IBSN: Kapan Anda Merasa Orang Indonesia?

25 Jan

Ya sebuah pertanyaan yang mudah, tapi mungkin agak sulit dijawab oleh orang Indonesia. Karena belum ada standar yang pasti ciri-ciri khas orang Indonesia. Adanya ciri khas orang dari suku Jawa, Sumatra, Bali dll. Mungkin sebuah survey yang dilakukan pada orang Jepang ini bisa menjadi semacam “referensi” bagi kita. Ini adalah sebuah hasil angket terhadap pertanyaan, Kapan Anda merasa bahwa ternyata Anda memang orang Jepang.

  1. Merasa bahagia waktu minum sup miso.
  2. Merasa relaks waktu masuk ke dalam pemandian air panas (hot spring)
  3. Merasa bahagia waktu minum teh hijau
  4. Merasa “at home” waktu mencium bau tatami
  5. Makan acar Jepang
  6. Tidur di kasur Jepang di lantai/tatami
  7. Mendukung tim Jepang dalam pertandingan olah raga
  8. Berkata,”Kereennnn ” waktu melihat orang memakai kimono
  9. Kalau terus menerus makan roti, jadi ingin sekali makan nasi
  10. Membungkuk -bungkuk waktu menelepon
  11. Memperhatikan kapan waktu sakura mekar
  12. waktu makan umeboshi (buah plum kering)
  13. Merasa senang waktu mendengar suasana festival (matsuri)
  14. Merasa minder waktu diajak omong orang asing
  15. Menyesuaikan dengan orang lain pada waktu rapat
  16. Merasa bersyukur waktu melihat gunung Fuji
  17. Memperhatikan kapan waktunya bisa melihat pemandangan daun berubah di musim gugur
  18. Secara tidak sadar memilih rasa Maccha (Green tea) misalnya es krim dsb.
  19. Selalu mengatakan “Barang tidak berguna” waktu menyerahkan hadiah pada orang lain
  20. merasa senang waktu bisa duduk menekuk lutut meskipun di atas kursi (Seiza= duduk ala jepang atau ala pendeta buddha)

Kadang kala saya merasa saya sudah menjadi orang Jepang, yaitu waktu masuk hot spring (2), makan acar Jepang (5), suka melihat orang pakai kimono (8), membungkuk waktu menelepon (10), senang mengikuti festival terutama taiko -gendangnya (13), melihat gunung Fuji (16) , dan (18) serta (19). Tapi nomor 10 memang sering dikatakan ibu saya, karena saya tidak sadar melakukannya.

Nah, sebagai orang Indonesia, kalau mengacu pada angket itu, apa ya? Makan sambal, mendukung tim Indonesia, senang melihat orang berkebaya, merasa bersyukur melihat pohon kelapa (di Jepang tidak ada pohon kelapa) dan bertelanjang kaki. Mungkin masih ada yang lain, tapi untuk sementara cukup sekian. Bagaimana teman-teman, kapan Anda merasa bahwa Anda itu orang Indonesia (terutama dalam pergaulan dengan orang asing)?

Desa Setengah Hari

25 Jan

Kenapa namanya desa Setengah Hari? Ya, karena desa itu hanya “hidup setengah hari saja”. Kalau desa-desa lainnya, bangun pada terbitnya matahari kemudian bekerja dan kembali ke rumah untuk beristirahat pada waktu petang selama kira-kira 12 jam, maka desa Setengah Hari ini hanya menikmati “matahari” selama 6 jam saja. Sedangkan malamnya 18 jam.

“Brrrrr dingiiiiinnnnn. Saya akan memulai menceritakan sebuah desa yang bernama “Desa Setengah Hari”. Baruuuuu akan mulai cerita saja, saya sudah menggigil. Desa itu adalah desa yang dingiiiiin. Habis, di desa itu hanya setengah hari saja terangnya. Loh, kenapa kok setengah hari? Ya, di belakang desa itu ada sebuah gunung yang amat tinggi. Pagi hari waktu sang matahari terbit, karena tertutup gunung itu, sinarnya tak terlihat. Setelah tengah hari, akhirnya matahari yang sudah tinggi menampakkan wajahnya dari balik puncak gunung itu. Barulah desa itu menjadi terang…. menjadi pagi. ”

Begitulah baru pada tengah hari, pagi datang dan segala kehidupan di desa itu berjalan. TAPI, pagi itu hanya sebentar karena segera menjadi senja. Dan jika senja hari tiba,  angin bertiup dari danau yang berada di muka Desa Setengah Hari itu menyebar ke seluruh desa dan mebuat desa itu menjadi dingin. Kehidupan terhenti. Apalagi pagi yang ditanam di desa itu, tidak cukup matahari sehingga hasil produksi padi hanyalah setengah dari jumlah produksi padi desa lain. Akibatnya penduduk desa itu semua kurus,pucat dan lemah.

Di desa itu hidup seorang anak bernama Ippei. Pada suatu malam dia mendengarkan percakapan kedua orang tuanya. Yang membicarakan tentang desa mereka yang aneh. Seandainya tidak ada gunung itu… apa daya gunung tak dapat dipindahkan!

Keesokan harinya Ippei naik ke gunung membawa kantung. Mengisi kantungnya dengan bebatuan dari gunung itu, lalu menuruni bukit menuju ke danau. Dibuangnya bebatuan itu ke dalam danau. Setelah beberapa kali melakukan itu, siang pun tiba. Teman-teman Ippei melihat Ippei melakukan sesuatu yang aneh dan bertanya, “Ippei kamu ngapain?”

“Aku mau membenamkan gunung itu dalam danau!”

“GILA!” semua temannya menertawakan Ippei. Namun Ippei tidak peduli dan terus melakukan pekerjaannya. Memindahkan bebatuan gunung ke dalam danau. Setiap hari!

Lama kelamaan teman-teman Ippei melihatnya, menjadi ingin tahu dan ikut-ikutan membawa kantung serta meniru Ippei. Satu-dua orang lama kelamaan seluruh teman Ippei melakukannya karena tidak mau ketinggalan.

Orang dewasa yang melihat kelakuan anak-anaknya berkata, “Goblok, kalau mau mengangkut batu jangan pakai kantung! Pakai karung seperti ini!” Lalu kalau mau menggali, caranya begini. Satu-dua orang dewasa mulai mengajari anak-anak itu. Dan lama kelamaan semua orang dewasa ikut mendaki gunung dan memindahkan bebatuan itu ke dalam danau. Karena jika dia saja tidak ikut, merasa dikucilkan dari kegiatan desa. Dan perasaan matahari timbul lebih cepat dari biasanya!

Bertahun tahun mereka melakukan itu. Orang dewasa meninggal dan  Ippei yang kanak-kanak menjadi dewasa. Namun kegiatan itu tidak terhenti. Anak Ippei dan teman-temannya sebagai ganti bermain, mengusung bebatuan dari atas gunung dan memindahkannya ke danau.

Sampai suatu pagi, ketika ayam berkokok, matahari pun menyinari seluruh desa Setengah Hari. Puncak gunung menjadi datar, dan danau yang ditimbuni batu-batu gunung itu luasnya menjadi setengahnya. Di atas setengah danau itu pun dijadikan sawah. Dan sejak saat itu Desa Setengah Hari berubah nama menjadi desa Sehari.

NOTHING IS IMPOSSIBLE!

“Desa Setengah Hari” Hannichi Mura, (1400 yen) diterbitkan tahun 1980 oleh penerbit Iwasaki Shoten. Pengarangnya Saito Ryusuke (cerita) dan Takidaira Jiro (hangga). Cerita ini langsung masuk dalam buku teks pelajaran di Sekolah Dasar Jepang. Hangga adalah seni cetak dengan memakai cetakan cukilan kayu (seperti cap) . Salah satu jenis seni rupa Jepang yang menggugah kesenian global. Jika Anda pernah mendengar UKIYO-E maka itu adalah salah satu hasil hangga.

Isi cerita diterjemahkan dan dirangkum oleh Imelda.

NB: Saya mendapat buku ini dari mantan murid saya Kuchiki Keiko, yang bercita-cita membuat perpustakaan bahasa Indonesia di Tokyo. Dia banyak menulis puisi dalam bahasa Indonesia, dan sempat belajar bahasa Jawa di UGM, setelah selesai menamatkan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) UI. Juga pernah membantu mendirikan perpustakaan di salah satu desa di Sumba. Sayang sekali saya sudah lama tidak berjumpa yaitu sejak saya mulai hamil Kai. Terakhir saya mendapat kartu tahun baru yang menuliskan bahwa dia juga sering membaca blog ini. Kuchiki san, apa kabar?