Seribu, 12 dan 19

24 Sep

Kemarin, Jumat tanggal 23 September adalah hari libur di Jepang, Equinox Day yang menyatakan awal musim gugur di Jepang. Pada hari Equinox itu panjangnya siang dan malam sama panjangnya. Tapi di Jepang, hari Equinox juga disebut dengan HIGAN, saat untuk “nyekar” di makam keluarga. Dan sudah menjadi pengetahuan umum di Jepang bahwa “atsusamo samusamo higan made” (panas dingin sampai Higan), jadi panasnya musim panas akan berhenti pada hari Higan, dan sebaliknya dinginnya musim dingin akan berhenti pada hari Higan yang jatuh bulan Maret. Dan memang sejak tanggal 22 sejuk pada pagi hari, tapi siangnya masih lumayan tidak sejuk. Tapi kemarin tgl 23…sejuk seharian.

Tapi kemarin aku tidak libur. Justru hari itu aku mulai mengajar di Universitas S. Sebelumnya Gen berpikir untuk mengantarku ke kampus naik mobil, lalu pergi ke kebun binatang. Kai ingin melihat panda. Tapi, di kebun binatang dekat kampus tidak ada pandanya. Yang ada pandanya hanya di kebun binatang Ueno (dan sulit untuk naik mobil ke sana). Jadi kami naik bus dan kereta bersama, kemudian berpisah di stasiun Takadanobaba. Gen, Riku dan Kai pergi ke Ueno, mengejar tour dengan guide mulai pukul 11. Kata Gen, guidenya membawakan tour dengan menarik, sehingga banyak pelajaran yang bisa diketahui. Misalnya Kirin (Jerapah) selain lehernya panjang untuk mencapai daun-daun di pohon, dia juga mempunyai lidah yang panjang untuk bisa mencabik dedaunan itu. Katanya panjang lidah kirin yang bisa dijulurkan keluar sepanjang 25 cm.

Menonton Big Panda di Kebun Binatang Ueno

Waktu aku selesai mengajar dan mengirim email pada Gen, dia mengatakan bahwa mereka baru akan makan siang. Jadi kami sepakat untuk bertemu di Shinjuku untuk makan siang (late lunch) di Tsubame Grill (berdiri sejak tahun 1930). Sebuah restoran yang terkenal dengan Hamburg dengan saus beef stew. Memang ada banyak cabang restoran ini, dan kami pergi ke cabang di Lumine, Shinjuku. Heran deh, jam aneh begitu (jam 3:30) tapi restorannya penuh saja. Untung kami tidak perlu menunggu lama.

Senang sekali kami berempat bisa makan bersama di Tsubame Grill. Kami agak jarang makan di sini, padahal restoran ini waktu aku pacaran dengan Gen sering menjadi tujuan kencan. Dan kali ini kami datang dengan Riku dan Kai. Apalagi Riku dan Kai sudah bisa memotret papa dan mamanya. Memang kemarin adalah hari khusus kami, 12 tahun yang lalu kami mencatatkan pernikahan kami di catatan sipil. Meskipun bagi kami berdua wedding anniversary adalah tanggal 26 Desember, saat kami mengucapkan janji perkawinan di gereja. Tapi secara hukum (Jepang) kemarin itu aku genap 12 tahun sebagai Mrs Miyashita.

Selain itu kemarin aku memperingati 19 tahun tinggal di Jepang. Di pasporku masih tercantum cap mendarat pertama di Jepang sebagai mahasiswa pada tanggal 23 September 1992. Hmmm mulai hari ini aku menghitung ke 20 tahun tinggal di Jepang. Rasanya sebentar? Lama? Tidak bisa diukur dengan pikiran dan perasaan. Banyak temanku yang lebih lama dari aku sudah tinggal di Jepang, sehingga kadang kalau ditanya sudah berapa lama tinggal di Jepang aku menjawab, “Baru 19 tahun”. Tapi well, akhir-akhir ini aku berpikir memang aku sudah cukup lama tinggal di Jepang (terasa tuanya hahaha).

Tsubame Grill, restoran dengan menu specialnya Hamburg beef stew sauce

Selesai makan kami pulang, tapi sekali lagi kami ingin menyenangkan Kai. Kami berdua merasa kami kurang memenuhi permintaan Kai. Setiap ingin pergi ke suatu tempat, kami tunda atau batalkan karena kami sudah pernah, tapi sebetulnya Kai belum pernah. Jadi hari ini selain menuruti permintaan Kai untuk melihat panda, kami ingin naik Red Arrow (bukan Enni Arrow loh 😛 ).

Red Arrow adalah kereta cepat dari Seibu Line, jalur kereta di dekat rumah kami. Waktu Kai masih dititipkan di penitipan Himawari, karena letaknya di samping stasiun, anak-anak sering diperlihatkan kereta-kereta yang lewat. Jadi Kai tahu bahwa ada kereta cepat yang bernama Red Arrow.Red Arrow memang tidak berhenti di stasiun kami, tapi kami bisa turun di setasiun pertama, dan kembali ke stasiun kami naik lokal train. Untuk naik Red Arrow ini kami perlu membeli tiket extra untuk kursi. Senangnya Kai bisa naik Red Arrow ini, meskipun karena tidak ada kursi kosong berderet untuk 4 orang sehingga aku duduk sendiri, dan Gen bertiga duduk satu deret. (Masih ada permintaan Kai yang lain, yang belum sempat kami kabulkan yaitu ingin naik perahu/kapal!…. harus cari kesempatan nih)

Kai dan Red Arrow..... gaya barunya Kai, angka tujuh deh "Ore ikemen!"

Sesampai di rumah, kupikir aku bisa istirahat tidak perlu masak makan malam, karena aku masih kenyang sekali makan jam 3:30. Eeeee satu persatu mulai dari Riku bertanya, “Mama, makan malam kita apa?” Doooh ternyata 3boys ku ini mengharapkan makan malam! Coba kasih tahu sebelum sampai di rumah, aku kan bisa beli makanan jadi di dekat stasiun. Terpaksa deh aku masak daging goreng (Tonkatsu) untuk mereka. Sementara mereka makan, aku mandi berendam air panas…. teler dan tertidur kecapekan. Dan terbangun pukul 12:30… yahhhhh hari sudah berganti, dan aku TIDAK SEMPAT menulis posting yang ke SERIBU di hari istimewaku…. hiks.

Sebetulnya untuk menyambut posting ke 1000, aku sempat berbicara dengan Little Usagi dan Elizabeth Novianti. Mau buat giveaway, tapi kok akhir-akhir ini banyak sekali blogger yang membuat giveaway. Belum lagi seandainya mengadakan kuis, aku (atau juri) harus menilai siapa juara pertama, kedua, ketiga….. dan itu pasti makan waktu dan repot. Makanya aku selalu kagum pada Pakdhe Cholik yang getol sekali membuat kuis-kuis, hebat deh pokoknya. Tadinya Putri usul membuat lomba menulis surat untuk Riku dan Kai supaya anak setengah Jepang, setengah Indonesia ini tetap cinta Indonesia. Usulnya bagus sih cuma ya itu …repot hehehe.  So, untuk kali ini aku tidak membuat kuis, tapi aku ingin mengirimkan sesuatu kenang-kenangan kepada 10 orang Top Commentator tahunan yang termasuk dalam daftar di samping kiri.Dan 10 orang yang memberikan komentar terbanyak dalam bulan ini, bulan September.

(per tahun 2011)

(dalam bulan September)

Yang dobel namanya hadiahnya dijadikan satu ya hehehe. Untuk itu aku minta alamat pengiriman pos lewat emi(dot)myst@gmail(dot)com. Aku mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas komentar yang diberikan, dan mohon maaf jika tidak bisa menjawab/membalas semua komentar yang masuk. Seribu posting dalam 3,5 tahun memakai domain ini menurutku lambat, karena terlihat sekali penurunan jumlah tulisan per bulan. Jika dulu hampir sehari satu posting, itu sudah tidak bisa lagi aku pertahankan. Apalagi waktu aku mudik kemarin, boleh dikatakan aku amat jarang menulis, padahal tahun lalu waktu mudikpun aku bisa menulis. Entah faktor U atau faktor semangat yang sudah kendur ditambah kesibukan mengurus anak-anak yang semakin besar dan butuh perhatian ekstra, tapi aku tetap berharap aku bisa terus menulis selama aku bisa. Pengunjung TE juga datang dan pergi, nama-nama yang dulu ada, sekarang tidak ada, atau jarang terlihat. Tak mengapa, karena masing-masing tentu mempunyai kesibukannya sendiri. Yang penting silaturahmi yang pernah ada, sedapat mungkin dilanjutkan, kalau tidak mungkin dengan blog, ya dengan bentuk lain, atau social media lain. Aku tetap berharap masih bisa menjumpai teman-teman di Jakarta waktu mudik tahun depan, atau paling sedikit lewat blog ini.

Seribu, 12 dan 19 …angka-angka yang ingin aku peringati khususnya pada hari ini.

Tabik

Imelda

NB: Gara-gara baca postingnya pakdhe yang ini, aku jadi buat nasi kuning (sederhana karena cepat-cepat) deh hari ini hehehe. Disanding dengan nasi (ketan) merah Jepang yang selalu disajikan waktu selamatan.

GW -4- Kuda dan Sapi di Mother Farm

3 Mei

Hari Sabtu, 30 April  kami di rumah terus, sambil menghilangkan kepenatan seminggu. Tapi “the three musketters” sempat pergi sebentar ke pemandian umum Sento di dekat rumahku. Heran sekali deh, si Riku memang suka sekali berendam di bak panas, sekitar 42 derajat. Meskipun Kai juga suka berendam, rupanya 42 derajat terlalu panas untuk dia. (Lucu deh melihat mereka pulang dengan pipi meraaaaah sekali)

Nah, karena sudah istirahat 1 hari penuh kami berencana untuk pergi ke Chiba hari Minggunya. Tapi waktu aku bangun jam 6 pagi, wahhh cuacanya seperti akan turun hujan. Mendung, meskipun belum segera akan turun hujan. Karena tempat yang kami tuju adalah “Mother FARM”  sebuah peternakan wisata yang luas, kalau hujan pasti sulit berteduh dan …. tidak bisa melihat apa-apa.

Setelah bimbang pergi atau tidak, akhirnya kami keluar rumah pukul 9 pagi, dengan pertimbangan, kalau hujan sebelum sampai ke Mother Farm (perjalanan sekitar 1,5 jam) maka kami akan mencari alternatif tempat lain yang berada dalam gedung.

Untuk pergi ke Chiba dari tempat kami, jalan yang paling cepat adalah melewati AQUALINE, perpaduan terowongan bawah laut dan jembatan yang menghubungkan prefektur Kanagawa dan Chiba. (Yang ingin mengetahui tentang Aqualine ini bisa baca di “From the bottom of the sea“) Padahal aku sempat berpikir, waktu gempa bumi jalur ini bagaimana ya? Tentu saja tidak rusak karena buktinya kami bisa melintasinya hari Minggu kemarin 😀 (Ssst aku sengaja tidur supaya tidak panik. Susah kan kalau aku tiba-tiba panik waktu berada di dalam laut 😀 )

Kemarin itu benar-benar aneh. Hari Minggu, lagipula Golden Week, tapi jalanan lancar car car…. orang Tokyo pada liburan ke mana ya? Biasanya di tahun-tahun lalu sudah bisa dipastikan jalan tol akan macet. Heran yah, waktu lancar begini masih bertanya, “Kok tidak macet?” hehehe.

Tapi memang mengerikan menyetir hari itu, setelah keluar dari dasar laut kami harus menyusuri jembatan di atas laut. Tepat sebelum kami keluar terowongan bawah laut, kami memang sudah diperingatkan bahwa hari itu angin bertiup kencang 15 m, sehingga disarankan kecepatan mobil max 40 km/jam. Untung kami berempat satu mobil sehingga dorongan angin tidak begitu terasa. Seandainya menyetir sendiri pasti rasanya seperti akan diterbangkan angin deh.

Gerbang masuk yang di atas bukit. Beli karcis 1500 yen (Rp 150rb) utk Dewasa. 800 yen untuk anak usia 4 th- SD, jadi Kai gratis karena belum 4 th.

Kami sampai di depan pintu gerbang masuk Mother Farm di atas bukit pukul 11:12 siang. Belum hujan tapi masih mendung, dan berangin. Tapi karena angin selatan, tidak dingin. Sungguh senang melihat perbukitan yang penuh dengan daun berwarna hijau muda serta bunga-bunga. Meskipun di beberapa tempat ada bangunan-bangunan rasa luas itu terasa menyegarkan kami yang biasa tinggal di kota, yang sempit. Dan sebagai tambahan… pengunjungnya sedikit dibandingkan luas arealnya.

Memang cukup jauh harus berjalan kaki, tapi sambil melihat pemandangan, capek tidak terasa

 

 

Riku bertanya padaku “Mengapa namanya Mother Farm”… mother kan artinya IBU ya mama? Ternyata saya menemukan sejarahnya seperti ini:

Mother Farm dibangun oleh Hisakichi Maeda, pendiri Surat Kabar Sankei dan Tokyo Tower. Waktu kecil, beliau tinggal di Osaka dan keluarganya amat miskin. Ibunya sering mengatakan, “Seandainya kita punya 1 sapi saja, kehidupan kita akan lebih mudah”. Perkataan ibunya melekat terus di hatinya, dan Pak Maeda ini merasa bahwa industri peternakan diperlukan untuk kelangsungan Jepang. Karenanya dia memberi nama peternakan seluas 250 hektar ini dengan “Mother Farm” sebagai peringatan untuk ibunya.

 

Sebuah pojok dengan gazebo kecil berwarna merah dikelilingi taman bunga. Duh ingin duduk berlama-lama di sini sambil membaca buku atau melukis.

 

 

Ada berbagai acara yang disajikan yang bisa diikuti dengan gratis atau bayar. Sambil melihat jadwal, kami memutuskan pertama kali untuk menunggang kuda, karena Riku dan Kai ingin naik kuda. Sekali putaran harus membayar 500 yen (Rp50.000) per orang, tapi ya cukup memuaskan lah. Kuda yang dipakai memang kuda benaran (masa ada kuda boongan sih mel hihihi), kuda dewasa gitu, bukan Pony seperti waktu di Kebun Binatang Chikouzan Kouen. Lagipula ada kejadian lucu waktu Riku sedang menunggang begitu, kudanya berhenti dan….. pipis wuaaahhhh hihihi.

Kalau Riku memang suka naik kuda, tapi Kai awal-awalnya dia ketakutan sekali.

 

 

Setelah dari kandang kuda, kami cepat-cepat pergi ke kandang sapi yang butuh waktu sekitar 20 menit jalan kaki menuruni bukit. Pokoknya luas deh tempatnya, sehingga harus siap jalan kaki banyak (jangan pakai sepatu hak tinggi yah 😀 ). Aku sendiri memang pakai sneaker tapi harus menggendong ransel yang berisi kamera, dan pakaian ganti anak-anak yang cukup berat.

Kesempatan memerah susu (pertama kali untuk Riku dan Kai)

 

 

Kenapa kami buru-buru ke kandang sapi? Soalnya pukul 11:30 ada kesempatan “memerah sapi”. Wah, ini pengalaman berharga sekali untuk anak kota jadi harus pergi :D. Sayangnya karena banyak peminat, kami hanya bisa memerah dengan satu tangan (di satu kantung susu).  Dua sapi untuk 4 baris. Lucu melihat Kai yang geli memegang si sapi. Tapi Kai sudah mengetahui cara memerah kambing  dari film HEIDI yang dia tonton sekitar 2 minggu yang lalu.

Mencoba produk susu dari Mother Farm

 

 

Di daerah kandang sapi itu ada toko yang menjual susu, soft cream dan ice cream. Jadi kami istirahat di situ sambil mencoba susu, soft cream dan ice creamnya. Tentu saja beli satu-satu dan dimakan bersama :D. Cuma aku sendiri yang tidak minum susu, karena aku paling tidak bisa minum susu segar murni, tanpa campuran coklat/kopi/stroberi (kecuali kalau terpaksa, tapi harus dingin!).

Kuda ini ramah sekali, selalu mau mendekati kami. (Jangan-jangan ada yang bau ya? hehehe)

 

 

Setelah menyapa penghuni kandang 😀 kami berjalan menuju kandang kuda yang ada di sebelah kandang sapi. Wah serasa nonton film Bonanza deh melihat suasana di sekitar situ hehehe (Pada ngga tau kan film Bonanza? Itu tuh pelem jaman kuda gigit besi hihihi). Tapi…. aku suka sekali pemandangan seperti ini.

Mengingatkan pada Bonanza atau Little House on the Prairie

 

 

Dan senangnya ada seekor kuda yang mau mendekati kami, dan dibelai-belai, sehingga kami bisa banyak membuat foto dengan si Kuda. Lihatlah si Riku bergaya dengan si Kuda.

Riku bergaya... coba kamu kurusan nak...mama masukin kamu ke PH deh 😀 Sekarang cukup masuk HP a.k.a Home Page aja 😀

Tentu saja banyak binatang lain di sini, termasuk ada pula acara perlombaan anak babi lari cepat :D. Tapi memang yang menjadi tujuan kami kali ini adalah Kuda dan Sapi, jadi senang karena keinginan kami bisa terkabul padahal udara mendung mengkhawatirkan.

Autumn Leaves and Fishing

24 Nov

Judul yang aneh karena biasanya orang tidak memancing di musim gugur. Tapi di hari libur “Hari Pekerja” tgl 23 November ini, deMiyashita memancing daun dan …ikan!

Seperti biasa, Riku bangun pagi, jam 6 kurang. Karena aku sempat terbangun dini hari untuk 3 jam, maka aku masih tidur ketika dia membangunkan aku, “Ma, aku boleh masak Omuraisu (semacam nasi goreng yang dilapisi telur dadar) ?” Rupanya dia kelaparan.
“Boleh saja, tapi hati-hati dengan api ya….”

Tadinya aku mau tetap tidur, tapi rasanya kok khawatir juga membiarkan dia masak sendiri. Akhirnya aku bangun, hanya untuk mengawasi pemakaian api, dan…. memotret! Memang ini bukan yang pertama kali dia mencoba memasak, tapi pertama kali dia mengerjakan semua, sejak mengocok telur sampai menggoreng dan membuat nasi gorengnya. Nasi gorengnya tentu ala Riku, yang gampang, hanya nasi diberi saus tomat dan sedikit garam/lada. Dia sendiri tidak begitu suka daging, sehingga tidak pakai daging (kalau aku pasti masukkan ayam/daging giling/susis…apa saja).

Gayanya sih sudah seperti Chef beneran. Dua wajan dipakai! hahaha. Dan hasilnya lumayan enak loh. Telurnya empuk dan manis …fuwafuwa ふわふわ, karena diberi susu. Buktinya satu piring penuh dia habiskan sendiri hihihi (biasanya kalau aku bikin cuma makan setengahnya)

Nah, kemudian satu persatu penghuni apartemen kami bangun. Di luar hujan rintik terus menerus. Jadi aku tidak bisa mencuci baju. Kami melewatkan pagi itu dengan menonton tivi dan aku membersihkan ruangan.

Tapi setelah pukul 11, hujan berhenti dan hangat! Sejak hari Minggu udara dingin, jadi waktu udara menjadi hangat begini, rasanya ingin keluar rumah. Akhirnya Riku minta papanya untuk ke taman, dimana dia bisa berlari sepenuh hati. Dia sendiri yang menyarankan kami pergi ke  Tokorozawa Aviation Park di Saitama. Dia tahu di sana terdapat lapangan yang luas, dan ada tempat bermain untuk anak-anak.

Yosh! Kami berangkat pukul 1:30 siang. Langsung lewat toll ke arah Tokorozawa. Dan menjelang masuk parkiran Taman itu terpaksa harus antri cukup lama. Karena macet dan rupanya cukup banyak orang yang memanfaatkan cerahnya hari dengan berjalan-jalan ke Taman ini. Waktu masuk aku sempat kaget juga membaca bahwa ongkos parkir di situ gratis untuk 2 jam pertama, dan setiap jam berikutnya HANYA 100 yen. Weks, mana ada semurah ini di Tokyo? Rasanya ingin pindah ke Saitama aja deh.

Gayanya Kai and Autumn Leaves @Tokorozawa Aviation Park

Sementara Gen antri parkir, aku dan anak-anak turun duluan. Dan kami disambut dengan pemandangan musim gugur yang indah! Lapangan luas dengan pohon-pohon yang sudah mulai berubah warna. Banyak keluarga datang dan bermain di sini. Benar-benar pemandangan yang mengundang kita untuk berlari dan …tiduran di atas hamparan permadani daun emas!

Setelah Gen bergabung, aku mendapatkan kesempatan untuk NARSIS hehehe. Untung saja suamiku ini mau melayani permintaan istrinya yang juga mau memamerkan buku sahabatnya, Mas Nug yang baru diterbitkan. Mata Hati adalah buku foto+puisi yang mengajak kita berkeliling dunia, menikmati pemandangan dan hal-hal sepele yang tertangkap oleh mata-hati seorang lawyer kondang (yang berminat mendapatkannya silakan baca di sini) . Kalau tidak khawatir nasib anak-anak dan sungkan pada Gen, pasti bisa berjam-jam deh berfoto di sini… tentu saja dengan berbagai pose hehehe.

Memang kami tidak bisa mengelilingi Taman seluas ini semuanya. Bayangkan taman ini dulu merupakan bandara pertama di Jepang! Luasnya 11 kali Tokyo Dome, yaitu sekitar 47 ha. Sebuah taman yang bersejarah, yang bisa digunakan oleh semua warga dengan gratis. Tentu saja harus bayar jika ingin menggunakan lapangan tenis atau melakukan kegiatan khusus lainnya. Tapi kalau hanya untuk berjalan-jalan, jogging atau bermain di tempat anak-anak, bahkan piknik….semuanya gratis. Mau murah tinggal naik sepeda (kalau mobil kan bayar parkir). Ada juga sih museum pesawatnya, tapi untuk masuk museum harus bayar 500 yen untuk dewasa.

Riku dan Kai menikmati taman dengan bermain, berlari, memungut dahan, main perosotan (Kai takut-takut sih), kemudian ada pula jungle jim. Sementara mama Imelda memotret daun Momiji (maple) yang berubah warna oranye dan merah. Indah!

Puas bermain, kami mencari makanan kecil dan minuman hangat. Ada sebuah kantin di sana, dan kami membeli yakisoba (mie goreng jepang), takoyaki (octopus ball), potato fries dan frankfurt (susis). Bener-bener junk food deh hehehe.

Waktu mau kembali ke parkiran itulah kami mmapir ke museum dengan niat untuk masuk. Tapi karena sudah jam 4:30, tidak bisa beli karcis lagi (Museum tutup jam 5, dan 30 menit sebelumnya tiket tidak dijual). Akhirnya kami berjalan pulang setelah melihat toko souvenirnya saja (tanpa beli apa-apa) dan waktu itu pun sudah mulai gelap.

Lampu-lampu di pohon mengingatkan Natal yang sudah semakin dekat

Kami juga melewati gedung pertunjukan MUSE, sebuah tempat untuk konser dan hall serba guna. Katanya Universitasnya Gen juga sering menyewa tempat ini untuk upacara penerimaan mahasiswa baru. Kalau malam indah karena diterangi oleh lampu-lampu, baik di gedungnya maupun di taman bagian dalamnya.

Bingung memilih tempat makan malam, Gen mengajak kami pergi ke sebuah restoran yang unik. Namanya ZAUO. Dia pernah ke sana dengan dosen-dosen universitasnya dan berniat mengajak kami juga. Cukup mahal memang, tapi bulan ini memang kami tidak pergi ke mana-mana, jadi kami memutuskan menikmati restoran ini.

Riku tidak tahu tentang rencana kami ke restoran ini, sehingga begitu kami masuk, dia langsung teriak kegirangan. Betapa tidak, begitu kami masuk langsung melihat sebuah kapal di atas kolam dan beberapa anak-anak memancing. “Aku mau mancing…aku mau mancing!”

Memancing dari atas "kapal", tapi sisi sebelah sini kurang banyak ikannya. Lagipula pinter-pinter, tidak mau makan umpan padahal sudah di depan hidung.

Kami mendapat tempat duduk di atas kapal karena kamar-kamar kecil sudah penuh dipesan orang lain. Kalau di kamar kecil itu, memancingnya dari jendela kamar yang terbuat dari kaca yang bisa melihat langsung ikan berenang. Ya seperti memancing di akuarium deh.

Tapi justru dengan duduk di atas kapal itu, kami bisa bebas memancing kemana-mana. Sayangnya di sisi kapal dekat meja kami jarang sekali ikannya.

Kami memesan dua kail+ umpan. Semua ikan yang kami pancing harus dimakan atau dibawa pulang, tidak boleh dilepas lagi. Lagipula ada daftar harganya. Jika tidak memancing misalnya untuk seekor kakap harganya 3200 yen, tapi kalau memancing sendiri “cuma” 2300 yen. Tapi ya memang untung-untungan, karena cukup lama untuk bisa menangkap seekor ikan. Kelihatannya ikan-ikannya juga sudah pinter, tidak mau makan umpan biarpun sudah di depan hidung.

Riku dengan Kakap hasil pancingan kedua

Setelah 20 menitan muter-muter cari tempat yang enak, akhirnya Riku berhasil memancing satu ikan kakap. Wah betapa girangnya dia. Lumayan besar loh ikan itu. Dan ikan tangkapan Riku yang pertama, kami minta untuk dibuat IKEZUKURI, atau sashimi (arti harafiah dari ikezukuri adalah memotong ikan dalam keadaan hidup. Jika ikan jenis “aji” dia masih bisa megap-megap meskipun dagingnya sudah “dicincang”. Tapi ikan kakap ini tidak, meskipun pada bagian sirip punggung masih bergerak meskipun sudah cukup lama bertengger di atas meja).

Karena Riku sudah mendapat satu ikan besar, Gen meminta aku memancing di tempat ikan “Aji“, ikan kecil dan murah (680 yen) yang juga enak dibuat sashimi. TAPI ikan Ajinya itu ditaruh dalam satu kolam bersama ikan Hirame (ikan sebelah) yang harganya muahal (3480 yen). Nah, maksud hati mancing yang murah, eeeh yang makan umpan aku justru si Hirame ini. Sial! hahaha. Karena ikan sebelah ini tipis, maka kami minta untuk digoreng.

Imelda dan Hirame...huh aku ngga mau kamu kok sebetulnya hihihi

Kembali ke meja kami, tahu-tahu Riku berteriak…”Aku dapat ikan lagi”… ya, dia tangkap ikan Kakap lagi! Aku cepat-cepat ambil jala untuk menadah ikan tersebut. Wahhh 3 ikan yang besar, gimana abisinnya nih? Untung kami suka ikan, jadi ikan Kakap nya Riku yang kedua kami minta untuk dibakar dengan garam saja. Yang paling sederhana….dan paling enak kalau menurut aku. Kalau kebanyakan masakan Indonesia kan ikannya digoreng, tapi aku paling suka ikan dibakar tanpa bumbu apa-apa, hanya garam. Dan kamu bisa tahu segar tidaknya, enak tidaknya seekor ikan. Back to nature deh.

Kakap ikezukuri... sirip punggungnya masih bergerak-gerak

Sebetulnya Riku masih mau memancing, tapi kami larang. Karena 3 ikan saja sudah 10.000 yen! mahal hihihi. Dan sambil makan dia ngomong terus,
“Papa terima kasih ya hari ini aku senang sekali. Bayangin aku bisa pancing dua ikan! duh aku mau tulis di catatan harianku soal hari ini….”
“Papa janji ya untuk ajak lagi ke sini, Aku suka sekali restoran ini…”
“Papa, nanti kalau aku ulang tahun, mau buat pesti di sini saja…”
“Aku mau part time job di restoran ini deh, jadi bisa mancing terus-terusan”
“Papa, aku kalau besar mau jadi Nelayan aja ah…asyiknya bisa tangkap ikan setiap hari”
…. dan kami berdua meredakan kegembiraan dia dengan berkata, “Iya kalau ada rejeki”,
“Kamu bisa memancing untuk hobi buat sebagai matapencaharian”,
“Kamu belum tahu susahnya mancing di laut. Ikannya besar-besar, perlu tenaga besar”,
“Iya nanti minta ajak Pak Eto, dia ahli memancing ikan. Kamu ikut aja sama dia biar tahu sebenarnya bagaimana”.
Tapi terus terang kami juga senang Riku menemukan kegemaran baru, meskipun mungkin tidak berlanjut lama.

deMiyashita @ Zauo resto unik di Saitama

Pemandangan indah, pengalaman baru, makan enak, tertawa bersama. Satu hari yang indah yang kami lewatkan bersama, sambil menikmati bulan November yang hampir habis.

Have a nice Wednesday temans

deMiyashita

Kupu-kupu Nasional

31 Agu

Jika ditanya apa bunga negara (bunga nasional) Indonesia? Banyak yang akan menjawab: Melati. Tapi mungkin ada yang menjawab : Anggrek. Dan ini tidak salah, karena memang ternyata Indonesia mempunyai 3 bunga yang ditetapkan menjadi bunga Nasional yaitu bunga Melati Putih (Jasminum Sambac) sebagai puspa bangsa, bunga Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona dan bunga padma raksasa (Raflessia Arnoldii) sebagai puspa langka. (sumber : wikipedia)

Nah, kalau di Jepang selain bunga nasional yaitu Sakura dan Seruni, ada pula penetapan Kupu-kupu Nasional yaitu dari jenis Oomurasaki (nama jepangnya) atau nama Latinnya Sasakia Charonda, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “great purple emperor“. Kupu-kupu jenis ini ditetapkan menjadi kupu-kupu nasional tahun 1956 oleh Asosiasi Serangga Jepang (日本昆虫学会).

Kupu-kupu nasional Jepang: Oomurasaki, dari website daerah Hokuto

Bingung juga mungkin orang Indonesia kalau ditanya Kupu-kupu Nasionalnya apa, karena konon dari 17.500 jenis kupu-kupu yang ada di dunia, 1600 jenis ada di Indonesia, yang merupakan negara nomor dua terbanyak jenis kupu-kupunya setelah Brazil. Bagaimana kupu-kupu Jepang? Di Jepang hanya ada 240 jenis dan 28% di antaranya dalam bahaya kepunahan.(Karena sedikit itu maka masih bisa ditentukan yang mana yang kupu-kupu nasional? ntahlah)

Kupu-kupu Oomurasaki ini memang masuk ke dalam kategori NT yaitu sekarang masih belum termasuk dalam tahap kepunahan tetapi sudah menunjukkan tanda-tanda pengurangan. Jadi sebetulnya kupu-kupu ini masih bisa kita lihat beterbangan di bukit-bukit sekitar Tokyo juga. Tapi hari minggu tanggal 29 Agustus yang lalu, kami pergi ke Nagasaka, kota tempat yang mempunyai Center untuk Kupu-kupu Oomurasaki. Kota ini terkenal sebagai habitat terbanyak dari kupu-kupu jenis ini di Jepang, sehingga didirikanlah Center di sini.

Gen yang memang “ahli” serangga (bukan ahli secara akademis, tapi memang suka saja) ingin mengajak Riku untuk melihat center ini yang terletak di prefektur Yamanashi. Diapit oleh pegunungan South Alpen, dan dataran tinggi Yatsugatake daerah ini memang masih sejuk dan asri. Tapi memang cukup jauh dari Tokyo, yaitu sekitar 110 km melewati jalan tol. Kami berangkat pukul 7 pagi dan sekitar pukul 9 kami singgah di Parking Area (PA) Shakado untuk beristirahat. Meskipun pagi hari jalan tol ini sudah padat dengan kendaraan. Hari Minggu itu merupakan hari minggu terakhir dari liburan musim panas, dan setiap hari sabtu/minggu pengguna jalan tol diberi keringanan membayar 1000 yen jauh dekat. Jadi sudah pasti macet di mana-mana. (pulangnya kami terjebak macet sampai 4 jam di jalan tol …hiks)

mist, semburan embun yang bisa mendinginkan suhu dan menyegarkan

Nah yang menarik di PA ini adalah adanya awning yang diberi semburan embun (mist). Mist ini dipercaya dapat menurunkan suhu udara, dan memberikan kesegaran alami. Memang waktu itu belum terlalu panas, tapi berdiri di bawah mist ini membuat badan menjadi segar kembali. Pemandangan yang hanya bisa dilihat waktu musim panas.

Tak lama kami sampai di Oomurasaki Center and Nature Park. Masuk ke dalam gedung, terdapat maket hutan di sekitar kota Nagasaka, lengkap dnegan binatang dan tumbuhan yang terdapat di situ. Selain itu ada berbagai koleksi kupu-kupu kering dari seluruh dunia dan ruang pemutaran video mengenai siklus kehidupan kupu-kupu Oomurasaki.

bisa melihat kepakan sayap kupu-kupu oomurasaki dengan model ini, sementara di sekelilingnya terdapat kupu-kupu kering dari seluruh dunia.

Di gedung sesudahnya terdapat koleksi kumbang dari berbagai belahan dunia, termasuk kumbang dari Jawa. Hiiii ngeri deh, besar sekali. Di sini juga ada pemutaran film, ada permainan-permainan yang berhubungan dengan serangga, dan kayu. Jadi bagian ini lebih pakai “meraba” daripada “melihat”.

Gedung paling dalam, seperti kandang, hutan kecil untuk mengembangbiakkan kupu-kupu

Keluar dari gedung ini,kami memasuki “kandang” besar berisi pepohonan, yang merupakan hutan kecil untuk pengembang-biakan kupu-kupu. Nah, sayangnya kami tidak bertemu dengan kupu-kupu Oomurasaki, karena salah waktu. Waktu melihat kupu-kupu seharusnya bulan Juli awal. Sekarang mereka sedang bertelur dan menjadi ulat, yang kemudian akan menetasnya Juli tahun depannya lagi. Memang siklusnya begitu, karena Jepang negara 4 musim. Kupu-kupu tidak tahan jika harus terbang dalam dingin kan? hehehe

Tapi di antara pohon-pohon enoki yang ada dalam taman ini, kami bisa menemukan beberapa telur yang sudah berubah menjadi ulat kecil di ujung-ujung daunnya. Mata Riku memang tajam, aku mungkin tidak bisa menemukan ulat itu karena warnanya sama dengan daun enoki.

ulat calon kupu-kupu oomurasaki, yang ditemukan Riku di ujung daun enoki.

Meskipun tidak bertemu dengan Oomurasaki, kami masih bisa melihat beberapa jenis kupu-kupu lain yaitu kupu-kupu hitam Kuroageha, dan kupu-kupu kecil kuning kichou yang memang banyak dijumpai di taman-taman Tokyo juga.

Kupu-kupu hitam, kuroageha, masih banyak dijumpai di Jepang. Hasil bidikan aku loh....susyah bidiknya, terbang mulu soalnya.

Yah, memang kami harus kembali lagi datang ke sini tahun depan. Karena belum bertemu langsung dengan kupu-kupu nasional Jepang. Sebagai kenang-kenangan aku mengirimkan kartu pos berbentuk kupu-kupu Oomurasaki untuk Riku dan Kai, yang jika dikirim dari Center itu akan mendapatkan cap khusus berbentuk kupu-kupu.

Kartupos berbentuk kupu-kupu yang kukirim dari center

Sebelum pergi dari tempat itu kami menyempatkan diri mengelilingi taman yang ada, dan melihat berbagai serangga di kolam teratai serta rumah pohon “tree house”.

kupu kupu yang lucu
kemana engkau terbang
hilir mudik mencari
bunga bunga yang kembang

berayun-ayun
pada tangkai yang lemah
tidakkah sayapmu
merasa lelah


kupu kupu yang elok
bolehkah saya serta
mencium bunga-bunga
yang semerbak baunya

sambil bersenda-senda
semua kuhampiri
bolehkah kuturut
bersama pergi

(ciptaan: Ibu Sud)

Me-layang-layang

27 Agu

Kuambil buluh sebatang
kupotong sama panjang
kuraut dan kutimbang dengan benang
kujadikan layang-layang

bermain….berlari…….
bermain layang-layang
bermain kubawa ke tanah lapang
hati gembira dan riang

Lukisan anak bermain layang-layang di museum layang-layang

Masih ingat lagu ini? Terus terang aku lupa! Nah, pas aku cari-cari di google dengan kata acuan “layang-layang”, keluarlah lagu ini di Youtube. Pas aku dengar…well,…. aku tahu kok lagu ini. Cuma memang jarang masuk repertoire untuk dinyanyikan seperti “desaku” atau “kasih ibu”.

Nah, mudik kami memang rasanya seperti antiklimaks. Sejak pergi ke TL, RD, dan kopdar tgl 2, rasanya tidak ada kegiatan besar yang kami lakukan. Untung saja waktu aku bercakap-cakap dengan kakak kelas di SMA, Retty dia mengajak aku pergi ke museum layang-layang. Wehhh ada ya museum layang-layang di Jakarta? Akhirnya kami janjian untuk pergi ke sana tgl 14 Agustus 2010.

rombongan di depan pintu masuk

Kami, Retty dengan 3 anak, Aku dengan 2 anak dan Krismariana sampai di museum layang-layang ini sekitar pukul 11 siang. Harga tanda masuk di sini seorang Rp 10.000 yang sudah termasuk dengan pembuatan layang-layang. Tapi di sini juga bisa membuat keramik dan melukis T-Shirt yang masing-masing biayanya Rp. 50.000.

Mereka bicara apa ya?

Nah, sebelum masuk museum kami diantar masuk ruangan untuk menonton video mengenai layang-layang. Videonya dilengkapi subscript, tapi terus terang saja, saya tidak tonton. Lebih asyik menonton anak-anak yang bermain dalam ruangan itu. Retty membawa 3 anaknya, yang paling tua Ray dan si kembar Sisco dan Rafael. Nah si Sisco dan Rafael itu bener-bener “kakak” yang baik untuk Kai. Mereka mau aja dijadikan kuda-kudaan oleh Kai, dan yang lucu jika melihat mereka “bercakap-cakap”. Ah…anak-anak memnag tidak perlu bahasa tertentu untuk bisa berinteraksi. Mereka benar-benar anak yang baik (well, pada dasarnya semua anak dilahirkan baik kan?).

Itu video ngga dilihat lagi deh....

Setelah selesai menonton kami menuju ke halaman belakang. Benar-benar asri tempat ini. Museum layang-layangnya sendiri terletak di gedung paling belakang, dengan pendopo yang secara keseluruhan kecil tapi cukuplah jika mengingat tempat ini dikelola pribadi (bukan pemerintah…dan lebih baik jangan diserahkan pemerintah deh hehehe). Ibu Endang W. Puspoyo yang mendirikan tempat ini tahun 2003.

dalam museum layang-layang

Kami dipandu oleh mbak staff yang menjelaskan tentang layang-layang yang ada di dalam ruangan. Ada layang-layang yang terbuat dari kantong plastik kresek, ada yang dari daun ubi, dari tikar atau kreasi lainnya. Ada juga perwakilan dari propinsi, seperti dari Kalimantan Selatan yang memang besar-besar. Dan baru di sini aku mengetahui, bahwa di setiap ujung layang-layang itu terpasang semacam suling, dari bambu atau kayu, yang akan berbunyi jika terkena angin.

Tentu saja ada layang-layang dari manca negara juga, termasuk dari Jepang dan Cina, yang sejarahnya lebih tua daripada layang-layang Indonesia. Di meja hias yang terletak di tengah ruangan terdapat berbagai pernik mengenai layang-layang, termasuk perangko khusus layang-layang. Aduh aku ngiler sama perangkonya deh. Dan kelihatannya aku menemukan lagi teman satu hobby, karena Retty juga ternyata pengumpul perangko. Sayang kita belum sempat bercakap-cakap banyak mengenai perangko, karena kami juga harus mengawasi anak-anak yang berjumlah 5 orang, laki-laki lagi…. “Awas jangan pegang itu…” “Hati-hati…nanti rusak”…. dsb dsb.

Layang-layang berbentuk maket bangunan museum

Kadang aku juga membayangkan jika aku menjadi anak yang selalu dilarang ini itu oleh orang tuanya. “Jangan pegang…nanti rusak!” Padahal, aku (sebagai anak) juga tidak mau kok merusak barang. Kenapa kok tidak ada kepercayaan bahwa aku tidak akan merusak ya? Kenapa ini itu tidak boleh? Padahal aku ingin tahu banyak tentang hal itu. Hmmmm di Jepang mungkin wadahnya sudah ada. Karena seandainya pun rusak, tidak apa-apa. Museum di Jepang sudah melengkapi barang-barang pamerannya yang antik-antik dengan “pelindung” sehingga kemungkinan untuk rusak sedikit. Anak-anak boleh memegang sarana yang memang khusus disediakan untuk dipegang, dicoret, dicoba tanpa perlu takut rusak. Menyediakan khusus untuk anak-anak itu yang mungkin negara kita belum bisa, karena memang butuh dana yang tidak sedikit. (Boro-boro untuk anak-anak mel….menyediakan museum yang layak saja sepertinya susaaaah sekali hihihi).

Membuat layang-layang di pendopo

Aku tahu anak-anak cepat bosan, karenanya kami cepat-cepat mengakhiri kunjungan kami dalam ruangan museum, dan keluar ke pendopo. Di pendopo sudah tersedia kayu panjang sebagai alas untuk membuat layang-layang. Karena ada 5 anak-anak disediakan 4 bahan untuk membuat layang-layang, dan untuk Kai yang masih kecil, disediakan kertas yang bisa diberi warna dan dijadikan layang-layang oleh staf museum.

Berfoto bersama Nenny sekeluarga (eh Mas Totok tidak masuk karena dia yang motret)

Dan di pendopo ini aku bisa bersua dengan teman blogger lama, Nenny Dewi Rhainy yang khusus datang jauh-jauh dari Tangerang ke Pondok Labu ini untuk menemuiku, bahkan mereka sebetulnya duluan sampainya ke museum ini. Jadilah kami bercerita-cerita di pendopo, karena abang Shafa dan Audri-chan sudah selesai membuat layang-layang mereka. Kami bertukar kabar setelah 1,5 tahun tak bertemu,  yaitu sejak kopdar di Omah Sendok. Senang sekali rasanya bertemu teman lama. Meskipun kadang-kadang kami masih saling menyapa lewat YM atau FB, tapi namanya ibu rumah tangga kan selalu ada saja yang harus dikerjain, harus dipikirin…. terutama mikirin keluarga tentunya ya Nenny…hihihi.

Aku dan Nenny, setelah 1,5 tahun

Karena Mas Totok, suami Nenny ada urusan jam 2, dan Nenny sendiri ada janji ke dokter jam 3, jadi pukul 12 kami berpisah. Pertemuan yang singkat tapi menyenangkan. Terima kasih banyak ya Nenny…. ditunggu loh tulisan-tulisannya lagi kalau sudah bisa menulis lagi.

Setelah anak-anak menyelesaikan layang-layang mereka, mereka mencoba menerbangkannya di halaman museum yang cukup luas, meskipun tidak bisa tinggi-tinggi. Sementara itu aku, Retty dan Krismariana menjenguk bangunan di tengah-tengah kompleks yang sepertinya dulunya merupakan rumah kediaman Ibu Endang. Hmmm….ngeri juga tinggal di situ ya, meskipun tampaknya adem meskipun tanpa AC. Banyak koleksi antik dan kain-kain yang dipajang di situ.

tersedia 5 bungkahan tanah liat untuk anak-anak

Kemudian anak-anak dipanggil oleh staf ke tempat terbuka seperti kantin, yang khusus dipakai untuk membuat keramik. Di atas meja sudah tersedia 5 bungkahan tanah liat untuk dibentuk. Karena Kai masih terlalu kecil, jadilah mamanya yang memakai bungkahan tanah liatnya Kai. Dan…aku senang sekali, karena memang aku ingin sekali belajar membuat keramik. Nanti jika Kai sudah sekolah, aku mau mencoba masuk kelas keramik, atau kelas Taiko (genderang Jepang) atau kelas caligrafi… atau fotografi,  nah nah nah…ketahuan deh my wishlist yang seabreg-abreg itu (dan tampaknya nanti akan berakhir di depan komputer juga hehehe).

riku melirik ke gurunya yang sedang bantu si kembar. Dia mencoba berkreasi membuat macam-macam bentuk.

Kami disuruh membuat sebuah jambangan bunga yang sudah ada contohnya, tinggal membuat serupa dengan contoh. Kami menyambung bagian-bagian dengan lem tanah liat karena tanpa lem itu bagian-bagian itu bisa berantakan waktu dibakar. Riku tentu saja menciptakan banyak bentuk-bentuk baru seperti gajah, boneka salju dan manusia dengan bungkahan tanah liat jatahnya. Dia sudah biasa main lilin di sekolahnya sih. Dan aku merasa bodoh tidak sempat membuat foto hasil karyanya sebelum dibakar. Lupa!


Sebetulnya setelah membuat keramik ini kami lebih baik pulang, karena anak-anak belum makan siang. Tapi karena Riku ingin seklai membuat T-Shirt, jadi aku biarkan mereka melukis T-shirt cepat-cepat. Tadinya kupikir T-Shirtnya kosong melompong, dan anak-anak bisa melukis apa saja. Ternyata sudah ada gambar dan tulisannya, tinggal mewarnai saja. Hehehe…semestinya judulnya bukan melukis T-Shirt, tapi mewarnai T-Shirt.

Kai melukis T-Shirtnya sendiri

Nah, di sini Kai tetap mau melukis T-Shirt bagiannya. Tentu saja semaunya dia hehehe. Jadi setelah dia puas membuat “totol-totol” di kaosnya, aku yang melanjutkan memperbaiki dan menulis nama Kai dengan Kanji. Riku? Riku sih selalu tegas dan pede dalam mewarnai. Dia punya pilihan warna tertentu yang lain dari yang lain. Menurut ibu mertuaku, warna pilihan Riku adalah “warna riang”.

Jam setengah tiga, 5 anak kelaparan dan 3 ibu kecapekan naik mobil pulang. Kami sempat menjemur T-Shirt yang masih belum kering cat nya di sandaran kursi mobil. Sambil menyusuri jalan Fatmawati yang macet, aku memangku Kai yang bersikeras duduk di depan, samping Retty yang menyupir. Karena tidak tahan lapar, akhirnya kami mampir di Kentuckynya De Best untuk makan siang. Dan di situ aku sempat “berkelahi” dengan Kai yang manjanya minta ampun. Mungkin karena terlalu capek dan lapar dia terlanjur rewel. Susah deh…..

Tapi pengalaman satu hari ini di Museum Layang-layang benar-benar membekas di hati kami. Terima kasih banyak ya Ret, sudah memperkenalkan museum yang bagus ini, dan bahkan antar jemput sampai di rumah. Senang sekali bertemu dengan anak-anak kamu yang begitu sayang pada Riku dan Kai. Hasil keramiknya ternyata tidak selesai sampai waktu kami kembali ke Tokyo, sehingga tidak bisa kami bawa, atau at least memotret hasilnya. Tapi pengalaman itu tidak akan terlupakan.

Kaos hasil karya anak-anak dijemur dalam mobil

Untuk keluarga yang mau mencari kegiatan bersama, aku sarankan pergi ke museum Layang-layang ini. Mereka buka setiap hari dari jam 9:00 sampai jam 4:00 tapi kalau hari biasa justru harus menelepon dulu karena sering menerima kunjungan rombongan sekolah (termasuk sekolah Jepang) . Meskipun akhir pekan, biasanya tidak banyak yang datang sehingga bisa langsung datang, dan paling sedikit bisa membuat layang-layang.


Bermain

24 Agu

Kata kerja yang satu ini memang aneh, sementara umumnya kata kerja berawalan ber- itu intransitif (tidak memerlukan obyek), si “bermain” bisa intransitif dan bisa transitif.
“Sedang apa?”
“Sedang bermain…”
“Bermain apa?”
“Bermain piano”

Kata “bermain” dalam keluargaku berarti pergi ke Taman dan bermain pasir, naik perosotan atau ayunan. Tapi kondisi seperti ini tidak ada di Jakarta, meskipun di dekat rumahku ada sepetak tanah kecil yang dilengkapi ayunan yang tidak terawat. Rasanya parno juga menyuruh anak-anak bermain di taman di Jakarta.

Nah tanggal 8 Agustus lalu, hari Minggu, adikku Andy mengajak kami jalan-jalan ke Senayan City, mall yang terdekat rumah. Aku sendiri sebetulnya tidak suka jjl di mall, tanpa ada tujuan. Tapi ok deh, paling sedikit bisa makan es krim Cream and Fudge….itu pikirku. Waktu jalan-jalan ke tingkat atas, aku melihat tulisan “Lollypop”, sepertinya tempat bermain anak-anak. Jadilah kami pergi ke sana. Dan waktu naik ke lantai teratas itu, kami melewati “Timezone” (semacam game center) . Tentu saja Riku langsung minta bermain di timezone. But… NO! certainly BIG NO! Karena Timezone pasti lebih menghabiskan duit dan badan tidak bergerak. Sama saja dengan bermain DS Nintendo game versi besar.

berfoto depan lollipop, playland and cafe judulnya....

Well, bermain di lollipop ini juga mahal. Aku belum pernah mengajak main di Kidzania, jadi tidak tahu info lengkapnya, tapi sepertinya Kidzania lebih mahal. Kalau hari biasa anak berusia 2-12 tahun membayar 85.000/anak Karena kami waktu itu tidak membawa kaus kaki, maka kami juga terpaksa membelikan Riku dan Kai kaus kaki seharga 10.000 rupiah. Satu orang pendamping dewasa harus membayar 15.000 yen juga. Sehingga paling sedikit kita harus menyediakan 150.000 ribu untuk satu anak deh…(termasuk kalau mau makan di dalam). Hmmm 1500 yen per orang? Di Tokyo sudah PASTI aku tidak akan membawa anak-anak ke tempat main yang semahal ini. Bisa bangkrut deh aku. Ini juga karena liburan saja.

Padahal menurut Andy, banyak ibu-ibu borju yang membawa anak+ baby sitternya ke sini, menyuruh mereka bermain (bisa sampai jam 10 malam loh) sementara sang ibu bertemu dengan teman-temannya di toko/restoran di dalam Senayan City ini. Hmmmm segitu mahalnya kah “Me Time” nya ibu-ibu Jakarta? Aku selama ini selalu membawa serta Kai bertemu teman-teman, tanpa baby sitter, dan tidak pernah merasa kewalahan apalagi kemahalan hihihi.

Ada banyak sarana permainan di sini. Dari perosotan hingga jungle jim yang terbuat dari karet.  Dan jelas aku lebih suka di sini, karena membuat anak-anak berlari, bergerak di tempat yang luas dan aman, karena biasanya berada dalam ruangan yang sempit. Dan  Riku paling suka permainan yang seperti bungee jump, ditarik-tarik dari bawah sehingga bisa membal ke atas. Persis seperti katapel yang nempel terus tapinya. Untung sjaa pakai sabuk pengaman. Tapi aku cukup heran, karena aku sendiri tidak suka permainan yang mengocok perut seperti ini. Kelihatannya Riku ikut Gen yang menyukai segala macam jetcoaster dan tidak takut ketinggian.

Sementara Andy menjaga Riku dan Kai, aku sempat makan di Urban Kitchen yang terletak di lantai bawahnya. Saat itu aku kepengen banget makan rujak. Sayangnya rujaknya bersih sekali jadi kurang afdol tuh rasanya hehehe. Tapi, enough deh, kesampaian makan rujaknya sebelum kembali ke Jepang.

Sayang ikan masnya ditaruh di bak yang seperti bak mandi hehehe

Kembali ke Lollipop, anak-anak masih terus bermain, tidak capek-capek. Mereka juga membawa sebuah gelas kertas agak besar yang berisi ikan mas hasil pancingan di situ. Waduh kok seperti festival (matsuri) di Jepang aja, ada pancing ikan mas (kingyou sukui). Waktu itu sudah pukul 9:20 malam. Anak-anak tentu sudah tidak mikir makan malam lagi karena asyik bermain, jadi aku membelikan kwetiau goreng yang cukup mahal (35.500 rp) di dalam Lollipop itu untuk Kai. Kai juga enjoy sekali bermain di tempat seluas itu. Tapi terlihat sekali sifat Kai yang “bersihan”, coba deh lihat kursi yang dia tumpuk dulu sebelum pulang…. beres-beres pulang ceritanya.

Lihat kursi yang ditumpuk Kai sebelum pulang. Kebiasaan di tempat penitipan Jepang dibawa terus 😀

Kami pulang ke rumah waktu toko-toko sudah banyak yang tutup. Ya, toko di Indonesia kan kebanyakan hanya sampai jam 10 malam. Tapi Riku dan Kai puas sekali bermain, dan tidak henti-hentinya berkata, “Mama terima kasih”…. itu tentu aku senang mendengarnya, cuma biasanya ditambah, “Besok main lagi ya….” hahaha, yang terakhir sih mikir-mikir dulu nak… muahal jeh.

Kai dan Riku sempat menelepon papanya selama berada di sini. Lihat gayanya Kai, seperti anak gede aja....

Tanjung Lesung

9 Agu

Berawal dari rencana mengunjungi Rumah Dunia di Serang, aku dan Ria cari-cari tempat vacation yang enak di sekitar Ujung Jawa Barat itu. Maklum kami berdua memang sudah jenuh dengan kesibukan pekerjaan. Ria sebagai IT yang tidak mengenal waktu, dan aku sebagai ibu rumah tangga, keduanya profesi yang membutuhkan alert 24/7. Melalui percakapan lewat YM kami sepakat untuk VACATION bersama.

Tadinya kami mau pergi ke Anyer, tapi waktu Koelit Ketjil (KK) yang empunya Serang dan sebagai  EO untuk acara di Rumah Dunia itu menyebutkan “Tanjung Lesung”, aku mulai mencari via internet info mengenai Tanjung Lesung, dan mengontak marketing officernya, mBak Titi. Kupikir masih cukup banyak waktu, karena aku memesan villa Fiji nya masih satu setengah bulan sebelum berangkat. Tapi apa mau dikata, ada rombongan perusahaan sejumlah 200 orang yang mau pakai semua villa yang ada. Biasalah nasib minoritas, selalu terdepak oleh mayoritas. Jadi pelajaran untukku juga, jangan percaya pada travel biro/pengelolaan dari Indonesia. Meskipun sudah bayar DP pun (lewat bank Indonesia) , belum tentu bisa dapat yang kamu inginkan.

Jadi, sampai saat-saat terakhir aku belum dapat kepastian soal villa, meskipun si mbak Titinya sudah memberitahukan bahwa dia akan usahakan villa milik pribadi (tidak dikelola managemen). Villa milik pribadi berarti aku harus masak sendiri atau makan di restoran (meskipun memang bayarnya di bawah standar harga managemen hotel). Udah terbayang juga repotnya.

Ada 3 kamar seperti ini dalam villa Bora-bora yang mengambil arsitektur bali

Kami menginap di Villa Bora-bora 3 namanya, villa ini tanpa kolam renang. Beruntunglah aku karena aku dapat villa yang jauh lebih bagus daripada foto-foto yang dikirim sebelumnya lewat email. Berangkat hari jumat itu molor melebih waktu yang ditentukan sebelumnya yang jam 9 pagi (plan I) dan 12 siang (plan ke2). Tapi kita berusaha berangkat sebelum pukul 4 sore, sebelum terjebak macet.Kami menumpang mobil yang datang dari Bandung. Mobilnya masih gres sehingga berasa aman di perjalanan, mana yang nyetir handal lagi karena terbiasa nyetir antar pulau kota.

Sampai di Serang, kami langsung menuju Carrefour untuk membeli perbekalan, dan snack untuk anak-anak di Rumah Dunia. Belanjalah kita dan memenuhi bagasi mobil yang sudah penuh. Untung masih bisa masuk. Kami juga bertemu KK di Carrefour dan sambil briefing sedikit acara, kami juga membeli peralatan main. Menurut rencana tadinya KK akan bergabung dengan kami keesokan harinya, tapi ternyata mendapat ijin dari istrinya untuk menginap bersama kami. Jadi kami mampir dulu di rumahnya untuk ambil baju segala. Nah, untung juga kami mampir tuh, karena baru tahu bahwa ada paku nancap di ban mobil. Jadi deh kami menunggu ganti ban dulu di Serang.

Sayang sekali Win, istri KK tidak bisa ikut bersama kami karena keesokan harinya pagi-pagi dia harus mengajar. Aku bisa bayangin murid-muridnya pasti tersepona pada kecantikan Win (makanya KK juga langsung terjerat yah hihihi). Mereka baru saja menikah tanggal 20 Juli lalu. (selamat yah)

tampak depan villa, di mukanya terbentang halaman yang luas, dan ada yang mulai dibangun. Ayo siapa yang mau beli, nanti aku kenalin ke Mbak Titi. komisi untukku cukup nginap gratis kalo aku ke jkt. gimana?

Perjalanan panjang dari Serang ke Tanjung Lesung di dalam gelap dan jalan berlubang-lubang. Mana kami masih harus mencari lewat papan penunjuk. Rasanya jalan tak ada ujung. Riku dan Kai tertidur dalam pelukan KK kecapekan si Kai bermain perang-perangan campur bahasa Jepang dan Jawa. Dia (kai) sampai fasih mengucapkan “hantemono”….

Ada bangunan indah yang kami temukan mendekati Tanjung Lesung, yaitu Pembangkit Listrik PLTU sepertinya. Indah karena diterangi lampu-lampu. Sayang kita tidak berhenti di sini untuk foto-foto, karena kami was was jam berapa bisa sampai di villa. Padahal bagus tuh kalau foto-foto di situ, bisa buat foto pre-wed juga (tapi jangan sengaja ke sini… doooh jauhnya hahahaha).

Jalan mulai berbau air laut, dan kami tahu bahwa di sebelah kanan kami laut. Tapi karena gelap kami tidak tahu apakah itu indah atau tidak. Sampai di pintu gerbang masuk Tanjung Lesung pun ternyata masih jauh masuk ke dalam, melewati rimbunan pohon yang… indah tapi seram. Tadinya sempat sih mau turun foto-foto, tapi kok jadi ngeri sendiri kalau nanti di fotonya ada yang muncul hiiiiiiiiii hihihih.

Jalan masuk kompleks di siang hari, kalau malam hiiiii

Kami masuk kompleks Kaalica Villa dan disuruh ke arah kiri tempat villa kami berdiri. Amang Udin yang menjaga di situ ikut membantu kami menurunkan barang-barang yang seabreg-abreg. Dan yang stupid, aku biasanya selalu memotret bangunan/kamar hotel yang aku akan tempati sebelum bongkar barang. Eh kali ini aku lupa sama sekali. Karena kami sampai itu sudah jam 10 lewat dan lapar! Jadi pertama-tama yang aku buat adalah masak nasi 🙂

Ada 3 orang yang tidak jadi menginap bersama kami, sayang sekali.

Untung aku sempat membeli makanan jadi dari AW, paket nasi dan ayam goreng, tinggal menambah sup sayuran. Anak-anak juga terbangun sehingga kami makan bersama-sama pukul 11 malam. Hari sudah berganti ketika kami menempati kamar kami masing-masing.  Villa ini mempunyai 3 kamar sehingga KK dan DM menempati satu kamar, aku dan Ria satu kamar,  Riku dan Kai juga satu kamar. Malam itu kami tertidur pulas Zzzzz.

Aku terbangun pukul 5 dan mencoba mencari akses internet memakai Flash… doooh sulitnya minta ampun. Jangankan akses internet, jaringan HP saja mati nyala. Bener-bener tempat yang bagus untuk menyepi dan memutuskan hubungan dengan dunia! Cocok untuk penulis. (melirik seseorang yang pegang BB terus). Aku sempat keluar villa untuk mencari sunrise, tapi aku tidak tahu arah ke pantainya di mana, sehingga akhirnya cuma jalan-jalan sekitar villa dan kembali serta bersiap membuat sarapan pagi.

Begitu anak-anak bangun, mereka bermain di pantai bersama KK. Untung saja ada dia sehingga aku bisa jadi fotografernya. Lucu sekali melihat Kai yang bermain ombak dan sesekali tersedak air laut. Pantai yang indah itu hanya sepotong, tapi cukup memberikan keceriaan bagi anak-anakku.

bisa sewa sepeda. satu jam nya 40rb rupiah

well, menu kami hari Sabtu itu benar-benar hanya leyeh-leyeh, sarapan, main di pantai, makan, leyeh-leyeh lagi (Ria sih masih sambil kerja tuh). What a wonderful life deh… Sekitar jam 3 sore, akhirnya aku berdua Ria pergi ke pantai dan…photo session deh. Bener-bener berpose untuk foto, padahal aku tuh kan orangnya kaku sekali dan tidak suka berpose. Untung kameraman nya si Ria, jadi lupain urat malunya hahhaa. Jadilah kita gantian menjadi model dan fotografer.

Pantai putih, ombak dan karang serta langit biru, perpaduan yang indah sekali untuk berfoto. Tapi lama-lama aku jadi tidak enak hatinya dan untung saja pas aku kembali ke villa, bertemu dengan Riku yang berlari ke luar sambil menangis. “Mama lama sekali, aku takut. Kai nangis minta susu dan aku ngga tau bagaimana bikin susunya”. Memang aku tinggalkan anak-anak sendirian di villa karena tidak ada yang bisa dititipkan. Riku sibuk dengan DS nya sedangkan Kai bobo waktu aku pergi. Aku jadi menyesal juga, dan sambil peluk Riku, aku cepat-cepat lari membuat susu untuk Kai. Selesailah waktuku untuk menikmati pantai sendirian (tanpa anak-anak), karena setelah itu mulai menyiapkan makan malam dan packing. Foto-foto di pantai itu akan menjadi kenangan tersendiri bagiku. Terima kasih ya Ri.

Kurang bagus hasilnya karena melawan cahaya, tapi apa boleh buat, kami lupa membawa tripod, sehingga terpaksa menaruh kamera di atas karang

Minggu jam 8 pagi kami berangkat ke Serang meninggalkan tempat tetirah kami di Tanjung Lesung. Mungkin lain kali harus mencari pantai yang lebih luas dan bisa menikmati sunset dan sunrise, karena letak pantai TL ini kurang strategis. Well, next time will be Bali maybe, dan nabung beli DLSR ahhh.

goodbye Tanjung Lesung…. the end of my healing getaway!

Last day in HK

5 Agu

Tanggal 26 Juli pukul 4 sore aku harus naik Cathay Pasific kembali, untuk memulai acara mudikku di Jakarta tahun ini. Tiga hari transit di Hongkongpun harus kuakhiri.

Nah sambil packing koper, Riku dan Ao bermain di taman apartemen. Setelah selesai, aku dan Kai menelepon Kimiyo, dan kami bersama-sama naik “Angkot”nya Hongkong yang berhenti persis di depan gerbang apartemen. Hmmm aku cukup heran dengan kondisi seperti ini. Karena aku tahu pasti tidak akan ada orang yang tinggal di apartemen mewah Dharmawangsa misalnya, yang akan berjalan kaki ke luar kompleks dan naik angkot! Setiap orang yang tinggal di apartemen mewah pasti mempunyai mobil, dan kalaupun akan pergi dengan angkutan umum, mereka akan naik taxi SB atau BB yang dipanggil dan sudah menunggu calon penumpang di depan gerbang apartemen. MANJA! dan …. snobbish!

Mental seperti itulah yang membuat kemacetan Jakarta tidak bisa dikurangi. Semua mau naik mobil pribadi. Dengan alasan kurang aman. Memang, itu juga fakta. Jadilah lingkaran setan yang tidak akan bisa diuraikan. Akupun kalau ada mobil pribadi, pasti lebih pilih naik mobil pribadi (kalau ada supirnya ya, soalnya aku tidak punya SIM Indonesia, jadi pasti kemana-mana naik taxi). Tapi jika angkutan umum lainnya aman seperti di Jepang atau Hongkong, pasti aku akan naik angkutan umum.

Keramaian di pasar sayur

Dengan angkot itu kami menuju pasar tradisional Hongkong. Meskipun dibarengi perasaan waswas karena waktu bergulir terus a.k.a takut terlambat ke bandara, kami terus berjalan sepanjang kios-kios pasar. Yah…. sebetulnya bukan pemandangan yang asing sih. Mirip kita pergi ke pasar baru aja. CUMA…bersih! Tidak ada tuh yang namanya bau menyengat ongokan sampah dan genangan lumpur. Padahal panasnya sama! Lebih panas malahan (karena lembab). Jadi ok-ok aja tuh berjalan di sepanjang pasar itu. Seandainya wkatu masih banyak dan Kai tidak rewel minta digendong terus…. (Aku bisa gendong dia tapi resikonya aku sulit angkat koper nanti di bandara kalau punggungku kaku)

Kai udah mau ambil parianya dan langsung dimakan, dipikirnya ketimun kali ya?

Akhirnya kami mampir ke Mac Donald terdekat. Memang Gen menyarankan Riku untuk pergi ke suatu tempat tertentu jika pergi ke Luar Negeri. Misalnya Mac Donald seluruh dunia. Mulai sekarang sampai nanti dia besar bisa membandingkan semua Mac Donald di seluruh dunia. Dulu keluargaku juga begitu, pasti membeli Hard Rock Cafe Shirt di setiap kota yang dikunjungi. Kalau bisa sendiri, kalau tidak bisa jika papa yang pergi pasti akan diusahakan membelinya. Hard Rock Cafe dan Planet Hollywood. Tapi sekarang jamannya sudah berubah, at least untuk keluargaku. Sudah malas memakai T-Shirt juga sih. Tapi Riku mungkin kelak bisa pamer karena masih ada setumpuk T Shirt HRC berbagai kota di dalam lemari kami.

Rasanya Mac Donald sebetulnya di mana-mana standar saja. Tapi aku rasa burger ayamnya lebih gurih daripada di Jepang. Huh ayam Jepang memang tidak ada rasa, terlalu banyak bekerja atau…obat mungkin yah hihihi.

Yang juga mengherankan aku adalah sebuah kejadian di meja sebelah kami. Ada satu keluarga kecil, bapak, ibu, anak dan omanya yang duduk, tapi tidak membeli satupun produk McD. Mereka mengeluarkan kotak styrofoam dari toko lain, sepertinya isinya bakmi, dan mereka makan. Dan benar saja, pelayan Mc D mendatangi mereka dan mungkin menegur mereka (pakai bahasa sono sih), sehingga si Bapak akhirnya membeli minuman di counter. Hmmmm cueks banget ya? Perlu aku tekankan di sini: Jangan berbuat seperti itu di Jepang! Memang jarang sekali ada kejadian seperti itu. Yang jelas orang Jepang PASTI tidak akan melakukan hal itu. Etiket perdagangan lah…. Pelanggaran memang biasanya dilakukan oleh orang asing yang tidak mengetahui tata cara/etiket atau…pura-pura tidak tahu atau cuek. (Bahkan di beberapa restoran di Indonesia sekarang mencharge kue tart yang kamu bawa dari toko lain misalnya)

Setelah selesai makan, anak-anak minta naik double decker lagi, padahal untuk balik ke apartemen tidak ada double decker. Aku sudha mulai jengkel karena seharusnya kita sudah pulang dan ambil koper. Untuk memenuhi permintaan anak-anak akhirnya kamu naik tram bertingkat, sebelum akhirnya naik angkot lagi. Dengan demikian semua jenis transportasi sudah dicoba.

Nah ada dua kejadian di dalam angkot pulang itu. Satu sebuah kecelakaan kecil yaitu jatuhnya calon penumpang karena si supir tidak lihat. Si cewe ini juga salah sih,maksa naik angkot yang setengah berjalan. Sepertinya dia ragu-ragu mau naik atau tidak. Rame-rame sedikit, aku semakin manyun…the time is tickling! Tapi hebatnya ngga ada acara gontok-gontokan atau sampai panggil polisi segala. Si supir sih kelihatannya suruh si cewe naik tidak usah bayar, tapi si cewe tetap bayar. Aku dan Kimiyo cuma pandang-pandangan, kalau kejadian seperti ini di Indonesia, supir angkotnya udah mati kali ya dipukulin. Negara yang katanya beragama tapi seringnya main hakim sendiri…. miris

Kejadian kedua adalah aku memberikan tempat duduk Kai untuk seorang ibu yang naik tapi tidak ada tempat duduk. Si ibu tiba-tiba mengeluarkan mainan satu kotak setip yang masih ada harganya. Aku sempat baca harganya 12$ dan dia berikan pada Kai. Duuuh segitunya bu… ngga usah. Aku sampai bungkuk-bungkuk say thank you pada ibu itu. 12$ cukup untuk naik angkot ke mana tuh…. Baru mengalami dua kejadian di satu hari, apalagi kalau aku tinggal lamaan ya?

Begitu sampai apartemen, kami ambil koper dan langsung naik taxi ke Bandara. Lebih lambat 30 menit dari jadwal. Sambil berdoa kenceng aku menutup mata saja, daripada senewen. Akhirnya sampailah di bandara, aku cepat-cepat ambil 2 koper lain yang dititipkan kemudian cek in. Nah waktu cek in inilah terjadi masalah besar. Kai menangis meraung-raung. Dia lapar mungkin, tapi dia berteriak-teriak tidak mau naik pesawat. Saking ngamuknya dia angkat koper kecil dari ban pengukur di tempat cek in supaya tidak diikutkan ke pesawat. Aku yang sudah senewen jadi biarkan saja dia menangis. Satu airport Hongkong melihat aku mungkin sebagai ibu yang kejam…but I have no time.

Akhirnya tangisnya bisa reda setelah dibujuk pakai coklat. Cepat-cepat berpisah dengan Kimiyo dan Ao, kami memasuki imigrasi, yang cukup makan wkatu karena namaku di paspor terlalu panjang. Dia cek satu-satu hurufnya! HUH. Jadi lari-lari deh ke boarding gate, dan kami sampai tepat boarding gate dibuka. Duduk di tempat duduk, kai langsung tidur kecapekan, dan Riku… menangis terus. Dia sedih meninggalkan Ao. Hmmm perasaan Riku memang peka sekali (mirip mamanya) sampai dia bilang, kita harus ke Hongkong lagi bulan Desember nanti, dan panggil Ao untuk ke Tokyo dan menginap di rumah kami. OK sayang, as you wish!

Kedua krucils yang kecapekan

Sesampai di bandara cengkareng, kami membutuhkan waktu hampir 2 jam untuk menyelesaikan visa on arrival bagi Riku dan Kai (duuuh antriannya), tapi antrian di VoA ini masih mending. Antrian di Imigrasinya amit-amit deh! (pengen deh motret tapi ngga pernah boleh memotret di Imigrasi negara manapun) Itu bule-bule udah pada  sengak mukanya. Sampai Riku dan Kai menunggu di tangga sambil bermain, sementara aku ngantri di bagian orang asing. Bagian orang Indonesia sih kosong banget. Aku tidak tahu apa yang membutuhkan waktu begitu lama. Apakah pengambilan sidik jadi dan foto mata? Tapi Riku dan Kai akhirnya dipanggil petugas untuk masuk ke bagian orang Indonesia. Waktu aku ucapkan terima kasih ke petugasnya, dia bilang, “Iya ibu kan bawa anak, kasihan disuruh tunggu begitu lama”. Memang bersama aku juga satu keluarga dari Hongkong disuruh lewat imigrasi bagian orang Indonesia. Tentu saja kami ditatapi pandangan sebal orang-orang lain yang masih mengantri saat itu.

aku selalu pikir kenapa kids meal di penerbangan lebih yummy drpd yang untuk dewasa ya?

Well, imigrasi di Hongkong apalagi di Jepang tidak pernah selama ini sih. Bayangin aku baru bisa keluar gate setelah 2 jam landing! Gila bener. Musti ada perbaikan dong, supaya wisatawan mau datang ke Indonesia.

Untung kami langsung bertemu Chris, iparku yang datang menjemput, sehingga bisa langsung pulang ke rumah tercinta, dan memulai acara mudik kami. Dear home, I am back!

Hongkong by night

4 Agu

Aku sering mendengar ucapan bahwa Hongkong itu indah di malam hari. Dan kata mama dan saudara-saudaraku Manado pun indah di malam hari.  Aku tidak tahu soal Manado, tapi aku bisa membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa memang Hongkong itu indah di malam hari.

Bus double decker (bus bertingkat) yang kami naiki

Setelah beristirahat  sejenak, kami keluar rumah lagi naik taxi ke terminal bus. Tujuan kami adalah “The Peak”. Sebuah tempat wisata di puncak Hongkong tempat kami bisa menikmati pemandangan di malam hari. Beruntung sekali kami bisa duduk di bangku terdepan di lantai atas bus bertingkat. Pasti indah! Begitu kupikir.

Melewati Taman victoria. pukul 18:00 sore dan masih dipenuhi TKI..duh ntah kenapa aku sedih. Jadi ingat taman Ueno Tokyo juga demikian, tapi dipenuhi pemagang laki-laki dr Indonesia

Dan memang indah pemandangan sepanjang jalan tapiiiiiii pilihan duduk di bangku terdepan lantai atas sebuah bus bukan pilihan yang tepat bagi seorang phobia seperti aku. Naik mobil biasa ke puncak dengan jalan sempit berliku-liku aku sudah biasa! Tapi jika itu aku alami di lantai atas sebuah bus…. cukup membuatku pucat sepanjang perjalanan, dan memegang erat bar pengaman bus (untung aku tidak hobby muntah atau p*pis di celana 😀 ). Tidak jarang aku merasa bus itu oleng ke kanan dan kiri, apalagi jika berpapasan dengan bus dari arah lain. Alamak! Sampai aku sempat menyesal tidak ikut asuransi perjalanan di Hongkong hehehe.

Kami sampai di pangkalan bus di The Peak yang berada tepat di bawah sebuah bangunan yang bernama Galeria. Dan kami menemukan sebuah tempat yang disarankan oleh supir taksi waktu kutanya “Uncle, do you know a good restaurant at the Peak”. Hebat juga tuh supir, karena ternyata nama restoran yang dia sebutkan dalam bahasa sono itu masuk dalam guide book. Tadinya kami mau naik tram atau naik ke puncak untuk melihat pemandangan dulu. Tapi saat kutanya ke restorannya apa masih ada meja di pinggir jendela, dijawab hanya tinggal satu saja. So, aku memutuskan untuk makan malam dulu di restoran “Deco Cafe” itu.

Wahhh untung sekali kami mendapat tempat di situ. Restoran ini menyediakan corner untuk anak-anak bermain. Selain itu di tempat duduk untuk anak-anak mereka memberikan alas makan berupa kertas untuk menggambar dan beberapa crayon. Hebat pelayanannya untuk anak-anak. Yang pasti aku belum pernah menemukan service untuk anak-anak di Indonesia yang berkenan di hati (kalaupun disediakan kertas/buku/pensil biasanya ditarik biaya)

So, kami duduk sambil melihat pemandangan keluar, tapi karena letak meja kami di pojok, untuk melihat pemandangan yang penuh, kami harus keluar ke teras restoran. Kami sempat berlama-lama melihat menu, bingung mau memilih makanan yang mana. Tapi karena Ao sedang bermain di Kids Corner, Kimiyo mengajak aku makan kue Black Forrest sebelum main course. Dan tentu saja aku setuju! Yummy sekali black forrest di sini. Untunglah Kimiyo bisa mendapatkan kesenangan sesaat. Anaknya Ao alergi telur, sehingga otomatis Kimiyo juga tidak bisa makan makanan yang mengandung telur di depan anaknya. Dan aku tahu itu stressful. Aku merasa beruntung anak-anakku tidak ada yang alergi atau mempunyai sakit yang memerlukan penanganan khusus.

Sambil melihat antrian panjang penumpang tram (yang akhirnya kami putuskan tidak jadi menaikinya), kami menikmati pergantian senja di dalam restoran yang cozy dan sejuk, dilengkapi makanan enak. Baru setelah selesai makan malam, kami berfoto dengan latar belakang pemandangan “Hongkong by Night”.

Kalau melihat pemandangan indah seperti ini ingin sekali rasanya punya kamera DSLR

Nah pulang dari sini yang butuh perjuangan, karena harus rela antri cukup lama untuk bisa naik bus. Meskipun demikian bus adalah pilihan transportasi yang paling tepat dibanding yang lain. Karena kemacetan juga harus diperhitungkan juga. Tapi selama aku berada 3 hari 2 malam di Hongkong, aku belum pernah bertemu kemacetan yang parah  seperti di Tokyo atau Jakarta.

Keindahan artifisial? Ntahlah yang penting cukup menghibur hati.