Pagi ini seperti biasa aku antar Riku ke TK naik sepeda. Hari yang cerah, meskipun diberitakan bahwa pagi ini adalah pagi yang terdingin di Tokyo. Jam 8 pagi yang terang benderang saja masih menunjukkan 8 derajat. Tapi karena ada sinar matahari, terasa hangat dan sekaligus menyilaukan mata.
Jarak dari rumah ke TK Riku amat dekat jika dengan sepeda. Biasanya saya melewati jalan kecil dulu baru keluar di jalan besar. Persis di mulut jalan kecil itu ada penjual sayur hasil ladangnya sendiri. Akhir-akhir ini dia menjual broccoli, kol, buah kesemek (dalam bahasa Jepang :Kaki), dan daikon atau Lobak. Semua harganya satu 100 yen, jauh lebih murah daripada toko, dan lebih besar dan segar. Biasanya saya mampir ke sini waktu pulangnya, karena jika saya beli waktu pergi,saya kasihan pada sepeda saya. Lebih dari Hampir 100 kg sudah dia angkut masih musti ditambah dengan lobak dan kol yang berat.
Keluar ke jalan besar, saya harus menyeberangi sekolah Luar Biasa, penyandang cacat mental, atau sering disebut anak terbelakang yang bahasa Jepangnya merefer ke chiteki shogai (gangguan pada pengetahuan/otak). Di situlah saya melihat pemandangan ini. Seorang ibu yang mengantar anaknya bersekolah ke situ pasti menggandeng tangan anaknya. Meskipun kadang anaknya lebih besar dari ibunya, sang ibu dengan sabarnya menggandeng tangan anaknya, entah dia laki-laki atau perempuan. Memang perbuatan anak-anak ini tidak dapat diprediksi… tiba-tiba bisa melompat ke jalan (dan mengganggu pemakai jalan lainnya — yang menurut saya tidaklah usah disebut mengganggu, hanya membuat kaget) , berteriak-teriak dan menangis. Hanya dengan perbuatan menggandeng tangan saja, si anak menjadi tentram dan tenang. Betapa besar arti “gandengan tangan” ini bagi si anak dan juga bagi si ibu. Tapi benarkah gandengan tangan itu hanya berarti untuk mereka? Hmmm kita yang normal pun akan merasa senang digandeng tangannya atau bergandengan tangan terlepas si teman itu pacar atau bukan. (Kalau pacaran tidak gandengan tangan juga rasanya aneh ya…) Dengan kehangatan yang menjalar dari tangan teman kita, saudara kita, anak kita, orang tua kita…. seakan memberikan energi baru yang bisa membuat kita lebih bersemangat menghadapi kegiatan satu hari. Untuk orang Indonesia mungkin bisa berpelukan di depan umum (bagi anak dan orang tua), tapi di Jepang tidak bisa. Dicap aneh. Karena itu saya rasa gandengan tangan ini bisa menjadi satu solusi untuk salah satu skinship yang bisa jalankan dengan baik di Jepang.
Sambil mengayuh memutari sekolah LB itu, saya berpapasan dengan orang tua murid lain yang sudah mengantarkan anaknya dan kembali pulang ke rumah. Biasanya mereka bersepeda juga, dan dari jauh mereka biasanya sudah tersenyum dan jika mendekat akan mengucapkan, “Ohayo…itterasshai….” (Pagi…. selamat pergi!” Mau tidak mau, kita akan ikut tersenyum dan menyapa kembali. Atau kadang kala ada yang buru-buru dan tidak sempat menyapa, dia hanya mengangkat tangan dan melambaikan tangan. Suatu gesture yang sederhana, tapi juga membuat hati hangat. Dan beberap hari terakhir, saya melihat perkembangan dalam diri Kai yang duduk di keranjang di atas roda depan sepeda. Dia pasti ikut mengangkat tangannya membalas sapaan ibu-ibu tadi, seakan mewakili mamanya, yang sering tidak membalas, karena takut keseimbangan bersepeda terganggu. Dan biasanya ibu yang memperhatikan Kai itu akan bilang, “Oriko dane…”(Anak baik ya….). Anakku sudah mulai berinteraksi di masyarakat.
Sudahkah Anda tersenyum pagi ini? Atau melambaikan tangan pada seseorang? Mungkin sulit untuk bergandengan tangan, tapi apakah akhir-akhir ini ada orang yang Anda gandeng tangannya? Atau cukup dengan sapaan, “Selamat Pagi…..”
Indah dan cerah harimu Teman. (Kupinjam frase yang bagi saya merupakan royaltinya Yoga. Hai Yoga, Indah harimu dik!)