Bandung Coret

13 Sep

Masih…masih banyak yang mau aku ceritakan dari perjalanan mudikku kemarin, yang belum tuntas. Jadi harap bersabar mengikuti ya. Tulisan ini dipending beberapa hari karena aku ada kerjaan terjemahan mendadak, sehingga baru bisa sekarang menuliskannya. Tapi tak apa lah soalnya primadona yang tampil dalam tulisan ini juga sedang  hiatus sepertinya. Entah terlalu sibuk di dunia nyata, atau belum bisa keluar dari kubangan drama-drama Koreanya 😀

Setelah dari rumah marmut, keesokan harinya tgl 3 Agustus 2011 aku langsung cabut ke Bandung. Sebetulnya sebelumnya aku sudah tanya ke empunya rumah: Seandainya aku ke Bandung, lebih baik Rabu atau Kamis? Dan dijawab Rabu! Soalnya sekolah si sulung belum mulai. Yes! Harus diusahakan hari Rabu, apalagi dia berbisik bahwa dia sedang tidak puasa. Great.

Jadi deh sekitar jam 10:30 an aku berangkat dari Kebayoran menuju Bandung bersama Kai saja. Riku? Dia tidak mau ikut mamanya, dan merestui adiknya kencan sama mamanya. Nah, yang jadi masalah itu, aku tidak tahu jalan di Bandung, dan meskipun supirku “mengaku” pernah ke Bandung, rasa-rasanya aku tidak percaya padanya. hehehe. Benar saja ternyata dia turun tol terlalu cepat, sehingga harus melewati daerah KOPO yang muacceeet… Padahal perut sudah lapar. Kalau perhitungan pak supir 2 jam naik tol, 30 menit cari rumah, jadi mestinya sekitar jam makan siang aku bisa sampai ke rumah si primadona. But, kenyataannya jam 2 kami masih ngubek-ngubek daerah Bandung Selatan. Sambil sms an dengan si primadona, akhirnya aku mampir beli makanan dulu di sebuah mall? carrefour?? udah lupa deh. (Katanya sih itu tempat dia ketemuan dengan mas NH seminggu sebelumnya)

Kupikir dari situ rumahnya sudah dekat, ternyata aduuuuuh masih jauh! Jalannya juga jelek, membuatku berpikir, untung aku tidak sedang hamil. Bisa brojol tuh hihihi. Dan akhirnya jam 2 kami sampai!  Ngobrol dengan santai karena si Fathir sedang tidur. Kucari-cari video drama koreanya tidak ada tuh. Yang ada satu rak buku penuh dengan novelnya Nora Robert 😀 …hmmm tau deh seleranya, mirip sedikit dengan diriku 😀 Dan meskipun dia selalu berkata rumahnya berantakan, pada kenyataannya tidak kok 😉

 

Tak lama Fathir bangun sehingga kami bisa berfoto bersama! Tentu saja di dinding studio yang pernah dia tulis di sini.
Jam 3:20 tepatnya, aku pamit karena mengejar bapak-bapak dosen ITB yang katanya akan pulang sekitar pukul 4 karena bulan puasa…tentu saja dengan perkiraan 30 menit sampai (dan kenyataannya? duuuh next story deh :D)

I couldn't resist the temptation to put this pictures! They are cute, aren't they?

Well, Bandung Coret memang jauh (tidak sejauh Tokyo Jakarta sih), tapi aku senang sekali bisa bertemu Erry, si ganteng Fathir dan si cantik Kayla. Kalian bertiga itu nggemesin banget! Apalagi sebelum naik mobil, aku sempat berfoto dengan si Skupi PINK yang biasa dipake Erry untuk ngojeg 😀

Hebat ah ibu ini bisa ngojeg sejauh itu dengan si Pink 😀

Entah kapan kita bisa bertemu lagi Erry, tapi terima kasih untuk oleh-oleh kuenya, juga kesediaan dikunjungi rumahnya (Di Jepang memang jarang orang mau dikunjungi rumahnya). Jangan terlalu larut dengan drama korea, sampai rumah “maya” kamu bulukan ya hihihi

Satu-satunya foto berdua yang bisa diambil tanpa gangguan 😀 Dasar Emak-emak narsis!

 

Rumah Kelinci vs Rumah Marmut

9 Sep

Sudah tahu kan bahwa rumahku (tepatnya apartemen) di Jepang itu keciiiil sekali. Sampai papaku mengatakan rumahku adalah rumah kelinci!  Kami berempat sekeluarga saja rasanya sudah sempiiit sekali. Untung cuma 4 orang, gimana kalau tambah lagi. No way!

Nah, tanggal 2 Agustus setelah capek bermain di Kidzania (tgl 1 Agustus 2011), aku ingin menemui Mamanya Little O atau Bundosar a.k.a Iyha. Tadinya mau berkunjung pagi-pagi, tapi tiba-tiba papa mama minta diantar ke Lebak Bulus. Jadi aku antar papa dan mama dulu menyelesaikan urusannya. Senang juga bisa melakukan sesuatu untuk kedua orang tuaku itu. Dan waktu pulang lewat jalan arteri Pondok Indah, papa langsung bilang, “Kamu kan udah lama tidak makan di Jun Njan mel… kita mampir situ yuuk” hehehe padahal papa aja tuh yang mau mampir.

Jadi mampir deh di situ dan seperti biasa kami cuma memesan udang rebus, kepiting saus padang dan roti mantau, tanpa makan nasi. Kami memang jarang makan nasi sih. Rasa masakan Jun Njan (pusat di Batu Ceper) nya masih enak seperti dulu, dan udang rebus itu membangkitkan kenangan jaman baheula. Ya dulu yang paling cepat mengupas udang rebus itu aku, jadi biasanya di piring aku dan papa yang paling banyak kulit udangnya. Tidak semuanya aku makan, karena aku cepat menguliti jadi aku menguliti untuk anggota keluarga yang lain. Mereka tinggal cocol ke sambel dan makan. Enak kan tinggal makan hehehe. Aku bisa masuk MURI untuk menguliti udang rebus deh sepertinya hahaha.

Atas kiri udang rebus sebelum dikupas, atas kanan kulit udang rebus di piringku 😀

Nah setelah makan siang yang sudah laat itulah (sekitar jam 3), aku mengantar papa dan mama pulang, baru pergi ke rumahnya Iyha. Dan di sini aku benar-benar diuji kesabarannya oleh supirku hehehe. Memang sih dia belum tahu bahwa ada jalan memotong dari belakang rumahku untuk keluar ke arteri Pondok Indah. Kupikir dia tahu, jadi aku cuma kasih petunjuk ke arah kebayoran lama! RS Medika. Jadi deh aku dibawa muter-muter ke gandaria dulu, lalu masuk ke jalanan yang tadi kami lewati 😀 Mana macet lagi doooh. Seperti mau ke Singapore tapi lewat surabaya dulu 😀 Jadi yang mustinya  20 menit, butuh 1 jam deh.

Well, yang penting akhirnya aku sampai di kantornya Iyha. Begitu turun, tanya tanya, dan diberitahu bahwa Non Triana sudah pulang ke rumah. Tapi rumahnya deket kok. persis di gang sebelahan kantor itu. Ya sudah aku jalan ke situ. Kai tertidur di mobil, jadi aku biarkan dia tidur di mobil saja. Gebleknya aku tidak tanya rumahnya Mbak Triana ini nomor berapa. Jadi deh aku menyusuri jalan itu, sambil melongok-longok, kira-kira yang mana ya rumahnya. Oh ya pas jalan begitu juga ada yang lucu! Ada orang naik kuda datang ke arahku ….waaaah sayang Riku dan Kai tidak ada bersamaku. Kalau ada pasti heboh deh 😀

Nah pas aku bengong begitu si Mbak Triananya datang menggendong Osar. Langsunglah aku tahu bahwa itu si Iyha. Dan kami masuk rumahnya, yang disebut oleh mbak Triana sebagai rumah marmut. Dan aku bisa bermain dengan marmut baby Little O yang cute sekali. Untung sekali baby O tidak rewel padahal dia baru pulang dari “penitipan”. Langsung foto-foto dan tak lama aku pun pamit. Soalnya aku meninggalkan Kai di mobil, dan tahu juga bahwa Iyha kan harus menyiapkan buka untuk suaminya yang pulang jam 5. Ya tak lama setelah suaminya pulang, aku mohon diri.

Kelinci, Marmut dan bayi marmut 😀

Tak kusangka rumah Iyha sedekat itu. Kalau tau dari dulu kan bisa sering-sering ajak Little O bermain ke rumahku. Jadi begitulah, tanggal 2 Agustus pun aku bisa mengadakan kopdar dengan seorang blogger (Iyha) dan calon blogger (Little O).

Rumah itu hanyalah benda mati, dia bisa hangat jika penghuninya juga hangat hatinya. Dan aku senang bisa bertemu langsung dengan Ihya, si penghuni rumah yang hangat itu.
Terima kasih untuk pelukanmu Iyha, really appreciate your hug!

Tulisan kunjunganku kopdar dengan Iyha juga bisa dibaca di

 

Seleb nyasar ke rumah marmut

 

Ihya dan Osar

Dari Mata Turun ke….

4 Sep

Dompet! hahaha. Ya lazimnya sih turun ke hati. Melihat sesuatu lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kadang aku berpikir, sebetulnya stop saja sampai di situ. Karena tidak bisa dipastikan pandangan kedua, akan sebagus pandangan pertama. Chancenya fifty-fifty, bisa jadi pandangan kedua akan membuatmu benci pada sesuatu itu 😀 Tapi memang betul juga bahwa kita harus berani mengambil kesempatan ke dua itu, supaya yakin seyakin-yakinnya apakah memang tepat pilihan kita itu.

Sebelum aku mengadakan kopdar Jumat (29 Juli) dan Sabtu (30 Juli), hari Kamis 28 Juli aku sempat bertemu dengan 2 orang temanku. Satu teman SMA, Wida di food court PIM. Sambil makan sate padang untuk lunch (menu utama selama mudik nih), kami bercerita ngalor ngidul. Tentang teman-teman, anak-anak yang sudah semakin besar dan kesehatan mereka, kemacetan jakarta, juga tentang “mengalah tidak bekerja demi anak-anak”. Yah, biasalah pembicaraan emak-emak.

Sesudah dari PIM, aku mampir ke rumah sepupuku yang baru melahirkan, juga di Pondok Indah. Tadinya sempat menelepon bu Enny, tapi jadwalnya kurang bagus. Jadi sesudah dari daerah Pondok Indah, di perjalanan pulang, kebetulan saja aku membaca message di  Inbox FB dari Elizabeth Novianti, seorang pembaca setia Twilight Express yang minta no HP dan pin BB. Dari message itu kemudian berkembang menjadi pertemuan hari itu juga. Langsung pak supir kuminta ke daerah Blok M untuk menjemput Novi (namanya persis nama adikku hihihi) di kantornya. Aku memang sering impulsif sih, menuruti kata hati saat itu. 😀

Nah, kebetulan aku ingin mencoba restoran Meradelima, yang pernah kudengar namanya. Letaknya persis diagonal dengan kantor Novi, dan menurut Novi memang enak. OK jadilah aku mengajak Novi ke sana untuk menemaniku.

Karena waktu kunjungan yang aneh, jam 5 sore, tentu restoran itu masih kosong. Kami menjadi tamu pertama di situ, dan kami diantar ke salah satu meja di lantai satu. Well, aku langsung tertarik dengan tata ruang dan interior  restoran ini yang bagus, dan cozy. Memang bangunannya sendiri seperti bangunan rumah biasa, jaman kolonial yang dimanfaatkan menjadi restoran. Ada beberapa “kamar private” untuk 6 – 12 orang yang apik.

Pintu masuk dan lantai 1 Resto Meradelima, Adityawarman 47, Kebayoran Baru Jakarta Selatan

 

Tentu saja aku ingin memotret banyak. Karenanya aku tanya pada pak iforgethisname, apakah boleh memotret. Bukan saja boleh, malah bapak itu mengantar kami tour de restaurant, dari lantai 1 sampai lantai 2, dan menawarkan untuk memotret kami! Wah…senangnya. Itulah keuntungan menjadi tamu pertama 😀

Seluruh interior memang mengambil interior Cina yang dipadukan dengan bangunan kolonial. Ada satu teras di atas yang ditutup dengan kaca, sehingga kita bisa makan sambil melihat pemandangan jalanan di luar, tapi tidak usah takut kepanasan. “Ini pasti panas kalau siang ya pak? Kan ada efek rumah kacanya”. Menurut dia sih tidak panas, karena teras  yang untuk 6 orang itu dipasang AC khusus.

Meja-meja di lantai 2. Teras berkacanya amat menggoda hatiku. Kalau malam romantis tuh (mestinya)

Selesai berfoto di atas, kami turun ke lantai 1 lagi, dan keluar pintu untuk berfoto di pintu masuknya. Ada satu hal yang aku perhatikan, mereka tidak mempunyai papan nama yang cukup besar/terbaca di pintu masuk. Jadi meskipun kami berfoto di depan pintu masuk, orang-orang tidak langsung tahu kami berada di mana. Sedangkan di Jepang, hampir semua toko mempunyai papan nama di pintu masuk. Ini pun bagian dari promosi kan?

Akhirnya kami masuk kembali dan duduk di tempat kami dan menunggu pesanan kami datang. Sambil bercakap-cakap, aku mengatakan pada Novi bahwa tempat ini cocoknya untuk pacaran 😀 dengan suasana mewah tapi santai  (dan disetujui Novi hihihi) .

Pesanan kami: cakwe isi, bakmi siram, sate sapi manis, dan es campur

Karena aku masih kenyang, kami berdua memesan appetizer cakwe isi, Bakmi siram (seperti Ifumi) dan sate daging manis. Pesanan kami ini enak, dan ditambah semacam es teler semuanya sekitar  220 ribuan. Kupikir lumayan karena biasanya budget makan di luar perorang sekitar 100 ribu rupiah.

Jadi, aku ingin sekali mengajak papa dan mama datang kembali ke sini. Nah, di sini aku melakukan kesalahan. Papa waktu kuajak memang sedang flu, dan mau makan sesuatu yang panas-panas. Tadinya dia mengajak makan soto kudus, tapi karena kita cuma bertiga, tanpa anak-anak, maka kuajak ke restoran Meradelima ini. Restoran ini memang TIDAK COCOK untuk keluarga dengan anak kecil apalagi balita yang bisa berlarian di salam….duh mengerikan membayangkan anak-anak itu meraba-raba koleksinya antiknya 😀 Memang tepat kategorinya : Fine Dining.

Jadi waktu aku datang bertiga dengan papa dan mama, aku memesan Sup Buntut, ayam kodok, wedang jahe dan jus sirsak. Sup buntutnya disajikan dalam wajan berapi yang tahan lama sehingga tetap panas, sampai titik sup terakhir. Salut deh. Ayam kodok yang menjadi favorit disajikan dengan “kepala ayam” sebagai penghias. Aku ingat dulu memang mama sering membuat ayam kodok. Rasanya seperti rolade ayam, daging ayam dihaluskan menjadi seperti steak ayam dengan saus tomat dan sayuran. Memang membangkitkan kenangan lama, tapi entah aku yang tidak lapar, rasanya kok kurang maknyus. Akibatnya kami menghabiskan sup buntut saja  dan membawa pulang ayam kodok yang masih banyak sisanya. Dan… aku kaget waktu harus membayar karena untuk bertiga saja (dan pesanan yang begitu) aku harus membayar 700 ribu lebih. Hmmm overprice (istilahnya adikku)? Mungkin tidak juga, tapi cukup membuatku tertegun. (7000 yen di Jepang bertiga sudah bisa makan siang, french cuisine yang enak lengkap dengan dessert dan coffee)

papa,mama, sup buntut dan ayam kodok

Waktu makan bersama papa dan mama, memang tamu yang di sana adalah orang asing semua menempati 3 meja. Konon restoran ini terkenal di kalangan expat dan tamu asing. Memang suasananya enak, nyaman. Interior yang mewah, bersih sampai ke WC nya bagus. Pelayanannya bagus, dengan pelayan yang berseragam merah hitam.  Jika punya tamu orang asing, ingin menjamu dengan maksimum memang inilah tempatnya. Atau mau membeli suasana.  Tapi kalau mencari sup buntut enak atau soto-sotoan yang enak, bukan di sini tempatnya. Inilah yang kumaksud dengan dari mata turun ke dompet hehehe.

 

Tampak luar waktu kami pulang sekitar pukul setengah tujuh malam. Romantis ya

Duniaku di Rumah, atau di Rumah Dunia

11 Agu

Bagi seorang bayi dan balita, dunianya pasti hanya ada di rumah. Penitipan atau playgroup hanyalah tambahan. Memasuki usia SD dunia anak-anak ini bertambah menjadi rumah dan sekolah. Tapi untuk anak jalanan yang tidak bersekolah? Haruskah dunianya jalanan saja?

lihat senyum mereka, anak-anak bermain pada peringatan Hari Anak di Rumah Dunia

Waktu aku berkunjung ke Rumah Dunia tanggal 25 Juli lalu, aku sempat bertemu dengan seorang ibu berjilbab, yang kemudian disapa oleh Mas Gong,
“Cari siapa bu?”
“Anak saya pak….. Dia katanya ikut lomba”
“Ohhh ya di sana”

Mungkin ibu ini adalah satu dari sekian banyak ibu yang mencari dan menemukan anaknya di Rumah Dunia, bermain, bersendagurau dengan teman-temannya, membaca buku dan belajar menulis. Sebagai seorang ibu, aku juga akan lebih suka jika anak-anakku bermain di sini, di Rumah Dunia, daripada di warnet atau di jalanan.

Bersama Mbak Tias, Mas Gong dan Uda Vizon.... orang-orang yang aku kagumi

Rumah Dunia sudah berusia 10 tahun, dan aku mengenalnya baru 2 tahun. Jika Anda tahu Roy (tokoh dalam “Balada si Roy”), Anda tahu pengarangnya Gola Gong, semestinya juga tahu sepak terjangnya mendirikan Rumah Dunia ini. Masalahnya aku tidak kenal siapa itu Gola Gong. Pas “Balada si Roy” tenar di Jakarta, aku sudah tinggal di Jepang. Apalagi waktu itu adalah awal-awal aku tinggal di Jepang untuk belajar, sehingga aku menutup semua info tentang Jakarta…dan saat itu belum ada internet. Sampai sekitar awal 2009 dari percakapan dengan Daniel Mahendra tentang persahabatannya dengan Mas Gong yang begitu dibanggakannya. Dan aku resmi menjadi teman mas Gong September 2009. Aku kemudian memantau kegiatan Mas Gong dan istrinya Tias Tatanka lewat FB, dan media internet lainnya.

Membahasa, mengapa di Indonesia tidak ada karakter yang begitu berpengaruh seperti ultraman. Di depan bangunan awal mula mengumpulkan anak-anak mengenal buku, membaca dan berekspresi.

Dari situlah aku mulai mengenal keberadaan Rumah Dunia, yang ternyata sudah 10 tahun berdiri. Berawal dari buku-buku yang dibiarkan untuk dipinjam anak-anak sekitar, yang waktu itu sama sekali tidak mempunyai minat membaca. Kalau membaca curhat mbak Tias, bagaimana anak-anak itu datang hanya “berantakin” atau kadang menyobek buku-buku, tanpa ada niat membaca, ikut merasakan sedih dan gemes. Tapi berkat kesabaran mbak Tias dan Mas Gong, anak-anak itu kemudian dapat menghargai buku. Awalnya sering disogok dengan pisang goreng, atau didongengi, atau bermain bersama. Lama kelamaan mereka datang sendiri untuk membaca sendiri. Sebuah perjuangan yang tak kenal lelah… dan untuk siapa? Untuk anak-anak calon penerus bangsa. Usaha literasi lokal berawal dari Komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, Banten.

RUMAH DUNIA
Pustaka, Jurnalistik, Sastra, Rupa, Teater, TV
Mencedaskan dan Membentuk Generasi Baru
Berwawasan luas, bermula dari yang Kecil, dan terus berkarya

Terus terang aku kagum pada pasangan suami istri bersahaja ini. Yang mencurahkan perhatian dan kegiatan mereka bagi masyarakat sekitar. Mungkin sudah banyak taman baca yang sudah didirikan di Indonesia, tapi kurasa baru sedikit taman baca yang bisa langgeng terus berdiri sampai saat ini, dan menghasilkan alumni, pihak-pihak yang saling membantu menjaga dan memajukan sebuah mimpi bersama. Lihat saja mereka terus memperluas lahan Rumah Dunia demi menyediakan tempat bermain bagi anak-anak. Ada tanah seluas 1873 m2 yang sedang dibeli Rumah Dunia untuk dijadikan Rumah Budaya termasuk mendirikan WC. Aku ikut berdebar-debar setiap menjelang jatuh tempo pembayaran cicilan tanah itu, sambil berdoa agar lebih banyak lagi orang menyumbang pembelian tanah tersebut. Masih ada tahap ketiga sebesar 150 juta yang jatuh tempo tanggal 1 januari 2012. Andai aku konglomerat…. ah….

Ketika aku bertandang ke Rumah Dunia untuk kedua kalinya tanggal 25 Juli lalu, aku sempat diwawancarai seorang gadis manis. Dia bertanya, “Mengapa mbak Imelda mau ke Rumah Dunia yang begitu jauh ini? Apa yang menyebabkan mbak memilih Rumah Dunia?”

Diwawancarai Hana, dari Rumah Dunia sampai jurnalistik

Memang aku merasa, aku sedang mencari sebuah tempat yang bisa menjadi tempat yang disana aku merasa memiliki. Jakarta adalah rumahku sebelum aku pindah ke Jepang, tapi Jakarta tidak mempunyai daya tarik lagi untuk dimiliki. Kita akan merasa memiliki sesuatu jika di dalamnya kita mempunyai andil untuk membesarkannya. Dan aku bertemu Rumah Dunia, dan aku merasa cocok dengan pemikiran Mas Gong dan Mbak Tias. Aku yakin tanpa mas Gong dan mbak Tias, aku tidak akan sampai ke Rumah Dunia.

“Tapi mbak, RD ini kan jauh dari Jakarta. Kok mbak mau sih jauh-jauh datang?”. Laaah kan ada mobil? Kan ada waktu? Serang itu tetangganya Jakarta loh. Apa salahnya kita mengunjungi tetangga? Dan di mobil dalam perjalanan pulang aku sempat berpikir, seandainya aku tinggal di Jakarta, bukan di Jepang yang datang untuk mudik saja, apakah aku masih mau meluangkan waktu datang jauh-jauh dalam macet ke Rumah Dunia? hmmmm. Mungkin tidak juga.

Semakin kujawab pertanyaan yang diajukan, dan sambil menuliskan posting ini (yang amat memakan waktu…karena aku sambil berpikir…”WHY”) aku tahu bahwa aku menemukan sosok “Terakoya” di sini. Terakoya adalah suatu wadah pendidikan jaman Tokugawa yang bersifat sukarela. Terakoya meskipun mengandung kata “tera” atau kuil, sudah tidak membawa unsur agama di dalamnya. Tanpa ruang kelas yang formal, seorang guru terakoya menerima kedatangan para murid di rumah. Mengajarkan murid-murid yang berasal dari masyarakat biasa itu membaca, menulis dan berhitung, 3 dasar pendidikan. Murid- murid itu tidak membayar dengan uang, tetapi dengan barang atau jasa yang mereka punyai. Petani akan memberikan hasil panennya, atau hanya sekedar menyapu rumah sang guru. Dan keberadaan Terakoya pada jaman itu berhasil “memelekkan” masyarakat Jepang sehingga siap untuk menyerap ilmu dari luar pada saat restorasi Meiji (1868). Terakoya adalah bidang penelitianku untuk lulus dari Sastra Jepang UI tahun 1991. Dan ….aku bertemu kembali dengan model mirip terakoya ini di Rumah Dunia.

terakoya, sekolah informal jama Edo, Tokugawa 浮世绘 加贺藩仪式风俗图绘「寺子屋」

 

Ada banyak alasan bagiku untuk terus kembali ke Rumah Dunia, kecintaan pada buku, keinginan memajukan pendidikan, keinginan untuk memberikan anak-anak tempat bermain dan membaca, kecemburuan pada Mas Gong dan Mbak Tias dalam mewujudkan cita-cita bersama, keprihatinan pada perkembangan anak-anak Indonesia jasmani dan rohaninya…. banyak alasan lain. Dan semuanya ingin kucari dalam binar mata dan senyum tulus anak-anak Indonesia.
Aku akan datang lagi.
Ke sini.
Ke Rumah Dunia.

 

 

 

Silakan baca tulisan Uda Vizon tentang kunjungan kami ke Rumah Dunia, tanggal 25 Juli yang lalu di sini.

http://hardivizon.com/2011/07/31/bermain-di-rumah-dunia/

Mas Gong, Kai dan gaya Ultraman

Rasa itu tetap sama -2-

3 Agu

 

Sudah baca part 1 nya? Seharusnya kalau dilihat dari urutan waktu, part 2 menempati nomor 1 tapi waktu menulis prolog tulisan, terpaksa aku rubah urutannya. Laporan mudik tahun 2011 ini memang benar-benar lelet, terlambat. Ternyata aku tidak semulus selancar dulu untuk menulis. Selain padatnya kegiatan jalan-jalan (ngga mau rugi) koneksi internet di akhir bulan kembang-kempis. Ntah apakah karena mau menyambut bulan puasa, sehingga internetnya ikut puasa tanpa buka-buka. Untunglah pas hari ini, pas aku lebih santai karena belum ada jadwal keluar, pas internetnya juga asoy lancar aman jaya.

Kalau aku menjelaskan kata “rasa” kepada orang Jepang, aku menerjemahkannya dengan aji 味 = taste, kanjiru 感じる feel, sense dan omou 思う =think, believe. Kalau di part 1 lebih ke rasa – taste, maka kali ini aku ingin menuliskan tentang feel atau sensenya deh.

Reuni yang diadakan hari Minggu itu selesai pukul 4 sore. Karena memang saking banyaknya pengunjung, pihak restoran Talaga Sampireun ini membagi menjadi 3 lot, dan kami dapat giliran pukul 13-16. Nah, setelah selesai biasa kan kita merasa “kurang” bicara, bersendagurau sehingga biasanya kita mencari tempat lain untuk memenuhi hasrat “kurang” tersebut. Dalam bahasa Jepang disebut hashigo (tangga).  Jadi di depan gerbang, kami masih berdiri cukup lama untuk menentukan mau hashigo ke mana. Mau ke coffee shop, eh tidak ada yang tahu persis letak coffee shop terdekat dari situ. Kebanyakan kami tidak mengenal daerah Bintaro, sedangkan Dina yang memang tinggal di Bintaro ada acara lain, sehingga tidak bisa ikut.

Sebagian besar cewe-cewe yang menyetir dan rumahnya berjauhan, ya sud akhirnya kami bubar grak di depan resto tersebut. Hmmmm jam 4:20 an masih pagi nih. Sambil keluar areal restoran, aku meminjam HP pak Narso, supirku karena aku belum mempunyai HP yang bisa dipakai (bokis banget yah :D) dan menghubungi Uda Vizon. Sebelum berangkat memang Uda sudah menghubungi aku dan memberitahukan bahwa tgl 23 Juli, Uda akan ke Jakarta. Kami berjanji bertemu tanggal 25 hari Senin, tapi… menurut Uda dia tidak ada acara pada hari Minggunya. Jadi kupikir mungkin baik juga untuk mengajak Uda makan malam bersama.

“Uda ada di mana? Aku sudah selesai acara reuninya”
“Saya sekarang di Pasaraya. Datang saya ke sini nechan, ada om NH, Necky dan lain-lain”
“Wah…. sudah lama?”
“Belum kok baru satu jam”
“OK deh aku ke sana. Tunggu ya. Kalau mau pindah tempat, aku diberitahu”

Langsung deh aku menyuruh pak Narso untuk pergi ke Blok M. Kalau dengan Uda dan om NH memang aku sudah dan cukup sering bertemu (diiih padahal sama Uda kan baru satu kali di Kweni juga…rasanya kok sudah sering ya?), tapi mas Necky. Kesempatan pikirku.

Sambil deg-degan aku menuruni tangga Pasaraya menuju food courtnya. Soalnya aku benar-benar tak tahu komposisi peserta kopdar saat itu dan berapa orang. Nomor satu yang kucari adalah WC, tentu saja sambil celigukan mencari tempat kopdar! Tapi aku salah mengambil arah kanan, dan menanyakan pada pramusaji letak WC di mana. Kemudian diberi tahu bahwa di sebelah Kentucky Fried Chicken. Jadilah aku berjalan ke arah itu. Dan ternyata sebelum aku sempat masuk WC, Uda Vizon lebih dahulu melihat kedatanganku. Jadi bersalaman dululah aku.

Menjumpai mas NH yang casual seperti biasa, lalu menyalami Uda Vizon, Putri Usagi, Prima, dan si Mandor misterius. Mas Necky waktu itu sedang pergi sholat. Nah…. aku sebagai pendatang baru selalu jaim dulu, diam dan senyam senyum saja. Melihat komposisi 5 laki-laki dengan 1 perempuan (aku jangan dihitung)…kupikir wah susah nih. Semestinya bakal kaku, BUT aku salah besar. Justru tanpa sang Putri, sepertinya kopdar Pasaraya itu akan hambar. Putri itu bagaikan vetsin deh, dengan ceritanya yang menggebu-gebu aku bisa mengerti kondisi perkeretaapian Indonesiaku deh. Dan membuatku sadar, aku ini manja…dimanjakan oleh kondisi perkeretaapian Jepang yang begitu modern, aman dan nyaman. Padahal jika kereta api diperbanyak dan ditingkatkan mutunya, pasti kemacetan yang terjadi akibat bus umum dan mobil pribadi bisa berkurang.

Selain Putri, yang juga membuatku gregetan adalah Mandor Tempe. Aku diberitahu bahwa dia tidak mau difoto. Setiap ada yang membidik kamera, dia pasti menutup wajahnya. Karena itu dia selalu menjadi kameraman, memotret kami-kami supaya wajahnya tidak terpotret. Dan hadirin yang disitu memang mengakui bahwa suliiiiiit sekali mendapat potret dirinya. Hmmm salah satu sifatku adalah PENASARAN…. masak iya sih begitu. Masak iya sih aku tidak bisa memotretnya…. So, sambil memberikan kamera DSLR ku padanya untuk memotret kami, aku mengambil kamera pocket G9 dari dalam tas.  Mungkin dia tidak sadar kemungkinan itu, jadi terambillah fotonya.

Tentu saja aku tidak akan menampilkan fotonya di sini, meskipun dia tidak memohon-mohon (atau membayar hehehe). Karena aku respect pada keputusan seseorang. Ini menyangkut privacy, sehingga jangan dilanggar. Jika seorang blogger tidak mau menampilkan wajahnya atau kisah nyatanya, ya kita harus menghormatinya. Aku tidak suka pada orang yang kepo, yang mau tahu urusan orang lain. Seperti obatarian (obasan = tante batallion = batalyon – serangan) aja 😀 So, aku juga tidak mau menjadi seperti orang kepo atau obatarian itu.

(BTW aku baru tahu kepo dari postingannya Itik kecil dan diberitahu bahwa asalnya dari bahasa Kanton – From Cantonese term 搞掂; kay poh chee/kepoh – busy body (for example “why are you so kay poh chee?”) keep. to put away or store. to retain as one’s own. Termasuk Manglish. )

Aku memang yang terakhir bergabung di situ tapi untung saja tidak merasa seperti dikucilkan, ya berkat cerita-cerita asyik yang sambung menyambung bagaikan kereta apinya Putri (ngga pakai mogok kok :D). Dan waktu kami berpisah di dalam lift lantai lima, aku merasa kehilangan, merasa kurang. Kopdar pertamaku summer 2011 terasa pendek sekali.  Jadi begitu kudengar Putri dan Prima bermaksud pergi ke Es Krim Ragusa di jl Veteran, aku ingin ikut. Padahal sebetulnya aku hitung menghitung jam berapa aku bisa pulang ke rumah, maklum rasanya baru kemarinnya mendarat kok sudah ngelayapan terus. Dan sebetulnya ada sedikit penyesalan dan pertanyaan, “Mungkin keikutsertaanku sebetulnya mengganggu kencan dua anak muda, yang pantas menjadi anakku sendiri”. Seandainya waktu itu aku mengganggu, aku minta maaf ya Putri dan Prima 🙂

Sebagai penutup aku mau menambahkan di sini bahwa rasa KOPDAR itu tetap sama dari dulu sejak mulai pertama kopdar sampai sekarang.  Yang berubah hanyalah selembar dua lembar rambut putih di kepala, sedikit keriput di ujung mata, penampilan fisik dan usia. Tapi esensinya tidak berubah. Yaitu wadah bersilaturahmi dari dunia maya ke dunia nyata, dan mungkin bersambung lagi di dunia maya, selain menambah teman blogger baru.  Dan kopdar juga tetap membuat aku ingin hashigo, tambah, tambah dan tambah 😀

Katanya Uda Vizon seperti foto keluarga. Nah loh siapa bapak dan ibunya ya?

**************************

Cerita lengkap kopdar pasaraya itu bisa dibaca di blog tulisan peserta yang lain :

MENYAMBUT TAMU

Woro…Woro di Pasaraya,,, 😀 😀 😀 😀

Bintang Kopdar

otw

Rasa itu tetap sama -1-

2 Agu

Pernah merasa kecewa akan perubahan rasa masakan, makanan atau minuman? Sering mungkin ya. Amat sangat sulit menjaga kelangsungan rasa, image atau mutu dari suatu barang atau produk. Di Jepang banyak sekali program TV yang memperkenalkan toko atau restoran baik yang baru maupun lama. Dan biasanya persis sehari sesudah penayangan di televisi, restoran itu langsung dipadati pengunjung. Semua berlomba untuk mencoba, mencicipi restoran itu sampai terjadi antrian yang panjang. Pasti. Tapi biasanya itu tidak berlangsung lama.

Restoran yang bisa bertahan adalah mereka yang tetap memegang “tradisi” mereka sejak awal mula. Mungkin itu berupa “target” satu hari berapa piring, karena banyak misalnya restoran ramen yang hanya menyediakan misalnya 100 mangkok mie/hari. Kata kokinya lebih dari 100 mangkok supnya akan tidak memadai dan tidak enak. Selain itu ada pula yang tetap memakai bahan-bahan yang sama. Sebuah toko udon di dekat rumahku, hanya memakai bahan dasar tertentu yang dipanen hari itu saja. Jika tidak ada panenan ya tidak dijual. Mereka tidak tergiur untuk meraup keuntungan “instant” dengan banyaknya pembeli yang datang. Kalau mau mencoba masakan kami silakan antri!

Malam itu tanggal 24 Juli 2011, kami bertiga memasuki sebuah restoran yang antik, jika tak bisa disebut kotor. Aku tak menyangka akan menjumpai restoran seperti ini di jaman sekarang saat semua restoran berlomba mempercantik diri untuk menyambut pengunjung. Lagipula ini Jakarta bung, mas, mbak, non! Memang sudah gelap waktu kami datang (pukul 19:30-an) , sehingga…yah masih terkesan antik. Coba kalau siang …duh mungkin aku akan mikir-mikir dulu untuk masuk. (Dan WC nya menurut penilaian Putri parah! Padahal menurutku masih OK-OK saja)

suasana di Es Krim Ragusa

Tanpa AC, tanpa pelayan yang menyambut dengan buku menu. Kami masuk langsung “merebut” sebuah meja dengan 4 kursi rotan. Mau pesan? Putri Usagi yang memang sudah pernah ke sini, langsung angkat pantat dan mengambil menu dari tempat kasir. Aku sebenarnya ingin memesan Tutti Frutti (teringat menu yang sama yang keluarga kami pesan dulu di Es Krim Rendesvouz, Blok M) tapi sudah habis katanya. Demikian pula cassata siciliana yang dipesan Prima sudah habis. Sebetulnya untuk kategori restoran jenis yang disediakan tidak banyak. Bisa bandingkan dengan deretan menu es krim di Pisa Cafe yang cukup banyak.

Es Krim Italia Ragusa, Spagheti (kiri) ada lelehan tuh di piringnya (suatu pemandangan yang tidak ada di Jepang...mereka sajikan pasti rapi dan berpiring :D) kemudian kanan penampakan 2 jenis lainnya

Akhirnya pesanan kami datang setelah menunggu cukup lama, sampai perlu ditanyakan oleh Putri apakah es krim kami masih dibuat :D. Meskipun tentu saja waktu menunggu tidak kami sia-siakan untuk bernarsis-ria. Aku lihat hanya ada 3 orang yang melayani satu restoran dengan lebih kurang 10 meja. Tiga jenis es krim yang tekturnya halus dan ringan terhidang di atas meja kami. Rasa susu tidak mendominasi es krim sehingga jika mau, kita bisa makan es krim ini berapapun banyaknya. Maklumlah es krim ini handmade dan tidak memakai bahan pengawet (Karena itulah stock barang juga tidak banyak ya).

Makan es krim aja mesti bergaya dulu 😀

Hanya satu yang aku sayangkan di sini, yaitu pisang yang dipakai untuk banana split. Memang pisang itu susah-susah gampang. Gampang didapat dan gampang rusak (busuk) juga. Mungkin waktu aku makan aku mendapat bagian pisang yang sudah lembek sehingga mengeluarkan rasa “aneh” waktu tercampur dengan es krimnya. Tapi secara keseluruhan es krim Ragusa ini memang enak. Meskipun mungkin bagiku restoran ini tidak akan terdaftar dalam list “wajib dikunjungi berkali-kali”. Faktor lokasi yang jauh dari rumahku salah satunya faktor yang menghalangi aku pergi ke sana lagi. Tapi jika Anda mau membeli es krim yang bermutu, sekaligus membeli sejarah, maka restoran ini patut dicoba. Aku berharap tradisi yang sudah dijaga sejak tahun 1932 akan dapat terus dijaga dan dipertahankan. Sehingga rasa es krim yang dicicip meneer-meneer dan mevrouw-mevrouw di jaman kolonial Belanda masih dapat diwujudkan dan dirasakan oleh generasi kita dan selanjutnya.

Ibu dan anak berdiri sejak tahun 1932... tua dong (FOTO BY PRIMA)

Biru yang tidak mengharu

29 Jul

Biru sering dikaitkan dengan kesedihan, kemuraman atau keadaan hati yang bergejolak a.k.a emosional. Tapi coba kalian lihat foto ini, adakah haru biru di sana?

Himaja (Himpunan Mahasiswa Japanologi) angkatan 86

Biru adalah dress code hari itu untuk kami, alumni Program Studi Jepang, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Sekarang bernama Fakultas Ilmu Budaya UI). Biru adalah langit yang menaungi kami selama ini, selama 25 tahun persahabatan semenjak kami tercatat sebagai satu angkatan, angkatan 86. Langit itu pulalah yang menghubungkan kami yang tersebar di Jerman, Tokyo, Surabaya, Palembang, Yogyakarta dan Tokyo meskipun tidak semua dapat bertatap muka tanggal 24 Juli 2011 kemarin.

Formatur Himaja 86 ditambah Setyawan dan Dian

Kami  25 orang lulusan SMA memulai kehidupan kampus  pertama kali kampus Rawamangun. Di taman sastra ini kami melewatkan waktu bersama dengan tawa canda senda gurau. Ada lirik mata, senyum manis dan oh ya tanpa disadari ada juga pengelompokan terselubung apalagi setelah kami pindah ke kampus baru Depok. Kelompok mobil, kelompok bus, kelompok jimny biru, jimny merah, starlet merah…. yang mengantar kami dari rumah masing-masing dari dan ke kampus, dan Japan Foundation.

Taman Sastra Rawamangun, tempat aku menunggu kuliah pagi sambil membaca koran yang dijajakan anak-anak penjaja koran. Aku selalu datang jam 7 pagi dan kerap bertemu mahasiswa menwa yang menginap di kampus.

 

Tidak lebih dari 19 orang yang bisa meneruskan sampai ke tingkat dua, dan tidak semua bisa berbaris bersama memakai toga di akhir kuliah 4-5 tahun kemudian. Tapi kita pernah bersama-sama melewati Ospek, penataran P4, kuliah-kuliah bahasa dan kebudayaan Jepang selain kuliah wajib bagi mahasiswa sastra. Juga mengalami pindahan dari kampus Rawamangun ke Depok yang gersang dan sepi, bahkan waktu belum ada Bus Kuning. Tempat berkumpul kami bukan lagi taman sastra yang rindang tapi kansas a.k.a kantin sastra.

Aku dan Dina yang diwisuda bersama angkatan senior. Tunggu aku ya bu Doktor Dina.... aku akan menyusulmu someday

 

Angkatan kami menghasilkan 2 doktor, 1 master, pengusaha, pegawai kantor, dosen, guru dan ibu rumah tangga. Tapi kami tahu bahwa kami bisa menjadi sekarang ini karena telah melewati proses belajar dan belajar  selama 25 tahun. Dan tentunya tidak akan berhenti hanya di angka 25. Semoga….

Kata Windy, hampir semua sudah bercincin kawin 😀

 

Lima tahun yang lalu kami merayakan 20 tahun  “kebersamaan” dan berencana untuk membuat perayaan 25 thnya pada th 2011. Lewat fesbuk akhirnya ditentukan tanggal 24 Juli 2011, sehari sesudah aku mendarat di Jakarta. Reuni 25 th ini juga yang menjadi “main event” acara mudikku tahun ini.

Sebetulnya ingin sekali pergi menginap bersama semisal di Bogor atau Puncak. Tapi karena  status kami  bukan lagi mahasiswa yang bebas untuk menginap lagi karena “buntut”nya sudah banyak, belum lagi ada beberapa orang yang datang dari luar Jakarta, akhirnya diputuskan untuk makan siang di Talaga Sampireun, Bintaro.

ki-ka: Ira, Elvy, Abi, Nita, Rahma, Windy, aku, Yati, Tia bawah : Jenny Vitasari, Dina dan Susi

 

Restoran yang mengadopsi saung-saung di atas kolam ini seharusnya membuat suasana romantis. Tapi karena diadakan siang hari, juga banyaknya tamu yang datang (karena akhir pekan)  sampai harus dibagi per lot waktu sehingga mengurangi kesan relaksasi, apalagi romantis.

Makanan yang merupakan hasil laut memang enak meskipun tidak bisa dikatakan istimewa buatku. Mungkin karena aku memang tidak begitu antusias makan nasi. Tapi satu minuman yang kurasa unik dan enak adalah Es Sirsak Talaga Sampireun. Rasa sirsaknya memang agak kalah dengan bahan-bahan lain, tapi aku memang tidak begitu suka tekstur dan rasa sirsak 100%.

Gurame, Cumi dan Udang sebagian dari menu yang dipesan + Es Sirsak Talaga Sampireun

 

Jadi kalau mau mengadakan reuni atau kumpul-kumpul memang tempat ini bagus, karena memang banyak orang yang bertujuan sama datang ke sini. Tapi bukan tempat yang romantis untuk berduaan seperti yang ditanyakan Putri Rizkia padaku. Jika hendak datang berombongan harus membuat reservasi dan membayar down payment terlebih dahulu. Untuk satu saung minimum paymentnya 600 ribu. Silakan dicoba!

 

 

KOLI

24 Jul

Menurut KBBI Daring  ko·li n satuan barang bagasi atau barang kiriman. Meskipun lazim dipakai di bandara, mungkin sedikit orang yang langsung mengerti apa yang dimaksud dengan koli. Kupikir memang lebih sering dipakai satuan “potong” atau “koper” saja untuk orang awam.

Sabtu pagi pukul 4 pagi akhirnya selesai juga aku packing 3 buah koper, besar dan kecil untuk kubawa ke Jakarta. Meskipun isinya kebanyakan pakaian, yang sebetulnya tidak terlalu berat, ada satu koper yang sampai 28 kg. Memang aku biasa pakai koper besar, karena aku lebih suka menyatukan barang daripada memakai beberapa koper yang kecil-kecil. Takut lupa intinya sih. (Ingat waktu saat kami pindahan dari London yang membawa 27 koper. Padahal sudah pakai kontainer juga hihihi)

Setelah beres-beres rumah, pukul 5 kami berangkat. Untung saja ke 3 koper itu bisa dimuat dalam bagasi mobil Jazz kami. Hebring juga deh Hondaku ini. Selama perjalanan yang lancar ke Narita, aku tidak tahu apa-apa lagi. Tidur terus selama perjalanan karena memang aku tidak tidur sama sekali. Akhirnya kami sampai di counter check in pesawat ANA pukul 7 pagi teng!

Antrian tidak panjang, kami dilayani seorang gadis manis yang menyapaku dengan bahasa Jepang. Kami memang baru kali ini memakai ANA ke Jakarta. Waktu Kai masih bayi, aku memakai SQ yang terkenal dengan Family Servicenya yang bernama MASS, yang pernah kutulis di “Untung ada mas”. Atau memilih penerbangan dengan JAL, yang langsung Tokyo – Jakarta (waktu itu GA tidak ada penerbangan langsung Tokyo -Jkt, harus transit di Bali. Daripada transit di Bali, aku lebih suka transit di Singapore). Atau tahun kemarin aku pakai Cathay Pasific karena memang mau mampir ke Hongkong tempat adikku, Kimiyo. Nah, tahun ini aku senang sekali karena ANA membuka jalur penerbangan langsung Tokyo – Jakarta, dan harganya murah dibandingkan dengan penerbangan langsung lainnya dari maskapai lain. Dan aku sudah beli tiket pulang itu sejak 22 Februari, sebelum Gempa terjadi.

Nah, yang aku tidak tahu adalah bahwa ANA memberlakukan sistem bagasi baru sejak April 2011 ini. Yaitu seorang penumpang boleh membawa 2 koli (2 potong) koper yang maximum beratnya 23 kg. Jadi koperku yang seberat 28 kg itu kena denda (karena masih kurang dari 32 kg) 3000 yen. Daipada aku musti pindahin 5 kg ke koper lain, ya mending aku bayar saja deh. Tapi sebagai pelajaran nanti jika pulang untuk menimbang satu koper tidak lebih dari 23 kg. Dan sebetulnya kebijakan ANA ini menguntungkan penumpang, karena yang dulunya seorang cuma bisa membawa 20 kg, menjadi 46 kg! Hebat ah… Tapi secara sekilas aku membaca dari penjelasan si nona manis itu, yaitu pihak ANA juga beruntung dengan sistem baru ini. Yaitu mereka juga menyediakan service “tebura” pelayanan pengambilan koper (tentu berbayar) dari rumah yang akan langsung cek in ke pesawat, tanpa kita perlu mendorong atau memuat koper sampai Narita sendiri (dulu waktu pakai JAL dan bawa bayi aku pakai service ini). Nah kalau 2 koper setiap orang kan juga menguntungkan pihak maskapai … ho ho. mutualisma ya.

Jadi kalau aku akan memakai layanan ANA seterusnya, aku harus membeli beberapa koper yang berukuran sedang. Koper besar itu sulit dipakai kalau mau memenuhi max 23 kg. Manusia kan cenderung memenuhi semua space yang ada (maklum emak-emak ngga mau rugi hahaha). Jadi bisa bayangkan nanti kalau kami pulang, kami bisa membawa 8 koli dengan berat 160 kg lebih! Kayaknya musti sewa truk untuk bawa ke bandara/rumah deh hahaha.

Urusan imigrasi lancar. Sambil menghapus airmata, Riku masih memaksaku untuk menelepon papanya sebelum boarding. Dia sejak 2 hari lalu menangis terus setiap mengingat bahwa papanya tinggal sendirian di Tokyo selama 3 minggu, sebelum menyusul kami. Ah, anakku ini memang perasa sekali (seperti mamanya …cihuyyy). Perjalanan selama 7 jam kami lewati dengan tidur. Sayangnya karena sebelum naik pesawat kami sarapan dulu, jadi kami nyaris tidak menyentuh makanan yang disediakan pramugarinya. Padahal rasanya lumayan lah.

Kami mendarat pukul 2:45 dan menyelesaikan urusan visa on arrival cukup makan waktu. Cuma kali ini aku merasa cukup bisa bersabar karena setelah menyelesaikan V.O.A ini, kami tidak perlu lagi antri di imigrasi. Nah, gitu dong. (Meskipun akhirnya tetap harus antri, untuk penyelesaian imigrasi aku)

Aku menggunakan jasa porter no 98 untuk membawakan 3 koper dengan trolley. Riku selalu suka naik ke atas koper-koper di trolley itu. Dan memang hanya di Jakarta saja dia bisa begitu. Kalau di Tokyo sudah pasti dilarang petugas. Kalau Jakarta kan semua cara dan keinginan dihalalkan 😀

Tapi aku beruntung mendapatkan porter yang baik. Karena sebetulnya begitu kami keluar pintu arrival, kami tidak melihat satupun anggota keluarga yang menjemput. Nah loh, gimana nih. Ngga lupa kan???? Saat itu si Bapak 98 menawarkan HP nya untuk menelepon. Waaah baik amat si Bapak. Jadi setelah mencari catatan nomor-nomor telepon aku pakai HP nya untuk menanyakan posisi penjemput. Si Bapak ini juga yang menyarankan supaya kami menunggu di depan Hok-ben karena tempatnya mudah terlihat. Dia juga ikut membantu menjaga anak-anak, sekaligus memperhatikan Kai yang lari-lari ke sana kemari. Duuuh ini anak bungsuku pecicilan banget deh. Jadi aku senang si Bapak ikut membantu memperhatikan anak-anak sementara aku repot menghubungi sana -sini. Dan akhirnya tak lama aku melihat adikku Andy, datang menghampiri kami. Si Bapak ikut membawa trolley sampai lapangan parkir tempat mobil diparkir. Terima kasih ya pak, untuk bantuannya, juga untuk pulsanya.

Yang aku dari dulu ingin tahu, porter begitu satu kolinya diberi berapa rupiah ya?

Well,  I’m hoooooome!