi ringan jika dijalankan bersama, dan tentu saja dengan berusah payah berlatih.
Beberapa hari yang lalu, Gen memberikan sebuah artikel surat kabar. “Baca deh!”…. Waktu membaca judulnya aku sudah tertawa, tapi baru sempat baca tadi pagi. Well memang ini adalah masalah ibu-ibu yang punya anak laki-laki 🙂
Judulnya, 息子に「失恋」母の傷心] awalnya karena baca sekilas kusangka artinya “Perasaan Ibu Jika Putranya Patah Hati” eh ternyata yang patah hati justru ibunya hahaha, patah hati terhadap sang putra 😀
Banyak ibu-ibu yang sudah mengalami bahwa semakin putranya beranjak dewasa, jarak akan menjadi jauh. Yang selama masih SD masih bisa dicium-cium, atau bisa mandi dan tidur bersama, lama-kelamaan tidak bisa lagi. Apalagi kalau sang putra menampik pembicaran dengan “Mama mau tahu aja” atau “cerewet”. “Uzai ウザイ” (cerewet) atau “Kimoi キモイ” (memuakkan) adalah kata-kata hinaan jaman sekarang (slang) yang juga disebutkan kepada sang ibu. Sakit hati mendengarnya.
Rupanya ibu-ibu Jepang yang mempunyai anak lelaki, secara tidak sadar dalam kesibukannya sebagai seorang ibu, mulai “jatuh cinta” pada anak lelakinya. Setelah menikah 10 tahun lebih dan menjadi ibu rumah tangga 100% , mereka mulai bekerja part time dan mempunyai hobi sendiri. Tapi suaminya yang sibuk setiap hari membuat sang ibu kesepian. Ini menyebabkan “perhatian” beralih kepada anak lelakinya dan mencurahkan seluruh kasih sayang kepada anaknya. Sang ibu sering mengajak anak lelakinya untuk “kencan” makan berdua atau jalan-jalan di taman. Meskipun sang ibu berusaha “menyamakan” pengetahuan dengan anaknya dengan membaca juga buku yang dibaca anaknya, atau berusaha mendengarkan musik yang disukai anaknya, tetap saja ada batasnya. Usia, pergaulan, komunikasi dan dunia sang anak semakin membuat sang ibu jauh dari anaknya sehingga sang ibu “patah hati”.
Hal ini bisa terjadi karena memang perubahan masyarakat Jepang sendiri yang membuat rata-rata seorang wanita melahirkan 1,39 anak. Jika anak hanya satu atau dua, tentu seluruh waktunya sebagai ibu dicurahkan kepada 1 atau 2 anak ini saja. Selain itu sekarang anak-anak lelaki berubah menjadi 草食系 (soushokukei) yaitu lelaki yang tidak “garang”. Kalau lihat dari kanjinya bisa diterjemahkan sebagai “pemakan rumput” dibandingkan dengan 肉食系 (nikushokukei) “pemakan daging” yang sifatnya lebih agresif. Perubahan laki-laki yang “garang” menjadi “lembut” membuat mereka lebih bisa mengerti hati wanita, sehingga bisa lebih dekat dengan ibunya. Sehingga ibu yang merasa “nyaman” dengan hubungan anak lelaki ini, akan menjadi “patah hati” jika sang anak menjauh.
Oleh psikiater disarankan kepada ibu-ibu untuk ① mengerti bahwa anaknya akan memasuki masa puber dan itu normal ② harus mempunyai kegiatan lain selain menjadi seorang ibu ③ tetap menjaga hubungan dengan suami…
Waaaah isi artikel yang kalau dipikir jauh dengan kondisiku. Aku masih mempunyai banyak hal yang harus dipikirkan selain anak-anak, keluarga, pekerjaan, hobi termasuk ngeblog 😀 TAPI aku bisa mengerti dan memahami bahwa akan ada suatu saat waktu seorang ibu harus melepaskan anak(-anak) lelakinya untuk memulai kehidupan sendiri.
Tadi pagi aku sempat memeluk Riku di depan pintu sebelum dia pergi sekolah, lalu dia sambil tertawa berkata “Uzai” “Kimoi”, aku hampir marah, tapi untung aku ingat, dia juga membaca artikel koran itu. Rupanya dia menggoda aku! Huh, aku cubit dia tapi dia sempat lari masuk ke lift. Memang sudah mulai ada jarak antara aku dan Riku. Dia maunya mandi sendiri, lalu sudah mulai memilih baju sendiri, tidak suka dengan baju pilihanku. Atau kadang-kadang dia tidak makan makanan yang kusediakan karena tidak suka. Tidak bisa lagi kumarahi kalau tidak makan seperti dulu. Dia tentu saja sudah bisa belanja, bepergian atau menunggui rumah sendiri. Rasanya aku sudah tidak diperlukan selain untuk masak dan membereskan rumah 😀
Aku senang karena masih ada Kai. Dia masih mau tidur dan mandi bersamaku. Atau dia masih mau mencium pipiku dan memelukku meskipun sudah malu kalau di depan umum. Tapi dia juga sudah mulai “besar” dan bertanggung jawab. Dia sering memarahiku kalau lupa atau membiarkan lampu menyala. “Boros kan ma…” Atau dia selalu bertanya, “Mama tidak apa-apa?” kalau mendengar aku batuk atau bunyi “gubrak” waktu aku menjatuhkan sesuatu. Kadang aku peluk dia erat-erat dan berkata, “Aduh tahun depan Kai sudah SD, mama tidak bisa begini lagi ya?” Dan… tahu dia jawab apa?
“Aku akan terus tidur sama mama”
“Loh sampai kapan?”
“Sampai aku gede!”
“Ngga bisa dong, Kai harus bisa tidur sendiri kalau sudah gede!”
Aku sebetulnya mau gangguin dia…. “Kan kamu suatu waktu juga akan menikah” tapi aku diamkan saja dulu. Karena kalau aku bilang sekarang, sudah pasti jawabannya, “Aku tidak mau menikah!” (Dia pernah bilang mau jadi pastor :D) hahahaha
Akankah aku “patah hati” … hmmm let say, 5 tahun lagi? Mungkin! Tapi aku akan bersiap-siap mencari kesibukan baru jika anak-anak sudah besar. Mau belajar membuat keramik, mau belajar melukis, atau mau treking sambil hunting foto. Tapi yang pasti aku mau ngeblog terus 😀
Tapi sebetulnya yang susah itu justru kalau anak-anak lelakiku patah hati ya? Jangan-jangan aku ikut “patah hati” jika mereka patah hati 😀 hihihihi
Jangankan emas permata sesen pun aku tak punya Tapi jangan kau sangka aku tak kan gembira
Walau semua itu tak ada
Hidupku untuk cinta
Tlah terbalas cinta
Inilah bahagia oh oh oh
Gunung pun akan kudaki lautan kusebrangi
Asalkan kudapati cinta kasih abadi
Permata aku tak peduli
(Titik Puspa)
Enak sih kalau bisa bilang: “Siapa takut?” pada mendaki gunung. Hmm, sebetulnya AKU yang takut mendaki gunung. Selain takut karena merasa tidak pede akan kemampuan badan untuk mendaki, aku pun sebetulnya takut ketinggian. Phobia terhadap ketinggian! Tapi sejak tinggal di Jepang 20 tahun lalu, lama kelamaan aku bisa mengatasi rasa takut itu, tergantung ketinggiannya juga sih :D. Waktu menaiki gunung Nokogiriyama setinggi 330 meter yang pernah kutulis di sini, aku merasa payah. Payahnya karena semua berupa tangga yang cukup tinggi dan terjal, sehingga membuat aku takut tanpa berpegangan. Takut jatuh, sehingga rasanya aku mau merayap saja deh.
Hari Minggu tanggal 12 Mei, persis Mother’s Day, sesudah dari gereja, kami pergi ke bekas kastil Hachiouji. Tadinya kupikir kami akan pergi ke Gunung Takao, ternyata Gen mencari di website dan mengetahui bahwa di dekat Takao, tepatnya di Hachiouji baru sebulan yang lalu dibuka rekonstruksi situs bekas kastil Hachiouji yang terbakar waktu jam perang saudara (terbakar/runtuh tahun 1590-an). Kebetulan Riku sedang getol-getolnya belajar serajah sehingga mengenal nama-nama tokoh yang meninggal di situ. Karena tempat itu berbukit-bukit, maka Gen juga membawa jala untuk menangkap kupu-kupu.
Kami parkir di tempat yang disediakan (parkir dan tanda masuk gratis semua) dan sebelum mendaki, kami pergi dulu ke pusat informasi yang terletak di sebelah lapangan parkir. Di situ kami melihat maket tempat-tempat yang diharapkan didatangi pengunjung, dan tidak lupa membawa peta bekas situs kastil Hachiouji. Tak lupa ke wc dulu, karena di atas gunung pasti tidak ada wc yang bersih. Gedung ini baru dan wcnya sangat modern.
Mulailah kami menyusuri bukit menuju ke rekonstruksi kastil Hachiouji. Untuk menuju ke sini tidak ada tangga atau bukit yang curam, semuanya landai TAPI di beberapa tempat terdapat peringatan “Hati-hati ular”, yang membuat takut juga. Setelah melintasi jembatan, jalan berbatu dan gerbang kayu, kami sampai di pelataran luas dengan beberapa batu yang diletakkan untuk menunjukkan bentuk kastil saat itu. Tapi ini baru tempat awal, karena sebetulnya pusat dari kastil ini ada di atas bukit, dan untuk itu kami harus mendaki kira-kira 30 menit. Memang ada jalan untuk hiking, tapi bukan berupa semen, dan lebarnya hanya satu meter, sehingga aku cukup ngeri mendakinya. Yang hebat Kai, karena dia melesat sendirian ke atas, sambil sesekali menunggu kami 😀 Duh itu anak memang sih yang paling kurus dan lincah serta tidak ada rasa takut. Untung juga Riku tidak takut untuk mendaki meskipun jika kalau disuruh naik roller coaster dia tidak suka.
Akhirnya sampai juga sih di atas bukit, tempat Honmaru atau pusat kuil Hachijoji Castle berada di ketinggian 445m dan cukup terhibur melihat pemandangan ke arah kota Hachiouji di bawah. Tentu saja dengan menggeh-menggeh kehabisan nafas 😀 tapi aku merasa senang, waktu beberapa kali berpapasan dengan orang yang sedang turun, kebanyakan mereka menyapa “Konnichiwa”…. ah orang Jepang memang sopan-sopan.
Acara turun memang lebih cepat dari pada waktu mendaki, tapi cukup ngeri karena takut terpeleset karena pijakan masih ada beberapa tempat yang tanah merah. Aku memang bukan pendaki gunung deh, tapi aku harus memuji diriku sendiri, karena meskipun tidak berani dan tidak kuat, masih mau berusaha mendaki. Yang penting kan usahanya dulu ya. ngeles.com hihihi
Hari itu capek sekali, sehingga kami bermaksud untuk makan malam di luar saja. Dan mengikuti permintaan Riku, dia ingin makan sushi di dekat rumah kami. Tapi salah juga sih karena kami sampai di restoran itu pukul 7 malam, dan sudah banyak tamu yang menunggu. Kaget juga melihat begitu banyak orang, tapi bisa dimaklumi karena hari itu adalah Mothers Day. Kami baru bisa duduk dan makan setelah menunggu satu jam. Karena sudah capek kami tidak mau bersusah payah mencari restoran lain, dan dengan sabarnya menunggu. Hari Ibu yang melelahkan tapi menyenangkan.
Setelah dari Takeda Jinja, kami menuju ke Tomi no oka Winery milik perusahaan Suntory. Aku sempat bilang pada Gen, “Loh waktu itu bukannya kita sudah pernah ke Suntory juga?” Ternyata waktu itu pabrik air mineral dan whisky, sekarang ini adalah pabrik…. tempat pembuatan anggur/ wine.
Setelah melewati perbukitan yang begitu sepi, tanpa terlihat ada satu mobilpun, kami sampai di pintu gerbang Tomi no oka Winery. Hujan rintik masih turun, dan kami dihadang oleh satpam winery itu, kami katakan bahwa kami belum mendaftar untuk berkunjung ke winery, tapi kalau bisa on the spot, ingin ikut. Oleh satpam kami diberitahu bahwa tentu bisa ikut rombongan untuk berkunjung ke winery dan kebetulan 10 menit lagi ada grup yang akan berangkat. Gratis dan karena hujan pesertanya sedikit, jadi kami bisa join. Tapi lain kali daftar dulu ya. “Yes, sir!” Kami cepat-cepat memarkirkan mobil, ambil payung dan menuliskan nama dalam buku tamu. Kami diberi tanda masuk untuk dikalungkan di leher, tapi khusus untuk Gen ada kalung lain yang bertuliskan bahwa dia menyetir mobil jadi TIDAK BOLEH sama sekali mencoba atau mendekatkan mulutnya ke wine. Selain itu anak-anak tentu karena belum cukup umur (belum 20 th) tidak boleh juga minum atau mencoba wine. Jadi… cuma mama Imelda yang bisa coba, karenanya Gen mengatakan : Selanjutnya kita menyenangkan mama.
Rombongan berangkat dari dekat lapangan parkir, dan sebelum pergi ke penyimpanan anggur, kami melihat video pembuatan wine dulu. Kalau masih pagi, sebetulnya kami bisa berkunjung dari melihat perkebunan anggurnya, lalu pabrik pembuatannya juga. Tapi karena sudah jam 3, kami cuma bisa melihat video dan kemudia pergi ke penyimpanan anggur yang telah diolah. Baru tahu dari video itu bahwa untuk wine putih, buah anggur putih dikupas dulu kulitnya, dan yang dipakai cuma daging buahnya. Sedangkan untuk wine merah, anggur merah tidak dikupas kulitnya, seluruh buah dipakai. Daging, kulit dan bahkan bijinya dihancurkan lalu disaring. Setelah ditambah biang fermentasi baru dimasukkan ke dalam tong-tong kayu. Kami kemudian melihat penyimpanan tong-tong kayu berisi wine yang belum jadi di sebuah gudang yang berada di dalam bukit.
Karena berada di dalam bukit, seperti di dalam gua, suhu udara bisa dijaga sampai sekitar 15 derajat sepanjang waktu secara alami. Memang sedikit dingin saat kami memasuki gudang tong-tong fermentasi pertama itu. Setelah itu wine dalam tong dipindahkan ke dalam botol, yang sebetulnya di dalam botolpun wine ini akan berfermentasi terus. Waktu memasuki gudang botol, terlihat rak-rak botol kosong karena wine yang sudah berusia 3 tahun sudah dijual. Dan diujung lorong penyimpanan botol, kami melihat botol-botol hasil winery Tomi no oka. Yang paling mahal dan paling enak (konon) berwarna kuning emas sebelah kiri atas. Waktu kami lihat harganya di toko di dalam winery seharga 50.000 yen (5 juta rupiah satu botol) waaaah siapa yang mau beliin untukku? 😀
Memang setelah selesai melihat penyimpanan wine itu, rombongan bubar, dan kami diminta untuk menaiki mobil kami masing-masing menuju shop, untuk mencoba wine yang diproduksi. Shop itu terletak di perbukitan menghadap perkebunan anggur dan gunung. Sayang sekali waktu itu hujan sehingga berkabut dan tidak bisa melihat jauh. Padahal kalau cerah pasti indah pemandangannya. Akupun menemukan beberapa jenis bunga yang belum pernah kulihat di Tokyo.
Di dalam shop, peserta kunjungan bisa mencoba 3 jenis wine yang disediakan. Rosso yang hanya dijual di tempat itu seharga 1890 yen, manis fruity, sedangkan wine lainnya putih dan merah aku tidak begitu suka. Salah juga sih si waiter memberikan wine manis duluan padaku 😀 memang hanya aku yang bisa mencoba minum wine, karena aku sudah dewasa dan tidak menyetir mobil. Dan yang kurasa bagus, waiternya sempat menegur dengan keras seorang kakek yang memakai kalung pertanda dia menyetir. Kelihatan memang dia ingin sekali minum, sampai dia tanya ke istrinya bagaimana rasanya dan sempat mendekatkan gelas ke hidungnya. Nah, memang pengendara mobil sudah diwanti-wanit dari awal, bahwa TIDAK BOLEH mengendus gelas sama sekali (karena itu awal ingin minum, tinggal selangkah lagi bisa tegak sekaligus kan) . Waiter itu sampai bilang, “Maaf pak, kalau tidak bisa patuh, pulangnya harus naik taxi loh. Jangan main-main. ” Memang mereka juga bertanggung jawab kalau sampai si kakek minum dan tetap mengendarai mobil. Peraturan untuk supir yang dalam pengaruh alkohol tapi masih menyetir di Jepang sangat ketat. Pemberi minuman, pelayan toko dan teman penumpang mobilnya akan ikut mendapat hukuman. Disiplin itu harus berada dari diri kita dan perlu dukungan sekitarnya.
Karena lokasi ini cukup membosankan bagi anak-anak, akhirnya kami cepat-cepat pulang ke parkiran, dan menuju ke Museum Seni Yamanashi. Rupanya Gen ingin memperlihatkan lukisan Millet (Jean-François Millet, pelukis perancis) yang terkenal kepada Riku. Museum ini sejak dibuka 1978 memang terkenal sebagai museum Millet. Kami sampai di museum itu sudah pukul 4:30 lebih, tapi masih diperbolehkan masuk ke museum yang tutup pukul 5. (sebetulnya tidak bisa lagi beli karcis jika sudah pukul 4:30, tapi entah Gen mungkin bicara bahwa kami dari Tokyo). Harga karcis untuk dewasa 310 yen, untuk anak-anak 100 yen. Tidak mahal jika dibandingkan dengan pameran khusus yang biasanya 1800 yen/orang dewasa.
Lukisan Millet yang kuketahui cuma sang penabur (The Sower) dan pemandangan wanita yang sedang bekerja di ladang (The Gleanders). Lukisan The Gleanders ini pertama kali kulihat di Museum Louvre, Paris, sedangkan penabur aku tidak melihat langsung. Senang juga bisa melihat kedua lukisan ini dari dekat. Rupanya memang kedua lukisan ini (dan satu lagi The Angelus) merupakan lukisan Millet yang paling terkenal. Waktu kucari keterangan tentang Millet, kuketahui bahwa Millet bersama Rosseau mendirikan Barbizon School, yaitu sebuah aliran baru yang berpusat di daerah yang bernama Barbizon di pedesaan Perancis. Sedangkan kalau dilihat dari pengelompokan jenis lukisan, lukisan Millet bisa dimasukkan dalam kategori Realisme dan Naturalisme.
Sayang aku tidak bisa berlama-lama menikmati lukisan-lukisan Millet, dan lukisan pelukis Barbizon lainnya, karena aku harus menemani Kai. Ya, Kai belum bisa mengerti, mengapa harus melihat sebuah gambar berlama-lama, dalam sunyi, tak boleh bercakap-cakap dengan suara keras, dan jalan juga musti pelan-pelan, tidak boleh lari. Museum memang BUKAN tempat yang cocok untuk anak TK 😀 Tapi sebaiknya anak-anak juga dikenalkan pada lukisan dan barang-barang berharga/bersejarah sedini mungkin sehingga bisa menghargai seni dan sejarah suatu bangsa. Jadi sementara Riku dan papanya menikmati lukisan, aku dan Kai berjalan agak cepat mengelilingi museum dan pameran khusus lain, kemudian menunggu mereka di lantai bawah. Bagi Riku dan Kai ini merupakan pengalaman pertama mengunjungi museum seni.
Persis pukul 5 sore, kami keluar museum itu dan berfoto di depan museum. Hari itu kami, terutama Gen puas karena bisa memenuhi rencana kunjungan ke tiga tempat. Takeda Jinja, Tomi no oka Winery dan Yamanashi Art Museum.
Kalau berbicara tentang Yamanashi, bagi yang sudah tahu Jepang, tentu mengetahui bahwa Yamanashi terletak di pegunungan dan mengaku juga empunya separuh dari gunung Fuji, dan merupakan prefektur (semacam propinsi di Indonesia) yang tidak mempunyai laut. Bagi yang pernah belajar bahasa Jepang tentu tahu bahwa penggunaan ~nashi berarti tanpa ~. Nah kalau melihat nama Yamanashi, prefektur ini bukannya tanpa yama (gunung) tapi malahan tanpa umi (laut), sehingga seharusnya namanya menjadi Uminashi 😀 OK OK ini hanyalah dajare, lelucon (tidak) lucu.
Hari Sabtu kemarin, aku terbangun pukul 5 pagi. Setelah membuat sarapan untuk Riku, aku membangunkan Gen pukul 7 karena kusangka dia kerja hari itu. Ternyata dia libur! Wah, kalau begitu aku bisa tidur lagi dong 😀 Jadilah aku tidur di samping Kai yang masih terlelap sekitar pukul 7:30. Jam 9, aku lihat Kai terbangun dan keluar, tapi kupikir… ahhh kapan lagi bisa tidur sampai siang. Tahu-tahu jam 9:30 aku dibangunkan Gen. “Mel bisa bangun? Kalau bisa aku mau ke Yamanashi…”
“Kan hujan hari ini?”
“Ada 3 tempat yang aku mau kunjungi, dan tidak apa kalau hujan”
“OK….” Aku bangun dan bersiap cepat-cepat karena aku cuma punya waktu 30 menit. Gen rencana berangkat jam 10 pagi, supaya bisa sampai di Yamanashi pukul 12:30 an. Katanya jalan tol hari ini tidak macet, mungkin karena orang tahu bahwa hari ini hujan, jadi tidak berencana keluar rumah 😀
Dan… highway memang lancar jaya… Yang biasanya macet, bisa kami lewati dengan kecepatan sampai 110 km/jam. Wah seperti mimpi. Bahkan ketika kami sampai di Parking Area eh Service Area (bedanya kalau Service Area ada pompa bensin segala) Dangozaka, tetap lancar. Padahal katanya tempat itu terkenal macetnya. Dan tempat ini lumayan besar karena ada beragam restoran dan bakery. Kai langsung berkata, “Aku lapar! Aku mau makan soba” Well, memang Kai dan Gen tidak sempat sarapan, jadi meskipun waktu itu baru sekitar pukul 11 lebih, kami makan siang sajalah.
Setelah kami isi “bensin” , kami melanjutkan perjalanan dan sampai di pusat ibu kota Yamanashi, KOFU, kami langsung pergi menanjak menuju Takeda Jinja. Jinja adalah kuil Shinto, dan Takeda adalah nama seorang pembesar daerah, daimyo yang terkenal pada jaman Sengoku. Kebetulan Riku sedang gandrung membaca buku-buku mengenai pahlawan-pahlawan Jepang jaman dulu yang terdapat di perpustakaan (seperti yang sudah kutulis dia kan wakil ketua seksi perpustakaan OSIS di SDnya), sehingga dia bisa bercerita siapa itu Takeda Shingen dengan papanya. Wah senang deh rasanya mendengar mereka berdua bercakap-cakap di mobil. Aku juga suka sejarah (dan memang spesialisasiku sejarah Jepang khususnya jaman Tokugawa) tapi aku tidak tahu detil ceritanya seperti orang Jepang yang sudah belajar sejarah Jepang dari kecil. Lama-lama aku ketinggalan deh pengetahuannya dibanding Riku.
Dan kebetulan waktu kami ke Jinja itu, ada pasangan pengantin Jepang yang merayakan upacara pernikahannya di Jinja itu. Aku sempat memotret iringan pengantin itu sebelum mereka masuk ke bagian dalam Jinja, yang hanya bisa dilihat oleh anggota keluarga saja (eh tapi aku pernah loh masuk ke bagian dalam jinja waktu menjadi penerjemah seorang wanita Indonesia yang menikah dengan orang Jepang secara Shinto). Setelah melihat-lihat jinja, kami juga masuk ke museum yang memamerkan sejarah keluarga Takeda, termasuk pedang dan pakaian perangnya. Sayang kami tidak boleh berfoto di dalam museum itu. Untuk masuk museum kami harus membayar 300 yen untuk orang dewasa.
Di depan museum kecil itu terdapat kotak kaca berisi shishimai (barong) yang bisa mengambilkan surat ramalan omikuji. Memang kalau ke Jinja biasanya orang akan membeli kertas omikuji yang berisi ramalan keberuntungan tahun itu. Jika bagus biasanya diikat di tempat yang disediakan dengan doa semoga dikabulkan. Yang aku baru lihat adalah tempat memasang kertas penamaan bayi. Maklum dulu waktu kami menentukan nama Riku dan Kai tidak pakai tulis di kertas begitu sih (kami juga tidak pergi omiyamairi, kunjungan pertama ke kuil Shinto 😀
Waktu kami datang ke Takeda Jinja ini hujan masih rintik-rintik, tapi lama kelamaan menderas, sehingga harus pakai payung. Sebelum pergi dari kuil itu kami sempat mampir ke toko souvenir dan membeli es krim rasa anggur. Daerah Yamanashi memang terkenal sebagai penghasil buah anggur. Enak!
Riku membeli sebuah pedang katana yang terbuat dari kayu dengan uangnya sendiri. Melihat itu Kai juga ingin beli, tapi karena Kai tidak punya (dan tidak bawa) uang, kami tidak berikan dia beli pedang. Nah, berantem deh 😀 Sulit memang untuk memberikan pengertian pada Kai, bahwa tidak semua yang dimiliki Riku itu cocok dan baik untuknya. Itu yang selalu harus kami tanamkan pada Kai, sehingga meskipun berkelahi, kami tetap tidak membelikan pedang untuk Kai. Kalau kami belikan, kata Gen, “Perang Saudara Jepang akan terjadi di Nerima” hahaha
Setelah dari Takeda Jinja, kami memasuki mobil untuk pergi ke tujuan berikutnya, yang katanya Gen untuk menyenangkan mama (setelah menyenangkan Riku, giliran mamanya). Yeay!
Salah satu cara untuk menikmati liburan adalah dengan jalan-jalan, jalan kaki atau naik sepeda di daerah sekitar rumah tinggal. Ini sering kami lakukan jika malas keluar rumah seharian, atau ada acara lain yang menyisakan waktu kosong hanya setengah hari. Ya antara lain Gen mengajak anak-anak pergi ke taman dekat rumah untuk menangkap kupu-kupu. Karenanya aku juga senang membaca tulisan bu Enny yang berjalan-jalan di daerah Toyohashi, di sekitar kampus anaknya, dan tetap enjoy. Berwisata tidak harus jauh dan mahal kok.
Tapi tanggal 6 Mei yang lalu, karena kami menginap di rumah mertua, tanpa membawa apa-apa, tanpa mobil, tanpa bat baseball, tanpa jaring kupu-kupu, kami mati kutu di rumah paginya. Seperti biasa kami memang tidak pernah bangun siang. Paling siang pun jam 9 pagi. Padahal tanggal 6 itu, pukul 9 pagi kami bahkan sudah selesai sarapan. Sarapan bermacam roti yang ibu mertua dan aku beli di toko yang berbeda-beda. Aku memang suka roti, jadi senang sekali bisa mencoba berbagai jenis roti. Kalau anggotanya banyak, kan roti bisa kita potong kecil-kecil untuk sekedar tahu rasanya. Makanya aku sempat upload foto di FB dan memberinya judul “Bread Day @Yokohama”, yang kemudian disangka sahabatku, Whita, Bread Day itu nama cafe di Yokohama 😀
Sesudah makan, anak-anak terus di depan TV, dan Gen merasa sayang kok hari yang cerah harus dilewatkan di dalam rumah. Di depan TV lagi. Jadi dia mengajak anak-anak pergi. Awalnya Riku tidak mau ikut, karena kakeknya tidak ikut. Kai sih sejak awal sudah semangat untuk jalan-jalan. Anak itu memang atlit deh 😀 Hmmm lalu aku merasa, mungkin kalau aku ikut Riku akan mau juga ikut. Dan tiba-tiba neneknya Riku, A-chan juga mau ikut. OK jadi kami berlima bersiap untuk jalan-jalan, osampo dekat rumah. Aku tak lupa membawa kamera dan dompet kalau-kalau perlu membeli sesuatu.
Kami berjalan menyusuri sungai yang melintasi daerah Kohoku, jalan terus sampai akhirnya memotong highway yang biasanya kita pakai untuk datang/pergi ke Yokohama. Wah lumayan jauh nih jalannya. Tapi, sebenarnya kita mau ke mana sih?
Tadinya Gen pikir untuk menuju ke stasiun terdekat lalu pulang ke rumah naik kereta. Tapi A-chan bilang bahwa ada sebuah course jalan di dekat situ yang akhirnya akan menuju ke sumber air sungai. Jadi kami menuju ke tempat itu, saat itu saja kami sudah berjalan sekitar 3 km.
Ternyata memang ada course jalan kaki yang dibuat oleh pemerintah daerah, melewati taman-taman, apartemen yang semuanya sudah di pavement. Di sepanjang jalan ditanam pohon dan bunga-bunga, meskipun tidak terlalu teratur, cukup menghibur orang yang berlari/jogging lewat course itu. Aku sempat menemukan buah semacam raspberry yang namanya Jepangnya Kumaichigo (stroberi beruang). Atau menemukan burung pelatuk yang hinggap di pohon, terbanng berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Course itu sendiri sepanjang 8 km, tapi kami hanya sampai di tengah-tengah kolam (sekitar 4 km).
Kolam yang cukup luas itu sebagian dipenuhi oleh tanaman teratai dan bebek-bebek. Banyak lansia yang duduk-duduk di sekitar kolam sambil bercakap-cakap di bangku yang tersedia. Di situ juga ada rumah tradisional kuno yang dilestarikan. Matahari mulai tinggi dan panas! Riku sudah ribut bertanya, abis ini kita ke mana…. Memang sudah waktunya untuk makan siang, tapi waktu kami pergi ke restoran Italia yang ada di dalam taman, ternyata sudah penuh. Jadi kami mengarah ke stasiun untuk akhirnya masuk ke dalam restoran Jepang. Menu makanan juga sudah sedikit pilihannya. Yang kasihan pesanan Riku, yang sudah peko-peko (lapar berat), datangnya paling akhir 😀 Tambah manyun deh dia 😀
Selesai makan, kami naik kereta dan pulang ke rumah mertua. Lumayan juga kami melewati 4 stasiun rupanya. Dan perlu diketahui rumah mertuaku ini berada di atas bukit, sehingga dari stasiun masih harus mendaki lagi ke atas 😀 Yang hebat si Kai, tanpa istirahat dia jalan terus loh… dan tidak mengeluh sama sekali.
Tadinya kupikir begitu sampai di rumah mertua, istirahat sebentar, lalu kami pulang ke Nerima. Makan malamnya di jalan pulang saja. Eh, ternyata istirahatnya kebablasan sampai akhirnya kami makan malam di yokohama lagi.
Tapi meskipun capek, puas rasanya bisa menaklukan daerah sekitar rumah dan terutama menaklukkan keinginan diri untuk bermalas-malasan di rumah 😀
Tanggal 5 Mei adalah hari Anak-anak Laki-laki di Jepang. Sebetulnya karena tanggal 3-4 Mei, kami sudah berada di Yokohama, bisa saja kami melanjutkan menginap di rumah mertua dan melanjutkan jalan-jalan di daerah Yokohama. Tapi karena tanggl 5 itu hari Minggu, Riku harus mengikuti sekolah minggu di gereja, dan aku pun harus hadir karena ada pertemuan orang tua murid dari anak-anak sekolah minggu. Kebetulan yang menjadi penasehat sekolah minggu adalah Pastor Ardy yang orang Indonesia, jadi tentunya aku harus memberikan support dong:D. Apalagi Kai yang kuajak ke gereja, karena merasa sudah akrab dengan pastor, dia duduk di sebelah kanan pastor 😀 Sok teu 😀
Setelah selesai mengikuti rapat sekolah minggu, Gen bergabung dan kami berjalan menuju stasiun. Kami memang mau memakai kereta api untuk jalan-jalan hari itu, dengan tujuan ke Minato Mirai di Yokohama. Parkir di Minato Mirai itu sulit dan mahal! Jadi lebih baik naik kereta yang lebih pasti. Setelah makan siang di Sukiya (restoran gyudon -nasi dengan tumis daging yang murah meriah), kami memulai perjalanan hari itu.
Untung saja kami datang di Yokohama Port Museum itu pas sebelum jam 2:30, jadi kami bisa ikut mendaftarkan anak-anak untuk mengikuti latihan memasang layar di kapal Nippon Maru, yang merupakan kapal pelatih. Untuk ikut acara ini sih gratis, tapi kami harus membayar harga masuk ke kapal seharga 600 yen untuk orang dewasa.
Tepat pukul 3:00 siang, kami berkumpul di geladak kapal dan karena pesertanya cukup banyak, maka orang tua tidak ikut memasang layar, cukup anak-anak saja. Itupun tidak semua layar dikembangkan. Hanya satu layar di bagian bawah. Kalau semua layar dikembangkan, katanya berbahaya untuk anak-anak karena harus memanjat. Yang diajarkan waktu membuka layar itu, bahwa menarik tali itu perlu banyak orang, tenaga dan keseragaman gerakan. Jadi ingat sih dulu waktu bermain ke sini waktu Riku masih kecil, kami melihat ‘pertunjukan’ mengembangkan layar oleh para kadet, dan indah sekali gerakan, juga pemandangan layar terkembangnya.
Sesudah acara memasang layar untuk anak-anak ini, kami bisa mengelilingi dalamnya kapal Nippon Maru. Memang Riku untuk kedua kalinya melihat dalamnya Nippon Maru, tapi Kai baru pertama kali sehingga dia mau melihat SEMUA, dan tertarik pada semuanya. Dia juga sempat bergaya mengemudikan kapal loh.
Setelah selesai, Gen dan anak-anak masuk ke museum pelabuhan Yokohama yang persis terletak di depannya (harga karcis 600 yen tadi sudah termasuk tanda masuk ke museum juga). Aku beristirahat di pelataran depan Nippon Maru sambil memotret yang bisa dipotret. Lama-kelamaan terasa dingin karena angin mulai bertiup, dan aku baru sadar bahwa jaketku ketinggalan di restoran Sukiya tadi :D. Untung masih ada syal, sehingga cukuplah untuk menutup leher.
Kembali berjalan ke stasiun, kami melihat bahwa di rotari sekitar tangga ada seniman jalanan daigeido 大芸道 sedang bermain dengan api. Cukup menarik yang dibawakan sehingga cukup banyak orang yang berkumpul. Karena Kai kecil dan tidak bisa melihat, dia digendong papanya di pundak sehingga bisa menonton, sedangkan Riku sudah menyelinap ntah ke mana untuk menonton. Aku akhirnya naik tangga dan menonton dari atas. Ah, aku memang suka Yokohama! Kota pelabuhan yang modern dan bernafaskan luar negeri (baca: western).
Setelah si seniman selesai, seperti halnya pengamen di sini, dia mengumpulkan uang, tapi bagi yang mau memberi saja. Aku lihat Riku diberikan uang oleh papanya, dan dia pergi ke kerumunan orang untuk memberikan kepada si seniman. Setelah itu kami berjalan ke stasiun dan naik kereta untuk pulang…. ke rumah mertua karena esoknya tanggal 6 Mei juga libur. Dan acara kami tanggal 6? nanti kutulis terpisah ya 🙂