Smartphone yang Memperbodoh

23 Mei

Huhuhuhu kangen ingin menulis banyak. Tapi biasanya kalau aku mempunyai keinginan untuk menulis banyak itu justru tidak akan terlaksana karena aku perlu mengedit foto atau mencari keterangan tambahan lainnya, sehingga akhirnya tidak tertuliskan! Begitulah kalau punya sifat maunya sempurna ya…. Benar-benar harus dilawan. Dan kebetulan malam ini aku punya sedikit waktu luang untuk keluar dari “kegalauan tak bisa menulis” 😀

Hari ini, sebetulnya, selain ingin melanjutkan catatan PkS, aku ingin menulis tentang dua topik: Tugas Kai dan Smartphone. Mumpung masih hangat, aku tulis yang smartphone dulu ya.

Kamu sadari tidak, bahwa smartphone atau internet itu mempunyai dampak yang saling bertolak belakang. Di satu pihak kamu bisa menjadi pintar, karena jika ingin mengetahui apa saja, bisa cari melalui mbah Google (atau mesin pencari lainnya) dan voila... ketemu. TAPI, ada tapinya nih.

Dengan adanya smartphone/internet ini kamu menjadi MALAS berpikir, MALAS mencari lewat buku atau kamus/ensiklopedia, dan gawatnya jadi MALAS BELAJAR. Pikirnya toh bisa googling kalau perlu. Dan ini gawat loh….. Teleponnya sih SMART tapi kitanya, manusianya jadi BODOH! Dan kelihatannya sisi negatif ini yang menjadi tambah parah, terutama di kalangan mahasiswa (di Jepang).

Beberapa hari yang lalu aku sempat kaget melihat teman dosen yang mengupload foto mahasiswa dalam kelasnya yang memotret papan tulis whiteboard. SEMUA mahasiswanya, tidak ada yang tidak mengarahkan smartphonenya ke whiteboard. Kupikir untung sekali mahasiswaku di dua universitas tidak ada yang begitu. Mereka masih menulis di kertas fotokopi yang kubagikan. Meskipun aku sempat kaget sekitar 2 tahun waktu ada anak yang menanyakan email aku untuk mengirim tugas. Aku tuliskan emailku yang pendek dan mudah itu di papan, kemudian si mahasiswa MEMOTRETnya! Kaget aku. Aku sendiri jika ingin mengambil jalan pintas (tidak mau menulis di kertas) akan menulis langsung di kolom email dan kirim email kosong untuk meyakinkan bahwa emailku sudah sampai. Sejak 2 tahun itu aku mulai melihat kecenderungan mahasiswa yang malas mencatat dan hanya memotret tulisan di papan tulis (ke dua universitas tempatku kerja masih memakai papan tulis dengan kapur). TAPI tidak ada yang memotret bahan kuliah serentak. (Mungkin tidak keburu karena aku cepat menghapus tulisanku ya hehehe)

Manusia emang pintar menggunakan gadget yang ada. Tapi ada kalanya dengan kemudahan-kemudahan itu, manusia akan bertambah BODOH! Salah satunya dengan contoh yang akan kuberikan di bawah ini.

Pada test menerjemahkan kalimat bahasa Indonesia, aku mengeluarkan soal yang SEHARUSnya diterjemahkan secara harafiah saja: 私はちょっと疲れたが、元気です Saya sedikit capek tapi sehat. Memang soal tentang kata sifat: capek (tentu saja yang benar dan baku itu capai, tapi mana ada orang Indonesia sekarang tahu bahwa yang benar itu capai? hehehe) dan sehat. TAPI ada mahasiswaku yang menjawab begini: Aku sedikit lelah, tapi saya baik-baik saja.

Waaaaah begitu aku baca jawabannya, aku sampai teringat lagunya RATU yang berjudul Aku baik-baik saja hahahhaa. Kupikir pintar sekali dia! Tapi jelas dia pakai internet/smartphonenya. Aku memang membolehkan mahasiswa membuka catatan/diktatnya masing-masing, tapi smartphone? A big NO!

Dan memang kalau aku cari lewat google translator akan keluar seperti ini:

nah loh…. kamu KETAHUAN! 😀

O o o kamu ketahuan! Aku selalu katakan pada mahasiswaku bahwa translator engine itu PARAH! Kalau toh mau pakai kamus online, carilah kata per kata, lalu SUSUN sesuai apa yang sudah dipelajari. Aku tidak minta smartphone yang belajar kok! Kalau tidak mau belajar ya jangan jadi mahasiswa. Setiap kali aku selalu mengingatkan mereka: “Saya tahu siapa yang menerjemahkan dengan translator. Jadi kalau tidak mau nilainya dikurangi, jangan pakai!” Dan tentu saja yang pakai smartphone dalam kelas itu adalah mahasiswa yang sering absen, tidur dalam kelas atau tidak perhatian dalam pelajaran. Sulit mengendalikan mahasiswa sebanyak 60 orang dalam kelas memang, dan aku tidak bisa mengumpulkan smartphone mereka sebelum kuliah dimulai. Seperti anak SD/SMP/SMA saja kan? Beberapa usaha yang kulakukan supaya mereka tidak mencontek teman atau smartphone adalah dengan ngider/ berjalan berkeliling atau membuat dua soal yang berbeda (diacak soalnya) sehingga tidak bisa lirik kanan/kiri. Atau sekaligus membuat soal yang banyak untuk diselesaikan dalam waktu terbatas. Mahasiswa yang perhatian pasti bisa, tapi yang tidak memperhatikan kuliah pasti KO 😀 Dan sepertinya aku harus menanyakan pihak universitas apakah aku bisa menyuruh mahasiswa memasukkan smartphonenya dalam kardus sebelum kuliah dimulai, terutama waktu test. Hmmm mungkin pihak Universitas akan membolehkan, tapi akunya yang MALAS hahaha (tertular si smartphone deh). Mendokusai! Repot kan mengumpulkan 60 HP sebelum kuliah mulai…. pasti makan waktu 😀

contoh lain “keanehan” terjemahan karena pakai smartphone. dan ya! aku jadi kesal dan terpaksa marah di kelas 🙁

So…. kamu mahasiswa? Belajarlah dan jangan mengkhianati gurumu yang sudah memberi kepercayaan padamu. Kamu dosen? Ada tips apalagi nih untuk menghadapi mahasiswa modern macam ini. Dan ya, sepertinya aku tidak bisa lagi terus menjadi guru BAIK, harus jadi guru yang GALAK nih! hihihi.

PS: sorry curhatan profesi nih

tambahan hasil endapan dan komentarku terhadap pendapat untuk mengumpulkan HP sebelum kuliah:

aku tahu bahwa ada beberapa anak yang main game. Kalau internet sudah lama tahu. BAHKAN ada yang nonton! menyebalkan. Kejadian ini TIDAK terjadi pada kelas yang hanya diikuti 20-30 orang (bahkan 40 orang), tapi kalau sudah kelas besar di atas 40 orang… nah! Mulai kelihatan sejak tahun lalu, dan aku sendiri sudah mengaplikasikan beberapa cara ujian yang mengijinkan pemakaian internet karena memang sudah aku buat sulit sekalian. Tapi kalau pakai translator langsung ketahuan dan nilainya dikurangi SETENGAH! hahaha. Aku tidak mau membuat mahasiswa menjadi murid SD, karena aku tahu juga kadang aku melihat smartphone untuk melihat jam. Lalu ada alert gempa yang berbunyi kan? penyakit deh! 依存症 addicted!

Aku sedang memikirkan cara win win solution, yang tidak merepotkan aku juga untuk mengawasi HP^HP ini (kalau ada yang jatuh atau rusak nanti aku di-sue lagi hehehe). Minggu depan aku akan coba bagikan amplop coklat ke setiap anak sebelum kuliah dan minta mereka memasukkan HP nya ke dalam amplop lalu lipat dan taruh di meja bagian depan. satu jam saja!

Kemarin aku marah karena aku tahu banyak yang tidak mengikuti penjelasanku. Lalu aku selesaikan kelas lebih cepat dan mengatakan minggu depan test yang baru kujelaskan itu tapi boleh buka buku/catatan. Tiba-tiba ada mahasiswa datang dengan fotokopian KOSONG tanpa coretan dan bilang, “Sensei bisa kasih tahu ini artinya apa?” WHAAAAT aku musti ulang penjelasan tadi untuk dia saja? Kalau beberapa kata OK aku biasanya layani, tapi ini SEMUA! Buset deh, aku langsung marah dan bilang, “Apa? semua? IYADA! Saya mau cepat pulang!” dan pergi tinggalkan dia. Biar saja dia cari jalan bagaimana mengetahui terjemahan apa yang kujelaskan tadi. Masalah penggunaan smartphone di kuliah sudah mulai gawat, dan biasanya dosen acuhkan. Pikirnya toh mereka (mahasiswa) sudah dewasa. Aku mau coba galak dulu di kelasku sambil soudan (diskusi) dengan administrasi univ untuk memberitahukan tindakanku supaya jangan dipersalahkan nanti kalau ada apa-apa. Misalnya, ada berita duka dari keluarga yang harus segera diketahui tapi tidak bisa karena aku suruh matikan HP dll (aku selalu pikirkan segala kemungkinan sih).

Wish me luck!

 

[PkS] Kereta Super Express – Shinkansen

17 Mei

Shinkansen biasanya diterjemahkan sebagai kereta super express, tapi dengan informasi mengenai Jepang yang sudah membanjir di Indonesia, hampir semua “pemerhati Jepang” sudah tahu mengenai shinkansen, jadi dengan tetap memakai kata shinkansen pun sudah bisa dimengerti.

Seperti yang kutulis di Perjalanan ke Selatan (PkS), aku naik shinkansen untuk mengadakan perjalanan ke Kyushu. Aku ingat dulu mama juga berbangga sudah naik shinkansen sekitar th 1970-an akhir waktu dia ke Jepang. Dan olehnya, Shinkansen diterjemahkan menjadi Bullet train (yang naik sih ngga semua bulet hehehe, canda!). Aku sendiri waktu pertama kali ke Jepang tahun 1988-an juga sudah pernah naik shinkansen dari Tokyo ke Osaka selama 3 jam. Kesanku waktu itu: naik shinkansen itu sama dengan naik pesawat, karena interiornya bagus. Sampai waktu aku duduk, sempat mencari-cari seat belt 😀 Bedanya ya masih bisa melihat pemandangan (bukan awan saja) di luar jendela.

Ternyata nama shinkansen itu sudah dirintis mulai tahun 1940, namun yang merupakan kereta super express dengan kecepatan 210 km/jam itu dimulai tahun 1964, tahun diadakannya Olimpiade di Tokyo. Dan itu berarti 50 tahun lalu!! Sejarah Shinkansen sudah setengah abad. Hebat euy…. Sekarang kecepatan shinkansen mencapai 320 km/jam, bahkan sudah ada uji coba SCMaglev yang membuat kereta dengan kecepatan 581km/jam, yang konon menjadi kereta tercepat di dunia.

Kalau teman-teman berencana datang ke Jepang, silakan mencoba naik shinkansen, yang juga terkover dengan karcis railway JR seminggu yang dijual di Jakarta (kalau tidak salah seharga 29.111 yen naik kereta JR ke mana saja selama seminggu, bisa cari keterangannya di sini). Karena kalau beli di Tokyo di loket biasa dengan harga yang sama hanya dapat tiket shinkansen pp Tokyo-Osaka saja untuk satu kali pakai. Tapi memang dengan tiket itu tidak bisa naik Nozomi (yang paling cepat tanpa berhenti di kota kecil), tapi cukuplah dengan jalur Hikari, sama-sama cepat :D.

karcisku untuk gerbong reserved, karena ada juga gerbong yang free, tapi berarti harus antri di depan gerbong lebih lama supaya bisa dapat tempat duduk. Reserved memang lebih mahal. Tertulis juga perkiraan tiba di stasiun tujuan.

Satu hal yang perlu diketahui juga, shinkansen selain super cepat, juga super TEPAT waktu! Di karcisku tertulis keberangkatan jam 09:13, dan tentu 10 menit sebelumnya aku dan anak-anak sudah berdiri di depan pintu gerbongku menunggu petugas membersihkan bagian dalam shinkansen yang baru saja tiba. Petugas yang sudah terlatih ini konon bisa membersihkan satu gerbong dalam waktu 7 menit dan selalu dipuji orang asing yang melihatnya. Kalau mau melihat bagaimana mereka membersihkan dalam 7 menit silakan buka Youtube ini: https://www.youtube.com/watch?v=rFXi1cM9vO0

Kami boleh masuk ke dalam gerbong kami setelah gerbong bersih, dan teeet jam 9:13 shinkansen berangkat. Konon keterlambatan shinkansen hanya 36 DETIK, yang sudah termasuk gangguan cuaca. Kecelakaan? Tentu pernah ada kecelakaan yang terjadi karena badai dan gempa bumi (3 kali) tapi tidak ada penumpang yang cedera. Shinkansen sendiri dilengkapi sensor gempa sehingga otomatis berhenti jika ada gempa. Kalaupun ada korban meninggal akibat shinkansen, itu adalah orang yang mau bunuh diri dan melompat dari/ke arah shinkansen.

menaiki shinkansen bersama Riku dan Kai. Untuk Riku yang ke3, sedangkan Kai yang ke2 kalinya. Pemandangan sepanjang perjalanan menggambarkan lokasi daerah yang kami lewati. Ada gunung, ada pelabuhan….

Kami bertiga duduk satu baris dan memang yang membedakan shinkansen dengan pesawat itu ruang untuk kakinya begitu lebar sehingga kami bisa menaruh tas di depan kaki, tanpa harus bersempit-sempit. Tentu saja tas bisa kami taruh di atas rak, tapi aku biasanya malas taruh di atas. Angkatnya itu loh yang tidak kuat, takut sakit pinggang hehehe. Maklum sudah tua sih.

Nah setelah kami duduk, mulai deh masing-masing klutekan dengan hobinya masing-masing untuk “membunuh” waktu 5 jam perjalanan. Yang pasti aku bobo, Kai bermain nintendo ds nya, dan Riku membaca buku. Riku memang sedang getol-getolnya membaca, sehingga dalam perjalanan 6 hari ke Kyushu pun dia membawa 5 buku di dalam ransel. Tentu saja aku dukung, sepanjang bukan aku yang harus gendong ransel itu 😀 Eh… tapi aku membelikan dia tas (koper kecil) geret kok, sehingga barang berat bisa dia masukkan ke dalam tas itu.

wastafel yang dilengkapi dengan tirai untuk memberikan privacy bagi pengguna

Yang aku senang aku menemukan stop kontak untuk mencharge HP/komputer di bagian bawah shinkansen. Konon tidak semua shinkansen menyediakan stop kontak. Jalur yang kami naiki juga menyediakan wifi tapi aku tidak pakai karena toh HP ku sudah terkonek internet terus. Meskipun aku membawa power bank, senang sekali melihat tersedianya stop kontak di dalam shinkansen.

stop kontak di dalam gerbong di bagian bawah kaki. Ingat, listrik di Jepang 100Volt

Ntah kebetulan atau tidak, WC di gerbongku sangat bersih dan modern. Katanya tidak semua shinkansen mempunyai WC khusus disable sebesar dan secanggih ini. Kalau bersihnya sih bisa dijamin, karena aku hampir tidak pernah menemukan WC shinkansen yang kotor. Biasanya yang mengotori kan penumpangnya sendiri hehehe, sehingga WC itu pasti bersih kalau baru berangkat. Kalau sudah lewat beberapa jam, ya tidak tahu yah 😀

wc untuk disable (dan bisa digunakan siapa saja) dekat gerbongku. Bersih dan canggih

Oh ya, satu lagi yang perlu kutulis adalah tentang penjualan makanan/minuman dalam shinkansen. Papaku selalu memesan unagi bento (nasi belut) di dalam shinkansen yang dia tumpangi. Gen juga sempat mengingatkanku untuk membeli bento saja di dalam shinkansen. Memang sedikit lebih mahal daripada bento yang dijual di stasiun, tapi konon “naik shinkansen = makan bento khusus yang hanya dijual dalam shinkansen”. Tapi untuk membeli bento ini, kita sendiri yang harus memperhatikan kapan si Shinkansen Lady ini membawa cart dan warawiri di lorong gerbong, karena dia tidak shitsukoi (cerewet) menawarkan dagangannya. Aku sendiri sempat membeli kopi panas untukku dan coklat untuk anak-anak dari Shinkansen Lady ini. Bentonya aku sudah beli di stasiun sebelum naik karena cukup banyak waktu luang.

tempat menyimpan kursi roda, dan sebelahnya kotak sampah terbakar (kertas) dan tidak terbakar (kaleng/pet botol)

Pelayanan lainnya adalah penyampaian nama stasiun perhentian dengan bahasa Jepang dan bahasa Inggris serta tulisan di display atas pintu. Jadi kalau turun di tengah-tengah pun tidak usah takut untuk ketinggalan (baca: kebablasan) turun di stasiun tujuan. Untung saja kami turun di stasiun terakhir yaitu Hakata yang menjadi tujuan dari kereta Nozomi #159.

display nama stasiun tujuan di atas pintu, ditambah pengumuman dalam bahasa Jepang dan Inggris.

 

GW 2014

16 Mei

(Rampungkan dulu tulisan yang separuh jadi)

Bagiku sebetulnya Golden Week tahun ini cukup lama. Part 1 yang hanya tgl 29 April kami lalui dengan beristirahat di rumah saja. Tgl 30 kembali bekerja, tapi tgl 1 dan 2 Mei universitasku tempat bekerja meliburkan semua perkuliahan, jadi aku libur dong. Anak-anak SD semua bersekolah seperti biasa sih. Sayangnya aku sakit sehingga hanya bisa keluar rumah tgl 2 Mei untuk lunch bersama adikku.

Part 2 nya dimulai tgl 3 sampai 6 Mei, 4 hari berturut-turut. Kupikir Gen bekerja, karena memang waktu kutanya bagaimana rencana GW, dia khawatir harus bekerja terus. Karena itu aku juga tidak membuat rencana apa-apa, paling-paling bermain dengan anak-anak di tempat yang dekat. TAPI ternyata Gen memutuskan untuk libur 4 hari penuh. Mau tahu sebabnya?

Persis sebelum GW part 2 itu, ada seorang professor yang kehilangan ayahnya. Dalam emailnya dia menyesal tidak membuat waktu lebih banyak lagi bersama ayahnya yang sudah tua. Dia lebih banyak memakai waktu untuk bekerja. Sebuah penyesalan yang terlambat, tapi “biasa” terjadi di Jepang. Karena itu boss nya Gen mengingatkan bawahannya agar tidak menyesal di kemudian hari. Jadi deh Gen libur  4hari hehehe.

Tapi 4 hari libur itu memang akhirnya dipakai untuk istirahat 2hari penuh olehku dan Gen. Bayar tidur! Baru pada tgl 4 malam kami pergi ke rumah mertua dan makan malam bersama di sana dan menginap. Tgl 5 Mei, Hari Anak. Jam 4:30 pagi anak-anak sudah bangun (tidak biasanya) karena mereka sangat antusias untuk pergi memancing, sesuai janji papanya sebelum mereka tidur.

tempat memancing di daikoku pier

Karena ibu mertuaku mau ikut ke pelabuhan, jadi deh aku ikut juga. Kupikir kalau setelah memancing mau pergi ke mana-mana biar aku bisa langsung ikut daripada pulang dan jemput aku lagi. Jadi kami berlima berangkat jam 5:05 dari rumah menuju ke Daikoku Pier, pelabuhan yang mempunyai tempat khusus memancing. Nah dalam perjalanan di pagi hari yang masih sepi itulah HP ku berbunyi memberitahukan gempa. Tak lama bapak mertuaku telepon dan mengatakan bahwa di Tokyo gempa shindo 5, cukup besar, berpusat di Minami Ooshima (pulau bagian Tokyo). Biasanya gempa yang terjadi di laut membawa resiko tsunami, sehingga kami sempat menunda perjalanan  ke pelabuhan. Setelah yakin bahwa tidak ada kemungkinan tsunami baru kami melanjutkan perjalanan. Hmmm akhir-akhir ini memang cukup banyak gempa-gempa kecil yang terjadi, sehingga cukup membuat khawatir.

perlengkapan dan “kesabaran” sih sudah sempuran, tapi ikannya itu loh, kok malu-malu makan umpannya

Kami sampai di tempat pemancingan pukul 6 lebih, dan sudah cukup banyak orang yang ingin memancing di sana. Karena aku berjalan bersama ibu mertua (Achan), kami tertinggal di belakang, karena Gen dan anak-anak harus cepat-cepat mengambil tempat. Aku dan Achan sempat berjalan terus sampai ujung jembatan untuk memancing tapi tidak ketemu. Cukup seram juga buatku karena jembatannya berlubang-lubang sehingga bisa terlihat laut di bawahnya.

kiri vending cup noodle dan kanan vending menjual mini stick ice,

Akhirnya aku dan Achan menunggu di ruang istirahat yang tersedia. Kadang aku membaca, bermain game, atau tidur. Oh ya di ruang tunggu itu ada berbagai macam vending machine. Selain vending machine untuk minuman, ada vending machine untuk cup noodle, makanan panas (nugget, mi goreng, potato fry, hotdog dll), serta vending es krim kecil.

 

vending masakan hangat. Kiri nugget yang dibeli dari mesin itu seharga Rp. 36.000

Achan sempat bertanya padaku, “Kamu selalu tunggu begini kalau mereka mancing?”. Waktu kujawab “Ya” meskipun kami sebetulnya baru dua kali memancing di pantai Jepang. Achan lalu mengatakan cukup sekali saja ikut, lain kali dia tidak mau hehehe. Memang menunggu itu membosankan sih. Sampai akhirnya aku menanyakan”Kapan mau pulang?” Dan ditentukan kami akan pulang pukul 11:30. Lima jam lebih kami disitu dan tidak ada satu ekorpun ikan yang terpancing. Sekeliling Riku juga tidak ada yang berhasil menangkap ikan. Memang susah kalau memancing di pantai begitu.

Akhirnya kami pergi makan ke restoran sushi, dan makan ikan mentah meskipun bukan hasil pancingan sendiri 😀 “Mancing”nya pindah ke restoran deh. Tapi mungkin karena temperatur berubah-ubah panas dingin, akhirnya keeesokan harinya kami tinggal di rumah karena Kai dengan demam.

Perjalanan ke Selatan (PkS)

4 Mei

Dalam liburan musim semi yang lalu, yaitu dari tanggal 26 Maret sampai 31 Maret, aku bersama Riku dan Kai, bertiga pergi melakukan perjalanan ke daerah Kyushu yang terletak di selatan Jepang. Tentu saja tujuan sebenarnya adalah untuk melengkapi cap 100 kastil Jepang terkenal. Tentu kami tidak bisa menunggu Gen sampai bisa pergi bersama, jadi aku merencanakan untuk pergi bertiga saja dengan anak-anak yang memang sedang liburan musim semi.

Wisata domestik Jepang itu mahal! Semua orang Jepang tahu itu. Lebih murah kami pergi ke Korea atau ke New York daripada berlibur ke dalam negeri Jepang. Dan sudah lama aku selalu katakan ke Gen, kalau mengajak aku pergi ke Okinawa yang merupakan “Bali”nya orang Jepang, mendingan kasih uangnya saja, aku akan lebih senang ke Bali. Tapi karena deMiyashita punya hobi/proyek keluarga mengejar 100 kastil Jepang terkenal, maka mau tidak mau kami harus mengadakan perjalanan dalam negeri. Dan suatu kali aku pun akan sampai ke Okinawa 😉

Karena itu aku mulai mencari tiket dan penginapan sejak awal Maret. Karena bersamaan dengan liburan musim semi, banyak juga yang lulus sekolah, sehingga merupakan peak season bagi pelajar di Jepang. Dan aku tetapkan tempat tujuan adalah Kyushu. Pendapatku, jika toh sudah keluar rumah, lebih baik sekaligus saja jalani semua yang bisa dikunjungi. Tapi akhirnya aku harus give up rencana mengunjungi prefektur Oita, juga beberapa kastil di Nagasaki dan Saga yang sulit dicapai dan butuh satu hari penuh. Tujuanku kali ini 4 prefektur yaitu Fukuoka, Kumamoto, Nagasaki dan Saga. Mulailah aku mencari alamat kastil dan mengatur perjalanan agar sedapat mungkin pergi ke kastil yang terdapat dalam buku 100 Kastil Jepang Terkenal – 100Meijo 100名城-kemudian mencari cara untuk ke sananya.

Untuk mencari tiket Tokyo-Hakata aku gunakan website milik Kinki Nippon Tourist (KNT), yang sebelumnya juga sudah pernah aku gunakan waktu bepergian ke Sendai. Tentu saja semua dalam bahasa Jepang, dan aku berhasil menemukan beberapa pilihan yang murah dan menarik. Sulit untuk menentukan mana yang baik, naik shinkansen (kereta super ekspress) atau pesawat. Akhirnya setelah kuhitung-hitung biaya dan waktu tempuh dari bandara ke dalam kota setiap prefektur tujuan, aku memutuskan untuk naik shikansen saja. Karena toh pada akhirnya kami akan pergi ke mana-mana naik kereta. Waktu tempuh dari Tokyo sampai Hakata (Fukuoka) 5 jam. Backpackerlah kami!

Aku kemudian mendapat pilihan paket tur yang terbatas untuk pemesanan lewat internet. Jadi kalau pilih option itu, aku tidak bisa minta dibukukan di loket KNT yang biasanya ada di stasiun-stasiun. Juga tidak boleh “tanya-tanya”, harus mengerti dari keterangan yang tertulis di situ saja. Perlu diketahui harga tiket shinkansen (kereta super express) biasanya sekitar 30.000 yen (Rp 3 juta) per orang itu jika kita membeli langsung di stasiun. Tapi berkat pengalaman, di KNT itu aku mendapatkan paket dengan harga sama +kamar hotel untuk satu malam. Tentu aku merasa beruntung sekali karena sebetulnya tarif hotel tersebut juga sekitar 30.000 yen per malam, jika memesan langsung ke hotelnya. Paket tur memang selalu lebih murah, karena biasanya travel biro mendapatkan “jatah” kamar hotel dengan harga murah. Nah, karena aku mengambil paket 6 hari 5 malam, aku mesti mencari lagi penginapan untuk 4 hari lainnya.

Karena aku separuh ‘orang Jepang’ :D, aku ingin semua hotel fix sebelum berangkat. Apalagi untuk hari Sabtu dan Minggu, biasanya sulit mencari kamar kosong. Lagipula kepergian kami bertepatan dengan musim liburan anak-anak. Jadi aku memesan di agoda.com hotel yang berbeda (beda kota) untuk 3 malam. Loh kok 3 malam? Ya, ternyata waktu aku memesan paket tur shinkansen+hotel itu, aku bisa mendapatkan tambahan penginapan untuk hari terakhir. Kupikir biarlah aku harus membayar tambahan biaya hotel dalam paket itu, asal aku bisa dapat kamar. Eh, ternyata ada kesalahan komputer sehingga untuk kamar di malam ke 5 itu, aku tidak perlu membayar tambahan apa-apa. LUCKY! Untung di aku, meskipun rugi untuk kantor travel itu 😀 Aku bisa membeli karcis shinkansen + 2 malam di hotel berbintang dengan harga murah (sekali).

Setelah mendapatkan karcis shinkansen dan penginapan sesuai dengan jadwal yang telah kususun, aku mulai mempersiapkan jadwal kereta api yang mendetil antara kota-kota lengkap dengan biayanya. Karena aku malas membeli karcis setiap berangkat, aku dan Riku memakai pasmo/suica, yaitu sistem pembayaran karcis electtronik pra bayar. Riku memang aku belikan pasmo itu waktu dia naik kelas 5, karena dia sering harus bepergian naik bus sendiri untuk ke juku (bimbel). Pasmo untuk anak-anak itu bisa didapat di stasiun dengan menunjukkan kartu asuransi untuk pembuktian nama dan tanggal lahir. Karena untuk anak SD biaya kereta api hanya separuh dari harga dewasa. Dan untuk menandakan kartu itu tidak dipakai oleh orang dewasa, pada kartu diberi nama (dalam katakana) dan tanda 小 (SD) dan akan berbunyi waktu melewati pintu masuk stasiun. Kartu suica/pasmo aku dan Riku aku charge dulu sebelum berangkat. Nama kartu eletronik itu berbeda di setiap wilayah, tapi sistemnya sama sehingga dapat dipakai di seluruh Jepang, untuk stasiun yang sudah dilengkapi pintu otomatis. Selama perjalanan ke kyushu itu, aku hanya menemukan satu stasiun tujuan yang tidak mempunyai pintu otomatis, sehingga aku harus membeli karcis biasa.

Pasmonya Kai baru kubeli kemarin. Waktu ke kyushu, dia masih belum SD sehingga gratis ongkos keretanya 🙂 (kecuali shinkansen aku sengaja beli supaya dapat tempat duduk)

Setelah memastikan aku mempunyai kartu kereta, aku mulai mempersiapkan tas, baju yang akan akan dibawa. Karena kami bergerak terus ke kota-kota yang berbeda, maka kami harus membawa terus barang-barang kami. Dan kami ini backpaker TIDAK sejati karena tidak mau memakai ransel besar ke mana-mana. Maklumlah aku sudah tua dan bermasalah dengan punggung sehingga tidak mau memberikan beban berlebihan pada punggungku. Kami memilih tas geret, tas cabin yang biasa diperbolehkan masuk cabin pesawat, satu untukku dan satu untuk Riku+Kai yang akan menjadi tanggung jawab Riku. Tas semacam itu sudah ada ukurannya, dan biasanya hanya cukup untuk perjalanan 2-3 hari. Nah loh….gimana dengan kami yang 6 hari? Tentu kami harus bawa seminim mungkin deh. Dua bawahan (celana panjang) dan 5 atasan cukup! Tidak ada waktu untuk dandan dan bergaya deh pokoknya 😀

tripod yang cukup ringan menurutku. Tripod ini nantinya mempunyai kisah tersendiri 😀

Selain itu, yang aku paling persiapkan sekali adalah perlengkapan memotret. Aku mau bawa DSLR, tapi juga mau bawa kamera kecilku. Yokubari! (Rakus) Tapi kapan lagi aku bisa memotret keindahan Jepang Selatan? Meskipun berat, aku harus bawa! Dan selain kamera, aku merasa perlu membawa (membeli) tripod. Nah, aku juga merasa harus beli tongsis nih! Kalau tripod pasti akan makan waktu untuk settingnya, padahal aku mau ambil foto bertiga dong. Lagipula orang Indonesia gitu loh, terkenal dengan tongsisnya. Pernah ada yang bertanya : “Mbak tongsis itu apa?”. Lalu kujawab: “Aku sendiri belum punya, tapi kuduga itu singkatan dari tongkat narsis”. Ya, sebetulnya namanya ada MONOPOD. Kalau  Tripod itu kaki tiga, kalau monopod ya kaki satu, alias tongkat perpanjangan tangan.

monopod a.k.a. tongsis

 

Waktu aku cari-cari tripod dan monopod di amazon, aku juga menemukan tripod kecil yang bisa ditempelkan di semua tempat yang terbuat dari besi, karena dia bermagnet (dan cukup kuat) dan cukup fleksibel. Namanya gorillapod 😀

atas gorillapod untuk ditempelkan ke besi. bawah clasp untuk memegang smartphone/iphone dan disambungkan ke gorillapod atau monopod

Yes! Dengan demikian persiapan perjalanan kami sudah lengkap. Dari jauh hari aku sudah wanti-wanti anak-anak bahwa kami akan jalan jauh, jadi harus siap dan jangan mengeluh! 😀 Dan tahu jawaban Riku waktu kukatakan kami harus naik shinkansen 5 jam, “Ma… naik pesawat ke Jakarta kan 7 jam” hehehe.

 

Kastil dan Taman Bunga Shibazakura

29 Apr

Menjelang bulan Mei di Jepang, pasti banyak terlihat singkatan GW, yaitu Golden Week. Minggu emas, karena ada hari libur beruntun yaitu tgl 29 April, 3 Mei, 4 Mei dan 5 Mei. Nah kadang bisa berurut dengan akhir pekan sehingga membuat hari libur lebih dari 4 hari. Tapi tahun ini sayangnya susunan tanggalnya tidak “manis” , yaitu hari ini tanggal 29 April “nyelip” di tengah hari kerja sehingga otomatis GW baru terasa mulai 3-4-5-6 Mei.

Sambil beberes rumah akhirnya aku punya waktu untuk menulis lagi. Kali ini aku tulis kejadian yang paling baru dulu ya, nanti kalau ada waktu lagi baru tulis yang lain. Aku ingin menulis tentang perjalanan kami hari Minggu yang lalu Tanggal 27 April 2014.

Sebetulnya kami tepatnya aku dan Gen butuh istirahat, karena hari minggu tanggal 20 pun dia bekerja, juga sehari sebelumnya tanggal 26 April dia bekerja setengah hari. Aku pun cuma punya istirahat waktu weekend, tapi pada kenyataannya ada acara gereja dan lain-lain sehingga tidak bisa istirahat. Hari Minggu tanggal 27 kemarin itupun aku masih mengantarkan nasi ke gereja Kichijouji untuk acara Sekolah Minggu. Saat itu aku mendapat pesan singkat dari Gen yang sedang mencari kamera dan buku 100Castlenya Kai. Jadi aku cepat-cepat naik bus pulang ke rumah.

Tujuan kami hari itu ke daerah Gunma prefektur, tepatnya di Ota-shi. Di sana ada Kanayama Castle yang termasuk dalam 100 Kastil Terkenal Jepang. Perjalanan tidak macet sehingga kami bisa sampai di kompleks kastil itu pukul 1 siang. Sebetulnya bisa lebih cepat tapi kami melewatkan waktu 1 jam di sebuah toko sepatu di tengah jalan. Sepatunya Kai sudah kekecilan, sedangkan sepatu Riku sudah bolong-bolong. Riku sih mengatakan “Ngga usah masih bisa dipakai kok”, tapi kok tidak tega melihatnya. Apalagi tgl 31 Mei nanti akan ada pertandingan olahraga, sehingga lebih baik memakai sepatu baru sampai terbiasa pada hari H nya, daripada tiba-tiba ganti baru persis sebelum pertandingan. Jadi deh kami berbelanja sepatu dulu.

Sebelum kami mulai memasuki rute menuju kastil, kami mendapatkan penjelasan dari volunteer di sana. Dikatakan bahwa sebetulnya di daerah Kanto (Sekitar Tokyo) sejak dulu tidak ada kastil yang terletak di atas lapisan bebatuan. Tapi khusus untuk Kanayama ini sudah sejak pintu masuknya terdiri dari lapisan batu, termasuk parit yang mengelabui jalan (sepertinya jalan terus menuju kastil padahal itu jalan kembali ke awal mula) atau jembatan kayu yang biasanya akan diruntuhkan jika musuh menyerang. Pokoknya berlapis-lapis pertahahan termasuk jalan mendaki (yang sudah diberi tangga sekarang) untuk mencapai kastil utama. Dan  keistimewaan lainnya, kastil ini mempunyai dua kolam batu yang terus berisi air, sehingga mereka tidak akan kekeringan meskipun dikepung musuh. Memang di kompleks ini tidak ada lagi 天守閣 atau bangunan kastilnya, karena masih digali dan direkonstruksi kembali.

Kanayama Castle. Kiri atas parit mengelabui musuh. Kanan atas jembatan kayu. Kiri bawah kolam air dan kanan bawah sisa-sisa jalan masuk dan bangunan

Kami mengambil cap kastil di tempat istirahat yang terletak di atas bukit, sehingga kami dapat melihat pemandangan kota di bawahnya. Yang menarik Kai menemukan sebuah tempat yang ternyata itu menunjukkan arah pusat kota. Jadi seperti penunjuk kiblat.

Kanayama Castle. Kiri atas Pohon Keyaki berusia 800 tahun. Kanan atas Nitta Jinja. Kiri bawah ‘kiblat’ ke arah pusat kota. Kanan bawah pemandangan kota di bawah

Kami berjalan kembali ke arah parkir dan menuju tempat tujuan kedua, yaitu Minowa Castle yang terletak 1 jam dari Kanayama. Saat itu sudah pukul 3 siang dan kami mulai lapar. Tapi kalau kami makan di restoran, takutnya tidak keburu mendapatkan cap kastil Minowa yang terletak di kantor Pemda. Jadilah kami membeli onigiri di Parking Area dan sambil makan di mobil menuju ke kantor Pemda dulu yang letaknya terpisah dengan lokasi kastil Minowa. Setelah mendapatkan cap, kami diberitahu bahwa di dekat lokasi kastil ada taman Shibazakura. Dan kalau datang setelah pukul 4:30 bisa parkir gratis.

Minowa Castle

Jadi Kami mampir dulu ke lokasi kastil yang memang tidak ada apa-apanya. Hanya sebuah batu bertulis dan dua buah pohon sakura di lapangan yang luas bekas bangunan kastil. Setelah mengelilingi lapangan dan tidak menemukan apa-apa lagi, kami naik mobil kembali menuju Taman Misato Shibazakura. Benar saja kami bisa parkir gratis karena toko-toko sudah tutup dan orang-orang sudah pulang. Karena toh sudah sampai di situ, kami pikir kalau masih bisa masuk, kami beli saja karcis masuk yang harganya 300 yen/orang dewasa. Eh, tapi di loket tidak ada petugas, dan petugas parkir justru menyuruh kami masuk tanpa membayar. “Silakan”

Misato Shibazakura Koen

Waaaah memasuki taman yang begitu indah dengan gratis, dan sedikit orang itu rasanya seperti mendapat hadiah besar. Kami bisa berfoto tanpa harus terhalang orang banyak. Memang ada beberapa orang yang terlambat datang sehingga masuk gratis seperti kami, tapi jumlahnya tidak banyak dan masih bisa berfoto menghindar mereka. Di latar belakang terlihat Gunung Haruna, yang sering dikatakan duplikatnya gunung Fuji karena mirip. Cukup lama kami berada di sini meskipun Riku terus menerus berkata, “Ayo pulang yuuuk aku sudah capek!”.

Kemudian kami pulang mengantisipasi macet, dan mampir di Parking Area yang bernama YORII, yang dibangun dengan tema dari buku The Little Prince karangan Antoine de Saint-Exupéry. Bergaya perancis gitu deh. Setelah pergi ke toilet, kami masuk ke toko yang menjual bermacam souvenir dan snack. Di situ kami menemukan KOPIKO, mengail Indonesia seperti kata Donny di sini. Dan tentu saja Gen langsung beli.

Baobab Omellet Rice di Yorii Parking Area

Sebetulnya kami sudah membeli bento juga berupa nasi ayam khas dari daerah Gunma itu, tapi akhirnya kami makan malam di cafeteria di Parking Area itu. Jika ada yang pernah baca bukunya tentu tahu tentang pohon Baobab, jadi waktu kami melihat ada menu Baobab Omellet Rice, kami beli.

Untungnya setelah kami makan itu, jalan tol yang tadinya agak macet, sudah lancar jaya sehingga kami bisa dampai di rumah pukul 9 malam. Hari yang melelahkan (karena harus jalan mendaki) tapi juga menyenangkan (karena mendapat 2 cap kastil dan melihat taman bunga indah). Riku membuat PR lalu kami tidur pukul 10 malam.

 

 

Guru dan Murid

23 Apr

Seminggu yang lalu sebuah kapal pesiar di Korea tenggelam. Di dalamnya sekitar 200 murid SMA yang menumpang kapal itu untuk berwisata bersama sekolahnya ikut tenggelam. Hampir semua murid tidak ditemukan dan belum dipastikan apakah hidup atau mati. Ada seorang guru pria dari sekolah itu yang dapat hidup diselamatkan, tapi beberapa hari setelah itu dia kemudian bunuh diri karena tidak tahan mengetahui murid-muridnya menjadi korban. Bunuh diri memang tidak diperbolehkan oleh agama kita, namun keputus-asaan guru itu sangat bisa dimengerti. Bagi seorang guru yang baik, murid adalah anaknya. Anak didik yang dititipkan orang tua, untuk diberikan pengetahuan yang cukup sesuai levelnya. Keselamatan seorang anak didik juga menjadi perhatian dari semua guru… saya rasa begitu.

Sebagai orang tua, kita sering menyalahkan guru, atau jika tidak berpikir negatif, kita “menilai” guru itu. Mudah sekali kita katakan “Ah guru itu bodoh…” atau “Guru itu tidak bagus”, padahal mungkin hanya salah memilih cara penyampaian. Setiap anak punya karakter, setiap kelas juga punya karakter tersendiri.

Seperti aku dalam mengajar selama 14 tahun di sebuah universitas, belum pernah aku marah penuh emosi, tapi tahun ini sejak mengajar pertama aku sudah marah, memarahi 3 mahasiswa yang berbicara cukup keras dalam kelas, sementara teman-temannya mendengarkan pelajaranku. Langsung…dengan emosi aku katakan, “Kalau mau berbicara silakan di luar saja. Kalian mengganggu teman yang mau belajar.”  Dan kelas berjumlah 60-an orang itu akhirnya sepi. Tapi perkataan yang sama mesti aku katakan minggu berikutnya, sampai aku tambahkan, “Saya tidak marah kalian mau tidur di kelas, atau main dengan HP. Silakan… selama kalian tidak mengganggu, saya perbolehkan!” Kelas yang cukup sulit…..

Tapi aku bisa menangkap pengalaman lucu yang dialami gurunya Kai, di kelas satu. Waktu pertemuan dengan orang tua murid, dia bercerita tentang jalannya pembelajaran selama seminggu itu. Sambil tersenyum dia menceritakan kelucuan anak-anak yang seminggu sebelumnya masih anak TK! Pertama kali anak-anak ini berada di sebuah “organisasi” yang lebih kaku daripada di TK. Setiap tindakan di dalam kelas itu pertama kali mereka lakukan. Seperti waktu makan bersama, tangan-tangan kecil ini belum bisa membuka karton susu dengan baik. Terpaksa guru lepas yang berada di sekitar kelas, membantu membukakan karton. Ya, di TK mereka minum susu yang sudah dituangkan ke dalam gelas mereka oleh senseinya, sedangkan di SD mereka sendiri yang harus melayani teman-temannya. Mereka tidak biasa dan tidak bisa membukanya. Di rumahpun biasanya ibunya yang membukakan. Tapi namanya anak-anak, mereka cepat belajar dan keesokan harinya mereka bisa menyelesaikan masalah “buka-membuka” karton susu sendiri, tanpa bantuan guru.

Kebiasaan di TK pun masih dibawa. Sedikit-sedikit laporan kepada gurunya, “Sensei, si XXX tidak bisa minum susu loh, tapi dia coba sedikit dan bisa…” “Sensei, kemarin si XXX cuma segini, tapi hari ini bisa setengah gelas loh” Mungkin karena dukungan teman-temannya, si XXX ini berusaha untuk bisa minum susu. Atau “Sensei, si YYY mukanya pucat. Kelihatannya dia sakit” Dan benar, dia terpaksa dibawa ke Ruang P3K. Gurunya Kai sambil menceritakan hal ini tersenyum dan kelihatan dia menikmati kepolosan anak-anak ini. Katanya dia sudah tahun ke empat mengajar di SD itu, dan tahun pertama mengajar kelas 1, tapi sesudah itu mengajar kelas yang lebih tinggi. Sehingga dia bisa bernostalgia mengenang kembali pengalamannya waktu pertama kali mengajar kelas 1.

Guru memang seharusnya menikmati proses pembelajaran, begitupun murid. Aku mengajar sudah hampir 24 tahun sejak mempunyai murid privat pertama waktu aku masih kuliah tingkat 2. Dan ya aku sangat menyukai profesiku yang satu ini (karena profesiku kan bukan hanya satu hehehe). Setiap bulan Februari-Maret, aku merasa sakit-sakitan dan tidak bersemangat karena tidak ada kelas, tapi begitu masuk bulan April, merasa gembira karena bisa bertemu dengan murid-murid baru lagi. Tidak nervous?

Kadang saja aku nervous, terutama jika di dalam kelas yang mestinya berisi mahasiswa semua, ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang terlihat sudah tua. Biasanya kupikir mereka itu guru yang “menyamar” untuk memata-mataiku (menilaiku) hahaha. Seperti tahun lalu, di kelas dasar di Universitas W ada 3 orang yang “mencurigakan”. Mereka mahasiswa Pascasarjana jurusan bahasa Jepang. Wah, aku harus benar-benar bisa membuktikan secara linguistik nih …., begitu pikirku. Tapi ternyata, kecemasanku tidak terbukti, dan kami bisa menikmati suasa kelas yang nyaman.

Tapi memang, aku menyadari bahwa seorang guru itu senang kalau muridnya bodoh…. Jadi berasa mengajar, bisa membuat seseorang menjadi pintar 😀 Tapi kalau terlalu bodoh, juga repot sih hehehe. Hmmmm aku musti meralat kalimat di atas yaitu, guru itu bingung jika muridnya terlalu pintar. Karena rasa-rasanya tidak perlu diajari lagi, toh sudah bisa. Terus terang aku panik waktu memulai satu kelas baru di sebuah institut negara untuk hari Senin, Selasa dan Rabu. Ada dua kelas, tapi masing-masing kelas hanya satu orang. Ya semacam privat deh. Nah, salah satu kelas itu muridnya sudah pandai sekali berbahasa Indonesia, karena sudah pernah belajar bahasa Indonesia dan bahkan sudah berkali-kali ke Indonesia. Tapi sebagai pegawai baru, dia wajib mengikuti trainig bahasa.  Selama 80 menit pertama aku bisa mewawancara dan mendengar pembicaraannya yang 90% dia katakan dalam bahasa Indonesia. Wah kalau muridnya pintar begini, apa lagi yang perlu kuajarkan?

Untung aku membawa beberapa bacaan bahasa Jepang dan mengajarkannya bagaimana menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa Indonesia, terutama untuk bahasa baku dan bahasa jurnalis. Akhirnya aku menemukan beberapa kesalahannya, dan bisa memperbaiki beberapa kalimat yang kurang bagus. Waktu itu rasanya seperti bertepuk tangan pada ketidaktahuan orang lain 😀 Yang awalnya sempat khawatir, sekarang sudah bisa melihat perkembangan lebih tinggi lagi pada kemampuan muridku ini daripada sebelumnya, terutama untuk kalimat baku.

Hubungan Guru Murid merupakan hubungan saling percaya, shinrai kankei 信頼関係, untuk mencapai hasil yang maksimal. Apalagi untuk murid SD, guru adalah segalanya… panutan, guru bahkan okaasan ibu di sekolah. Waktu aku mengikuti upacara penerimaan murid baru, aku sempat pergi ke WC dan melihat seorang guru membantu anak-anak perempuan yang roknya lepas. Bahkan guru itu sempat mengetuk pintu bilikku karena agak lama sambil bertanya, “Daijoubu? 大丈夫 tidak apa-apa?” dan begitu dia melihat aku, orang tua murid  yang keluar dia minta maaf. “Maaf saya sangka murid yang terkunci”. Tindakan-tindakan kecil dari guru, perhatian-perhatian dari lingkungan sekolah membuat orang tua merasa aman menyerahkan anak-anaknya dalam bimbingan mereka.  Betul kan?

Lapisan plastik kuning pada ransel untuk murid kelas satu SD Jepang, untuk membantu supaya terlihat pengendara dan warga sekitarnya bisa membantu anak-anak yang baru mulai bermasyarakat. Di Jepang anak SD berangkat pergi pulang jalan kaki sendiri dari rumah ke sekolah tanpa diantar ibunya. Mereka diajarkan mandiri sejak kelas satu SD.

Ten busy days

18 Apr

Sepuluh hari telah berlalu sejak Kai menjadi kelas satu SD. Sepuluh hari yang begitu merepotkan dan membuatku stress. Tadi waktu aku mengikuti pertemuan orang tua murid kelas 1, pihak sekolah mengatakan, “Anak-anak pasti stressnya mulai keluar, jadi besok akhir pekan biarkan mereka beristirahat dan menikmati liburan….” Tapi menurutku, untuk kasusku, bukan Kai yang stress tapi mamanya, dan yes! Aku butuh liburan. 😀

Aku memang sekarang, sampai akhir Juni nanti, bekerja setiap hari. Dulu hanya hari Kamis dan Jumat (pekerjaan tetapku di universitas), tapi mulai tanggal 8 April setiap hari Senin, Selasa dan Rabu daku harus pergi mengajar di sebuah institusi pemerintah yang terletak 45 km dari rumah, jika ditarik garis lurus. Pelajaran dimulai pukul 9:30 tapi aku berangkat dari rumah pukul 7 pagi. Naik bus 1 kali dan naik kereta 2 jalur selama 1 jam 45 menit. Memang bisa saja aku keluar rumah jam 7:30, tapi kalau sudah jam segitu kereta akan lebih penuh lagi. Lebih baik aku pergi lebih cepat kan? 😉 Tapi meskipun begitu memang lebih sering aku tidak dapat tempat duduk sih, yang kadang aku nikmati juga. You know what.… hari pertama aku pergi aku dapat tempat duduk dan aku tertidur! Kelewatan deh stasiun yang seharusnya aku turun sehingga terpaksa naik kereta arah balik dan menghabiskan waktu 20 menit hehehe (untung pergi pagi sekali). Abis aku bangun pukul 4 pagi supaya bisa masak sarapan dan membuat bekal makanan (bento) untukku sendiri. Aku pun harus menyediakan makan siang untuk Kai yang seminggu pertama tidak mendapat makan di sekolah.

Lorong pertokoaan dengan pilar berhiaskan karikatur serta taman di sebelah tempat kerja baruku. Kalau pagi masih dingin dan senang jalan-jalan di sini.

Aku merasa beruntung, dan beryukur bahwa Kai sudah lebih dewasa dibandingkan dengan anak lain seumur dia. Mungkin karena sebagai anak kedua, orang tua (baca: aku) sudah lebih mempercayai dia melakukan segala sesuatunya sendiri. Memang kalau pagi hari, Kai akan keluar rumah bersama kakaknya Riku sekitar pukul 7:50. Dia yang sewaktu TK baru keluar rumah jam 8:50 harus bangun lebih pagi apalagi karena aku harus pergi jam 7, dia harus bangun sebelumnya. Karena dia masih manja memintaku untuk mengganti baju pijamanya dengan baju untuk ke sekolah. Baju sekolah SD negeri di sini bebas. Banyak yang menyangka bahwa seragam SD nya adalah jas seperti yang dia pakai waktu upacara penerimaan murid baru, tapi bukan! Dalam upacara itu setiap anak memakai jas atau pakaian formal yang berbeda-beda. Sebetulnya tidak ada ketentuaan harus jas, tapi biasalah, orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk sang anak anak kan?

Seminggu pertama aku membiasakan diri untuk menelepon Kai di rumah dari tempat kerjaku waktu istirahat makan siang. Kalau aku lupa pasti Kai akan menelepon sekitar pukul 2 atau 3 siang. Dia pulang sekolah sendirian pukul 12:15 karena Riku sudah punya jadwal pelajaran sampai pukul 3 atau 4. Dia buka pintu dan ambil nasi sendiri dan makan lauk yang sudah kusediakan di meja. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menyalakan kompor atau memakai microwave. (Kalau Riku sudah bisa bertanggung jawab dengan kompor dan microwave sehingga sering kumintakan bantuan). Kalau aku menelepon Kai pasti begini:
Moshi moshi Kai? Ini mama….”
“Nani? (Apa?….)”
“Sudah makan?”
“Ini lagi makan”
“Ada masalah?”
“Tidak….”
“OK deh mama kerja dulu ya, nanti mama sedapat mungkin pulang cepat (Padahal secepat-cepatnya aku akan sampai pukul 7 malam di rumah huhuhu)”
“Iya…. ”
“Daaag”
“Iya…”
Dasaaaaar anak lelaki, bahasanya pendek-pendek hihihi.

Tapi ada suatu hari aku lupa menelepon dia. Kemudian sekitar pukul 3 an dia menelepon dan memasukkan pesan, karena aku tidak bisa angkat telepon.
“Mama… Riku tadi sudah pulang. Tapi dia cepat-cepat pergi lagi. Aku takut….”
Dan pesan itu sampai dua kali… Hmmm dia benar-benar takut.
Jadi begitu ada waktu menelepon aku menelepon dia dan menyuruh dia menonton rekaman acara Dash-Jima (Acara membuka pulau baru oleh grup penyanyi TOKIO), karena acara itu menyenangkan (dan bukan anime). Lalu waktu kelas selesai, aku menelepon dia kembali sambil berjalan pulang. Untung saja dia tidak panik saat takut itu dan tetap berada di rumah. Kalau Riku waktu kecil, pasti akan keluar rumah dan mengebel pintu tetangga dan minta untuk berada di rumah tetangga :D, atau ke pos polisi hehehe.

Tapi kejadian Kai menjadi takut itu hanya satu kali. Keesokan harinya bahkan aku mendapati rumah kosong. Memang hari itu aku bisa pulang lebih cepat karena lokasi pengajaran dekat (di Universitas W). Sudah sampai rumah pukul 4 sore, dan …anak-anak tidak ada meskipun kulihat tas ransel mereka sudah ada. Sempat berpikir untuk mencari mereka di taman dekat sekolah, tapi ah…sepertinya aman-aman saja. Baru kemudian aku lihat pesan di telepon. Waktu kudengar, suara anak sulungku,
“Mama aku ajak Kai main di halaman sekolah ya. Jadi mama tidak usah khawatir”
Ngga nak… mama tahu kalian baik-baik saja dan mama bisa mempercayai kalian berdua.

Kedua anakku siap berangkat ke sekolah. Aku bisa mengantarkan mereka begini sebelum aku pergi kerja hanya pada hari Kamis.

 

Minggu kedua, Kai sudah mendapat makan siang di sekolah sehingga aku tidak perlu bangun terlalu pagi untuk menyiapkan makan siang juga, cukup makan pagi dan bento. Tapi ada satu happening yang terjadi pada hari Rabu lalu. Waktu istirahat siang aku melihat ada misscall dari SD nya Riku dan Kai. Aduuuuh ada apa ya? Tapi karena mereka tidak meninggalkan pesan apa-apa, semestinya tidak parah. Aku curiga kemungkinan Kai demam. Ternyata pihak sekolah menghubungi papanya, dan Gen memberitahukanku bahwa Kai muntah waktu makan dan sekarang tidur di ruang Kesehatan di sekolah. Gen sudah kasih tahu gurunya bahwa biar Kai tunggu di situ sampai Riku selesai pelajarannya dan pulang dengan kakaknya, karena kami berdua (Gen dan aku) tidak bisa cepat-cepat pulang. Meskipun akhirnya Gen yang mendapat ijin untuk pulang cepat sehingga dari jam 3, Gen sudah bisa menemani anak-anak di rumah. Aku sendiri baru pukul 7 sampai di rumah dan langsung mempersiapkan makan malam. The three boys are starving! peko-pekoda!

Beginilah suka dukanya ibu yang bekerja, terutama karena ada perubahan jenjang pendidikan (Kai menjadi murid SD) dan aku memulai pekerjaan baru di tempat yang jauh. Tapi aku bersyukur karena kedua anakku bisa diandalkan. Good job!

Penyambutan Murid Baru

13 Apr

Di Jepang, setiap awal tahun ajaran akan diadakan 始業式 shigyoushiki, upacara awal tahun ajaran yang diikuti oleh kelas 2 sampai kelas 6 SD. Sedangkan 入学式 nyuugakushiki, secara harafiah Upacara Masuk, tapi kalau di Indonesia lebih tepat diterjemahkan menjadi upacara penerimaan murid baru diadakan untuk kelas 1 baru. Pika-pika no ichinensei (kelas satu yang masih berkilau, aku pernah menulis tentang Riku yang kelas 1 SD di sini).

Kai bersiap berangkat ke upacara penerimaan murid baru

Satu hal yang aku sadari yaitu jika penekanan kata nyuugakushiki itu adalah upacara si anak MASUK ke sekolah, kalau di Indonesia itu penekanannya pada pihak sekolah yang MENERIMA/Menyambut datangnya murid baru. TAPI pada kenyataannya sepertinya upacara nyuugakushiki di Jepang, lebih “menyambut” murid baru, daripada hanya sekedar “Oh kamu sudah masuk SD ya?” saja. Hal itu terlihat dari susunan acara. Atau karena Riku adalah murid kelas 6 SD, aku tahu bahwa murid-murid kelas 6 yang dikerahkan oleh pihak sekolah untuk mempersiapkan upacara nyuugakushiki ini.

Upacara Masuk ini berlangsung hari Senin tgl 7 April, tapi sudah sejak Jumat sebelumnya, murid SD mempersiapkan hall tempat pelaksanaan upacara dan mereka juga berlatih menyanyikan lagu kebangsaan 国歌 Kimigayo serta lagu sekolah mereka 校歌. Selain itu mereka juga bertugas menjadi penerima tamu dengan membagikan daftar kelas (kami baru tahu murid kelas 1 masuk kelas yang mana pada hari upacara), membantu murid-murid mengisi absen di kelas barunya serta memasangkan badge nama di jas mereka.

susunan acara upacara penerimaan murid baru

Sejak di pintu masuk itulah, murid-murid baru berpisah dengan orang tuanya. Mereka diantar masuk ke loker tempat penyimpanan sepatu dan ditunggui 先輩 sempai kakak kelasnya untuk mengganti sepatu dengan 上履き uwabaki, sepatu untuk di dalam ruangan. Lalu mereka diantar sampai ke kelasnya. Orang tua, dengan was-was apakah anaknya大丈夫 daijoubu (tidak apa-apa), menuju ke aula sambil melirik kelas satu yang dilewati. Ah, kakak kelas dan guru sudah di dalam kelas dan menyambut murid-murid baru yang tegang. Untung saja tidak ada yang menangis hehehe. Lain dengan upacara penyambutan murid TK yang riuh rendah dengan suara tangis. Well, saat itu mereka memang masih usia 3 tahun…sedangkan kalau SD kan sudah berusia 6 tahun (batas umur di Jepang untuk kelas 1 SD adalah GENAP 6 tahun terhitung tgl 2 April tahun tersebut).

Orang tua menempati tempat duduk yang sudah disediakan dalam hall dan menunggu upacara dimulai. Kebetulan aku duduk di samping satu pasang suami istri yang membawa dua anak, satu berusia sekitar 3 tahun dan satu lagi masih bayi. Hmmm ribut! anaknya yang usia 3 tahun itu tidak bisa diam dan ngoceh terus sambil naik turun kursi lipat. Beberapa kali dia hampir jatuh dari kursi. Sabar imelda….sabar 😀 Untung aku sudah merasakan betapa repotnya membesarkan dua anak, jadi bisa mengerti bahwa mereka tidak bisa menitipkan anak-anaknya yang masih kecil demi mengikuti upacara anak pertama mereka (I hope so…. karena jarang ada keluarga Jepang yang mempunyai lebih dari 2-3 anak). Tapi seharusnya anak kecil begitu duduk di antara ayah dan ibu, sehingga tidak mengganggu orang yang duduk di sebelah anak itu. Benar-benar aku khawatir kalau anak itu jatuh dari kursi dengan kepala duluan 🙁

Acara diawali dengan masuknya kepala sekolah, tamu-tamu kehormatan yang kemudian duduk di tempat khusus. Kemudian kami menyambut dengan tepuk tangan masuknya murid-murid baru yang masuk ke dalam hall dengan berbaris. Oh ya, aku perlu beritahu bahwa dalam upacara-upacara begini, jarang sekali terdengar tepuk tangan. Orang Jepang tidak biasa bertepuk tangan seusai seseorang mengucapkan pidato. Entah kalau sekolah lain, tapi aku jarang sekali mendengar tepuk tangan pada acara-acara sekolah. Lain ladang lain ilalang ~~~~

kepala sekolah menyambut murid kelas satu

Semua acara dimulai dengan 起立 kiritsu  礼 rei 着席 chakuseki, berdiri – hormat – duduk. Ah aku jadi ingat pendidikan di SMP-ku dulu yang mengadaptasi cara ini. Kamu harus selalu berdiri dan menghormati guru SETIAP ganti pelajaran, di awal dan akhir pelajaran. Entah apakah masih ada sekolah di Indonesia yang menerapkan seperti ini. Tapi di Jepang dalam semua acara resmi pasti akan terdengar “perintah-perintah” semacam ini.

Kepala sekolah memberikan pidato juga tidak bertele-tele, dan menyampaikan tiga hal penting yang harus diingat murid baru yaitu : memberi salam, mendengarkan pembicaraan orang lain baik guru maupun teman dan membuat teman sebanyak mungkin.

Satu-satunya acara “hiburan” adalah pementasan lagu oleh kelas 2. Mereka bernyanyi dan memainkan pianika, sambil menyambut “adik-adik” dan menyampaikan pesan-pesan seperti : “kalau ada yang tidak tahu, silakan tanya kami ya” dsb. Aku merasa cukup senang menyekolahkan anakku di SD Negeri ini. Memang tidak “sedisiplin” sekolahku dulu atau sekolahnya Gen juga, tapi cukuplah. Yang penting anak-anak merasa nyaman bersekolah.

Setelah acara di hall, kami menuju kelas masing-masing dan mendengarkan perkenalan dari guru serta pengumuman-pengumuman. Kami juga membawa pulang banyak barang baru yang dibagikan. Ada satu kotak berisi peralatan menulis dan belajar (pensil, buku catatan, buku pelajaran, pensil warna, craypas), sedangkan dari kelurahan mendapatkan topi pelindung kepala yang bisa dipakai sebagai alas duduk serta buzzer keamanan untuk dipasang di ransel masing-masing. Ada happening seorang anak membunyikan buzzer itu dan orang tuanya sibuk mencari cara menyetopnya. Buzzer ini perlu jika anak-anak bertemu dengan orang iseng atau jahat dan merasa perlu bantuan, tinggal menarik tali buzzer sehingga alarm akan berbunyi kencang.

Kai dengan barang-barang yang mesti dibawa pulang

Semua barang-barang ini kami bawa pulang dan menjadi “pekerjaan rumah” baru untuk kami, karena kami harus menuliskan nama satu-per-satu pada barang-barang ini, termasuk pensil dan craypas.

Setelah selesai menuliskan nama pada semua barang, kami pergi makan siang dan bermobil ke Yokohama untuk bertemu dengan kakek-neneknya Kai karena sudah cukup lama kami tidak berjumpa. Kebetulan Gen juga ambil cuti khusus untuk hari ini. DeMiyashita kemudian merayakan “hari bersejarah” bagi Kai yang masuk SD dengan makan malam bersama.

 

Selamat bersekolah ya Kai… 入学おめでとうございます。

 

April Mop

4 Apr

Banyak orang Indonesia sudah tahu kata ini, April Mop yang aslinya merupakan bahasa Belanda,  April Fools, tanggal 1 April yang memperbolehkan orang untuk berbohong atau berkelakar yang agak-agak kelewatan. Seperti seorang temanku di FB tiba-tiba menulis : Saya hamil…. padahal dia single. Siapa tidak panik dan berpikir bagaimana dia harus menyelesaikan masalahnya kalau dia hamil di luar nikah. Dan… April Fools… ternyata dia bercanda saja. Well, syukurlah. Aku ikut lega.

Tapi pemerintah Jepang tidak sedang bercanda waktu menaikkan pajak pembelian dari 5% menjadi 8%, karena sudah sejak tahun lalu ditetapkan. Aku ingat 17 tahun yang lalu, pada tanggal 1 April pemerintah menaikkan pajak dari 3 % menjadi 5 %. Beuh sudah lama juga ya aku tinggal di sini 😀 Jadi warga Jepang sudah antisipasi dengan membeli barang-barang tahan lama, atau barang mahal yang memang diperlukan seperti rumah, mobil, lemari es dll. Ibu rumah tangga rush membeli beras, minyak, minuman dll di supermarket. Tapi anehnya aku kok jarang melihat ada liputan TV warga antri sampai kacau ya? Seperti antrian di pompa bensin Indonesia waktu pemerintah menyatakan bensin naik. Mungkin karena orang Jepang sudah bisa berpikir, toh tangki bensin hanya bisa menampung sedikit 😀

Aku sendiri tidak menimbun barang sama sekali, karena aku berwisata ke selatan Jepang sejak tgl 26 Maret sampai 31 Maret. Percuma juga aku membeli bahan makanan banyak-banyak karena kami toh tidak ada. Barang-barang kebutuhan rumah tangga juga tidak beli, karena tidak ada tempat penyimpanan sih hehehe. Tapi memang aku membeli barang yang sebetulnya tidak begitu perlu, tidak begitu tinggi prioritasnya, dan pasti tidak kubeli kalau harganya naik :D. Misalnya timbangan badan baru, kaki tiga (tripod), buku-buku dan kamus dll. Padahal kalau dipikir-pikir ya naiknya “cuma” 3 persen. Kalau tadinya belanja 100 yen musti bayar 105 yen, sekarang harus bayar 108 yen. Nah…. ini yang membuat konsumen malas sebetulnya. Malas menghitung 8% itu berapa. Konsumen telah terbiasa membayar dengan pecahan 5 yen, sekarang harus menyiapkan 1 yen. Dan memang dikatakan bahwa Nippon Ginko sudah menyiapkan lebih banyak koin 1 yen bersamaan dengan kenaikan pajak ini. Well, serahkan pada kalkulator atau kasir saja deh… tapi memang harus siap uang lebih banyak dari biasanya.

Ada seorang teman Jepang yang bertanya, “Apa yang kamu beli pada tanggal 1 April dengan pajak 8%?” Aku memang tidak belanja hari itu, tapi kebetulan aku, Riku dan Kai pergi ke bioskop di Shinjuku. Jadi yang kami bayar pertama dengan pajak 8% itu adalah ongkos kereta. Yang tadinya 210 yen menjadi 220 yen. Dan memang untung kereta dan bus, kenaikan tidak bisa memakai pecahan 1 yen, harus 10 yen. Mungkin karena mesinnya memang hanya bisa menerima sampai pecahan 10 yen. Tapi ada keuntungan bagi mereka yang memakai kartu prabayar Suica/Pasmo karena digital, kenaikan bisa dengan pecahan 1 yen. Jadi memang lebih untung memakai kartu digital.

Meskipun transport naik, aku merasa untung pada tanggal 1 April itu. Jadi ceritanya, Riku ingin sekali menonton Lego The Movie sejak film itu mulai beredar di Jepang tgl 21 Maret. Tapi film ini tidak main di bioskop langganan kami, baik yang di dekat rumah, maupun yang di Kichijouji. Repot karena masih harus pergi dan mencari lagi. Jadi waktu di Hakata, sebetulnya aku ingin menggunakan waktu menunggu keberangkatan shinkansen pulang dengan menonton, tapi jam tayangnya tidak pas. Sehingga aku janji akan pergi khusus menonton film itu kemana saja. Nah, waktu aku mencari bioskop yang terdekat yang menayangkan film Lego itu, aku menemukan sebuah bioskop di Shinjuku yang menjual tiketnya dengan online juga. Bisa pilih tempat duduk lagi. Jadi deh aku beli tiket untuk jam tayang pukul 19:10 yang 3D. Dan ternyata bioskop itu memberlakukan setengah harga setiap tanggal 1. Untung besar deh aku, karena cukup membayar setengahnya. Pantas bioskop itu penuh waktu kami ke sana. Rupanya penikmat film sudah tahu informasi ini dan menggunakannya.

Jadi memang tanggal 1 April itu bagi warga Jepang ada untung dan ruginya ya. Dan aku baru tahu ternyata orang Jepang yang lahir pada tanggal 1 April itu “beruntung” karena menjadi murid termuda di kelas, dan yang lahir tanggal 2 April itu “rugi” karena menjadi murid yang tertua di kelas. Batasnya memang tanggal 1 April, bukan tanggal 31 Maret seperti yang aku sangka sebelumnya karena bersamaan dengan tahun fiskal. Di Jepang ada istilah “Lahir Cepat” (hayaumare 早生まれ) untuk mereka yang lahir tanggal 1 Januari sampai 1 April karena mereka termasuk yang muda di kelas. Dan di keluarga deMiyashita kecuali Kai yang lahir bulan Juli, semua hayaumare.

Bagaimana April Mop kamu? Ada untung ruginya ngga? 😀