Kolam Renang – プール

25 Jun

Kemarin pertama kali Riku berenang di musim panas tahun ini. Menurut prakiraan cuaca katanya akan hujan, tapi ternyata sekitar jam 9 pagi cerah sekali dan panas 🙁 Jadi aku siapkan tas dia berisi handuk, celana renang dan topi, serta kantong plastik untuk baju yang basah. Menurut kurikulum TKnya Riku, kelas atas (nencho) akan berenang setiap hari Selasa, dan sampai dengan summer holiday dia ada 7 kali kelas olahraga (renang). Kemarin adalah yang kedua, karena yang pertama hari mendung. Jadi kalau hujan sudah pasti tidak berenang. Standar mereka jika udara di luar + suhu air = 50 derajat lebih, maka acara renang akan diadakan. Tahun lalu dia bisa berenang paling hanya 3 kali, karena banyak hujan. Semoga tahun ini dia ada banyak kesempatan untuk berenang.

Mereka berenang di kolam renang yang ada di halaman sekolah. Sebelum menuju TK nya Riku, saya selalu harus melewati SLB. Di halaman sekolah mereka juga ada kolam renang. Lalu saya tanya pada Mariko san, Apakah semua TK ada kolam renangnya? Jawabnya Ada… Kebanyakan TK,SD pasti ada kolam renang. SMP sebagian ada, sedangkan SMA daerah biasanya ada karena tidak ada masalah dengan lahannya. Wahhhh, setahu saya tidak ada sekolah di Indonesia yang mempunyai kolam renang. Mungkin di sekolah swasta? Saya bersekolah swasta  terus sejak TK, tapi tidak ada kolam renang. Ada pelajaran renang, tapi pakai fasilitas umum terdekat (waktu itu di Bulungan tuh…waktu SMP, SD tidak ada berenang). Lalu saya ingat di Sekolah Jepang di Jakarta yang di daerah Pasar Minggu dulu, ada kolam renangnya. Mustinya di sekolah di lokasi baru juga ada. Negara Jepang dan Indonesia negara kepulauan. Tapi apakah anak-anak Indonesia semua bisa berenang? Saya rasa tidak semua.

Hanya saya merasa aneh waktu pergi ke kolam renang di sini, milik pemerintah daerah. Kebanyakan dalamnya hanya 120 cm saja. Waaah kalau begini sih, saya mau saja berenang tiap hari. Soalnya saya itu meskipun bisa berenang, selalu merasa panik kalau harus berenang di tempat yang dalam. Di kolam renang belakang rumah (bukan punya saya loh, dekat rumah) memang ada tempat yang rendah tapi sistemnya menurun. semakin ke utara semakin dalam.Dan anak-anak dan ibu-ibu memenuhi bagian dangkal sehingga biasanya anak-anak muda harus berada di kedalaman 2 meteran. Brrr. Yang paling dalam cuma 3 m sih… tapi saya selalu merasa waswas. Kolam itu dulu sering dipakai latihan oleh keluarga perenang Item. Sejak dibangun kolam baru di tempat lain tapi tidak begitu jauh dari situ, maka kolam lama itu selalu dipenuhi anak-anak. Kolam yang baru memang lebih bagus dipakai untuk latihan renang 25 m. Selain itu ada kolam dalam 5 meter untuk latihan loncat indah. So, karena saya penakut, tidak pernah mau coba untuk berenang di kolam baru itu. Tapi waktu saya ke jkarta 2 tahun yang lalu, adik saya sekeluarga mengajak saya dan riku untuk berenang di kolam baru itu (sudah jadi lama juga sih). Itu saja satu kelemahan saya, saya tidak bisa melindungi anakku jika berhubungan dengan air, kolam atau laut. Saya paling takut air. Untung ada opanya, sehingga riku bisa saya titipkan. Opanya Riku perenang, waktu masih muda pernah berenang dari Makassar sampai ke pulau terdekat pelabuhan pp. Dia juga dulu pemain sepak bola.

Ketakutan saya pada air bukan disebabkan misalnya saya pernah tenggelam atau apa. Tapi dulu waktu kecil saya sring bermimpi harus berenang di kolam yang dalamnya sedalam gedung skyscraper. lets say 40 m. Saya berenang terus sambil ketakutan …jangan berhenti..jangan berhenti…karena saya tidak bisa mengambang (berenang anjing). Mimpi itu sering datang. Dan dalam kenyataan saya semakin benci pada kolam renang.  Karena itu waktu memilih nama untuk anakpun, saya menghindari kanji yang mengandung unsur air. Riku 陸 berarti daratan/benua. Tapi Kai 櫂 berhubungan dengan air dengan arti dayung, dan dia lahir tepat di hari laut. Tapi dalam kanjinya tidak ada unsur airnya, adanya unsur kayu.

Yang pasti Riku dan Kai suka sekali air, suka mandi dan berendam. Sejak bayi, tidak pernah nangis kalau dimandikan. Saya, riku dan kai menikmati sekali berendam di air hangat. Yaaah mungkin emang saya “jodoh”nya hanya pada bath-tub bukan kolam renang 🙂

Riku bersama Darma dan Sophie

Ada apa dengan 18

25 Jun

Emang sih kena sama namanya NH18, tapi yang aku mau tulis di sini tentang Riku. Aku heraaaaaan banget deh, dia suka sekali dnegan angka 18.

“mama, si ryo punya lebah 18 ekor loh”

“mama, si hiro giginya ada 18 yang copot…”

“mama, besok beliin coklat ya…18 biji….” dst dst

heraaaaaaaaaan banget deh, lalu tadi aku tanya sama dia,

“Riku kenapa sih kamu suka banget sama juhachi (18)?”

“Hmmm kenapa ya…ngga tau kenapa tapi sepertinya angka itu menarik. ada dua angka kan ju (10) hachi (8). Kata papa itu angka beruntung.”

“Mama suka angka 8 dari dulu, tapi delapan bukan delapan belas…. Kalau orang Cina/Jepang suka angka 8 karena kanjinya bagus”

Jadi, sampai sekarang aku pun masih tidak mengerti kenapa Riku suka angka 18. Dia lahir tanggal 25 bukan tgl 18 spt si om kita itu. Yah…setiap orang punya angka keberuntungannya sendiri-sendiri.

Photo Studio

25 Jun

Saya rasa, yang punya foto keluarga yang dipajang di ruang tamu dengan ukuran besar hanya orang Indonesia. Keluarga Indonesia waza-waza (dengan sengaja) akan pergi ke Photo studio untuk mengambil foto keluarga. Ada yang dengan seragam batik, atau kebaya/baju nasional, ada yang dengan baju hitam semua, ada yang dengan baju warna-warni alias bebas. Orang Indonesia boleh dikatakan suka berfoto. Kalau lihat blog orang Indonesia pasti ada isi foto sendiri/keluarga. Berlainan dengan orang Jepang, biasanya isinya foto anjing/kucing kesayangan, makanan, benda, pemandangan. Jarang yang memasukkan foto diri sendiri, foto keluarga, foto teman sekolah dll. Selain bermasalah dengan privacy orang, orang Jepang jarang mengabadikan sesuatu dengan foto. Anak muda Jepang sekarang, dengan adanya fungsi kamera di handphone mulai mengabadikan apa saja, dan mulai menjadi narsis seperti orang Indonesia hehehe.

Orang Jepang biasanya membuat foto di studio pada waktu mempunyai bayi yang berusia sekitar 30-40 hari, sekaligus dengan upacara Omiyamairi (Kunjungan perdana ke Kuil Shinto). Sesudah ke Kuil biasanya orang tua akan membawa bayinya ke foto Studio untuk dipakaikan kimono sewaan, lalu diabadikan. Kadang bersama orang tua + saudara kandung. Setelah upacara Omiyamairi, biasanya mereka akan ke studio lagi pada waktu perayaan shichi-go-san (7-5-3) . perayaan untuk anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun, dan bagi laki-laki umur 5 tahun. Anak-anak itu akan memakai kimono, yang biasanya disewakan oleh Photo Studio itu. Setelah upacara7-5-3 itu, tergantung kondisi keluarga itu, ada yang pergi ke studio waktu upacara masuk TK (3 atau 4 th) atau masuk SD (6 th).

Sesudah itu biasanya akan membuat foto lagi pada waktu upacara menjadi dewasa Seijinshiki yaitu waktu usia 20 tahun. Waktu itu, seorang gadis akan memakai kimono yang dinamakan Furisode (lengannya panjang). Orang tua akan membelikan kimono ini untuk anak gadisnya, yang biasanya mahaaaaaaaaaaal sekali. yes, KIMONO is expensive. Ada mantan murid saya yang dibelikan kimono seharga 1.000.000 yen. Katanya, ini adalah pemberian termahal kepada anak perempuan, karena soro-soro (sebentar lagi) akan menikah. Sesudah menikah, furisode miliknya akan dipotong lengannya yang panjang sehingga bisa dipakai lagi dalam kesempatan yang lain. Tapi karena corak kimono untuk usia 20 tahunan biasanya cerah, tidak begitu cocok untuk mereka yang dianggap sudah berstatus ibu. Jadi? bagaimana nasib furisode itu? Ya , mungkin dijual atau menjadi penghuni lemari, dan bisa diberikan pada anak perempuannya kelak.

Setelah umur 20 tahun, foto berikutnya waktu lulus sarjana dan menikah. Untuk foto wisuda, mantan mahasiswi itu akan memakai Hakama, seperti kimono laki-laki tapi bercorak bunga. Sudah menikah? Tentu saja yang menjadi pusat perhatian adalah bayi yang baru lahir, dan kembali lagi ke siklus di atas tadi. Jadi foto keluarga biasanya hanya foto Bapak-Ibu-bayi (anak) dari . Dan sekali lagi, tidak semua orang Jepang menjalankan kebiasaan berfoto bersama satu keluarga.

—– hakama (perempuan dan laki-laki) serta furisode.—

Kalau di Jakarta, saya selalu membuat foto keluarga di Yo Photography di jalan Puloraya, dekat SMA ku dulu. Asal semua sudah siap, langsung difoto dan langsung minta cetak ukuran berapa, lalu pilih pigura, selesai. Kayaknya tidak pernah lebih dari satu jam deh. Lalu fotonya sendiri biasanya lebih artistik daripada foto di studio di Jepang. Foto di Jepang kebanyakan latarnya berwarna putih atau pastel. Sedangkan di Indonesia latar biasanya gelap, sehingga lebih menarik. Gaya orang Indonesia juga lebih beragam, lain dengan orang Jepang yang lebih kaku.

But, saya ketemu satu Photo Studio di Tokyo, di daerah Kichijoji, yang hasilnya sama dengan di studio Indonesia. Namanya Laquan Studio. Saya coba pertama kali di situ untuk pemotretan Riku kira-kira seperti Omiyamairinya. Tapi tidak menyewa pakaian dari mereka. Kebetulan ibu mertua berulang tahun ke 60, lalu adik dan adik ipar dari Sendai juga bisa hadir, sehingga kita membuat foto keluarga Miyashita yang pertama (di luar foto perkawinan). Sedangkan foto Riku bayi dengan oma opanya dibuat di Yo, jakarta. Nah anak kedua emang selalu kasihan deh. Kai sudah 11 bulan tapi belum pernah pergi ke photo studio. Lalu, tahun ini Riku berusia 5 tahun, jadi ada perayaan 7-5-3 (biasanya november). Karena mendekati november pasti studio penuh, mumpung masih banyak waktu saya pikir ambil foto sekarang saja. Apalagi kalau fotonya bisa jadi sebelum pergi ke jakarta. Bisa dijadikan hadiah untuk opa-omanya.

Jadi saya buat appointment hari Selasa kemarin jam 3, Riku dengan memakai kimono dan tuxedo, dan Kai memakai Kimono untuk bayi yang namanya odenchi. Wahhhh ternyata Kai nangis terus sehingga tidak sukses foto dengan odenchinya. Jadilah dia difoto hanya dengan pampers. Sedangkan Riku cerewet sekali. Dia sendiri yang pilih kimono dan tuxedo (baju pesta)nya. Waktu aku lihat kok hitam semua. Oi oi kamu masih anak-anak jangan pilih warna dewasa gini dong. Baju pestanya terbuat dari kulit, sehingga memang kita kasih nama baju Rockstar. Aku bilang tukar salah satu dengan yang warna cerah. Jadi dia tukar kimononya dengan yang berwarna biru dengan lukisan tradisional Jepang.

Hasilnya? Bagusan dengan Baju Rockstarnya itu daripada kimono. Mariko san yang menemani kita berkata, “Abis Riku bukan orang Jepang kan…lebih cocok yang Rockstar!” hehehe. Tapi emang benar aku lebih senang gayanya dia dengan baju Rockstar. Tidak sabar untuk menunggu hasil cetakan fotonya. Kemarin sebetulnya sudah pilih 30 lembar foto dari 148 lembar yang ada untuk dicetak. Tapi masih mikir karena mahal bo. Masak ukuran yang terkecil (L) biayanya 2100 yen ( Rp168.000) Kalau aku jadi cetak semua yang dipilih berarti 63.000 yen… wah bisa nangis deh. Memang sih biaya pemotretan, sewa baju semua gratis. Dan kalau dipikir-pikir 30.000 satu anak itu termasuk murah untuk Photo Studio di Jepang. Huhhhh, jadi bisa mengerti ya kenapa orang Jepang jarang berpotret sekeluarga hehehe. Kita akan lihat lagi foto-foto itu hari minggu bersama papanya Riku, dan biar dia tentukan berapa lembar yang akan kita pesan. Nanti kalau sudah jadi saya scan dan kasih liat deh…. ditanggung yang cewe-cewe berebut minta fotonya …hahaha (oyabaka.… arti harafiahnya orang tua bodoh, tapi ungkapan ini diucapkan jika orang tua memuji-muji anaknya sendiri. memuji keluarga sendiri seakan tabu dalam masyarakat Jepang. berlainan dengan masyarakat Indonesia ya…)