Si Sulung dan Janji

8 Agu

Sulit sekali melepaskan diri dari si Bungsu Kai, apalagi jika mau bepergian sendiri. Kalau Riku, dia bisa dibujuk untuk tinggal di rumah, tapi dia akan lebih suka ikut jika aku berkata bahwa aku ada janji bertemu teman. Dia akan bertanya, “Siapa temannya? Laki-laki atau perempuan? Berapa orang? dll”. Dia ingin bertemu dengan bermacam orang, dan dengan harapan untuk bertemu juga dengan laki-laki dewasa, sehingga dia bisa main bersama. Dia tidak begitu suka bertemu dengan anak-anak seumuran dia. Padahal, kebanyakan teman-temanku adalah wanita.

Hari Kamis aku ada janji untuk bertemu dengan Sigi-san, teman kenal di blog TE ini, yang kebetulan dia adalah junior di SMA yang sama. Dia tinggal bersama suaminya di Jepang (bukan di Tokyo) dan kami sempat bercakap-cakap di chatting YM. Membicarakan kehidupan di Jepang, dan antara lain hasilnya adalah tulisan tentang sertifikat di Jepang. Dan kebetulan persis waktu aku liburan di Jakarta, dia juga pulkam, sehingga kami bisa bertemu di Jakarta (kalau di Jepang, sulit sekali untuk bertemu… jauh sih hehhehe).

Aku janji bertemu jam 4 di Bakwan Teebox, Wijaya. Dan pukul 3:30 aku berhasil mengendap-endap keluar rumah, tanpa diketahui Kai. Yatta!

Karena dekat, aku sampai 10 menit sebelum jam janji. Dan ternyata Sigi sudah ada. Wah aku takjub melihat dia melangkah masuk ke resto itu, karena dia cantik bak peragawati! Berdua memesan Bakwan, dan sambil bercerita ke sana ke mari kami makan bakwan. Terutama mengenai kehamilan pertama. Tentu saja sebelum makan kami sempatkan untuk berfoto bersama.

sigi and me, teebox cafe, wijaya2

Sebetulnya kamis itu aku juga punya janji untuk makan malam, dan terpaksa batal. Karena aku tidak bisa melepaskan diri dari anak-anak terutama Kai. Kupikir aku  akan menunggu sampai Kai tidur baru keluar rumah. Tapi ternyata Kai baru tidur jam 11 malam! Duh. Jadi terpaksa janjinya aku batalkan… Sorry ya Pito. (Aku tidak biasa membatalkan janji dengan ringan, kecuali memang tidak bisa dihindarkan)

Dan… aku menangis malam itu. Bukan, bukan karena tidak bisa pergi  menepati janji makan malam. Tapi karena aku bisa bicara dari hati ke hati dengan Sulung ku, Riku.

Karena berencana pergi, jam setengah delapan  aku sudah mengajak anak-anak tidur. Sambil berbaring di tempat tidur itu, Riku berkata:

“Mama, aku ngga boleh ikut sama-sama ya?”
“Nggak….  kamu pasti ketiduran. Mama ngga mau gendong kamu. Berat! Lagian mama mau ngobrol… Kamu ngeganggu kalo kamu ikut” aku ngedumel…
……

“Mama, mama pergi aja sekarang…”
“Ya ngga bisa dong sekarang, kan Kai belum bobo. Kai ngga bisa bilang “bye bye” dan membiarkan mama pergi kan? Apalagi kamu bilang bye bye gini, kai jadi tahu mama mau keluar. Dia ngga bakal kasih….”

diam lagi….

lalu terdengar isak tangis.

“Mama, maaf ya gara-gara Riku, mama ngga bisa pergi….”

“Bukan gara-gara Riku. Apa boleh buat… mama kan seorang ibu, tidak bisa meninggalkan anak-anaknya begitu saja. ”

Rikus fingers, March 2003
Riku's fingers, March 2003

Kai klutekan sendiri dalam kamar yang gelap, Riku berbaring di samping dinding, sedangkan aku di paling pinggir. Ada jarak yang jauh antara aku dan Riku. Tiba-tiba aku menjadi sedih, air mata tergenang dan berkata,

“Riku…. mama tinggal di jepang, tidak ada teman-teman mama. Semua teman mama ada di Jakarta. Sehingga kalau mama ke Jakarta baru mama bisa bertemu mereka. Tapi, kadang biarpun mama mau bertemu mereka, mereka tidak bisa bertemu mama, karena mereka juga punya kehidupannya sendiri. Mereka juga punya anak-anak dan keluarga. Dan itu apa boleh buat, sudah begitu. Mama juga tidak bisa bebas lagi, karena mama menikah, lalu mempunyai anak. Bagaimanapun juga anak-anak itu nomor satu.” Kok aku jadi sedih begini ya… kenyataan bahwa memang aku kesepian…

Kai menghampiri aku dan aku memeluk dia menyuruh dia tidur. Rupanya tindakanku dilihat Riku, dan dia tambah terisak… loh …kok?

“Kenapa nangis Riku?”

“Mama lebih sayang pada Kai…..”

“Apa? sini kamu…. ” Setelah Riku mendekat, aku dekap dia erat-erat…

“Riku tahu kan, mama sayang sekali sama Riku. Kai belum mengerti apa-apa, biarpun mama bicara, Kai tidak mengerti. Tapi mama tahu, mama bisa cerita isi hati mama pada Riku. Maka mama tadi bicara begitu kan? Riku adalah permata mama, jangan ragu lagi ya?”

Menangislah kami berdua, berpelukan, dan Kai menabrak kami, minta dipeluk juga.

“Lihat, si Kai cuma bisa gerecokin saja ya….Dia juga cemburu sama Riku kan? Tapi buat mama, Riku dan Kai adalah harta yang sangat berharga. Mama tidak jadi pergi juga tidak apa-apa. Dan memang mama sudah batalkan kok janji dengan teman mama itu. Masih ada waktu lain kok. Jadi Riku jangan pikir yang tidak-tidak ya?”

“Iya ma… aku juga sayang mama…”

Aku memang membatalkan janji dengan Pito malam itu, tapi aku melewatkan waktu yang amat berharga dengan anakku. Dan akhirnya aku dan Riku tertidur lebih dulu daripada Kai. Tanpa aku sadari Kai keluar kamar, bermain di luar dan diantarkan masuk oleh Opanya kira-kira jam 11 malam. Duhhhh…

Mencoba nyeni

6 Agu

Minggu lalu aku sempat chatting dengan Kris, dan janji untuk bersama-sama pergi ke Museum Tekstil, dekat Tanah Abang, Jakarta. Karena komentar Maria san pada posting saya yang mmeberitahukan informasi bahwa kita bisa membatik di Museum Tekstil, maka aku ingin mengajak Riku ke sana. Riku pun antusias, karena dia memang suka menggambar. “Mama, boleh gambar apa saja?” “Tentu boleh Riku”.

Jadilah kemarin, Rabu tanggal 5 Agustus 2009, kami pergi ke Museum Tekstil yang beralamatkan K.S. Tubun 2-4. Sebelumnya aku sudah menelepon ke sana, untuk memastikan jam buka (9:00-15:00 Senin libur) dan apakah musti mendaftar sebelumnya jika mau belajar membatik. Ternyata dijawab, silakan langsung datang saja.

Naik taxi dari rumah jam 9 lewat, menjemput Krismariana di halte depan Diknas, lalu bersama-sama ke arah Tanah Abang. Kami adalah tamu pertama, sehingga pintu masuk museum baru dibuka waktu kami datang. Museumnya sendiri tidak begitu besar, dan tidak begitu banyak kain yang dipajang  di sana. Yang pasti di sebelah kiri pintu masuk ada display dengan bahan-bahan membatik dan canting/cetakan membatik. Bagi awam, mungkin cukuplah pameran bahan kain yang ada dengan harga tiket masuk Rp 2000 ini. Tapi bagi mereka yang cukup mengenal tekstil Indonesia, masih terasa “kurang”. Saya sendiri tahu ada ibu Jepang yang mengoleksi kain batik kuno dan langka di Jepang.

Riku sendiri bosan melihat “kain-kain bergantungan” dan memaksa cepat-cepat ingin membatik. Akhirnya setelah 10 menit menghabiskan waktu di dalam museum yang tadinya adalah gedung Depsos, kami keluar dan menuju ke bangunan pendopo di belakang museum yang menjadi “bengkel batik”.

mendesain di atas kain

Biaya belajar membatik seukuran saputangan ini adalah Rp. 35.000 yang didalamnya sudah termasuk tanda masuk museum (jadi tak perlu membeli karcis Rp 2000 lagi). Pertama kami diberikan kain putih lalu kami bisa memilih gambar desain yang tersedia. Karena Riku mau gambar sendiri, maka dia langsung menuju meja dan langsung menggambar “freehand” di atas kain.

gambar riku gambar abstrak

Tadinya aku tidak mau ikut membatik, karena berpikir harus menjaga Kai. Tapi melihat Riku menggambar, dan ingin mengulang kembali kenangan menggambar batik waktu SMP, aku akhirnya membayar biaya belajar tersebut dan memilih desain yang menurutku lumayan mudah, Kipas.

Riku membatik dibantu mbak petugas museum

Setelah gambar dengan pensil selesai, kami mengelilingi kompor dengan wajan berisi lilin panas. Masing-masing memegang canting, dan mbak petugas membantu Riku untuk membatik. Agak khawatir juga pada Riku, jangan sampai tangannya terkena malam panas. Yang aku tidak antisipasi adalah kemungkinan Kai merasa bosan dan mendekat ke kompor. Memang dia tidak mendekat ke kompor tapi waktu dia mundur, tangannya mendorong tanganku yang sedang memegang canting dengan malam panas. Terbanglah lilin panas itu ke arah mata kiri. Dan aku bersyukur bahwa aku menutup mata saat itu, sehingga lilin itu hanya mengenai kelopak mata saja. Dan bersyukur juga tidak tumpah ke arah Kai.

niat bener deh begitu kejadian langsung motret sendiri

Cukup panik karena kena mata, sedangkan Kai menangis dan minta digendong. Terpaksa aku sambil terus menggendong Kai, menyerahkan penanganan mukaku pada mbak petugas yang langsung memberikan obat di kelopak mata. Panas memang, dan sakit…. tidak sadar airmata juga keluar. Riku juga panik sambil berkata, “Mama, sakit? bagaimana rasanya?”

desain yang belepotan
desain yang belepotan

Well, selama mataku tidak buta no problem deh. Terbayang seandainya aku buta, tidak bisa membaca dan menulis… wah …seperti apa hidup ini ya? Amit-amit deh….

proses pewarnaan
proses pewarnaan

Setelah gambar ditutup lilin depan belakang, dilanjutkan dengan proses pewarnaan yang dilakukan oleh petugas. Kami hanya bisa memandang saja. Setelah warna yang diinginkan timbul, lilin dibuang dengan memasaknya dalam air panas. Setelah itu tinggal dikeringkan deh…. Tapi karena tidka mau menunggu lebih lama lagi, dan perut juga sudah keroncongan karena sudah lewat jam makan siang, kami bawa hasil membatik hari itu basah-basah dalam kantong plastik.

Naik taxi dari depan museum, kami pergi ke Grand Indonesia, makan siang ala japanese. Aku senang sekali lihat anak-anak makan banyak. Yappari mereka orang Jepang ya.

Setelah selesai makan, Riku ingin bermain di tempat permainan, sehingga aku temani dia dan ….melewatkan waktu santai, duduk-duduk dengan Kai, dan makan es krim bersama.

Melihat kami makan es krim, Riku juga mau, dan…. aku merasa lucu karena Kai selalu merebut es krimnya Riku. Dan Riku akhirnya membiarkan adiknya mengambil es krimnya. A Good big brother… dan pelajaran untuk aku. Sekarang, jika membeli sesuatu HARUS DUA YANG SAMA, supaya tidak berantem hihihihi….

Hasil NYENI kemarin :

Sumprit ini Sumpit

5 Agu

Beberapa hari yang lalu, saya memasuki dapur di rumah di Jakarta, untuk membantu mbak menggoreng ayam. Tentu saja si mbak memakai sudip atau sutil (sudip bahasa Indonesia, sedangkan sutil bahasa Jawa). Nah, terus terang saya agak kagok memakai sudip, karena sebetulnya saya sekarang lebih terbiasa memakai sumpit untuk urusan masak-memasak. Sehingga saya pernah bawa sebuah sumpit panjang khusus untuk memasak ke Jakarta, dan itulah yang saya pakai selanjutnya waktu menggoreng.

Sumpit (Hashi – ohashi お箸) memang diketahui sebagai alat makan orang Cina, Korea dan Jepang. Tapi sebetulnya semua daerah di Asia Timur memakai sumpit sebagai alat makan mereka. Jika pergi ke restoran Cina, Anda akan melihat sumpit Cina yang agak kotak, panjang dan biasanya terbuat dari bahan yang agak berat. Kalau pergi ke restoran Thailand, malahan akan menemukan sendok garpu dan sumpit dengan bahan yang sama, stainless steel. Sedangkan sumpit Jepang lebih pendek dari sumpit China, bentuknya mengecil di bagian bawah dengan bahan kayu yang ringan, dan kadang dipelitur/dilapis bahan pengkilat.Di Jepang bahkan dijual sumpit pasangan suami/istri, dengan sumpit “wanita”nya lebih pendek. Selain itu ada juga sumpit khusus anak-anak.

jenis alat makan, yang sendok tuh Indonesia.. sumber wikipedia Jepang
jenis alat makan, yang sendok tuh Indonesia.. sumber wikipedia Jepang

Saya sendiri bisa memakai sumpit sejak SD, karena dilatih oleh papa. Latihannya dengan menyumpit kacang yang disediakan di restoran China saat itu. Dan sebetulnya menurut saya, menggunakan sumpit China jauh lebih susah daripada sumpit Jepang. Riku sudah bisa memakai sumpit sejak usia 3 tahun, tapi karena jenis makanan yang saya sajikan di rumah lebih banyak masakan Indonesianya, maka dia kurang mahir memakai sumpit sekarang. Di sekolahnya juga disediakan sumpit dan sendok/garpu, dan dia sendiri mengakui bahwa dia lebih sering memakai sendok. Sepertinya nanti setelah kembali ke Jepang, saya harus memperbaiki menu masakan yang cocok dengan sumpit.

Ada beberapa do’s and dont’s dalam memakai sumpit bagi orang Jepang. Misalnya boleh saja mengambil makanan langsung dari piring sajian dengan ujung sumpitmu, asalkan itu di rumah. Jika di luar atau menjamu tamu, pakailah ujung yang satunya lain (yang tidak kena mulut) untuk mengambil dan membalikkan sumpit itu untuk makan dengan ujung yang kecil. Kalau tidak mau repot begini, sediakan sumpit khusus untuk mengambil makanan. Satu untuk setiap jenis makanan.

Kembalikan/ taruh sumpit di atas tissue atau tempat menaruh sumpit jika tidak sedang dipakai, jangan mengayun-ayunkan sumpit, apalagi memakai sumpit untuk menunjuk-nunjuk. Tempat menaruh sumpit atau hashioki di Jepang biasanya berupa keramik kecil berbentuk batangan pendek, atau bahkan berbentuk bunga/binatang/sayuran dll. Atau selain keramik, akan dipakai kertas origami yang dibentuk seperti pita atau bentuk-bentuk lainnya yang unik. Saking beragamnya bentuk-bentuk tempat menaruh sumpit ini, membuat banyak orang mengoleksi khusus tempat menaruh sumpit ini. Hari ini saya mau menaruh di atas anjing atau kucing, terong atau ikan mas?

Jangan menancapkan sumpit di dalam mangkok nasi. Perbuatan ini seperti menancapkan hio (incense) di depan altar Buddha untuk menghormati nenek moyang. Jadi dianggap tabu. Juga jangan menyentuhkan dua sumpit jika ingin memberikan makanan. Misalnya ingin memberikan makanan sesuatu, letakkan di atas piringnya, jangan langsung berikan ke sumpit teman kita. Karena perbuatan  mengapit suatu makanan dengan dua sumpit bersamaan, sama persis seperti proses memindahkan tulang manusia yang telah dikremasikan pada upacara kematian agama Buddha.

Sumpit yang terbuat dari kayu yang mudah dibelah waribashi (割り箸), dan disposable (buang setelah pakai) telah merajai meja makan restoran-restoran di Jepang selama beberapa tahun. Namun dengan gerakan “cinta lingkungan”, semakin banyak restoran Jepang yang sekarang menggunakan kembali sumpit permanen untuk konsumennya. Karena pembuatan sumpit kayu disposable ini memakai begitu banyak kayu di hutan-hutan Kalimantan. Sehingga orang akan berpikir dua kali untuk memakai kayu tersebut hanya untuk satu kali makan (semoga). Saya sendiri selalu menolak pemberian waribashi jika membeli makanan di toko konbini. Dan jika terpaksa harus memakai waribashi, akan saya cuci dan pakai kembali untuk memasak/menggoreng misalnya.

Memang waribashi kadang diperlukan untuk menjamu tamu. Karena biasanya di rumah orang Jepang, masing-masing mempunyai “Sumpit Sendiri” My Hashi.  Sehingga untuk menjamu tamu harus menyediakan sumpit khusus untuk tamu atau waribashi. Tetapi kwalitas waribashi juga macam-macam. Ada yang murah yang mudah patah (dan serpihannya mudah melukai tangan) , dan ada yang mahal karena terbuat dari kayu yang kwalitasnya lebih tinggi. Biasanya waribashi yang mahal ini kedua ujungnya kecil, atau bahkan sudah terbagi dua di dalam kemasannya. Waribashi mahal ini selain untuk menjamu tamu, sering juga dipakai untuk merayakan Tahun Baru, dengan kantong sumpit dari kertas bertuliskan Kotobuki 寿 yang berarti selamat.

Satu yang ingin saya ingatkan jika mendapat waribashi dari toko konbini, adalah untuk berhati-hati membukanya. Karena biasanya di dalam kemasan sumpit itu juga terdapat tusuk gigi, yang bisa menusuk jari Anda jika tidak berhati-hati. Saya menuliskan tentang sumpit ini, karena kemarin tanggal 4 Agustus adalah peringatan untuk sumpit, semata-mata karena 8-4 bisa dibaca sebagai HA- SHI (sumpit).

Yang saya tidak tahu kenapa kata sumpah, sekarang bisa menjadi sumprit… apa ada hubungannya dengan sumpit??? Sumprit saya juga tidak tahu kenapa….

Pertemuan-pertemuan

4 Agu

Setiap kali aku pulang kampung, pasti ditanya, “Sudah buat jadwal untuk kopdar?”, “Apakah akan membuat baksos lagi seperti waktu itu?”, atau “selain di Jakarta akan ke mana saja?”

Well, kali ini aku lebih egois. Karena aku mau menikmati waktu berhargaku dengan anak-anak dan keluarga, sehingga sampai dengan berangkat dari Tokyo, aku tidak memberitahukan kedatanganku kepada teman-teman blogger. Waktu liburan kali ini memang berharga, karena aku baru akan bisa pulang kampung lagi secepatnya pada liburan musim panas tahun depan. Karena Riku sudah mulai bersekolah, dan liburan panjangnya hanya pada akhir juli/agustus. Well, hanya satu tahun sekali !! Dan itu cukup membuatku panik. (dan sedih tentunya)

Meskipun aku tidak merencanakan kopdar, sampai dengan 2 minggu di Jakarta, aku sudah bertemu beberapa blogger. Yang terawal adalah pertemuan dengan Endayori minus DM. Aku bertemu dengan Ibu Enny dan Yoga secara mendadak di Tamani Cafe, jl. Melawai, Sabtu 25 Juli lalu. Mendadak, karena sebetulnya hari itu aku merencanakan kopdar dengan tamu dari jauh si Imoe, yang kebetulan berada di Jakarta eh Bogor deng untuk seminar Hari Anak. Eeee dianya membatalkan “janji”  karena harus kembali ke Padang begitu selesai seminarnya. Jadi, kosong deh Weekend pertama di Jakarta. (sejak kapan Imelda kosong weekend? jieeee)

Sabtu pagi Yoga dengan suaranya yang serak (tapi indah) meneleponku, dan langsung kami mengatur pertemuan makan siang bersama. Dan kebetulan ibu Enny juga bisa, jadi berkencanlah kami ditemani Kai yang masih belum mau lepas dariku (benar-benar seperti anak Koala yang nempeeeeel terus).

Makan… (hmmm makanannya berat ya di Tamani Cafe itu)…ngobrol ngalor ngidul, ditemani hujan deras yang membasahi kaca cafe.. Cukup lama hujan turun sehingga kami memutuskan untuk pindah ke Karaoke (Inul Vista) yang ada di atas Tamani Cafe itu (memang sebetulnya sudah direncanakan begitu sih hihihi).

Pertama masuk ke “kamar” ditanya, mau berapa jam? “Satu jam saja” (kok kayak judul lagu ya?) weleh…meskipun yang nyanyi cuma berdua, aku dan yoga… akhirnya nambah juga. Mana ada karaoke se jam ya hihihi. Dan pertama kali dengar suara Yoga nyanyi, amboi…deh (Yang mau dengar kudu ajak karaoke, bareng aku tapi! hehehe)

Kopdar dengan blogger yang kedua di liburan kali ini terjadi tanggal 28 Juli. Yaitu dengan Bro Neo, Nana Harmanto, Krismariana dan Oni Suryaman. Bertempat di sebuah Resto Jepang di FX. Tapi karena Kai rewel, dan Riku juga minta diantarkan ke playland yang terletak di lantai 6, jadi aku sibuk bolak balik yang menyebabkan waktu ngobrolnya berkurang deh.

Imelda, Kai, Kris, Oni, Bro Neo, Nana, Riku (conan)

Meskipun akhirnya bisa santai juga di lantai 2 FX, dengan minum kopi dan makan es krim lezat (waduh aku kok lupa rasanya ya? caramel + ferrero rochard?). Akhirnya jam 10 malam, pulang deh naik taxi ke rumah sambil menggendong Kai yang ketiduran. (aduh aku pas nulis ini, baca cerita kopdar ini yang ditulis nana di sini …jadi ngakak terus deh)

Nah, keesokan harinya, tgl 29 Juli jam 2-5  aku janjian bertemu dengan the famous (and NARSIS) bloggers….. bukan GIRLS lagi tapi LADIES! Yaitu Ibu Yessy Muchtar, Mbak Puak dan EKA Situmorang-Sir. Udah gitu ngumpulnya di tempat makan berkalori tinggi… ES KRIM, yaitu Gelato Bar!

Ada cerita lucu juga tentang penentuan tempat Gelato Bar. Cari-cari di website, Gelato Bar terletak di Arcadia. Dan karena jamnya jam 2, aku pikir tidak usah reserve tempat. Pada hari H, langsung naik taxi bersama Riku dan Kai ke Arcadia…. untung aku tanya dulu pada petugas Vallet Parkingnya, bener ngga Gelato Bar ada di situ atau tidak. Ternyata… SUDAH PINDAH!!. Waaah kejadian kedua yang menimpaku, karena sebetulnya kemarinnya waktu kopdar dengan Bro Neo, kita mau makan di Kuishimbou FX… dianya Renovasi tanpa pemberitahuan (gitu deh kalo tidak reserve tempat!). Jadi pelajarannya: Jangan percaya website tempat-tempat di Indonesia, karena mereka jarang sekali meng-update websitenya. Telpon!!!!

riku diapit tante-tante narsis

Karena aku yang sampai duluan, langsung kasih tahu yang lain, bahwa kita musti pindah ke Senayan City untuk ke Gelato Barnya. (di Arcadia ngga ada yang enak sih). Begitu aku sampai di Senayan City, Mbak Puak datang bergabung dengan anaknya FLO, yang bener manissss sekali (terutama kalau mau difoto, pasti nurun dari ibunya tuh). Sesudah itu Yessy dan Eka… maka lengkaplah kita. Sudah pasti ceprat-cepret sana sini duong… abis tante-tante ini narsis semua.

Sayang sekali aku harus pulang jam 5, karena sudah janji dan mau ada kumpul-kumpul di rumah, untuk ultahnya opanya Riku. Jadi jam 5:30 bubar deh semua. Dan malam itu aku tidak bisa makan malam lagi, kekenyangan makan es krim!

Kopdar memang selalu menyenangkan…

Rasa itu pernah ada

31 Jul

Bermacam-macam komentar teman-teman waktu saya tulis kalimat itu di status FB saya. Ya CLBK, atau rasa lapar, rasa nano-nano, rasa strawbery/durian bahkan ada yang bilang sambil bercanda, “terima kasih kalau memang masih dijaga” hahaha.

Well, sebetulnya saya menulis kalimat itu ingin menunjukkan rasa prihatin akan hilangnya “Rasa” tradisional kuliner Indonesia.

Begitu banyak kue dan masakan tradisional yang terancam punah. Bukan saja pemasaknya tidak ada, tapi juga anak-anak mudanya tidak ada yang pernah tahu keberadaan kue dan masakan-masakan ini. Karena tidak tahu, jadi tidak membeli atau memesan. Dan sebagian orang Indonesia malas untuk mencoba jenis masakan baru, takut tidak sesuai dengan lidah… lain dengan saya, kalau bisa saya mau coba semua jenis masakan. Soal nantinya masuk ke repertoire saya atau tidak, itu urusan belakang.

Bapak saya lahir dan besar di Makassar. Jadi kami biasa untuk makan kuliner dari Makassar. Dan saya beruntung pernah mencoba makan beberapa kue makassar yang jarang dijual di toko alias harus dipesan sebelumnya.

Nah waktu saya membaca blognya Ria yang menceritakan ibunya terima pesanan masakan makassar, saya langsung menghubungi Ria, menanyakan kesanggupan ibunya membuatkan kue-kue itu. Karena kebetulan saya akan pulang kampung, dan alangkah senangnya jika pas ulang tahun papa saya bisa bernostalgia dengan kue-kue langka dari Makassar.

Secara keseluruhan kue-kue Makassar ini memang MANIS, dan kolesterolnya tinggi. Abis bahannya cuma telur dan gula saja sih…. dan banyak jumlahnya, sehingga bisa dipastikan juga mahal harganya.

1. Cucuru Bayao
Kata papa saya Bayao adalah telur, karena itu bentuknya bundar seperti telur, dan memang yang paling mahal dibanding kue-kue lain. Waktu saya pesan ini, mamanya Ria bertanya,”Mbak sudah pernah makan? Karena banyak bilang itu bau amis telur”. Well, saya sudah pernah makan, dan tidak setiap tahun bisa makan, so saya  mau coba biar sedikit.

cucur bayao
cucur bayao

2. Putri Hijau atau Putih Hijau
Entah yang benar namanya apa, tapi kue ini kesukaan mama saya. Dan memang benar, rasanya segar meskipun manis, dan langsung menjadi Favorit di antara 4 kue yang saya pesan.

3. Biji nangka
Katanya bahannya terbuat dari kentang, kemudian diluluri gula cair. Manis dan berat. Saya tidak tahu kenapa namanya Biji Nangka, mungkin karena bentuk saja ya.

Biji Nangka
Biji Nangka

4. Sarikaya
Berwarna coklat, dan katanya merupakan pelengkap kue-kue manis ini.

Empat jenis kue ini berhasil membangkitkan kenangan lama kami sekeluarga. Dan untuk makanan utamanya saya pesan Cotto Makassar dengan burasa (ketupat/lontong khas Makassar). Dan rasanya… top markotop deh. Salut untuk mamanya Ria.

Sejak saya datang ke Jakarta memang saya langsung nostalgia dengan masakan makassar karena kebetulan mama dan papa baru kembali dari makassar. Ada Nyuknyang (Bakso) Makassar yang membuat teman saya Lia yang sebetulnya tidak nge-fans bakso jadi suka. Lalu ada Otak-otak khas Makassar dengan saus sambalnya yang seru. Kemudian tante saya membuatkan Pisang Ijo (varian lain dari Es Pallubutung). Pokoknya yummy deh.

Dan nostalgia masakan Makassar ini bisa memeriahkan acara temu keluarga dalam rangka ulang tahun papa tersayang, PL Coutrier yang ke 71, tanggal 29 Juli lalu. Happy Birthday ya Papa…. Enam bersaudara (kurang satu yang di Belanda) bisa reuni dan membuat foto bersama “de Coutriers”. Saya juga senang sekali bisa bertemu dengan Om Lody, kakak mama yang tertua melengkapi foto “de Mutters”.

“Tradisi” dan “Silaturahmi” memang perlu dan harus dijaga … dan harus dibudayakan kepada generasi yang lebih muda.

Menanamkan rasa cinta tanah air?

29 Jul

Entah apakah itu bisa hanya dengan menunjukkan dan mengajarkan sejarah bangsa sendiri atau tidak? Tentunya butuh akar yang kuat dan  proses yang lama, tapi paling sedikit aku berusaha memberitahukan pada anak-anakku, inilah Indonesia, negara ibumu.

Hari Jumat, akhir pekan dan Senin, memang saya hindari untuk keluar rumah. Terlalu banyak orang yang berseliweran di mana saja di kota Jakarta ini. Jumat karena hari pendek,  pasti macet. Demikian pula dengan akhir pekan. Dan Senin, entah kenapa di negara manapun biasanya museum libur. Yang pasti di Belanda dan di Indonesia museum libur. Kalau Jepang tidak pasti, tapi jika mau ke dokter gigi di Tokyo, katanya lebih baik menghindari hari Kamis. Alasannya? Setiap kamis ada pertemuan dokter gigi yang diadakan serikat dokter gigi Jepang hehehe.

Jadi Selasa, 28 Juli, kami pergi ke Museum Fatahilah, Cafe Batavia dan Museum Wayang. Tentu tulisan ini akan menjadi panjang dan penuh foto-foto, sehingga silakan diskip bagi yang tidak berminat.

Pukul 9:30 kami bertiga berangkat dari rumah naik taxi (sambil aku berdoa, moga-moga Kai tidak rewel). Sengaja aku cepat-cepat keluar rumah sebelum three in one berakhir, takut terjebak macet. Yang lucunya supir taxi BB yang mengantar kami ini, tidak tahu MUSEUM FATAHILAH itu di mana. Duh pak, itu loh yang di kota, bukan di Menteng. Masak dia bilang, “Bu itu Museum Sunda Kelapa? yang di Menteng?” Lagian, Sunda Kelapa masak di Menteng sih. Ada emang Mesjid Sunda Kelapa di sana.  Tapi bukan MUSEUM pak…. hihihi. “Pokoknya ke arah Stasiun kota aja pak, nanti di sana nyari!” (Kalau tidak tahu Stasiun Kota mah kebangeten… aku aja pernah nyetir ke sana kok! Daerah termacet dan memerlukan energi berlipatganda jika mau menyetir ke sana hihihi. Tapi kalau belum lewat daerah ini belum bisa mengatakan diri sebagai penyetir ulung)

Melewati jalan Medan Merdeka, ada Mahkamah Konstitusi, dan ada demo di sana. Untung tidak gede-gedean sehingga membuat jalanan macet. Setelah tanya sana sini, akhirnya kami sampai juga di samping Museum Fatahilah. Waktu kami turun terasa sinar matahari mulai menyengat, sehingga cepat-cepat berfoto di depan museum dan masuk ke dalamnya. Kalau melihat foto-foto tampak muka museum, seakan kita tidak berada di Indonesia ya….

Apalagi kalau malam, pasti keren sekali. Ah, kapan kalau anak-anak sudah besar aku ingin ke sini malam hari deh. Pelataran depan museum tampah bersih, meskipun banyak pedagang asongan menawarkan jualannya. Seperti biasa, Riku ingin dibelikan balon berbentuk (dasar masih anak-anak), lalu aku bilang, “Ya, nanti kalau sudah mau pulang.” (Dan ternyata waktu kami akan pulang, si pedagang sudah tidak ada …horeee…. hihihi)

Saya cukup kaget dengan karcis tanda masuk seharga Rp. 2000,- untuk dewasa dan anak/pelajar Rp.600,-.  Memang seharusnya murah, tapi hebat juga dengan harga segini, kebersihannya memang patut diacung jempol, seperti kata bu Enny di komentar postingan sebelum ini. Aku tidak tahu apakah ada subsidi pemerintah, atau saking banyaknya orang datang perhari maka biaya perawatannya bisa tertutup. Tapi yang pasti waktu kami pergi kemarin itu memang sepi, karena hari biasa.

Museum Fatahilah dipotret oleh murid SMA

Masuk ke ruangan pameran Jakarta di masa modern, kami dapat melihat kios bakso, warung, dan… becak. Mungkin 10 tahun mendatang bajaj juga akan dipajang di sini ya? hehehe. Waktu kami di sini, datang 4-5 murid SMA laki-laki dan mereka berpose di depan becak (pake acara naik becak segala), akhirnya aku tawarkan memotret mereka. Dan sebagai imbalannya, salah satu murid itu memotret kami.

Melihat satu per satu peninggalan sejarah di Jakarta, saya tidak bisa menjelaskan pada Riku, karena memang akan menjadi sulit. Cukuplah dia melihat saja dulu. Hanya satu komentarnya yang lucu waktu melihat jejak kaki di batu tulis, “Mama, itu pasti jejak kakinya monyet ya… abis gede gitu”… Hmmm

muka Riku ketakutan hihihi

Setelah selesai sayap kanan bawah, kami menuju ke lantai dua, tempat kamar-kamar dengan setting meja dan lemari jaman belanda.  Anehnya Riku dan Kai, sama-sama merengek ingin cepat-cepat pergi dari situ. “Kowai….  (takut).  Oh ya, Kai sudah bisa bicara Kowai, waktu dia harus menuruni tangga jalan turun di PIM (Pondok Indah Mall, dekat Gramedia) … karena cepat, dia langsung berkata, “kowai” sehingga saya menggendong dia dan turun dengan eskalator itu. Memang menakutkan karena cepat. Aku tidak akan heran jika ada anak yang terjepit kakinya di sini.

Jadi kami cepat-cepat turun dari lantai dua, menuju ke halaman belakang museum, dan melihat penjara yang berada di bawah bangunan. Ihhh ngebayangi tinggi penjara yang sedikit lebih tinggi dariku (paling cuma 180 cm tuh) dan begitu sempit…. di sini juga Riku dan Kai ketakutan, jadi cepat-cepat keluar deh.

Halaman belakang museum memang sejuk sebab di bagian kirinya ditumbuhi pohon-pohon. Terlihat murid-murid SMA sedang mendengarkan penjelasan mengenai meriam Jagur yang menjadi simbol museum ini. Persis di bawah tangga terdapat patung Hermes, dan aku cukup tercengang mendengar penjelasan Riku mengenai Dewa Yunani ini… darimana dia tahu ya? (Pasti televisi!)

Karena anak-anak sudah mulai bosan dan capek, akhirnya kamu tidak memasuki sayap kiri museum, dan langsung menuju ke Cafe Batavia. Waktu kami datang, serombongan turis asing baru saja keluar, sehingga cafe itu KOSONG! Memang baru jam 11-an belum waktu makan siang. Lalu kami ditawari duduk di lantai 2. Apa keistimewaan di lantai 2? “Bisa melihat pemandangan ke arah Museum bu!”… Oh Ok… jadi kami pergi ke lantai dua, dan memilih meja dekat jendela. Kan, katanya bagus pemandangannya hehehhe.

Well, aku memang sudah memasukkan Cafe Batavia dalam list kunjungan liburan kali ini, karena membaca postingan ibu Enny di sini. Tapi aku lupa jenis makanan yang dipesan ibu… aku cuma ingat bubur ayam, tapi lupa soal ayam mabok. Jadi aku cuma pesan bubur ayam, ceker ayam dan harkau karena Riku suka (tapi harkaunya kulitnya keras, ngga aku sarankan deh hihihi …. sorry cukup cerewet soal dim sum). Dan minumannya speciality Cafe Batavia, yaitu Batavia Juice dan Fatahilah Juice (Rasanya agak kecut sehingga Riku dan Kai tidak begitu suka).

Untung juga aku pesan bubur, karena Kai mau makan banyak, bahkan jamur yang dipotong agak besar, dia ambil dan makan. Padahal aku sudah was was kalau dia tersedak. Untung OK OK aja.

Cukup lama kami di Cafe ini, santai sambil makan dan istirahat. Akhirnya saya yang harus menghabiskan makanan yang dipesan karena Riku makan sedikit. Tapi mau makan es krim sebagai dessert. Sebetulnya ada judul dessert yang menarik perhatian saya yaitu sebuah platter desert untuk 6 persons…harganya? 225.000 saja. Waktu aku tanya waiternya dia bilang, bu, itu sih bisa buat 10 orang, karena ada 16 scoop es krim, semua rasa yang kita punya di situ. Wahhh musti ajak 10 orang untuk ke sini lagi nih hehehe.

Akhirnya saya memesan paduan es krim yang namanya ada Amazonia, yaitu paduan es krim pistachio, coklat dan hazelnut (kalau tidak salah)… hmmm es krim ini katanya buatan cafe itu sendiri, tapi masalahnya saya cerewet (kritis kata mas trainer) soal rasa, jadi … mungkin saya tidak akan memesan es krim lagi karena ada yang lebih enak (kris dan nana pasti tahu deh kesukaan saya hehehe). Hampir semua dessert di sini harganya Rp. 60.000,-.

Cafe Batavia, dipotret oleh mbak yang dipanggil-panggil Kai

Inginnya sih berlama-lama, sambil baca buku dan tidur ayam di Cafe yang buka 24 jam ini. Tapi karena Kai sudah mulai geratak sana sini, juga memanggil manggil “Mbak… mbak….” (lucu deh, setiap dia lihat waiter perempuan dipanggilin mbak … awas kalo kamu gede jadi penggoda wanita ya! hihihi). Jadi karena kebetulan si mbak menoleh waktu dipanggil oleh Kai, sekalian aja aku minta bill nya.

museum wayang
museum wayang

Keluar dari Cafe Batavia, kami menuju ke Museum Wayang. Di sini juga karcis masuknya Rp. 2000,- untuk dewasa, dan Rp 500 untuk anak-anak. Sayang hari biasa sehingga tidak ada pertunjukan wayang, padahal Riku ingin sekali menonton wayang. Nanti deh nak, kalau bisa kita nonton yang di Jepang aja, supaya bisa ngerti ceritanya juga. Biasanya Nihon Wayang Kyokai mengadakan pertunjukan wayang secara berkala.

Melihat wayang-wayang sekilas, Riku dan Kai mulai ketakutan melihat wayang golek besar, dan ondel-ondel. Jadi kami cuma sempat berfoto di halaman antara gedung depan dan gedung belakang, dan setelah saya baca ternyata di situ adalah kuburannya petinggi-petinggi VOC, saudara/kenalan/temannya si Jan Pieter Zoen Coen. Museum Wayang ini konon merupakan gereja…

Akhirnya aku melawan rute, balik saja lagi ke pintu masuk, dan pulang. Di dalam taxi kami melihat penjual asongan mulai menjual bendera-bendera kecil. Ya, sebentar lagi RI akan memperingati kemerdekaannya, dan biasanya Jakarta penuh dengan hiasan merah-putih ya. Dan tepat hari itu aku harus meninggalkan kampung halaman dan back to reality. For the time being… just enjoy!!!

Dunia Laut

27 Jul

Ada tiga pilihan yang aku ajukan pada Riku di hari pertama sampai di Jakarta. Dan aku tahu dia bingung untuk memilihnya. Tiga pilihan itu adalah, “Kebun Binatang, Sea World, dan Museum”. Lalu dia bilang, besok Kebun Binatang, besoknya lagi Sea World dan terakhir Museum.

Jadi deh tanggal 23 Juli, Kamis, kami pergi ke Sea World di Ancol. Naik taxi dari kebayoran sampai Ancol, wuih mayan juga 80.000 rupiah. Mustinya sewa mobil mungkin lebih menguntungkan ya?  Tapi yang pasti tidak bisa naik taxi sejauh itu seharga 1000 yen di Tokyo (hih dibandingin, jelas beda atuh!) . So,  satu lagi kenikmatan berlibur di Indonesia adalah naik taxi….. murah! hehehe.

Karena naik tol, lumayan lancar, kita bisa sampai langsung masuk area Ancol tanpa hambatan. Langsung berfoto deh di depan rumah-rumah yang katanya wita berharga milyaran itu. Eh tapi biarpun aku misalnya punya duit segitu, ngga pengen ah punya rumah di situ, abis katanya banjir kalau air pasang. Dan satu lagi, bau amis hihihi.

Menuju ke Sea World, kami melewati Hotel Horison dan lapangan golfnya. Sekarang namanya sudah menjadi Mercure. Udah bobrok banget keliatan dari luar. Yang saya tidak periksa, apakah masih ada restoran Nelayan di situ. Inget pernah makan di situ dengan teman-teman les bahasa Jepang JF, bersama satu-satunya guru bahasa Jepang yang cakep, MS sensei (eh ternyata denger sas-sus yang ngga enak juga ttg dia).

Well, sepiiiiiii banget. Ya iya lah hari Kamis, hari biasa. Tapi…katanya anak-anak akan digiring ke Dufan, Ancol. Kok sepi gini ya?

Sampai di Sea World, beli karcis masuk. Wah anak usia 2 tahun ke atas harus bayar sama dengan dewasa, Rp 40.000,- saja. Beda banget ya sama HTM nya Ragunan (memang fasilitasnya juga lain sih). Waktu masuk kami disambut mbak-mbak yang tugasnya ngecapin tangan, mungkin supaya bisa masuk lagi kali ya. Lalu bisa melihat relief di sebelah kanan pintu masuk, yang diterangi cahaya lampu.

Memang memasuki ruangan mata harus dibiasakan melihat dalam keremangan. Asyik juga buat pacaran nih hihihi. Dan akuarium pertama yang kami lihat adalah akurium yang berisi ikan Arwana raksasa dari Amazon. Benar-benar besar! Aku ngebayangnya kalau dibakar bisa untuk makan berapa orang ya tuh hihihi (Sejak kapan ikan arwana dimakan sih? hihihihi). Riku sudah tahu arwana dan juga dugong (pesut).

Selain ikan dan binatang laut yang berada dalam akuariumnya, ada pula kolam terbuka yang memungkinkan pengunjung menyentuh binatang-binatang laut seperti ikan pari, hiu, juga kura-kura.Selain itu kami juga bisa melewati terowongan di bawah kolam. Terowongan semacam ini membuat kita dapat melihat bagian bawah ikan pari dan ikan-ikan lain yang biasanya kita lihat permukaan samping/atas saja.

Kebetulan pada jam 12 siang diadakan acara pemberian makan terhadap ikan-ikan di akurium, sehingga kami bisa melihat penyelam membawa ikan-ikan kecil, santapan penghuni akuarium utama. Penyu laut yang berada di akuarium utama ini juga besar dan menarik perhatian.

Setelah itu, aku dan kai santai mengelilingi akurium kecil-kecil, sementara Riku dengan Wita bermain di tempat ikan untuk terapi tangan. Jadi kita memasukkan tangan ke dalam akuarium terbuka, dan ikan-ikan kecil itu akan datang dan menggigit kulit-kulit mati kita. Memang geli sih, tapi terbayang juga, jika kita terdampar di laut berhari-hari memang kita bisa mati perlahan dimakan ikan-ikan kecil itu hiiiii. Buat Kai, kolam ikan kecil ini surga karena dia bisa kecipak kecipuk di air sehingga menakuti ikan-ikan itu untuk mendekat. (Kai memang suka air, asal…rambutnya tidak dibasahi hihihi)

Yang terakhir kami menonton pemberian makanan kepada ikan piranha, yang habis melahap santapan siangnya dalam hitungan detik (39 detik)… Hmmm kalau sampai ada orang jatuh ke kolam itu, berapa detik ya? Huh, mikirnya kok serem-serem aja sih si imelda ini. amit-amit deh.

Secara keseluruhan memang Sea World ini menghibur. Tapi saya merasa beruntung sekali datang di hari biasa, jika tidak, dan jika pengunjung membludak, saya tidak bisa membayangkan bagaimana caranya mereka atur sirkulasi pengunjung di tempat yang tertutup dan gelap begitu. Bagi pengunjung sea world juga mendapat potongan harga jika mau pergi ke arena stuntman, Police academy. Tapi waktu saya lihat jam pertunjukannya, jam 14:30, terlalu sore bagi kami…jadi kami tidak jadi pergi ke sana (untung juga sih, aku ngeri dengan yang begitu-begitu, dan mungkin Gen juga tidak setuju mengajak Riku ke sana)

foto bertiga di dalam taxi pulang

Next place? Museum Fatahilah dan Museum Wayang. Tapi kapan ya?

Kebun Binatang atau Tempat Piknik?

24 Jul

Hari Rabu lalu, tanggal 22 Juli, saya mengajak anak-anak ke Kebun Binatang Ragunan. Karena terus terang saja, saya belum pernah ke sana, setelah sekian lama saya berkampung halaman di Jakarta (sejak lahir sih). Dan pernah melihat foto adik saya di sana, kelihatannya kok bagus, jadi… pergilah kami ke sana. Wita ikut bersama kami untuk bantuin saya menjaga Kai tadinya, tapi akhirnya malah menjadi temannya Riku. Kai sama sekali tidak mau dengan orang lain selain mama. Manja!

Dari rumah kami naik taxi ke Ragunan pukul sepuluh lewat. Hmmm jalanan cukup macet. Belum sampai di Ragunan, saya sudah merencanakan untuk mampir ke PIM atau Citos pulangnya, untuk makan siang. Ngga mau lah makan di Ragunan, nanti menunya sama dengan singa atau monyet kan berabe hihihi.

Begitu sampai di pintu gerbang, kami disuruh masuk lewat lapangan parkir. Membeli tiket (dewasa Rp. 4000,- dan anak-anak Rp.3000,-) dan masuk deh… Kai mulai berjalan sendiri, karena tadinya minta digendong terus. Riku berjalan duluan dengan Wita. Kami langsung menuju ke kolam yang berisi burung pelikan. Kai senang sekali melihat burung-burung pelikan begitu banyak.

Dari situ kami berjalan melewati tempat rusa, burung onta dan menuju ke tempat naik kereta. Katanya kereta ini akan berkeliling di dalam areal kebun binatang, dan supaya saya bisa tahu seberapa jauh kami harus berjalan, juga letak binatang-binatang, maka kami naik kereta tersebut.

OK saya tidak boleh mengeluh dengan pelayanan di Indonesia. Biar bagaimanapun standar Jepang terlalu tinggi untuk diterapkan di Indonesia. Dengan membayar 5000 rupiah per orang, kami naik kereta itu, dan…sama sekali tidak ada keterangan, di kiri ada apa, di kanan ada apa…. hanya …yah keliling begitu saja. Saya harus mencari plang tanda penunjuk binatang-binatang apa ada di mana. Dan…. plang itu juga tidak bisa dijadikan patokan yang baik, karena ternyata banyak binatang tidak bisa kami temukan di arah yang ditunjukkan.

Saya juga heran sih, kok tidak ada denah keseluruhan kebun binatang, sehingga kita bisa tahu kita ada di mana. OK deh mahal mungkin untuk membagikan pamflet-pamflet berisi denah/peta kepada setiap pengunjung seperti di Jepang. Tapi bisa dong bikin papan denah di pintu masuk misalnya…. (Eh tapi mungkin ini menunjukkan bahwa orang Indonesia ngga bisa baca peta ya? Dan peta itu selalu kira-kira aja? Peta itu tidak penting di Indonesia mel… kamu itu mengharapkan yang tidak-tidak ajah)

Kami melihat ular (Riku dan Kai tidak suka, idem sama mamanya), gajah (nah kalau ini banyak deh, ada mungkin 5 ekor), kijang dan mencari macan putih yang ternyata begitu jauh, dekat pintu Barat. Dalam perjalanan menuju ke macan putih itu, kami melihat buaya dan unta. Sebetulnya saya sudah malas untuk mencari macan putih, tapi Riku bersikeras ingin melihat singa dan harimau. Jadi terpaksa deh “dijabanin“. Untuk itu kami juga melewati pusat primata Schmutzer, dan terpaksa tidak kami masuki karena Riku ngotot cari macan. Yah tapi sudah jauh-jauh jalan, begitu sampai di tempat macan putih itu, ternyata si macam lagi bobo…. kuciwa deh.

Karena sudah dekat dengan pintu keluar, ya kami pulang lewat pintu Barat itu. But, ternyata susah sekali nyari taxi di sini. Sempet kepikiran juga untuk naik angkot sampai jalan gede sih…. tapi sabar menunggu aja deh. Dan akhirnya dapat. Karena pikir Citos membosankan, kami ke PIM saja, makan siang di bakmi GM …. asyik ngobatin kangen. Mampir gramedia, kemudian pulang. Kai teler jadi sempat tertidur di dalam taxi…. lucu deh.

OK, saya memang sudah ditanya oleh Windy, teman saya, kok tidak ke Safari saja? Riku sendiri sudah 3 kali ke Taman Safari, dan kalau pergi ke Taman Safari kan tidak bisa naik taxi (mabok bayarnya), lagipula saya memang mau tahu gimana sih Ragunan itu. Jadi kesimpulan saya ke kebun binatang Jakarta itu adalah, tempatnya terlalu luas dengan sedikit binatang. Waktu kami ke sana memang hari biasa, sepi pengunjung, tapi even that, saya bisa melihat beberapa keluarga yang “piknik” menggelar tiker dan makan siang di rerumputan kosong. Hmmm ruangan seperti itu memang menggoda orang untuk piknik sih. Tapi, pengunjung kan maunya lihat binatang di kebun binatang, bukan orang? hehehe. Saya juga tidak boleh mengeluh soal kebersihan, karena ya… biasa kan di Indonesia? Itu saja sudah lumayan sekali kok hehehe. (Cuma terus terang saya ngga bakal coba naik sepeda air atau berdayung di danau yang kecoklatan dan penuh daun-daun jijay begitu. Kalo nyemplung hiiiii)

burung apa ya ini, hinggap di pagar kijang
burung apa ya ini? hinggap di pagar kijang

Well, setidaknya hari itu saya sudah menjadi warga DKI yang baik dengan mengunjungi tempat wisata standar sebuah kota.

Menumbuhkan Kemampuan Berkreasi pada Anak Indonesia

23 Jul

atau lebih tepatnya, “menumbuhkan kemampuan berpikir secara ilmiah pada anak-anak Indonesia”. Ini adalah sebuah tujuan mulia, yang saya dukung sepenuhnya, meskipun waktu itu saya satu-satunya anggota yang bukan berasal dari ilmu eksakta. Hanya sayangnya “keinginan” yang pernah menjadi tujuan sebuah organisasi di Jepang (saya rasa tidak etis juga menyebutkan namanya di sini), yang anggotanya terdiri dari alumni universitas Jepang kandas di tengah jalan. Alasannya, masing-masing sibuk dengan kegiatan dan pekerjaannya — termasuk saya. Saya akui karena waktu kegiatan itu dicanangkan tahun 2003 itu, saya baru saja melahirkan Riku. Dan setelah itu sempat beberapa kali ikut kegiatan organisasi ini, dan akhirnya sekarang statusnya “mati suri”.  Baru berhasil ikut serta sebagai fasilitator kerjasama SMA Jepang – Indonesia, dan ikut dalam kegiatan Pasca Tsunami. Padahal waktu itu targetnya tahun 2010, kami ingin membuat sesuatu tindakan nyata di Indonesia. Sayang… sungguh sayang…. karena sebetulnya banyak ide-ide brilian yang bisa diwujudkan.

Kreatifitas haruslah diajarkan dan dilatih. Jarang ada orang yang lahir langsung kreatif. Manusia kreatif biasanya ditempa oleh alam dan kehidupannya dan didukung oleh otak yang encer. Tapi kreatifitas ini amat penting jika kita mau menghasilkan generasi “pencipta” bukan hanya “pemakai”. Monozukuri istilah di Jepang, membuat barang, inventor. Bahkan di Jepang ada Universitas untuk mendidik para inovator itu, Monozukuri Daigaku, yang mereka terjemahkan menjadi University of Technologist.

Kreatifitas itu juga sebetulnya bukan melulu sebuah bentuk barang, yang bisa terlihat. Ide, gagasan dari sebuah pemikiran juga memerlukan kreatifitas. Bahkan menurut saya setiap segmen kehidupan, membutuhkan kreatifitas. Seorang ibu yang kreatif akan bisa menghasilkan sebuah menu baru dari makanan sisa. Bisa menggunakan kembali barang-barang yang sudah tidak dipakai sehingga bisa dipakai untuk tujuan lain. Kalau saja setiap ibu rumah tangga bisa kreatif, misalnya seperti Bintang di postingannya yang ini, duhh kampanye Cinta Lingkungan tidak perlu terlalu digembar-gemborkan. Karena secara tidak langsung, seharusnya kreatifitas akan mendukung perlindungan lingkungan hidup.

Banyak sebetulnya yang bisa dicoba oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk kreatif. Daripada membelikan gameboy, lebih baik membelikan lego misalnya. Atau mengajak anak-anak pergi ke planetarium, atau museum. Namun memang saya akui, sarana-sarana yang bersifat mendidik di Indonesia masih kurang, karena lebih banyak mall yang didirikan daripada sebuah “perpustakaan” misalnya. Saya amat sangat iri dengan anak-anak Jepang yang memang kreatifitasnya ditunjang oleh pemerintah. (Jangan pikirkan alasan kurang dana dulu deh, meskipun memang dana itu penting)

Setelah mengikuti pendidikan dasar bagi Riku di  kelas 1 SD selama 4 bulan, saya menemukan beberapa hal menarik. Yaitu penggunaan kertas origami, untuk melipat berbagai bentuk, dan penggunaan lilin/malam nendo yang cukup sering. Dengan dua media yang murah ini, anak-anak dilatih kreatifitasnya tanpa batas. Origami juga dibiarkan anak-anak membuat bentuk apa saja yang mereka inginkan. Well, awal-awal saya selalu menggerutu, dan berkata “Buang kertas saja…” Tapi apa sih yang tidak pakai modal? Kreatifitas juga perlu modal meskipun tidak perlu mahal-mahal. Jadi setiap Riku minta kertas origami atau kertas untuk menggambar, selalu saya kabulkan.

Lilin/malam juga fantastis. Sudah lihat kan hasil eskrim yang ibu-ibu buat untuk acara bazaar anak-anak SD? Bermacam bentuk bisa dibuat, tak terhingga. Dan anak-anak dibiarkan membentuk imajinasinya. Dan kualitas lilin/malam itu benar-benar mengagumkan. Tangan tidak menjadi merah jika kita bermain dengan lilin merah. Saya cuma bisa iri hati pada anak-anak Jepang.

duuuh tampang serius amat
duuuh tampang serius amat

Sehari sebelum keberangkatan kami ke Jakarta tanggal 20 Juli lalu, Hari minggunya, Gen mengajak Riku untuk pergi ke planetarium dekat rumah. Saya sempat membatalkan kegiatan saya packing, dan berusaha siap-siap berniat pergi dengan Kai juga, tapi Gen memberitahukan terlambat sekali. Dalam waktu 15 menit menyiapkan anak dan diri sendiri, belum mengurus tutup-tutup rumah segala… impossible. Jadi saya biarkan Gen dan Riku pergi berdua, diiringi tangisan Kai, yang begitu menyayat hati karena kakaknya pergi tanpa dia.

Gen dan Riku pergi ke Tamarokuto Science Center, yang terletak kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kami. Mereka mengejar tayangan film mengenai planetarium yang diputar mulai pukul 10:30 selama 50 menit. Tempat tersebut mempunyai panggilan kesayangan, “Science Egg”, karena bentuknya seperti telur raksasa. Dan saya bisa bayangkan betapa asyiknya jika tanggal 22 kemarin menikmati gerhana matahari di “Science Egg” ini. Jika mau memang harus mendaftar, karena pasti banyak anak-anak akan datang karena persis liburan musim panas.

Saya tidak tahu persis apa saja yang mereka lihat di dalam planetarium itu. Karena setelah mereka kembali, saya masih sibuk membereskan rumah, packing barang, belanja dan akhirnya lupa mendengarkan cerita mereka. Tapi yang pasti saya kaget menemukan foto-foto Riku membuat bentuk bangunan dari tumpukan kayu seperti lego.

Rupanya di dalam planetarium tersebut ada sebuah hall, yang bisa dipakai untuk event tertentu. Dan hari itu ada event dari perusahaan KAPLA. balok kayu terkenal buatan Perancis yang ditemukan oleh seorang belanda kolektor/dealer  benda bersejarah dan antik bernama Tom van der Bruggen. Kata Kapla itu sendiri berasal dari kata Kabouter Plankjes (Plang/papan kecil)

Melihat Riku menyusun Kapla seperti di foto, saya lalu teringat bahwa setiap musim panas di Jepang ada lomba menyusun domino. Domino Taoshi ドミノ倒し, merubuhkan domino yang telah diatur sedemikian rupa sehingga waktu domino itu jatuh membuat gambar yang bagus. Untuk anak SD, pertandingan begini diadakan untuk tingkat seluruh Jepang, dan tidak mudah loh untuk menciptakan kekompakan dalam regu, kesabaran memasang domino karena setiap kali jatuh berarti harus ulang semua, dan kreatifitas menciptakan bentuk-bentuk unik. Tapi yang paling penting memang kerjasama. Kadang saya ikut menangis melihat usaha-usaha anak-anak itu yang terekam dalam tayangan televisi. Bagaimana mereka berusaha dan menghasilkan tangis gembira maupun tangis sedih karena kalah.

foto kegiatan sekolah di Gifu diambil dari sini http://school.gifu-net.ed.jp/ogknisi-hs/ibento/h17/bunnkasai/bunkasai.htm

Saya memang tidak tinggal di Indonesia, sehingga tidak tahu sampai sejauh mana kegiatan anak-anak di Indonesia dalam mengembangkan kreatifitasnya. Semoga saja masih banyak orang yang mau bersama-sama memikirkan anak-anak Indonesia terutama di Hari Anak Indonesia, hari ini. Saya tetap optimis (harus) bahwa anak-anak Indonesia bisa menjadi inovator yang bukan hanya bisa mengangkat nama bangsa Indonesia tapi juga mengajak teman-temannya memajukan bangsa kita ini.