Jangan paksakan diri demi aku

22 Jun

terjemahan dari bahasa Jepang, “Boku no tameni muri shinaide ne”

Sabtu malam, papa Gen pulang ke rumah sekitar jam 8 malam. Kebetulan anak-anak belum makan, dan pas baru akan makan. Waktu aku  mempersiapkan makanan, Gen bilang padaku, “Sorry sayang, besok (minggu) aku harus kerja”. What?
Aku juga agak kecewa, karena kebayang capeknya melewati hari minggu bertiga lagi. Tapi apa boleh buat, kalau memang kerjaannya belum selesai abis bagaimana. Jadi aku bilang pada Riku, “Riku besok papa kerja, jadi kasih itunya sekarang saja”.

Riku sudah membuat gambar dan “convinience tools” untuk papanya, kado di Hari Ayah. Karena aku bilang kasih sekarang saja (semestinya besok), kemudian dia berikan pada papanya. Terima kasih bla bla bla….. ok… dinner time.

Salah satu gambarnya Riku ; “Riku with Papa”

Tapi waktu kami akan mulai makan, Riku bertanya sekali lagi,
“Besok papa kerja?”
“Iya, maaf ya Riku….”
“Ya sudah, besok Riku, Kai dan mama pergi jalan-jalan yuuuk”, aku berusaha menghibur.
Tapi aku lihat warna mukanya berubah. Gen tidak perhatikan, karena dia duduknya menyamping. Aku tahu, Riku akan menangis, jadi aku langsung menghampiri dia, memeluk dia dan berkata,
“Riku, papa juga ngga mau pergi kerja, tapi kalau pekerjaannya belum selesai gimana”
Meledaklah tangis Riku, dan Gen terkejut. Tidak menyangka. Langsung Gen bilang,
“OK Riku, besok papa libur!!! Yosh… kimeta (saya putuskan) tidak ke kantor”
Gantian Gen memeluk Riku, dan terucaplah kalimat di atas,
“Papa jangan paksakan diri libur hanya untuk Riku!”
sebuah ungkapan yang sering dipakai orang Jepang yang sebetulnya berusaha untuk menyatakan bahwa dirinya tidak apa-apa. ….. Tapi biasanya dipakai oleh orang dewasa tentunya. Aku juga heran sampai Riku yang baru 6 tahun bisa berkata begitu. Kasihan, dia terlalu cepat menjadi dewasa pemikiran….

Sambil menahan haru, Gen bilang,
“Kamu bilang apa? Bagi papa, Riku lebih penting dari kerja. Besok kita pergi sama-sama ya”
Kami bertiga menghapus airmata dan berdoa makan…. cuma kai saja yang tertawa melihat kami…..

Hari Minggu Hari Ayah! Masak seorang Ayah harus bekerja di hari itu? Sama saja seorang buruh bekerja di Hari Buruh… dan itu sering terjadi di keluarga Jepang pada umumnya, dan keluarga Miyashita pada khususnya. Bukan karena suka kerja, workholic, tapi karena terpaksa. Sambil merenungi kejadian Sabtu malam itu, aku berpikir. Dulu papaku juga tidak pernah ambil cuti. Tapi anak-anaknya tidak ada yang protes atau berkata seperti Riku, jadi ya begitu saja terus. Kami jarang sekali bepergian/piknik bersama. Jadi teringat sebuah iklan mobil di TV Jepang, “Mono yori omoide” (Daripada barang lebih baik kenangan).

Berkat Riku, hari Minggu kami lewati dengan penuh kegembiraan, meskipun hari hujan dari pagi hari. Aku terbangun jam 6 pagi, padahal baru tidur jam 3 pagi. Tapi Riku juga bangun jam 6, dan tak lama Kai bangun juga. Jam 8 semua sudah berkumpul di kamar tamu. Jadi, hari ini mau ke mana?

Dan sekali lagi Riku berperan, “Aku mau ke yokohama, ke tempat A-chan (ibunya Gen) dan Ta-chan (bapaknya Gen)”. Ya, sekaligus deh merayakan Hari Ayah bersama Ketua Clan Miyashita.

Jam 9 pagi kami sudah di jalan raya di bawah rintik hujan, dan… lapar. Lalu aku bilang pada Gen, bahwa mulai kemarin di Mac D hadiahnya karakter Pokemon. Dan ini pasti cepat habis. Jadi akhirnya kami mampir ke Mac D, dan saya juga pesan Happy Set + untuk anak-anak, supaya bisa dapat mainan pokemonnya 3 buah. Dan Kai, langsung berseri-seri melihat mainan pokemon, “Pipa…pipa…” rupanya dia mau bilang Pika (pikachu).
Ternyata tidak perlu makanan mewah dan mainan mahal untuk menggembirakan satu keluarga (Yang pasti Gen dan aku ikut gembira karena rasa lapar terobati. Paling tidak enak menyetir dalam keadaan lapar).

bermain bersama Ta-chan

Setelah selesai sarapan, kami bergerak menuju Yokohama dalam hujan yang menderas, dan jalanan yang mulai padat dan macet. Hampir satu bulan lebih kami tidak saling bertemu, dan ternyata banyak berita keluarga yang tidak sempat kami ketahui. Yang sakit, yang cuti, yang menderita…. Nampaknya tahun ini akan menjadi tahun yang sulit juga bagi keluarga kami. Menghitung hari-hari tersisa dalam kehidupan.

Biasanya kami pulang larut malam, tapi karena sudah lama juga tidak bertemu adikku Tina, jadi kami mampir dulu ke apartemennya. Ternyata dia sendiri, Kiyoko temannya sedang pergi ke rumah orangtuanya. Jadilah kami ajak dia makan malam bersama di restoran Taiwan. Yang saya merasa menyesal saat itu, kenapa tidak minta Tina untuk memotret kami berempat! Baru ingatnya setelah jalan pulang.

Well, week end is over, and back to reality.

Goro-goro

20 Jun

Goro-goro dalam bahasa Jepang lain artinya dengan goro-goro bahasa Jawa, atau gara-gara bahasa Indonesia. Padahal dalam bahasa Jepang ada juga dipakai kedua kata ini. Jika gara-gara dalam bahasa Jepang berarti sedikit orang (あの店はがらがらです。 Toko itu kosong/tidak ada pengunjung) , maka goro-goro artinya bermalas-malasan. Keadaan masih berada di tempat tidur meskipun sudah bangun. Santai-santai berbaring.

Hari Selasa dan Rabu lalu, Riku sepulang sekolah tidak ke mana-mana. Tadinya dia sempat membuat janji bertemu dengan Aska san, bertemu di taman depan sekolah naik sepeda. Nah, karena dia janjian dengan mengendarai sepeda, maka aku tidak ijinkan. Lha meskipun Riku sudah bisa naik sepeda, dia masih belum begitu mahir untuk dibiarkan sendiri, tanpa pengawasan orang tua. Apalagi kalau dia dengan Aska nanti lalu pergi ke rumah temannya yang lain. Aska pasti belum tentu bisa menolong Riku jika terjadi apa-apa. Dan Riku menurut, dan minta aku teleponkan ibunya Aska, untuk membatalkan janji.

“Tapi Riku boleh pergi loh, kalau mau main, tanpa sepeda”
“Enggak ah, aku mau sama mama aja!”

duh, aneh deh anak ini, disuruh pergi main ke luar ngga mau. Dia ngga bisa pergi sendirian dan tanpa tujuan sepertinya. Persis mamanya!

“OK, tapi jangan ganggu mama ya. Mama mau bobo siang. capek!”
“Aku juga mau bobo sama mama…..”

dan dia mau ikut nyempil di sofa bed di studio kerjaku… doooh mana bisa gajah dan anaknya berdua menempati tempat tidur single. Akhirnya kita pindah ke kamar tidur dengan tempat tidur yang luas…. Tutup tirai, peluk guling aku membelakangi Riku.

“Mama, Ebi (udang) itu mirip AB bahasa Inggris ya?”
“Iya Riku… pintar! memang mirip.”

Dari belakang punggung aku, dia peluk aku…. lalu aku bilang,
“Wah mama senang deh TV nya rusak. Jadi kita bisa ngobrol, goro-goro, dara-dara (santai) begini ya.”
“Iya Riku juga senang. TV emang jelek ya….”

diam lagi, dan aku mulai hampir tertidur, waktu dia bertanya,
“Mama, kenapa sih mama menikah dengan papa?” (nah loh kenapa dia tanya sih hihihi)
“Ya, karena mama dan papa saling cinta”
“Mama ketemu papa di SMP?”
“Ngga Riku, mama ketemu papa di Daigakuin (Pasca sarjana).”
“Daigaku…”
“Gini Riku, Riku TK 2 tahun kan, sesudah itu masuk SD 6 tahun, sesudah SD itu SMP 3 tahun, lalu SMA 3 tahun. Lulus SMA masuk Daigaku, 4-5 tahun, baru masuk Daigakuin 2 tahun untuk Master dan untuk Hakase (Doktoral… Riku tahu kata hakase) tidak terbatas berapa tahun. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Mama belum Hakase, baru Master. Mama ingin juga belajar jadi Hakase.”
“Mama udah hakase kok, kan mama tahu semua…” (Oh my God Riku…..hiks)

Akhirnya aku tidak ngantuk lagi, malah jadinya ingin ngobrol dengan putra sulungku ini. Kupikir kapan lagi bisa peluk-peluk dia, sambil ngobrol gini. Sebentar lagi kelas 5-6 mana mau dia tidur sama mamanya dan kesempatan seperti ini tidak akan terulang.

“Riku senang belajar di SD?”
“Senang”

“Mama…mama kan guru ya? Guru SD atau SMP?”
“Bukan Riku, mama guru daigaku, universitas… Mama ngga bisa ngajar anak-anak kecil. Ngga sabaran! Makanya mama hormat pada Chiaki Sensei, dan guru-guru TK, SD yang bisa ngajar anak-anak”
“Kenapa? Oh aku tahu… anak-anak nakal ya…. ”
“Hmmm ya ada yang nakal. Tapi gini, anak-anak itu seperti hakushi. haku itu putih, shi itu kami (kertas). Anak-anak itu seperti kertas yang kosong, belum digambari. Kertas itu kan kalo digambari anak TK, ya hasilnya seperti gambar anak TK, Kalau Riku yang gambar, ya seperti anak SD. Tapi kalau yang gambar orang yang pintar, berpendidikan dan berpengalaman, pasti gambarnya bagus kan? Jadi Susah untuk menggambari hakushi itu supaya gambarnya bagus. ”
” ngerti…. Makanya Mama suka Chiaki sensei….”
“Ya mama suka sama semua guru”
“Riku juga kalau besar mau jadi guru. Guru Olahraga.” (Dalam hati aku ketawa, oi ndut…kurusin dulu)

“Kalau mau jadi guru olah raga, Riku musti suka semua olah raga. Dan harus suka lari.”
“Hmm lari ya… kalo gitu aku mau jadi guru kokugo 国語(bahasa jepang) aja deh”
“Nah papa tuh pintar kokugonya, om Taku juga …makanya om Taku jadi wartawan kan?  Dan untuk itu, Riku mazu まずharus bisa baca dan menulis. Makanya banyak latihan baca dan menulis ya.”
“Iya”

“Mama, mama namanya keluarganya siapa. ”
“Imelda Coutrier. Riku?”
“Riku Coutrier. ”
“Loh bukan… Riku Miyashita”
“Ahhh aku ngga mau Riku Miyashita”
“Tapi papa Riku namanya siapa?”
“Gen Miyashita”
“Makanya, Riku namanya Riku Miyashita. Bukan Riku Coutrier.”
“Dharma (sepupunya di jkt) namanya siapa? Dharma Coutrier?”
“Bukan, namanya Dharma Dewanto, karena om Chris namanya Chris Dewanto”
Lama lama dia mulai ngerti “aturan mainnya”.
“Jadi anak-anak semua ikut nama papanya?”
“Bingo… betul Riku, semua ikut nama papa. Itu karena patriarchal , Fukei shakai 父系社会.  Ada sih beberapa suku dan negara yang bisa ikut nama ibu, matriarchal bokei shakai 母系社会. Tapi kebanyakan semua ikut nama bapak. ( waktu aku baca tulisan Uda Vison tentang padusi, aku jadi teringat juga bahwa aku pernah menceritakan hal ini pada Riku)

“Tapi Riku mau ikut nama mama. Kan bagus Riku Coutrier, sama dengan opa”
“(Sambil senyum-senyum aku ingin bilang… bagus dong) Kasihan papa loh. A-chan juga kasihan. Gini aja deh. Kalau di Jepang Riku Miyashita, kalau di Jakarta Riku Coutrier… setuju?”
“Asyikkkk….”

Ini adalah sekilas hasil pembicaraan waktu kami goro-goro hari Selasa dan Rabu lalu. Masih banyak percakapan nonsense, misalnya dalam satu hari berapa ikan yang ditangkap ya? (pattern “satu hari berapa banyak” , dan ini cukup membuat kesal aku … sampai kadang aku bilang oi aku bukan nelayan, ngga tau….) Tapi juga pernyataan dia bahwa dia sudah punya bulu ketek, wakige 腋毛 (padahal bukan bulsket, hanya kotoran dari baju). Aduuuh Riku, kalau kamu udah punya bulsket berarti udah mulai ada kumis, sayang….. dan mama ngga mau kamu secepat itu menjadi besar. yukkuri de ne (pelan-pelan aja).

Waktu aku cerita tentang “goro-goro” ini ke Gen, dia bilang… wah mama sama Riku rabu-rabu (love-love… mesra). Rupanya dia ngiri tuh.  Ntah dia ngiri ke aku, karena aku ada waktu untuk bercengkerama dengan Riku, atau ngiri sama Riku, karena bisa rabu-rabu sama mamanya hahahaha.

So…mari kita goro-goro jangan cari gara-gara dengan orang yang kita sayangi, sebagai suatu cara untuk mendekatkan hubungan.

** Saya pasangkan video clip tentang Riku membacakan buku Picture Book berjudul “Kashite yo… Pinjamkan dong!” pada Kai. Selamat menikmati.***


Ramah Tamah

19 Jun

Dalam bahasa Jepang ada beberapa kata yang merefer ke pertemuan ramah-tamah yang bertujuan untuk lebih mengakrabkan anggota suatu organisasi atau perkumpulan. Yang biasa dipakai adalah Konshinkai, こんしんかい  懇親会. Misal sesudah acara formal seminar atau diskusi, diberi alokasi waktu untuk minum kopi dan bercakap-cakap, atau lebih khusus lagi dengan membuat acara jamuan makan malam. Kata ini sering aku pakai dalam kegiatan menjadi MC di Kedutaan atau di Universitas.

Tapi sejak Riku masuk TK, aku baru bertemu dengan kata Shinbokukai しんぼくかい 親睦会. Rupanya meskipun artinya sama, kata konshinkai yang di atas masih berkesan “kaku” dan untuk suatu struktur organisasi yang sudah jelas. Sedangkan shinbokukai itu lebih “merakyat” dan bisa dipakai untuk pertemuan-pertemuan yang “lebih akrab” tidak formal  seperti keluarga besar misalnya. Dan hari Rabu tgl 17 Juni yang lalu, aku mengikuti Shinbokukai dari kelas 1-2, kelasnya Riku.

Rabu pagi, aku terlambat pergi ke sekolahnya Riku, untuk acara pertemuan murid shinbokukai. Sebetulnya mau dibilang terlambat juga tidak, karena acara mulai jam 9:30. Tapi karena aku pengurus, seharusnya datang 30 menit lebih cepat, yaitu jam 9. Dan aku terlambat 10 menit gara-gara tidak menemukan “Kartu pass masuk ke dalam sekolah”. Setiap orangtua murid yang masuk ke dalam lingkungan sekolah, harus memakai kartu pass masuk demi keamanan sekolah. Nah, selasanya  aku masih pakai kartu itu untuk rapat PTA dan melanjutkan membuat ebi (origami) dan magnet dari nendo sampai jam 2 siang. Tapi lupa setelah pulang taruh di mana. Karena begitu sampai rumah, aku terkapar di tempat tidur! Benar-benar capek.

Akhirnya daripada terlambat banyak aku sambar saja kartu pass milik Gen, dan … aku pakai terbalik  supaya tidak terbaca namanya, tapi dari jauh tetap terlihat pakai kartu pass…. hihihi (jangan ditiru). Dan dengan terpaksa aku mendorong sepeda masuk ke dalam lingkungan sekolah (sebetulnya dilarang datang dengan sepeda kalau tidak terpaksa banget). Abis, aku bawa banyak barang, yaitu kue konsumsi untuk 30 orang, dan peralatan lainnya.

Hari Rabu itu adalah hari pertemuan orangtua murid kelasnya Riku yang bertajuk shinbokukai, “ramah tamah”. Dan di dalam ramah-tamah itu, aku dan dua pengurus PTA yang menjadi pemimpin dalam kelas. Kami menyampaikan pesan-pesan dari sekolah, dan menampung keluhan atau pertanyaan dari teman-teman orang tua murid yang lain. Selain itu kami juga sebetulnya yang menjadi penentu untuk “keakraban antar orangtua”. Jika akrab, maka nanti-nantinya akan mudah untuk menggerakkan orang tua, minta tolong ini-itu, dan tentu saja mudah mendapatkan macam-macam informasi tentang pembelajaran anak-anak kita sendiri di sekolah. (Selain tentunya gosip ini-itu hehhehe, maklum lah wanita suka gosip kan?)

Nah, seperti biasa aku tidak pernah memakai “bahasa sopan” dalam pertemuan seperti ini. Boleh dibilang, aku menghindari “pembuatan jarak” dengan pemilihan pemakaian bahasa. Bukan karena aku tidak bisa bahasa sopan, tapi dengan menunjukkan “kebodohan berbahasa” (mumpung orang asing)  aku berharap mereka dapat menerima dan membiasakan untuk saling akrab. Toh ini bukan forum resmi. (Tentu saja untuk penyampaian informasi yang formal, aku masih memakai bahasa sopan. Karena seperti bahasa Jawa, bahasa Jepang mempunyai 3 tingkatan bahasa, sopan, biasa dan kasar)

Dan akhirnya semua mulai akrab dengan memperkenalkan diri dan menyebutkan hobi masing-masing, serta menggunakan waktu free time untuk saling beramah tamah. Dan karena kegiatan seperti ini hanya disetting satu kali saja (tidak ada kelanjutannya, kecuali kami bertiga yang membuat) , maka pada akhir acara, dengan tidak sengaja aku mengatakan,”Lunch…..” dan langsung disambut…”Mau, mau….” . Loh…. maksudku, nanti kita buat acara lunch bareng deh, tapi bukan hari ini. Eeee beberapa orang antusias sekali untuk makan siang bersama hari itu juga. Wow… kesempatan bagus untuk lebih mengakrabkan diri. Dan karena aku yang mengatakan “Lunch”, berarti aku harus ikut pergi bersama dong. Soliderrrrr. Sedangkan dua pengurus yang lain tidak bisa ikut karena mereka ada kerjaan lain.

Kami pergi ke restoran dekat rumah yang bernama Royal Host, sebuah family restaurant satu-satunya yang terdekat dengan SDnya Riku. Kira-kira  setengah dari yang hadir hari itu (12 orang dari 24 orang) memenuhi restoran yang selalu penuh pada jam makan siang. Tapi kami mendapat tempat khusus, karena rupanya ada salah satu ibu yang bekerja part time di restoran itu. Jadi dia langsung menghubungi temannya untuk membuatkan tempat bagi kami. Tapi sayangnya dia harus bekerja melayani kami, sehingga tidak bisa ikut duduk dan makan bersama.

(Kadang aku merasa aneh dengan keadaan ini, seorang teman melayani kita di suatu restoran/toko, tanpa rasa malu. Aku belum pernah menemukan kasus seperti ini di Indonesia, jadi agak risih pertamanya. Tapi di sini semua orang bekerja! apa saja! bahkan menyapu tokonya, dan tidak malu dilihat temannya. Bangga akan pekerjaannya. Aku rasa, semestinya banyak orang Indonesia harus melihat dan mencontoh “semangat” ini. Jangan malu bekerja apa saja, bahkan di depan teman dan keluarga)

Karena kami hanya punya waktu satu jam 15 menit sebelum anak-anak pulang sekolah, maka kami cepat-cepat memesan makanan dan mempergunakan waktu sebaik-baiknya dengan saling memberitahukan email Handphone (di Jepang bukan sistem SMS, sehingga harus menuliskan alamat email HP yang panjang itu, untuk kemudian di save). Dan rupanya semua ibu-ibu punya rasa ingin tahu yang besar “tentang Imelda”, kapan datang ke Jepang, kenapa bisa bahasa Jepang dsb dsb, sehingga aku jadi seperti diinterogasi deh hehehe. Tapi yang pasti aku merasa senang sekali karena dengan adanya acara shinbokukai dan dilanjutkan dengan lunch bersama ini, rasanya aku menambah teman sebanyak 12 orang lagi. Teman-teman dengan latar belakang yang sama, yaitu ibu dari seorang murid SD. Semoga saja keakraban ini bisa berlanjut dan sama-sama bisa melewati masa penting dalam mendidik anak.

Alien

18 Jun

Aduhh…. minggu ini benar-benar sibuk. Tapi tidak boleh mengeluh!! seperti kata teman dosen orang Spanyol,”Kan kamu sendiri yang mau ikut-ikut menjadi pengurus PTA, jadi jangan mengeluh!” heheheh. Iya bu, memang saya sendiri yang mau ikut-ikut repot, dan …. suka. Tapi boleh kan bilang, “duh sibuk deh….”  siapa tahu hanya dengan mengeluarkan kata-kata itu, beban jadi ringan…sedikit.

Kalau hari Senin (weks aku ketinggalan nulis berapa hari nih? sekarang sudah jumat!) aku disibukkan dengan urusan anak-anak, hari Selasa dari pagi sudah ke SD Riku untuk mengikuti rapat bulanan PTA. Karena Seksi kami yang mendapat tugas mengatur layout ruangan jadi setengah jam sebelumnya kami sudah datang. Waaaah bener deh ibu-ibu kalau sudah kerja, cepet euy! Kursi etc tertata rapi dalam tempo 10 menit.

Dalam rapat dilaporkan kegiatan apa saja yang sudah dan akan dilakukan. Tapi ada satu yang cukup mengkhawatirkan yaitu berita dari keamanan masyarakat. Rupanya di kelurahan ada bagian yang menangani laporan-laporan “ALIEN”, terjemahan yang saya pakai untuk Fushinsha 不審者 (orang yang tidak diketahui, yang kemungkinan berniat jahat, karena tindak tanduknya mencurigakan). Bagian ini kemudian akan menyebarkan informasi ke sekolah-sekolah dan polisi, untuk memperkuat pengamanan wilayah dan keamanan anak-anak.

Ternyata akhir-akhir ini banyak diterima laporan tentang beberapa  “Alien” ini yang suka mencegat anak-anak waktu pergi/pulang sekolah. Dan yang terakhir laporan bahwa ada ibu-ibu muda dengan dandanan menor naik mobil, yang mengikuti seorang anak di jalan besar. Untung saja anak itu bertemu dengan temannya dan melarikan diri. Kalau seandainya sampai disuruh naik mobil atau dipaksa naik mobil….. hiiiii ngeri. (Sambil berdoa semoga tidak terjadi apa-apa pada Riku)

Dan memang menjelang musim panas, ada kecenderungan peningkatan orang “iseng”. Beberapa pemuda atau bapak-bapak menunggu anak perempuan di sudut jalan yang gelap, lalu memperlihatkan “anunya”. Atau bertanya, “mau kemana? sini sama-sama yuuuk!” dsb dsb. Mungkin karena mulai panas di rumah jadi gerah ya? Ada istilah khusus untuk orang-orang seperti itu, yaitu Chikan, ちかん 痴漢. Sering dijumpai kata ini dalam kereta yang penuh sesak. Mereka memakai kesempatan penuhnya kereta untuk  meraba-raba bagian tubuh wanita. Sekarang keamanan di kereta sudah semakin bagus dibanding dulu. Sehingga kadang terdengar pengadilan terhadap seseorang yang dituduh menjadi chikan di kereta (meskipun ada pula yang sebetulnya tidak melakukan, tapi si perempuan ini jahat dan menuduh bahwa orang itu melakukan…. nah seperti ini juga sulit, karena berarti nama baik si tertuduh dapat rusak)

Dulu sekali waktu pertama kali datang ke Jepang, pernah bertemu dengan chikan, tapi karena tidak tahu apa namanya, dan takut, jadi saya langsung turun dan pindah kereta saja. Tapi seandainya tahu pun, untuk teriak dan berkata, “Kamu chikan ya?” ….hmmmm ngeri juga dan malu pastinya. Ahhh semoga jangan ada orang Indonesia lain yang mengalami seperti ini deh. Kalau sekarang…kayaknya ngga ada deh chikan yang mau mendekati saya…udah ngeri duluan liat “gajah” hahaha….

So, dengan adanya laporan Alien-alien ini, diharapkan ibu-ibu juga ikut membantu mengawasi anak-anak lain jika kebetulan bertemu dan melihat sesuatu yang mencurigakan. Pantas akhir-akhir ini saya melihat banyak polisi di sudut-sudut jalan pada pagi hari, waktu anak-anak pulang (sekitar jam 13:30), dan sore hari sekitar pukul 5-6 sore.

Untung sekali rumah kami tidak jauh dari jalan besar dan Koban, pos polisi, sehingga keamanannya cukup terjamin. Ditambah lagi badan Riku yang GEDE dibanding dengan teman-temannya.

POLIO dan TILANG

17 Jun

Hari Senin hari yang sibuk. Kenapa ya? Apa karena hari pertama setelah libur dua hari? Sampai-sampai ada lagu I don’t like Monday….

Hari Minggu kemarin rupanya Riku terjatuh di jalanan waktu akan menyeberang. Dan kepalanya terbentur… Katanya. Tidak ada luka parut di kepala maupun kaki, tapi dari sore hari dia mengeluh sakit kelapa eh kepala. Dan tentu saja Gen khawatir , takut jangan-jangan pengaruh ke otaknya Riku. Kok kayaknya aku ibu yang cuek ya… aku ngga khawatir sama sekali. Karena aku cukup bertanya, muntah ngga? eneg ngga? mimisan ngga? Jawabnya “NO” semua…. jadi tidak apa-apa (menurut aku loh). Dan aku lihat dia biasa saja, tetap genki…ceria tidak lemas. Mungkin yang mengkhawatirkan justru karena dia agak berlebihan ceria dan cerewetnya…ini harus diperiksa hahahaa.

Jadi waktu pagi hari Riku masih berkata “sakit kepala” , dan Imelda diberi tugas oleh Gen untuk mengantar Prince Riku ke rumah sakit untuk diperiksa dokter. OK boss. Padahal hari ini Kai juga ada jadwal vaksin Polio di puskesmas. Sibuk banget deh hari ini. But enjoy enjoy….!

Berhubung Prince Kai terlambat bangun, kami baru bisa berangkat ke RSnya jam 10…. huh aku paling malas ke RS ini kalau tidak tepat jam buka (jam 9) karena kadang-kadang suka banyak yang antri di Pediatric sehingga musti lama menunggu. Untung saja waktu aku datang banyak yang menunggu, tapi karena ada dua dokter jadi lumayan cepat dipanggil. Dua anak yang sebetulnya sehat (bayangin suhu badannya aja waktu itu cuma 36,4) sambil menunggu giliran bermain bersama di play-cornernya. Senang juga melihat Riku sudah bisa “menjaga” adiknya bermain.

Benar juga perkiraanku, Prince Riku tidak apa-apa. Tapi memang Rikunya sendiri bilang, “Masih pusing … bla bla bla”. Aku terpaksa bilang, “Iya dok, nanti kalau pusing terus seminggu saya kembali lagi”. Meskipun maksud perkataan itu untuk Riku. Buktinya setelah itu dia tidak mengeluh pusing-pusing lagi. Heran deh… Riku itu emang suka sekali RS. Sering tanya,” Mama, kapan aku musti disuntik lagi?” Huh… mentang-mentang aku selalu puji dia bahwa dia sejak bayi tidak pernah menangis kalau disuntik (termasuk vaksin).

Jam sebelas pemeriksaan selesai, kami pulang untuk istirahat dan makan siang. Lalu jam 12:30 pergi ke Puskesmas Kelurahan untuk Kai mengikuti vaksin polio. Letaknya agak jauh dari rumah, yaitu bersepeda 20 menit. Untung Riku sudah bisa bersepeda, kalau tidak lumayan loh bonceng dua anak sampai ke puskesmas itu.

Kai iri melihat kakaknya sudah bisa naik sepeda

Kai sebetulnya sudah “mengabaikan” vaksin polio dua kali. Polio ini gratis dari kelurahan dan diselenggarakan setiap musim semi (Mei-Juni) dan musim gugur (Sept-Okt). Tahun lalu setiap ada jadwal polio, mesti dia tidak sehat. Jadi senin kemarin itu kebanyakan yang datang adalah bayi-bayi berusia 6 bulan lebih. Lucu juga aku memandangi bayi-bayi itu… masih digendong ibunya…. hmmm Kai dulu juga kecil segini ya. Sekarang? sudah bisa menuntut dibelikan minuman dari vending machine, lari ke sana kemari… doooh.

Kai mendapat urutan nomor 44 (sampai dengan aku pulang ada sekitar 150 ibu). Tidak sampai 30 menit semua selesai. Antri untuk diperiksa salah satu dari 5 dokter. Untung Kai anteng sehingga memudahkan pemeriksaan. Oh ya, waktu si dokter memeriksa dada Kai dengan stetoskop, tercium wangi parfum… wahhh dokter “gaek” (udah tua sih) ini dandy juga pake parfum segala. Biasanya jarang loh laki-laki Jepang pake parfum. Untung isengnya Imelda ngga kumat dan menanyakan…. “Dok, kamu pake parfum merek apa sih?” hahahaha.

Setelah mendapat OK dari dokter untuk menerima vaksin polio, langsung diberi vaksin di bagian suster-suster. Vaksin polio itu berupa cairan yang langsung dimasukkan ke mulut bayi. Katanya sih manis. Tapi selama 30 menit tidak boleh makan dan minum dan “ngempeng”. Ntah akhir-akhir ini Kai suka sekali memasukkan tangannya (seluruhnya loh) ke mulut. Jadi aku repot deh membuat dia lupa supaya jangan memasukkan tangannya selama 30 menit. Bagaimana cara supaya dia lupa? Kebetulan di samping gedung kelurahan itu sedang ada pembangunan gedung baru, dan pada tahap pembongkaran pondasi. Jadi ada semacam crane/buldozer yang dioperasikan. Dasar dua anak laki-laki, melihat kegiatan begitu saja bisa lupa semua! (dan heran juga mamanya ikut terkesima melihat proses pembangunan sambil jaga dua unyil)

Bunga Ajisai (Hydrangea) bermekaran di musim hujan

Setelah lewat 30 menit, aku ajak mereka pulang (dengan susah payah) dan ajak mereka pergi ke Mac Donald. Hadiah Happy setnya sekarang tidak terkenal, jadi aku juga tidak begitu antusias…. (loh kok jadi perhatiin hadiah terus nih). Sampai di rumah ternyata tidak lama sekitar jam 5, Gen sudah pulang. Wah kok cepat? Ternyata dia ada dinas luar ke daerah Teluk Tokyo. Dan dia membawa “hadiah”….. sebuah kertas bertuliskan “Pelanggaran Parkir” chuusha ihan 駐車違反。 Baru pertama kali dapat jadi bingung juga harus bagaimana. Rupanya dia parkir mobilnya di pinggir jalan, dan waktu dia parkir sih ada taksi dan truk di depan dan belakangnya, tapi waktu dia kembali 30 menit sesudahnya ternyata taksi dan truk sudah tidak ada, dan ada kertas ini di wipernya…. kena deh hehehe.

surat tilang (chuucha ihan -pelanggaran parkir)

Begitu sampai rumah, dia pergi ke koban (pos polisi) dan oleh polisi di sana dibilang suruh menunggu akan ada surat tilang yang dikirim ke rumah. Setelah terima surat itu, bayar denda, dan mungkin di SIM nya tidak diberi tanda “point pelanggaran”. Semakin banyak point pelanggaran makan semakin besar kemungkinan SIM dicabut. Karena kami berdua Gold SIM  Card dan belum pernah melakukan pelanggaran, jadi sayang jika SIM harus “ternodai” oleh point pelanggaran. Jika ada satu saja point pelanggaran, maka pada penggantian SIM berikutnya (setelah 5 tahun) akan terjadi penurunan tingkat (tidak Gold lagi) dan harus ikut kursus/test lagi  (sebentar sih sekitar 1-2 jam)

Jadi sekarang kami sedang menunggu “kiriman” dari polisi, dan biasanya untuk pelanggaran parkir kami harus membayar 15.000 yen (1.500.000 rupiah kira-kira). “Gomen ne ごめんね  (maaf ya)” kata Gen… dan aku cuma ketawa sambil bilang, “berdoa saja semoga tagihan dari polisinya datang sesudah gajian ya hehehe”. Lima belas ribu yen itu sudah standar dan tidak ada sistem “tawar menawar” atau suap-menyuap seperti di Indonesia. Seandainya…. seandainya loh, peraturan seperti ini diterapkan di Indonesia, aku bisa bayangkan betapa kayanya kepolisian RI…. cukup untuk bayar utang negara mungkin …hahahaha.

What a busy and unpredictable MON day!

Open Class

15 Jun

Hari Minggu kemarin Riku pergi ke sekolah. Seperti biasa dari pagi sampai 4 jam pelajaran dan ada makan siang juga. Loh, kok hari minggu ke sekolah?

Ya, hari minggu tanggal 14 Juni itu adalah hari khusus untuk open class, day for parents to visit school. Jugyou sankanbi 授業参観日, dan biasanya diadakan pada hari minggu supaya orangtua yang bekerja (dengan asumsi minggu libur) akan bisa menghadiri kegiatan sekolah ini.

Pelajaran pertama mulai jam 8:50. Kita terlambat! Riku tentu saja sudah berangkat duluan jam 7:45 dengan penuh semangat. Bahkan dia sudah memilih baju yang akan dipakai dari hari sebelumnya. Anakku cerewet juga nih kayaknya soal baju. Dia mau pake kemeja… cihuyy, jadi aku seterika kemejanya. Tak lupa dia sisir rambutnya dengan pakai air (pengganti pomade hihih) supaya tertata rapi. NAH, sayangnya papanya baru terbangun jam 8:20, bersamaan dengan Kai. Dan karena aku musti mempersiapkan Kai juga, dan sudah pasti jalannya akan lelet, aku suruh Gen pergi duluan ke sekolah. “Padahal aku ingin pergi dari awal pelajaran” (ya bukan salahku kan..siapa yang bangun terlambat?)

Perjalanan aku dan Kai makan waktu 30 menit. Kai juga senang jalan-jalan, jadi setiap ada yang menarik, teriaklah dia “Ow…”, “Aaaa…”, “Bubu (mobil)”, “Chi chi… (burung)”, “Wan wan… (anjing)”…. lucu dan untunglah dia kuat berjalan terus sampai ke SD, sehingga mamanya ngga usah gendong. Lumayan juga kalau harus memanggul 13 kilo terus-terusan.

Sesampai kami di sekolah, aku melihat daftar hadir orangtua, ternyata masih banyak yang belum datang. (Bahkan ada orangtua kelas 5 datang jam 10:30 waktu aku pulang). Jam pertama di Riku adalah Berhitung (sansuu 算数). Dan dia langsung senyum-senyum begitu dia lihat wajah aku dan kai di luar kelas, sedangkan papanya berdiri di dalam kelas bagian belakang. Waktu kami datang sedang latihan tambah-tambahan dan terlihat Riku cukup aktif mengangkat tangan untuk menjawab soal. (Padahal di catatan hariannya Gen dikatakan bahwa Riku hanya mau angkat tangan untuk penambahan 1 + …. hihihih)

Sayang sekali kami tidak boleh memotret suasana kelas. Tapi bisa dimengerti juga sih, dengan kehadiran kita saja sudah cukup membuat guru-guru nervous kan. Meskipun gurunya Riku, Chiaki sensei tetap cool seperti biasa.  Pelajaran ke dua adalah prakarya membuat keranjang bunga, lalu setelah itu olahraga taiiku 体育 dan terakhir bahasa kokugo 国語. Entah ada atau tidak  acara open class seperti ini di Indonesia, tapi aku pikir semestinya ada supaya orang tua bisa mengetahui perkembangan belajar dan suasana kelas anaknya. Program ini diadakan 2 kali setahun, dan berikutnya diadakan bulan Desember, pada hari Selasa (otomatis bapak-bapak tidak bisa ikutan deh, kecuali ambil cuti)

Aku dan Kai pulang waktu jam prakarya, karena Kai musti makan dan capek. Sambil jalan pulang, kami mampir ke toko konbini dan membeli onigiri dan jus. Lalu kami duduk di taman sebelah toko tersebut. Sebetulnya bukan taman, lebih tepat disebut sebagai perpanjangan halaman orang, yang dia sediakan untuk dipakai warga. Karena ternyata tamannya juga ditunjuk sebagai warisan budaya pemerintah daerah yang perlu dirawat dan diperhatikan bersama. Mungkin karena di situ terdapat beberapa pohon tua. Memang sih duduk di situ teduh sekali, cuma sesekali burung gagak datang dan mengganggu pemandangan. Kai dan mamanya menikmati acara piknik dadakan ini.

Gen dan Riku sendiri baru kembali ke rumah pukul 2 siang. Riku sih enak karena dapat makan siang, papanya kembali langsung bilang,”Aku lapaaar”. Untung ada sisa makanan, aku panaskan dan aku sendiri langsung bersepeda ke sebuah Discount Store, untuk membeli pelengkapan konsumsi acara pertemuan orang tua murid kelas 1-2 (kelasnya Riku) hari Rabu yang akan datang. Seru juga berbelanja bertiga dengan 2 ibu lain, menghitung-hitung biaya dan menentukan minuman dan snack apa yang akan dibeli supaya cocok dengan budget. Tidak boleh melebihi  budget dan kalau bisa jangan bersisa, karena susah mempertanggungjawabkannya. (Sisa uang harus kembalikan dengan rata, capeek deh)

Malam harinya Gen mengajarkan Riku baca tulis… menurut Gen, Riku jauh tertinggal dengan anak lain yang bisa membaca dan menulis dengan cepat. Hmmm sebetulnya ngga usah dipaksa sih, karena sebetulnya Riku termasuk yang paling kecil usianya di kelas, dan dia waktu lahir kurang bulan (prematur) sehingga ada kemungkinan terlambat untuk menyerap sesuatu dibanding anak-anak lain. Akunya sih santai aja, tapi Gen lumayan khawatir jangan sampai dia merasa minder karena tidak bisa, kemudian jadi ketinggalan, dan tambah ketinggalan.

Satu hari ini melelahkan, tapi aku senang karena di rumah sekarang tidak terdengar suara TV. Kabar amat sangat baik sekali untukku, tapi kabar buruk untuk Riku, dan sedikit buruk untuk Gen! TV nya koit alias rusak hihihi

Hari Tanpa Arti

13 Jun

Sudah lama aku tidak menulis tentang Hari Ini Hari Apa. Memang kebanyakan karena sudah kutulis tahun lalu, sehingga tidak ada bahan ketinggalan  untuk ditulis. Atau karena kurang menarik untuk dijadikan topik tulisan.

Tapi hari ini aku merasa tertarik untuk menulis dengan judul “Hari Tanpa Arti” karena di kalender I-googleku tercantum bahwa hari ini adalah 無意味の日 Mu-imi no hi, Hari Tanpa Arti. Lho kok? Aku  juga tidak mengerti kok sampai dijadikan hari itu, dan kalau diklik tidak ada keterangan pendukung lainnya. Hanya dikatakan bahwa merupakan permainan kata  語呂合わせ dari 6-13 mu (mustu)  – i (ichi)- mi (mitsu) jadi MUIMI, yang artinya “tanpa arti”.

Ada beberapa kanji yang melambangkan negatif seperti FU 不 HI 非 dll, tapi kali ini ingin aku bahas tentang Kanji MU 無 yang bergabung dengan kanji lain dan membentuk kata negatif yang lumayan sering dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari (di Jepang). Jadi posting kali ini mungkin tidak berguna bagi mereka yang tidak bisa bahasa Jepang.

Yang paling menggembirakan adalah kanji  MURYOU 無料, tanpa biaya alias gratis. Kemudian untuk jaman internet begini kata MUSEN 無線, tanpa kabel, alias wireless. Duh aku pengen nih ganti koneksi di rumah dengan wireless, jadi rumah bisa lebih rapihan tanpa kabel gentayangan….

Ada satu toko di Jepang yang bernama MUJIRUSHI 無印, tanpa cap. Aku pikir tadinya hmmm bagus juga ya tidak bercap, jadi barang-barangnya polos tanpa merek. Dan semestinya kalau tanpa merek, barang-barangnya murah dong. Eeee ternyata ya capnya itulah MUJIRUSHI, tanpa cap. Sama juga boong deh. Cuman memang karena barangnya simple dan classic dengan warna tanah (coklat), Gen senang memakai stationary dari merek ini.Dan kalau tidak salah, sekarang sudah ada cabangnya Mujirushi di Jakarta.

Dalam pergaulan ada dua kata yang juga sering dipakai yaitu MUSABETSU 無差別, tanpa perbedaan. Jadi merefer ke siapa saja. Sayangnya sering aku dengar kata ini berpadu dengan satsujin jiken, Musabetsu satsujin jiken 無差別殺人事件, peristiwa pembunuhan tanpa perbedaan/tanpa tujuan orang tertentu. Terutama untuk kejadian meracuni masyrakat, atau menabrakkan mobil ke kerumunan orang, atau pernah ada kejadian memasukkan racun ke dalam nasi kare di bazaar, dll. Dan kata kedua adalah MUHYOUJOU 無表情, tanpa ekspresi. Tahu kan pasti bagaimana orang tanpa ekspresi. Kayak orang bengong gitu. Apalagi kalau bersikeras tidak mau mengaku sebagai pelaku tindak kriminal.

Dalam kehidupan di jaman yang serba memikirkan kesehatan ini, kita banyak menemukan kata MUTENKA  無添加, tanpa bahan tambahan, no artificial ingridient、 MUNOUYAKU 無農薬, tanpa pestisida、dan MUCHAKUSHOKU 無着色, tanpa bahan pewarna. MUKOURYOU 無香料, tanpa tambahan pewangi. Dan yang pasti sekarang aku sudah terbiasa membeli beras MUSENMAI, 無洗米 beras tanpa dicuci, langsung dikasih air dan dimasak.

Kumpulan kata yang lain adalah  MUMENKYOU 無免許, tanpa license… seringnya merefer ke orang yang  menyetir tanpa SIM. Serupa dengan itu MUSHIKAKU 無資格, tanpa license tapi untuk suatu praktek pelayanan jasa, seperti klinik kedokteran tanpa ijin, bimbingan belajar tanpa ijin dsb. MUJOUKEN 無条件 tanpa syarat. Kalau ini mungkin cocok untuk mengatakan …Aku mencintaimu tanpa syarat…uhuuuyyy.
MUKIGEN 無期限, tanpa batas/limit (dulu sering dengar kata MUGEN POWER kan? ya dari kata mukigen ini, unlimited power) , MUKEIKAKU 無計画, tanpa rencana, MUSHUUSEI 無修正, tanpa editing/perbaikan dan MUHENKA 無変化, tanpa perubahan. Dan satu lagi waktu cari-cari ketemu kata ini, MUDENCHUKA 無電柱化 gerakan untuk menghilangkan tiang listrik di kota. Duhhh alangkah indahnya Tokyo tanpa tiang listrik yang begitu mengganggu pemandangan. Jadi listriknya didalam tanah tidak perlu ada tiang listrik. Dan kota seperti ini sekarang bisa dilihat di peninggalan kota lama Edo, yaitu di Kawagoe dan di Kurashiki. Dua tempat yang aku sukai karena seakan bisa time travel ke Jepang jaman-jaman samurai gitu. Nanti deh kapan-kapan aku tulis deh catatan perjalanan wisata di Jepang ya.

So,  bagaimana hari Anda hari ini? Apakah tidak berarti? Hariku…amat sangat berarti, karena aku melewati waktu bertiga dengan Riku dan Kai, mencuci baju sampai 3 kali karena selama ini hujan/mendung terus, membereskan rumah sambil membuat Pizza dan membaca banyak Picture Book untuk Kai. Dan juga mencari sedikit referensi untuk menulis postingan ini.

Have a good weekend!

Gara-gara kumis

11 Jun

Huh aku bersungut-sungut sambil meringis sekarang

Gara-gara kumisnya aku terpaksa terbaring 2 jam siang ini karena mengantuk

Gara-gara kumisnya mata, tangan dan punggungku harus menderita

belum lagi gara-gara dia,  my three boys terpaksa ditelantarkan.

Semua penderitaan ini hanya gara-gara kumis

Kumisnya si Udang

(bukan kumisnya lelaki loh hihihi)

Seperti yang saya sudah tulis di posting sebelum ini, saya sedang disibukkan oleh PTA (Parent Teacher Association) SD nya Riku yang bakal keluarin stand di Bazaar khusus murid-murid tanggal 19 Juni y.a.d. Kami (ibu-ibu) ceritanya akan membuat permainan “Memancing Udang dll” dengan tajuk TSURI LAND. (Tsuri = memancing). Dengan menggunakan kail magnet, anak-anak bisa memancing origami (kertas lipat) berbentuk Udang dan sedikit bentuk lain, serta mainan magnet/strap yang terbuat dari lilin (nendo). Tujuan utamanya sebetulnya semua buatan sendiri! Tezukuri. Handmade!

ibu-ibu membuat mainan dari lilin

Untuk murid SD yang masih kecil agak sulit untuk memancing mainan magnet/strap dari lilin, karena itu dipikirkan untuk membuat origami berbentuk EBI/Udang ini. Karena terbuat dari kertas, lebih ringan, dan yang pasti cost nya lebih murah dibanding dengan mainan yang terbuat dari lilin. Karena itu Seksi Kegiatan Anak yang anggotanya 8-11 orang itu, masing-masing diwajibkan membuat origami udang sebanyak 100 buah di rumah, selain bersama-sama membuat mainan magnet/strap dari lilin. Jumlah seluruh murid di SD nya Riku adalah 600 anak, jadi kami harus membuat sebanyak itu untuk setiap jenis …. hiks.

Hari ini adalah hari pengumpulan origami Ebi dan pembuatan lilin di ruang serba guna SD. Nah, ternyata semua (kecuali saya) membawa origami udangnya itu TANPA KUMIS. Karena memang membuat/memasang kumis atau sungut udangnya itu sulit, jadi mau dibuat di sekolah bersama. Huh! tahu begitu kan, saya ngga ngoyo begadang dua malam membuat 100 origami udang lengkap dengan  kumis.

100 udang berkumis karyaku hihihi

Setelah mengumpulkan origami udang di satu meja, saya membuat bentuk bintang yang nantinya akan menjadi bahan dasar pembuatan magnet berbentuk biskuit. Lilin atau malam yang kami pakai ini bahan dasarnya terbuat  dari kertas, disebut kami nendo. Lain teksturnya dengan lilin yang biasa dipakai untuk prakarya di Indonesia. Teksturnya lebih lembut dan ringan sekali, bagaikan marshmallow. Warnanya ada macam-macam, tapi kami memakai yang berwarna putih, untuk kemudian dicampur dengan cat air untuk menimbulkan warna yang diinginkan. Untuk biskuit, saya mencampur warna kuning dan chrome yellow (kok saya ingatnya kita menamakan warna ini dengan kuning tai ya? hihihi). Kemudian seperti membuat biskuit, lilin itu dipipihkan dengan roller dan dengan cetakan dibuat bentuk yang diinginkan. Kemudian sesudah kering, untuk memberikan efek  biskuit, permukaan ditekan sedikit dengan sikat gigi dan diberikan warna coklat dengan kuas/tapas.

mainan dari lilin untuk magnet berbentuk biskuit bintang

Nah, setelah saya membuat 50 buah biskuit berbentuk bintang, saya pindah kerja membuat kumis si Udang ini. Karena semua tidak menemukan cara yang mudah dan murah selain dengan cara saya. Tapi mereka tidak bisa melakukannya. Ya sudah, akhirnya saya yang harus membuat semua kumis udang-udang ini. Sementara ibu-ibu yang lain ada yang membuat bentuk bola basket, bola softball dan es krim. Kami bekerja mulai pukul 9:30 dan akhirnya saya sudah terlalu capek dan pamit pukul 1 siang. Udang tak berkumis  sisanya saya bawa pulang untuk saya kerjakan di rumah saja.

Saya sebetulnya merasa sayang dan sedih tidak bisa ikut serta pada hari H, tanggal 19 Juni karena harus mengajar setiap jumat. Pasti senang melihat anak-anak bergembira memancing origami dan mainan dari lilin ini. Makanya untuk menebus ketidak hadiran saya, saya masih harus berurusan dengan sekitar 500 kumis lagi dan mungkin bermimpi tentang kumis dua-tiga hari ke depan. Tentu saja kumis Udang bukan kumis siapa-siapa!

69 dan ebi

10 Jun

Saya memang sangat memperhatikan angka-angka. Meskipun angka keberuntungan atau angka yang saya suka adalah 8, hari ini saya mau membahas si angka 6 dan 9 dan ebi, bahasa Jepangnya untuk udang. Kalau saya mengajarkan si Riku menulis angka 6 dan 9, saya tinggal berkata, 6 itu si perut gendut, sedangkan 9 itu kepala besar.

Sejak saya menulis posting 6666 dan lain-lain, saya memang agak waku-waku, deg-degan setiap melihat angka komentar di dashboard saya. Bisakah saya melihat lagi angka-angka cantik terpampang manis di dashboard saya?

Dan ternyata, saya bisa membuat capture angka-angka cantik ini: komentar ke 6969 oleh Uda Vizon, 6996 oleh Mas Trainer, 6999 oleh Chandra (sayang Chandra tidak punya blog), dan gongnya komentar ke 7000 oleh Eka. Saya tahu 4 orang ini adalah salah empat pembaca TE yang setia, dan saya merasa sangat berterima kasih untuk perhatiannya. Nanti lewat email kasih tahu ya, mau dikirim apa dari Jepang 😉 (jangan mahal-mahal tapi ya hihihi)

Angka cantik berikutnya kapan ya? 7777 mungkin yang terdekat ya? Jadi semoga Anda-lah yang mendapatkan angka jackpot ini hehehe.

Nah, kenapa di judul ada tulisan ebi juga? Ada hubungan apa 69 dengan ebi? Hmmm kalau dilihat sekilas bukannya bentuk badannya si ebi ini mirip angka 6 atau 9? Si Ebi yang banyak diimpor dari Indonesia dan memenuhi pasar Jepang ini memang jarang “nangkring” di meja makan saya. Selain udang berkolesterol tinggi, harganya juga mahal, dan saya kurang suka rasa udang yang sudah dibekukan. Kurang fresh dan gurih, you know.

Dan pagi dini hari ini ada 69 ekor lebih udang yang memenuhi meja makan saya. Sayangnya udang ini tidak bisa dimakan, karena ini adalah origami, seni lipat kertas Jepang. Sampai dengan hari Kamis besok, saya harus melipat 100 ekor udang besar kecil untuk dijadikan bahan pancingan dalam acara semacam bazaar di sekolah Riku. Ini merupakan kegiatan Seksi Kegiatan Anak-anak dari PTA di SD nya Riku.

hetakuso.....

Saya itu paling benci origami karena tidak teliti sehingga biasanya saya paling malas ikut kegiatan origami dan selalu give-up. Padahal sebetulnya seni melipat kertas ini bagus sekali untuk menstimulasi kerja otak. Karena menerima rangsangan dari ujung jari. Maka seni lipat kertas origami ini juga sering dipakai sebagai cara untuk mencegah pikun dan penuaan. Segala kegiatan yang memakai jari tangan digalakkan di kalangan lansia di Jepang. Selain origami,  lansia disarankan untuk belajar piano dan …. mengetik komputer.

Saya tidak tahu seberapa seringnya anak SD di Indonesia melipat kertas, tapi yang pasti di sini dalam setiap kegiatan anak-anak dituntut untuk membuat karya origami. (dan memang kertas origami di sini murah kalau kertas warna biasa). Dengan melipat 69 ebi-chan ini akhirnya saya bisa membuktikan bahwa ternyata saya juga bisa kok melipat kertas ala orang Jepang.