13 Tahun

12 Apr

Hari ini hari Paskah, Hari besar agama Kristen yang selayaknya diperingati sebagai hari yang jauh lebih berharga, lebih besar maknanya daripada hari Natal. Aku ingat waktu SMA, pernah dimarahi suster kepala sekolah karena OSIS lupa memberikan selamat paskah kepadanya dan suster-suster di biara. “Kalian boleh lupa memberi selamat Natal, tapi jangan pernah lupa memberikan selamat Paskah. Paskah jauuuuh lebih penting daripada Natal”. Sambil meminta maaf kami memberikan selamat Paskah pada suster-suster di biara. Ah masih terbayang wajah Ketua Osis saat itu, Mutiara S yang pucat pasi.

Ya, tanpa ada Kebangkitan, kita sebagai orang kristen akan tetap mati, berkubang dalam dosa, tidak mendapatkan keselamatan. Saya bisa membayangkan, dan saya harap teman-teman juga bisa membayangkan, bagaimana GIRANG dan SENANGnya jika seseorang yang kita kasihi yang meninggal 3 hari sebelumnya, tiba-tiba BANGUN, BERDIRI dan HIDUP di hadapan kita? Meskipun kaget, kita pasti akan bersorak-sorak dan akan menyambutNya, memelukNya, dan berusaha berada dekat kakiNya …selamanya, sampai kita yakin bahwa Dia itu benar-benar hidup dan bisa disentuh dipandangi dan dan didengar. Coba bayangkan jika Dia itu adalah kekasih hati, orangtua, adik, kakak, orang terkasih yang sudah meninggal?….

Saya tidak mau memberikan kotbah Paskah, karena saya tidak berwewenang dalam hal itu. Saya hanya ingin menuliskan betapa kita harus mensyukuri HIDUP yang diberikan Tuhan pada kita, manusia, satu per satu. Dan tentunya HIDUP yang diberikan Tuhan pada kekasih-kekasih kita, sahabat dan teman-teman kita. Ya, juga KAMU, yang sedang membaca tulisan saya ini. Saya bersyukur karena KAMU hidup, dan saat ini terhubungkan hatinya melalui dunia  maya yang sebetulnya, menurut saya, sudah mulai pudar “kemayaan”nya.

13tahun

Ya, saya juga mensyukuri hidup saya, setelah saya menderita 10 hari terbaring kesakitan di kamar RS, pada usia 13 tahun. Masih teringat jelas di benak saya, keceriaan Papa, Mama, dan Oma Poel yang mendapati aku tersenyum lega, di siang hari Minggu saat itu. Tersenyum lega karena merasa ringan dan dapat bernafas dengan leluasa setelah semua selang-selang yang membantu pemasokan oksigen ke dalam tubuh saya dilepaskan. Oma Poel yang menangis sesegukan karena dipikirnya saya sudah tiada.

Pagi hari itu, saya bangun dan seperti biasa membereskan kamar tidur. Saya lupa mungkin waktu itu tidak ada pembantu, atau hanya satu, sehingga saya membereskan kamar sendiri. Biasanya kalau ada pembantu saya tidak membereskan kamar. Tapi saya ingat, saat itu pas saya membungkuk untuk menyapu kolong lemari, saya merasakan kesakitan yang amat sangat di perut sebelah kanan. Sampai saya sulit berdiri. Dengan tertatih-tatih saya pergi ke mama, dan menceritakan bahwa perut saya sakit. Waktu itu saya memang reguler ke RS setiap minggu untuk menerima suntikan alergi di Dr. Karnen. Oleh mama, saya disuruh pergi ke dokter Karnen.  Saya bersiap pergi, dan karena terbiasa pergi sendiri ke dokter, saya berjalan dengan tertatih-tatih di depan rumah saya, menuju jalan besar untuk mencari bajaj. Tapi tak lama, saya dipanggil kembali, karena mama mau mengantar saya ke dokter. “Mana mama tega melihat kamu kesakitan begitu ke rumah sakit sendiri.”

Kami berdua pergi ke dokter Karnen yang selalu praktek pagi. Waktu itu sekitar pukul 8 pagi. Karena bukan jadwal berobat, saya harus menunggu waktu kosong di sela-sela tidak ada pasien yang datang. Begitu dokter memeriksa, dia langsung merujuk ke dokter bedah. Dan saat itu juga saya pergi ke dokter bedah, dan divonis “Appendix Acute”.

“Sakit di sini?”, sambil ditekannya perut sebelah kiri.
“Tidak dok”
“di sini?”, perut sebelah kanan. Dia tak perlu menunggu jawaban karena saya sudah berteriak. Demikian juga ketika kaki kanan ditekukkan. Amat sakit.

Karena waktu itu aku masih anak-anak, dokter tidak memberitahukan hasilnya padaku. Dia menjelaskan di sebelah tirai pada mama, bahwa aku harus segera dioperasi. Sedikit marah dia berkata,

“Saya heran kenapa selama ini tidak ada keluhan sakit? Kenapa musti sampai separah ini, baru datang?”
“Dia anak yang tahan sakit dok. Tidak pernah mengeluh sakit, bahkan waktu datang bulanpun tidak. Bagaimana saya tahu?”
Ya memang…. saya sebetulnya sering merasa sakit, karena waktu itu saya termasuk lemah badannya. Berdiri lama sedikit, langsung berkunang-kunang karena darah rendah. Tapi setiap sakit perut, saya abaikan.

“Ya sudah. Ibu kasih pengertian saja pada anak ibu, bahwa dia harus di operasi. Supaya jangan takut.”
Uhhh dokter, saya juga bukan orang bego, saya bisa mendengar semua percakapan kamu di sebelah tirai, dan saya juga tahu apa itu “operasi”. Seorang pesakitan yang tidur di atas dinginnya tempat tidur besi, menunggu badannya diiris-iris selama dia tertidur.

Mama mendatangi saya, dan berkata, “Imelda, kamu harus dioperasi. Tidak usah takut ya.”
“Ya ma, aku tahu kok. Aku ngga takut. Bahkan aku bisa membanggakan pada teman-teman bahwa aku pernah dioperasi. Kan asyik…”
dan mama menangis…..
Mungkin dalam hatinya berpikir, “Ah nak kamu tidak tahu bahwa operasi juga ada kemungkinan gagal, dan aku tidak bisa bertemu lagi dengan kamu….”
Dan memang dokter memberitahukan, jika terlambat dioperasi, usus buntu itu akan pecah dan meracuni tubuh, dan…. good bye.

Saat itu, aku berusia 13 tahun. Seorang anak pertama yang masuk masa puber, dan merasa hidupnya tidak berguna. Setiap kemarahan orangtua masuk dalam hati dan merasa bahwa orangtua lebih menyayangi adik-adik. Tidak ada kasih sayang untuk si Tua ini. Dan sebetulnya waktu itu aku sering menulis puisi tentang kematian. Si 13tahun Imelda ini ingin mati. Karena ada satu rahasia di sekolah yang sulit untuk ditanggung sendiri. Yang menyangkut hubungan seorang guru dan murid. Kenapa kok harus aku yang mengalaminya.

Jadi dengan senyam-senyum aku masuk ke kamar rawat-inap untuk mempersiapkan operasi. Mama pulang memberitahukan papa dan adik-adik, mengatur rumah. Operasi dijadwalkan pukul satu siang, karena saya sudah sempat makan pagi sebelum ke RS. Seandainya belum makan, bisa saat itu juga. Dan di kamar, saya tidak punya rasa takut sama sekali, bahkan tidak takut apakah akan bangun lagi atau tidak. Karena matipun boleh kok saat itu.

Operasi berjalan selama 4 jam. Hanya sepotong usus buntu, tapi sempat merepotkan para dokter. Karena begitu perut saya “dibelah”, si pengganggu itu pecah, dan nanahnya mengotori usus sekitarnya. Terpaksa dokter harus mencuci usus yang panjang itu deh (hiperbolis amat sih…. tapi mungkin begitu situasinya, saya tidak tahu, karena saya tertidur saat itu). Dokter yang bertugas amat sangat teliti, sampai usus buntu yang membengkak sebesar kepalan tangan dan pecah itu, dia jahit kembali. Dimasukkan ke dalam toples dan diperlihatkan padaku… Sayang waktu itu jiwa jurnalisku belum ada, sehingga tidak mengambil foto (waktu itu juga belum ada digital camera) dan aku tidak berani membawa pulang toples itu sebagai kenangan…
Ada satu kalimat dokter yang selalu kuingat sampai saat ini, “Jika operasi terlambat satu jam saja….” Yah Imelda hanya tinggal nama.

SIALAN… satu kata yang kuucapkan begitu aku sadar dari obat bius. Sakit yang harus kutanggung sesudah operasi 10 kali lipat dari rasa sakit sebelum operasi. HUH, tahu begini aku tidak mau dioperasi. Dan kondisi harus tidur berhari-hari di atas tempat tidur, tanpa bisa membalikkan tubuh, tanpa bisa mandi, tanpa bisa ke wc, tanpa bisa makan yang namanya “Makanan” (bubur cair bukanlah makanan!), tanpa bisa ke sekolah…. amat sangat menyebalkan.

Seminggu lebih kondisi ini berlanjut. Perutku semakin besar, melembung bagaikan ibu hamil 9 bulan. Penyebabnya, gas tidak bisa keluar. Selain itu saya sempat muntah darah, yang diperkirakan lambung mengalami iritasi. Karena jika muntah membutuhkan energi, maka dipasanglah selang langsung ke lambung dari hidung. Dan uhhhh selang itu cukup besar, dan sakit waktu dimasukkan lewat hidung! Apalagi hidungku sensitif sering bersin karena alergi …hiks… Memang dengan demikian suster dapat menyedot darah dari lambung lewat selang, tapi sama sekali tidak nyaman bagiku.

Kondisi badan yang lemah dengan perut besar, belum bisa makan hanya cairan infus saja yang masuk, selang atas bawah (kateter) yang mengganggu membuat kondisi fisik tambah buruk. Dan hari Sabtu malam hari penafasan mulai sulit. Saya berkata pada papa yang menjaga di samping tempat tidur, “Pa, aku capek… ngantuk. Mau tidur. Tapi kalau papa lihat aku tidak bernafas, papa bikin nafas buatan ya?”
“Loh kamu susah nafas?”
“Iya…”

Langsung papa memanggil suster, dan saya diberikan oksigen. Tambah lagi kesengsaraan saya, karena oksigen yang berupa selang yang ditempelkan di hidung ditambah masker… entahlah yang pasti saya lega bisa bernafas, tapi tidak nyaman dengan tambahan alat-alat yang mengganggu muka saya.

Dengan kondisi seperti ini, dokter jaga datang dan merasakan heran atas perkembangan mundur badan saya. Dan sebagai alternatif maka pagi hari akan diambil Xray kondisi perut, seandainya ada yang tidak beres maka mungkin perlu dioperasi kembali. What??? operasi kembali? Oh NO.

Pukul 4 pagi, papa masih di sampingku dan berbisik, “Imelda, papa mau menangis melihat kamu begini. Tapi kalau aku menangis, mama (yang sedang duduk di kursi) akan bertambah sedih dan panik. Jadi papa tahan. Kita berdoa saja ya. Nanti pagi, papa panggil pastor untuk sakramen perminyakan. Jangan kamu pikir kamu akan mati, meskipun itu sakramen untuk orang sakit. Bukan berarti dengan menerima sakramen itu kamu akan mati, bahkan mungkin dengan sakramen itu kamu bisa sembuh. Opa dan Oma Bogor pun pernah dua kali menerima sakramen itu, dan mereka masih hidup kan?”
Saya hanya bisa berkata lirih, “Iya pa”, dan tertidur sambil mendengar doa papa di sebelah telingaku.

Jam 5 lebih, alm. pastor Van Der Werf  SJ datang dan dengan terburu-buru memberikanku sakramen perminyakan. Kenapa terburu-buru? Ya, karena bruder dan suster sudah menunggu dengan tempat tidur dorongnya untuk membawa saya ke ruang Xray.

Setelah Xray, entah pemeriksaan apa lagi, sambil menunggu hasil dan kedatangan dokter yang bertanggung jawab… waktu berjalan lambat. Antara tidur dan tidak, saya menunggu kedatangan dokter.  Sungguh seandainya saja ada yang memotret saya pada saat itu, mungkin itu menjadi foto terburuk dalam sejarah hidup saya. Seorang anak kurus pucat dengan perut besar, dengan berbagai selang di tubuhnya, tentu bukan pemandangan indah untuk dipandang.

Begitu dokter datang, entah apa yang menjadi keputusan dokter, semua selang yang menuju ke maag dicopot, tinggal oksigen. Dan diberitahu juga bahwa dari hasil Xray, tidak perlu operasi lagi. Tinggal tunggu sang “kentut” maka semua beres… Baru pertama kali dalam hidup, si kentut itu memegang peranan amat penting.

Karena selang yang sudah berapa hari mengganggu dicopot, langsung saya merasa lega dan tersenyum. Senyuman itu terus mengembang setelah dokter pergi, dan papa memanggil oma Poel yang menunggu di luar. Jadi begitu oma Poel sampai di pintu, dia sebetulnya sudah memikirkan kabar buruk. Apalagi dokter bergegas keluar dan papa memanggilnya buru-buru. Dan dia juga ingat bahwa saya pernah mengatakan bahwa selama sakit selalu terngiang lagu “Aku berjalan di kebun”. (In the Garden, Jim Reeves etc)

Aku berjalan di kebun
waktu mawar masih berembun
dan kudengar lembut suara
Tuhan Yesus memanggil

Dan berjalan aku dengan Dia
dan berbisik di telingaku
bahwa Aku adalah milikNya
Itu saat bahagia….


Dipikirnya… It’s the time. Maka ketika Oma Poel masuk kamar, dan melihat saya tersenyum, dia tidak bisa menahan tangisnya. Kami berdoa untuk segala proses yang Tuhan anugerahkan waktu itu. Dan saya pun tahu, Saya masih diberi HIDUP olehNya, untuk lebih berkarya lagi sesuai dengan kapasitasku. Karena pengalaman itulah, umur 13 tahun merupakan moment penting bagi saya sehingga saya bisa menjadi seorang Imelda seperti yang sekarang ini. Saya mensyukuri HIDUP yang telah Tuhan berikan selama ini.

Selamat Paskah!
12 April 2009

imelda emma veronica coutrier

Catatan:

Tulisan ini bisa terangkai pagi ini terutama karena aku merasa aku belum siap dan merasakan kegembiraan Paskah tahun ini. Sambil merenungi peristiwa yang aku alami berpuluh tahun yang lalu, aku juga ingin menuliskan ini sebagai pesan untuk saudaraku, Melati san a.k.a Mariko san dan suaminya, Hironori san yang memutuskan untuk menerima sakramen permandian dan menjadi pengikut Yesus hari ini, di gereja katolik St Ignatius Yotsuya. Tinggalkan hidup yang lama, mari sambut hidup yang baru yang sudah ditebus Yesus di kayu salib. Dia rela mati menanggung dosa-dosa kita manusia yang tidak tahu berterimakasih.

Selamat saudaraku Katarina-san dan Fransisco-san!

( To Samsul, this is the answer for your question. “kok aku belum menangkap mengapa harus 13 tahunnya yah bu?”)

You Are My Sushine

12 Apr

The other night, dear, as I lay sleeping
I dreamed I held you in my arms
But when I awoke, dear, I was mistaken
So I hung my head and I cried.

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know, dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away

I’ll always love you and make you happy,
If you will only say the same.
But if you leave me and love another,
You’ll regret it all some day:


Aku  ingin berbagi sebuah email dari blog-multiplynya Romo Pujasumarta, Uskup Bandung, yang kuterima dalam rangka Paskah. Sudah berkali-kali aku baca cerita sharing ini, dan setiap kali aku menangis. Biarlah aku pasang di blogku ini, sehingga bisa aku baca setiap kali putus asa dan merasa sedih. Yes, you all are my sunshine!

PASKA KEBANGKITAN TUHAN

Allah menghendaki Yesus Kristus Putera-Nya, tetap hidup selama-lamanya. Daya hidup yang tersimpan di dalam-Nya tidak dimusnahkan oleh kematian. Namun sebaliknya diabadikan oleh Kasih Ilahi, supaya daya hidup itu memberdayakan hidup kita sehingga semakin serupa dengan hidup-Nya.

MUJIZAT NYANYIAN SEORANG KAKAK

“YOU ARE MY SUNSHINE”

Kisah nyata ini terjadi di sebuah Rumah Sakit di Tennessee, USA . Seorang ibu muda, Karen namanya sedang mengandung bayinya yang ke dua. Sebagaimana layaknya para ibu, Karen membantu Michael anaknya pertama yang baru berusia 3 tahun bagi kehadiran adik bayinya. Michael senang sekali akan punya adik. Kerap kali ia menempelkan telinganya di perut ibunya. Dan karena Michael suka bernyanyi, ia pun sering menyanyi bagi adiknya yang masih di perut ibunya itu. Nampaknya Michael amat sayang sama adiknya yang belum lahir itu.

Tiba saatnya bagi Karen untuk melahirkan. Tapi sungguh di luar dugaan, terjadi komplikasi serius. Baru setelah perjuangan berjam-jam adik Michael dilahirkan. Seorang bayi putri yang cantik, sayang kondisinya begitu buruk sehingga dokter yang merawat dengan sedih berterus terang kepada Karen, “Bersiaplah, jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi!”

Karen dan suaminya berusaha menerima keadaan dengan sabar dan hanya bisa pasrah kepada yang Kuasa. Mereka bahkan sudah menyiapkan acara penguburan buat putrinya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Lain halnya dengan kakaknya Michael, sejak adiknya dirawat di ICU ia merengek terus!

“Mami, aku mau nyanyi buat adik kecil!” Ibunya kurang tanggap.

“Mami,  aku pengin nyanyi!” Karen terlalu larut dalam kesedihan dan kekuatirannya.

“Mami,  aku kepengin nyanyi!” Ini berulang kali diminta Michael bahkan sambil meraung menangis. Karen tetap menganggap rengekan Michael rengekan anak kecil.

Lagi pula ICU adalah daerah terlarang bagi anak-anak.

Baru ketika harapan menipis, sang ibu mau mendengarkan Michael. Baik, setidaknya biar Michael melihat adiknya untuk yang terakhir kalinya. Mumpung adiknya masih hidup! Ia  dicegat oleh suster di depan pintu kamar ICU. Anak kecil dilarang masuk!. Karen ragu-ragu. Tapi, suster…. suster tak mau tahu. Ini peraturan! Anak kecil dilarang dibawa masuk! Karen menatap tajam suster itu, lalu katanya, “Suster, sebelum menyanyi buat adiknya, Michael tidak akan kubawa pergi! Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Michael melihat adiknya!” Suster terdiam menatap Michael dan berkata, “Tapi tidak boleh lebih dari lima menit!”

Demikianlah kemudian Michael dibungkus dengan pakaian khusus lalu dibawa masuk ke ruang ICU. Ia didekatkan pada adiknya yang sedang tergolek dalam sakratul maut. Michael menatap lekat adiknya … lalu dari mulutnya yang kecil mungil keluarlah suara nyanyian yang nyaring, “You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are grey” Ajaib! si Adik langsung memberi respon. Seolah ia sadar akan sapaan sayang dari kakaknya. “You never know, Dear, how much I love you. Please, don’t take my sunshine away.”

YOU ARE MY SUNSHINE

By Johnny Cash

(Cfr. http://www.youtube.com/watch?v=FafLnokzeNo)

The other night, dear, as I lay sleeping
I dreamed I held you in my arms
But when I awoke, dear, I was mistaken
So I hung my head and I cried.

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know, dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away

I’ll always love you and make you happy,
If you will only say the same.
But if you leave me and love another,
You’ll regret it all some day:

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away

You told me once, dear, you really loved me
And no one else could come between.
But not you’ve left me and love another;
You have shattered all of my dreams:

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away

In all my dreams, dear, you seem to leave me
When I awake my poor heart pains.
So when you come back and make me happy
I’ll forgive you dear, I’ll take all the blame.

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You’ll never know dear, how much I love you
Please don’t take my sunshine away

Denyut nadinya menjadi lebih teratur. Karen dengan haru melihat dan menatapnya dengan tajam dan, “Terus, terus, Michael! Teruskan, Sayang!” bisik ibunya. “The other night, dear, as I lay sleeping, I dream, I held you in my arms” Dan sang adik pun meregang, seolah menghela napas panjang. Pernapasannya lalu menjadi teratur. “I’ll always love you and make you happy, if you will only stay the same!” Sang adik kelihatan begitu tenang … sangat tenang.

“Lagi, Sayang!” bujuk ibunya sambil mencucurkan air matanya. Michael terus bernyanyi dan … adiknya kelihatan semakin tenang,  relax dan damai … lalu tertidur lelap.

Suster yang tadinya melarang untuk masuk, kini ikut terisak-isak menyaksikan apa yang telah terjadi atas diri adik Michael dan kejadian yang baru saja ia saksikan sendiri.

Hari berikutnya, satu hari kemudian, si adik bayi sudah diperbolehkan pulang. Para tenaga medis tak habis pikir atas kejadian yang menimpa pasien yang satu ini. Mereka hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah therapy ajaib, dan Karen juga suaminya melihatnya sebagai Mujizat Kasih Ilahi yang luar biasa, sungguh amat luar biasa! Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Bagi sang adik, kehadiran Michael berarti soal hidup dan mati. Benar bahwa memang Kasih Ilahi yang menolongnya. Dan ingat Kasih Ilahi pun membutuhkan mulut kecil si Michael untuk mengatakan, “How much I love you”.

Dan ternyata Kasih Ilahi membutuhkan pula hati polos seorang anak kecil “Michael” untuk memberi kehidupan. Itulah kehendak Tuhan, tidak ada yang mustahil bagi-Nya, bila Ia menghendaki terjadi.

Allah menghendaki Yesus Kristus Putera-Nya, tetap hidup selama-lamanya. Daya hidup yang tersimpan di dalam-Nya tidak dimusnahkan oleh kematian. Namun sebaliknya diabadikan oleh Kasih Ilahi, supaya daya hidup itu memberdayakan hidup kita sehingga semakin serupa dengan hidup-Nya.

Selamat Paska!

Bandung, 12 April 2009

+ Johannes Pujasumartaa

Uskup Keuskupan Bandung