Pasti saya akan dimarahi ahli matematika, karena sudah pasti 1+1 =2, bukan satu. Tapi jika Anda pernah mengikuti upacara pernikahan dengan cara agama katolik, maka pasti Anda pernah mendengar “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”(Markus 10:7)”
Bertambah lagi pasangan suami-istri di dalam keluarga besar Mutter, karena keponakan saya, Imma menikah dengan Ryggo, hari Minggu tanggal 3 Agustus yang lalu. Sudah lama saya tidak hadir dalam upacara pernikahan dalam keluarga besar kami karena saya berdiam di negeri lain. Dan dalam kesempatan ini, saya bisa menyegarkan kembali hubungan akrab yang pernah ada dalam keluarga kami. Memang biasanya pertemuan keluarga besar secara lengkap terjadi dalam dua “peristiwa” besar, yaitu kematian dan perkawinan. Hal ini sama juga dengan masyarakat Jepang, namun bedanya, jumlah anggota keluarganya berbeda. Sehingga terasa lebih cepat kita berjumpa dengan keluarga di Indonesia daripada dengan keluarga di Jepang.
Misa pernikahan dilaksanakan di gereja St Monika, BSD. Untung saja jalan menuju BSD dari rumah tidak macet, sehingga otomatis dalam 45 menit kami bisa sampai di sana (tentu saja dengan bertanya kanan-kiri untuk kepastian letak gereja). Misa dimulai pukul 1 siang, dan terus terang…. panas. Gereja ini tidak ber-AC, sehingga setelah sepuluh menit mengikuti misa, Riku menjadi gerah dan mulai merayuku untuk diperbolehkan pergi ke luar (sabar nak, di luar lebih panas daripada dalam ruangan!). Misa selama 2 jam ini dimeriahkan dengan alunan lagu-lagu dari paduan suara yang katanya sering menjuarai festival choir. Bagus… tapi menurut saya terkadang lagu yang dinyanyikan tidak cocok untuk dinyanyikan dalam gereja. Teringat akan Oma Poel F, pemimpin paduan suara Cavido, yang boleh dikatakan “cerewet” dalam pemilihan lagu. Misalnya lagu “Tonight I celebrate my love” rasanya tidak pantas dinyanyikan dalam misa…. entahlah, mungkin saya ini oldefo. Tapi memang perlu memikirkan juga kepantasan suatu lagu, untuk dinyanyikan pada suasana yang sakral itu.
Tapi ada satu lagu pop yang saya suka, dan karena dinyanyikan pada akhir misa, saya rasa tidak menjadi masalah. Berjudul “Congratulation” (dan ternyata berkat bantuan Mas Google ku…lagu dari Cliff Richard)
Congratulations and celebrations
When I tell everyone that you’re in love With me
Congratulations and jubilations
I want the world to know I’m happy as can be.
Who could believe that I could be happy and contented
I used to think that happiness hadn’t been invented
But that was in the bad old days before I met you
When I let you walk into my heart
Congratulations…
I was afraid that maybe you thought you were above me
That I was only fooling myself to think you loved me
But then tonight you said you couldn’t live without me
That round about me you wanted to stay
Congratulations…
Tak terasa badan ingin ikut bergoyang menyanyikan lagu ini. Hey, memang upacara pernikahan itu haruslah menggembirakan. Tapi….. jangan sampai mengikuti misa tanpa makan deh. Aku sendiri baru sadar bahwa aku belum makan apa-apa sejak pagi dalam misa, karena merasa pusing. Tapi dasar anak-anak, Riku terus-terusan berkata,”Mama kapan pulang? aku lapar…” Dan celakanya aku tidak bawa apa-apa dalam tas. Repot deh membujuk dia untuk bisa sabar. Dan memang misa 2 jam lama untuk dia, yang masih anak-anak, dan yang otomatis tidak mengerti apa-apa karena semuanya bahasa Indonesia.
Tapi laparnya seketika hilang, ketika dia bertemu misan-nya (katanya tidak boleh pakai istilah sepupu untuk anak-anak dari dua saudara sepupu, hmmm bahasa Indonesia ribet juga yah) bernama Timmy. Lalu dia tanya,
” Mama aku punya banyak misan?”
“Iya dong, kan mama punya banyak sepupu. Itu kakak-kakak yang dududk di situ semua misan-nya Riku.”
“E……. Yatta…. Aku punya banyak misan…. ”
Hmmm kalau dipikir, senang ngga sih punya banyak misan, banyak saudara? Kalau di Jepang memang ‘jumlah’ saudara itu sedikit, dan jaraaaaaaang sekali bisa bertemu. Kalau di Indonesia, keluarga dekat saja setiap ada pesta keluarga minimum datang 50 orang -100 orang. Jadi saya juga terbiasa masak untuk 100 orang (hmmm dulu pertama nikah sulit sekali masak “sedikit”) . Untuk Riku, punya misan/saudara banyak menggembirakan karena bisa bermain.
Riku senang sekali waktu keluar dari gereja mendapatkan “bekal” dalam kotak yang apik. Dia bilang,
“Mama, nanti di jepang, aku mau bawa bento pake ini aja”
“Ok,nanti mama taruh di situ ya makanannya Riku.”
“Tapi aku mau minta satu lagi untuk Kai”
Opanya dengar jadi jatah Opanya dikasih ke dia…. Lucu juga dengarnya. Tapi memang kemasannya apik sih, aku juga suka lihatnya.
Karena Opa masuk angin dan Oma kecapekan dua hari berturut-turut ikut acara, jadi malamnya Aku, Riku, Novi dan Chris saja yang pergi ke resepsinya. Di situ bertemu dengan Kepala Clan Mutter, Om Lody, opanya pengantin wanita. Dari Keluarga Mutter yang sepuh tinggal Om Lody, mama, Tante Dina dan tante Reny yang di USA. Terasa banget sepinya….soalnya biasanya kalau keluarga Mutter kumpul pasti ramai oleh canda tawa, meskipun dalam upacara kematian. Tinggal generasi aku yang boleh dibilang jarang ngumpul juga yang harus menjaga kerukunan keluarga besar Mutter ini.
Yang mngejutkan aku adalah aku tidak bisa mengenali beberapa saudara yang memang sudah lebih dari 20 th pindah ke luar negeri. Sesudah acara foto-foto bersama keluarga selesai aku heran juga ada seorang pemuda bule ganteng yang dikerubuti cewe-cewe pager ayu…hmmm coba masih muda akunya, pastilah aku ikutan ngerubutin hehehe. Wah ternyata si pemuda bule itu adalah keponakan jeh…. ngga jadi lah…. hehehe.
Berhubung bapaknya sang manten wanita bekerja di Bir Bintang, tersedialah stand BIr Bintang dan Green Sands. So Mama kampai dengan Riku deh. Tentu saja Riku tidak boleh minum bir ya (kalau mama boleh karena sudah 20th ke atas….–di Jepang merokok dan minuman keras baru boleh setelah 20 th ke atas)
Entah kapan kita bisa bertemu lagi, tapi yang penting sekarang saya harus menghafal nama keponakan-keponakan dan bersiap dipanggil “Oma” huh.