Handuk

4 Sep

Selembar kain yang amat penting dalam kehidupan kita. Yang paling sering kita pakai yaitu pada saat mandi tentunya. Nah, kenapa kok tiba-tiba saya jadi menulis tentang handuk?Hmmm… ini masalah kebiasaan saja sih sebetulnya.

Waktu di Jakarta, biasanya setiap anggota keluarga mempunyai satu handuk masing-masing yang dipakai setiap habis mandi, lalu kalau siang dijemur di luar, sore dibawa masuk lagi, dan dipakai. Kalau mendung ya dibentangkan di jemuran handuk khusus. Dan biasanya handuk itu dicuci paling cepat 3 hari, paling lambat 1 minggu. Ibu saya biasanya suka mencak-mencak jika kami meninggalkan handuk di cantelan belakang pintu kamar mandi. Ya tentu saja karena banyak pengguna kamar mandi yang akan menggunakan cantelan itu untuk menggantung baju ganti dsb.

Kebiasaan ini tentu saja saya bawa sampai ke Jepang. Tapi saya mengalami shock budaya pertama waktu menikah. Yaitu, suami saya, si Gen selalu memasukkan handuk bekas satu kali pakai langsung ke dalam mesin cuci. Untung saja orang Jepang mandi sekali sehari…. coba bayangkan kalau dua kali sehari, betapa banyak handuk yang harus dicuci satu hari? Kalau penghuni rumah dua orang, pasti akan menjadi 4 buah handuk ….wahh. Belum lagi, face towel, itu loh handuk kecil yang biasanya diselempangkan bapak-bapak penarik becak atau yang berolahraga. Enaaaak banget langsung masukkan ke dalam mesin cuci setelah satu kali dipakai.

Waktu saya protes, dia bilang…
” loh handuk kan dipakai untuk mengeringkan badan yang basah. Setelah dipakai, dia menjadi kotor, sehingga harus dicuci. ”
Tidak mau kalah, saya bilang lagi,” tapi badan basah kamu itu kan sudah bersih, sudah disabuni. Jadi handuk itu kan basah karena air saja, tidak ada kuman. Ya sudah, kamu boleh ganti handuk setiap kali, tapi aku tetap dengan caraku.”
Meskipun akhirnya karena jadi greget, akhirnya aku juga mencuci handukku kalau tidak setiap habis pakai, ya dua hari sekali. Memang enak sih, plung langsung masukkan mesin cuci yang berada di samping kamar mandi. Cepat dan praktis.

handuk yang lembut bak kulit bayi, putih bersih dan harum
handuk yang lembut bak kulit bayi, putih bersih dan harum

OK, saya tahu bahwa kebiasaan kami ini tidak ramah lingkungan. Karena berarti menghabiskan air untuk mencuci. Tapi kalau sudah kebiasaan, sulit sekali diubah. Dan kebiasaan ini dibawa dari rumah orang tuanya bukan? Jika kami menginap di rumah orang tuanya, maka kami juga melakukan kebiasaan ini.

Tapi, akhirnya saya merasa lega dan boleh tenang sedikit dengan penjelasan  suatu acara kuis televisi. Waktu itu ditanyakan pada para artis yang mengisi acara, berapa hari Anda pakai satu handuk baru kemudian dicuci? Wah ternyata artis-artis itu macam-macam. Ada yang menjawab mempunyai kebiasaan seperti keluarga kami, tapi ada yang sebulan tidak mencuci handuknya…. yieks.

Dalam acara TV itu dijelaskan bahwa, paling lama handuk itu dipakai tanpa dicuci adalah TIGA HARI. Itupun dengan kondisi bahwa handuk itu dijemur di bawah panas matahari. Jika tidak maka hanya berumur satu hari saja. Karena meskipun kita tidak lihat, kuman yang ada di handuk basah itu berkembang dalam tiga hari. Yang juga menjadi parameter bahwa handuk itu perlu dicuci, adalah jika handuk itu sudah menimbulkan bau apek. Langsung harus dicuci. Jika tidak? Ya bersiaplah untuk mengalami gangguan kulit.

Memang lebih segar kan jika kita memakai handuk baru sesudah mandi? Handuk yang empuk bagaikan kulit bayi…. kalau di TV. Karena pada kenyataannya sulit sekali untuk membuat handuk di rumah empuk. Musti beli handuk yang mahal, yang sering disebut handuk hotel + dicuci pakai pelembut pakaian. (Hmmm pelembut pakaian di Jepang jarang yang enak baunya seperti M*lto di Indonesia. Sampai saya selalu membawa dari Indonesia loh hihihi)

Handuk juga ternyata ada bermacam-macam ukuran dan kegunaannya. Saya paling pusing kalau diberitahu gurunya Riku untuk membawa handuk seukuran face towel. Sibuk deh nyari info di google. Face towel itu sebesar apa.

Menurut jenisnya handuk ada beberapa macam. Di bawah ini menurut penjelasan wikipedia Jepang (yang sedikit berbeda dengan wikipedia berbahasa Inggris)

1. Hand Towel. Seukuran saputangan. Wah kalau ini saya memang suka pakai sebagai pengganti saputangan. Daya serapnya juga lebih tinggi dari saputangan biasa.

Saking kecilnya Kai, selimutnya pakai Hand Towel ukuran 30x30 cm
Saking kecilnya Kai (2500 gr), selimutnya pakai Hand Towel ukuran 30x30 cm

2. Face Towel. Handuk Wajah. Gunanya untuk melap muka, sehingga ukurannya biasanya 30×75 cm. Dan face towel ini di Jepang disebut sebagai tenugui, yang sudah ada lama sebelum kebudayaan barat masuk ke Jepang, paling sedikit sejak jama Tokugawa/Edo (1600 an -1867). Karenanya handuk jenis ini paling banyak ditemukan di Jepang. Jika Anda menginap di ryokan atau penginapan ala Jepang, jangan kaget kalau hanya disediakan face towel saja. Karena dengan face towel itulah orang Jepang menggosok badannya dengan sabun, membilasnya lalu memakai towel yang basah itu untuk mengeringkan badannya. Bisa kering? Ohhh bisa…. saya juga heran pertamanya. Tapi tentu saja karena kami mandi dengan air panas, sehingga setelah dikeringkan dengan handuk lembab itu, badan juga masih berkeringat. Tapi lama kelamaan akan kering, apalagi jika berdiri di bawah kipas angin. Bagaikan hair-dyer cold deh hihihi. Karena face towel  ini amat berguna, banyak kantor-kantor yang mencetak nama perusahaannya pada face towel untuk diberikan sebagai oleh-oleh atau waktu mengucapkan selamat tahun baru, atau acara tertentu. Bagi orang yang baru pindahan juga praktis memberikan handuk kecil ini kepada tetangga sebagai “tanda perkenalan”, karena harganya murah dan pasti terpakai. Kalaupun tidak dipakai untuk orang, bisa dipakai untuk bersih-bersih rumah kan. Jadi jangan heran kalau orang Jepang memberikan hadiah face towel, atau satu kotak besar berisi satu atau dua set handuk mandi dan handuk wajah ini. Apalagi kalau buatan luar negeri dan bermerek seperti wedgwood, minton atau YSL.

3. Bath Towel. Handuk Mandi. Ukurannya memang macam-macam, juga bahannya beragam. Yang enak di Jepang ada handuk mandi yang besarnya dua kali lipat handuk biasa di Indonesia, sehingga sering dipakai sebagai towel ket, pengganti selimut atau alas tidur.

4. Selain 3 jenis di atas yang sering kita pakai sehari-hari ada juga yang disebut Sport Towel (yang ukurannya mirip face towel tapi sedikit lebih panjang), Beach Towel sesuai namanya biasanya dipakai wkatu berenang. Biasanya beach towel ini ada yang mempunyai kancing sehingga dengan “bersarung” kan handuk ini bisa ganti baju renang jika tidak ada kamar khusus. Towel Ket (Gabungan Towel Blanket) , yaitu sprei/selimut  yang terbuat dari bahan handuk, bagus dipakai waktu musim panas sehingga dapat menyerap keringat (jika tidur tanpa AC tentunya). Towel Mat, handuk yang dipakai sebagai pengganti keset, terutama dipakai di depan pintu kamar mandi.

Waktu saya mencari bahan tentang handuk ini, baru saya ketahui bahwa suatu kota di Jepang bernama Imabarishi, di Prefektur Ehime merupakan produsen handuk terbesar di dunia. Karena di kota ini saja tidak kurang dari 175 perusahaan pembuat towel yang tergabung dalam suatu asosiasi. Dan handuk Imabarishi ini bertahun-tahun mendapatkan penghargaan grandprix di Amerika.

Orang Jepang suka mandi, meskipun setiap harinya hanya mandi satu kali, pada malam hari. Kalah memang jika dibandingkan dengan Indonesia yang dua kali. Tapi mandi di Jepang adalah kebudayaan yang dinikmati bersama maupun perorangan terutama di pemandian air panas, hot spring. Kalau pergi menginap ke hot spring, dalam satu hari bisa 10 kali masuk ke dalam bak penuh berisi air panas dan berendam….. dan mungkin bak itu berada di alam terbuka. Jadi bisa dimengerti bahwa handuk juga merupakan barang yang mutlak ada dan penting dalam kehidupan orang Jepang.

Saya sendiri suka handuk yang fuwafuwa (empuk) dan harum dan besaaaar (maklum gajah sih) dan berwarna biru atau putih.  Saya senang kalau dikasih hadiah handuk apalagi kalau bermerek hihihi (soalnya ngga mampu beli sendiri sih).

Mau mandi dulu ahhhh!(Saya masih orang Indonesia, jadi suka mandi kapan saja …..)

Kai umur 1 hari, waktu dimandikan oleh bidan
Kai umur 1 hari (belum 2000gr), selesai acara mandi oleh bidan sebelum masuk inkubator lagi

NB: Kata handuk berasal dari bahasa Belanda handdoek. Saya kok jadi ingat dulu ibu saya bilang “doek” untuk pembalut wanita… pernah dengar?

Kid’s Menu

3 Sep

Sudah lama aku kagum dengan adanya kids menu di semua restoran di Jepang, mulai dari yang cepat saji, sampai pada restoran biasa. Pasti ada yang namanya Okosama Ranchi (Kids Lunch). Harganya terjangkau, ukurannya pas untuk anak-anak (biasanya setengah dari size orang dewasa), penyajian yang menarik dan biasanya disertai dengan satu jenis mainan yang bisa dipilih. Memang mainan murah tapi cukup untuk membuat anak-anak “duduk diam” di meja dan makan!

ciluuuuuuuuuk

Aku pikir kenapa di restoran Indonesia (kalau restoran Jepang di Indonesia ada) tidak ada kids menu begini ya? Lalu aku membayangkan sebuah keluarga memasuki restoran di Indonesia. Bapak Ibu, anak-anak termasuk yang masihh balita, tapi…. ditambah lagi satu orang. Dialah sang baby sitter yang bertugas mengurus anak-anak termasuk menyuapi mereka (mungkin dengan makanan dari rumah) dan membuat mereka tidak mengganggu kedua orang tuanya makan (Meskipun mungkin mengganggu tamu yang lain dengan keributan mereka. Tak jarang terjadi “kecelakaan” karena sang anak berlari-lari dalam restoran tersebut). Jadi memang kids menu tidak perlu untuk keluarga itu.

baaaa
baaaa

Nah, di Jepang ngga ada yang namanya baby sitter. Jadi kalau mau ajak anak-anak sekeluarga, sang ibu juga harus mengurus permintaan sang anak. Mau pesan satu piring untuk si anak kebanyakan. Atau sang ibu harus merelakan tidak memilih makanan kesukaannya, dan memilih makanan yang bisa dimakan bersama anak-anaknya (yang tidak pedas, yang disukai anak-anak). Tapi setelah ada Kids Menu, dan anak-anak juga bisa makan sendiri, adanya Kids Menu ini sangat menolong. (Meskipun terkadang tidak dimakan)

kids menu di Rumah Makan Volks, tanpa hadiah mainan
kids menu di Rumah Makan Volks, tanpa hadiah mainan

Aku juga selalu memesan kids meal di penerbangan Jakarta- Tokyo p.p. baik dengan JAL atau SQ. Dan…. kids meal ini jauuuuh lebih enak dan menarik daripada meal untuk orang dewasa. Jadi aku selalu makan sisa dari Riku atau Kai, dan tidak menyentuh meal dewasa. Well, makanan dalam pesawat biasanya memang “kurang” enak (untuk kelas ekonomi loh, kalau kelas bisnis sih lain deh).

Jadi siapa tahu ada yang mau membuat restoran di Indonesia. Coba deh membuat Kids Menu sebagai salah satu pelayanan di restoran Anda! Kalau MacD bisa sukses dengan Happy Set nya, pasti kids menu juga akan dilirik keluarga yang makan di restoran biasa.

(kiri: kids lunch standar ada mainannya berupa kacamata, tengah: kids menu yang lebih mahal di restoran sushi, kanan: kids meal di dalam pesawat JAL)

NB: Aku selalu merasa kasihan dengan si baby sitter yang diajak ke restoran. Dia harus melihat majikannya makan sedangkan dia harus kerja mengurus anak. Masih mending kalau sesudah majikannya makan, dia pun diajak makan sebelum pulang. Mungkin malahan ngga pernah ditanya “Sudah makan belum mbak?”. Duh kapan ya perlakuan “feodal” ini bisa dihilangkan?

“Desaku” nya Jepang

2 Sep

Pasti dong semua masih hafal lagu “Desaku” ciptaan Ibu Sud. Kalau sudah lupa ya terlalu deh dong sih!!

Desaku

Desaku yang kucinta
pujaan hatiku
tempat ayah dan bunda
dan handai taulanku
tak mudah kulupakan
tak mudah bercerai
selalu kurindukan
desaku yang permai

Nah, ternyata di Jepang juga ada tuh lagu Desaku. Si Lala bahkan katanya sejak kecil dinyanyikan dan menyanyi lagu Furusato dalam bahasa Jepang sebelum tidur. Kalah deh Riku, soalnya si Riku paling dinyanyikan “Medaka no Kyodai”.

Gunung tempat mengejar kelinci
Sungai tempat memancing ikan
Sampai sekarangpun dalam mimpi
Sulit terlupakan, kampung halaman

Bagaimana kabar, ibu bapak
sahabat karibku
Dalam hujan dan angin
Pasti teringat, kampung halaman

Melaksanakan keinginanku
Entah kapan, aku pasti akan kembali
Ke birunya gunung, kampung halamanku
Ke jernihnya air, kampung halamanku

兎(うさぎ)追いし かの山 usagi oishi kanoyama
小鮒(こぶな)釣りし かの川 kobunatsurishi kanokawa
夢は今も めぐりて、 yume wa ima mo megurite
忘れがたき 故郷  wasuregataki furusato

如何(いか)に在(い)ます 父母 Ikani imasu chichihaha
恙(つつが)なしや友がき tsutsuganashiya tomogaki
雨に風に つけても amenikazeni tsuketemo
思い出(い)ずる 故郷 omoiizuru furusato

志(こころざし)を はたして kokorozashi wo hatashite
いつの日にか 帰らん itsunohinika kaeran
山は青き 故郷 yama wa aoki furusato
水は清き 故郷 mizuwa kiyoki furusato

Wah lagu furusato ini memang cocoknya untuk mereka yang merantau seperti saya. Yang rindu pulang kampung terus. Jadi kalau tinggal di Indonesia, atau di rumah bersama orang tua yang kampung halamannya sama, sepertinya tidak cocok tuh (aneh kan kalo rindu kampung halaman padahal kamu tinggalnya di kampung tsb. Kecuali rindu pada kampung halamannya pacar hihihi)

Dari lagu “Desaku” dan “Furusato”, memang yang paling dirindukan adalah orang tua (orang Indonesia malah nambah handai taulan, kalau orang Jepang cukup bapak ibu hihihi), dan pemandangan alam yang biasa digeluti waktu kecil. Karena kampung halamanku adalah Jakarta, aku tidak bisa membayangkan gunung atau sawah atau sungai deh… mana ada gunung di Jakarta (meskipun nama kelurahanku adalah kelurahan gunung)? hihihi. Jadi apa bayanganku tentang kampung halaman selain orang tua?

Hmmm …. aku membayangkan sebuah rumah besar tempat aku dibesarkan dan suasana waktu hujan keras dengan geledek dan bau tanahnya yang khas! Rumah tempat kita dibesarkan memang tidak akan pernah terlupakan, bukan? Akhir-akhir ini aku sering mengenang kembali rumahku di Jakarta yang telah kuhuni berpuluh tahun apalagi setelah membaca tulisannya Nana tentang rumah.

Jadi kampung halamanku sebetulnya sih = rumahku, yang lain-lain sebetulnya numpang aja, nebeng! … seperti lingkungan perumahan, pasar, makanan, teman-teman dll. Mumpung sebentar lagi musim mudik, sebetulnya apa bayanganmu tentang kampung halaman sih? (Pasti beda tergantung asalnya kan?)

(Lagu ini pernah dinyanyikan di acara wisuda di Yokohama University waktu aku wisuda Pasca Sarjana… dan lagu ini berhasil membuatku menangis. Memang bukan lirik yang sama, tapi melodi dan bayangan pantai dengan pohon kelapa menari-nari di dalam benakku…. huh mewek deh)

Televisi 24 jam

31 Agu

Pasti Anda berpikir, “Oh pasti itu chanel TV siaran CNN atau chanel film dari televisi kabel” atau “Wah gila juga kalau Imelda mau nonton TV sampai 24 jam”. Yang pasti, biasanya saya belum tentu mau menonton TV lebih dari 1 jam.

Televisi 24 jam adalah nama sebuah acara di Nihon Terebi (chanel 4 di Jepang)  yang tayangkan setiap tahun di akhir bulan Agustus, akhir pekan selama 24 jam, dan merupakan acara live. Judulnya dalam bahasa Inggris adalah 24H Television Love Save the World. Acara ini merupakan acara charity , untuk mengumpulkan sumbangan bagi kegiatan sosial. Pertama kali mengudara pada tahun 1978, setiap tahun menampilkan artis-artis terkenal yang menarik perhatian para penyumbang dari kalangan pemirsa televisi.

Acara 24HTV ini pun kembali digelar tanggal 29-30 Agustus kemarin. Dan tema tahun ini adalah “Start”. Dalam acara itu seperti biasanya ada acara marathon yang biasanya diikuti oleh seorang aktor/artis yang terkenal. Tahun ini yang akan lari dalam waktu 24 jam sejauh 126.585 atau 3 kali maraton adalah Imoto Ayako. Dia memang terkenal sebagai  seorang aktris nyeleneh (dengan tanda khas, yaitu alis mata yang amat tebal) yang suka adventur, mencoba sesuatu yang baru dan berbahaya. Dia pernah mendaki kilimanjaro, pergi ke 36 negara untuk membuat acara televisi …tentu saja ini yang membuat dia juga dapat terus mendapat kontrak dari televisi dan melanjutkan karir sebagai artis TV. Tapi kali ini untuk acara 24HTV ini, dia mencoba untuk menyelesaikan 3 kali maraton dalam sehari (24 jam).

Imoto Ayako mencoba lari 3 x marathon dalam 24 jam
Imoto Ayako mencoba lari 3 x marathon dalam 24 jam

Selain acara maraton, ada acara rally tenis meja selama 8 jam 15 menit yang sudah tercatat sebagai rekor dunia. Dan akhirnya berhenti dalam rekor baru 8:29:58. Ada pula acara melintasi selat Tsugaru Kaikyo (Selat Tsugaru) yang menghubungkan pulau utama Honshu dengan Hokkaido. Tapi yang berenang adalah penyandang catat, tuna netra.

Acara ini selama 24 jam memang sarat dengan cerita dan liputan yang terus menerus membuat mata basah dan hati menjadi hangat. Banyak cerita inspiratif yang disampaikan. Seorang ibu yang mengetahui dirinya mengidap kanker waktu usia janin di kandungannya sudah 4 bulan. Dia bertekad tetap melahirkan dan membesarkan sang bayi, sampai ajalnya menjemput. Sebuah buku berisi pesan-pesan untuk anaknya ditulis, dan menginspirasi banyak anak muda yang kurang mengerti artinya hidup.

Kisah seorang gadis lulus SMA, yang sejak lahir hidup di kursi roda. Dia lahir tanpa tangan dan hanya ada 1 kaki. Sejak kecil dia dididik ibunya untuk melaksanakan semua sendiri, mulai dari pakai baju, sampai memanjat tangga. Satu hal yang membuat ibunya juga tabah menjalani cobaan membesarkan anak cacat adalah senyumannya. Memang terlihat, anak bayi cacat ini terus tersenyum dan semangat. Sayangnya waktu masuk masa puber, dia menyadari bahwa banyak kegiatan teman-temannya yang tidak bisa dia ikuti tanpa tenaga ekstra. Dia menjadi pemurung dan tidak bersemangat. Tapi begitu dia melihat latihan kelompok cheer leader, dia merasa… dia harus masuk kelompok ini. Dan guru pelatih cheer leader bertanya padanya, apa yang bisa dia banggakan? “Senyuman dan bersemangat!” Dan benar, senyuman dan semangatnya bisa menularkan anggota cheer leader yang lain dalam berlatih. Setelah lulus SMA, dia bercita-cita untuk menjadi artis suara (dubber).

Selain kisah-kisah nyata dari para penyandang cacat, ada pula acara mewawancarai 100 juta penduduk Jepang. Seorang artis atau aktor akan pergi ke suatu desa, yang ditentukan oleh permainan darts. Dan selama perjalanannya di desa itu, mereka bertemu dan mewawancari warga yang mereka temukan. Tema pertanyaan mereka adalah, “Start” apa yang telah/akan  dilakukan dalam waktu dekat. Ada satu pertemuan dengan warga biasa yang cukup mengharukan. Pertemuan dengan seorang nenek berusia 94 tahun (ah jadi teringat pak watanabe).

Nenek ini adalah seorang bidan. Dia berhenti dari pekerjaannya sebagai bidan sekitar 8-9 tahun yang lalu. Dan setelah berhenti, dia menjadi murid SD dan mengambil mata pelajaran matematika saja. Bayangkan sebuah kelas berisi anak-anak usia SD (Kalau tidak salah kelas 4) dan di antara mereka ada seorang nenek berusia 80 tahun-an  yang belajar bersama. Aneh bukan?

Dan mungkin ada yang bertanya, kok dia sudah bekerja sebagai bidan, kenapa harus masuk SD lagi? Ternyata si nenek melakukan hal itu, sebagai ganti kegiatan anak perempuannya. Si Nenek memang seorang bidan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa waktu bayi perempuan yang dikandungnya meninggal setelah dilahirkan. Ya, anak perempuannya meninggal. Si nenek sengaja belajar kembali di SD sebagai pengganti anak perempuannya. “Saya membayangkan dia berkembang, dan belajar bersama dengan anak-anak seusianya”. Nostalgia masa silam tetapi berani dijalankan mengingat umurnya yang sebetulnya sudah tua sekali.

Aku tidak suka menonton TV. Tahu sebabnya? Karena aku mudah menangis dan tenggelam dalam cerita yang ditayangkan. Untuk menghindari kepala pusing, aku tidak mau menonton TV. Tapi karena penasaran dengan acara-acara yang ditampilkan, aku nonton acara ini, meskipun bolong-bolong (karena bukan di rumah sendiri). Dan memang akhirnya aku jadi sakit kepala, tetapi cukup puas karena bisa melihat… ya memang benar, Orang Jepang selalu bersemangat dan berusaha terus, tidak peduli dia itu orang normal yang sehat ataupun orang cacat yang terbatas gerakannya. “Manusia jika berusaha pasti akan bisa!”

Ah…. coba ada acara televisi semacam ini di Indonesia. Apalagi selama acara berlangsung 24 jam lebih, dikumpulkan sumbangan secara langsung atau melalui telepon/credit card. Coba seandainya sms-sms yang dikirim untuk pemilihan idol di Indonesia itu adalah sumbangan … berapa ratus juta rupiah yang bisa dikumpulkan? Kabarnya sumbangan yang terkumpul dalam acara 24 HTV tahun ini sebanyak 2.720.000.000 yen! (tahun lalu 1.083.666.922円)  Dan hasil pengumpulan ini dipakai untuk beberapa kegiatan sosial/kesejahteraan, yang laporannya bisa diikuti lewat website juga.

Dan satu lagi yang aku juga kagum pada orang Jepang, yaitu kontinuitas. Mungkin orang Jepang menganggap itu atarimae, lumrah bahwa jika memulai sesuatu maka harus berusaha untuk melanjutkannya. Tapi tidak untuk Indonesia. Kadang aku malu mengakui bahwa orang Indonesia memang cepat melempem. Buat acara bagus besar-besaran. Kali pertama amat berhasil, tapi biasanya berhenti di situ, tidak ada acara kelanjutannya. (Aku tidak mau pakai contoh konkrit deh di sini…takut kena UU internet hihihi). Komitment dan kontinyualitas… mungkin hanya mimpi saja di negara kita.

Badai datang! Pemilu penentuan!

31 Agu

Pernahkah Anda mengalami badai? bukan…bukan badai di hati, tapi badai topan yang berpadu dengan hujan deras dan angin kencang. Jepang setiap memasuki bulan September  pasti mengalami beberapa kali badai. Badai di Jepang, berlainan dengan badai atau hurricane di Amerika yang biasanya memakai nama wanita, badai di Jepang hanya diberi nomor, sesuai dengan waktu kedatangannya. Dan sebetulnya persis sore hari ini akan datang badai nomor 11 yang mendekati daerah Tokyo dan sekitarnya.

Sebelum badai mendekat memang sebaiknya, kita menyingkirkan semua barang yang kira-kira bisa berterbangan/jatuh jika angin keras bertiup. Pot tanaman yang berada di beranda/teras diletakkan ke tempat yang aman. Selain itu karena sulit untuk pergi keluar dalam badai, lebih baik menyimpan bahan makanan/makanan.

Sesudah badai datang, yang biasanya berlangsung 2-3 jam tergantung besarnya badai itu sendiri, langit yang tadinya seperti mengamuk kembali tenang dan ….begitu bersih, begitu biru dan begitu indah! Memang ada sisa-sisa sampah/kotoran bekas badai, tapi jika Anda melihat ke langit, tidak akan percaya bahwa hari sebelumnya pernah terjadi badai.

Well, kemarin telah terjadi badai dalam pemerintahan Jepang. Dalam kehidupan berpolitik di Jepang. Karena kemarin adalah hari pemilu untuk memilih anggota parlemen, dan hasilnya… sungguh di luar dugaan.

Karena kami pergi menginap di rumah mertua di Yokohama Sabtu malam, maka sebelum ke sana, Gen pergi ke kantor kelurahan cabang dekat rumah untuk melakukan pemilihan sebelum hari H. Pemilih yang tidak bisa memilih pada hari H (tanggal 30 Agustus) boleh memilih sejak hari Rabu atau kira-kira 10 hari sebelum hari H, di tempat yang sudah ditentukan. Tinggal datang, menyerahkan kartu pemilih dan mendapatkan surat suara. Kurang lebih caranya sama dengan pemilu Indonesia. Yang mungkin beda adalah lembar kertas suara yang tidak sebesar koran, karena hanya memilih 4 orang untuk wakil dari kelurahan kami, dan 7 orang untuk wakil di parlemen. Bukan sistem coblos atau contreng. Semua pemilih wajib menulis nama calon yang diinginkan (tulis tangan)  dalam selembar kertas sebesar memo pad.

poster 4 calon di wilayah kami, semua poster ukurannya HANYA segini, tanpa baliho

Hal yang lain lagi adalah bilik pemilihan yang hanya berupa sekat-sekat seperti booth telepon umum. (praktis, tidak usah mengeluarkan biaya pembuatan “kamar” kecil) . Hmmm pasti kalau sekat sebesar itu saja tidak bisa dipakai di Indonesia. Karena pasti tidak bisa membuka surat suara sebesar kertas koran dengan leluasa, atau mungkin akan terjadi “kasus mencontek” alias melihat pilihan orang di sebelahnya.

memilih di bilik yang dibatasi sekat saja

Juga tidak ada tanda pencelupan jari dengan tinta sebagai tanda sudah memilih. Sesudah memilih, ya keluar saja dari tempat pemilihan. Saya cuma bisa melihat dari luar ruang pemilihan, karena saya tidak punya hak pilih. Lha wong saya masih warga negara Indonesia.

Ada dua partai yang besar yang bersaing dalam pemilihan umum ini, yaitu partai LDP (Liberal Democratic Party) atau Jiminto, dan The Democratic Party of Japan (DPJ) atau Minshuto. Nah yang membuat “badai” di pemerintahan Jepang kemarin yaitu hasil yang membuktikan adanya “Perubahan Politik ” Jepang (Hasil pemilu diketahui semalam saja yah). Dari LDP yang berkuasa, ke tangan DPJ dan dengan hasil yang telak sekali. Bayangkan LDP yang sebelumnya menguasai 300 kursi harus puas dengan 119 kursi. Dan DPJ mendapatkan 308 kursi dari sebelumnya 115 kursi. Suatu kemenangan yang telak!

kantor kelurahan cabang tempat diadakannya pemilu sebelum hari H. Pada hari H biasanya menggunakan sekolah negeri.
kantor kelurahan cabang tempat diadakannya pemilu sebelum hari H. Pada hari H biasanya menggunakan sekolah negeri.

Memang hasil pemilu mencerminkan keinginan/harapan warga terhadap politik Jepang sendiri. Sudah sejak turunnya Koizumi, warga merasakan turunnya semangat masyarakat dalam mendukung pemerintahan. Nah, kemarin saya tanya sebetulnya apa sih JANJI dari DPJ, jika mereka menang, yang digembar-gemborkan dengan slogan Manifesto itu? (Semoga janji itu ditepati tentunya).

Ada 6 bidang yang jelas-jelas dijanjikan oleh partai DPJ untuk mendapat penekanan yaitu Menghapus Pemborosan, misalnya dengan menghentikan pembangunan “Cafe Mangga Pemerintah” (katanya sebuah cafe Mangga Negara akan dibangun, yang mungkin memang bisa menarik wisatawan domestik dan manca negara, tapi untuk membangunnya perlu biaya yang tidak sedikit), juga menghentikan “penugasan” mantan birokrat ke perusahaan dengan gaji pemerintah. Rekonstruksi Ekonomi dan Keuangan Negara, Memperkuat Produksi Pertanian, Kehutanan dan Perairan, Pembangunan Kembali Daerah, Reformasi Dana Pensiun dan Medis. Dan yang langsung “terasa” di keluarga-keluarga Jepang adalah bidang Dukungan Membesarkan dan Pendidikan Anak.

DPJ menjanjikan bantuan/tunjangan pemerintah dalam membesarkan anak dan pendidikan. Secara nyata mereka menjanjikan memberikan bantuan biaya melahirkan sebesar 550.000 yen (dari 300.000 yang sekarang) Well… ini membantu sekali, karena biaya melahirkan di Jepang TIDAK MURAH, karena tidak dicover asuransi (melahirkan bukan penyakit kan, makanya lebih baik operasi caesar spy dianggap sakit dan tercover asuransi. Tapi di Jepang ibu-ibu sedapat mungkin tidak memilih operasi, tidak seperti di indonesia yang katanya operasi = trend)

Setiap anak akan mendapatkan tunjangan sebesar 312.000 yen per tahun sampai dengan lulus SMP. Well….terima kasih sekali….paling tidak bisa ditabung untuk pendidikan selanjutnya yang biasanya tidak terbayarkan. Banyak orang Jepang kewalahan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Universitas karena mahalnya. Jauh lebih murah mengirimkan anaknya belajar di LN daripada di Jepang.

Saya sih tidak begitu ngerti masalah politik begini, tapi yang penting warga Jepang memang menantikan perubahan dalam kehidupan bernegara. Dan semoga dengan perubahan partai yang memimpin negara ini, warga bisa merasakan perkembangan yang baik. Meskipun tentu saja perubahan yang terjadi bagaikan badai, yang juga membuat perubahan, dan mungkin kotoran/sampah sehingga perlu pembersihan besar-besaran.

Ada satu yang kami sesalkan dari pemilu kemarin, yaitu tidak sempat memotret Putra kedua Koizumi (mantan PM), Koizumi Shinjiro) yang akhirnya terpilih sebagai wakil Jiminto untuk daerah pemilihan Kanagawa 11. Karena sebetulnya waktu kami pergi ke pantai Kannonzaki beberapa wktu yang lalu, sempat berada di belakang mobil kampanye anak Koizumi ini.

Karena tidak kesampaian memotret mobil kampanyenya anak Koizumi, jadi saya pasang foto waktu naik mobil kampanye bapak-semang tempat tinggal saya yang kebetulan anggota parlemen ya (sudah mantan sih). Ceritanya pernah saya tulis di Pengalaman Demokrasi -1-

Dengan naik mobil kampanye, calon memberikan pidato atau menyapa warga di lingkungannya. turba deh.
Dengan naik mobil kampanye, calon memberikan pidato atau menyapa warga di lingkungannya. turba deh. sebetulnya ada slogan dari bapak semang saya itu, tapi saya hapus untuk menjaga privacy.

Penipuan OREORE

29 Agu

Membaca tulisan Uda Vizon di sini, aku jadi teringat sebuah iklan di televisi yang baru saja aku lihat kemarin.

Ada ibu yang menantikan telepon penipuan itu...karena bisa terhibur dari kesepian...
Ada ibu yang menantikan telepon penipuan itu...karena bisa terhibur dari kesepian...

Anda bisa melihat videonya di sini, tapi tentu yang tidak mengerti bahasa Jepang, tidak akan mengerti apa-apa. Saya akan mencoba menggambarkannya dalam bahasa Indonesia.

Telepon berbunyi dan diangkat seorang nenek.

“Eh, siapa? ORE?”

“Ya ..ORE….(AKU) bu…” (Ore  = watashi yang biasanya dipakai lelaki dewasa)

Sambil melihat koran mengenai berita penipuan yang berkedok anggota keluarga “OreOreSagi” (Ore = aku, Sagi =penipuan). Banyak orang tua yang menerima telepon tanpa mengucapkan namanya, hanya berkata “ore”, dan menyamar menjadi anggota keluarga si orang tua itu.Ibu itu berkata,

“Ohhhh Ore ore sagi-san  ya, saya sudah tunggu-tunggu?”

“Ibu… ini Aku! Masa lupa pada suara anak sendiri?”

“Oh maaf deh…, jadi hari ini apa modus operandinya?”

“Ibu…. masih pikir begitu. Sebetulnya ngga ada urusan penting sih. Aku cuma mau tanya bagaimana kabarnya. Kan sudah lama aku tidak menelepon.”

“Wah terima kasih ditelepon. Kamu sendiri bagaimana?”

“Ya biasalah, kerjaan sibuk.”

“Saya tidak akan transfer duit ke kamu loh!”

“Ibu…. masih pikir saya penipu?”

“Kalau begitu ore-oresan… kapan kita bisa bertemu lagi?…”

Ironis sekali iklan ini. Tujuan iklan ini? Tentu saja ada dua, satu yaitu mencegah bertambahnya  penipuan dengan MO  menipu orang tua dengan menyamar menjadi anggota keluarga yang tertimpa kecelakaan atau ditangkap polisi atau kemalangan lainnya, sehingga perlu uang dalam jumlah besar, dan minta ditransfer SEGERA.

Menurut laporan kepolisian Jepang pada tgl 28 Agustus lalu, korban dari penipuan “ore ore sagi” ini 84,5% adalah orang tua berusia di atas 60 tahun. Kerugian yang dialami selama setahun lalu mencapai 27.500.000.000 yen. Kebanyakan mereka yang ditelepon menyadari bahwa si penipu itu lain suaranya dengan anak atau cucunya, tapi saking gembiranya menerima telepon, tidak merasa aneh dan menyangka mungkin sedang sakit. Alasan minta transfer uang juga bermacam-macam, ada yang karena kecelakaan lalu lintas, atau harus mengembalikan uang perusahaan yang sudah dipakainya, atau dikejar-kejar penagih hutang dari bank/tukang kredit.

Bukan hanya ibu ini saja yang menunggu telepon anaknya. Ibumu juga.... ya ibu KAMU!

Tapi yang juga disampaikan dalam iklan yang dibuat oleh iklan layanan masyarakat Jepang ini adalah, betapa hubungan orang tua dan anak yang semakin “jauh”, sampai si nenek merasa senang ada penipu yang meneleponnya dan menemaninya mengobrol lewat telepon. Betapa karena jarangnya anak-anak menelepon, si nenek sudah lupa suara mereka dan menyangka anaknya penipu. Dan sebagai penutup iklan itu dituliskan “Daripada khawatir….tanyakan kabarnya (teleponlah)!”

Waaah kena deh, kapan aku terakhir menelepon rumah di Jakarta? 10 hari yang lalu? Lupakah mama papa akan suaraku?

Iklan ini sekaligus sebagai introspeksi diri, apakah diri ini masih menjaga silaturahmi dengan keluarga, terutama papa dan mama. Aku membaca sudah ada beberapa teman blogger yang mudik dan berkumpul dengan keluarga. Atau yang berencana akan pulkam di akhir ramadhan nanti. Tapi ada pula yang tidak bisa mudik. Semenit telepon, sepucuk surat atau sms mungkin bisa menjadi perekat hubungan kekeluargaan kita. Ini yang kadang hilang, dan jarang dirasakan di Jepang. Karena semakin banyak orang tua yang tinggal sendiri, di rumah sendiri atau di panti jompo, dan belum tentu sekali setahun mereka dijenguk keluarganya. Masyarakat Jepang yang sibuk. Tapi masyarakat Indonesia pun sebentar lagi akan menjadi masyarakat yang sibuk dan ….dingin. Jangan sampai ibu (bapak) kita bertanya, “Kamu siapa?” waktu kita meneleponnya.

Silaturahmi itu penting…. sangat penting. Apa kabar saudaraku semua? Aku harap semua dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Selamat menikmati akhir pekan… dan salam dari Tokyo!

Foto, video dan keterangan saya dapatkan dari website AC Japan.

Sakit kelapa eh kepala

27 Agu

Entah kenapa beberapa hari ini aku menderita sakit kepala (zutsuu 頭痛) yang cukup mengganggu. Tadi pagi waktu browsing, sempat membaca bahwa di Jepang sudah mulai banyak jatuh korban flu H1N1 yang sering disebut flu babi.  Dan ada cerita dari seorang ibu yang mengatakan bahwa anaknya sempat parah sekali terjangkit flu babi, yang awalnya hanya dari sakit kepala, tanpa demam. Hmmm jadi ngeri juga deh. (Eh kalau kena flu babi, mungkin penderita jadi ngorok kayak babi ya? hihihi)

Di sekolah Riku juga ada yang sudah terjangkit. Untung waktu liburan sehingga tidak sempat menyebar. Yang pasti ditekankan untuk selalu cuci tangan, kumur-kumur, dan jika demam sedikit saja jangan masuk sekolah. Untung sekali, sampai sekarang ke dua boys ku ini sehat. Bahkan di Jakarta selama 28 hari pun tidak pernah terjangkit penyakit atau demam, padahal sepupunya ada yang sempat demam. Dan kebetulan juga di RT rumahku di Jakarta itu juga ada laporan DB (sebelah rumah loh padahal). Karena bapakku  Ketua RT, tahu deh soal laporan-laporan itu dan berjaga-jaga terus. Dan kami bisa pulang semua dalam keadaan segar bugar. Puji Tuhan!

Tadi sore kepala masih sakit, tapi aku harus menjemput Kai di penitipan. Biasanya naik sepeda bersama Riku, tapi hari ini Riku malas sekali. Dia merayuku untuk naik bus saja. “Mahal!” saya mengomel, tapi lalu saya pikir… hmmm boleh juga sekali-sekali santai, sambil liat pemandangan tanpa harus berkonsentrasi. Jadi kami berdua berjalan cepat ke halte bus.

“Mbak… naik taxi ya?” Riku mulai berkata…dan aku tertawa geli. Dia memang sering menggoda aku dengan panggilan-panggilan yang aneh-aneh, yang dia dengar waktu di Jakarta. Kadang kala dia panggil, “Bu minta air minumnya dong!”… memanggilku dengan BU, meniru mbak Riana.
“Ngga… naik bus. Naik taxi mahal tau!”
“Yaaahhhh naik taxi deh… bu …bu…”
“Kalau panggil BU…kita naik sepeda. Kalau panggil mbak …kita naik bus. Ngga ada naik taxi!”
“Iya deh mbak…..”
(semua percakapan dalam bahasa Indonesia)

Begitulah Riku sudah pintar memakai bu, mbak, dan mas. Tapi aku belum pernah dengar dia memanggil papanya dengan mas hihihi.

Sampailah kami di penitipan Himawari, dan menjemput Kai. Tapi sebelum pulang naik bus lagi, aku ajak mereka bermain selama sejam di taman dekat halte bus stasiun. Taman Akashiya namanya.  Lumayan di sana ada luncuran dan parit kecil dengan air jernih mengalir. Hmmm aku senang tinggal di Tokyo karena ini. Meskipun kota sibuk, padat tapi pasti ada tempat biarpun kecil, yang menyajikan kesejukan. Pepohonan, gemericik air, dan teriakan anak-anak bermain. Sedikit waktu, sedikit usaha dan sedikit perhatian bisa membuat seisi keluarga di Tokyo terhibur menikmati alam. Dan… rasanya sakit kepalaku hilang selama aku berada di luar rumah.

kakak beradik mencuci kaki di parit yang jernih, dan di atas nya pohon bungur putih berbunga

Satu lagi yang aku lihat di taman itu, adalah sebuah gudang kecil berisi perlengkapan waktu gempa bumi seperti tenda dsb. Pemerintah daerah Nerima sudah menyiapkannya untuk warganya. Tentu saja itu disediakan/dibeli dari pajak yang kita bayar, tapi…. kami sebagai warga merasa terlindung dengan adanya jaminan ini.

gudang berisi peralatan untuk kondisi darurat setelah gempa
gudang berisi peralatan untuk kondisi darurat setelah gempa

Hipotesaku, aku sakit kepala karena reibobyou, penyakit akibat AC, udara kaleng, yang merupakan penyakit modern yang biasa menyerang waktu musim panas.

Well, sedikit demi sedikit irama hidupku memang harus disesuaikan dengan kehidupan di Tokyo. Yang pasti berdoa kenceng, semoga bukan virus flu babi…..

Tips

26 Agu

Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.

Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.

Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.

Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.

“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.

Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.

Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”

Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.

Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.

Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.

Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.

Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.

Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.

Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !

Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/06/18/418/Di.Balik.Sepiring.Banana.Split

Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.

Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.

Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)

Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.

Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….

sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche
sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche

Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.

Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.

Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.

Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban
Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban

Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.

Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)

Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.

Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.

Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!

Kissed by the SUN

25 Agu

Waktu aku datang pertama kali ke Jepang, sekitar bulan September tahun 1989 dalam acara karyawisata Program Studi Jepang FSUI, aku homestay di rumah keluarga Jepang. Yang lain berdua-dua, tapi entah kenapa (mungkin karena aku ketua kelompok) aku sendirian saja. Keluarga tempat aku menumpang mempunyai rumah yang cukup besar dan bagus, serta halaman ala Jepang yang terawat. Nah, di situ aku melihat sebuah pohon berbunga yang persis sama dengan pohon yang terdapat di halaman depan sebelum pintu masuk rumahku di Jakarta.

Sakura? “Wah tidak ada sakura yang berbunga di bulan September. Tumbuhan ini namanya Saru-suberi.”  Memang orang Indonesia tidak banyak yang tahu nama tumbuhan. Asal bentuknya seperti lonceng, maka semua bunga dinamakan Bunga Lonceng. Belum lagi setiap daerah, orang menyebut nama tumbuhan (dan hewan terutama ikan) bermacam-macam. Dan aku memang pernah dengar ada yang bilang bahwa tumbuhan itu adalah “Pohon Sakura”.

Saru-suberi, secara harafiahnya berarti kera tergelincir (saru = kera, suberu=terpeleset). Mungkin karena kulit pohonnya bisa berganti kulit, menjadi mulus sekali sehingga monyetpun akan terpeleset jika menaiki pohon itu. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini bernama Crape Myrtle sedangkan bahasa Indonesianya adalah BUNGUR… Sering dengar nama jalan Bungur, tapi baru tahu bahwa Bungur itu nama tanaman yang sebetulnya sering aku lihat (bahkan punyapohonnya di rumah).

Bunga-bunga pohon Bungur ini memang mekar sekitar bulan Agustus, sehingga sekarang banyak sekali bunga berwarna merah muda dan putih itu dapat dijumpai di rumah-rumah penduduk di daerah rumahku di Tokyo ini. Sambil bersepeda, sejuk rasanya memandang rimbunan bunga yang menggerombol ini.

Selain bunga pohon Bungur ini, yang masih tersisa dari musim panas di Tokyo adalah Bunga Matahari. Warna bunga yang kuning kontras ini memang menyilaukan, tapi jika kita lihat dengan berlatarkan langit biru….wow indah! Bahkan Van Gogh saja terpukau dengan keindahan Sunflower ini, sehingga menciptakan adikarya lukisan yang tidak terbayang harganya sekarang.

Bunga Matahari ini tingginya bisa sampai 3 meter dan diameter bunganya sendiri mencapai 30 cm. Biji bunga matahari enak dimakan, dan bukan rahasia lagi bahwa dari bunga matahari bisa dihasilkan minyak goreng. Sayang sekali bunga matahari ini hanya hidup di terik matahari sehingga bersamaan dengan berakhirnya musim panas, bunga ini juga tidak bisa dijumpai lagi.

Ada satu lagi hasil “pengamatan” saya waktu bersepeda di musim panas. Kalau pohon Bungur dan bunga Matahari ada di Indonesia, saya tidak yakin pohon ini ada di Indonesia. Bahasa Jepangnya KURI, chestnut atau kastanye. Kalau lihat buahnya jadi teringat rambutan. Tapi aku baru tahu bahwa bulu-bulu yang halus itu ternyata amat sangat menusuk! Sakit!!! Ini mah bisa dinamakan duri-an bener bukan rambut-an lagi hehehe.

Pantas, waktu saya bersepeda di sekitar pemukiman penduduk, ada tulisan di sebuah tanggul tanaman perdu, “Siapa yang menyebar kuri di sini, tahu rasa nanti” …Wah marah bener itu orang yang menulis, tapi aku bisa bayangkan sakitnya kalau tertusuk kuri, tanpa kita ketahui sebelumnya.

Padahal isi biji kuri ini amat enak jika dibakar. Rasanya? hmmm mirip seperti biji nangka yang direbus, tapi karena dibakar maka rasa “smoke” nya lebih kuat. Selain dimakan begitu saja setelah dibakar, bisa juga direbus atau dimasak bersama beras, menjadi nasi chestnut. Sering pula dijadikan bahan untuk kue yang bernama “Mont Blanc aux marrons”. Bagi yang suka chestnut, pilihan kue ini paling tepat. Tapi kuri ini baru bisa kami nikmati nanti setelah musim gugur berlangsung menjelang musim dingin. Berjalan bergegas menghalau dingin di bawah hamparan daun-daun menguning, membeli sebungkus chestnut bakar, dan membuka kulitnya yang hangat sambil menghangatkan tangan yang dingin…. hmmm… bau musim gugur sudah mendekat. Dan setelah itu…..

Ingat kan lagu ini?

Chestnuts roasting on an open fire,
Jack Frost nipping on your nose,
Yuletide carols being sung by a choir,
And folks dressed up like Eskimos.

(oi oi masih lama mel hihihi, saat itu si SUN udah ngumpet di belahan dunia lain)

sebagian foto-foto dan  keterangan diambil dari wikipedia.