100 Karung Beras

12 Okt

Judul aslinya “Kome Hyappyou 米百俵” , samar-samar aku mengingat  sebuah cerita sejarah yang melatarbelakangi slogan “100 karung  beras” ini. Peristiwa ini terjadi di domain (=藩 han = daerah yang dikepalai seorang Hanshu, semacam “raja kecil”)  Nagaoka, di prefektur Niigata sekitar tahun 1860-an. Saat itu daerah ini kalah perang Boshin, dan mengalami kelaparan. Melihat kondisi ini, “tetangga”nya domain Mineyama, mengirimkan 100 karung beras, dengan tujuan menyelamatkan daerah Nagaoka dari kelaparan. TAPI, seorang petinggi daerah Nagaoka yang bernama Kobayashi Torasaburo malahan menyuruh menjual beras itu dan hasil penjualan diperuntukkan untuk membangun sekolah. Katanya: “Seratus karung beras itu jika dimakan akan habis dalam sekejap, tapi jika dijadikan sekolah (pendidikan) kita akan menuai hasilnya kelak, 10.000 atau 100.000 karung.” 「百俵の米も、食えばたちまちなくなるが、教育にあてれば明日の一万、百万俵となる」

Tentu saja keputusan itu dikecam oleh petinggi yang lain, namun keputusan itu tetap dijalankan dan didirikan Koukkan Gakkou yang menjadi cikal bakal SD Sakanoue, yang masih ada sampai sekarang. Dan semangat Kome Hyappyou ini disentil lagi oleh PM Jun-ichiro Koizumi, dengan menekankan pentingnya berpikir jauh ke depan.

buku skrip drama oleh Yamamoto Yuzo

Sebetulnya hari ini tanggal 12 Oktober 2015 merupakan hari Olahraga di Jepang. Karena sekolah anak-anakku sudah menjalankan class meeting di bulan Mei, kami tidak perlu datang ke sekolah untuk meramaikan Undokai (class meeting) tersebut. Tapi meskipun hari ini tanggal merah, deMiyashita tidak libur. Papa Gen bekerja, karena hampir semua universitas mengadakan kuliah pada hari ini. Riku juga tidak ada di rumah, karena mengikuti pertandingan Badminton pemula bagi amatir se-kelurahan Nerima sejak kemarin. Hari ini dia bermain dobel bersama temannya…. dan … tentu saja kalah karena dia baru mulai belajar bermain sejak April lalu hehehe.

Nanti tanggal 3 November, Jepang juga merayakan Hari Kebudayaan, jadi libur. Dan untuk merayakan hari kebudayaan itu, sekolah Riku mengadakan perlombaan paduan suara. Delapan belas kelas sudah berlatih sejak awal bulan Oktober, dan besok akan tampil di Pusat Kebudayaan daerah kami. Aku pun akan ikut sibuk karena aku harus mengambil foto untuk kemudian dimasukkan ke dalam buletin PTA.

Yang membuat aku termenung hari ini adalah kenyataan bahwa di Jepang TIDAK ADA hari pendidikan seperti di Indonesia. Tapi tentu bukan berarti Jepang tidak menganggap pendidikan itu penting. Dan aku sadari bahwa dari olahraga dan kebudayaan itu juga tercermin pendidikan Jepang yang sesungguhnya. SEMUA berawal dari kelompok kecil. Kerjasama dan persatuan. Maju bersama demi masa depan!

Satu lagi yang membuatku ingat pada “100 karung beras” ini adalah sebuah buku yang dikarang Yamamoto Yuzo, seorang pengarang sastra anak-anak dan penulis skrip drama (screen play) yang terkenal. Buku “Kome Hyappyou” juga merupakan buku skrip drama. Aku melihat buku ini di museum Yamamoto Yuzo yang berada di Kichijouji, tidak jauh dari gerejaku. Karena ada tempat parkirnya, Gen memarkirkan mobil kami, dan kami bertiga : aku, Gen dan Kai masuk ke dalam. Riku sakit kepala sehingga menunggu di mobil.

Memang seperti rumah biasa, yang dibuat menjadi museum.

Museum ini merupakan bekas rumah kediaman Yamamoto Yuzo. Dari foto-foto yang ada, terlihat banyak anak-anak yang mengunjungi rumah itu dan membaca buku-buku cerita anak-anak di perpustakaan rumah itu. Ada pula foto waktu Yamamoto Yuzo berdiri berbicara di depan anak-anak itu di teras rumah. Rumahnya asri dan memang merupakan bangunan eropa.

ternyata salah satu ruangan pernah dibuka untuk umum, sebagai tempat membaca anak-anak.

Ada beberapa karyanya yang terkenal, tapi belum ada yang pernah kubaca. Tapi Gen menyarankan untuk membaca kompilasinya mengenai sastra dunia yang dia terjemahkan. Hmmm kalau sastra dunia mending aku baca dalam bahasa Inggris dong hehehe.

Hari Penerjemah Internasional

1 Okt

Aku baru tahu ada hari penerjemah Internasional ketika membaca status temanku, Charity. Sasuga penerjemah tersumpah Bahasa Jepang- Indonesia! Tapi Imelda tidak bisa berhenti sampai di: “Oooo ada toh hari penerjemah? ” Tentu aku jadi ingin tahu kenapa tanggal 30 September ditetapkan sebagai hari penerjemah internasional.

Berkat googling kudapati bahwa : International Translation Day is celebrated every year on 30 September on the feast of St. Jerome, the Bible translator who is considered the patron saint of translators. The celebrations have been promoted by FIT (the International Federation of Translators) ever since it was set up in 1953. (wikipedia)

Lalu kucari dalam bahasa Jepang, apakah penerjemah Jepang ikut merayakan hari peringatan penerjemah internasional itu, dan ternyata tidak! Memang sepertinya gaungnya lebih pada penerjemahan dari dan ke bahasa Inggris.

Tapi yang pasti dari yang pernah kudapat selama kuliah dan hidup di Jepang selama 22 tahun ini, Jepang bisa maju juga karena peran penerjemah! Meiji awal banyak diterbitkan buku terjemahan dan bisa disebutkan Futabatei Shimei sebagai pelopornya. Dia menerjemahkan buku “Aibiki” dari bahasa Rusia karangan Ivan Turgenev Ивáн Серге́евич Турге́нев、ke dalam bahasa Jepang. Selain itu ada nama Mori Oogai yang seorang dokter yang banyak menerjemahkan buku-buku bahasa Jerman. Sampai-sampai disebutkan bahwa kesustraan jaman Meiji merupakan kesusastraan terjemahan!

Dari sebuah sumber diketahui bahwa sampai dengan tahun ke 15 Meiji (1882), ada 1500 buku terjemahan hampir 15% dari buku yang diterbitkan di Jepang. Sebuah jumlah yang menurutku cukup besar untuk kondisi pada jaman itu. Dan buku-buku terjemahan itu sedikit banyak membantu modernisasi Jepang.

Sekarang memang kemampuan bahasa Inggris sudah menjadi syarat untuk setiap orang di dunia. Untuk mengglobal katanya. Tapi masih ada bidang-bidang yang masih sulit dimengerti masyarakat awam sehingga peran penerjemah masih (sangat) dibutuhkan. Itu untuk bahasa Inggris, padahal dunia itu luas. Untuk mengetahui kebudayaan dan kemajuan negara-negara lain, tentu masih diperlukan orang-orang yang menguasai bahasa negara-negara tersebut.

Salah satu profesiku memang penerjemah, tapi itu kalau ada permintaan dalam bentuk pekerjaan. Di luar pekerjaan, sering aku menemukan artikel atau tulisan yang bagus, yang ingin sekali kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi sering kali  tidak ada waktu untuk mengerjakannya, atau tidak ada kata-katanya yang tepat untuk menggambarkan maksud tulisan aslinya. Di blog ini, ada beberapa terjemahan picture book, cerita anak, syair lagu dan puisi. Akhir-akhir ini aku juga menulis sedikit pemikiran tentang Jepang berdasarkan artikel bahasa Jepang yang tidak bisa aku terjemahkan semua (karena kurang waktu) di sini. Semoga ke depannya aku masih ada waktu untuk menerjemahkan tulisan-tulisan menarik lagi di sini ya.

Sebagai penutup aku ingin mengucapkan selamat bekerja untuk teman-teman penerjemah, termasuk sempai Charity, my dimple sister Sanchan, dan narablog Krismariana.

Varian Celemek atau Daster?

21 Feb

Tentu tahu dong ya apa itu celemek. Bahasa kerennya apron (bahasa Inggris) atau bahasa Jepangnya epuron 😀 (hihihi ya jap-lish dong deh ah). Aku lupa tulis di mana, tapi banyak ibu-ibu Jepang yang selalu pakai celemek di rumah dan mereka keluar rumahpun masih dengan celemeknya, naik sepeda pergi berbelanja. Tidak aneh buat masyarakat di sini. Kalau musim panas, kita juga bisa melihat nenek-nenek Jepang pakai daster batik jalan-jalan loh di sini. Memang batik itu nyaman dipakai pada musim panas.

Tapi kalau kamu pernah menitipkan anak ke penitipan di Jepang, atau melihat rombongan anak-anak balita jalan-jalan ke taman di Jepang, pasti melihat guru-gurunya memakai celemek. Biasanya pink! Selain guru-guru playgroup begini, yang sering memakai celemek pink adalah suster-suster di klinik/ Rumah Sakit. Atau kalau pernah melihat pegawai toko swalayan sedang membongkar stok barang, mereka juga memakai celemek dari plastik yang warnanya bukan pink. Demikian pula untuk orang-orang yang bekerja di toko buku, pegawainya biasa memakai celemek berwarna hitam. Kalau perhatikan pekerja di toko bunga juga memakai celemek ya. Wah ternyata banyak sekali profesi yang mewajibkan pegawainya memakai celemek di Jepang, dan memang kesannya mereka itu bersih-bersih!

Aku? waduh meskipun aku punya celemek, aku malas pakai di rumah. Padahal aku punya celemek berwarna hitam dengan banyak kantong yang biasa dipakai di salon-salon loh. Tapi biasanya aku baru pakai celemek ini (atau celemekku yang terbuat dari plastik seperti yang dipakai barista) waktu disuruh bantu-bantu di kumpulan ibu-ibu. Selain celemek HARUS pakai bandana (saputangan segitiga besar untuk menutup rambut) supaya rambut tidak jatuh. Ini peraturan. Sedangkan di rumahku, aku lebih senang mengganti baju atasan saja deh. (BTW aku tidak suka pakai daster loh, meskipun sering dibawain mama dari Jakarta. Katanya Gen, dia merasa kagok kalau lihat ibu-ibu pakai daster, pikirannya kok nightie dipakai untuk seharian 😀 iya juga sih….)

Waktu aku menulis tentang Ms Obokata Haruko, penemu STAP cell yang canggih itu, sebetulnya terlintas ingin menuliskan tentang celemek juga. Tapi kupikir lebih baik tulsi terpisah saja. Jadi, biasanya kalau scientist melakukan praktikum, yang kita tahu, mereka memakai baju putih kan? Hakui  白衣 bahasa Jepangnya, atau mungkin bagi orang Indonesia lebih nge-dong kalau dikatakan baju dokter. Nah, Ms Obokata itu sehari-harinya TIDAK memakai baju dokter, tapi memakai KAPPOUGI 割烹着 yaitu sejenis celemek yang dibuat khusus untuk wanita Jepang berkimono. Supaya kimono tidak kotor, maka biasanya ibu-ibu berkimono memakai kappougi di atasnya. Biasanya berwarna putih dari kain katun, dan jika mau bervariasi biasanya ditambahkan renda putih.

kappougi (gambar dari rakuten)

Tapi waktu melihat Ms Obokata memakai kappougi ini, aku jadi teringat bahwa aku pernah bersusah payah mencari SMOCK, untuk anak-anak balita. Jadi waktu Kai masih aku titipkan di penitipan (playgroup), waktu musim panas, aku diminta menyiapkan SUMOKKU スモック. Waduh aku bingung apa itu sumokku karena baru dengar. Waktu Riku tidak ada permintaan seperti itu, padahal tempat penitipan yang sama. Mungkin ini kebijakan baru dari kepala penitipannya. Akhirnya ketemu juga sih setelah googling dan pesan langsung di amazon. Seandainya aku bisa dan punya mesin jahit saat itu, pasti lebih murah buat sendiri. SUMOKKU itu ternyata dari bahasa Inggris, SMOCK, yang merupakan pakaian “luar” di daerah Wales bagi penggembala kambing atau petani. Semakin ke sininya sering dipakai sebagai baju luar untuk pelukis supaya tidak mengotori baju di bawahnya. Memang sih untuk anak-anak lebih baik memakaikan smock daripada celemek.

smock (gambar dari rakuten)

Jadi sebetulnya celemek, kappougi, smock itu beda nama dan sedikit beda bentuknya tapi fungsinya sama, yaitu melindungi baju di bawahnya dari kotoran.

Nah…. pertanyaanku sekarang celemek kecil yang dipakai untuk anak-anak waktu makan itu namanya apa ya? Bahasa Indonesianya apa? (Atau bahasa di tempatmu deh :D)

abuchannya Kai…sayang untuk dibuang hehehe. lucu sih

Dalam bahasa Jepang, celemek itu disebut sebagai YODAREKAKE (penahan air liur) 涎掛け, tapi aku sering sekali mendengar disebut ABUCHAN あぶちゃn. Ternyata abuchan itu berasal dari aburaya-san 油屋さん. Sedangkan nama lainnya adalah Sutai スタイ yang merupakan nama yang diberikan sebuah perusahaan perlengkapan bayi dari Swedia.

Apakah Anda suka memakai pelindung baju seperti celemek untuk bekerja sehari-harinya?

Merajut Perahu

5 Jan

Mungkin aneh ya jika mendengar kata “merajut perahu”, karena biasanya perahu bukannya dirajut tapi dibangun/dibuat. Tapi ini adalah terjemahan harafiah judul sebuah film Jepang yaitu “Fune wo Amu 船を編む” yang sama dengan judul novel yang menjadi dasar pembuatan film ini. Penulis buku ini, Miura Shiwon memang menamakan bukunya tidak umum, tapi bisa dimengerti jika sudah membaca/menonton filmnya. Judul filmnya dalam bahasa Inggris menjadi “The Great Passage”.

Ceritanya mengenai penerbitan sebuah kamus yang bernama Daitokai 大渡海 yang kalau dilihat dari kanjinya ada kata “menyeberangi” dan “laut” sehingga untuk menyeberangi laut perlu kapal/perahu kan? Dan dalam pembuatan kamus itu perlu orang-orang yang “merajut” atau “menyambung” penjelasan kata-kata yang akan dituliskan dan mereka tergabung dalam kelompok editorial.  Film ini dimulai dengan : bagaimana menjelaskan kata “kanan”.

Majime Mitsuya, sebagai tokoh cerita ini, merupakan orang yang sangat “aneh”, lulusan bidang linguistik. Apalagi namanya Majime 馬締 yang kalau dalam bahasa sehari-hari berarti, rajin, tekun, giat, serius. Jadi benar-benar cocok antara nama keluarga dan sifatnya itu. Dalam wikipedia dikatakan bahwa nama keluarga seperti ini BUKAN buatan, ada sekitar 10 keluarga di seluruh Jepang yang memakai nama keluarga ini. Si Majime sebelum masuk ke seksi editorial kamus ini ditanya oleh pemimpin editorial (profesor bahasa) mengenai bagaimana menjelaskan kata “kanan” yang dijawab “Jika menghadap ke utara, maka yang di sebelah barat adalah kanan”. Penjelasan yang dirasakan bisa cukup mewakili TAPI pada akhir cerita tidak dipakai sebagai penjelasan kata kanan dalam kamus itu.

Pembuatan kamus itu makan waktu bertahun-tahun (dalam film ini kamus Daitokai ini makan waktu 13 tahun, dengan lata cerita dimulai tahun 1995), dan oleh perusahaan penerbitan merupakan proyek yang memakan biaya dan tidak diketahui keuntungannya. Sedikit perusahaan yang mau menerbitkan kamus yang tebal karena faktor itu. Dalam penulisan novel dikatakan bahwa penulis mengadakan survey pada perusahaan penerbitan kamus terkenal  di Jepang yaitu Iwanami Shoten dan Shogakkan. Dan memang aku bisa bayangkan sulitnya membuat kamus, yang sebetulnya tidak bisa hanya dipegang oleh satu orang. Harus dilakukan satu tim.

Dalam film kekuatan tim, passion mereka dan bumbu-bumbu cerita cinta Majime dengan Kaguya membuat film ini menarik. TAPI mungkin hanya dianggap menarik oleh mereka yang bisa mengerti proses penulisan, mereka yang berkecimpung dalam dunia penulisan/penerbitan dan penelitian bahasa. Bagi mereka yang tidak mempunyai perhatian pada proses penulisan pasti akan mengecap film ini “suram.  Aku sendiri menonton film ini menjadi “sakit perut” membayangkan jika aku harus menjadi editor kamus … duh bekerja sambil duduk terus di dalam ruangan (yang dalam film itu kesannya gelaaaap sekali) dan harus mencari kalimat yang tepat sasaran, tanpa hiasan, yang bisa menerangkan kata yang dimaksud.

Hanya ada satu harapanku jika ada yang berminat menonton, (sebaiknya sih semua orang bisa menonton) yaitu pengertian bahwa pembuatan kamus itu sulit dan semoga pemakai kamus bisa menghargai kamus, terlebih kata-kata yang dikumpulkan dengan susah payah. Semoga kamus juga dapat membantu menghilangkan keraguan atau salah tafsir pemakai bahasa. LOH kok aku yang berharap sih hehehe? Mestinya FILM (atau penulis) yang berharap ya? Tapi sebagai seorang dosen bahasa, aku merasa senang ada sebuah film yang bisa menggambarkan pekerjaan penulisan, editorial dan penerbitan sebuah kamus. Aku memang sedikit dipaksa oleh Gen untuk menonton film ini (aku sendiri kan tidak begitu suka menonton film) karena menurutnya aku HARUS menonton 😀

Cerita ini mendapat penghargaan Piagam Toko Buku pada tahun 2012, dan difilmkan oleh sutradara Ishii Yuya pada tahun 2013, jadi memang masih baru. Tapi aku tidak sempat menonton di bioskop, sehingga aku menontonnya kemarin setelah kembali dari rumah mertua. Penasaran dengan penjelasan kata kanan yang dimuat di kamus itu? Jawabnya: “Jika menulis angka 10, maka angka o itulah kanan” ….. Penjelasan yang jauh lebih singkat dibanding dengan penjelasan dari Majime atau kamus lain yang memakai penjelasan “arah yang ditunjukkan jarum jam dari angka 1 sampai 5”  Tapi kalau menurutku ini masih ambigu karena angka 1 itu kan menit ke 5, padahal mulai menit pertama sudah ada di sebelah kanan hehehehe. Ssssttt aku juga penasaran cari di KBBI penjelasan kanan adalah sbb: ka·nan n 1 arah, pihak, atau sisi bagian badan kita yg tidak berisi jantung; 

Kalau kamu bagaimana menjelaskan kata “kanan”? bisa menjelaskannya? 

(Aku beruntung masih bisa menjawab pertanyaan Kai selama ini:
“Mama, elevator itu bagaimana cara kerjanya?”
“Mama, gelas itu terbuat dari apa?”
“Mama, kenapa batu itu bisa mengkilap? Bagaimana supaya bisa mengkilap?”
“Mama huruf hiragana ro itu bagaimana?”
dst dst dst.)

Ketika Aku Cantik

11 Nov

Hari Jumat lalu, aku mengajar tentang puisi Indonesia kepada mahasiswa kelas menengah. Aku memperkenalkan karya Chairil Anwar yang terkenal “Aku” dan karya Rendra. Sambil aku menanyakan mereka apakah mereka menyukai Haiku, Tanka atau puisi modern Jepang dan siapa penyair Jepang kesukaannya. Atau kalau tidak suka puisi dan sastra, mungkin mereka punya sebuah kata mutiara, kalimat yang mereka sukai berupa quotes atau peribahasa, apa saja. Lalu kutanya satu-satu. Dan ternyata memang hanya 4 orang (3 wanita) dari 20 mahasiswa yang menyukai puisi.

Aku biasanya mengambil contoh puisi Jepang untuk diterjemahkan dari karya Kaneko Misuzu yang sudah pernah aku tulis di sini, tapi dari mahasiswaku aku menjadi mengenal satu lagi nama penyair wanita Jepang yaitu Ibaraki Noriko. Aku langsung mencari puisinya dan menurut suamiku yang paling terkenal itu judulnya : “Ketika Aku sedang Cantik-cantiknya” わたしが一番きれいだったとき。

Ketika aku sedang cantik-cantiknya         わたしが一番きれいだったとき
Kota runtuh berserakan                 街々はがらがらと崩れていって
dari tempat-tempat yang tak terduga        とんでもないところから
bisa terlihat langit biru                  青空なんかが見えたりした

Ketika aku sedang cantik-cantiknya         わたしが一番きれいだったとき
Orang di sekelilingku banyak yang mati      まわりの人達が沢山死んだ
di pabrik di laut di pulau tak bernama        工場で 海で 名もない島で
Tak ada lagi niat untuk bersolek            わたしはおしゃれのきっかけを落としてしまった

Ketika aku sedang cantik-cantiknya                              わたしが一番きれいだったとき
tidak ada orang baik yang memberika hadiah             誰もやさしい贈り物を捧げてはくれなかった
Lelaki hanya tahu tanda hormat                                         男たちは挙手の礼しか知らなくて
dengan pandangan yang bersih semua berangkat       きれいな眼差だけを残し皆(みな)発っていった

Ketika aku sedang cantik-cantiknya                                わたしが一番きれいだったとき
Kepalaku kosong                                                                       わたしの頭はからっぽで
Hatiku kaku                                                                                 わたしの心はかたくなで
Hanya tangan dan kaki berwarna coklat                          手足ばかりが栗色に光った

Ketika aku sedang cantik-cantiknya                                 わたしが一番きれいだったとき
Negaraku kalah dalam perang                                             わたしの国は戦争で負けた
Adakah hal yang sebodoh itu?                                             そんな馬鹿なことってあるものか
menggulung lengan menyusuri kota hancur                  ブラウスの腕をまくり卑屈な町をのし歩いた

Ketika aku sedang cantik-cantiknya                                  わたしが一番きれいだったとき
dari radio mengalir musik jazz                                               ラジオからはジャズが溢れた
sambil sempoyongan merokok diam-diam                      禁煙を破ったときのようにくらくらしながら
Aku mabuk oleh musik luar negeri                                      わたしは異国の甘い音楽をむさぼった

Ketika aku sedang cantik-cantiknya                                    わたしが一番きれいだったとき
Aku amat tidak bahagia                                                             わたしはとてもふしあわせ
Aku merasa sangat aneh                                                            わたしはとてもとんちんかん
Aku merasa amat kesepian                                                       わたしはめっぽうさびしかった

Karena itu kuputuskan untuk panjang umur                    だから決めた できれば長生きすることに
setelah tua akan melukis yang sangat indah                      年とってから凄く美しい絵を描いた
seperti karya paman  Rouault                                                    フランスのルオー爺さんのようにね

Sebuah puisi yang ditulis waktu Ibaraki Noriko berusia 15 tahun waktu terjadi perang Jepang Amerika (sampai berusia 19 tahun) menggambarkan situasi pada saat itu. Tapi ada satu lagi puisi yang berjudul  Jibun no Kanjusei kurai 自分の感受性くらい、“Sensitifitas diri”Ibaraki Noriko menghardik diri sendiri yang menyalahkan dunia akan kegagalan atau kekeringan hati. Sampai dia menyebut dirinya sebagai bakamono ばかもの orang yang bodoh. Dengan puisi itu seakan dia ingin bangkit dari semua kegagalan.

Setelah aku dan Gen membahas dua karya Noriko ini, kami menyadari bahwa Ibaraki Noriko yang membuat majalah puisi berjudul “KAI” 櫂 pada tahun 1953 yang kanjinya kami pakai untuk nama anak kedua kami. Aku jadinya ingin mencari puisi-puisinya yang lain deh.

Kamu suka puisi siapa?

sumber http://kajipon.sakura.ne.jp/kt/shisyu.html

Buku Cerita

21 Okt

Hari Minggu tanggal 13 Oktober, setelah menonton baseball, kami mengunjungi rumah mertua di Yokohama. Kebetulan adik Gen dari Sendai datang, dan juga keesokan harinya tante dari Wakayama juga mampir. Jadi secara tidak langsung kami bereuni di sana. Dan mengisi acara setelah makan siang, bapak mertuaku memutar film lama, The Guns of Navarones.

The Guns of Navarone

Aku langsung teringat bahwa aku sudah pernah membaca buku aslinya. Sebuah buku yang dikarang Alistair MacLean dengan judul Meriam Benteng Navarone (1957). Kenapa aku bisa ingat tentang buku ini, sebenarnya karena buku ini termasuk buku novel dewasa pertama yang kubaca dengan sembunyi-sembunyi waktu aku kelas 5 SD (atau 6 persisnya aku lupa)- sekitar tahun 1981. Sebelumnya aku hanya membaca buku-buku tipisnya Album Cerita Ternama, atau cerita-cerita anak-anak. Temanku yang tetangga di belakang rumah yang meminjamkan buku kakaknya itu kepadaku. Dia menyerahkan buku itu lewat pagar rumah, dan waktu selesai aku kembalikan juga lewat pagar kawat. Lucu juga kalau mengenang masa-masa itu.

Buku Meriam Benteng Navarone yang kupinjam. Setelah itu di Jepang aku membeli buku bekasnya yang berbahasa Inggris.

 

Dan karena aku takut tidak diperbolehkan baca buku setebal itu oleh mama, aku membacanya di kamar asisten di belakang. Mama memang tidak begitu senang membaca, lain dengan papa. Untuk soal buku, aku memang “anak papa” :D. Aku sembunyikan novel itu di bawah kasur asisten, dan kalau mau baca ya masuk kamar mereka dan baca di situ 😀 (Duh pengakuan dosa deh hehehhe). Tapi sesuai dengan keterangan tentang Alistair MacLean “Compared to other thriller writers of the time, such as Ian Fleming, MacLean’s books are exceptional in one way at least: they have an absence of sex and most are short on romance because MacLean thought that such diversions merely serve to slow down the action.” Jadi tidak ada dong cerita yang nyerempet-nyerempet begitu. Bahkan menurutku waktu itu ceritanya sulit dicerna. Ada dua buku Alistair yang kubaca yaitu Meriam Benteng Navarone ini dan HMS Ulysses, dan keduanya berat euy.

Tapi dengan buku berat ini, aku akhirnya menyenangi cerita spy, misteri dan detektif. Setelah itu bacaanku buku-buku Agatha Christie, Sidney Sheldon pinjam dari perpustakaan tapi kalau membeli sendiri aku hanya boleh membeli bangsanya Lima Sekawan dan Trio Detektif. Tentu Winnetou juga termasuk di dalam daftar bukuku. Untung saja waktu itu aku belum kenal Kho Ping Ho, coba kalau kenal jaman aku SMP bisa-bisa aku tidak belajar 😀

Baru setelah aku masuk SMA dan bahasa Inggrisku sudah cukup memadai, aku membaca buku roman berbahasa Inggris dari Mills and Boon (sekarang menjadi Harlequin) dan berkenalan dengan Barbara Cartland 😀 yang tipe ceritanya senada semua: Gadis miskin berkenalan dengan pria kaya. Cinderella stories deh. Lama kelamaan aku bosan dan memutuskan “persahabatan” dengan BC.

Jaman universitas aku sudah bisa membeli buku sendiri, dan menyukai buku-buku dari S. Mara Gd, V. Lestari dan Maria A Sardjono. Ingin membeli buku-buku Mills and Boon tidak bisa karena sulit mendapatkan buku bahasa Inggris saat itu. Sejak aku bisa membaca buku bahasa Inggris di SMA, aku tidak pernah lagi suka buku terjemahan jika tidak terpaksa sekali.

Sekarang buku-bukuku beragam, tapi sampai aku tetap merupakan fans  ketiga penulis wanita Indonesia dan buku romance Harlequin dalam bahasa Inggris karena membaca buku-buku mereka membuatku rileks dan bisa menikmati waktu “me Time” atau dalam perjalanan dalam kereta.

Hari ini adalah hari kelahiran seorang penulis cerita detektif Jepang yang bernama Edogawa Ranpo. Coba sebutkan nama ini dan bayangkan nama Edgar Alan Poe, mirip kan? Memang dia memakai nama ini, padahal nama aslinya adalah Hirai Tarou. Bukunya yang terkenal adalah Kaijin Nijumensou 怪人二十面相(かいじんにじゅうめんそう). Sayangnya aku belum pernah baca karya-karyanya. waktu kutanya apakah Gen pernah baca, ternyata dia tidak pernah baca. Gen sih jenis bacaannya susah seperti sastra klasik dan modern serta buku essei biologi. Eh tapi dia sudah menyelesaikan tetraloginya Pramoedya Ananta Toer loh (tentu saja terjemahan ke bahasa Jepang) .

Kamu suka buku cerita detektif?

Sssst aku sedang membaca ini:

Misteri Dilema Seorang Menantu

Open School

20 Sep

Ada dua kegiatan di sekolah dasar Jepang yang melibatkan orang tua murid yaitu Jugyo Sankan 授業参観 (Open Class – orang tua melihat pembelajaran di kelas anaknya) dan Gakkou Koukai 学校公開 (Open School – Sekolah dibuka untuk umum/ yang mau mengunjungi). Tujuannya sama, yaitu supaya orang tua bisa melihat langsung kegiatan pembelajaran anaknya, tapi untuk yang Open School ini, orang tua bisa mendatangi kelas-kelas lainnya untuk “melongok” kegiatan pembelajaran, misalnya kelas komputer, kelas seni dsb. Sedangkan jugyou sankan atau open class, orang tua hanya berada di kelas anaknya saja, kecuali kalau ada kakak/adiknya di sekolah yang sama.

Kedua kegiatan ini memang biasanya diadakan pada hari biasa, tapi pasti ada satu hari Open School yang diadakan hari Sabtu sehingga orang tua yang bekerja di hari biasa juga bisa hadir. Kedua kegiatan ini sudah terdapat dalam rencana kegiatan sekolah tahunan, jadi bisa diketahui dari jauh-jauh hari (tidak mendadak), seperti juga kegiatan sekolah yang lain (termasuk Idou Kyoshitsu – Kelas Bergerak). Tidak ada kegiatan di sekolah yang mendadak, bahkan kalaupun ada gangguan cuaca sehingga terpaksa dibatalkan, pasti akan diberitahukan cadangan hari pelaksanaannya.

Hari ini merupakan Open School untuk SD nya Riku. Dan seperti biasa Riku amat mengharapkan kedatanganku. Sebetulnya aku harus bersyukur, karena banyak anak yang tidak suka jika ibunya datang. Riku malah sedih kalau aku tidak bisa datang 😀 Sehingga waktu kemarin dia mengingatkan bahwa hari Jumat ada Open School, aku cepat-cepat membatalkan rencana kencan dengan Sanchan 😀

Tapi hari ini aku tidak enak badan. Entah akhir-akhir ini aku merasa tidak bertenaga, sehingga harus tidur siang supaya bisa kuat. Pengaruh cuaca mungkin ya. Jadi tadi aku tidur lagi setelah mengantarkan Kai ke TK. Dan terbangun pukul 11. Hmm setelah melihat jadwal pelajaran dari jam pertama sampai ke 4 aku merasa tidak apa-apa jika aku tidak hadir. Aku juga sudah tanya Riku jam pelajaran ke berapa yang dia ingin sekali aku datang. Mamanya sudah tidak bisa kalau harus seharian berdiri terus di belakang kelas. Dan dia katakan jam ke 5 (13:40-14:25) dan ke 6 (14:30-15:15), karena di jam ke 6 dia akan presentasi. Jadi deh aku keluar rumah jam 13:20 berjalan ke SD karena tidak boleh naik sepeda (tidak ada parkir sepeda).

Jam ke 5 ternyata diadakan di perpustakaan. Ternyata waktu kulihat di jadwal judulnya: “Story Telling and Book Talk” , sehingga waktu aku datang dan bertemu wali kelas Riku, aku diajak masuk ke perpustakaan dan duduk (huh lega deh bisa duduk hehehe). Selama jam ke 5 hanya ada 5 orang tua murid yang datang dari 31 murid satu kelas. Yah memang sih biasanya orang tua murid datangnya jam pertama sampai ke 4 yang diadakan sebelum makan siang. Waktu makan siang kami harus pulang dan datang lagi pukul 13:40 (jam ke 5) itu. Jadi memang biasanya sedikit sekali orang tua yang hadir pada jam ke 5 dan ke 6.

Tapi waktu kutanya pada ibu yang di sebelahku dan kepada Riku juga, ternyata orang tua yang mengunjungi kelas sangat sedikit kali ini. Paling banyak 5 orang 🙁 Kasihan juga anak-anak ya. Memang kalau melihat pengalaman yang lalu, ibu-ibu akan bersemangat untuk hadir di kelas-kelas rendah, kelas 1-2-3, lalu mulai kelas 4 ke atas mulai malas datang. Mungkin bosan, mungkin merasa tidak perlu, mungkin tidak bisa karena bekerja. Aku pun sebetulnya kalau hari Jumat tidak bisa, tapi berhubung semester genap belum mulai (baru mulai minggu depan) aku bisa datang.

Anyway, pelajaran jam 5 di perpustakaan ini BAGUS sekali. Setelah jam ke 5 selesai, aku sempat memuji wali kelasnya, dan ternyata pelajaran seperti ini BARU percobaan pertama kali. Wah, aku katakan “Bagus sekali kalau setiap bulan diadakan pak!”. Sebagus apa sih?

Guru penanggung jawab perpustakaan (aku singkat guru perpustakaan) memulai pelajaran dengan menceritakan satu cerita dari Ethiopia (Judul : Mura no Eiyu – Watanabe Shigeo)  . Cerita yang menarik dan menjadi pengetahuan juga karena dengan demikian anak-anak juga ditanya Ethiopia itu di mana, dsb pengetahuan umum. Aku pun ikut terhibur dengan Story Telling ini.

Cerita rakyat Ethiopia

Sesudah itu guru tersebut mengadakan Book Talk; yaitu memperkenalkan buku-buku pilihan yang menurutku semua menarik. Ada buku tentang Kucing Kampung : bagaimana kucing kampung melewatkan satu hari dan bagaimana manusia meneliti Kucing Kampung, Cerita tentang Topi Merah dan Topi Putih yang justru merupakan buku matematika yang sulit, ada buku tentang Nasi, mulai dari ukuran berat jaman dulu sampai dalam satu mangkuk ada berapa butir beras, Cerita tentang pohon Mochi yang ternyata ada dalam buku teks pelajaran SD kelas 5 dsb. Ada cerita tentang kalender yang dibuat Julius Caesar dan Gregorius. Aku sendiri berminat membaca buku tentang Nasi itu, menarik!

sebagian dari buku-buku yang diperkenalkan dalam Book Talk

Setelah Book Talk selesai, murid-murid diberi waktu bebas untuk membaca buku atau meminjam buku. Buku-buku yang diperkenalkan guru tadi itu juga menjadi rebutan untuk dipinjam. Aku mencari Riku untuk melihat dia membaca atau meminjam buku apa…eeeeh ternyata dia berada di belakang meja peminjaman. Dia menjadi Petugas Perpustakaan. Oh iya dia kan memang anggota OSIS untuk seksi perpustakaan 😀 Senang dan bangga juga melihat anak sedang “bertugas”.

Jam ke 6 murid- murid kembali ke kelas dan melaksanakan pelajaran SOGO (Multidisiplin). Mereka dibagi menjadi 6 kelompok dan mengadakan presentasi atas penelitian mereka tentang “Beras”. Pantas waktu itu Riku minta bantuan aku untuk mencari tentang “Pengembangan Jenis Beras” di internet. Anak-anak dibiasakan untuk mengadakan presentasi. Ada yang berbicara jelas tapi ada pula yang kecil suaranya. Juga ada yang penelitiannya kurang “dalam” sehingga berkesan asal-asalan, tapi semua sudah berusaha dengan baik. Ada yang membuat presentasi berupa “buku laporan” dan ada yang berupa poster. Bagian Riku dia menjelaskan bagaimana pembuahan padi yang menjadi “bapak” dan padi “ibu” untuk menjadi padi jenis baru yang lebih tangguh dan enak rasanya. Suaranya lumayanlah meskipun masih kurang keras dan jelas (menurutku).

Meskipun aku hanya mengikuti jam ke 5 dan ke 6, hari ini aku merasa menjadi “murid” yang baik dan banyak belajar dari guru perpustkaan dan dari presentasi murid-murid. Gratis lagi 😀 Hebat deh.

Pulang sekitar jam 15:45, dan karena masih ada waktu 30 menit sebelum Riku pergi Juku (bimbel) , aku mengajak dia kencan di restoran dekat rumah untuk makan es krim. Kapan lagi aku ada waktu benar-benar “berduaan” dengan sulungku, jadi aku menikmati waktu 30 menit yang berharga itu, dan menghabiskan sisa-sisa makanannya sementara dia bergegas naik sepeda ke Juku. Sedangkan aku masih ada waktu 20 menit lagi sebelum menjemput Kai di TK.

Very nice one Friday for me… How was your Friday?

 

 

Program 100 Kastil

23 Jul

Seperti yang sudah kutulis di sini, deMiyashita sedang mempunyai proyek  keluarga yaitu mengunjungi 100 kastil terkenal di Jepang. Ceritanya tidak mau kalah dengan kakek Miyashita yang sudah mendaki 100 gunung terkenal di Jepang. Padahal jumlah kastil di Jepang itu banyak sekali. Ada yang masih berupa bangunan kastil, ada yang sudah rata dengan tanah, hanya ada “bekas-bekas”nya saja. Jadi kami sendiri tidak bisa menentukan 100 kastil terkenal itu apa saja. Untung ada buku yang berjudul 100名城 (100 Kastil Terkenal Jepang) yang memuat 100 kastil berdasarkan daerahnya. Buku itu juga menyediakan tempat kosong untuk mengumpulkan cap kastil itu. Jadi kalau kami masuk ke kastil, dan menghubungi pintu masuk, baik bayar atau gratis, bisa menanyakan cap yang dimaksud.

Aku beli dua buku ini untuk Riku dan Kai supaya tidak berantem 😀

Tanggal 7 Juli adalah hari Tanabata. Setelah mengikuti misa dan sekolah minggu (aku mengikuti rapat sekolah minggu) jam 12 siang, Gen menjemput kami di gereja langsung naik tol. Tujuan kami hari itu adalah Odawara Castle yang terletak di prefektur Kanagawa. Aku sendiri sudah berkali-kali ke sini, karena memang bangunan kuil yang terdekat dari Tokyo adalah Odawara Castle sehingga sering mengantar teman ke sini. Riku juga sudah pernah, tapi waktu itu dia baru berusia 2 tahun :D.

pintu gerbang kastil Odawara yang berlapis

Yang menyenangkan sebelum kami sampai di kastil tersebut, kami harus melewati tol yang menyusuri pantai. Di luar terik matahari tapi dalam mobil ber-AC. Jadi sepanjang berada dalam mobil, melihat ke arah laut membiru, segar sekali rasanya. Tapi jangan keluar mobil, karena saat itu suhu di termometer sih 33 derajat, tapi real feelnya 38 derajat sajah! Dan untuk pertama kalinya aku merasa dehidrasi, pusing karena tidak mau minum selama perjalanan.

Kami sampai di kastilnya sudah pukul 15:20 karena berputar-putar mencari tempat parkir. Tapi dibanding dulu waktu aku datang ke sini, pengunjung kastil amat sangat sedikit, alias sepi. TAPI ada yang mengejutkan kami waktu kami mulai memasuki gerbang kastil. Ya kami bertemu dengan 4 orang cosplay (costume player, orang-orang yang memakai kostum dari anime/manga) . Cukup mengagetkan karena tidak menyangka di tempat yang begitu klasik, ada mereka. Sebetulnya aku ingin berfoto dengan mereka, tapi pengaruh hawa panas membuat aku malas.

si cosplayer 😀

Dan ternyata, tidak hanya 4 cosplay saja yang kami temui. Di gerbang kastil bagian dalam, kami bertemu lagi dengan perempuan dengan kostum salah satu pemain di Inuyasha. Langsung aku tanyakan padanya kenapa kok banyak cosplayer yang datang ke Kastil Odawara ini. Dan dia menjawab bahwa sejak jam 10 pagi memang sedang ada event khusus untuk cosplayer di situ. Pantas banyak sekali cosplayer yang kami temui. Coba tidak panas, pasti aku minta berfoto dengan mereka satu-per-satu. Riku juga tidak banyak tahu manga dan anime, sehingga melihat cosplayer begitu juga cuek saja 😀

Di depan kastil ada kebun binatang kecil, tapi karena takut kastilnya tutup, kami langsung memasuki bagian dalam kastil dengan membayar 400 yen untuk dewasa dan 150 untuk Riku. Kalau anak TK memang biasanya gratis.

Odawara Castle

Kami tidak boleh memotret di dalam kastil, dan kebanyakan memang peninggalan bersejarah dari kastil tersebut. Terdiri dari 5 tingkat, dan di puncaknya kami bisa melihat pemandangan ke luar dari 4 mata angin. Sayang ada pagar kawat sehingga hasil fotonya kurang bagus. Di lantai teratas itu juga ada tempat beristirahat dan tempat penjualan cindera mata. Jadilah banyak orang yang membeli es untuk mengusir udara panas sore itu.

dari puncak castle

Setelah menuruni kastil, kami memasuki sebuah kuil Hotokuninomiya jinja yang merupakan tempat memperingati Ninomiya Sontoku (nama aslinya Ninomiya Kinjiro 二宮 金次郎 4September  1787 – 17 November  1856). Dia berasal dari keluarga miskin, ayahnya meninggal waktu usia 14 tahun sehingga harus bekerja keras sambil mengurus adik dan ibunya yang meninggal 2 tahun sesudahnya, tapi di setiap kesempatan beliau membaca buku. Dalam usia 20 tahun dia berhasil mengubah sebuah tanah terlantar menjadi tanah pertanian dan menjadi kaya sebagai seorang tuan tanah. Kemudian dia menjadi seorang daimyo yang terkenal di Odawara.  Patung yang terkenal adalah waktu dia membaca buku sambil berjalan menggendong kayu bakar. 

Ninomiya Jinja. Kanan patung Ninomiya berjalan sambil membaca buku

Ninomiya ternyata juga dikenal sebagai pemimpin agrikultur, ekonomist, moralist dan filosofer. Aku sendiri belum tahu banyak tentang Ninomiya, tapi kalau membaca di wikipedia, kagum juga bahwa dia membuat semacam koperasi simpan pinjam untuk anggota tanpa bunga untuk 100 hari pertama. Meskipun dia tidak meninggalkan buku atau dokumen tertulis, bawahannya menuliskan pemikiran Ninomiya yang menggabungkan pemikiran Buddha, Shinto dan Konfusius dalam pelaksanaan praktis. Selain itu pemikirannya bahwa pertanian adalah bidang yang terpenting, karena berasal dari sang Pencipta.

miyukigahama, odawara

Kami meninggalkan kuil yang teduh itu untuk kembali ke Tokyo. Tapi kami ingin sekali mampir ke pantai yang terlihat dari jalan tol waktu datang, jadi Gen mencari jalan di bawah tol untuk mencari cara untuk ke pantai. Akhirnya setelah melewati jalan sempit pemukiman penduduk, kami sampai di sebuah terowongan untuk pejalan kaki berjalan ke pantai. Anak-anak langsung berlari ke pantai mengejar ombak. Riku dan Kai sempat mendapatkan ikan Katakuchiiwashi (anchovy) yang terdampar terbawa ombak. Tapi karena ikan jenis ini mudah busuk, kami kembalikan ke laut lagi.

Riku dan Kai mengumpulkan katakuchiiwashi (anchovy) yang terdampar

Tapi ombak di pantai Miyukigahama, Odawara ini cukup besar, sehingga aku selalu berteriak wanti-wanti anak-anak jangan terlalu dekat dengan air. Tidak ada orang sama sekali di sekitar pantai, dan itu bisa dimaklumi karena puanasnya rek! 😀 Yang menarik perhatianku di situ terdapat peringatan bahwa jika terjadi gempa bumi, harus segera melarikan diri lewat terowongan ke sisi pemukiman. Sepanjang pantai memang didirikan tembok tinggi dan kalau melihat tebalnya pintu terowongan itu, aku mengagumi antisipasi orang Jepang menghadapi tsunami.

tunnel penghalang tsunami di pantai Miyukigahama. Lihat ketebalan pintunya, seperti pintu  bank ya 😀 (Padahal belum pernah lihat pintu  bank selain di film)

Kami kemudian pulang ke Tokyo naik tol yang lumayan macetnya 😀 Meskipun cuma setengah hari, perjalanan 100 Kastil kami hari itu cukup menyenangkan. Masih ada beberapa kastil di sekitaran Tokyo yang bisa kami kunjungi pulang hari, tapi kalau sudah ke arah kansai (Osaka, Kyoto dan sekitarnya) kami perlu merencanakan jauh hari karena perlu menginap. Semoga bisa lengkap mengunjungi 100 kastil deh, entah selesainya kapan.

 

Menemui Eiffel

21 Jul

Ini adalah sambungan tulisanku yang, Outdoor Family. Perjalanan ke Hokuto, Yamanashi Prefektur.

Karena jam sudah menunjukkan pukul 4:30 sore dan kami tahu jalan tol pulang pasti macet, kami bergegas pulang. Tapi Gen minta ijin untuk mampir ke suatu tempat. Katanya ada yang ingin dia perlihatkan padaku. “Apa sih?” tanyaku…. “Museum Seni!”…. hmmm sebetulnya aku tidak begitu gandrung museum seni, tapi ok lah.

Kami sampai di depan pintu gerbang “Kiyoharu Geijutsumura 清春芸術村” (Perkampungan Seni Kiyoharu) pukul 4:50. Biasanya museum seni di mana-mana tutup jam 5, jadi musti bergegas. Dan di depan gerbang tertulis: Harga karcis masuk dewasa untuk museum 800 yen, untuk Gedung Cahaya: 500 yen, dan harap beli di loket gedung masing-masing. Sempat cemberut juga sih aku, kalau musti keluarkan uang 1500yen untuk 30 menit hehehe.

eh ternyata tidak bisa juga masuk kok ke museumnya karena kami sampai di situ pukul 16:50

Kami masuk ke dalam gerbang dan melihat ada sebuah gedung bundar. Tapi tidak ada siapa-siapa dan ada papan yang menunjukkan bahwa di situ bukan museumnya, tapi di tempat lain. Jadi aku bergegas ke tempat yang dituju. Ada sebuah kolam di situ dan memang terlihat ada pintu masuk bangunan museum, yang… biasa-biasa saja. Memang bangunan museumnya biasa saja, tapi di sekelilingnya dong… Banyak bangunan dan patung yang menarik!

Patung ibu jari karya pematung perancis César Baldaccini (1 January 1921- 6 December 1998), terletak sebelum naik tangga ke museum seni Kiyosato Shirakaba

Rupanya bangunan bulat yang pertama kami lihat bernama “La Ruche” atau sarang lebah. Ini merupakan duplikat dari sebuah bangunan di Paris yang pernah dipakai sebagai pavilion untuk wine di Paris Expo tahun 1900, yang didesain oleh Gustav Eiffel. Sampai sekarang bangunan yang berada di perkampungan seni Kiyoharu ini dipakai sebagai atelier (studio kerja) dan tempat tinggal seniman.

foto bersama di depan “La Ruche”. Sayang miring-miring 😀

Untung saja aku belum sempat membeli karcis masuk museum, karena Gen datang setelah memarkirkan mobil, dan menunjuk sebuah bangunan kecil di sebelah museum. Aku tidak tahu bahwa boleh masuk ke sana. Jadi Gen yang membukakan pintu untukku. Dan… terkejut begitu masuk karena langsung terlantunkan lagu gereja dari player yang ada. Ah, rupanya ini chapel yang dimaksud Gen.

Rouault Chapel dari luar.

Jadi konon ada artist dari Perancis bernama Rouault, terkenal sebagai seniman beragama katolik dan banyak menghasilkan karya seni bernafaskan katolik. Salah satunya adalah sebuah stained glass yang dibeli oleh seorang Jepang yang kaya. Karena dia mau memamerkan stained glass itu maka dia juga membangun sebuah chapel kecil di perkampungan seni itu dan kapel itu dinamakan Rouault chapel.

Dalam chapel, juga ada salib yang dibuat Rouault sendiri untuk di taruh di dinding altar. Dulu banyak lukisan Rouault dipajang di sini, tapi waktu kami ke sini tidak ada.

Yang lucu, si Kai begitu masuk gereja langsung menghormat dan berdoa 😀 Entah apakah pernah ada orang yang mengadakan misa di situ atau tidak tapi tempatnya lengkap dengan orgel kecil, altar dan salib serta tempat duduk umat yang kira-kira 20 kursi. Tapi suasana, pencahayaan, musik dan semuanya membuat kami merasa bahwa tempat itu benar-benar chapel. Nanti mau tanya ah apa sudah pernah ada yang membuat misa di situ 😀 (Ternyata setelah mencari di websitenya, chapel ini bisa dipakai untuk upacara pernikahan, tentu dengan ijin sebelumnya)

Foto Rouault di depan museum seni. Ini toh yang namanya Rouault. Jadi malu pada Gen yang memberitahukan bahwa Rouault adalah seniman katolik yang terkenal. Jadi belajar deh.

Setelah melihat chapel (yang gratis, tanpa perlu membayar tiket masuk), kami menikmati luasnya halaman di lingkungan “desa seniman” ini. Ada sebuah patung berjudul “Eiffel” dan sebuah rumah pohon yang didesain Fujimori Terunobu dan diberi nama Ruang Teh Tetsu. Aku sebetulnya penasaran kenapa kok patung yang kubilang aneh itu diberi nama Eiffel, dan apa hubungannya dengan Menara Eiffel yang di Perancis itu. Waktu mau menulis ini, aku terpaksa harus mencari literatur yang mendukung, dan mengetahui bahwa itu adalah patung Gustav Eiffel, si perancang Menara Eiffel dan tentu saja bangunan bundar yang menyambut kami di pintu gerbang tadi, La Ruche. Tak salah kan, kalau aku menulis judul Menemui Eiffel 😀 (dan Rouault tentunya)

Patung Eiffel di sebelah tangga kuning dan di kejauhan tree house “Ruang Teh Tetsu”.

Senang rasanya bisa melihat tempat ini. Berada di halamannya saja sudah senang (belum tentu sih tetap senang jika melihat lukisan yang dipajang dalam museum, karena aku “buta” seni lukis). Langit juga biru, khas langit musim panas, tapi karena di sini pegunungan jadi tetap sejuk. Memang cocok daerah ini sebagai daerah bungalow. Jadi perkampungan seni di antara belantara bungalow deh.

mobil caravan seni di depan pintu masuk. sayang sudah tutup waktu kami ke sana.

Mungkin kalau kami ke sini lagi, kami akan masuk ke museumnya. Atau konon sakura di sini juga bagus. Tapi berarti harus bulan April kembali lagi ke sini, padahal rencananya kelompok umat katolik di sini akan datang ke rumah retret di sini bulan September nanti. Yang pasti udara sejuk (dingin) dan segar tetap tersedia sepanjang tahun.

Alamatnya:

〒408-0036

山梨県北杜(ほくと)市長坂町中丸2072

公益財団法人 清春白樺美術館
/光の美術館
TEL. 0551-32-4865 (清春白樺美術館)    0551-32-3737 (光の美術館)