Monjayaki

28 Des

Aku sudah pernah menulis tentang salah satu kuliner Jepang yang bernama Okonomiyaki di  Di atas lempeng besi panas. Ya masakan sejenis dadar/martabak telor. Tapi ada satu lagi yang mirip, namanya Monjayaki.

Kemarin setelah berbelanja dengan anak-anak, aku mengajak mereka ke rumah makan Monjayaki dekat stasiun. Kebetulan Gen makan bersama atasannya di Shinjuku, jadi aku malas masak. Kebetulan juga aku melihat ada meja kosong di resto itu, yang biasanya penuh terus. Memang waktu itu belum jam 6 sore, tapi selain kami, dua meja yang lain sudah ditempati orang. (Ternyata dalam resto itu ada 4 meja di atas tatami yang tidak terlihat dari luar).

Pemilik resto itu sangat ramah dan suka pada anak-anak. Rupanya dia juga mempunyai anak berusia 5 tahun (setahun lebih tua dari Kai), jadi Riku dan Kai sangat merasa at home di restoran itu. Belum lagi pasangan setengah abad yang duduk di meja kami sering mengajak anak-anakku bicara. Pemilik resto itu juga menyarankan mencoba monjayaki yang biasa saja dulu, dan dia membuatkannya untuk kami.

Monjayaki itu adalah adonan seperti okonomiyaki yaitu campuran sayuran (kol) dan seafood/daging dengan kaldu. Adonan yang kami pesan juga dicampur dengan mie kuning. Yang membedakannya hanya pada jumlah tepung. Tepung yang dipakai sedikit sekali, sehingga hasilnya…. berair, tidak bisa melekat seperti telur dadar/martabak. Adonan yang sudah dicampur menjadi satu, ditaruh di atas lempeng besi panas. Kalau sudah masak, tidak bisa dipotong, jadi makan dengan mengambilnya dengan spatula mini dan makan panas-panas. Tentu saja untuk Riku dan Kai perlu menunggu sebentar sebelum makan.

Sambil menunggu Monjayakinya matang, Riku sibuk dengan agenda barunya. Gaya deh!

Monjayaki ini makanan khas Kanto (daerah Tokyo dan sekitarnya) terutama di daerah pasar Ikan Tsukiji. Aku pertama kali makan monjayaki ini memang di Tsukiji bersama murid-murid bahasa Indonesia sekitar 12 tahun lalu. Dan monjayaki di sana memang enak, yang kemarin kurang bumbu….entah apa. Karena porsinya kecil, aku minta tambah okonomiyaki. Nyesal juga coba minta yakisoba (mie goreng Jepang) saja. Karena okonomiyaki yang enak adalah okonomiyaki ala Hiroshima, yang ada di restoran lain.

Kami keluar restoran itu pukul 7:30 dan pulang ke rumah dalam dingin. Baru setelah sampai di rumah aku tanya anak-anak apakah suka makan Monjayaki? Riku bilang, “Enak kok ma….” Lalu aku bercanda…. “Tau ngga Rick, ada teman mama yang tidak suka makan monjayaki karena kelihatan seperti…… (hayo tebak!! 6 kata) . Untungnya anakku kebal seperti mamanya, dan tidak membayangkan yang nggak-nggak, apalagi sampai mengeluarkan makanan yang sudah masuk tadi  hehehe.

Sebelum pulang sempat berfoto dulu depan rumah makan. Kai memeluk boneka kucing yang selalu duduk di situ!

Allt Gott

22 Nov

Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris artinya “All Good”. Semuanya bagus (enak). Pantas sebagai nama sebuah restoran Swedish yang berada di Kichijoji. Masakan Swedish itu seperti apa sih?

Terus terang aku tidak begitu tahu tentang negara Swedish, kecuali imagenya tentang salmon! Dan memang ada salmon marinate yang terhidang sebagai hidangan pembuka atau appetizer (hors d’ouvres atau bahasa swedishnya :  förrätt) . Lainnya? ada satu yaitu IKEA (dan kalau ingat IKEA pasti aku ingat si tukangnyampah yang pecandu IKEA sekali). Selain itu? Hmmm ternyata pas aku cari keterangan mengenai negara Swedia ini aku menemukan beberapa kata yang akrab di telingaku yaitu : Volvo, Ericsson, dan Electrolux. Kenal? 😀

Aku, Whita, Nesta dan Lisa, berkumpul di depan Atre Kichijoji dan sempat-sempatnya berfoto di depan hiasan Natal yang ada. Tentu saja banyak orang Jepang yang lewat dan berpikir “Aduh ini gaijin (orang asing) masak gitu aja difoto!” hihihi.

Empat ibu-ibu Indonesia di Tokyo narsis depan hiasan natal 😀

Kami berjalan sekitar 7 menit ke arah belakang  Tokyu melewati beberapa toko dan restoran yang menarik. Memang Kichijoji adalah daerah yang penuh dengan fashion dan restoran enak, yang harganya terjangkau, jauh jika dibandingkan dengan Ginza. Tapi aku suka kota ini.

Restoran Allt Gott berada di lantai 2. Kecil, hanya bisa menampung 20 orang-an. Untung aku sudah pesan tempat sejak hari Jumat, kalau tidak kami tidak akan bisa makan siang di situ. Kami memesan course menu seharga 2600 yen, dengan main dish steak anak sapi (veal) untuk aku, Lisa dan Nesta, sedangkan Whita memilih steak ikan Kakap. Selain salmon marinate, ikan nissin goreng dengan saus khas dan penne ditaburi flakes ikan, entree paling awal adalah udang rebus ala skandinavia. Supnya adalah sup kabu atau turnip (lobak bulat) yang sangat enak. Aku masih ingat kata-kata Lisa “Iya ini enak karena dimasakin dan sedikit jumlahnya. Coba kalau kita buat sendiri, sama enaknya mungkin tapi kita akan membuat satu panci sendiri, dan akan blenek kebanyakan makan sup” hihihi ada-ada saja si Lisa. Lisa memang paling pandai masak di antara kami berempat!

Sebagai penutup kami mendapat satu piring berisi maroon pie yang sangat lembut, serta framboisse glaze (serbet rasa strawberry) dengan kopi atau teh. Secara keseluruhan masakan Swedish ini cukup enak dan yang pasti halal. Waktu aku menanyakan pada pelayan soal ada tidaknya kandungan babi, dia langsung menanyakan langsung kepada chef, yang kemudian dijawab, sama sekali tidak memakai babi. Aku juga suka dengan servis pelayan di sini yang amat ramah.

Oh ya ada satu lagi yang belum tertulis yaitu course menu ini memang tidak ada nasinya, tapi kami mendapat roti ala swedish dan knäckebröd semacam cracker terbuat dari gandum yang keras, khas swedish. Untuk roti memang aku lebih suka roti perancis yang rasanya lebih lembut di mulut daripada roti swedish. Meskipun cuma roti dan cracker, dijamin perut akan kenyang! (kecuali bagi mereka yang perutnya jawa, belum merasa makan kalau belum makan nasi :D)

Dengan wiskul hari ini, aku bisa menambah daftar masakan negara-negara dunia yang pernah kucoba. Roma, Ghana, Turki, Perancis, Jerman, Belanda, Vietnam, Kamboja, dll. Sayang waktu dulu aku belum ngeblog dan belum ada kamera digital. Kalau sudah, mungkin bisa menyaingi Jalansuteranya pak Bondan deh. hehehe.

Next destination adalah masakan Rusia. Gen ingin mengajakku makan di situ tapi belum ketemu waktu yang pas, karena sudah pasti tidak bisa ajak anak-anak. Soalnya di situ pasti ada vodka! 😀

 

Info restoran:
Allt Gott
0422-21-2338
Kichijoji / Swedish
Kichijoji Honcho 2-28-1, Shibata Bldg. 2F. [walking from the station, turn left at the street just past Tokyu department store – it’s called Taisho-dori – and walk about 250 meters or around 4 blocks; Allt Gott is on the right-hand side] Open 11:30am-2, 6-9:30pm. Closed Mondays.

Seribu, 12 dan 19

24 Sep

Kemarin, Jumat tanggal 23 September adalah hari libur di Jepang, Equinox Day yang menyatakan awal musim gugur di Jepang. Pada hari Equinox itu panjangnya siang dan malam sama panjangnya. Tapi di Jepang, hari Equinox juga disebut dengan HIGAN, saat untuk “nyekar” di makam keluarga. Dan sudah menjadi pengetahuan umum di Jepang bahwa “atsusamo samusamo higan made” (panas dingin sampai Higan), jadi panasnya musim panas akan berhenti pada hari Higan, dan sebaliknya dinginnya musim dingin akan berhenti pada hari Higan yang jatuh bulan Maret. Dan memang sejak tanggal 22 sejuk pada pagi hari, tapi siangnya masih lumayan tidak sejuk. Tapi kemarin tgl 23…sejuk seharian.

Tapi kemarin aku tidak libur. Justru hari itu aku mulai mengajar di Universitas S. Sebelumnya Gen berpikir untuk mengantarku ke kampus naik mobil, lalu pergi ke kebun binatang. Kai ingin melihat panda. Tapi, di kebun binatang dekat kampus tidak ada pandanya. Yang ada pandanya hanya di kebun binatang Ueno (dan sulit untuk naik mobil ke sana). Jadi kami naik bus dan kereta bersama, kemudian berpisah di stasiun Takadanobaba. Gen, Riku dan Kai pergi ke Ueno, mengejar tour dengan guide mulai pukul 11. Kata Gen, guidenya membawakan tour dengan menarik, sehingga banyak pelajaran yang bisa diketahui. Misalnya Kirin (Jerapah) selain lehernya panjang untuk mencapai daun-daun di pohon, dia juga mempunyai lidah yang panjang untuk bisa mencabik dedaunan itu. Katanya panjang lidah kirin yang bisa dijulurkan keluar sepanjang 25 cm.

Menonton Big Panda di Kebun Binatang Ueno

Waktu aku selesai mengajar dan mengirim email pada Gen, dia mengatakan bahwa mereka baru akan makan siang. Jadi kami sepakat untuk bertemu di Shinjuku untuk makan siang (late lunch) di Tsubame Grill (berdiri sejak tahun 1930). Sebuah restoran yang terkenal dengan Hamburg dengan saus beef stew. Memang ada banyak cabang restoran ini, dan kami pergi ke cabang di Lumine, Shinjuku. Heran deh, jam aneh begitu (jam 3:30) tapi restorannya penuh saja. Untung kami tidak perlu menunggu lama.

Senang sekali kami berempat bisa makan bersama di Tsubame Grill. Kami agak jarang makan di sini, padahal restoran ini waktu aku pacaran dengan Gen sering menjadi tujuan kencan. Dan kali ini kami datang dengan Riku dan Kai. Apalagi Riku dan Kai sudah bisa memotret papa dan mamanya. Memang kemarin adalah hari khusus kami, 12 tahun yang lalu kami mencatatkan pernikahan kami di catatan sipil. Meskipun bagi kami berdua wedding anniversary adalah tanggal 26 Desember, saat kami mengucapkan janji perkawinan di gereja. Tapi secara hukum (Jepang) kemarin itu aku genap 12 tahun sebagai Mrs Miyashita.

Selain itu kemarin aku memperingati 19 tahun tinggal di Jepang. Di pasporku masih tercantum cap mendarat pertama di Jepang sebagai mahasiswa pada tanggal 23 September 1992. Hmmm mulai hari ini aku menghitung ke 20 tahun tinggal di Jepang. Rasanya sebentar? Lama? Tidak bisa diukur dengan pikiran dan perasaan. Banyak temanku yang lebih lama dari aku sudah tinggal di Jepang, sehingga kadang kalau ditanya sudah berapa lama tinggal di Jepang aku menjawab, “Baru 19 tahun”. Tapi well, akhir-akhir ini aku berpikir memang aku sudah cukup lama tinggal di Jepang (terasa tuanya hahaha).

Tsubame Grill, restoran dengan menu specialnya Hamburg beef stew sauce

Selesai makan kami pulang, tapi sekali lagi kami ingin menyenangkan Kai. Kami berdua merasa kami kurang memenuhi permintaan Kai. Setiap ingin pergi ke suatu tempat, kami tunda atau batalkan karena kami sudah pernah, tapi sebetulnya Kai belum pernah. Jadi hari ini selain menuruti permintaan Kai untuk melihat panda, kami ingin naik Red Arrow (bukan Enni Arrow loh 😛 ).

Red Arrow adalah kereta cepat dari Seibu Line, jalur kereta di dekat rumah kami. Waktu Kai masih dititipkan di penitipan Himawari, karena letaknya di samping stasiun, anak-anak sering diperlihatkan kereta-kereta yang lewat. Jadi Kai tahu bahwa ada kereta cepat yang bernama Red Arrow.Red Arrow memang tidak berhenti di stasiun kami, tapi kami bisa turun di setasiun pertama, dan kembali ke stasiun kami naik lokal train. Untuk naik Red Arrow ini kami perlu membeli tiket extra untuk kursi. Senangnya Kai bisa naik Red Arrow ini, meskipun karena tidak ada kursi kosong berderet untuk 4 orang sehingga aku duduk sendiri, dan Gen bertiga duduk satu deret. (Masih ada permintaan Kai yang lain, yang belum sempat kami kabulkan yaitu ingin naik perahu/kapal!…. harus cari kesempatan nih)

Kai dan Red Arrow..... gaya barunya Kai, angka tujuh deh "Ore ikemen!"

Sesampai di rumah, kupikir aku bisa istirahat tidak perlu masak makan malam, karena aku masih kenyang sekali makan jam 3:30. Eeeee satu persatu mulai dari Riku bertanya, “Mama, makan malam kita apa?” Doooh ternyata 3boys ku ini mengharapkan makan malam! Coba kasih tahu sebelum sampai di rumah, aku kan bisa beli makanan jadi di dekat stasiun. Terpaksa deh aku masak daging goreng (Tonkatsu) untuk mereka. Sementara mereka makan, aku mandi berendam air panas…. teler dan tertidur kecapekan. Dan terbangun pukul 12:30… yahhhhh hari sudah berganti, dan aku TIDAK SEMPAT menulis posting yang ke SERIBU di hari istimewaku…. hiks.

Sebetulnya untuk menyambut posting ke 1000, aku sempat berbicara dengan Little Usagi dan Elizabeth Novianti. Mau buat giveaway, tapi kok akhir-akhir ini banyak sekali blogger yang membuat giveaway. Belum lagi seandainya mengadakan kuis, aku (atau juri) harus menilai siapa juara pertama, kedua, ketiga….. dan itu pasti makan waktu dan repot. Makanya aku selalu kagum pada Pakdhe Cholik yang getol sekali membuat kuis-kuis, hebat deh pokoknya. Tadinya Putri usul membuat lomba menulis surat untuk Riku dan Kai supaya anak setengah Jepang, setengah Indonesia ini tetap cinta Indonesia. Usulnya bagus sih cuma ya itu …repot hehehe.  So, untuk kali ini aku tidak membuat kuis, tapi aku ingin mengirimkan sesuatu kenang-kenangan kepada 10 orang Top Commentator tahunan yang termasuk dalam daftar di samping kiri.Dan 10 orang yang memberikan komentar terbanyak dalam bulan ini, bulan September.

(per tahun 2011)

(dalam bulan September)

Yang dobel namanya hadiahnya dijadikan satu ya hehehe. Untuk itu aku minta alamat pengiriman pos lewat emi(dot)myst@gmail(dot)com. Aku mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas komentar yang diberikan, dan mohon maaf jika tidak bisa menjawab/membalas semua komentar yang masuk. Seribu posting dalam 3,5 tahun memakai domain ini menurutku lambat, karena terlihat sekali penurunan jumlah tulisan per bulan. Jika dulu hampir sehari satu posting, itu sudah tidak bisa lagi aku pertahankan. Apalagi waktu aku mudik kemarin, boleh dikatakan aku amat jarang menulis, padahal tahun lalu waktu mudikpun aku bisa menulis. Entah faktor U atau faktor semangat yang sudah kendur ditambah kesibukan mengurus anak-anak yang semakin besar dan butuh perhatian ekstra, tapi aku tetap berharap aku bisa terus menulis selama aku bisa. Pengunjung TE juga datang dan pergi, nama-nama yang dulu ada, sekarang tidak ada, atau jarang terlihat. Tak mengapa, karena masing-masing tentu mempunyai kesibukannya sendiri. Yang penting silaturahmi yang pernah ada, sedapat mungkin dilanjutkan, kalau tidak mungkin dengan blog, ya dengan bentuk lain, atau social media lain. Aku tetap berharap masih bisa menjumpai teman-teman di Jakarta waktu mudik tahun depan, atau paling sedikit lewat blog ini.

Seribu, 12 dan 19 …angka-angka yang ingin aku peringati khususnya pada hari ini.

Tabik

Imelda

NB: Gara-gara baca postingnya pakdhe yang ini, aku jadi buat nasi kuning (sederhana karena cepat-cepat) deh hari ini hehehe. Disanding dengan nasi (ketan) merah Jepang yang selalu disajikan waktu selamatan.

Dari Mata Turun ke….

4 Sep

Dompet! hahaha. Ya lazimnya sih turun ke hati. Melihat sesuatu lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kadang aku berpikir, sebetulnya stop saja sampai di situ. Karena tidak bisa dipastikan pandangan kedua, akan sebagus pandangan pertama. Chancenya fifty-fifty, bisa jadi pandangan kedua akan membuatmu benci pada sesuatu itu 😀 Tapi memang betul juga bahwa kita harus berani mengambil kesempatan ke dua itu, supaya yakin seyakin-yakinnya apakah memang tepat pilihan kita itu.

Sebelum aku mengadakan kopdar Jumat (29 Juli) dan Sabtu (30 Juli), hari Kamis 28 Juli aku sempat bertemu dengan 2 orang temanku. Satu teman SMA, Wida di food court PIM. Sambil makan sate padang untuk lunch (menu utama selama mudik nih), kami bercerita ngalor ngidul. Tentang teman-teman, anak-anak yang sudah semakin besar dan kesehatan mereka, kemacetan jakarta, juga tentang “mengalah tidak bekerja demi anak-anak”. Yah, biasalah pembicaraan emak-emak.

Sesudah dari PIM, aku mampir ke rumah sepupuku yang baru melahirkan, juga di Pondok Indah. Tadinya sempat menelepon bu Enny, tapi jadwalnya kurang bagus. Jadi sesudah dari daerah Pondok Indah, di perjalanan pulang, kebetulan saja aku membaca message di  Inbox FB dari Elizabeth Novianti, seorang pembaca setia Twilight Express yang minta no HP dan pin BB. Dari message itu kemudian berkembang menjadi pertemuan hari itu juga. Langsung pak supir kuminta ke daerah Blok M untuk menjemput Novi (namanya persis nama adikku hihihi) di kantornya. Aku memang sering impulsif sih, menuruti kata hati saat itu. 😀

Nah, kebetulan aku ingin mencoba restoran Meradelima, yang pernah kudengar namanya. Letaknya persis diagonal dengan kantor Novi, dan menurut Novi memang enak. OK jadilah aku mengajak Novi ke sana untuk menemaniku.

Karena waktu kunjungan yang aneh, jam 5 sore, tentu restoran itu masih kosong. Kami menjadi tamu pertama di situ, dan kami diantar ke salah satu meja di lantai satu. Well, aku langsung tertarik dengan tata ruang dan interior  restoran ini yang bagus, dan cozy. Memang bangunannya sendiri seperti bangunan rumah biasa, jaman kolonial yang dimanfaatkan menjadi restoran. Ada beberapa “kamar private” untuk 6 – 12 orang yang apik.

Pintu masuk dan lantai 1 Resto Meradelima, Adityawarman 47, Kebayoran Baru Jakarta Selatan

 

Tentu saja aku ingin memotret banyak. Karenanya aku tanya pada pak iforgethisname, apakah boleh memotret. Bukan saja boleh, malah bapak itu mengantar kami tour de restaurant, dari lantai 1 sampai lantai 2, dan menawarkan untuk memotret kami! Wah…senangnya. Itulah keuntungan menjadi tamu pertama 😀

Seluruh interior memang mengambil interior Cina yang dipadukan dengan bangunan kolonial. Ada satu teras di atas yang ditutup dengan kaca, sehingga kita bisa makan sambil melihat pemandangan jalanan di luar, tapi tidak usah takut kepanasan. “Ini pasti panas kalau siang ya pak? Kan ada efek rumah kacanya”. Menurut dia sih tidak panas, karena teras  yang untuk 6 orang itu dipasang AC khusus.

Meja-meja di lantai 2. Teras berkacanya amat menggoda hatiku. Kalau malam romantis tuh (mestinya)

Selesai berfoto di atas, kami turun ke lantai 1 lagi, dan keluar pintu untuk berfoto di pintu masuknya. Ada satu hal yang aku perhatikan, mereka tidak mempunyai papan nama yang cukup besar/terbaca di pintu masuk. Jadi meskipun kami berfoto di depan pintu masuk, orang-orang tidak langsung tahu kami berada di mana. Sedangkan di Jepang, hampir semua toko mempunyai papan nama di pintu masuk. Ini pun bagian dari promosi kan?

Akhirnya kami masuk kembali dan duduk di tempat kami dan menunggu pesanan kami datang. Sambil bercakap-cakap, aku mengatakan pada Novi bahwa tempat ini cocoknya untuk pacaran 😀 dengan suasana mewah tapi santai  (dan disetujui Novi hihihi) .

Pesanan kami: cakwe isi, bakmi siram, sate sapi manis, dan es campur

Karena aku masih kenyang, kami berdua memesan appetizer cakwe isi, Bakmi siram (seperti Ifumi) dan sate daging manis. Pesanan kami ini enak, dan ditambah semacam es teler semuanya sekitar  220 ribuan. Kupikir lumayan karena biasanya budget makan di luar perorang sekitar 100 ribu rupiah.

Jadi, aku ingin sekali mengajak papa dan mama datang kembali ke sini. Nah, di sini aku melakukan kesalahan. Papa waktu kuajak memang sedang flu, dan mau makan sesuatu yang panas-panas. Tadinya dia mengajak makan soto kudus, tapi karena kita cuma bertiga, tanpa anak-anak, maka kuajak ke restoran Meradelima ini. Restoran ini memang TIDAK COCOK untuk keluarga dengan anak kecil apalagi balita yang bisa berlarian di salam….duh mengerikan membayangkan anak-anak itu meraba-raba koleksinya antiknya 😀 Memang tepat kategorinya : Fine Dining.

Jadi waktu aku datang bertiga dengan papa dan mama, aku memesan Sup Buntut, ayam kodok, wedang jahe dan jus sirsak. Sup buntutnya disajikan dalam wajan berapi yang tahan lama sehingga tetap panas, sampai titik sup terakhir. Salut deh. Ayam kodok yang menjadi favorit disajikan dengan “kepala ayam” sebagai penghias. Aku ingat dulu memang mama sering membuat ayam kodok. Rasanya seperti rolade ayam, daging ayam dihaluskan menjadi seperti steak ayam dengan saus tomat dan sayuran. Memang membangkitkan kenangan lama, tapi entah aku yang tidak lapar, rasanya kok kurang maknyus. Akibatnya kami menghabiskan sup buntut saja  dan membawa pulang ayam kodok yang masih banyak sisanya. Dan… aku kaget waktu harus membayar karena untuk bertiga saja (dan pesanan yang begitu) aku harus membayar 700 ribu lebih. Hmmm overprice (istilahnya adikku)? Mungkin tidak juga, tapi cukup membuatku tertegun. (7000 yen di Jepang bertiga sudah bisa makan siang, french cuisine yang enak lengkap dengan dessert dan coffee)

papa,mama, sup buntut dan ayam kodok

Waktu makan bersama papa dan mama, memang tamu yang di sana adalah orang asing semua menempati 3 meja. Konon restoran ini terkenal di kalangan expat dan tamu asing. Memang suasananya enak, nyaman. Interior yang mewah, bersih sampai ke WC nya bagus. Pelayanannya bagus, dengan pelayan yang berseragam merah hitam.  Jika punya tamu orang asing, ingin menjamu dengan maksimum memang inilah tempatnya. Atau mau membeli suasana.  Tapi kalau mencari sup buntut enak atau soto-sotoan yang enak, bukan di sini tempatnya. Inilah yang kumaksud dengan dari mata turun ke dompet hehehe.

 

Tampak luar waktu kami pulang sekitar pukul setengah tujuh malam. Romantis ya

Wisata Kuliner Rendah Kalori

6 Jul

Membicarakan wisata kuliner memang tidak ada habisnya, sebuah topik yang menarik karena makin lama manusia mencari makanan bukan hanya untuk mengenyangkan perut, tapi juga menyehatkan badan dan menghibur mata. Tentu banyak pembaca yang sudah mengetahui bahwa kuliner Jepang memang relatif rendah kalori. Apalagi kalau makan makanan mentah seperti sashimi, masakan yang direbus nabemono atau shabu-shabu atau masakan yang dibakar yakisakana dsb.

Untuk wisata kuliner masakan Jepang kali ini saya ingin memperkenalkan dua makanan yang rendah kalori dan sehat tapi dipadukan dengan begitu indah tapi sederhana yang bahannya tentu pembaca TE sudah tahu semua. Tahu.

Tahu Jepang atau yang dikenal dengan tahu Sutera di Indonesia lembut tapi tetap terjaga bentuknya. Dan sebetulnya kalau mau melihat lebih jauh lagi, kita bisa menemukan banyak jenis tahu yang dijual Jepang. Masing-masing dengan rasa dan tekstur yang berbeda, padahal bahan dasarnya sama yaitu kedelai. Nah, jika Anda menyukai masakan tahu, saya sarankan mencoba Restoran yang bernama Ume no Hana.

Contoh satu set menu masakan khas Tahu di Ume no Hana (foto dari website resmi Ume no Hana)

Pertama kali saya makan di restoran khusus tahu ini di Kichijoji, bersama dua mantan murid bahasa Indonesia. Kebetulan waktu itu ibu saya datang dari Jakarta, dan mereka ingin menjamu masakan khas Jepang. Kami menempati sebuah ruangan khusus yang bisa dipesan sebelumnya, dengan interior Jepang asli. Bahkan memasuki ruanganpun seperti memasuki rumah untuk upacara minum teh. Masing-masing ruangan diberi nama daerah penghasil keramik di Jepang. Jadi sajian makanan juga ditata dalam piring-piring keramik dengan corak khas daerah tersebut.

Masakan disajikan secara bertahap kaiseki, dari pembuka sampai pencuci mulut, dan sebagian besar terbuat dari tahu. Memang tidak semua, karena untuk masakan utama mereka masih memakai ikan, udang atau daging sapi. Dan salah satu yang juga menarik di sini adalah rebusan kembang tahu. “Susu kedelai” yang direbus itu menghasilkan lapisan kembang tahu yang dimakan bersama shoyu atau kecap asin. Sedangkan susu sisanya diminum seperti sup.

Set menu yang teringan CUMA 644 kalori (foto dari website resmi Ume no Hana)

Harganya memang cukup membuat kita berpikir, yaitu sekitar 3000 yen saja. Apalagi untuk para pria, set menu itu terasa kurang mengenyangkan. Tapi bagi wanita yang amat memperhatikan asupan kalori dan kesehatan, restoran ini patut dipertimbangkan. Sayangnya restoran ini belum membuka cabang di Jakarta atau kota besar di Indonesia, sehingga belum bisa menjadi salah satu tujuan wisata kuliner di Indonesia. Semoga dalam waktu dekat mereka memikirkannya 🙂

Tulisan ini diikutsertakan dalam ADUK yang diselenggarakan komandan blogCamp.

Jijik

2 Des

Tadi pagi aku mengajar tentang “Rumah Makan, Kaki Lima dan Warung” , bagaimana cara-cara makan di Indonesia. Nah satu yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah cara makan di restoran Padang. Jika kamu datang ke restoran Padang, maka begitu duduk, kamu akan disajikan nasi, teh tawar dan setumpuk piring berisi lauk. Orang Jepang yang pertama kali datang ke restoran Padang, pasti akan terkejut dan kalau dia bisa bahasa Indonesia pasti dia akan berkata, “Maaf pak, saya tidak pesan sebanyak ini!”.

Adalah tugasku untuk menjelaskan kebiasaan di restoran Padang itu. Jadi kamu ambil saja lauk yang akan kamu makan. Kalau dalam satu piring ada dua ayam, kalau kamu ambil satu, maka kamu bayar untuk satu itu saja. Nah…yang menjadi pertanyaan orang Jepang itu adalah, “OK kami bayar untuk satu daging, lalu satu daging yang masih di piring bagaimana?” .
“Dikembalikan ke wadahnya dan disajikan ke tamu lain lagi, toh kamu tidak pegang-pegang kan? ”
“hmmmm saya tidak pegang-pegang, tapi belum tentu orang lain tidak pegang-pegang sebelum disajikan ke saya ya?”.
Lalu saya jawab begini, “Kalau kamu makan di rumah, kamu kan juga ambil dari piring besar, dan menyisakan daging lainnya untuk anggota keluarga lain, dan tidak merasa jijik kan? Anggap saja pengunjung restoran Padang itu sebagai satu keluarga besar”. 😀

TAPI memang benar bahwa banyak orang Jepang yang “bersihan” sehingga banyak berpikir tentang sanitasi/kebersihan dan …”cerewet” :D. Di Restoran di Jepang, pasti dibagikan lap basah oshibori begitu duduk, dengan maksud untuk membersihkan tangan sebelum makan, meskipun makannya tidak dengan tangan! Kalau di Indonesia itu urusan pribadi masing-masing apakah mau cuci tangan sebelum makan atau tidak. Tapi sesudah makan ada lap/tissue basah untuk membersihkan tangan kalau memang makanan itu membutuhkan makan dengan tangan. Jadi menurutku memang orang Jepang yang “bersihan” tidak bisa tinggal lama di Indonesia. Di Indonesia kita perlu untuk mempunyai “kekebalan tubuh” dalam kehidupan. Susah bagi orang yang bersihan untuk tinggal di Indonesia. (FYI dulu aku sama sekali tidak bisa makan di warung karena merasa jijik, kalau sekarang… ya masih bisa deh “tutup mata” hehehe)

Pernah aku juga membaca polemik tentang “Apa reaksimu jika menemukan rambut dalam makanan restoran?”. Ada yang mengatakan, “Ya sisihkan saja rambutnya, dan makan terus tanpa ribut-ribut dengan pihak restoran”, “Kalau tidak begitu lapar, ya saya tinggalkan saja makanan itu dan pergi ke restoran lain”. Tapi ada yang mengatakan “Saya sih pasti lapor dan minta ganti makanan yang saya pesan itu…HARUS buat baru, jangan cuma diambil rambutnya di belakang lalu kembalikan ke saya”. Nah, orang yang langsung mengajukan claim begitu yang terbanyak. Aku? Hmmm…  Aku merasa aku tidak termasuk orang yang jijikan. Tapi liat dulu juga ah rambut apaan, kalau pendek keriting mungkin aku juga ogah hihihi. Mungkin aku tidak akan buat ribut-ribut seperti claim, cukup beritahu restoran, dan pergi. Maklum lah Imelda kan ngga bisa marah (really? masa sih mel! 😀 )

Lalu ada juga pembicaraan menarik lainnya, yaitu tentang menu makanan dan minuman. Aku tanya pada murid yang pernah pergi ke Indonesia, “Kamu bisa baca menu?”
Dia jawab, “Bisa, tapi menu di Indonesia jenis makanannya tidak banyak ya…”
“Wah, kebetulan saja kamu pergi ke restoran yang sedikit menunya. Kalau restoran besar cukup banyak loh jenisnya.”
Dan memang aku juga merasakan memilih makanan di menu Jepang itu mudahnya karena ada foto-foto dan kadang ada contohnya yang terbuat dari lilin di etalase restoran itu. Yang biasanya menjadi masalah berikutnya adalah apakah ada kandungan babi/makanan tidak halal dalam masakan tersebut bagi umat muslim.

Lalu murid yang tadi itu mengatakan, “tapi sensei saya tidak bisa makan kodok goreng”….
“Hahaha, banyak orang Indonesia tidak bisa kok makan kodok goreng juga. Saya sih pernah dan rasanya seperti ayam saja. Lagipula kodoknya hanya kaki saja kan, tidak seperti di Cina yang kodok utuh dimasak…. kalau melihat kodok utuh, saya juga tidak mau makan”.

Lalu satu per satu menceritakan pengalamannya makan “masakan teraneh buat dirinya”. Ada yang berkata “Jangkrik goreng manis (inago tsukudani)” –aku juga sudah pernah, dan cukup enak kok heheheh. Lalu si murid anti kodok berkata, “Saya pernah makan sup kucing di Cina….” langsung semua berteriak…hiiiiiii termasuk saya (meskipun saya sudah pernah mencicipi anjing–dan ngga dua kali deh hihihi). Dan yang terakhir yang menurutku juga aneh adalah cerita seorang murid yang pernah tinggal di Kamboja. Katanya di sana dijual Laba laba goreng di pasar bertumpuk-tumpuk, dan dia pernah makan karena terpaksa. “Mungkin seperti kepiting ya rasanya?” tanyaku…dan dia mengatakan ya, seperti kepiting. Cuma aku ngga deh kalau disuruh makan laba-laba atau kepompong atau ulat atau…kecoak…hoekkk….

Maaf yah pembicaraannya jadi begini, tapi memang kebudayaan makanan di dunia ini amatlah beragam dan berbeda. Perlu ada pengertian dan tentunya tidak memaksakan orang lain untuk makan sesuatu yang memang tidak bisa/mau dia makan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan agama.

So….. apa menu Anda hari ini? Aku lagi masak rawon nih 😀 Mari makan……

Autumn Leaves and Fishing

24 Nov

Judul yang aneh karena biasanya orang tidak memancing di musim gugur. Tapi di hari libur “Hari Pekerja” tgl 23 November ini, deMiyashita memancing daun dan …ikan!

Seperti biasa, Riku bangun pagi, jam 6 kurang. Karena aku sempat terbangun dini hari untuk 3 jam, maka aku masih tidur ketika dia membangunkan aku, “Ma, aku boleh masak Omuraisu (semacam nasi goreng yang dilapisi telur dadar) ?” Rupanya dia kelaparan.
“Boleh saja, tapi hati-hati dengan api ya….”

Tadinya aku mau tetap tidur, tapi rasanya kok khawatir juga membiarkan dia masak sendiri. Akhirnya aku bangun, hanya untuk mengawasi pemakaian api, dan…. memotret! Memang ini bukan yang pertama kali dia mencoba memasak, tapi pertama kali dia mengerjakan semua, sejak mengocok telur sampai menggoreng dan membuat nasi gorengnya. Nasi gorengnya tentu ala Riku, yang gampang, hanya nasi diberi saus tomat dan sedikit garam/lada. Dia sendiri tidak begitu suka daging, sehingga tidak pakai daging (kalau aku pasti masukkan ayam/daging giling/susis…apa saja).

Gayanya sih sudah seperti Chef beneran. Dua wajan dipakai! hahaha. Dan hasilnya lumayan enak loh. Telurnya empuk dan manis …fuwafuwa ふわふわ, karena diberi susu. Buktinya satu piring penuh dia habiskan sendiri hihihi (biasanya kalau aku bikin cuma makan setengahnya)

Nah, kemudian satu persatu penghuni apartemen kami bangun. Di luar hujan rintik terus menerus. Jadi aku tidak bisa mencuci baju. Kami melewatkan pagi itu dengan menonton tivi dan aku membersihkan ruangan.

Tapi setelah pukul 11, hujan berhenti dan hangat! Sejak hari Minggu udara dingin, jadi waktu udara menjadi hangat begini, rasanya ingin keluar rumah. Akhirnya Riku minta papanya untuk ke taman, dimana dia bisa berlari sepenuh hati. Dia sendiri yang menyarankan kami pergi ke  Tokorozawa Aviation Park di Saitama. Dia tahu di sana terdapat lapangan yang luas, dan ada tempat bermain untuk anak-anak.

Yosh! Kami berangkat pukul 1:30 siang. Langsung lewat toll ke arah Tokorozawa. Dan menjelang masuk parkiran Taman itu terpaksa harus antri cukup lama. Karena macet dan rupanya cukup banyak orang yang memanfaatkan cerahnya hari dengan berjalan-jalan ke Taman ini. Waktu masuk aku sempat kaget juga membaca bahwa ongkos parkir di situ gratis untuk 2 jam pertama, dan setiap jam berikutnya HANYA 100 yen. Weks, mana ada semurah ini di Tokyo? Rasanya ingin pindah ke Saitama aja deh.

Gayanya Kai and Autumn Leaves @Tokorozawa Aviation Park

Sementara Gen antri parkir, aku dan anak-anak turun duluan. Dan kami disambut dengan pemandangan musim gugur yang indah! Lapangan luas dengan pohon-pohon yang sudah mulai berubah warna. Banyak keluarga datang dan bermain di sini. Benar-benar pemandangan yang mengundang kita untuk berlari dan …tiduran di atas hamparan permadani daun emas!

Setelah Gen bergabung, aku mendapatkan kesempatan untuk NARSIS hehehe. Untung saja suamiku ini mau melayani permintaan istrinya yang juga mau memamerkan buku sahabatnya, Mas Nug yang baru diterbitkan. Mata Hati adalah buku foto+puisi yang mengajak kita berkeliling dunia, menikmati pemandangan dan hal-hal sepele yang tertangkap oleh mata-hati seorang lawyer kondang (yang berminat mendapatkannya silakan baca di sini) . Kalau tidak khawatir nasib anak-anak dan sungkan pada Gen, pasti bisa berjam-jam deh berfoto di sini… tentu saja dengan berbagai pose hehehe.

Memang kami tidak bisa mengelilingi Taman seluas ini semuanya. Bayangkan taman ini dulu merupakan bandara pertama di Jepang! Luasnya 11 kali Tokyo Dome, yaitu sekitar 47 ha. Sebuah taman yang bersejarah, yang bisa digunakan oleh semua warga dengan gratis. Tentu saja harus bayar jika ingin menggunakan lapangan tenis atau melakukan kegiatan khusus lainnya. Tapi kalau hanya untuk berjalan-jalan, jogging atau bermain di tempat anak-anak, bahkan piknik….semuanya gratis. Mau murah tinggal naik sepeda (kalau mobil kan bayar parkir). Ada juga sih museum pesawatnya, tapi untuk masuk museum harus bayar 500 yen untuk dewasa.

Riku dan Kai menikmati taman dengan bermain, berlari, memungut dahan, main perosotan (Kai takut-takut sih), kemudian ada pula jungle jim. Sementara mama Imelda memotret daun Momiji (maple) yang berubah warna oranye dan merah. Indah!

Puas bermain, kami mencari makanan kecil dan minuman hangat. Ada sebuah kantin di sana, dan kami membeli yakisoba (mie goreng jepang), takoyaki (octopus ball), potato fries dan frankfurt (susis). Bener-bener junk food deh hehehe.

Waktu mau kembali ke parkiran itulah kami mmapir ke museum dengan niat untuk masuk. Tapi karena sudah jam 4:30, tidak bisa beli karcis lagi (Museum tutup jam 5, dan 30 menit sebelumnya tiket tidak dijual). Akhirnya kami berjalan pulang setelah melihat toko souvenirnya saja (tanpa beli apa-apa) dan waktu itu pun sudah mulai gelap.

Lampu-lampu di pohon mengingatkan Natal yang sudah semakin dekat

Kami juga melewati gedung pertunjukan MUSE, sebuah tempat untuk konser dan hall serba guna. Katanya Universitasnya Gen juga sering menyewa tempat ini untuk upacara penerimaan mahasiswa baru. Kalau malam indah karena diterangi oleh lampu-lampu, baik di gedungnya maupun di taman bagian dalamnya.

Bingung memilih tempat makan malam, Gen mengajak kami pergi ke sebuah restoran yang unik. Namanya ZAUO. Dia pernah ke sana dengan dosen-dosen universitasnya dan berniat mengajak kami juga. Cukup mahal memang, tapi bulan ini memang kami tidak pergi ke mana-mana, jadi kami memutuskan menikmati restoran ini.

Riku tidak tahu tentang rencana kami ke restoran ini, sehingga begitu kami masuk, dia langsung teriak kegirangan. Betapa tidak, begitu kami masuk langsung melihat sebuah kapal di atas kolam dan beberapa anak-anak memancing. “Aku mau mancing…aku mau mancing!”

Memancing dari atas "kapal", tapi sisi sebelah sini kurang banyak ikannya. Lagipula pinter-pinter, tidak mau makan umpan padahal sudah di depan hidung.

Kami mendapat tempat duduk di atas kapal karena kamar-kamar kecil sudah penuh dipesan orang lain. Kalau di kamar kecil itu, memancingnya dari jendela kamar yang terbuat dari kaca yang bisa melihat langsung ikan berenang. Ya seperti memancing di akuarium deh.

Tapi justru dengan duduk di atas kapal itu, kami bisa bebas memancing kemana-mana. Sayangnya di sisi kapal dekat meja kami jarang sekali ikannya.

Kami memesan dua kail+ umpan. Semua ikan yang kami pancing harus dimakan atau dibawa pulang, tidak boleh dilepas lagi. Lagipula ada daftar harganya. Jika tidak memancing misalnya untuk seekor kakap harganya 3200 yen, tapi kalau memancing sendiri “cuma” 2300 yen. Tapi ya memang untung-untungan, karena cukup lama untuk bisa menangkap seekor ikan. Kelihatannya ikan-ikannya juga sudah pinter, tidak mau makan umpan biarpun sudah di depan hidung.

Riku dengan Kakap hasil pancingan kedua

Setelah 20 menitan muter-muter cari tempat yang enak, akhirnya Riku berhasil memancing satu ikan kakap. Wah betapa girangnya dia. Lumayan besar loh ikan itu. Dan ikan tangkapan Riku yang pertama, kami minta untuk dibuat IKEZUKURI, atau sashimi (arti harafiah dari ikezukuri adalah memotong ikan dalam keadaan hidup. Jika ikan jenis “aji” dia masih bisa megap-megap meskipun dagingnya sudah “dicincang”. Tapi ikan kakap ini tidak, meskipun pada bagian sirip punggung masih bergerak meskipun sudah cukup lama bertengger di atas meja).

Karena Riku sudah mendapat satu ikan besar, Gen meminta aku memancing di tempat ikan “Aji“, ikan kecil dan murah (680 yen) yang juga enak dibuat sashimi. TAPI ikan Ajinya itu ditaruh dalam satu kolam bersama ikan Hirame (ikan sebelah) yang harganya muahal (3480 yen). Nah, maksud hati mancing yang murah, eeeh yang makan umpan aku justru si Hirame ini. Sial! hahaha. Karena ikan sebelah ini tipis, maka kami minta untuk digoreng.

Imelda dan Hirame...huh aku ngga mau kamu kok sebetulnya hihihi

Kembali ke meja kami, tahu-tahu Riku berteriak…”Aku dapat ikan lagi”… ya, dia tangkap ikan Kakap lagi! Aku cepat-cepat ambil jala untuk menadah ikan tersebut. Wahhh 3 ikan yang besar, gimana abisinnya nih? Untung kami suka ikan, jadi ikan Kakap nya Riku yang kedua kami minta untuk dibakar dengan garam saja. Yang paling sederhana….dan paling enak kalau menurut aku. Kalau kebanyakan masakan Indonesia kan ikannya digoreng, tapi aku paling suka ikan dibakar tanpa bumbu apa-apa, hanya garam. Dan kamu bisa tahu segar tidaknya, enak tidaknya seekor ikan. Back to nature deh.

Kakap ikezukuri... sirip punggungnya masih bergerak-gerak

Sebetulnya Riku masih mau memancing, tapi kami larang. Karena 3 ikan saja sudah 10.000 yen! mahal hihihi. Dan sambil makan dia ngomong terus,
“Papa terima kasih ya hari ini aku senang sekali. Bayangin aku bisa pancing dua ikan! duh aku mau tulis di catatan harianku soal hari ini….”
“Papa janji ya untuk ajak lagi ke sini, Aku suka sekali restoran ini…”
“Papa, nanti kalau aku ulang tahun, mau buat pesti di sini saja…”
“Aku mau part time job di restoran ini deh, jadi bisa mancing terus-terusan”
“Papa, aku kalau besar mau jadi Nelayan aja ah…asyiknya bisa tangkap ikan setiap hari”
…. dan kami berdua meredakan kegembiraan dia dengan berkata, “Iya kalau ada rejeki”,
“Kamu bisa memancing untuk hobi buat sebagai matapencaharian”,
“Kamu belum tahu susahnya mancing di laut. Ikannya besar-besar, perlu tenaga besar”,
“Iya nanti minta ajak Pak Eto, dia ahli memancing ikan. Kamu ikut aja sama dia biar tahu sebenarnya bagaimana”.
Tapi terus terang kami juga senang Riku menemukan kegemaran baru, meskipun mungkin tidak berlanjut lama.

deMiyashita @ Zauo resto unik di Saitama

Pemandangan indah, pengalaman baru, makan enak, tertawa bersama. Satu hari yang indah yang kami lewatkan bersama, sambil menikmati bulan November yang hampir habis.

Have a nice Wednesday temans

deMiyashita

Cream Stew

20 Okt

Udara di sini mulai menjadi dingin, terutama dini hari, meskipun siang hari mencapai 22 derajat. Tapi jika mendung, maka suasana menjadi suram membawa hati juga menjadi melankolis. Apalagi pukul 5 sore  sudah mulai menjadi gelap. Bagaimana kalau musim dingin ya?

Tapi yang paling membuat ibu rumah tangga pusing adalah menyiapkan masakan yang membuat semua anggota keluarga sehat, tahan terhadap udara dingin sehingga tidak mudah terserang flu. Dan pada musim gugur begini, bahan masakan yang banyak didapat (karena musimnya) adalah kentang, ubi-ubian, serta jamur.

Ada satu jenis hidangan hangat yang biasanya disajikan pada musim dingin yang diberi nama Cream Stew atau dijepangkan menjadi kurimu shichuu クリムシチュー。

Pada dasarnya cara pembuatannya seperti sup sayuran saja (asal jangan kelodoan yah 😉 ). Segala potongan sayur dan daging ayam atau sapi dimasukkan ke dalam air berkaldu, kemudian diberi susu supaya berwarna putih, dan Roux (bahan pengental berbumbu) yang sudah dijual di toko-toko. Atau kalau tidak ada roux itu, bisa mengentalkan sup dengan memakai terigu/kanji dan tentu saja lebih enak jika pakai cream cheese.

Cream Stew roux yang dijual di toko, tinggal masukkan dalam sup sayuran saja untuk mengentalkan menjadi cram stew.

Beberapa hari yang lalu aku masak cream stew itu, tapi karena saya masukkan labu ke dalamnya, warnanya menjadi keoranyean. Meskipun enak kurang cantik untuk difoto. Dan waktu itu aku menyajikannya dengan menaruh diatas nasi, sama seperti waktu menyajikan nasi kare. Nah, di situ saya diprotes Riku, katanya, “Aku maunya dipisah, jadi cream stewnya seperti sup. Jangan taruh di nasi!”. Ah…. cerewet kamu, kupikir. Tapi setelah itu aku membaca sebuah artikel berbahasa Jepang di internet bahwa ternyata cara makan cream stew itu memang ada dua cara. Kelompok pertama yang menaruh cream stew itu di atas nasi seperti nasi kare, dan kelompok yang kedua adalah mereka yang menganggap cream stew sebagai sup sehingga harus di pisah. Aku kebetulan tahunya yang ditaruh di atas nasi, sedangkan Riku tahunya dipisah, karena waktu makan di sekolahnya rupanya dipisah. Padahal sebetulnya sama saja kan, akhirnya masuk ke perut juga hahaha.

Cara makan orang memang berbeda. Misalnya papaku kalau makan soto ayam, maunya menaruh jeruk sendiri ke dalam supnya, sebelum bahan yang lain ditaruh ke dalam piring. Tapi nasi boleh masuk ke dalam sotonya. Mungkin cerita cream stew di atas itu sama seperti orang yang mau makan soto ayam ya. Ada yang suka memasukkan nasi ke dalam mangkok dan mencampurkan semuanya (seperti bubur) tapi ada yang terpisah, sehingga nasi tidak basah oleh sotonya (nasinya tidak mengembang gituuuu….).

Kamu masuk kelompok mana? Nasi soto atau Nasi + soto (terpisah) ? Aku? Aku sih mana ajah yang penting enak hehehe. Tapi mungkin seperti bubur ayam, aku lebih suka kalau dicampur dulu semua supaya rasanya merata. (huhuhu jadi pengen makan bubur ayam …hiks)

NB: Kalau mau coba masak Cream stew, bisa lihat resepnya di sini. Soalnya kalau aku masak cream stew ini tidak pakai lihat resep sih hihihi. Seadanya sayuran dan bahan saja.

Jam berapa sekarang?

21 Agu

Apakah kamu-kamu bisa langsung menjawabnya? Pasti harus melihat jam tangan atau jam di HP dulu untuk bisa menjawabnya bukan?

Nah, pada hari ke 26 aku di Jakarta ini, aku tertawa getir. Yaitu ketika aku berada di sebuah restoran sushi di Senayan City. Om ku yang puasa menunggu jam buka, dan mengatakan bahwa paling aman jika jam sudah menunjukkan pukul 6 tepat. Dan kemudian aku jawab : “Sekarang sudah pukul 6″, tapi disanggah papaku…” Belum masih 6 menit lagi!”. Lohhhhh berarti jamku itu kecepatan 6 menit dong? Memang aku selalu heran karena jam di komputerku tidak sama dengan jam di HP Jakartaku. Tapi selalu kupikir jam di HP lah yang benar. Hmmmm TERNYATAAAAAAAA….. aku selama ini TIDAK PERNAH TERLAMBAT!!!! horeeeee…………..

Aku selalu berusaha menepati janji. Aku akan merasa tidak enak jika harus membuat orang lain menunggu. Untuk ini mungkin aku sudah menjadi orang Jepang…..

Seorang teman SMP ku Ika, mengajakku makan siang bersama sebelum bulan Ramadan mulai. Hari Jumat tanggal 6 Agustus, pagi hari dengan bertukar sms.
Ika : “Mel… ternyta hr ini ank gw hrs dijmpt tepat wkt. Ntar lunch di Pisa Cafe di Mahakam ya biar dket ma sekolh ank gw”
Aku : “OK ka. Mau dicepetin juga GPP kok”
Ika : ” Paginya hrs belanja dulu jd bs nya j 11. Tepat ya say”
“Kita kan aliran jepun jd udh biasa on time”
Aku: “Hahaha okay. C U @pisa cafe mahakam jam 11 ya”

Jadi jam 10:30 aku sudah mempersiapkan Riku dan Kai untuk pergi. Biasalah heboh pergi dengan anak-anak kan. Jam 10:45 bingung mau pergi naik taxi sendiri atau minta diantar opa yang akan menjemput cucu. Andy adikku sudah melihat aku senewen lalu berkata: “Sini mahakam cuma 8 menit kok mel”. Well, cepat-cepat naik mobil dan kami diturunkan opa tepat di depan Pisa Cafe. Begitu turun mobil aku melihat jam di HP (yang jamnya kecepatan 6 menit ituuuu)… yaaah jam 11:03 . Aku terlambat deh.

Tapi aku disambut dengan senyum lebar sang pelayan. Tentu saja karena kami adalah tamu pertama mereka. Loh… rupanya Ika belum sampai.

Ya sudah, karena anak-anak sudah lapar, aku memesan makanan saja dulu. Baru kulihat ada sms jam 10:50 darinya, “Mel, gomen telat kyknya macet”, dan kubalas, “No problem. Aku sudah pesen makanan soalnya anakku kelaparan”.

calzone yang merupakan favoritku di pisa cafe

Aku sudah beberapa kali ke restoran Pisa ini yang terkenal dengan es krimnya. Dan biasanya aku pesan Calzone, sebuah pizza tertutup seperti sebuah pastel raksasa. Rasanya yummy, dan disukai Riku dan Kai.

Bersama Ika, teman di SMP setelah 27 tahun....

Akhirnya Ika datang setelah 20 menitan, dan kami langsung bercerita banyak. Catch up berita selama 27 tahun tak berjumpa. Terakhir bertemu waktu SMP, karena dia kemudian masuk LPK Tarakanita, sedangkan aku ke SMA Tarakanita. Pukul 1:30 aku pamit karena aku punya janji bertemu seseorang di Senayan City pukul 2:00. Tapi aku masih ragu apakah aku akan mengajak anak-anak atau tidak, jadi aku mau naik bajaj pulang dulu ke rumah.

Riku dan Kai yang suka naik bajaj

Dan…. Kai berteriak gembira, “Bajaj da…bajaj da… sugoi ne”. Senang sekali Kai dan Riku naik bajaj…. yang pertama dan terakhir untuk Kai, sedangkan untuk Riku, dia sering ikut asisten RT yang harus menjemput sepupu-sepupunya naik bajaj. Kai? Tidak pernah mau berpisah dariku 😀

Tapi hari Jumat itu memang hari yang sial. Karena setelah kami sampai rumah, aku menghubungi temanku itu, ternyata dia baru berangkat dari depok naik taksi. Jadi aku bilang padanya, tolong sms aku deh kalau sudah dekat-dekat senayan. Dari rumah ke sency paling lama 10 menit. Dan…. karena hujan, disertai macet di mana-mana, kamu tahu aku bertemu dia di sency jam berapa? Jam 4 sodara-sodara. Selama2,5 jam dia terkatung-katung dalam taksi. Kasihan sekali. Karena itu aku memang tidak ada perasaan sebal jika harus menunggu teman yang terlambat (Juga waktu menunggu Ika 20 menit itu… karena aku sudah sampai duluan kan bisa makan atau minum duluan, sementara yang ditunggu pasti sedang panik di jalan) . Ya Jakarta gitu loh. Semuanya tidak bisa diprediksi.

Nah, kejadian yang hampir serupa terjadi keesokan harinya. Tanggal 7 Agustus. Ceritanya  kami akan mengadakan kopdar+reuni. Karena anggotanya adalah Retty N Hakim yang blogger dan kakak kelas di SMA (mungkin sekelas dengan adiknya mas NH nih 😉 hehehe) , Diajeng yang sekelas denganku di SMA (eh kita sekelas ngga ya?) . Tapi yang pasti kami bertiga adalah anggota ekskul Science Club di SMA. Foto kami bertiga waktu masih culun ada di page about me tuh. Secara tidak sengaja Retty menemukan blogku ini persis sebelum aku pulkam, jadi merasa wajib bertemu. Kopdar+ Reuni!Dan yang menghubungkan kami juga adalah Krismariana, karena Kris mengenal Retty duluan di internet. Dari Blogroll Kris, dan masukan dari Diajeng akhirnya Retty bisa “menemukan”ku. Well dunia (internet) memang kecil!

Diajeng yang mengatur waktu pertemuan kami, Sabtu tgl 7 itu di PIM2. Katanya: “…jam 10 kalau bs sdh tiba disana yaa, maklum hr sabtu kan acaranya padat merayap…”.

Karena Krismariana belum pernah ke PIM, padahal sudah sering ke rumahku, jadinya mampir dulu ke rumahku, dan kami bersama-sama naik taxi ke sana. Kali ini hanya Kai yang ikut. Perkiraanku dari rumahku sampai PIM butuh waktu kira-kira 30 menit. Ternyata kami sampai dalam waktu 20 menit. Jadi deh kami bengong 10 menit di PIM, karena semua toko, eskalator dan lift buka jam 10 teng! Sementara Kai dan Kris jalan-jalan di depan toko yang belum buka di lantai 1, aku sempat menghubungi teman-teman lewat sms dan telepon.

Menu makan pagi+siang hari itu. Sate padang.... yang tidak bisa aku buat sendiri.

Begitu lift dibuka, kami langsung pergi ke lantai atas, ke food courtnya. Ya, aku ingat aku pernah juga janjian dengan teman di sini. Karena masih pagi, kami adalah tamu yang pertama sehingga bisa memilih tempat yang enak. Tentu saja sambil menunggu kehadiran Diajeng dan Retty, aku membeli makanan duluan. Karena aku juga belum sarapan, jadilah Sate Padang dan es campur ntah apa namanya jadi menuku hari itu. Sate Padang bener-bener menjadi menuku waktu mudik, karena paling sering aku makan.

Kami berempat berbicara ngalor ngidul, tentang blog, tentang sekolah dulu, tentang pendidikan anak-anak sekarang… macam-macam deh (sampai aku sudah lupa kita bicara apa ya? hehehe) . Yang pasti blog kami memang harus menjadi blog informatif bagi yang membaca ya? (eh semua berpikir yang sama kan hehehe). Keep on bloggin girls eh ladies!

Kopdar reuni hari itu, Kris + Diajeng + Retty dan aku+ Kai

Jadi aku mau kembalikan lagi ke topik semula, bahwa aku senang, selama mudik aku bisa tetap menjaga kejepanganku dengan selalu tepat waktu hahaha. Sebetulnya ada satu lagi cerita tentang waktu ini, tapi karena ceritanya panjang, aku tulis di posting terpisah.

So … jam berapa sekarang? (Aku publish ini pukul 2:47 pagi, karena tidak bisa tidur karena berisik!! Siapa yang berisik? Nanti aku bisikin deh 😉 )