Yamanashi, Prefektur Tanpa Laut

15 Mei

Kalau berbicara tentang Yamanashi, bagi yang sudah tahu Jepang, tentu mengetahui bahwa Yamanashi terletak di pegunungan dan mengaku juga empunya separuh dari gunung Fuji, dan merupakan prefektur (semacam propinsi di Indonesia) yang tidak mempunyai laut. Bagi yang pernah belajar bahasa Jepang tentu tahu bahwa penggunaan ~nashi berarti tanpa ~. Nah kalau melihat nama Yamanashi, prefektur ini bukannya tanpa yama (gunung) tapi malahan tanpa umi (laut), sehingga seharusnya namanya menjadi Uminashi 😀 OK OK ini hanyalah dajare, lelucon (tidak) lucu.

Hari Sabtu kemarin, aku terbangun pukul 5 pagi. Setelah membuat sarapan untuk Riku, aku membangunkan Gen pukul 7 karena kusangka dia kerja hari itu. Ternyata dia libur! Wah, kalau begitu aku bisa tidur lagi dong 😀 Jadilah aku tidur di samping Kai yang masih terlelap sekitar pukul 7:30. Jam 9, aku lihat Kai terbangun dan keluar, tapi kupikir… ahhh kapan lagi bisa tidur sampai siang. Tahu-tahu jam 9:30 aku dibangunkan Gen. “Mel bisa bangun? Kalau bisa aku mau ke Yamanashi…”
“Kan hujan hari ini?”
“Ada 3 tempat yang aku mau kunjungi, dan tidak apa kalau hujan”
“OK….” Aku bangun dan bersiap cepat-cepat karena aku cuma punya waktu 30 menit. Gen rencana berangkat jam 10 pagi, supaya bisa sampai di Yamanashi pukul 12:30 an. Katanya jalan tol hari ini tidak macet, mungkin karena orang tahu bahwa hari ini hujan, jadi tidak berencana keluar rumah 😀

Dan… highway memang lancar jaya… Yang biasanya macet, bisa kami lewati dengan kecepatan sampai 110 km/jam. Wah seperti mimpi. Bahkan ketika kami sampai di Parking Area eh Service Area (bedanya kalau Service Area ada pompa bensin segala) Dangozaka, tetap lancar. Padahal katanya tempat itu  terkenal macetnya. Dan tempat ini lumayan besar karena ada beragam restoran dan bakery. Kai langsung berkata, “Aku lapar! Aku mau makan soba” Well, memang Kai dan Gen tidak sempat sarapan, jadi meskipun waktu itu baru sekitar pukul 11 lebih, kami makan siang sajalah.

Takeda Jinja, KOFU, Yamanashi prefektur

Setelah kami isi “bensin” , kami melanjutkan perjalanan dan sampai di pusat ibu kota Yamanashi, KOFU, kami langsung pergi menanjak menuju Takeda Jinja. Jinja adalah kuil Shinto, dan Takeda adalah nama seorang pembesar daerah, daimyo yang terkenal pada jaman Sengoku. Kebetulan Riku sedang gandrung membaca buku-buku mengenai pahlawan-pahlawan Jepang jaman dulu yang terdapat di perpustakaan (seperti yang sudah kutulis dia kan wakil ketua seksi perpustakaan OSIS di SDnya), sehingga dia bisa bercerita siapa itu Takeda Shingen dengan papanya. Wah senang deh rasanya mendengar mereka berdua bercakap-cakap di mobil. Aku juga suka sejarah (dan memang spesialisasiku sejarah Jepang khususnya jaman Tokugawa) tapi aku tidak tahu detil ceritanya seperti orang Jepang yang sudah  belajar sejarah Jepang dari kecil. Lama-lama aku ketinggalan deh pengetahuannya dibanding Riku.

Pernikahan ala Jepang tradisional di Jinja

Dan kebetulan waktu kami ke Jinja itu, ada pasangan pengantin Jepang yang merayakan upacara pernikahannya di Jinja itu. Aku sempat memotret iringan pengantin itu sebelum mereka masuk ke bagian dalam Jinja, yang hanya bisa dilihat oleh anggota keluarga saja (eh tapi aku pernah loh masuk ke bagian dalam jinja waktu menjadi penerjemah seorang wanita Indonesia yang menikah dengan orang Jepang secara Shinto). Setelah melihat-lihat jinja, kami juga masuk ke museum yang memamerkan sejarah keluarga Takeda, termasuk pedang dan pakaian perangnya. Sayang kami tidak boleh berfoto di dalam museum itu. Untuk masuk museum kami harus membayar 300 yen untuk orang dewasa.

shishimai yang mengambilan omikuji, kertas ramalan untuk Kai. Satu kertas 200 yen

Di depan museum kecil itu terdapat kotak kaca berisi shishimai (barong) yang bisa mengambilkan surat ramalan omikuji. Memang kalau ke Jinja biasanya orang akan membeli kertas omikuji yang berisi ramalan keberuntungan tahun itu. Jika bagus biasanya diikat di tempat yang disediakan dengan doa semoga dikabulkan. Yang aku baru lihat adalah tempat memasang kertas penamaan bayi. Maklum dulu waktu kami menentukan nama Riku dan Kai tidak pakai tulis di kertas begitu sih (kami juga tidak pergi omiyamairi, kunjungan pertama ke kuil Shinto 😀

bagian bawah: omikuji (ramalan kehidupan) dan meimeisho (kertas penamaan bayi)

Waktu kami datang ke Takeda Jinja ini hujan masih rintik-rintik, tapi lama kelamaan menderas, sehingga harus pakai payung. Sebelum pergi dari kuil itu kami sempat mampir ke toko souvenir dan membeli es krim rasa anggur. Daerah Yamanashi memang terkenal sebagai penghasil buah anggur. Enak!

softcream rasa anggur… oishiiiiii

Riku membeli sebuah pedang katana yang terbuat dari kayu dengan uangnya sendiri. Melihat itu Kai juga ingin beli, tapi karena Kai tidak punya (dan tidak bawa) uang, kami tidak berikan dia beli pedang. Nah, berantem deh 😀 Sulit memang untuk memberikan pengertian pada Kai, bahwa tidak semua yang dimiliki Riku itu cocok dan baik untuknya. Itu yang selalu harus kami tanamkan pada Kai, sehingga meskipun berkelahi, kami tetap tidak membelikan pedang untuk Kai. Kalau kami belikan, kata Gen, “Perang Saudara Jepang akan terjadi di Nerima” hahaha

Setelah dari Takeda Jinja, kami memasuki mobil untuk pergi ke tujuan berikutnya, yang katanya Gen untuk menyenangkan mama (setelah menyenangkan Riku, giliran mamanya). Yeay!

Berfoto di depan patung Takeda Shingen yang terdapat di alun-alun kota, sebelah stasiun, bukan di Jinja

Berlanjut~~~

22-12-2011

23 Des

Bingung mau tulis judul apa, jadi tulis tanggal saja. Kok bingung sih? Kan sudah jelas-jelas tanggal itu adalah Hari Ibu?

Well, aku penganut Mothers Day di bulan Mei, seperti orang Jepang dan orang-orang lain di Amerika, Inggris, merayakan mothers day. Yaitu minggu ke dua bulan Mei. Padahal sih menurutku, kalau mau merayakan Mothers Day mending merayakan pada saat ibu kita ultah saja sudah cukup. Lagipula kebiasaan manusia, heboh di hari H nya, sesudah itu dilupakan begitu saja. Mending seperti aku yang selalu ingat ibu karena jauh di mata :(. Tanggal 22 Desember menurutku lebih baik dinyatakan sebagai Hari Perempuan Indonesia, selaras dengan sejarahnya Kongres Perempuan Indonesia I (Yogyakarta 22-25 Des 1928). Dan Ibu adalah Perempuan, bukan?

Tanggal 22 Desember itu adalah hari selesainya TK Kai untuk tahun ini. Biasanya aku menitipkan dia di TK (perpanjangan) setiap hari Kamis dan Jumat, tapi tanggal 22 itu tidak ada perpanjangan kelas. Dia hanya 1 jam saja berada di TK nya untuk upacara, dan sesudah itu pulang.  Karena Gen tidak bisa ambil libur lagi, jadi aku putuskan untuk membawa Kai ke kampus. Aku sudah minta ijin pada mahasiswaku, dan memang hari kamis itu juga merupakan kuliah terakhir di tahun 2011 sebelum masuk libur musim dingin (sampai tgl 9 Januari). Selain itu aku tidak perlu banyak menerangkan karena memang programnya menerjemahkan sebuah bacaan.

Jadi aku jemput Kai di TK, pulang ke rumah dan mengganti baju seragamnya. Dia langsung menyiapkan 4 buah buku Ultraman dan Rangernya dan memasukkan ke dalam ranselnya. Aku tawarkan membawa pensil warna dan kertas, dia tidak mau. Tadinya aku juga sempat berpikir  membawa komputer untuk memutarkan DVD film + headset, tapi karena kelihatannya dia begitu bersemangat dengan bukunya, aku membatalkan membawa laptop. Cukup berat soalnya.

Dia memaksa memanggul ranselnya sendiri, padahal aku tahu itu berat. Tapi mumpung dia semangat deh. Aku sendiri bawa barang seminim mungkin, supaya jika harus membawa ransel Kai pun aku masih bisa berlenggang :D.  Kami naik kereta lokal, memang lebih makan waktu tapi bisa duduk dan sedikit orang. Begitu sampai stasiun Takadanobaba, kami mau naik bus, tapi Kai mengeluh lapar. Memang waktu makan siang sih. Tapi kalau mampir makan dulu pasti terlambat, jadi aku memenuhi permintaan dia untuk membeli “Happy Set” nya Mac D. Yang mengharukan waktu dia pesan bagian dia, dia langsung bilang, “Mama, untuk Riku yang ini….” Dia ingat kakaknya…. Lalu aku katakan, “Ya nanti ya, sesudah mama selesai mengajar, sebelum pulang kita beli buat Riku”.

Nah, waktu mau naik bus ke kampus itu yang aku kaget! Loh kok begitu banyak orang yang antri? Kebanyakan bukan mahasiswa lagi. Kakek nenek! Memang bus ini bus umum, bukan bus kampus. Dan aku juga tahu bahwa ada cukup banyak lansia yang belajar lagi di universitas W, tapi yang pasti tidak sebanyak ini! Lagipula bus berdatangan terus…. heran benar deh. Tapi karena bersama Kai, aku menunggu sampai kami bisa dapat tempat duduk. Sebetulnya kalau mau jalan kaki bisa sih, sekitar 30 menit. Sampai kampus cuma 4 halte. Tapi kalau mau buru-buru lebih baik naik bus deh. Pas di halte ke 3 aku melihat sumber penuhnya bus-bus ke arah kampus ini, karena hampir semua kakek nenek, ibu-ibu itu turun di halte ke 3 itu. Dan aku melihat antrian manusia begitu panjang. Memang di situ ada semacam jinja, bernama Ana Hachimangu. Tak bisa tidak, aku langsung menanyakan pada nenek-nenek yang duduk di belakangku dan sedang antri turun bus (bayangkan turun aja antri hihihi). “Ada apa sih?”

gambar diambil wikipedia

Kata nenek itu, “Ya hari ini adalah Touji 冬至  hari permulaan winter, hari yang malamnya terpanjang selama winter. Pada hari ini orang dari seluruh Jepang datang ke jinja ini untuk berdoa” bla bla bla tidak jelas. Dan setelah pulang aku mendapat informasi seperti ini:

Orang Jepang (yang percaya) akan datang ke jinja (kuil Shinto) Ana Hachimangu 穴八幡宮 untuk mendapatkan “jimat” Ichiyouraifuku 一陽来復 yang berarti : Setelah musim dingin akan datang musim semi, berarti tahun yang baru akan datang. Segala kesusahan akan berhenti dan akan datang keberuntungan. Jadi kebanyakan yang datang ke sini ingin berdoa supaya bisa untung dalam perdagangan. Mereka akan membeli jimat yang akan dipasang di rumahnya di tempat yang tinggi. Jimatnya sendiri berupa kertas yang bertuliskan kanji Ichiyouraifuku itu. 

Ana Hachimangu ini memang terletak dekat universitas Waseda, merupakan jinja sejak tahun 1062 tapi waktu pemboman AS tahun 1945, jinja ini terbakar. Tahun 1989 dibangun kembali sehingga menjadi seperti sekarang. Dan yang menyenangkan waktu membaca bahwa jinja ini bertetangga dengan kuil Buddha dan gereja kristen … tentu saja dengan harmonis.

Aku dan Kai turun di halte terakhir dan sempat berfoto di depan salah satu gedung bersejarah universitas W, kami lalu pergi ke kelas tempatku mengajar di lantai 7. Tapi sebelumnya aku mampir ke WC wanita yang ada di lantai 8 (lucu deh gedung ini, wc wanita di lantai genap dan wc pria di lantai ganjil) . Masih ada waktu 10 menit sebelum kuliah dimulai, jadi Kai makan burgernya, sambil bermain. Sepuluh menit berlalu, Kai memegang janjinya untuk tidak ramai-ramai, apalagi mengeluarkan suara keras (anak ini suaranya kencang banget sejak lahir! padahal prematur loh). Jadi kuliah bisa dimulai dong waktu jam menunjukkan pukul 1:00 siang.

Baru berlalu  5 menit, tiba-tiba Kai berbisik … “Mama… unchi…. (p*p*p) ”
Waduuuh…. payah deh. Aku tahu anak ini memang tidak pernah bisa tahan. Di mana saja bisa p*p*p tidak seperti kakaknya yang harus di rumah.
Gaman dekiru? (Bisa tahan)”
Dekinai (Tidak bisa)” sambil berbisik memelas….. ingin ketawa juga tapi sebel juga. Karena berarti aku harus ke lantai 8 atau 6 untuk membantu dia p*p*p kan…. Jadilah aku memberikan tugas mencari arti beberapa kata di kamus kepada mahasiswa-mahasiswa sambil aku menemani Kai.

Setelah kembali ke kelas,  satu setengah jam berlalu dengan lancar, tanpa gangguan dari Kai. Dia benar-benar bermain sendiri di bawah tempat dudukku, di atas karpet, jadi tidak terlihat oleh mahasiswa. Aku merasa Kai hebat bisa diam terus, meskipun aku perlu konsentrasi dua kali lipat selama memberikan kuliah. Ada satu kejadian lucu, yaitu waktu aku memberikan contoh, sambil menuliskan A B C D E di white board. Kai melihat huruf itu dan bernyanyi lagu ABC hahahaha. Semua mahasiswa tertawa, dan aku cepat-cepat menyuruh dia diam 😀 ssstttt.

Setelah kuliah selesai, tentu saja kami mampir Mac D dulu untuk membeli bagian Riku sesuai permintaan Kai. Dan waktu kami sampai di rumah sekitar pukul 4:30, pas Riku juga pulang. Jadi kami bertemu di depan pintu lift, dan….. Kai lari ke Riku dan memeluknya. Ahhhh meskipun mereka selalu berkelahi ternyata mereka juga saling merindukan. Aku terharu melihat mereka……

Seorang mahasiswaku bertanya pada Kai:
“Kai tahu mama itu guru?”
“Tahu… Imeruda Sensei!” 😀

 

Nobu-kun

15 Okt

Kali ini trip ke Sendai memang begitu tergesa-gesa. Lebih dari 6 bulan berselang (Trip to Sendai) waktu kami pertama kali bermobil mengunjungi  kota tempat adiknya Gen bermukim yang terletak di  Jepang Utara. Sampai saat keberangkatan, banyak masalah yang timbul. Masalah mobil yang jendelanya tidak bisa menutup, karena rotornya rusak. Kemudian hari Olahraganya Riku yang ditunda menjadi hari Minggu, menyebabkan kita baru bisa berangkat jam 2 siang…paling cepat. Tapi masalah yang terpenting adalah penginapan. Karena tanggal 13 (Senin) merupakan hari libur dan hari TAIAN (Hari baik menurut kalender Jepang, sehingga banyak diadakan upacara-upacara pernikahan, 3-5-7 dll)Jadi semua hotel penuh. Lagipula kita tidak bisa memperkirakan kita akan sampai di sana jam berapa. Mau menginap di rumah adik ipar juga akan mengganggu ritme sang bayi yang menjadi primadona kali ini. Jadi kami putuskan untuk pergi hari Senin dini hari pukul 4 pagi, sehingga bisa sampai pada waktunya yaitu jam 11 siang di Kuil Shinto, Tsutsujigaoka Tenmanggu.

Tanggal 13 Oktober bukanlah hari sial untuk orang Jepang (kalau dilihat dari angka), yang penting adalah hari TAIAN dilihat dari nama kalender, seperti kalender jawa yang  5 hari itu. Hari itu, pertama kalinya keponakan saya, sepupu Riku dan Kai, akan “berkunjung” ke Kuil Shinto. Sebuah upacara yang dinamakan Omiyamairi お宮参り. Biasanya bayi berkunjung ke Kuil ini pada waktu berumur 100 hari, tapi Nobu-kun ini sudah berusia 4 bulan. Tidak apalah daripada tidak sama sekali. Untuk saya ini merupakan pertama kalinya  mengikuti upacara Omiyamairi yang “asli”, karena Riku pergi ke Kuil hanya lewat depannya saja, demikian juga dengan Kai. Tapi karena altar Kuil Shinto itu suci, kami tidak bisa membuat foto. Dan sebetulnya tidak ada yang “penting” untuk difoto. Pendeta Shinto hanya berdoa dengan memakai semacam tongkat berumbai kertas putih, dan memberikan berkatnya ke Bayi yang digendong oleh ibu dari keluarga Miyashita (ibu mertua saya). Nothing to do…hanya mendengar saja.

Karena ini merupakan kesempatan langka juga bagi keluarga Miyashita untuk berkumpul dengan lengkap dan berkimono (saya tidak loh…hanya pakai kebaya yang paliiiiing sederhana warnanya karena jika tidak saya jadi menonjol sendiri kan? sedangkan yang punya hajat adalah adiknya Gen), kami berfoto bersama di photo studio yang terletak di dekat Kuil itu. Aduuuuuh sulitnya mengatur 3 anak yang keras kepala. Si Bayi , Nobu, tidur…. Si Riku tidak mau diatur (keras kepala) jadi pasang wajah angker terus… sedangkan Kai awalnya senyum-senyum terus, tapi karena diulang-ulang terus, menjadi capek, tidak mau menghadap ke kamera….. huhuhuhuhu… mau nangis tuh si kameramannya. Yah mudah-mudahan nanti hasilnya bagus.

Setelah photo session selesai, kita janjian bertemu di sebuah restoran yang terletak di depan Stasiun Sendai, bernama HANA. Di sini ada lagi satu upacara untuk bayi, yaitu Okuizome (makan pertama sebagai manusia) . Kalau Kai dulu dibuat di rumah, tapi untuk praktisnya maka acara untuk Nobu diadakan di Restoran ini. Dan kali ini mengikuti aturan yang sesungguhnya yaitu dimulai dengan urutan Ikan Thai, nasi, sup, lauk, nasi, sup, lauk, dst dst… semuanya ada artinya (Kalau saya mah semua sama aja jadi ngga pake aturan deh hihihi). Restoran Hana ini cukup bagus suasananya, sayang tidak ada di dekat rumah saya di Tokyo. Sesudah itu kita bersama-sama pulang ke rumah adik ipar yang baru mereka tempati selama 1 bulan. Waaah apartemen baru, masih kinclong dan Barrier Free (bebas rintangan bagi manula). Pemandangan malam indah karena bisa melihat shinkasen yang sedang lewat.

Sekitar jam 9 malam baru kita pergi ke hotel yang saya pesan lewat internet dengan harga muraaaaaah banget. Cocok loh untuk backpacker padahal waktu saya masuk ke hotel itu lumayan bersih dan luas. seperti apartemen dengan 3 kamar (2 kamar masing-masing 2 bed, dan 1 kamar dengan 2 futon) hmmm cocok untuk gashuku juga nih. Cuman memang semua hotel di Jepang pembayarannya berdasarkan jumlah kepala, bukan satu kamar sekian. Jika anggota keluarga banyak maka akan menjadi mahal. Kecuali hotel chain internasional, hampir tidak ada hotel yang hanya menyediakan satu kamar satu malam seharga sekian yen.