Hatsuyume: Mimpi Pertama

2 Jan

Orang Jepang mempunyai sebuah peribahasa “Satu: Gunung Fuji, Dua: Burung Elang, Tiga: Terong”. 一富士、二鷹、三なすび。Dipercaya jika bermimpi mengenai ketiga tema ini pada malam tahun baru (tanggal 1 dan 2) maka pasti akan ada kejadian yang bagus yang terjadi dalam tahun itu. OK, saya mengerti jika Gunung Fuji menjadi tema mimpi. Bukan orang Jepang pun senang melihat keindahan gunung Fuji yang mistis, yang jika di Indonesia bentuknya mirip dengan gunung Merapi. Selain gunung Fuji adalah gunung tertinggi di Jepang, kata “Fuji” menyerupai kata BUJI yang artinya selamat (keselamatan).

Elang? Ya jika membayangi seekor Elang melayang tinggi, dapat dimengerti bahwa Elang mewakili pencapaian cita-cita. Jadi kehadiran gunung Fuji dan Elang dalam mimpi bisa dipahami. Tapi Terong? Mengapa harus ada terong? Memang di sini ada permainan kata dari bahasa Jepang, yaitu nasu, yang berarti terjadi atau terlaksana. Dan menurut saya, warna dari terong yang ungu itu juga melambangkan “keanggunan” dan “kemewahan”.

Selain “Mimpi Pertama” 初夢, orang Jepang juga mengenal “Sembahyang Pertama”初詣, “Matahari Pertama”初日の出, “Penjualan Pertama” 初売りdan “Kantong Keberuntungan”福袋, dan PR Riku yang pertama adalah”Tulisan Pertama” 書初め. Segala sesuatu yang pertama jika dilaksanakan dengan bagus, dipercaya akan membuat kehidupan selanjutnya akan menjadi bagus. Awal yang baik.

Semoga mimpi pertama Anda bagus….

Dan dia teronggok di tempat sampah!

31 Des

selembar kertas bertuliskan

Desember
31

dari sebuah penanggalan harian

betapa dia menantikan datangnya gilirannya
sejak Januari…. terasa lama
baru 2 bulan berakhir…katanya di awal bulan Maret
penantian yang panjang

April
Mei
Juni

7 bulan berlalu…
musim panas membuatnya ikut kering
menantikan giliran memang tidak enak

Memasuki oktober dia berkata
yey… tinggal 2 bulan lagi
akan tiba giliranku
dan dia menghitung mundur

Begitu tanggal 1 Desember muncul
gembira hatinya
“ayo cepat… cepat…”
diapun mulai menggigil
di luar angin berhembus kencang
dan suhu semakin turun

langkah orang bergegas
tak ada yang mau berlama-lama di luar
mulai mempersiapkan pohon natal
mengirimkan kartu natal
gilirannya tinggal beberapa hari lagi

dan tibalah tanggal 30 Desember
besok adalah giliranku
AKHIRNYA…. tersenyumlah dia

tapi….
dia harus teronggok dalam tempat sampah
si anak tak sengaja menyobek dua lembar
si 30 hanya setengah hari
tapi 31 sama sekali tak mendapat giliran

“Maaf….” kata si anak
“Tidak apa-apa… toh hanya satu hari
Pasang saja kalender yang baru!”
kata si ibu

Dan sambil menangis
31 meratapi nasibnya
di dalam tempat sampah

sia-sia penantiannya selama setahun
tanpa ada penghargaan dari manusia
yang mau serba cepat
menyambut semua yang BARU

**************

terinspirasi sebuah anime pendidikan di Jepang
yang sempat membuatku berpikir
bahwa memang kita selalu tidak sabar
menyambut semua yang baru
tanpa mau merenungi
bahwa SETIAP hari adalah anugerah
dan hari terakhir di tahun ini
tetap sama 24 jam
yang pantas dihargai
justru karena dia akan menjadi akhir
segala usaha di tahun ini.

OTSUKARESAMADESHITA (you’ve done a very good job)
untuk segala yang kita perbuat di tahun 2009
termasuk hari ini

tanggal 31 Desember 2009

Nikmatilah dia
detik demi detik
tanpa harus bergegas
menyambut 1 Januari
karena 1 Januari pasti akan datang
tanpa perlu harus diburu.

imelda
@ my studio
11:35 AM

(tulisan ini pertama kali saya publish di notes FB pada tanggal 31 Des 2009)

Yamashita Park and Pecinan

30 Des

Pagi hari aku sebetulnya menantikan fajar. Tapi ternyata karena kamar kami mengharap ke utara, tidak bisa melihat matahari terbit. Pemandangan yang sama, pada malam hari dan pagi hari, amatlah berbeda.

pelabuhan pukul 7 pagi hari

Karena paket hotel termasuk sarapan, maka kami menuju Restaurant normandie yang berada di lantai 5. Sebetulnya tempat ini bagus sekali kalau malam, tapi harganya juga bagus sekali. Untung saja sarapan disediakan di tempat ini sehingga kami bisa melihat bagian dalamnya seperti apa.

Dan oleh pelayan kami diberi tempat duduk di dekat jendela, yang pemandangannya bagus sekali (kalau malam pasti harus reservasi nih). Breakfast menunya sendiri tidak begitu wah, malahan aku jadi ingin makan bubur ayam hihihi.

Sinar matahari yang menyirami bumi terlihat begitu hangat sehingga kami memutuskan untuk jalan-jalan pagi sebelum check out. Tapi begitu kami sampai di lantai satu, brrrrrr angin menyambut kami, sehingga kami kembali lagi ke kamar mengambil coat.

Banyak orang berjalan kaki, atau jongging di Yamashita Park ini. Atau hanya sekedar duduk sebentar (karena kalau lama-lama meskipun di bawah sinar matahari tetap saja menggigil). Di situ ada kolam dengan patung dan dikelilingi 5  lonceng yang rupanya sebagai tanda kerjasama sister city dengan San Diego.

Kapal Hikawamaru yang ditambatkan juga lain penampilannya dengan waktu malam hari. Aku lebih suka malam hari…. lebih mistis. Tapi aku menemukan sesuatu yang lucu di rantai jangkar kapal. Yaitu deretan burung camar yang berbaris rapih. Sementara yang tidak kebagian tempat terbang atau berenang di perairan di bawahnya, yang lumayan riaknya gara-gara angin.

Karena semakin merasa dingin, aku mengajak Gen kembali ke hotel melewati jalan yang lain. Rupanya di situ juga ada taman bunga mawar yang sedang berbunga. Sementara di sebelah kiri ada lapangan rumput yang luas tempat anak-anak bermain. Ahhhh pemandangan seperti ini selalu membuat hati merasa damai. Sambil merasa iri, mengapa di Indonesia tidak ada tempat yang bersih seperti ini.

Sambil pulang ke kamar, kami juga menyempatkan diri mampir lagi ke lobby gedung utama yang bersejarah dengan interior khasnya, dan taman hotel dengan air mancurnya.

Kami cepat-cepat check out pukul 11, terlambat 5 menit, dan menemui antrian tamu lain yang check out. Antri bo…. dan tidak lama… sama sekali tidak lama. Padahal ada lebih dari 20 tamu yang sedang antri.

Karena kami boleh memakai parkir sampai jam 1, maka kami menaruh barang kami yang tidak perlu, lalu berjalan ke arah China Town. Benar saja pemandangan China Town di siang hari lain sekali dengan waktu malam hari. Tentu saja lebih bagus waktu malam. Tapi, semua toko terbuka, dan kami menemukan “tongcai” . Itu loh sejenis sayuran kering dengan rasa asin-asin untuk bubur ayam. Dijual dalam keramik bundar. Waktu kami lihat wahhh, murah, hanya 250 yen. Jadi beli deh.

Selain itu aku juga melihat kue china yang dulu waktu SD sering kami makan. berbentuk bundar merah. Dulu kami sering bermain “hosti-hosti”an dengan snack ini. Setelah aku bisa baca kanji baru tahu namanya di Jepang adalah Sanjashi さんざし(山楂子) , bahasa Inggrisnya Hawthorn dan ternyata terbuat dari buah yang banyak mengandung vitamin C, dan berguna untuk memperlancar pencernaan. Hmmm musti kasih makan Kai nih, dia suka sembelit soalnya.

Wah memang masuk ke toko cina itu asyik, asal bisa baca hehehe. Ada keringan kuda laut, ada shark fin juga. Waktu Gen bilang, mau beli? Duh aku ngga tau masaknya gimana….

Tujuan kami di Pecinan sebetulnya adalah Kuil Kanteibyo (Kuil Guan Gong). Aku sudah beberapa kali pergi ke China Town Yokohama, tapi belum pernah sampai ke kuil ini. Dan kali ini harus bisa kesampaian.

Begitu sampai di temple ini, wahhh deh. Amat lain dengan kuil-kuil Jepang yang umumnya tidak “berwarna”. Kuil Cina memang jauh lebih meriah, semarak dan berwarna warni. Emas dan Merah sudah pasti. Guan Gong adalah dewa untuk keadilan, keberanian dan kesetiaan. Bagi yang ingin berdoa, diharapkan  untuk membeli batangan dupa yang cukup besar (berbeda dengan Jepang yang pendek dan berwarna hijau), paling sedikit 5 batang untuk dipasang di lima tempat. Karena kami tidak bermaksud berdoa, kami tidak membeli dupa, tapi masih diperbolehkan naik sampai ke depan altarnya. Wah semakin dekat dengan gerbang dan atap, semakin silau mata memandang. Apalagi waktu itu matahari terang benderang, meskipun tidak berarti panas hehehe.

Aku bayangkan kuil ini pasti ramai sekali kalau Tahun Baru Imlek, lengkap dengan barongsai dan musiknya…. Dan aku sambil menuliskan ini berdoa untuk arwah Gus Dur, Presiden Indonesia ke 4 yang berani memperbolehkan Imlek dirayakan di Indonesia.

Begitu turun dari kuil tersebut aku membeli taiyaki, sejenis kue dorayaki tapi berbentuk ikan mas. Tapi taiyakinya berwarna putih dengan isi custard, coklat dan anko (selai kacang merah). Riku ingin sekali makan taiyaki rasa coklat, jadi sekalian beli untuk oleh-oleh Riku.

Taiyaki berwarna putih. Ikan mas sering dipakai sebagai lambang dalam selamatan

Sambil berjalan ke arah hotel, kami menemukan keganjilan, yaitu melihat Sang Merah Putih berkibar di sebuah toko. Langsung deh tergerak nasionalisme kami (uhuuy…lebay amat), dan masuk ke toko itu. Siapa tahu menjual barang-barang Indonesia. Eeeehhh ternyata hanya merupakan kumpulan toko-toko kecil yang menjual macam-macam baju, assecories, buku, hobby dan lain-lain. Kecil memang tapi cukup menyenangkan, dan yang pasti WC nya yang terletak di lantai 3 itu bersih benar! Jadi, ngapain dong pasang Sang Merah Putih? Pasti yang pasang asal milih saja deh, bendera negara mana juga jadi (atau malah dia pikir itu bendera Polandia ya?)

bendera merah putih yang menarik perhatian kami....

Nah terakhir kami akhirnya mampir ke sebuah toko yang menjual segala “panggangan”. Ada ayam, bebek, hati ayam, babi merah (chashu), babi asin (yang asin jarang sekali ada di Jepang) padahal di “Kenanga” Jakarta banyak tuh dan tidak pake sambal khasnya…. Toko ini sebetulnya lebih melayani pembelian untuk dibawa pulang (take away) dijual langsung per gramnya, atau dalam bentuk obento (set dengan nasi). Tapi mereka juga punya kamar makan di atas khusus untuk orang yang sudah pesan. Ada seorang obasan (ibu-ibu) yang menawarkan kami untuk makan di atas saja. Jadilah kami memesan set panggangan untuk lunch , karena malas membawa pulang ke rumah. Harganya 1000 yen, tapi dagingnya banyak euy, jadi puas deh.

kiri: babi panggang merah dan putih; kanan : bebek panggang dan ayam

Akhirnya kami harus berlari-lari ke parkiran hotel karena waktu sudah menunjukkan pukul 1. Padahal aku bilang, biarlah kalau perlu kita membayar tambahan parkir juga tidak apa-apa. Paling cuma untuk setengah jam. Jadi sekitar pukul 1:25 an kami naiki lagi lift mobil dari B4 untuk keluar. Ternyata kami sama sekali tidak usah membayar kelebihannya. Tau gitu kan…. nambah hihihi (ngelunjak itu sih!)

Well, berakhirlah bulan madu ke 4 kami. Pertama ke Raffless Hotel Singapore, ke dua ke Ritz Carlton Bali, ke tiga Makassar Golden Hotel, dan ke empat Hotel New Grand Yokohama. Mungkin ada yang tanya, kok suka nginap di hotel-hotel begituan sih? Well, kebetulan pekerjaan Gen berhubungan dengan hospitality, jadi kami ingin menjadi “Hotel Critics” ceritanya. Tapi karena bayar sendiri, frekuensinya sedikit deh. Nanti kalau anak-anak sudah besar, boleh juga tuh menjadi pekerjaan pokokku hehehe.

New Grand

29 Des

Nama lengkapnya Hotel New Grand, Yokohama. Terletak persis di depan perairan dan Taman Yamashita (Jangan salah, bukan Miyashita loh…sering sekali orang salah menyebutkan nama keluarga kami). Hotel ini yang dipilih oleh Gen, waktu aku mencari-cari kamar hotel yang kosong secara online untuk tanggal 26 Desember. Padahal aku sebetulnya lebih tertarik pada Royal Park Hotel Yokohama, karena waktu 10 tahun yang lalu, kami tidak jadi menginap di situ dan memberikan jatah kamar kami untuk keluarga yang datang dari Jakarta. Kamar di Royal Park Hotel, yang bersebelahan dengan Landmark Tower  ini mempunyai kamar mandi berjendela bulat sehingga seakan-akan berada dalam Kapal dengan pemandangan pantai Yokohama yang spektakuler, karena kamar teratas berada di tingkat 67. Bayangkan saja…pasti bagus kan.

Tapi memang Hotel New Grand ini adalah hotel klasik, hotel yang kuno karena hotel ini mulai dibangun tahun 1926, dan selesai tahun 1927. Tidak kurang dari Jendral Mac Arthur pernah menggunakan ruangan di hotel ini sebagai ruang kerjanya, sehingga ada ruang suite bed room bernama Ruang Mac Arthur. Harga permalamnya? 140.ooo yen aja (14 juta rupiah saja).

Dan Gen berkata bahwa, seandainya dia menginap di hotel, dia ingin menginap di Hotel New Grand. Aku tadinya pikir mungkin karena dia suka sejarahnya, tapi ternyata setelah kami menginap baru dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh sebuah film. Film Amerika yang berjudul Somewhere in Time, yang dibintangi Christopher Reeve & Jane Seymour. Nama hotel yang ada di film itu ternyata GRAND HOTEL, Mackinac Island Michigan.

Kebetulan saja namanya sama…. ada grand nya. Soalnya arsitekturnya agak beda deh. Tapi pas aku cari daftar harganya? well hampir sama ….mahalnya hihihi. Dan Gen bilang, kalau gitu nanti anniversary (10 tahun lagi) usahakan di Michigan yuuuk hihihi. Tapi siapa tahu ada kesempatan ke Amerika, biar kamar yang termurah lumayan juga tuh… (Aku sama sekali ngga ada keinginan untuk ke Amerika sih). Ternyata setelah cari keterangan tentang Grand Hotel ini, diketahui bahwa hotel itu tutup selama bulan November-Januari. Jadi sudah tidak bisa deh ke sana untuk merayakan anniversary…(syukurlah hihihi). Kalau mau pergi harus summer.

Jadi setelah kami selesai mengunjungi Rumah Diplomat dan Bluff No 18, kami menuju ke Yamashita-cho, Hotel New Grand Yokohama. Karena kami menginap, kami bisa memarkir mobil kami di parkiran hotel. Kalau tamu biasa belum tentu, karena hotel hanya mempunyai 140 space untuk mobil. Biaya parkir sehari untuk tamu yang menginap 1500 yen. Dan… kami berdua terkejut sekali waktu petugas mempersilakan kami tetap berada dalam mobil dan memasuki LIFT MOBIL.

Biasanya parkir di Jepang memang bertingkat, tapi yang masuk lift hanya mobilnya saja. Pengemudi dan penumpang turun sebelum mobil memasuki lift. Mobil kemudian akan diputar-putar menempati  space yang kosong dengan mesin-mesin yang ada. Tapi di hotel ini ternyata, kami juga harus nunut dalam mobil dan turun ke lantai 4 bawah tanah. Wuiiih, untung berdua Gen dan bukan aku yang nyetir…. Kalau tidak aku bisa semaput kali. (perlu diketahui aku tidak bisa masuk ke ruangan bawah tanah karena panic syndrome. Jadi kita merasa lift bergerak turun, dan saat itu yang aku pikir, “hiii gini kali kalau masuk liang kubur” hihihihi padahal kalau mati kan ngga ngerasa lagi atuh.

Begitu sampai di lantai 4 basement, kami mengeluarkan mobil dari lift, dan parkir mobil seperti biasa. Jadi saking sempitnya lahan parkir, tidak ada space untuk membuat jalan bertangga untuk mobil, dan lift mobil menjadi solusinya. Selanjutnya seperti parkir mobil biasa saja, dan kami naik lift ke lantai satu, lobby, untuk check in. Salah satu servis mereka yang saya rasa bagus adalah mereka tidak mencetak bill kosong dengan kartu kredit kita dulu sebelumnya. Tindakan seperti ini biasanya dilakukan pihak hotel (terutama di Indonesia) untuk menghindari tamu “lari”. Atau biasanya kita wajib membayar uang muka, atau bahkan membayar biaya penginapan di muka jika hanya menginap satu malam. Tapi Hotel New Grand ini tidak melakukan tindakan preventif seperti itu. Entah kenapa.

Karena waktu memesan kamar aku mengatakan bahwa kami menginap untuk memperingati ulang tahun pernikahan, maka kami mendapat hadiah berupa buah, selain dari champagne yang memang termasuk dalam paket yang aku pilih. Tadinya aku pikir dapat buah satu keranjang, eh ternyata cuma satu orange dan dua kiwi. dihh pelit ya hihihi (kalau di Indonesia buah murah sih, jadi hadiahnya bisa buah satu keranjang deh).

Kami diantar ke kamar “Premier Suite” (belum sanggup yang “Presidential Suite”) yang terletak di lantai 17, gedung baru yang merupakan gedung tambahan (annex) dari hotel utama (Hotel utamanya sendiri hanya berlantai 5).  Kamar seluas 64 meter persegi dibagi dua kamar, yaitu kamar tamu dan kamar tidur. Wah serasa di apartemen yang luas euy. Maklum orang Jepang tidak biasa dengan ruangan yang seluas ini.

Kamar mandi terdiri dari bath tub dan dua bilik, yang satu adalah WC dan satu lagi shower room. Dilengkapi dengan cermin besar dan amenities lengkap. Selain itu bagi wanita diberikan hadiah extra perawatan kulit dari Pola cosmetic.

Tapi yang paling super di kamar ini adalah pemandangannya. Kamar kami langsung menghadap ke Minato Mirai, tempat gedung-gedung tinggi termasuk Landmark Tower dan cosmo world berada.  Memang paket yang aku pilih ini judulnya “night view and champagne to welcome a new year”. Sayangnya tidak bisa keluar ke beranda, karena alasan keamanan. Kecuali waktu emergency tentunya. Jadi terpaksa deh memotret dari dalam kamar dengan cara mematikan semua lampu kamar supaya tidak membayang.

Pukul 6:30 kami keluar kamar menuju lantai di bawah kami, lantai 16 tepat “The Club” berada. Hanya penghuni kamar di lantai 15, 16, dan 17 saja yang bisa masuk ke “The Club” ini, dan penghuni kamar biasa di lantai 14 ke bawah juga tidak bisa “naik”  tanpa ada kunci khusus.  The Club menyediakan cocktail sebagai welcome drink.

Setelah minum satu gelas, kami turun ke bawah, melewati taman tengah hotel dan menuju ke Marine Tower. Kami memang belum merencanakan makan malam di mana, karena kami tidak mau terikat waktu dengan mengadakan booking restoran dan lain-lain. Bahkan kalau perlu kami bisa makan hamburger saja, karena ingin menikmati tujuan sesudah makan malam, yaitu mencoba Bar Sea Guardian dan juga champagne di kamar.

Akhirnya kami makan malam di sebuah restoran masakan italia “The Bund” di bawah Marine Tower. Spaghetti clasic, peperoncino dan crab cream spaghetti. Waktu spaghetti datang, kami sempat tertawa karena porsinya kecil sekali. Coba saja lihat perbandingan dengan rokoknya Gen. Tapi untung deh kami tidak pesan tambahan makanan, karena sebetulnya rasanya biasa-biasa saja.

Setelah dari restoran ini, kami jalan-jalan ke China Town yang berjarak hanya 200 meter dari hotel kami. Siapa tahu kami menjadi lapar dan bisa nyemil mie di sana hihihi. Tapi di China Town ini kami akhirnya hanya membeli oleh-oleh kue bulan untuk ibunya Gen, dan CAKWE! Duh seneng sekali mendapat cakwe di sini, karena sudah lama aku tidak membuat bubur ayam. Langsung Gen minta dibuatkan bubur ayam begitu sempat.

Pemandangan China Town di malam hari memang menarik. Lampu-lampu dan lampion, serta hiasan khas cina berwarna merah, emas dan kunis, mengkilau diterpa sinar lampu. Sayang sekali sudah cukup banyak toko yang menjual bahan makanan sudah tutup, sehingga kami memutuskan untuk  kembali ke hotel.

The night sill young….  Baru jam 9 malam. Jadi kami bukannya kembali ke hotel malah berjalan terus ke arah laut. Yamashita Park. Persis di posisi depan hotel, dilabuhkan kapal Hikawamaru, yang merupakan kapal pelatih. Kapal ini dihiasi lampu di sepanjang badannya sehingga menggoda untuk difoto.

Karena angin laut semakin dingin, kami akhirnya kembali ke hotel, dan menuju ke Bar Sea Guardian. Ternyata penuh sehingga kami diminta untuk menunggu saja di kamar, untuk kemudian ditelepon jika sudah ada kursi kosong. Dan sementara kami menunggu telepon, kami menikmati champagne di kamar, sambil memandang pemandangan malam hari lewat jendela.

Setelah mendapat telepon, kami pergi ke Bar Sea Guardian. Kami pikir harga-harga minuman di Bar Sea Guardian itu mahal, ternyata tidak seberapa juga, dan memang kami tidak memesan lebih dari satu jenis minuman masing-masing, karena masih ada tiga perempat  botol champagne yang musti dihabiskan.

Ada satu penemuanku di Bar ini, yaitu cream cheese. Ternyata enak euy. Biasanya kami makan Camembert atau Blue cheese, sehingga kebanyakan keju yang umum sudah kami ketahui rasanya. Justru cream cheese yang sebetulnya biasa (karena biasanya dipakai sebagai bahan pembuat cheese cake) menjadi istimewa karena rasanya lain daripada yang lain.

Well memang sesuatu yang istimewa bisa jadi biasa saja, atau malah kebalikan sesuatu yang biasa bisa menjadi sangat istimewa, tergantung kita menyikapinya. Itulah hidup….. (duh filosofis sekali yah hihihi)

Dan setelah tanggal berganti menjadi 27 Desember, kami kembali ke kamar dan menikmati night view…. di luar dan di dalam 😉

foto lengkap hotel bisa dilihat di :

http://www.facebook.com/

Pilih Kenangan daripada Barang

28 Des

Bahasa Jepangnya, Mono yori omoide  ものより思い出 merupakan catch-copy atau slogan dari iklan mobil Nissan Serena. Bahwa kebersamaan dengan keluarga itu penting (dan silakan naik mobil Serena ke mana-mana…). Dan aku setuju dengan slogan ini, dan sedapat mungkin menimbun kenangan untuk anak-anakku dan diri-sendiri.

Oleh karena itu, waktu merencanakan peringatan pernikahan kami yang ke 10, saya tidak memilih “sweet ten diamond”  (lagi-lagi korban iklan bahwa peringatan pernikahan 10 th di Jepang  “wajib” dirayakan dengan membelikan berlian/diamond). Tapi memang aku agak bingung sedikit setelah sampai pada pilihan camera DSLR atau menginap di sebuah hotel di Yokohama. Camera tentu saja bisa mengabadikan kenangan-kenangan yang akan datang, tapi kesempatan untuk berduaan saja menikmati satu hari penuh? Hmmm sebuah kemewahan yang mungkin perlu kami laksanakan. Apalagi ibu mertuaku sudah bersedia untuk menjaga anak-anak selama kami pergi. Kami masih punya camera yang cukup memadai, tapi “waktu” adalah sesuatu yang tidak bisa terbeli tanpa ada dukungan berbagai pihak.

Kami berangkat dari rumah sudah cukup sore, yaitu pukul 1:30. Langsung ke rumah mertua di Yokohama dan menitipkan Kai dan Riku. Sebelumnya Riku sudah kami beritahu dan minta bantuan dia menghibur Kai seandainya menangis. Menurunkan bawaan dan sekitar jam 3 kami siap untuk berangkat lagi. Kai menangis sebentar, tapi dia juga sayang sekali pada omanya, sehingga diam saja waktu kami melambaikan tangan padanya. Kami siap untuk berangkat.

Rencananya kami akan meninggalkan mobil di rumah mertua, dan jalan kaki/naik bus/naik kereta untuk melakukan tapak tilas tempat-tempat kami pergi “pacaran” dulu. Tapi, pikir punya pikir, dengan naik kendaraan umum kami belum tentu bisa pergi ke semua tempat. Akhirnya kami tetap naik mobil untuk menuju tempat yang justru belum pernah kami kunjungi bersama. Tujuan pertama adalah Taman Italia di daerah Yamate, tempat perbukitan di depan laut.

Di Yokohama ada yang disebut sebagai kumpulan rumah-rumah arsitektur asing di Jepang. Yokohama sebagai pelabuhan pertama yang dibuka 150 tahun yang lalu memang merupakan pusat orang asing yang datang ke Jepang. Lampu gas pertama kali dipasang di Bashamichi, Yokohama. Begitu pula dengan es krim… pertama kali di jual di Yokohama. Pengaruh budaya asing bisa dijumpai di kota pelabuhan ini, yang juga mempunyai sudut khusus bagi pendatang dari China, dengan China Townnya. Yokohama adalah tempat berpadunya berbagai budaya. Dan aku cinta Yokohama (Makanya pilih universitas Yokohama hehehe)

Tekstur kota Yokohama yang unik, pelabuhan tapi berbukit-bukit, dengan tanjakan di mana-mana, membuat orang tidak kuat untuk bersepeda di sini. Sebagai sarana transportasi yang mudah adalah bus atau mobil sendiri.  Waktu mencari informasi tentang rumah-rumah diplomat itu di internet, aku sudah mikir… kuat ngga ya aku manjat bukit sebanyak ini? Jadi lega banget karena kekhawatiran itu terhapus dari daftar.

Dan memang Yokohama adalah salah satu kota yang banyak kita temui rochu, parkir di pinggir jalan (ilegal). Tadinya kami sudah akan mencari tempat parkir yang ada dan jalan sedikit, tapi waktu melihat banyak orang yang rochu di depan Gaikoukan no ie 外交官の家 dan Taman Italia, akhirnya kami juga parkir di situ. Untung tidak tertangkap polisi, kalau tidak 15.000 yen (1.500.000 rupiah) melayang.

Gaikoukan no ie 外交官の家 sebenarnya adalah rumah pribadi dari diplomat Jepang yang bernama Uchida Sadatsuchi. Beliau pernah menjadi diplomat si Shanghai, Seoul, New York, Brazil, Argentin, Denmark,  dan Turki. Rumah ini sebetulnya merupakan pembangunan kembali dari rumah sebenarnya yang ada di Shibuya, Tokyo. Arsiteknya bernama James McDonald Gardiner, dan bangunannya dikatakan sebagai gaya American Victorian. Gardiner sendiri adalah seorang arsitek yang pernah menjadi Sekolah Rikkyo, cikal bakal Universitas Rikkyo sekarang. Gardiner banyak membangun gereja-gerja akan tetapi dari sekian banyak karyanya, hanya beberapa yang masih tinggal utuh, termasuk Rumah Diplomat ini. Yang lainnya terbakar pada waktu Gempa Bumi Besar Kanto. Memang bangunan kayu berlantai dua ini megah dan konon mengejutkan masyarakat Jepang, karena bangunan ini dimiliki oleh seorang Jepang awam (bukan pemerintah atau diplomat asing).

Kami bisa memasuki bangunan ini, tanpa dipungut biaya. Masuk melalu pintu samping, karena konon, pintu utamanya tidak pernah dibuka.  Begitu masuk kami bisa melihat ruang makan, ruang tamu dan serambi depan, termasuk kamar kecil untuk tamu menunggu.

Dari lantai satu kami menaiki tangga menuju lantai dua tempat ruang tidur utama, kamar mandi dan ruang belajar berada. Mungkin karena warna kayu coklat tua, bangunan ini memang meninggalkan kesan kuno yang sacred (suci). Aku seperti berada dalam kapel gereja tua, dan yang paling jelas ada di kepala adalah kapel “Kultur Heim”, yang berada di dalam lingkungan Universitas Sophia, Tokyo.

Dalam kamar utama juga terdapat satu ruangan bulat yang hanya berisi meja tulis satu. Hmmm mungkin kalau tidak bisa tidur, sang diplomat duduk membaca di situ ya? Yang juga menarik adalah bak mandi, bath tub dengan model duduk (tidak tertanam). Keran pemutar dari keramik yang masih mengkilap.

Setelah keluar dari rumah itu kami langsung ke bagian belakang rumah yang merupakan taman Italia. Ternyata dari situ tampak belakang rumah (ngga ngerti juga sebetulnya yang mana yang depan yang mana yang belakang) terlihat begitu megah. Apalagi ada deretan cemara di samping kirinya. Sayang bulan hanya setengah, coba kalau bulan purnama…cocok deh jadi rumah berhantu hihihihi.

Persis di sebelah Rumah Diplomat yang dibatasi dengan air mancur dan kolam kecil, di bagian agak ke bawah terdapat rumah orang asing yang bernama Bluff No 18. Sampai dengan 20 tahun yang lalu, rumah ini dipakai sebagai kantor pastor paroki Gereja Yamate, kemudian seperti Rumah Diplomat, disumbangkan kepada Pemda Yokohama. Rumah ini meskipun bergaya eropa, tetap memberikan kesan sederhana. Kusen berwarna hijau entah mengapa mengingatkanku pada rumah-rumah tua bangunan Belanda yang dipakai sebagai bungalow.

Sama seperti Rumah Diplomat, kami bisa memasuki rumah ini dengan gratis. Ruang tamunya biasa saja, tapi….. ruang makannya berkesan mewah karena piring-piring keramik yang tertata rapi, seperti siap mengundang kita dinner bersama. Aku memang suka gelas dan keramik, sehingga sempat terpaku di kamar makan memperhatikan piring itu. “Sayang aku ngga berani pegang…padahal ingin tahu buatan mana, mungkin Royal Copenhagen)

Karena khawatir dengan mobil yang diparkir cukup lama, kami cepat-cepat naik ke lantai dua dan melihat ruang kerja dan perpustakaan di atas.  Ada juga pajangan boneka di dalam salah satu ruang kerja, tapi aku ngga liat ada boneka dari Indonesia tuh….

Keluar dari Bluff No 18 ini, kami sempat mampir ke gereja Katolik Yamate, dan masuk ke dalam gereja. Lagi-lagi aku membayangkan gereja katedral di Bogor, meskipun yang di Bogor jauh lebih kecil. Yang lucu di dalam gereja ini tidak disediakan air suci, yang biasanya ada di samping kiri kanan pintu masuk, dan terdapat pemberitahuan bahwa tidak disediakan air suci untuk mencegah penyebaran penyakit H1N1….. (Kayaknya di gereja lain semua masih pakai air suci deh. Apa karena daerah yamate ini banyak orang asingnya sehingga kemungkinan berjangkit sangat tinggi? Entahlah)

Hari sudah gelap waktu kami keluar dari gereja, padahal waktu menunjukkan pukul 5:15. Tapi karena kami berjanji untuk check in di hotel antara jam 5 dan 6 sore, jadi kami naik mobil menuju tujuan berikut. Hotel New Grand Yokohama.

bersambung…..

Satu Dasawarsa

26 Des

Love is not as simple
as candlelight and roses…
love is day-to-day living,
taking time, making time to be there,
with open arms and a giving heart…
Love is the special life we share.

And I’m so glad I’ve stayed, right here with you…

Through the years!

(Thank you for 10 years of smile and tears…together… my GM)

@ Hotel New Grand Yokohama, 26-12-2009

Turkey a.k.a Kalkun

25 Des

Keluarga dari pihak mama berkumpul di Bogor hari ini, untuk memperingati Natal bersama. Om Lody (77), kakak mama merupakan yang tertua dan pandai memasak Turkey atau Kalkun panggang. Jadi semua saudara-anak-cucu berkumpul di sana.

Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Natal diperingati dengan Kalkun Panggang atau Ayam Panggang. Memang menu ini menjadi dobel karena dalam perayaan Thanksgiving juga biasanya makan Kalkun Panggang. Menurut Om Wiki (sumprit….yang ini bukan saudaraku), kebiasaan makan Kalkun di Amerika itu dimulai kira-kira tahun 1800. Di Jepang juga penjualan ayam panggang mencapai puncaknya di malam Natal, selain dari christmas cake…. padahal mereka bukan kristen.

De Miyashita kemarin malam juga menikmati ayam panggang, yang aku panggang sendiri dengan resep ala imelda, alias jangan tanya hehehe. Yang pasti pakai bawang putih, bawang bombay, lada, garam dan kecap inggris/kecap manis. Ayam  utuhnya aku beli dari toko halal, Bumbu-ya, yang harganya cuma 480 yen. Kalau membeli di toko Jepang biasa, selain jarang, kalaupun ada biasanya harga ayam utuh kira-kira 1500 yen dan tidak halal hehehe (meskipun bagiku halal atau tidak, tidak merupakan keharusan).

Karena banyak yang mesti dikerjakan, aku hanya sempat membuat ayam panggang dan macaroni schotel, serta christmas cake yang dihias Riku dan Kai. Tidak sempat membuat salad dan pudding. ….

de miyashita's christmas eve dinner
de miyashita’s christmas eve dinner

Gen, “Aduh, orang Jepang tidak biasa memotong ayam utuh sih, jadi aku potongnya jelek.” sambil memotong ayam karena biasanya kepala keluarga yang potong.
Aku, “Maaf ya, ayamnya kecil. Ngga sangka setelah dipanggang jadi sekecil ini.”
Riku,”Tapi, Mickey Mouse punya ayam panggang keciiiiil sekali loh. Segini (sebesar satu paha). Dan dia harus potong itu untuk anak-anaknya.”

AKU TERPAKU DAN MENANGIS…..

Ya, memang dalam film Natal Disney itu digambarkan Mickey miskin yang bekerja di bawah Paman Gober yang pelit, yang mengharuskan dia bekerja setiap hari dengan gaji kecil, bahkan pada hari Natal! Waktu Mickey minta libur waktu Natal, hanya diberi setengah hari dan dipotong gaji. Tapi malam sebelum Natal, Paman Gober itu mengalami mimpi seperti Scrouge…. well lanjutan ceritanya tentu bisa ditebak, atau bahkan mungkin sudah pernah lihat film disney yang itu.

Riku dengan bicara begitu mengingatkan aku bahwa :
Aku HARUS bersyukur masih bisa menyediakan satu ayam panggang utuh meskipun kecil! dan makanan lain meskipun tidak mewah, tapi masih lebih bagus daripada hari-hari biasa.
Masih bisa mengelilingi meja makan, menikmati kehadiran keluarga, dan berdoa bersama (padahal waktu aku disuruh berdoa oleh Gen, aku berdoa singkat, karena kesal baru bisa makan malam jam 9 karena dia pulang larut, dan capek seharian masak dan bebenah).
Masih bisa merasakan kehangatan heater untuk melawan dinginnya udara musim dingin yang kemarin mencapai 6 derajat malam hari.
Ya, aku harus bersyukur untuk semuanya ini. De Miyashita sudah merayakan malam natal yang sederhana.

Pagi hari Natal di Tokyo….

Gen berangkat ke kantor pukul 7:30 pagi
Riku berangkat sekolah pukul 7:50 pagi
Kai berangkat ke penitipan pukul 8:30 pagi
Imelda langsung menuju sekolah Riku untuk kegiatan PTA pukul 9:00 pagi.
Untung dua temanku mau mengerti dan membiarkan aku pergi dari sekolah pukul 9:30 pagi…. naik bus dan mengikuti misa di Kichijoji pukul 10:30 pagi.

Misa dipimpin dua orang pastor. Yang satu sudah renta, jalan sambil bungkuk, meskipun suaranya masih mantap. Umat memenuhi gereja kecil ini, dan 90% dari mereka adalah orang tua yang pasti sudah berumur diatas 70 tahun! Semua kepala putih, bungkuk dan ada beberapa yang naik kursi roda. 10% lainnya, ibu dan anak, termasuk saya yang sendirian.

Memang dengan pergi ke misa sendirian, aku bisa konsentrasi berdoa. Tapi waktu ada seorang bayi menangis pas aku ingin berdoa setelah menerima komuni, aku menangis….. Kenapa aku harus sendirian ke misa? Kenapa aku tidak bisa bersama Riku ke sini? Karena Riku sekolah? Kenapa aku tidak bisa bersama Kai ke sini? Karena aku mau konsentrasi berdoa? Bukan, bukan karena aku kesepian dan homesick tidak bisa pulang ke Indonesia, tapi lebih ke kenapa aku tidak bisa aktif dalam kegiatan gereja, dan melayani.

Tapi…. aku dihibur oleh seorang pastor asal Indonesia yang memang bertugas di paroki Kichijoji. Pastor Epen (Steven SVD) namanya. Aku baru pertama kali bertemu beliau. Dan waktu berpisah dengannya itulah dia berkata, “Jangan merasa terbebani harus datang ke misa. Tuhan Maha Pengasih, dia tahu isi hati kamu”.
Untung waktu itu aku buru-buru mau pulang jadi tidak begitu perhatikan kata-katanya, kalau tidak pasti mewek di situ deh. Dan setelah aku renungkan sesampai di rumah, aku mengerti maksudnya. Sabar mel…. ada masanya. Semua akan indah pada waktunya.

Selamat Natal untuk semua teman yang merayakan.

We Wish You a Merry♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪ Christmas♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪We Wish You a Merry ♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪Christmas ♥ ♥ ♥We Wish You A Merry ♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪Christmas ♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪…And A Happy New Year!♪♫•*¨*•.¸¸♥ ¸¸.•*¨*•♫♪…

Riku dan Kai dengan hadiah Natal mereka….

Bisakah kehilangan kenangan?

24 Des

Mungkin bisa ya setelah lewat waktu tertentu. Ada yang singkat, tapi ada yang lama tergantung jadi seberapa lekatnya kita dengan sesuatu atau seseorang. Ada yang mungkin tidak bisa terhapus dari ingatan dan perasaan kita….. selamanya.

Terus terang aku menitikkan airmata waktu membaca postingan dari Pito yang berjudul Kehilangan dan Melepaskan. Timingnya pas sekali dengan kejadian di keluarga kami kemarin (23 Desember) , meskipun obyeknya berbeda. Jauh berbeda. Jika dalam tulisan Pito adalah perpisahan antara anjing dengan temannya (yang anjing dan manusia). Dalam keluarga kami hanyalah perpisahan dengan sebuah benda yang amat berjasa bagi keluarga kami. Dialah “kaki” kami sekeluarga. (kaki = ashi 足,  dalam bahasa jepang  juga dipakai untuk melambangkan kendaraan. 足がない ashiga nai bukan berarti kakinya tidak ada, tapi alat transport tidak ada )

Waktu aku melahirkan Riku, kami belum mempunyai mobil. Kemana-mana aku harus naik kendaraan umum (untung saja aku berhenti naik sepeda begitu tahu hamil). Naik turun tangga, dan waktu itu stasiun terdekat rumah kami masih dalam taraf pembangunan, jadi belum ada lift atau elevator untuk naik ke peron statisiun. Perasaan waktu itu hampir semua stasiun yang aku gunakan untuk bekerja belum dilengkapi dengan lift atau ekskalator, sehingga kadang aku harus naik atau turun di stasiun yang ada eskalatornya. Kok ngoyo benar cari eskalator? Ya karena kehamilan Riku bermasalah sehingga aku tidak boleh naik/turun tangga (padahal kerja samapai kandungan berusia 7 bulan hihihi)

Setelah melahirkan juga belum mempunyai mobil. Jadi kalau pergi ke mana-mana aku harus menggendong Riku bayi, naik bus dan kereta. Waktu itu aku juga tidak membeli baby car (kereta dorong bayi) karena justru menyulitkan waktu akan menaiki kendaraan umum sendirian.Aku masih terus menggendong Riku sampai dia berusia 2 tahun dengan berat 17 kg (memang Riku waktu kecil jauh lebih subur dari Kai hihihi).

Nah, melihat “perjuangan”ku pergi kemana-mana naik kendaraan umum, bapak mertua memberikan mobilnya untuk kami Riku. Karena dia mau membeli yang baru. Dia memang pecinta Volkwagen Golf, sehingga dia ingin membeli model terbaru yang keluar waktu itu, 4 tahun yang lalu. Sejak itu si Vewe menjadi bagian dari keluarga kami.

Si Vewe yang berjasa. otsukaresamadeshita... you've a good job (baru sadar liat mukanya Gen sedih gitu hihihi)

“Waduh sensei hebat banget, mobilnya buatan eropa 外車…. orang kaya ya?” Itu kata mahasiswaku yang melihat Gen menjemputku pada sebuah acara universitas. Waaahh, justru karena tidak kaya, maka merawat mobil eropa menjadi “beban” bagi kami. Kami harus mengikuti Test uji kendaraan setiap 2 tahun dengan biaya yang tidak sedikit. Dan pasti harus ganti ban juga. Belum lagi pajak kendaraan yang harus dibayar setiap tahun . Sehingga akhirnya kondisi mobil terakhir menjadi dua kaca kanan, depan belakang tidak bisa dibuka karena rotornya rusak… begitulah segala yang otomatis. Jadi kalau supir harus membayar tol atau parkir, harus membuka pintunya. Saat seperti itu aku jadi ingat ,…. seandainya jendelanya masih manual hihihi. Jendela tidak bisa dibuka, tapi juga meninggalkan celah yang terpaksa kami tutup dengan selotip. Memalukan.

Kebetulan pertengahan tahun depan si Vewe harus ikut test uji kendaraan, dan pasti kami harus membayar banyak untuk servis ini itu. Dan kebetulan pemerintah Jepang memberikan potongan pajak sampai 75% waktu membeli  eco-cars (sampai dengan Maret 2010)….jadilah kami sepakat mengganti Si Vewe dengan Honda Fit (Katanya kalau di Indonesia namanya menjadi Jazz… Gen bilang kok bagusan nama Indonesia yah hihihi). Kata Pito, “kenapa ngga yang Hybrid nte?”… Wihhh pengen tapi harganya 3 kali lipat bo…..

old (kiri) and new (kanan)

Dengan bercucuran airmata (duh lebay amat yak) kami berpisah dengan si Vewe kemarin siang. Memang mobil itu banyak menyimpan kenangan. Bukan saja untuk kami tapi juga untuk bapaknya Gen. Karena itu hari Minggu yang lalu, kami menyempatkan diri ke Yokohama untuk memperlihatkan mobil yang telah banyak berjasa ini kepada bapak mertuaku.

Pulang menaikki si “Jazzy” ini memang terasa lebih luas, meskipun dari sisi pengendara kami berdua lebih senang memakai gigi perseneling(manual)  daripada otomatic. But, menyetir di Tokyo yang macet lebih enak pakai otomatic memang.  (Jangan sangka Tokyo lancar loh jalannya, meskipun tidak separah Jakarta, Tokyo juga bisa macet pada jam sibuk). Dan terus terang kami sebetulnya “membeli” keamanan dalam berkendara. (Selain juga kado Natal untuk semua anggota keluarga)

Banyak hal menarik yang aku temui waktu mengurus pembelian mobil ini berkenaan dengan pajak dan peraturan serta kepedulian lingkungan di Jepang. Tapi aku pending dulu ya, soalnya ovenku sudah berdering, pertanda kue bolu yang kubakar sudah matang.

Tahun baru dengan "kaki" baru