Mereka juga Manusia Biasa

19 Nov

Lah memang siapa yang kamu maksud Mel? Superman? Batman?

Hari Sabtu kemarin, sekolah Riku mengadakan Pertunjukan Musik 音楽会. Memang setiap bulan November sudah masuk kurikulum SD di sini, mereka akan mengadakan either pertunjukan musik/drama atau pameran kesenian setiap bulan November. Musim Gugur di Jepang memang sering diibaratkan sebagai musim seni. Mungkin karena Hari Kebudayaan yang jatuh di bulan November (tanggal 3) , atau mungkin karena keindahan musim gugur menimbulkan keingin setiap insan untuk mengagumi alam dan menuangkannya dalam berbagai bentuk seni, seni lukis, musik, puisi dan pantung, apa saja. Dan aku selalu mengagumi kegiatan-kegiatan sekolah (kalender sekolah) yang mengikuti musim ini.

Khusus untuk melihat pertunjukan musik Ongakukai-nya Riku, papa Gen mengambil libur di hari Sabtu. Biasanya memang Gen tetap bekerja setiap Sabtu, tapi dalam sebulan bisa mengambil 1 atau 2 kali libur pada hari Sabtu, asal memberitahukan sebelumnya. Jadi di akhir bulan Oktober, Gen sudah mengajukan libur untuk Sabtu tanggal 17 November kemarin. Acaranya dimulai jam 9:40 sampai 11:40 dengan menampilkan pertunjukan musik dari 6 kelas. Kelas 4 mendapat giliran ke 5, sehingga Gen pergi ke sekolahnya Riku sekitar pukul 10. Bisa sih datang dari awal, tapi kami tahu aulanya kecil, dan kami harus bergantian duduk di depan panggung, jadi lebih baik datang menjelang pertunjukan kelasnya Riku saja. Dan kelasnya Riku berhasil membawakan paduan suara dan pertunjukan ansamble suling yang membawakan lagu tema dari anime populer One Piece.

Karena aku sedang membereskan rumah dan sedang sakit punggung, aku tidak ikut melihat penampilan Riku. Jadi hanya menikmati lewat video yang diambil Gen. Dan aku sendiri punya rencana untuk pergi ke gereja, misa bahasa Indonesia di Meguro jam 5. Setiap hari Sabtu, komunitas umat katolik membuat misa bahasa Indonesia di gereja St Anselmo Meguro, mulai pukul 5 sore. Pastornya berganti-ganti, pastor orang Indonesia yang kebetulan sedang bertugas di Tokyo, dan ada waktu luang untuk memberikan misa. Ada 3 pastor Indonesia yang biasa memberikan misa di Meguro, dan hari Minggunya di Yotsuya (pada pukul 4 sore, di gereja St Ignatius, Yotsuya). Kalau kebetulan pastor orang Indonesianya tidak bisa, ya kami meminta bantuan pastor Leo, pastor kepala di gereja St Anselmo untuk memberikan misa dalam bahasa Inggris. Jadi kalau aku ke gereja Sabtu itu berarti aku mengikuti misa bahasa Indonesia, sedangkan kalau ke gereja Minggu pagi, aku mengikuti misa dalam bahasa Jepang. Riku mengikuti sekolah Minggu di gereja Kichijouji, sehingga aku mengantar Riku ke misa bahasa Jepang setiap pukul 9 pagi pada hari Minggu.

Aku keluar rumah sendiri pukul 4 sore meninggalkan anak-anak yang sedang bermain dan papanya sedang tidur siang, bergegas naik bus dan kereta. Hujan, sehingga agak lambat untuk ganti kereta, dan menyebabkan aku terlambat 15 menit ikut misa yang dimulai pukul 17:00. Eh, tapi misanya baru mulai kok 😀 Aku agak tertahan di tengah perjalanan menuju gereja, karena payung yang kupakai rusak tertiup angin. Angin sebetulnya tidak begitu besar, tapi kebetulan pas dekat gedung tinggi, pas ada angin besar bertiup dan …rusak deh payungnya. Dua batang jerujinya patah, sehingga separuh payung tidak berfungsi. Tapi karena aku buru-buru ya masih bisa deh pakai setengah payung :D.

Misa dibawakan oleh pastor Ardy SVD, yang biasanya melayani di paroki Kichijouji. Bacaannya seram, tentang dunia kiamat. Memang kalender liturgi katolik sudah hampir habis, dan menjelang akhir tahun ini, kita juga diingatkan tentang akhir dunia. Dan minggu adven pertama untuk menyambut Natal akan dimulai tgl 2 Desember. Berarti sudah musti mempersiapkan diri untuk Natal dan latihan menyanyi! Kami sempat berlatih menyanyi lagu Natal bersama pastor Dendy CSsR juga, yang khusus datang untuk latihan menyanyi. Pastor Dendy biasanya melayani gereja Hatsudai di Shinjuku.

Setelah selesai latihan, dalam hujan kami berjalan pulang menuju stasiun. Karena aku sudah lapar dan sudah dapat ijin untuk makan di luar dari Gen, aku mengajak kedua pastor untuk makan malam bersama. Tadinya sih mau makan sushi “berjalan” di gedung Atre, tapi aduh antriannya puanjang deh. Jadi kami masuk restoran masakan China di sebelahnya deh. Sambil makan kami ngobrol ngalor ngidul terutama tentang perbedaan pelaksanaan misa di Jepang dan Indonesia, juga pembaruan tata cara misa yang sekarang. Intinya, terasa semakin kemari, kesucian dalam misa semakin berkurang. Semakin jarang ada bagian yang berlutut, apalagi di Jepang. Misa di Jepang tidak mengenal kata berlutut! Modernisasi ternyata juga melanda tata cara misa. Tapi memang yang penting bagaimana hati kita memuji Tuhan dan percaya padaNya.

Duduk di antara dua gembala (umat katolik merefer pastor dan pemimpin agama dengan gembala) umat, dua orang pastor yang berasal dari Flores dan Jawa Tengah (tapi sekolah di Flores), aku merasa pastor-pastor ini dan tentu saja semua pastor pada umumnya, sama saja manusia biasa seperti kita. Dalam arti bukan manusia super yang tidak bisa capek, yang tidak bisa marah juga. Mereka juga butuh hiburan, butuh teman, butuh komunitas dan butuh candaan. Mereka juga mengaku bahwa senang bisa membawakan misa dalam bahasa Indonesia, tidak melulu bahasa Jepang. Atau betapa aku sering terkecoh dengan lawakan pastor Dendy yang begitu kocak dan penuh plesetan 😀 Hidup dalam masyarakat Jepang yang “dingin” memang kurang dengan candaan khas orang Indonesia. Dan dengan adanya misa berbahasa Indonesia oleh komunitas umat Indonesia di sini, sedikit banyak menjadi ajang penghiburan diri dari kepenatan sehari-hari. Kerinduan orang Indonesia pada komunitasnya. Seperti kata Donny di sini  “Misa berbahasa Indonesia selalu jadi tempat ‘temu-kangen’ .. di sini pun demikian.

Misa bahasa Indonesia Tokyo setiap Sabtu 17:00
Gereja St Anselmo, Meguro
3 menit berjalan kaki dari Stasiun Meguro, ke arah Dressmaking School SUGINO.

 

 

Family Day: Shichi Go San

14 Nov

Bukan nama orang yang bernama Shichigo loh, tapi ini adalah peringatan yang jatuh pada tanggal 15 November setiap tahunnya terutama untuk keluarga yang punya anak-anak, baik anak lelaki maupun anak perempuan.

Sesuai dengan namanya, shichi = 7, go=5, dan san =3. Pada hari ini mereka yang mempunyai anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun, serta anak lelaki berusia 5 tahun (di beberapa tempat ada juga yang merayakan untuk anak lelaki berusia 3 tahun, tapi kami tidak), merayakan “kesehatan” dan perkembangan anak-anak mereka dengan berdoa di Jinja atau Kuil (dan sekarang juga banyak yang merayakannya di gereja Jepang). Dan pada usia-usia inilah anak-anak ini pertama kali memakai baju tradisional Jepang, kimono untuk anak perempuan dan hakama 袴 untuk anak laki-laki.

Kebiasaan ini ternyata baru dimulai pada jaman Tokugawa Tsunayoshi tahun 1681, untuk mendoakan kesehatan anaknya. Secara mudahnya, kebiasaan shichigosan ini karena dulu anak-anak berusia dibawah 7 tahun itu banyak yang sakit dan tidak bisa hidup terus. Jadi kita melewati tahun ke 3, ke 5 dan ke 7, orang tua mengucapkan syukur kepada dewa-dewa atas pertolongan melindungi anak-anaknya. Diharapkan setelah usia 7 tahun, anaknya akan tumbuh sehat terus sampai nanti upacara berikutnya pada usia 20 tahun, yaitu hari dewasa Seijin no hi, waktu anak-anak itu dinyatakan sebagai dewasa.

Hasil foto studio 4 tahun yang lalu

Nah, Kai sudah berulang tahun ke 5, tahun ini. Jadi aku tahu bahwa kami harus mengikuti tradisi shichigosan ini. Waktu Riku aku ingat kami hanya mengambil foto di studio bersama Kai, dan itu aku laksanakan di bulan Mei. Perkiraannya waktu itu karena jika sudah masuk bulan November, maka akan banyak orang yang memakai jasa foto studio. Pada hari H, sekitar tanggal 15 November, kami makan bersama di rumah mertua, dan Riku berkunjung ke kuil dekat rumah Yokohama. Itu tahun 2008.

Tahun ini aku lebih “sigap” jadi aku mengatur supaya papa Gen bisa cuti, Riku dan Kai bolos sekolah dan aku juga tidak ada kerja, lalu menelepon foto studio untuk membuat jadwal. Sampai dengan tanggal 15 November, foto studio yang biasa kami pakai itu menggratiskan penyewaan kimono dan hakama bagi anak yang merayakan 753, serta orangtuanya. Wah, kesempatan bagiku untuk juga ikut memakai kimono, meskipun aku harus membayar untuk makeup dan hair stylistnya. Waktu upacara pernikahan aku memang tidak memakai kimono, dan dalam waktu dekat juga tidak ada keluarga jauh kami yang akan menikah, sehingga kali ini merupakan kesempatan bagiku kecuali aku mau menunggu kedua anakku menikah nanti 😀 Aku juga mengajak orang tua Gen untuk ikut berfoto bersama, apalagi tahun ini mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke 45 tahun! Sekalian saja.

Jadi pukul 9:30 pagi kami keluar rumah dan naik bus menuju Kichijouji, tempat foto studio Laquan NY, karena aku akan mulai didandani pukul 10:30. Anak-anak dan Gen sebetulnya bisa datang pukul 11 karena pemotretan sendiri mulai pukul 12. Tapi…. aku tidak yakin membiarkan 3boys jalan sendiri, terutama aku takut kalau Kai berulah. Tapi ternyata kekhawatiranku tidak perlu. Meskipun mereka harus menunggu 30 menit sebelum jadwal mereka ganti baju, mereka dapat mengikuti petunjuk staff studio dengan baik. Bahkan Kai gembira sekali melihat 3 jenis hakama yang aku pilihkan buat dia. Memang sebelumnya aku sudah pilihkan 3 set hakama untuk Kai, dan ternyata dia pilih yang paling unik sendiri. Yaitu pakaian untuk samurai yang bernama Kamishimo (かみしも).

Pakai kimono bagaimana rasanya? Hmmm sama saja seperti pakai kebaya deh. Cuma kalau kebaya yang “menyesakkan” biasanya bagian perut dan pinggang karena pakai korset, sedangkan untuk kimono yang menyiksa adalah bagian dada. Percuma punya dada membusung karena pasti ditekan sedemikian rupa supaya rata. Prinsipnya pada kimono, wanita tidak perlu mempunyai body bentuk biola 😀 karena akan memakai obi (ikat pinggang) lebar yang membuat dada, perut dan pinggang menjadi satu garis :D. Jadi siap-siaplah buka bh, dan untung tidak perlu buka cd seperti wanita Jepang jaman dulu. Semua “lembah” disumpal dengan kapas dan kain sehingga menjadi rata, baru dipakaikan kimono. Yang menjadi patokan adalah motif bunga bagian bawah, jadi yang penting bagian bawah dulu, baru kemudian diatur bagian perut dan dada. Yang pasti akan sulit sekali memakai kimono sendiri, perlu belajar dan latihan yang banyak supaya bisa memakai sendiri. Kecuali badannya lurus seperti papan setrikaan kali ya hahaha.

Setelah aku siap kimononya, Gen dan anak-anak siap memakai hakamanya, kami menuju studio foto yang terletak di lantai 3. Fotografernya perempuan cantik dan lincah. Berkat dia, kedua anak lelakiku bisa bergaya dengan baik 😀 Kai sendiri, lalu Kai berdua Riku, lalu kami sekeluarga ber-4 dan ber-6 dengan bapak ibu mertua. Kai juga bergaya sendiri dengan memakai tuxedo (baju eropa). Yang pasti hasil pemotretan keseluruhannya ada 360 lembar!

Setelah selesai ganti baju, kami masih harus memilih dari 360 lembar, berapa yang kami mau cetak. Kami sudah pengalaman dan sudah tahu bahwa di situ cetaknya mahal (ongkos cetak ukuran terkecil seharga 2100 yen (Rp210.000), sehingga benar-benar memilih yang terbagus saja. Dan kami memilih 20 foto dengan 2 berukuran 5R (sisanya berukuran L). Memang mahal tapi kapan lagi bisa begini. Tapi pelayanan studio Laquan memang top. Mereka memberikan service 2 foto berukuran kecil dalam bentuk data untuk HP. Juga memberikan kalender dengan salah satu foto yang kami pilih. Bahkan karena aku cek in di FB, kami mendapatkan satu set kotak coklat dengan bungkus fotonya Kai :D.

Hasil foto baru jadi 2 minggu yang akan datang, tapi aku bisa menampilkan foto yang kami terima sebagai gambar background HP.

Kiri: Kai memakai Kamishimo dengan memegang Chitose Ame (Permen 1000 tahun), permen yang mengungkapkan harapan orang tua agar anak-anaknya panjang umur. Kanan: Kai dengan tuxedo yang kupilih. Senang sekali melihat dia langsung menyukai tuxedo ini.

Setelah selesai pemesanan dan pembayaran di studio, kami masih punya waktu 2 jam lebih sebelum bisa makan malam bersama di sebuah restoran Perancis masih di dekat-dekat stasiun Kichijouji itu. Aku memesan tempat untuk ber 6 pada pukul 17:30, begitu restoran itu buka untuk dinner. Sebetulnya restoran itu TIDAK menerima tamu di bawah 6 tahun, karena sudah bisa dipastikan anak berusia di bawah 6 tahun itu ribut dan bisa mengganggu tamu lainnya. Tapi waktu aku tanyakan apakah kami bisa merayakan Shichigosan di sana,kami diterima. Katanya ada kekecualian untuk event-event khusus. Untunglah.

Aku memilih restoran ini karena pernah diusulkan oleh teman ibu mertua. Katanya masakannya lebih enak daripada restoran Perancis yang sering kami datangi yang bernama Kaisen Shokudo. Dan restoran ini bernama Mariage, sehingga kurasa cocok untuk merayakan ulang tahun pernikahan bapak ibu mertua. Mariage tentu saja berarti pernikahan.

Restoran ini tidak besar, tapi berada dalam sebuah rumah yang cantik, jadi seperti memasuki rumah bergaya Eropa. Karena malam dan dingin, kami tidak mau duduk di teras yang juga terlihat menyenangkan. Untuk makan siang pasti menyenangkan deh.

Sebelum memasuki restoran ini, aku sudah wanti-wanti Kai untuk behave! Tidak boleh ini itu, dan harus dengar-dengaran. Tapi tentu saja sulit bagi anak seusia 5 tahun untuk bersikap dewasa apalagi menguasai table manner. Sekaligus kesempatan ini kami pakai untuk mengajarkan table manner pada Kai. Kalau Riku sudah 9 tahun, sehingga sudah bisa mengikuti tata cara makan ala eropa. Kalau dipikir debut Riku di restoran Perancis memang jauh lebih muda daripada Kai. Usia 6 bulan saja dia sudah makan foie gras :D

Kami memesan makanan course menu, tapi masing-masing memilih main course beda-beda. Ibu mertua dan Riku memilih masakan udang besar, Gen dan papanya memilih steak daging sapi, Kai memilih roast chicken, sedangkan aku memilih steak menjangan. Rasanya? tentu semua enak (dan mahal). Tapi kami bisa memperingati sekaligus shichigosan dan ulang tahun pernikahan, dan mungkin untuk tahun ini adalah perayaan yang terakhir karena kami tidak merayakan pergantian tahun (tahun baru) karena dalam suasana duka mochu 喪中 (mama meninggal bulan Februari)

Nippon Maru

12 Nov

Gara-gara seorang teman facebook menuliskan tentang kegagahan kapal Nippon Maru, aku jadi teringat bahwa kami pernah masuk ke dalam kapal tersebut yang kebetulan sedang berlabuh  di Minato Mirai Yokohama sebagai bagian dari Museum Maritim. Tulisan ini disunting dari tulisan tahun 2006 di blogku yang lama.

Kunjungan kami waktu itu sebetulnya hanya karena Gen pernah bertemu dengan mantan kapten kapal tersebut. Dan setelah mencari informasi, diketahui bahwa kapal yang dijadikan kapal pelatih itu sedang berlabuh di Yokohama. Kami menginap di rumah mertua di Yokohama agar lebih cepat menuju Stasiun Minato Mirai. Sejak ada Minato Mirai line ini, memang akses ke MM21 ini menjadi lebih mudah….dan cepat. Dulu kami harus jalan jauh dari Sakuragicho.

Dan untuk melihat semua layar Nippon Maru terkembang sangatlah jarang. Kebetulan hari ini karena ada volunteer yang mau membuka/menutup layar, maka kami bisa melihat “pertunjukan” semua layar terkembang. Selain itu ada pertunjukan ansamble juga dari sekolah2 negeri di yokohama. Kami sampai di situ kira-kira 11:40 sehingga kami masih harus menunggu jika mau masuk ke dalam kapal. Katanya sih buka jam 12. Sementara itu kami melihat ada antrian anak-anak yang minta dibuatkan topi dari balon bertentuk macam2. Jadi aku dan Riku berbaris …mumpung gratis (bokis yah :D)

Setelah selesai mendapat topi balon itu, aku baru sadar bahwa itu sebetulnya semacam tanda masuk untuk kelas art wire yang akan di mulai jam 1. hihihi… Gen sih bilang gpp ntar toh kita ngga ada jam segitu. Akhirnya kami menunggu antrian untuk masuk ke kapal, setelah membeli karcis. Tapi lucunya si Riku tiba-tiba bilang mau ke wc sehingga kita lari2 cari wc. Anakku udah gede hihihi.

Begitu pintu masuk dibuka, kami langsung masuk ke kapal dan melihat bagian-bagian kapal. Pertama tentu saja di dek kemudi. kemudian mengikuti rute yang sudah ditentukan. Konon kapal ini adalah kapal terlama yang dipakai berlayar di dunia.

Dari ruang kemudi, ke buritan kapal, melihat berbagai macam alat dan tali tambang yang begitu besar…. Kata Gen ada kelas untuk membuat simpul. Jadi ingat dulu aku di pramuka jagonya buat simpul tali, sampai punya tanda kecakapan simpul. Syaratnya waktu itu bisa membuat tankard utk mengangkut orang sakit, dll. Selain itu simpul diperlukan dalam mendirikan tenda. Dulu di hitung juga berapa lama kami bisa mendirikan tenda, dan biasanya aku yang diserahkan tugas membuat simpul dan sebagainya, termasuk membuat pagar dari tambang. Kalo dipikir2 hebat juga yah aku….(uhuy).

Setelah foto jangkar dan tali temali, kita mulai masuk ke bagian dalam kapal. Yang mengagumkan memang adalah kuningan (brass) yang terdapat di bagian kapal, mengkilap semua. Katanya para kadet kerjanya memang memoles kuningan supaya mengkilap begitu, tentu saja selain mengepel kapal, sampai kayunya pika-pika (mengkilap)

Kami juga bisa masuk ke kamar para kadet, 1 kamar untuk 8 orang, dengan tempat tidur bertingkatnya. Dan bisa juga mencoba tiduran di bed bagian bawah. Riku langsung buka sepatu dan naik tiduran di situ. Cuma kalau melihat ukurannya  …mama Imelda pasti ngga bisa masuk situ… atau bisa masuk ntar ngga bisa keluar. How I hate to see that small space. Yang pasti aku ngga bisa jadi pelaut deh. I hate sea. Maklum kambing gunung sih 😀

selain kamar kadet kita juga bisa lihat kamar lainnya, seperti kamar mesin, dapur dan kamar operasi. Dalam pelayaran kalau terpaksa harus mengadakan operasi maka dilakukan di sini, dalam keadaan ombak yang bagaimana pun. Dipamerkan juga foto waktu operasi usus buntu. hiiii meja operasinya juga kecil gitu….. amit-amit deh. Gen juga memotret lorong yang sempit. duhhhh aku benci deh tempat yang sempit-sempit. Waktu naik turun tangga, karena ada Riku aku perhatian pada Riku. Kalau tidak ada Riku aku pasti takut sekali naik turun tangga. Sebelum ada Riku, Gen perhatikan aku kalau mau naik/turun tangga. sekarang? cuman perhatikan Riku aja hiks …. 🙁 😀

Setelah itu kami bisa melihat kamar Kapten. Sasuga kamar kapten, lux…lain dong sama kamar kadet. Ada ruang tamu, ruang tidur, dan kamar mandi lengkap dengan bath tub….

Di sebelah kamar kapten, ada kamar petinggi kapal lainnya, kemudian ruang sidang. Dalam ruang sidang ini ada stainglass yang menggambarkan kapal Nippon Maru dan bintang scorpion.

Akhirnya sampai pada bagian akhir journey di kapal ini. Ruang terakhir adalah ruang komunikasi. Setelah turun dari kapal ini, kami menonton pertunjukan ansamble musik dari SMP Hodogaya dengan lagu yang riang sekali. Karena sudah jam 1:00, perut lapar. dan biasanya kalau lapar kita pasti berantem deh. Aku ngga sabaran kalo laper sih. Sambil cari makanan kami buat badge dari kaleng dengan foto Riku mengenakan topi pelaut (tentu saja bayar)

Karena di sekitar museum maritim itu tidak ada restoran, dan kalau ke china town masih jauh, akhirnya kita masuk ke Landmark Tower, dan makan tonkatsu di restoran Wako. Riku makan banyak…tidak biasanya dia makan sebanyak itu…hebat. Kelaparan dan capek pasti. Pulangnya berfoto dulu sama beruang di depan Hard Rock Cafe Yokohama.

Keterangan dalam bahasa Inggris tentang kapal NipponMaru ini bisa dibaca di sini.

From Russia With Love

10 Nov

Ini judul-judulan yang aku pakai untuk fotoku yang ini:

Pertama kali ke negeri salju sampai harus pakai topi (masih usia 20-an). Mustinya pakai topi rusia yang berbulu-bulu gitu, tapi sedang dipakai papa.

Tapi sebetulnya aku mau bercerita pengalaman kami hari Selasa kemarin. Ceritanya 4 ibu Indonesia di Tokyo yang tergabung dalam grup “Pemerhati Kuliner” (baru saja sih dibuat namanya heheheh), ingin berkumpul kembali dan wisata kuliner dari negara lain. Kami sudah pernah mencoba makanan Perancis dan Sweden bersama, dan kali ini ingin mencoba masakan Rusia.

Hari itu hujan seharian. Waktu berangkat hujannya cukup deras sehingga aku menjadi khawatir pada Nesta, karena dia membawa bayinya. Tapi hebat ah dia kemana-mana gendong bayinya dan tetap mau “bermain” di luar rumah. Aku dulu kalau tidak terpaksa sekali, malas keluar rumah bawa bayi. Karena aku juga sama seperti Nesta, selalu gendong bayi dan tidak pakai baby car. Baby car itu amat sangat mengganggu dan menambah beban jika kita naik bus dan kereta.

Me and baby Hiro… di restoran Chaika

Jadi deh kami berempat tambah baby Hiro makan di restoran Rusia di Takadanobaba yang bernama Chaika. Aku tidak menyangka restorannya tidak begitu besar tapi penuh orang! Bahkan waktu kami keluar dari situ pukul 1 siang, masih ada orang yang antri tunggu kursi kosong. Untung kami masuk sebelum pukul 12 siang, jadi bisa langsung duduk. Waktu aku telepon pihak resto untuk pesan tempat, dia bilang tidak perlu reserve asal datang jam 11:30 tepat waktu restoran buka. Karena jika reserve, kami harus memesan course menu minimum 2000 yen, padahal aku tidak tahu apakah teman-teman yang lain suka atau tidak pilihan menunya.

Masakan Russia yang kucoba ki-ka: Sup dengan tutup (Zuppa Sup), Borscht sup daging, dan bawah adalah Pirozhki

Aku memang sedang tidak bisa makan banyak jadi aku memesan menu yang berisi : sup yang bernama Borscht, sup berwarna merah ini biasanya terbuat dari bit merah, tapi rasanya yang kemarin ini dari tomat. Ada irisan dagingnya dicampur juga sourcream. Kupikir asam, tapi rasanya enak juga kok, seperti sup minestrone biasa. Roti basonya Russia namanya PIROZHKI, isinya daging giling dengan soun. Cuma menurutku rasanya kurang nendang (terlalu mengharapkan bumbu Indonesia sih). Lalu ada sup cream jamur yang ditutup lapisan roti. Memang biasanya ditutup pie, tapi resto ini pakai roti, kurang terasa pienya. Kurasa sup jenis ini sudah banyak di Indonesia dengan nama Zuppa sup. Tapi isi supnya sendiri enak, kental. Sudah itu saja menunya yang kami pesan. Kalau untuk laki-laki pasti kurang karena tidak ada nasi dan rotinya sedikit. Tapi buatku waktu itu cukup (mumpung lambungnya sudah terbiasa sedikit nih hehehe).

Kalau Whita dan Lisa memesan menu lain, yang diberikan juga salada dan daging bakar seperti kebab. Sebagai penutup memang tidak ada dessertnya, tapi kami semua mendapat chai, yaitu teh Russia. Apa bedanya teh Russia dengan teh lain? Sama saja sih cuma teh panas yang diberi selai strawberry. Kami berempat sepakat bahwa kami bisa saja setiap hari minum teh Russia yaitu dengan memasukkan selai macam-macam ke dalam teh kami, sebagai pengganti gula.

Dan sebetulnya aku juga sering merasa aneh. Aku pernah membeli Teh Yuzu (semacam lemon). Kupikir ada kandungan tehnya, ternyata tidak. Hanya selai yuzu dilarutkan air panas saja. Rupanya di Jepang segala selai buah yang dilarutkan air panas diberi nama Cha (Teh) meskipun sama sekali tidak mengandung daun teh yang kita kenal.

Secara keseluruhan masakan Russia ini lumayan, dalam arti cocok untuk lidah orang Indonesia. Selain itu karena siang hari, harganya terjangkau. Dengan membayar 2000 yen sudah bisa makan lengkap (menu yang kupilih seharga 1150 yen. Harga yang reasonable untuk mencoba jenis masakan baru. Cuma memang kami kurang bisa santai di sini, karena waktu makan siang ternyata restoran ini terkenal, sehingga jam 1 lewat kamu sudah beranjak meninggalkan restoran, Tentu saja karena Hiro, anaknya Nesta juga mulai rewel karena kepanasan.

Tapiiii, kami belum puas ngobrol dan berfoto. Kami sengaja menentukan dress code berbaju hitam dengan scarf batik. Dan di resto Chaika itu ruangannya kurang terang, selain juga tidka bisa santai mengambil foto karena sudah ada yang antri. Juga sulit mengambil foto berempat. Selain itu baru pukul 1 lewat, masih pagi 😀 Jadi kami sepakat untuk mencari karaoke di sekitar stasiun Takadanobaba. Dan kami pergi ke karaoke Big-Echo, chainstore karaoke box yang terkenal di Jepang. Kebetulan aku punya kartu anggotanya, sehingga kami bisa mendapat harga khusus anggota.

hebat di karaoke aja ada kids roomnya

Karena kami membawa bayi, oleh petugasnya kami diberikan ruang nomor 19. Loh ternyata itu adalah Kids Room. Maksudnya di dalam ruangan ada pojok khusus yang terbuat dari busa sebagai tempat bermain anak-anak. Perfect! Aku baru tahu bahwa Big Echo mempunyai ruang seperti ini. Ada ruang yang bisa untuk recording, ada juga ruang yang bisa untuk makan yang diberi nama Restaurant Room. Maklum aku juga sudah lama tidak keluyuran berkaraoke dengan teman-teman. Terakhir ke Big Echo itu waktu pergi dengan mertua sambil menunggu restoran Zauo (pemancingan) Shinjuku dibuka. Waktu itulah aku membuat kartu anggota 😀

Setelah menidurkan Hiro di pojok khusus anak-anak, kami memesan satu minum dan sambil mencari lagu yang hendak dinyanyikan. Dan karena interior Kids Room ini dominan warna kuning kontras sekali dengan baju kami yang berwarna hitam. Jadi deh kami memuaskan kenarsisan kami di sini, tentu saja dengan mengandalkan timer kameraku. Meskipun hanya dua jam, juga aku menyanyikan lagunya itu-itu saja, tapi terasa bahwa memang aku butuh waktu-waktu seperti begini. Me Time. Bermain dengan teman-teman.

Sekitar jam 3:30 kami keluar tempat karaoke itu dan kembali ke rumah masing-masing. Untung saja hujan sudah berhenti waktu itu. Dan aku masih punya banyak waktu untuk menjemput Kai di TK jam 5, sehingga masih sempat juga untuk berbelanja.

So, next mau mencoba masakan apa lagi ya? Aku sedang mencari informasi lagi nih restoran negara asing yang buka siang hari,  yang tidak jauh dan tidak mahal 😀 Pernah diberitahu murid ada masakan Persia yang enak, tapi ternyata setelah aku cari informasinya resto itu tidak buka pada siang hari. Ada usul? hehehehe (Aku tetap masih ingin coba masakan daging buaya loh, konon ada di daerah lingkaran Yamanote line Tokyo hehehe)

Kamu suka wiskul juga?

Ternyata kami berempat memakai sepatu boots hari itu. Sehingga dengan payung masing-masing, 4 ibu siap berperang melawan hujan 😀

 

Restoran Chaika (Russian Dishes)
1-26-5 Takadanobaba  Shinjuku, Tokyo 169-0075, Japan
tel: 03-3208-9551

NHK Studio Park

7 Nov

Tanggal 3 November Hari Kebudayaan. Seperti yang pernah kutulis di “Hari Libur“, persentasi kecerahan hari ini setiap tahunnya konon mencapai 80% cerah. Nah karena itu tepat sekali jika hari Kebudayaan ini dijadikan waktu untuk mengadakan festival universitas. Dua universitas S dan W tempatku bekerja juga mengadakan festival, sehingga libur. Dan sudah sejak seminggu lalu, Riku membawa sebuah pamflet mengenai festival yang akan diadakan di NHK. Teman sekelasnya memang ada yang menjadi personil karakter di TK NHK, yang tampil setiap hari dalam acara “Shakkin”. Jadi temannya mengajak Riku datang, tentu untuk bertemu dia. Sayangnya dia tidak memberitahukan kapan tepatnya dia muncul 🙁

Karena papa Gen bekerja hari Sabtu itu (di universitas tempat kerjanya juga ada acara festival), aku berjanji untuk mengantar Riku ke studio NHK, tentu bersama Kai. Hitung-hitung sekaligus nostalgia untukku, mengunjungi tempat part time jobku 18 th yang lalu. Dan aku sudah wanti-wanti bahwa harus siap jalan jauh. Aku tahu studio ini agak jauh dari stasiun Shibuya, meskipun aku juga tahu ada bus ke sana.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 10, padahal rencananya pukul 9. Dan aku membuat satu kesalahan besar yang nantinya aku sesali, yaitu membawa ransel berisi 2 kamera. Awalnya sih memang tidak berat, tapi lama kelamaan menjadi berat, sampai suatu ketika aku merasa sakit di bagian diafragma perutku. Pelajaran lagi untukku supaya tidak memakai ransel, dan tidak perlu membawa kamera DSLR nya kalau bepergian tanpa mobil.

Sampai di Shibuya pukul 11…dan lapar. Hmmm aku tahu dari pamflet itu bahwa di sana dijual makanan ala festival juga sih, tapi daripada makan kecil-kecil yang tidak kenyang dan akhirnya jatuh mahal, kami bertiga “isi bensin” dulu di restoran Tsubame Grill (maaf papa, papa kerja, kami makan enak :D). Resto ini terkenal dengan daging hamburger yang disiram kuah beefstew lalu dibungkus allumunium foil dulu sebelum dipanggang. Resto ini merupakan karem (karena doyan) tempat aku dan Gen berkencan dulu waktu masih pacaran di Yokohama.

Setelah selesai makan siang yang mampu membuat kami bertahan terus sampai malam, kami langsung menuju pemberhentian bus khusus ke NHK Studio Park. Tujuan bus itu memang cuma satu, sayang biayanya cukup mahal, 210 yen untuk dewasa (harga biasa setiap naik bus di Tokyo) dan 50 yen untuk murid SD (harga khusus liburan, kalau hari biasa 110 yen). Semestinya bus itu memberlakukan satu orang 100 saja, pukul rata hehehe. (Ada bus community yang bisa dinaiki dengan membayar 100 yen saja). Tapi untuk masuk ke Festival itu khusus hari itu gratis (biasanya bayar 200 yen untuk dewasa, anak-anak sampai SMA Gratis)

Bus kami berhenti tepat di depan Studio Park yang di pintu depannya dipasang tempat loncat-loncat untuk anak-anak yang berbentuk karakter NHK pendidikan. Kai tentu saja ingin langsung pergi ke situ, tapi aduh deh, baru datang masak udah main ginian. Aku janji bahwa pulangnya akan mampir, tapi kita masuk dulu ke dalam. Kami masuk mengikuti panduan rute yang tertulis, dan melihat pameran kecanggihan NHK, serta studio-studionya. Di antara tempat-tempat itu yang menarik adalah ruangan pembuatan siaran berita. Di situ kami bisa mengetahui bahwa pembaca berita membaca dari TV yang tersedia di hadapannya, serta di samping studio itu ada operation room untuk mengatur penyinaran dan suara. Di sini aku dan Riku duduk sebagai pembaca berita dan difoto oleh Kai. Staff yang melihat bahwa Kai yang mengambil foto sempat ragu, seperti mau menawarkan untuk memotret, tapi dia sempat melihat hasil bidikan Kai yang bagus sehingga tidak jadi. Kai memang sedang sering malas difoto, dan lebih memilih untuk memotret. Aku senang juga bisa memperlihatkan Riku bagaimana berita itu dibuat, meskipun waktu aku berada dalam studio TV kebanyakan untuk diwawancara, bukan membaca berita.

Selain studio siaran berita, ada booth tempat untuk membuat dubbing animation, yang disebut dengan afureko (アフレコ) yang merupakan singkatan dari after recording. Istilah orang film adalah Isi Suara. Nah biasanya yang kutahu (pengalaman) kami tidak perlu berbicara pas persis dengan gerak mulut dari anime yang mau kita isi suaranya, karena itu tugas operator untuk menyesuaikannya. Asalkan masuk bicara sesuai dengan cue (tanda) yang diberikan. Nah di booth itu kami bisa mencoba untuk mengisi suara anime yang ada. Sayangnya Kai belum bisa membaca naskahnya, sehingga aku dan Riku yang mencoba. Tentu Riku belum pernah mengisi suara sehingga tidak tahu harus bagaimana, jadi mendapat kategori “lumayan” (Kalau aku tentu saja kampeki “sempurna”). Ternyata memang beda ya, yang sudah pernah masuk studio dan yang belum pernah.

Kami juga melewati lorong yang memamerkan sejarah NHK sendiir, termasuk barang-barang yang pernah dipakai dalam pembuatan film. Ada maket tentang pembuatan drama sejarah yang menunjukkan detil jumlah staff dan kamera yang dipakai.  Kecuali baju kimono yang tergantung, bagian ini dilewati Riku dan Kai tanpa antusias. Dan mereka gmbira waktu melihat karakter acara semacam chanel “discovery” yang bernama Darwin ga kita (Darwin datang!). Di sini diperkenalkan camera tanker yang bergerak leluasa mengambil setiap sudut dinosaurus, atau camera robot yang dipakai untuk memantau kehidupan di hutan. Jika ada manusianya, pasti binatang-binatang itu tidak mau mendekat, tapi dengan menggunakan robot, binatang akan tetap beraktifitas seperti biasa.

Setelah menyelesaikan rute kunjungan, kami keluar dan sesuai janjiku, aku membiarkan anak-anak bermain loncata-loncatan dalam balon berbentuk maskot NHK yang bernama Domo. Puas bermain, (tentu saja puas mengantri juga hehehe), kami berjalan menuju main stage, dan baru tahu bahwa jadwal kemunculan temannya Riku itu di awal acara, pukul 10 pagi. Ya legowo tidak bisa bertemu dia. Tapi sepanjang jalan anak-anak senang bisa bertemu dengan karakter-karakter dari daerah-daerah. Memang JA (Japan Ageiculture) berpartisipasi dalam acara ini, sehingga kami juga bisa membeli hasil kebun dari daerah-daerah di Jepang. Tapi aku tidak belanja sama sekali, karena berat euy bawanya 😀

Lalu kami melihat ada staff yang membagikan kertas berpita. Loh itu Stamp Rally! Ternyata ada rute khusus juga untuk stamp rally. Kalau kami bisa mengumpulkan cap 4 kata yang tercantum itu, kami bisa mendapatkan hadiah. Stamp rally ini sering dipakai di Jepang untuk “memaksa” orang mengunjungi semua sudut. Juga sering dipakai oleh JR (Japan Railway) dan perusahaan kereta api pada musim panas untuk “memaksa” anak-anak mengenal stasiun-stasiun pada jalur tertentu. Dan ini juga merupakan pemasukan tambahan bagi perusahaan. Karena untuk itu mereka harus membeli buku stamp dan membeli karcis di setiap stasiun. Cara ini kurasa bisa dipakai di Indonesia untuk promosi, daripada membagikan barang begitu saja dan tidak merata. Belajar sambil bermain intinya.

Karena sudah capek dan tidak ada lagi yang bisa dilihat, kami berjalan pulang  ke arah stasiun. Sebetulnya sambil mencari es krim, atau cafe yang bisa dipakai untuk duduk santai. Senang juga menyusuri jalan di Shibuya sambil cuci mata. Sampai kami menemukan Tobacco and Salt Museum yang hari itu gratis masuknya. Tapi kupikir ah buat apa memperlihatkan pada anak-anak, karena pasti lebih mempertunjukkan sejarahnya. Kami akhirnya berhenti duduk di samping toko GAP yang menyediakan tempat duduk dari lego. Kami duduk dan tidak lupa memotret lego yang dipamerkan di situ. Sebetulnya aku ingin belanja baju dalam thermal anak-anak di toko Uniqlo yang berada dekat situ, tapi ternyata di toko itu tidak ada bagian untuk anak-anak.

Akhirnya kami meninggalkan Shibuya dan langsung naik kereta ke Meguro. Aku minta anak-anak menemaniku ke gereja mengikuti misa bahasa Indonesia jam 5, padahal kami sampai di Meguro pukul 4 sore. Kami beristirahat di Baskin 31 sambil makan es krim deh. Ternyata gerai Baskin 31 di Meguro mempunyai areal tempat duduk yang cukup besar (dan sepi) sehingga kami bisa bersantai di situ.

Misa 1 jam terasa lama untuk anak-anak 😀 Karena sudah keluar rumah dari pagi, mereka tertidur dalam misa. Maaf ya Romo 😀 Yang pasti satu hari Sabtu itu melelahkan tapi… Riku mengatakan “Terima kasih ya mama. Hari ini menyenangkan sekali. Bisa jalan sama-sama!”. Hari Minggunya kami di rumah saja sementara papa Gen masih harus ke kantor. Kadang aku kasihan suamiku yang sampai tgl 13 nanti tidak ada liburnya sama sekali (Sabtu Minggu juga masuk). Jangan sakit ya pa.

 

 

Eco Life Check

2 Nov

Judulnya keren ya! Ini adalah suatu usaha dari kelurahanku tempat kutinggal, untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan pemanasan global. Tahun ini mereka memakai cara yang sama dengan dua tahun yang lalu, yaitu meminta 40.000 warga kelurahan kami untuk menjawab angket. Dengan bekerjasama dengan sekolah, setiap murid membawa “Eco Life Check” untuk didiskusikan bersama keluarga dan menjawabnya bersama. Dan Riku membawa lembaran itu sebagai PRnya. Tadi pagi aku tanya apa PRnya, ternyata angket itu. Huh, mestinya jawab sama-sama tuh! Tapi aku cek saja jawabannya dia dan menemukan satu kesalahan, yaitu bahwa mamanya selalu membawa tas belanja sendiri. Ya tentu saja Riku tidak tahu, karena aku selalu pergi belanja sendiri, tidak pernah bersama anak-anak. Tentu saja aku bawa, karena dengan membawa My Bag, kami mendapat potongan 2 yen setiap belanja. Emak-emak gitu loh, kudu dijabanin dong 😀

Dulu waktu aku masih single, aku tidak merasa perlu berhemat. Tidak pernah merasa menyesal jika melewatkan kesempatan-kesempatan diskon, atau dengan sengaja mencari toko-toko yang lebih murah untuk membeli bahan yang sama. Well, sebagai emak-emak aku juga semakin pelit lah. Masakan sisa aku olah lagi supaya menjadi masakan baru dong. Misalnya kemarin dulu ada roti kering yang tidak termakan, aku rendam dengan susu lalu campur daging giling, jadilah perkedel panggang. Tapi sisa, jadi sisa perkedel aku potong-potong sebesar dadu, lalu masukkan makaroni, susu, telor, keju lalu jadi makaroni panggang. Ini pasti habis! hehehe. 

Apa saja yang ditanyakan pada lembar “Eco Life Check” itu?:    O = ya           X =tidak      ( bisa mengurangi….. gram CO2/hari)

1. Sudah mengurangi melihat TV atau bermain game? (17 gram )
2.  Mematikan lampu kamar yang tidak ada orangnya? (19gram)
3. Mencabut steker listrik alat-alat yang lama tidak dipakai? ( 62 gram)
4. Mandi dan berendam berurutan sehingga air panas bisa langsung dipakai  tanpa harus memanaskan lagi? (231gram)
5.  Tidak lupa mematikan keran shower? (82gram)
6. Memilah sampah, dan menggunakan barang yang masih bisa dipakai (recycle)?(47 gram)
7. Tidak menyisakan makanan? (90gram)
8. Tidka membiarkan keran menyala terus waktu menyikat gigi? (26 gram)
9. Waktu berbelanja memakai MyBag, daa tidak memakai plastik kresek? (37 gram)
10. Membawa MyBottle kemana-mana? (56 gram)
11. Waktu pergi ke tempat yang dekat, tidak memakai mobil, tapi berjalan kaki atau bersepeda? (350 gram)
12. Mempunyai waktu untuk  bersama keluarga? (73 gram)

pertanyaan Eco Life Check dari kelurahan kami

PR ini lalu dikumpulkan kepada gurunya, untuk diteruskan ke kelurahan. Menurut selebaran yang kami terima, hasilnya akan dihitung dan dianalisa, kemudian akan dilaporkan sekitar bulan Februari, dan juga dimuat di website kelurahan. Well, memang kalau kita melihat setiap satu usaha yang kita lakukan itu memang kecil gram nya. Tapi kalau ada 40.000 orang mengurangi 10 gram saja, berapa jumlahnya? Besar kan?

Sttt semoga saja kami bisa melaksanakan check list ini setiap hari. Karena hari-hari semakin dingin, maka listrik dan gas yang kami pakai untuk pemanas tentu semakin bertambah. Dan aku senang karena tadi sebelum makan malam, Riku mengecek pemakaian listrik kami, dengan mematikan lampu kamar, lalu kami bertiga berkumpul di meja makan untuk makan malam, dan mengerjakan pekerjaan masing-masing (Kai menggambar dan Riku bermain DS) , dan…. mematikan TV. Ah aku suka sekali suasana seperti ini, yang ntah sampai kapan bisa kami pertahankan.

Panduan Suara

30 Okt

Aduh rasanya sudah lama sekali tidak menulis ya….. Hiatus? No! Tidak ada kata hiatus untukku. Tapi aku pun kadang merasa sulit untuk menulis. Biasanya bukan karena tidak ada ide, tapi belum tuntas untuk mengadakan penelitian tambahan suatu topik yang sedang ditulis, atau macet bagaikan sembelit waktu menulis topik itu, selain dari tidak ada waktu luang yang cukup untuk duduk depan komputer ya. Padahal banyak loh topik lainnya yang bisa ditulis, tapi maunya supaya topik itu tidak “basi”. Ya, aku sedang menulis review film Soegija yang kutonton tgl 20 Oktober lalu, tapi…. ada sesuatu yang mengganjal yaitu memory tentang keluargaku yang cukup sulit untuk diungkapkan dan dirawi menjadi suatu tulisan. Kemudian mulai hari kamis lalu aku mengalami sakit kepala yang cukup berat dan mengganggu sehingga tidak bisa konsentrasi menulis. Parahnya hari Jumat, ketika aku sama sekali tidak bisa tidur saking sakitnya, dan terpaksa menelan p*nstan dari Indonesia. Pun baruu butir ketiga, sakitnya mulai hilang. Tapi seperti biasanya aku tak menemukan waktu untuk pergi ke dokter karena akhir pekan yang sibuk dan tentu saja dokter tutup, kecuali ke UGD. Untuk itu aku merasa belum perlu.

uuugh 6 hari tak menulis? Lamaaa yah 😀

Apa penyebabnya? Aku tidak tahu, tapi prediksiku karena si “rumput babi” ditambah tamu bulanan, ditambah kondisi badan yang memang belum sehat seperti sediakala sesembuhnya radang tenggorokan kemarin. (Eh obatnya tentu aku minum sampai habis loh) . Hari ini tidak sakit kepala meskipun masih merasa badannya tidak enak seperti masuk angin. Ah suhu udara juga naik turun, plinplan dan perlu perhitungan yang masak waktu memilih baju. Seperti kemarin, sebelum berangkat kerja malam bersama anak-anak, kami merasa baju yang kami pakai sudah cukup hangat, tapi ternyata waktu pulangnya, tidak cukup dan cukup membuat kami menggigil. Sinar bulan purnama di atas langitku belum sanggup menghangatkan badan yang menggigil terkena embusan angin malam.

Bulan bulat bundar kemarin malam tampak di atas gerbang Sekolah RI Tokyo

Nah begitu mau coba menulis dengan topik lain, datang kerjaan dan sepertinya butuh konsentrasi tinggi untuk beberapa hari mendatang. Lagipula karena suhu semakin menurun, aku harus mengeluarkan semua baju-baju hangat yang belum sempat aku lakukan di akhir pekan. Koromogae. Dan you know, memasukkan dan mengeluarkan baju-baju itu untukku perlu energi ekstra, karena aku pasti melakukannya sambil bersin-bersin! Meskipun sudah pakai masker hehehe. Susah deh kalau jadi orang alergian 🙂

Duuuuh padahal banyak sekali loh yang mau aku tulis, dan bertumpuk di sudut pikiranku ini. Karena itu, maaf, Soegija aku pending dulu, aku tulis dulu yang mudah dan tidak butuh waktu banyak ya. (Prolognya panjang benar nih… maaf ya hehehe)

Panduan Suara, bukan paduan suara! Panduan, bantuan, bimbingan yang dilakukan berupa suara. Pernah dengar tidak ya di Indonesia? Aku jarang jalan-jalan sih di Indonesia sehingga jarang kudengar. Begini, misalnya kemarin waktu aku di stasiun (Musashi Sakai Sta) dan bermaksud untuk ke WC, terdengar panduan suara, “WC Wanita berada di pojok dalam sebelah kiri, dan WC Pria di depannya….” something like that deh. Tentu saja suara ini dari kaset, suara wanita. Sehingga orang yang mendengar langsung tahu harus kemana, tanpa melihat panduan tulisan yang ada. (Bagaimanapun juga panduan suara yang kuingat terus sampai sekarang adalah suara announcement di toko Matahari Blok M Jakarta dulu sekali tahun 1980-an dengan suara khasnya :D)

Panduan suara ini amat sangat berguna bagi mereka yang mempunyai masalah penglihatan. Cukup dengan mendengar, para tunanetra bisa menentukan langkah mereka dan tahu mereka berada di mana. Tentu saja selain Huruf Titik (Braille) yang tertulis di tempat-tempat strategis. Bahkan aku sampai dengan menulis topik ini masih belum sadar bahwa suara “Migi ni magarimasu (Belok kanan)” atau “Back shimasu (Mundur)” yang terdengar di truk-truk besar itu untuk apa. Ternyata bantuan bagi mereka yang tidak tahu kehadiran mobil besar di sekitar mereka (termasuk anak-anak). Ah, ini juga bisa dikategorikan dengan panduan suara! Hakken (penemuan).

Tombol panduan suara yang ada sebelum penyeberangan untuk membantu para tuna netra menyeberang

Selembar foto ini yang menjadi awal topik tulisan hari ini. Yaitu tombol merah yang ada di tiang di depan penyeberangan di jalan, dengan tulisan “Tombol Panduan Suara”. Di atas tombol merah itu juga ada huruf titiknya bagi tuna netra. Mereka yang memerlukannya dapat menekan tombol ini, dan akan ada suara yang memberitahukan bahwa sudah aman untuk menyeberang, atau sebentar lagi akan berubah merah. Suaranya macam-macam, ada yang berupa kalimat pemberitahuan langsung, atau lagu yang berbeda di setiap prefektur di Jepang. Waktu aku mencari informasi tentang alat ini, ternyata berdasarkan data th 200, di seluruh Jepang terdapat 14200 alat (1450 alat dengan lagu, dan sisanya 12750 unit dengan kata-kata atau suara saja). Selain itu ada dua jenis alat, yaitu yang otomatis akan memandu suara tanpa ditekan, serta yang perlu ditekan dulu sebelum menyeberang. Rupanya jenis yang ditekan dulu itu ‘terpaksa’ dipasang karena panduan suara ini cukup keras sehingga mengganggu warga yang tinggal di sekitarnya. Well, susah memang memakai suatu inovasi baru yang bisa memuaskan semua pihak, meskipun bukan berarti tidak bisa. Dengan sedikit perubahan (pemasangan) tombol, semua keinginan bisa diakomodasikan.

Alat-alat ini terutama dipasang pada jalanan padat dan ramai, serta di dekat fasilitas-fasilitas yang banyak dikunjungi penyandang tuna netra. Pantas aku sering dengar di dekat rumahku, karena ada sekolah luar biasa (SLB) dekat rumahku.

Di bagian atas yang putih ada tulisan braillenya. Foto dari wikipedia

Sumber informasi dari wikipedia Jepang

Semoga dengan tulisan ini ‘sembelit menulis’ku mulai terurai sedikit demi sedikit 😀

 

Radang

23 Okt

Entah kenapa aku kalau mendengar kata “radang” itu biasanya langsung ingat puisinya Chairil Anwar, yang AKU itu loh. Dalam penggalan puisi itu kan ada …. “Biar peluru menembus kulitku  Aku tetap meradang menerjang”. Dan memang kalau memeriksa KBBI ada dua arti pada kata ‘meradang’ ini, yaitu yang artinya  (a) marah sekali; geram; jengkel sekali: dan yang artinya (n) penyakit kerusakan jaringan tubuh yg ditandai oleh demam dan pembengkakan (jika sudah lanjut disertai keluar getah bening, darah, nanah):

Aku sendiri sebenarnya sejak hari Minggu tgl 14 Oktober itu sudah mulai merasa tidak enak lehernya. Tapi masih pergi ke gereja dan membantu kegiatan bazaar di gereja. Aku termasuk dalam kelompok ibu-ibu yang anaknya ikut sekolah minggu, dan mereka membuat bermacam-macam barang dan makanan yang dijual di bazaar yang akan diselenggarakan tgl 21 itu. Tentu saja dengan harga murah, dan barangnya kebanyakan pemberian dari umat juga. Aku diserahkan tugas menyediakan marshmallow yang dilapis coklat cair dan diberi topping hiasan. Tapi selain itu aku juga ikut membantu membuat gantungan kunci berbentuk hamburger dari kain, juga hiasan natal. Hebat euy ibu-ibu di sini, selain jual barang jadi, mereka selalu berusaha menjual kerajinan tangan, tapi yang dikerjakan bersama-sama. Kayaknya di Indonesia jarang deh seperti ini, kalaupun ada yang menjual kerajinan tangan, pasti buatannya sendiri. Jadi yang penting itu justru proses pembuatannya, sehingga kami juga bisa akrab satu sama lain.

Setelah Selasa dan Rabu aku keluar rumah hanya untuk antar jemput dan menemani Kai bermain saja di TK, hari Kamisnya aku harus mengajar dan juga menjadi penerjemah dalam acara kelompok teh yang mengadakan pertemuan di KBRI. Jadi otomatis seharian dari pagi sampai sore aku di luar rumah. Pulang ke rumah masih sempat masak, lalu tepar, minum obat flu dan tidur terus sampai pagi. Jumat paling parah, karena aku harus bicara terus dua jam pelajaran dan rupanya kondisi badanku bertambah buruk. Ada satu saat suaraku hilang…… duh… Lalu salah seorang mahasiswiku yang bernama Rina san, berkata, “Sensei hati-hati loh. Kakak saya juga terkena radang tenggorokan begitu dan sekarang sedang dirawat di RS selama 4 hari. Infus dan antibiotika itu penting. Kabarnya memang sedang mewabah sekarang. lebih baik ke dokter deh….”

Tapi aku sampai di rumah sudah jam 6 sore, dan dokter THT dekat rumahku sudah tutup. Salah satu kesempatan untuk ke dokter hanyalah  hari sabtu pagi sebelum keluar rumah. Hari Sabtu itu acaraku padat sekali. Karena aku harus bantu bazaar jam 1 siang dan menonton film “Soegija” malam harinya, aku minta tolong ibu mertuaku untuk menjaga anak-anak. Jadi aku harus mengantar anak-anak sampai ke Shibuya, karena Shibuya merupakan tempat tengah-tengah antara rumahku dan rumah ibu mertua. Tadinya aku janji bertemu jam 10 pagi, padahal dokter THT mulai pukul 9 pagi. Waktu aku telepon, ibu mertuaku bilang, tentu saja lebih baik ke dokter dulu, kita bertemu pukul 12 siang saja.

Jadi aku bersepeda ke dokter THT itu jam 8:30 karena kliniknya mulai jam 9. Kupikir biar aku menjadi pasien pertama deh. Ealah, waktu aku sampai pukul 8:35 ternyata sudah ada 3 pasien sebelum aku. Jadi aku nomor 4. Semoga cepat deh.

Dan memang ternyata cepat sekali giliranku datang. Sekali panggil, 3 orang bersamaan tunggu di ruang tunggu dokter, jadi cepat prosesnya. Pikir punya pikir, memang dokter THT tidak harus memeriksa dada yang mewajibkan buka baju, jadi ada pasien lain di situ pun tidak apa-apa. Tapi memang dokter Ishikawa ini bekerja cepat sekali dan terlihat sekali keahliannya. Begitu dipanggil aku duduk di kursi seperti kursi pasien dokter gigi. Ternyata radang tenggorokanku cukup dalam, di sekitar pita suara sehingga harus pakai semacam kamera kecil untuk melihatnya, dan itu terekam di tv kecil samping kursi, sehingga kita bisa melihat kondisi tenggorokan kita. Memang bengkak. Dan sebagai langkah pertama oleh dokter dia “mensterilkan” tenggorokan.  Entah apa saja yang dia semprotkan dan oleskan di tenggorokanku, aku sampai tidak sadar saking cepatnya, dan tentu sambil berusaha tidak muntah. Sungguh tidak enak kan jika ada sesuatu yang mengorek-ngorek pangkal lidahmu.

Selesai sterilisasi, aku harus mengisap uap obat dua jenis untuk hidung dan tenggorokan yang keluar dari alat yang terdapat di semacam wastafel panjang. Hebat deh alatnya sepertinya memang sudah berisi obat tinggal diatur waktu penguapannya saja, dan kita tinggal mencopot masker plastik dari selangnya setelah selesai, sehingga orang lain bisa pakai di alat yang sama. Bisa 3 pasien sekaligus mengisap dari nebulizer ini. Setelah selesai penguapan, aku masih harus menunggu obat yang tidak tanggung-tanggung, ada 10 obat termasuk obat minum, kumur, tetes dan isap. Buanyak rek!

Tapi obatnya benar-benar mantap. Setelah dua kali aku minum yaitu  pukul 10 pagi dan pukul 4 siang, suara sudah biasa juga tidak terasa sakit lagi waktu menelan. Sehingga kerja persiapan bazaar bisa dilaksanakan dengan baik, sambil aku minta ijin tidak ikut acara bazzar pada hari minggunya karena harus menginap di Yokohama. Dan aku masih bisa mengikuti misa (nyanyi sedikit) dan tentu saja menonton film Soegija di Roppongi yang dimulai pukul 8 malam. Cerita tentang Soegijanya sesudah ini ya.

Yang pasti ternyata ada kalanya obat flu biasa tidak bisa menyembuhkan tenggorokan yang sakit. Perlu minum antibiotika dan di Jepang antibiotika tidak dijual bebas, jadi harus ke dokter. Dan jangan ke dokter umum/internis biasa, lebih baik langsung ke dokter THT (jibika 耳鼻科) karena mereka lebih mantap memberikan obat dan penangannya. Ngeri juga sih waktu aku diberikan kertas “peringatan dan pencegahan” dari dokternya :

Sakit ini diakibatkan pemakaian suara yang berlebihan. Jangan berbicara dengan suara keras atau berusaha berbicara dalam suasana yang ribut seperti dalam kereta dsb. Juga tidak boleh berteriak dari jauh. Jika memakai suara yang berlebihan, setelah itu tidak bisa lagi berbicara dengan suara keras atau tinggi, juga tidak bisa bernyanyi seperti biasanya.

Untuk itu jangan makan/minum yang dingin, panas, atau pedas. Untuk sementara hentikan merokok dan minum alkohol. Istirahat yang cukup dan jangan stress, serta sesuaikan pemakaian AC dan heater secukupnya (tidak boleh terlalu dingin/panas). Untuk pengobatan pakai pbat kumur/isap serta penguapan.

Dan tentu saja aku berusaha menaatinya. Karena pekerjaanku pasti pakai suara. Tanpa suara aku tak bisa bekerja!

Kotor

17 Okt

Dua hari ini aku tepar! Akibat leher yang terganggu amat sangat, aku harus memaksakan diri untuk minum obat teratur dan tidur, setiap ada kesempatan. Hari Senin terpaksa aku memboloskan Kai, tapi aku tidak bisa tidur siang karena harus mengambil mobil yang dibawa Gen ke tempat kerjanya. Untung waktu itu kondisiku tidak seberapa parah. Bisa tanpa obat, sehingga bisa menyetir ke mana-mana, sampai malam. Tapi hari Selasa, terasa sekali aku harus tidur. Jadi setelah mengantar Kai ke TK, aku langsung tutup jendela, minum obat, pasang alarm sampai waktunya jemput Kai (13:45) dan tidur… Enak sekali rasanya tidur dengan tenang, tanpa ada gangguan apa-apa. Memang cuma 3 jam tapi cukup lah. Demikian pula hari ini aku sempat tidur siang dan masa bodoh dengan rumah yang berantakan.

Tapi ya begitu, waktu aku jemput Kai, aku harus sabar melihat dia. Karena Selasa dan Rabu itu lumayan cerah, Kai minta untuk diperbolehkan main di halaman TK nya. Dan biasanya aku perbolehkan, karena memang aku toh tidak perlu cepat-cepat pulang. Selain itu Kai perlu menghabiskan energinya di lapangan supaya tidak ‘meledak’ di rumah 😀 Biasanya dia langsung pergi ke permainan ‘Kubah’ untuk memanjat. Dia sudah menemukan cara yang jitu untuk memanjat, meskipun tidak ada tali tambang yang bisa dipakai. Suatu waktu aku yang mengajarkan dia, bahwa dia harus menggulung celana panjangnya, sehingga tidak licin waktu memanjat dan menjadi penahan badannya waktu memanjat. Jadi sejak itu dia merasa sebagai ‘jagoan’ berhasil naik tanpa tali.

Permainan di TK Kai

Setelah ‘Kubah’ dia biasanya lari ke perosotan pendek berbentuk gajah, lalu ntah lari ke mana lagi. Yang lucu waktu aku lihat dia tiba-tiba berada di sebelah teman sekelasnya, sebut saja X kun yang sepatu, baju dan topinya sudah berdebu kotor sekali. Seperti dia bergulingan di pasir saja. Tapi, (mungkin) di mata Kai, dia itu ‘jagoan’. Jadi Kai mengejar kemana saja X kun itu bermain. Hmmmm Kai memang agak sulit bergaul, tidak seperti Riku yang bisa bermain dengan siapa saja. Tapi baru kali ini aku menyaksikan bahwa dia sudah memilih teman! Sampai waktu aku ajak pulang, dia masih tetap mau bermain dengan X kun. Memang pihak sekolah memperbolehkan anak-anak bermain di lapangan TK selama 30 menit setelah jam TK selesai (jadi boleh sampai jam 2:30). Jadi aku mengalah dan memperbolehkan dia bermain terus sampai waktunya. Dan… dia mencari-cari di mana si X kun itu. Rupanya si X kun itu naik mobil jemputan, sehingga sudah pulang. Dengan kecewa, Kai bermain sendiri, naik perosotan yang tingginya 2 meter, rangka besi pesawat terbang untuk memanjat, dan palang besi yang tersedia di lapangan sekolah.

Di lapangan TK Kai ada 7 jenis mainan yang besar untuk dipakai bersama. Tapi ada 1 jenis mainan yang sejak awal aku menyekolahkan anak-anak di sini itu tidak pernah dalam kondisi ‘bisa dipakai’. Mainan itu adalah Ayunan. Sebetulnya ada 3 tempat ayunan, tapi tanpa tali dan tempat duduknya. Dulu mungkin anak-anak bisa bermain, tapi entah sejak kapan ayunan itu ditiadakan. Tapi memang aku jarang menemukan ayunan tersedia di taman-taman di sekitar rumahku. Rupanya ayunan, sudah dianggap “BERBAHAYA” untuk anak-anak. Memang aku juga sering merasa takut jika melihat anak bermain ayunan, terutama anak-anak tanggung yang bermain sambil berdiri, dan dengan didorong temannya dari belakang.

Pihak TK memang membolehkan anak-anak bermain selama 30 menit setelah waktu TK selesai, TAPI harus diawasi orang tuanya masing-masing. Pihak TK tidak bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan pada anak-anak waktu bermain ini. Karena meskipun permainan-permainan yang tersedia diperiksa berkala keamanannya untuk dipakai anak-anak, Tetap saja anak-anak tidak bisa mengukur apakah perbuatannya aman atau tidak. Seperti aku pernah komentar di postingan mas NH tentang “Jungkat-Jungkit“, tentang kecelakaan yang terjadi pada mainan di taman sehingga masuk TV.

Semua alat mainan di taman-taman Jepang pasti dimonitor/diperiksa berkala oleh pemda, karena kadang timbul korban. Semisal perosotan di bagian pinggirnya ada besi yang mencuat, sehingga waktu ada anak yang merosot turun sambil berpegangan, kena besi itu, dan… putus jarinya. Atau semacam besi (jungle jim) berputar, ada anak yang kejepit jarinya hingga putus, dsb. Oleh karena itu biasanya di taman-taman, ada papan peringatan supaya ibu-ibu memperhatikan anaknya yang sedang bermain supaya tidak terjadi kecelakaan, atau melaporkan jika terlihat sesuatu yang kurang beres.

Jungkat-jungkit memang tidak ada di halaman TK dan hampir di semua taman sekitar rumah kami. Tapi ada satu wahana permainan yang biasanya ada di taman-taman Jepang, tapi aku jarang/tidak pernah melihatnya di Indonesia. Yaitu BAK PASIR. Dengan bak pasir ini, memang anak-anak akan kotor, tapi banyak sekali bentuk yang bisa dibuat di sini sehingga daya kreatifitas anak-anak bisa dikembangkan. Yah, dua hari ini setiap pulang dari TK, aku harus mencuci baju seragam TK nya dan menyuruh Kai mandi! Dan tahu apa yang dia bilang tadi?

Bermain pasir dengan X kun

“Mama, maaf ya mama musti cuci baju Kai”
“Ngga papa Kai. Mama senang kamu main, kotor pun tidak apa-apa. ASAL KAMU CUCI TANGAN DI TK, DAN WAKTU PULANG GANTI BAJU DAN MANDI. Kalau tidak…. nanti ada ulat masuk ke badan kamu bagaimana?”
“Iya ma…”

Kotor itu SEHAT! betul ngga? 😀

Lihat betapa kotornya si KAI (5th)