Dari Mata Turun ke….

4 Sep

Dompet! hahaha. Ya lazimnya sih turun ke hati. Melihat sesuatu lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kadang aku berpikir, sebetulnya stop saja sampai di situ. Karena tidak bisa dipastikan pandangan kedua, akan sebagus pandangan pertama. Chancenya fifty-fifty, bisa jadi pandangan kedua akan membuatmu benci pada sesuatu itu 😀 Tapi memang betul juga bahwa kita harus berani mengambil kesempatan ke dua itu, supaya yakin seyakin-yakinnya apakah memang tepat pilihan kita itu.

Sebelum aku mengadakan kopdar Jumat (29 Juli) dan Sabtu (30 Juli), hari Kamis 28 Juli aku sempat bertemu dengan 2 orang temanku. Satu teman SMA, Wida di food court PIM. Sambil makan sate padang untuk lunch (menu utama selama mudik nih), kami bercerita ngalor ngidul. Tentang teman-teman, anak-anak yang sudah semakin besar dan kesehatan mereka, kemacetan jakarta, juga tentang “mengalah tidak bekerja demi anak-anak”. Yah, biasalah pembicaraan emak-emak.

Sesudah dari PIM, aku mampir ke rumah sepupuku yang baru melahirkan, juga di Pondok Indah. Tadinya sempat menelepon bu Enny, tapi jadwalnya kurang bagus. Jadi sesudah dari daerah Pondok Indah, di perjalanan pulang, kebetulan saja aku membaca message di  Inbox FB dari Elizabeth Novianti, seorang pembaca setia Twilight Express yang minta no HP dan pin BB. Dari message itu kemudian berkembang menjadi pertemuan hari itu juga. Langsung pak supir kuminta ke daerah Blok M untuk menjemput Novi (namanya persis nama adikku hihihi) di kantornya. Aku memang sering impulsif sih, menuruti kata hati saat itu. 😀

Nah, kebetulan aku ingin mencoba restoran Meradelima, yang pernah kudengar namanya. Letaknya persis diagonal dengan kantor Novi, dan menurut Novi memang enak. OK jadilah aku mengajak Novi ke sana untuk menemaniku.

Karena waktu kunjungan yang aneh, jam 5 sore, tentu restoran itu masih kosong. Kami menjadi tamu pertama di situ, dan kami diantar ke salah satu meja di lantai satu. Well, aku langsung tertarik dengan tata ruang dan interior  restoran ini yang bagus, dan cozy. Memang bangunannya sendiri seperti bangunan rumah biasa, jaman kolonial yang dimanfaatkan menjadi restoran. Ada beberapa “kamar private” untuk 6 – 12 orang yang apik.

Pintu masuk dan lantai 1 Resto Meradelima, Adityawarman 47, Kebayoran Baru Jakarta Selatan

 

Tentu saja aku ingin memotret banyak. Karenanya aku tanya pada pak iforgethisname, apakah boleh memotret. Bukan saja boleh, malah bapak itu mengantar kami tour de restaurant, dari lantai 1 sampai lantai 2, dan menawarkan untuk memotret kami! Wah…senangnya. Itulah keuntungan menjadi tamu pertama 😀

Seluruh interior memang mengambil interior Cina yang dipadukan dengan bangunan kolonial. Ada satu teras di atas yang ditutup dengan kaca, sehingga kita bisa makan sambil melihat pemandangan jalanan di luar, tapi tidak usah takut kepanasan. “Ini pasti panas kalau siang ya pak? Kan ada efek rumah kacanya”. Menurut dia sih tidak panas, karena teras  yang untuk 6 orang itu dipasang AC khusus.

Meja-meja di lantai 2. Teras berkacanya amat menggoda hatiku. Kalau malam romantis tuh (mestinya)

Selesai berfoto di atas, kami turun ke lantai 1 lagi, dan keluar pintu untuk berfoto di pintu masuknya. Ada satu hal yang aku perhatikan, mereka tidak mempunyai papan nama yang cukup besar/terbaca di pintu masuk. Jadi meskipun kami berfoto di depan pintu masuk, orang-orang tidak langsung tahu kami berada di mana. Sedangkan di Jepang, hampir semua toko mempunyai papan nama di pintu masuk. Ini pun bagian dari promosi kan?

Akhirnya kami masuk kembali dan duduk di tempat kami dan menunggu pesanan kami datang. Sambil bercakap-cakap, aku mengatakan pada Novi bahwa tempat ini cocoknya untuk pacaran 😀 dengan suasana mewah tapi santai  (dan disetujui Novi hihihi) .

Pesanan kami: cakwe isi, bakmi siram, sate sapi manis, dan es campur

Karena aku masih kenyang, kami berdua memesan appetizer cakwe isi, Bakmi siram (seperti Ifumi) dan sate daging manis. Pesanan kami ini enak, dan ditambah semacam es teler semuanya sekitar  220 ribuan. Kupikir lumayan karena biasanya budget makan di luar perorang sekitar 100 ribu rupiah.

Jadi, aku ingin sekali mengajak papa dan mama datang kembali ke sini. Nah, di sini aku melakukan kesalahan. Papa waktu kuajak memang sedang flu, dan mau makan sesuatu yang panas-panas. Tadinya dia mengajak makan soto kudus, tapi karena kita cuma bertiga, tanpa anak-anak, maka kuajak ke restoran Meradelima ini. Restoran ini memang TIDAK COCOK untuk keluarga dengan anak kecil apalagi balita yang bisa berlarian di salam….duh mengerikan membayangkan anak-anak itu meraba-raba koleksinya antiknya 😀 Memang tepat kategorinya : Fine Dining.

Jadi waktu aku datang bertiga dengan papa dan mama, aku memesan Sup Buntut, ayam kodok, wedang jahe dan jus sirsak. Sup buntutnya disajikan dalam wajan berapi yang tahan lama sehingga tetap panas, sampai titik sup terakhir. Salut deh. Ayam kodok yang menjadi favorit disajikan dengan “kepala ayam” sebagai penghias. Aku ingat dulu memang mama sering membuat ayam kodok. Rasanya seperti rolade ayam, daging ayam dihaluskan menjadi seperti steak ayam dengan saus tomat dan sayuran. Memang membangkitkan kenangan lama, tapi entah aku yang tidak lapar, rasanya kok kurang maknyus. Akibatnya kami menghabiskan sup buntut saja  dan membawa pulang ayam kodok yang masih banyak sisanya. Dan… aku kaget waktu harus membayar karena untuk bertiga saja (dan pesanan yang begitu) aku harus membayar 700 ribu lebih. Hmmm overprice (istilahnya adikku)? Mungkin tidak juga, tapi cukup membuatku tertegun. (7000 yen di Jepang bertiga sudah bisa makan siang, french cuisine yang enak lengkap dengan dessert dan coffee)

papa,mama, sup buntut dan ayam kodok

Waktu makan bersama papa dan mama, memang tamu yang di sana adalah orang asing semua menempati 3 meja. Konon restoran ini terkenal di kalangan expat dan tamu asing. Memang suasananya enak, nyaman. Interior yang mewah, bersih sampai ke WC nya bagus. Pelayanannya bagus, dengan pelayan yang berseragam merah hitam.  Jika punya tamu orang asing, ingin menjamu dengan maksimum memang inilah tempatnya. Atau mau membeli suasana.  Tapi kalau mencari sup buntut enak atau soto-sotoan yang enak, bukan di sini tempatnya. Inilah yang kumaksud dengan dari mata turun ke dompet hehehe.

 

Tampak luar waktu kami pulang sekitar pukul setengah tujuh malam. Romantis ya

Apa isinya?

31 Agu

Teman-teman bisa menebak apa isi stoples ini?

Ada dua jenis... bisa tebak apa isinya? Ya isinya Kue Salju dan Kaastengels

Isi stoples itu memang Kue Salju dan Kaastengel. Kue saljunya berisi kacang mede, meskipun kecil sekali (ukurannya juga kecil sih)

Nah Anda bisa mengira-ngira apa isi kaleng ini?

Kaleng biskuit Khong Guan.... apakah isinya? Buka saja? 😀

Untuk bisa mengetahui apa isi kaleng itu, tentu harus dibuka. Selama bulan Ramadhan dan menjelang Hari Idulfitri, aku sering membaca candaan yang mengatakan, “Mudik ke kampung, menemukan kaleng Khong Guan, isinya rengginang”. Yang mau disampaikan bahwa Lebaran (baca mudik/merayakannya) butuh banyak biaya. Sehingga yang terbeli hanyalah rengginang, dan dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih mahal.

Pertama saya membaca status-status seperti ini memang tertawa. Memang benar, kaleng-kaleng besar bekas kue yang bagus, sering didaur-ulang, reuse, dipakai kembali sebagai tempat penyimpanan kerupuk atau biskuit lainnya. Itu bagus dong. Tapi memang benar juga, karena terbuat dari kaleng, kita tidak bisa mengetahui isinya tanpa membukanya.

Selama bulan puasa, umat Islam menjaga hawa nafsu, terutama rasa haus dan lapar, seperti ditaruh dalam kaleng tadi. Umat beragama lainnya yang tidak puasa pun, sembunyi-sembunyi menutupi apa yang kiranya bisa menggoda iman sahabatnya. Dan bersama-sama membuka kaleng itu bersama pada saatnya, Hari yang fitri, hari ini (atau kemarin).

Dan saat itu kaleng yang baru akan dibuka dan dimakan bersama. Isinya apa? Apakah isinya benar-benar isi biskuit itu, atau rengginang pun tidak jadi masalah. Bahkan bisa jadi isinya rendang, atau kepiting (aku ingat dulu kami sering dihadiahi kepiting dari Makassar dalam kaleng begini…lezat!). Yang penting isinya masih bagus dan layak dimakan. Jangan sampai isinya sudah busuk, atau kotor atau berulat. hiiii

Tapi yang pasti hari ini aku membuka “kaleng hati”ku dan mendapatkan isinya habis terbagi-bagi kepada teman-teman semua. Kukirimkan isi hati ini berikut permohonan maaf jika ada kesalahan dalam bertutur, mengungkapkan pikiran di Twilight Express atau dalam tindakan-tindakan selama ini. Selamat Idulfitri.

(Tahun lalu aku merayakan Idulfitri bersama teman-teman di apartemenku, tapi tahun ini sepiiii sekali. Karena itu aku buka stoples yang memang kubawa dari Jakarta, dan kaleng Khong Guan di atas. Isinya? ….. asli dong hehehe. Aku memang sengaja beli karena terbawa nostalgia waktu masih kecil, senang sekali membuka kaleng biskuit ini. Dan yang nomor satu dimakan adalah wafer kesukaanku! :D)

SPG? Umbrella Girl? Elevator Girl!

29 Agu

Sebetulnya aku belum mau menulis lagi, soalnya toh tidak ada yang baca juga. Semua sibuk mempersiapkan Idulfitri (INGAT! Harus disambung tulis Idulfitrinya hihihi) . Tapi biarlah mumpung masih hangat di otakku, lebih baik dituangkan saja. Daripada keburu lupa. Cerita mudik di Jakarta juga masih banyak yang belum diceritakan, dan sedang ditulis…mohon maaf tertunda lama.

Tadi siang aku pergi belanja. (laporan buk!) Naik sepeda ke arah stasiun, dan di tengah perjalanan aku menemui beberapa perkembangan baru.  Ada satu bangunan baru, yang tadinya sebuah rumah makan kecil, sudah dibangun menjadi rumah baru (ruko) dengan warna lumayan jreng. Kuning. Baguslah, berarti toko itu mengadakan “reformasi”.

Tapi waktu hampir mendekati stasiun dan mau menuju ke parkiran sepeda, aku kaget, karena lahan parkirnya sudah ditutup dengan pagar seng untuk konstruksi bangunan. Wahhh aku musti parkir di mana? Pantas tadi aku lihat banyak sepeda parkir di bawah tangga tempat yang sebetulnya tidak boleh parkir. Untung saja ada celah untuk memarkirkan sepedaku di depan supermarket. Ya sudah aku parkir di situ saja.

Nah, kemudian aku masuk ke supermarket itu, naik ke lantai dua dan dari situ aku pergi ke toko discount, toko murah yang menjual daging, sayur dan ikan. Setiap belanja “besar” aku pasti ke situ, karena harganya “miring” (murah kok dibilang miring ya? :D) . Dan…begitu masuk ke situ aku sedih… karena rupanya toko ikanku itu sudah tutup. Gulung tikar! Tempatnya dipakai untuk menaruh kardus-kardus berisi sayuran dari toko sebelahnya. Sedih! Di mana lagi aku bisa beli ikan yang segar dan bagus 🙁 Ahhh, mungkin toko itu terpaksa tutup karena banyak orang takut makan ikan teradiasi? Atau karena sedikit pembelinya (memang pembelinya lebih sedikit dibanding toko daging/sayur di sebelahnya). Suram deh hatiku 🙁 Padahal aku memang tidak berniat beli ikan hari ini, tapi kok tetap saja sedih.

Sesudah memilih daging dan ayam yang mau kubeli, aku mampir ke toko sayuran, membeli waluh, wortel dan jamur shiitake. Mau membeli ketimun, aku urungkan. Mahal ih… memang banyak sih, sekitar 10 buah seharga 310 yen, tapi aku tidak perlu banyak-banyak (tepatnya tidak bisa banyak-banyak karena belanjaan sudah berat). Harus tahan mata supaya bahan-bahan itu jangan malah jadi masuk tong sampah karena busuk.

Setelah selesai, aku menuju lift yang mengantarku ke lantai 2 dan menghubungkan dengan supermarket tadi. Dalam elevator itu aku dengar kata “elevator girl” itu. Setelah aku masuk lift, rupanya ada pasangan manula yang masuk sesudahku.
Si Bapak berkata: “Ayo elevator girl… tahan pintunya”
dan dijawab oleh si Ibu, “Siapa yang elevator girl?” (Sebetulnya itu juga pertanyaanku, karena aku yang pertama masuk. Masa dia bercanda denganku?)
“Omae deshou, 60 nen mae (Kamu kan, 60 tahun lalu)….
hahaha, aku jadi geli sendiri, dan membuat kau berpaling dan sambil tertawa aku bertanya,
“Deai wa erebeta no naka desuka?” dan si Ibu berkata,
“Bukan kok …” Sambil tertawa. Dan membukalah  pintu elevator itu, dan aku menahannya dan mempersilakan mereka turun duluan. Kulihat si Ibu jalan sedikit  tertatih dengan tongkatnya, sedangkan si bapak masih gesit berjalan dengan jarak 1 meter di belakangnya. Duh… kenapa jauh-jauh sih? Kadang aku suka gemes dengan kemesraan pasangan Jepang 😀 Mereka sama sekali tidak mesra!

Elevator Girl. Kita pasti akan bisa bertemu dengan mereka di Departemen Store terkenal. Mereka berpakaian seragam dan bertugas untuk menyambut tamu (dengan membungkuk) lalu menanyakan ingin ke lantai berapa, dan menghentikan di lantai yang dimaksud sambil membungkuk kepada (calon) pembeli itu. Mereka cantik-cantik! Padahal tugasnya hanya menekan tombol lift saja 😀 Begitulah pelayanan kelas satu dari Departemen Store terkenal. Aku tidak ingat apakah ada Elevator Girl di Indonesia, yang kuingat di Pasific Place adanya petugas laki-laki.

Aku tidak tahu seberapa populernya pekerjaan sebagai Elevator Girl ini. Apakah bisa menyaingi SPG-SPG yang kadang seksi-seksi (kalau pameran mobil dan motor tuh kan seksi-seksi loh. Eh ada nama khususnya ngga ya gadis-gadis motor show?) . Dan aku juga baru tahu bahwa ada istilah Umbrella Girl, setelah berteman dengan Mas Agustus Sani Nugroho. Dia pasti sering cuci mata tuh, dikelilingi gadis cantik pembawa payung setelah racing (tapi aku tidak khawatir karena mBak Cindy lebih cantik dan pintar!). Aku baru tahu 3 sebutan nih, apakah ada lagi Girl-Girl yang lain? Yang cantik-cantik dengan tugas yang (relatif)  ringan?

Sepertinya aku pernah memotret Elevator Girl, tapi sekarang susah carinya di antara begitu banyak file foto. Tidak berani pasang foto-foto dari internet, karena perlu minta ijin. Maunya sih pasang fotonya Mas Nug dengan salah satu Umbrella Girlnya…. nanti deh kalau Mas Nug berkenan ya hehehe. Jadi posting kali ini tanpa foto. Maafken 😀

 

Lasak

28 Agu

Lasak berarti tidak bisa diam. Dan aku biasanya mengatakan lasak untuk seseorang yang tidurnya berpindah-pindah. Jika mulai tidur dengan kepala di atas, bisa dipastikan dia akan bangun dengan kepala di bawah 😀 Pernah kenal dengan orang yang seperti itu? Tidurnya ramai deh hihihi.

Riku tidurnya lasak sekali. Mentang-mentang tempat tidur kami king size, dia bisa awal tidur di sebelah kiri, dan bangun di sebelah kanan, atau di lantai 😀 Kalau tidur bersamanya, siapa saja harus siap diseberangi atau ditindih. Tak jarang Kai menangis tengah malam karena ditiban kakaknya …duh… Dan Riku  paling susah dibangunkan kalau sedang tidur, jadi berarti aku yang harus mengangkat dia dan memindahkannya.

Kai tidak terlalu lasak. Kebiasaanya seperti yang pernah aku tulis juga, adalah menghadap ke kiri (dan aku menghadap ke kanan) tidur bersamaku berhadapan. Jangan sampai aku tidak ada di sebelahnya tengah malam, karena dia pasti berteriak dan mencariku. Kadang jika aku sedang kerja, dia bangun dan memintaku, “Mama, bukannya sekarang waktunya untuk tidur?” Dan terpaksa aku tidur menemaninya.

Tapi, waktu aku pergi berdua Kai ke Bandung waktu itu, aku sempat kaget sekali.  Aku memang terbangun pukul 3 pagi dan terus mengedit foto. Waktu aku ingin tidur sekitar pukul 6 pagi, aku kaget melihat tempat tidurku KOSONG. Loh… kok? Kemana anakku? Aku panggil, “Kai???” sambil mencari ke kamar mandi, tapi tidak ada. Benar aku panik sekali. Masa anakku tiba-tiba bisa hilang? Aku harus cari di mana lagi?  Lalu aku lihat ke bawah dan Kai ada di sana. Di atas karpet, tidur tengkurap dengan enaknya 😀  (Dia memang sering tidur tengkurap di atas lantai jika tidur siang). Untunglah anakku tidak digondol wewegombel hihihi.

 

Kaget sekali aku melihat tempat tidur kosong, ternyata Kai tidur di atas karpet antara tempat tidur dan dinding. Mana dia pakai baju hitam jadi tidak terlihat di keremangan kamar.

Aku sebetulnya terinspirasi tulisan Arman yang mengatakan bahwa Emma sudah bisa bergerak tidurnya/lasak. Tapi waktu aku cari di KBBI daring, apakah benar lasak itu kata yang tepat, memang aku menemukan bahwa kata itu memang benar.  Tapi aku baru tahu bahwa ternyata ada dua arti dari kata lasak itu, yang satunya lagi berarti :

la·sak (a) selalu dipakai (digunakan) sehari-hari; lasah;
pe·la·sak n pakaian sehari-hari

Tapi memang waktu aku googling dengan kata kunci : Baju/pakaian lasak, kebanyakan kalimat itu dipakai oleh negara jiran. Orang Indonesia tetap mengatakan baju sehari-hari dengan …baju sehari-hari. Atau mungkin untuk wanitanya, dipakai kata Daster.

Kata daster sendiri sebetulnya berasal dari bahasa Belanda, duster (duster:    badjas, huisjapon, kamerjas, mouwschort, ochtendjas ). Sedangkan  keterangan di KBBI adalah : das·ter n gaun yg sengaja dibuat longgar untuk dipakai di rumah. Tidak dituliskan sama sekali bahwa daster itu harus terbuat dari kain batik. Kalau baca tulisan Misfah di sini, kita bisa tahu bahwa daster itu kesannya pakaian ibu-ibu middle age. Ibu-ibu muda tidak ada yang mau pakai daster. Aku sendiri dulu waktu masih tinggal di Jakarta memang suka pakai daster, tapi sekarang tidak lagi. Kenapa?

Mungkin ini ada pengaruh dari kebiasaan ibu-ibu Jepang. Aku pernah menuliskan (lupa di posting yang mana) bahwa ibu-ibu Jepang itu begitu bangun tidur langsung pakai baju rapih (meskipun tidak bagus-bagus amat) dan tak lupa bermake-up sebelum mengerjakan pekerjaan rumah, atau paling sedikit sebelum keluar rumah, meskipun keluar rumahnya hanya untuk buang sampah. Memang di Jepang tidak mengenal daster sehingga mereka tidak mungkin dong keluar rumah  pakai neglige atau baju tidur/piama. Yang paling sering aku lihat adalah ibu-ibu ini memakai celana panjang dan blus, dan pasti memakai celemek atau apron.

Celemek bisa dikatakan wajib dipunyai ibu-ibu rumah tangga di sini, karena fungsi celemek memang untuk melindungi baju dari kotoran/air waktu kita mengerjakan pekerjaan rumah. Nah, ibu-ibu Jepang ini pasti memakai celemek, dan sering mereka pergi berbelanja dengan tetap memakai celemek itu! Pertama aku melihat ibu-ibu bercelemek berbelanja, aku merasa heran sekali, tapi sekarang sudah biasa.

Jadi begitulah, aku di sini tidak berdaster, meskipun aku punya daster yang aku pakai untuk tidur. Pagi hari ganti dengan celana panjang dan blus. Tapi aku tidak terbiasa pakai celemek. Pikirku biarlah kalau blusku yang basah, bisa ganti baju saja. Malas aku pakai celemek. Tapi kalau menyambut tamu orang Jepang biasanya aku pakai celemek.

Sebagai penutup aku mau cerita bahwa daster batik yang biasanya dipakai di dalam rumah di Indonesia itu, kadang mendapatkan tempat yang cukup terhormat loh di Jepang.  Karena aku sering melihat nenek-nenek di sini yang memakai daster batik pada musim panas, dan jalan-jalan sambil berbelanja ke supermarket.  Daster batik naik derajatnya di musim panas. Pernah tidak melihat ibu-ibu Indonesia pergi ke supermarket pakai daster?

So, kamu lasak tidak waktu tidur? Dan apa pakaian lasakmu di rumah?

 

 

Ultraman Mebius dan Ultra Seven

26 Agu

Pernah dengar tokoh pahlawan Jepang, Ultraman? Karena aku punya dua anak laki-laki, aku juga harus belajar mengenal kesukaan anak laki-laki, dan salah satunya adalah tokoh Ultraman ini. Riku mengenal Ultraman sejak usia 3 tahun, pasti dari teman-teman di Penitipan Himawari. Dan sejak itu kami memanjakan dia dengan membelikannya boneka plastik bermacam-macam Ultraman, padahal waktu itu yang sedang “tampil” di TV adalah Ultraman MAX ( tayang Juli 2005 – April 2006) . Berbagai alasan untuk membelikan Riku boneka-boneka itu, ya sebagai hadiah ulang tahun atau hadiah Natal. Hampir semua ultraman dia punya, dan jumlah lengkap ultraman sampai dengan 2 yang terakhir/terbaru (Barier dan Ultraman Zero) ada 55 orang! (Aku pernah membeli VCD di Indonesia tentang Ultraman Dyna, Tiga, Taro dll…memang banyak sih. Dan cukup bangga dengan nama Ultraman Tiga, karena Tiga ini memang dari bahasa Indonesia 3, karena konon dia bisa berubah menjadi 3 wujud)

Gaya Ultraman Mebius dan Ultra Seven waktu mengeluarkan sinar untuk menjatuhkan musuh

 

Tapi sejak dia masuk SD, dia tidak suka lagi Ultraman. Katanya ultraman itu untuk bayi! haha. Jadilah adiknya, Kai yang akrab dengan boneka plastik Ultraman dan menganggap semua boneka itu sebagai miliknya. Kai memang lebih aktif bergerak dan bernyanyi. Jadi dia sering menirukan gerak ultraman waktu berubah (henshin). Dan gerakan henshin atau waktu menyerang musuh dengan sinar dari Ultraman Mebius dan Ultra Seven ini  kemudian menjadi trade mark kopdar yang  diadakan di Pasaraya, tanggal 30 Juli lalu.

Coba lihat gaya peserta kopdar yang seragam ini:

atau ini:

Tak disangka, Kai bisa membuat kami semua bergembira, dan bergaya dengan gaya Ultraman Mebius dan Ultra Seven. Tapi coba lihat, dia sendiri lain gayanya. Jika kami bergaya Ultra Seven, dia bergaya Mebius, dan begitu juga sebaliknya. Dasar deh…

Memang sebagai kopdar sebelum puasa, menyusul kopdar hari Jumat sebelumnya di Urban Kitchen Pasific Place, pada hari Sabtu tgl 30 Juli kami mengadakan kopdar lagi. Dilihat dari jumlahnya memang tidak sebanyak kopdar hari Jumat, tapi ramenya? hihihi tak usah dijelaskan deh.

Berdasarkan pengalaman kopdar dadakan tgl 24 Juli yang diadakan di Pasaraya dan saran dari Mas Necky juga, Food Court Pasaraya itu memang pas untuk menjadi tempat pelaksanaan pertemuan kali ini. Berlainan dengan Urban Kitchen, kami di sini memang “dilayani” , bisa memesan makanan dan minuman yang kami mau kepada pramusaji yang berkeliling. Kami bisa membayar saat makanan diterima, atau nanti sekaligus setelah selesai. Karena takut lupa, aku selalu menyelesaikan pembayaran setiap menerima pesanan. Tapi bisa juga kita sendiri yang mendatangi kios/toko yang ada di sekeliling Food court itu, karena misalnya jika kita mau makan gado-gado ada dua tempat yang menjualnya, dan rasanya lain. Dan secara keseluruhan makanan di Pasaraya lebih murah dan lebih bervariasi.

Tentu saja aku pesan sate Mak Sukur yang terkenal itu dong. Aku tahu dari Mas Katon Bagaskara bahwa sate Mak Sukur yang di foodcourt Pasaraya ini yang terenak!!! Jadi waktu aku datang lebih pagi (jam 12) karena mau bercengkerama dengan Yessy dulu, aku langsung pesan sate itu…. Eeeeh satenya belum ada, dan tidak bisa pesan/bayar dulu (biar antar belakangan). Dua kali loh aku bolak-balik ke situ dan belum ada juga. Biasanya aku cepat kesal dan “pindah ke lain hati”, tapi kali itu aku sabar-sabarin ingin tahu bagaimana rasanya. Dan…untunglah aku sabar. Memang sate Mak Sukur  mantap rasanya! (Sejak itu entah berapa kali aku kembali membeli)

dari kiri ke kanan, Ibu Enny, Mbak Linda, Reti, Moza dan Yessy

 

Jadi peserta kopdar Sabtu itu ada 10 orang + 2 calon blogger 😀

Yessy Muchtar, calon penulis dengan blognya Let Me Do It My way…  Kami berdua sudah sering bertemu dan biasanya bersama Puak dan Jumria. Tapi tahun ini   Jumria dan  Puak  amat sibuk sehingga tidak bisa bertemu bersama. Masing-masing memang sibuk dan menurutku pertemuan tidak perlu secara fisik, karena sudah banyak media lainnya. Kalau bisa secara fisik memang bagus, tapi kalau tidak bisa ya apa boleh buat. Aku dan Yessy janjian bertemu lebih awal pukul 11:00  supaya bisa banyak ngobrol, tapi karena tiba-tiba Kai ingin ikut denganku, aku terlambat sampai di Food court yaitu jam 11:30. Masih banyak yang perlu diceritakan tapi karena aku juga mengajak Kai maka aku juga ribet urus makannya dia dan macam-macam sehingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1.

Kai juga suka sekali dengan kedatangan Moza, lihat dia elus-elus kakinya Moza. Dan dia terbahak-bahal waktu tahu bahwa Moza itu gundul waktu lepas topi hijaunya hihihi (Bayi semua gundul nak!)

 

Sambil mengantar Kai ke WC, aku bertemu dengan Mbak Linda a.k.a Bintang. Tahun lalu kami gagal bertemu karena sudah mepet akan kembali ke Jepang dan aku tidak enak badan. Syukurlah kali ini bisa bertemu. Mbak Linda very talented, kalau bertandang ke blognya, Anda bisa melihat gambar-gambar karya mbak Linda, juga tips-tips mengelola bahan daur-ulang. Selain environmentalist, mbak Linda juga sering ikut karnaval!

Setelah mencari tempat untuk 10 orang yang nyaman, kami mulai bicara dan bu Enny datang. Saya senang sekali bu Enny mau datang sampai dua kali, Jumat dan Sabtu. Bu Enny bersama putranya, Ari yang begitu supel dan riang, tidak canggung “ngerumpi” bersama ibu-ibu hehehe.

Peserta kopdar hari itu  juga dihadiri teman SMA ku yang juga blogger Diajeng bersama anaknya Arum (calon blogger!). Kalau membaca laporannya di blognya, ternyata dalam kurun 2 tahun ini kami (baru) bertemu 4 kali. Padahal perasaannya sudah sering berkirim kabar dan mengikuti perkembangan kehidupan masing-masing. Di situ bisa disadari pentingnya media internet untuk menjaga hubungan dan silaturahmi.

Saya juga senang dengan kedatangan Mas Isro beserta ibu yang lebih dikenal dengan nama Batavusqu. Setiap melihat mas Isro aku selalu ingat gowes deh. Dan ngobrol punya ngobrol, istri Mas Isro ternyata berasal dari Sulawesi Selatan juga. Terima kasih loh sudah mau datang ke kopdar Sabtu.

Kai tidak mau berpisah dengan Bang Hery yang betah menemaninya selama mamanya ngobrol kopdar

 

Yang aku juga senang adalah kehadiran Bang Hery Azwan, salah seorang blogger yang kukenal sejak awal ngeblog, sampai-sampai kami pernah mencetuskan “Asunaro” . Sayangnya Bang Hery sangat sibuk dengan kerjaannya sehingga jarang update blognya. Terakhir tulisan bang Hery tentang NLP, silakan di cek ya.

Yang paling anteng adalah Kika yang berkaus hitam wayang. Mungkin karena Kika yang memang pendiam itu  masih membawa kerjaan sehingga dalam kopdarpun paling diam dan serius. Memang cocok dengan blognya yang berisi panduan-panduan managerial.

Di kopdar kali ini aku juga bisa bertemu Retty  N Hakim,  kakak kelas di SMA (satu ekskul sih) dan blogger juga. Seru juga kami berbicara ngalor-ngidul, smapai soal otak kanan dan otak kiri. Bisa juga dibaca di blognya Retty tentang otak kanan-otak kiri ini.

Oh iyaaaa. Di atas aku menuliskan 2 calon blogger. Yang kumaksud adalah Arum anaknya Diajeng, dan Elizabeth Novianty yang datang belakangan. Tapi aku lupa bahwa masih ada satu lagi calon blogger yang hadir di kopdar waktu itu, yaitu MOZAEL, anaknya Reti.  Semoga dalam 15 tahun ke depan, Moza bisa jadi blogger penerus Reti ya 😀

Bersama calon blogger

 

Suasana yang mendukung membuat kami santai ngobrol sampai tiba-tiba musik terdengar. Rupanya menjelang bulan Ramadhan mereka akan menampilkan musik-musik religi sebagai pengantar buka puasa. Nah, musiknya cukup keras, sehingga tidak memungkinkan kami bercakap-cakap lagi. Kebetulan jam sudah menunjukkan pukul 6:30 an, sehingga akhirnya kami bubar jalan deh. Mungkin juga mereka sebetulnya mau mengusir kami karena sudah terlalu lama di sana. LOL

Well, kopdar selalu menyenangkan. Dan memasuki bulan puasa, aku tidak merencanakan mengadakan kopdar lagi, tapi kenyataannya….. masih banyak acara kumpul-kumpul yang aku ikuti setelah kopdar Sabtu itu.

Cerita mengenai kumpul-kumpul kopdar Sabtu itu bisa juga dibaca di sini:

http://edratna.wordpress.com/2011/08/01/food-court-pasaraya-30-juli-2011

http://laraswati.com/2011/08/04/kopdar-pembaca-setia-t-e/

http://elindasari.wordpress.com/2011/08/03/yang-pertama/

http://yessymuchtar.wordpress.com/2011/08/02/mbak-em-kai-dan-ultraman-jejadian/

Aku dan Dia

24 Agu

Ah, senangnya aku karena aku bisa bertemu dia tahun ini. Memang bukan “dia” nya mas NH18, meskipun aku memang ingin sekali bertemu dia. Belum jodoh sepertinya. Tapi tahun ini aku “jodoh” bertemu dengan dia-dia yang lain, dan sempat berfoto berdua dengan si dia. Kenalkan si dia yang kutemui.

Aku dan dia, Isnuansa a.k.a Nunik. Pertemuanku dengan mbak Nunik ini baru pertama kali meskipun sudah cukup lama aku mengikuti blognya. Nampaknya mbak Nunik sedang sibuk wara-wiri untuk perhelatan besar (dengar gosip).

Aku dan dia, Indah Juli empunya PendopoTatito. Kali ini adalah pertemuan kedua kami. Tahun lalu kami tidak bisa bertemu karena mbak Injul, demikian aku memanggilnya, sibuk dengan batitanya. Aku masih ingat pertama kali bertemu mbak Injul di Omah Sendok th 2009 dalam keadaan hamil. Dan selama ini mbak Injul sangat aktif menulis buku-buku untuk anak-anak. Aku iri benar dengan kegiatan mbak Injul ini. Hebat!

Aku dan dia, Mbak Monda Siregar. Mbak Monda adalah salah satu blogger yang harus kutemui tahun ini. Sebetulnya sebelum berangkat aku sudah memberitahu jadwal kedatanganku kepada mbak Monda, karena kami ingin mengatur kodpar yang agak lain, yaitu kunjungan ke Museum Harry Dharsono, yang pernah diulas oleh mbak Monda di sini. Tapi setelah bertukar informasi, kami akhirnya memutuskan tidak jadi, karena kami perlu mengumpulkan 15 nama dan harus menunggu jadwal dari HD sendiri. Apalagi sudah memasuki bulan puasa. Ribet deh. Mungkin tahun depan ya mbak.

Aku dan dia, Mas Necky Effendy pemilik blog Sentilan. Pertemuanku dengan Mas Necky ini yang kedua setelah pertemuan di Pasaraya hari Sabtu sebelumnya. Dan sebetulnya aku sempat minta sarannya tentang tempat pelaksanaan kopdar hari itu. Sayang sekali aku tak bisa bertemu dengan ke 3N, putra-putri mas Necky yang sering menjadi topik tulisannya. Padahal aku berharap menjadi model foto si mbak N loh hehehe.

Aku dan dia, Devi Yudhistira pemilik blog Belajar dari Anak-anak. Ini pertama kali aku bertemu mbak Devi, yang aku kagumi dari usahanya untuk belajar dari dan bersama anak-anak. Aku sudah bisa dipastikan tidak punya kesabaran seperti yang dipunyai mbak Devi. Seperti juga mbak Monda, mas Necky, pak Iksa, aku belum ada setahun berkenalan dengan mbak Devi ini, tapi seakan sudah banyak belajar dari dia.

Aku dan dia, Pak Iksa Menajang, penulis dua blog foto. Setiap bertandang ke blognya, aku merasa terhibur, dan tak jarang ngiler karena foto-foto yang hidup dan kebanyakan foto makanannya mengundang selera yang melihatnya. Karena pak Iksa tinggal sampai terakhir, aku mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap dengannya, dan mengetahui bahwa banyak keluarga pak Iksa yang aku kenal, karena sekantor dengan papa dulu. Nama keluarga itu memang ada gunanya untuk menghubungkan dengan orang-orang yang pernah kita kenal, yang jikat dirunut ternyata ada saja hubungannya.

“Dia”nya hanya enam orang? Tidak juga, ternyata aku lupa membuat foto berdua dengan yang lain. Padahal ada 15 orang yang datang hari itu, Jumat 29 Juli 2011. (Maaf ya laporannya telaaaat sekali hehehe)

Peserta Kopdar tgl 29 Juli 2011, di Urban Kitchen Pasific Place. (Ada beberapa yang sudah pulang)

Aku dan dia, Ibu Enny D Ratna. Siapa yang tidak kenal ibu Enny yang memang sudah lama ngeblog. Tentu saja pertemuanku dengan bu Enny sudah tidak bisa dihitung dengan jari, karena cukup sering. Dan bu Enny memang meluangkan waktu hari Jumat itu, bahkan menemaniku sampai acara selesai pukul 6:30 malam! Juga berkenan dipakai nomor HP nya, karena aku tidak menyangka batere BB ku secepat itu habisnya.

Aku dan dia, Krismariana. Aku sudah beberapa kali bertemu bahkan bermain bersama Kris di Taman Safari atau Museum Tekstil tahun lalu. Kecintaan pada buku mungkin yang menyambungkan kita berdua. Sering aku dicarikan buku-buku langka, terutama waktu Kris pulkam ke Yogya dan membelikan aku beberapa buku permintaanku. Buku terakhir yang diberikannya adalah Kerygma & Martyria sebuah buku tebal kumpulan puisi penulis kesayanganku, Remy Sylado. Sayang sekali tahun ini kami belum bisa bermain bersama lagi, karena anak-anak juga malas untuk keluar rumah.

Aku dan dia, Putri Rizkia. Nah kalau Putri yang ini sudah yang kedua kalinya. Bersama Mas Necky aku bertemu Putri pada kopdar Pasaraya minggu lalunya. Tapi kali ini Putri tidak begitu “terdengar” cuap-cuapnya karena juga harus cepat-cepat kembali ngojek (kembali ke kantornya).

Aku dan dia, Lady Clara. Pertemuan kedua kami, pertama bertemu setelah menyandang predikat Nyonya :D. Clara mengajak temannya Reza, yang kabarnya suka dengan segala sesuatu yang berbau Jepang (bau Jepang itu seperti apa ya? Kecap asin ya? hehehe)

Aku dan dia, Reza (ngga pake artamevia). Reza belum mempunyai blog, dan diharapkan secepatnya membuat (ini perintah! hahaha).

Aku dan dia, Mas Agustus Nugroho. Aku sendiri lupa sudah berapa kali kita bertemu, tapi seingatku pertemuan ini yang ke tiga. Karena pertama bertemu tahun 2009, lalu kopdar di Tokyo, dan selanjutnya hanya bertukar sapa di blog dan FB saja. Mas Nug juga cuma sebentar saja bercengkerama dengan yang hadir, karena masih banyak meeting-meeting yang menunggu. Untung saja meetingnya diadakan di Pasific Place, sehingga bisa “nyelinap” sebentar ke lantai 5, tempat Urban Kitchen berada.

Aku dan dia, Witcha Fauzi. Adik mayaku yang satu ini sudah berkali-kali bertemu di Jakarta maupun di Tokyo. Dan anak-anak sudah kenal dengannya yang memang bisa berbahasa Jepang. Karena ada janji bahwa anak-anak akan diantar ke Kidzania oleh Witcha, maka aku mengajak anak-anak ikut serta. Tapi….karena ada hal-hal yang mendadak, Witha baru bisa datang sebelum pukul tiga, dan selama itu aku tak bisa berhubungan dengannya karena telkomselnya ngadat! Haduh susah deh membawa anak-anak yang tidak sabaran untuk bermain sendiri dan disuruh tunggu sampai jam 3, hihihi. Jadi begitu Witcha datang, mereka langsung pergi ke Kidzania. Untung saja Witcha sempat berfoto bersama blogger yang lain. Terima kasih banyak ya Witcha sudah bersedia ngangon anak-anakku hari itu.

Aku dan dia, Yoga Amaliasari. Yoga termasuk blogger lama dan aku telah sering bertemu dengannya. Tulisannya di blog tidak bisa dikategorikan ringan, tapi patut mendapat pemikiran. Cobalah sesekali bertandang ke blognya. Kali ini meskipun sebentar, Yoga bisa hadir bersama blogger-blogger lainnya di Pasific Place.

dan dia yang terjauh adalah Ira Hairida a.k.a Itik kecil. Aku terbilang baru berkenalan dengannya di blog, suka dengan gaya menulisnya yang pendek-pendek. Dan merasa beruntung sekali, Ira mau mampir ke PP langsung begitu mendarat di Jakarta. Namun Ira terlihat sibuk dan capek, dan hanya sebentar saja bercakap-cakap bersama kami. Senang sekali mendapat tamu dari Palembang. Terima kasih ya Ira.

Aku dan Itik Kecil... untung ada foto kami berdua. Kesempatan langka nih

 

Tahun lalu, begitu mendarat aku membuat semacam kopdar “besar” yang isinya kebanyakan memang ibu-ibu di Cafe Lokananta, Blok M. Tahun ini aku ditanya oleh Eka, Kris, ibu Enny, Yessy, Ria, Reti…. apakah akan ada kopdar besar lagi. Terus terang aku katakan, “Malas! Aku malas mengorganisir pertemuan dengan para blogger lagi. Lagipula kalau mau buat harus sebelum Ramadhan dimulai.” Tapi hari Selasa itu aku berpikir, ya lebih baik aku tentukan saja hari Jumat dan Sabtu untuk bertemu dengan blogger yang bisa dan kebetulan punya waktu. Hari Jumat untuk mereka yang tidak bekerja atau kantornya dekat sedangkan hari Sabtu untuk yang tidak bisa hari Jumatnya. I’d be a good host.

Dengan memakai fungsi event pada FB saya melemparkan undangan untuk dua hari ini. Senang sekali banyak yang antusias dan berkenan hadir untuk berkumpul bersama. Meskipun banyak juga yang sudah niat hadir tapi batal karena sakit/ kerja mendadak. Terima kasih atas kedatangan teman-teman semua. Puas rasanya bisa bertemu teman-teman, meskipun mungkin predikat blogger itu sudah pupus (update terakhir mungkin 1 th lalu hihihi). Tapi sekali kita dekat dengan orang, temu muka atau temu maya tidak masalah. Its about heart.

Tempat pertemuan di Urban Kitchen sempat aku diskusikan dengan Mas Necky dan kami sepakat bahwa tempat itu paling praktis dan dekat dengan kantor-kantor/busway. Bagi yang belum tahu, Urban Kitchen itu adalah semacam Pujasera/kumpulan kios makan dengan berbagai pilihan masakan (Aku sendiri pasti beli bakwan campur di sini hehehe). UK ini ada di beberapa mall terkenal, tapi sengaja kupilihkan di Pasific Place karena paling dekat rumahku dan besar kapasitasnya (juga terang…di Sency kesannya gelap gitu). Waktu aku datang ke sana pukul 11:20, masih banyak tempat kosong dan waktu aku minta diaturkan tempat dengan 18 kursi, petugasnya langsung menyediakannya. Katanya sih memang sulit untuk reserved tempat di situ, tapi jika ada yang bisa datang lebih pagi akan mudah meminta tempat.

Setiap pengunjung (kecuali anak-anak) yang masuk ke restoran akan dibagikan kartu hijau yang  dapat diserahkan pada petugas kios untuk dimasukkan komputer makanan apa yang kita makan. Sistem ini bagus untuk pelaksanaan dengan sistem BSS (Bayar Sendiri Sendiri) dan memungkinkan orang untuk masuk keluar seenaknya sesuai kesibukan masing-masing dan membayar sesuai yang terekam dalam kartu hijau itu di kasir tanpa harus menitipkan uang pada yang terakhir bayar. Praktis. Karenanya UK cukup banyak dipakai untuk pertemuan reuni atau kopdar. Memang harga makanannya relatif mahal tapi not bad lah 😀

Baca juga tulisan tentang Kopdar saat itu di blog teman-teman yang hadir

http://isnuansa.com/kopdar-seru-banget/ 

http://clararch02.blogspot.com/2011/08/kopdar-blogger-dan-pembaca-te.html

http://edratna.wordpress.com/2011/07/30/urban-kitchen-pp-29-juli-2011/

Kopdar … Kopdar …

http://tulisannugroho.wordpress.com/2011/07/31/kopdar-lageee/

http://sentilan.blogspot.com/2011/07/kopdar-jilid-2.html

http://mondasiregar.wordpress.com/2011/07/31/kopdar-paling-ramai/

http://doppelgangerishere.wordpress.com/2011/08/03/kopdar-kencan-impian/


Rumah Manis Rumah

21 Agu

Itu cuma terjemahan langsungnya home sweet home. Memang kami, deMiyashita sudah mendarat di Tokyo dengan selamat tadi pagi, 21 Agustus 2011. Kembali ke rumah kami di Tokyo, meskipun kemarin enggan rasanya kami memasuki pintu pesawat. Riku tak kalah menangisnya dengan mamanya. Dia tidak mau berpisah dengan opanya, sementara mamanya terus memeluk oma. Kai? Tertawa saja, dan heran kenapa Riku dan mamanya sedih begitu. Tapi karena Riku pula, aku dan Gen menangis terharu di ruang tunggu. Mau tahu apa yang dia bilang?

“Mama, aku mau tinggal di Jakarta saja dengan Opa. Nanti mama jemput tahun depan saja. Aku janji aku akan menelepon mama setiap hari” (OMG, apakah aku sudah harus bersiap melepas anak-anakku untuk belajar di luar negeri secepat ini?)

“Mama, Opa bilang aku harus belajar yang rajin. Nanti aku cepat lulus dan pindah ke Indonesia.” (Boleh nak, mama juga sedang berpikir untuk membuat paspor Indonesia untukmu dengan melihat kamu suka sekali dengan Indonesia begini. Kelak jika kamu dewasa kamu bisa memilih apa yang terbaik bagimu)

“Mama, aku mau rajin pergi ke gereja dan sembahyang terus….” (Aku tak bisa berkata apa-apa mendengar hal ini….. saking terharunya. Dan malam ini dia yang memimpin doa bersama sebelum tidur…. semoga berlanjut terus keinginannya ini)

 

Riku - Kai dan Opa

Bahagianya aku mempunyai anak yang halus perasaannya dan memperhatikan hubungan antar manusia. Sering aku harus memeluknya setiap perpisahan dengan teman-temanku karena dia menangis. Dulu waktu berpisah dengan Om Dannynya di Yogya, atau dengan Radya di Tokyo kemarin. Tapi memang tangis yang paling hebat setiap berpisah dengan opanya. Bayangkan liburan kali ini aku sendiri jarang pergi berdua atau bertiga dengan Riku dan Kai. Riku sudah bisa bahasa Indonesia sehingga dia lebih memilih tinggal di rumah dan tidak membuntuti mamanya.

Well, Rumah kami memang di Tokyo, tapi aku juga merasa mempunyai rumah di Jakarta. Mempunyai juga rumah di Indonesia, dan juga rumah maya di dunia maya.

Pernahkah kalian memahami perasaan kami yang di perantauan? Memang keputusan akan hidup di mana merupakan  keputusan masing-masing. Tapi banyak hal yang memang HARUS diputuskan tanpa bisa menggabungkan semua perasaan untuk menjadi yang terbaik. Harus ada yang dikorbankan sesaat, bukan dikesampingkan.

Seperti pernah kutulis dalam “How Jawa are You“,  Saya percaya, jika manusia keluar dari “sarang”nya bukan hanya bisa melihat pemandangan indah di luar, dan terlebih dapat melihat ke dalam sarangnya sendiri dengan lebih obyektif dan bahkan mendalaminya. Meskipun kadang saya –sebagai manusia tak bersuku– merasa gamang dalam menentukan dimanakah sebetulnya sarangku itu. Yang saya tahu, hutanku adalah Indonesia!

Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, kami tetap orang Indonesia meskipun kali ini tidak tinggal, tidak berumah, tidak berada di Indonesia. Dan mungkin kami akan mendapat cacian setiap kali kami menuliskan kebaikan negara tempat tinggal kami padahal maksud kami untuk bahan pelajaran. Tidak jarang orang meragukan keindONEsiaan kami, tapi percayalah …. mau tidak mau kami tetap memikirkan hutan kami, tempat kami berasal.

Karena itu aku sangat mendukung ide dari Donny Verdian untuk membuat aggregator dan blog khusus warga/orang Indonesia yang sekarang sedang di luar negeri dan diberi nama KITAINDONESIA.NET. Silakan bertandang ke sana, dan jika ada di antara teman-teman yang tinggal di luar Indonesia atau  punya kenalan yang  bersedia dicantumkan linknya di KITAINDONESIA.NET ini  untuk menghubungi admin (atau boleh juga di komentar sini) supaya bisa ditambahkan URL nya.

Dan jika dipikirkan lebih lanjut, alangkah bahagianya jika memang kita mempunyai beberapa RUMAH yang MANIS untuk ditinggali, meskipun ada kesedihan dan keharuan setiap kita berpindah, untuk sementara. Karena sebetulnya Your home is where your heart is 🙂

 

Duniaku di Rumah, atau di Rumah Dunia

11 Agu

Bagi seorang bayi dan balita, dunianya pasti hanya ada di rumah. Penitipan atau playgroup hanyalah tambahan. Memasuki usia SD dunia anak-anak ini bertambah menjadi rumah dan sekolah. Tapi untuk anak jalanan yang tidak bersekolah? Haruskah dunianya jalanan saja?

lihat senyum mereka, anak-anak bermain pada peringatan Hari Anak di Rumah Dunia

Waktu aku berkunjung ke Rumah Dunia tanggal 25 Juli lalu, aku sempat bertemu dengan seorang ibu berjilbab, yang kemudian disapa oleh Mas Gong,
“Cari siapa bu?”
“Anak saya pak….. Dia katanya ikut lomba”
“Ohhh ya di sana”

Mungkin ibu ini adalah satu dari sekian banyak ibu yang mencari dan menemukan anaknya di Rumah Dunia, bermain, bersendagurau dengan teman-temannya, membaca buku dan belajar menulis. Sebagai seorang ibu, aku juga akan lebih suka jika anak-anakku bermain di sini, di Rumah Dunia, daripada di warnet atau di jalanan.

Bersama Mbak Tias, Mas Gong dan Uda Vizon.... orang-orang yang aku kagumi

Rumah Dunia sudah berusia 10 tahun, dan aku mengenalnya baru 2 tahun. Jika Anda tahu Roy (tokoh dalam “Balada si Roy”), Anda tahu pengarangnya Gola Gong, semestinya juga tahu sepak terjangnya mendirikan Rumah Dunia ini. Masalahnya aku tidak kenal siapa itu Gola Gong. Pas “Balada si Roy” tenar di Jakarta, aku sudah tinggal di Jepang. Apalagi waktu itu adalah awal-awal aku tinggal di Jepang untuk belajar, sehingga aku menutup semua info tentang Jakarta…dan saat itu belum ada internet. Sampai sekitar awal 2009 dari percakapan dengan Daniel Mahendra tentang persahabatannya dengan Mas Gong yang begitu dibanggakannya. Dan aku resmi menjadi teman mas Gong September 2009. Aku kemudian memantau kegiatan Mas Gong dan istrinya Tias Tatanka lewat FB, dan media internet lainnya.

Membahasa, mengapa di Indonesia tidak ada karakter yang begitu berpengaruh seperti ultraman. Di depan bangunan awal mula mengumpulkan anak-anak mengenal buku, membaca dan berekspresi.

Dari situlah aku mulai mengenal keberadaan Rumah Dunia, yang ternyata sudah 10 tahun berdiri. Berawal dari buku-buku yang dibiarkan untuk dipinjam anak-anak sekitar, yang waktu itu sama sekali tidak mempunyai minat membaca. Kalau membaca curhat mbak Tias, bagaimana anak-anak itu datang hanya “berantakin” atau kadang menyobek buku-buku, tanpa ada niat membaca, ikut merasakan sedih dan gemes. Tapi berkat kesabaran mbak Tias dan Mas Gong, anak-anak itu kemudian dapat menghargai buku. Awalnya sering disogok dengan pisang goreng, atau didongengi, atau bermain bersama. Lama kelamaan mereka datang sendiri untuk membaca sendiri. Sebuah perjuangan yang tak kenal lelah… dan untuk siapa? Untuk anak-anak calon penerus bangsa. Usaha literasi lokal berawal dari Komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, Banten.

RUMAH DUNIA
Pustaka, Jurnalistik, Sastra, Rupa, Teater, TV
Mencedaskan dan Membentuk Generasi Baru
Berwawasan luas, bermula dari yang Kecil, dan terus berkarya

Terus terang aku kagum pada pasangan suami istri bersahaja ini. Yang mencurahkan perhatian dan kegiatan mereka bagi masyarakat sekitar. Mungkin sudah banyak taman baca yang sudah didirikan di Indonesia, tapi kurasa baru sedikit taman baca yang bisa langgeng terus berdiri sampai saat ini, dan menghasilkan alumni, pihak-pihak yang saling membantu menjaga dan memajukan sebuah mimpi bersama. Lihat saja mereka terus memperluas lahan Rumah Dunia demi menyediakan tempat bermain bagi anak-anak. Ada tanah seluas 1873 m2 yang sedang dibeli Rumah Dunia untuk dijadikan Rumah Budaya termasuk mendirikan WC. Aku ikut berdebar-debar setiap menjelang jatuh tempo pembayaran cicilan tanah itu, sambil berdoa agar lebih banyak lagi orang menyumbang pembelian tanah tersebut. Masih ada tahap ketiga sebesar 150 juta yang jatuh tempo tanggal 1 januari 2012. Andai aku konglomerat…. ah….

Ketika aku bertandang ke Rumah Dunia untuk kedua kalinya tanggal 25 Juli lalu, aku sempat diwawancarai seorang gadis manis. Dia bertanya, “Mengapa mbak Imelda mau ke Rumah Dunia yang begitu jauh ini? Apa yang menyebabkan mbak memilih Rumah Dunia?”

Diwawancarai Hana, dari Rumah Dunia sampai jurnalistik

Memang aku merasa, aku sedang mencari sebuah tempat yang bisa menjadi tempat yang disana aku merasa memiliki. Jakarta adalah rumahku sebelum aku pindah ke Jepang, tapi Jakarta tidak mempunyai daya tarik lagi untuk dimiliki. Kita akan merasa memiliki sesuatu jika di dalamnya kita mempunyai andil untuk membesarkannya. Dan aku bertemu Rumah Dunia, dan aku merasa cocok dengan pemikiran Mas Gong dan Mbak Tias. Aku yakin tanpa mas Gong dan mbak Tias, aku tidak akan sampai ke Rumah Dunia.

“Tapi mbak, RD ini kan jauh dari Jakarta. Kok mbak mau sih jauh-jauh datang?”. Laaah kan ada mobil? Kan ada waktu? Serang itu tetangganya Jakarta loh. Apa salahnya kita mengunjungi tetangga? Dan di mobil dalam perjalanan pulang aku sempat berpikir, seandainya aku tinggal di Jakarta, bukan di Jepang yang datang untuk mudik saja, apakah aku masih mau meluangkan waktu datang jauh-jauh dalam macet ke Rumah Dunia? hmmmm. Mungkin tidak juga.

Semakin kujawab pertanyaan yang diajukan, dan sambil menuliskan posting ini (yang amat memakan waktu…karena aku sambil berpikir…”WHY”) aku tahu bahwa aku menemukan sosok “Terakoya” di sini. Terakoya adalah suatu wadah pendidikan jaman Tokugawa yang bersifat sukarela. Terakoya meskipun mengandung kata “tera” atau kuil, sudah tidak membawa unsur agama di dalamnya. Tanpa ruang kelas yang formal, seorang guru terakoya menerima kedatangan para murid di rumah. Mengajarkan murid-murid yang berasal dari masyarakat biasa itu membaca, menulis dan berhitung, 3 dasar pendidikan. Murid- murid itu tidak membayar dengan uang, tetapi dengan barang atau jasa yang mereka punyai. Petani akan memberikan hasil panennya, atau hanya sekedar menyapu rumah sang guru. Dan keberadaan Terakoya pada jaman itu berhasil “memelekkan” masyarakat Jepang sehingga siap untuk menyerap ilmu dari luar pada saat restorasi Meiji (1868). Terakoya adalah bidang penelitianku untuk lulus dari Sastra Jepang UI tahun 1991. Dan ….aku bertemu kembali dengan model mirip terakoya ini di Rumah Dunia.

terakoya, sekolah informal jama Edo, Tokugawa 浮世绘 加贺藩仪式风俗图绘「寺子屋」

 

Ada banyak alasan bagiku untuk terus kembali ke Rumah Dunia, kecintaan pada buku, keinginan memajukan pendidikan, keinginan untuk memberikan anak-anak tempat bermain dan membaca, kecemburuan pada Mas Gong dan Mbak Tias dalam mewujudkan cita-cita bersama, keprihatinan pada perkembangan anak-anak Indonesia jasmani dan rohaninya…. banyak alasan lain. Dan semuanya ingin kucari dalam binar mata dan senyum tulus anak-anak Indonesia.
Aku akan datang lagi.
Ke sini.
Ke Rumah Dunia.

 

 

 

Silakan baca tulisan Uda Vizon tentang kunjungan kami ke Rumah Dunia, tanggal 25 Juli yang lalu di sini.

http://hardivizon.com/2011/07/31/bermain-di-rumah-dunia/

Mas Gong, Kai dan gaya Ultraman

Pertemuan

7 Agu

Syukurilah setiap anugerah perjumpaan karena setiap perjumpaan memberi perubahan dalam diri kita. Doakanlah setiap pribadi yang dijumpai karena melalui merekalah kasih Tuhan menjadi nyata dalam hidup kita.

Itu adalah status dari salah seorang Friend di Facebook saya, Robert Agung Suryanto OFM, seorang misionaris di Jawa Barat. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Pastor  Robert tapi melalui rangkaian pertemanan yang lain, bisa menjadi friendnya. Dan pagi itu aku merasa sejuk dengan status itu, karena sesungguhnya aku pun merasakan hal itu.

Jika teman-teman membaca posting-posting teman-teman blogger akhir-akhir ini memang dipenuhi oleh nuansa kopdar dan ramadhan. . Kopdar itu sendiri merupakan kata khusus yang dipakai di kalangan blogger, singkatan dari kopi darat. Teman-teman maya bertemu di kenyataan = kopdar =pertemuan. Dan selama 2 minggu aku berada di tempat kelahiranku ini, hampir setiap hari kupenuhi dengan kopdar dan pertemuan.Dan laporan mengenai kopdar-kopdar  itu belum sempat aku tulis di TE. Bagaimana bisa menulis kalau setiap hari jadwal padat? Atau jika ada waktu di rumahpun koneksi internet tidak memungkinkan? Benar-benar keteteran.

Kenapa sih aku begitu “getol” kopdar? Pernah kutuliskan dalam posting sang inyiak nya Putri di sini, sbb:

“It takes two to tango” kalau salah satu tidak mau tidak bisa terjadi sebuah rangkaian tarian indah.

Mas, aku senang kalau bisa mempertemukan sahabat-sahabat blogger, aku senang dia senang semua senang…apa lagi coba yang dicari. Apalagi kalau belum pernah ketemu. AKu ingin bisa bertemu semua kenalan, blogger, sahabat…at least sebelum semuanya terlambat dan Imelda hanya tinggal nama :D

Ada juga kok setelah bertemu malah menjauh dan bermusuhan, tapi yang penting aku sudah berusaha membuat jaring laba-laba yang kuat.

Kesempatanku hanya sekali setahun, karena aku jauh… Mungkin jika aku tinggal di Jakarta juga tidak akan segetol ini ingin bertemu teman :)

Hari Senin tanggal 25 Juli (aduh udah lama sekali berlalu ya?) itu aku melakukan dua pertemuan. Satu berupa kopdar dengan Uda Vizon dan satu berupa pertemuan dengan tokoh di dunia penulisan yaitu Mas Gola Gong. Keduanya orang yang saya hormati dan saya hargai karena kesederhanaannya sekaligus sepak terjangnya.

Memang sehari sebelumnya aku sempat kopdar dadakan dengan Uda Vizon, tapi saat itu boleh dikatakan aku tidak sempat bertukar sapa dengan Uda. Jadi pada pertemuan hari Senin itu aku mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap dengannya.

Aku mengenal Uda Vizon melalui blog om-pak-mas Ordinary Trainer (memang dia makelar blog sejak aku mengenalnya th 2008). Kami mulai menjadi akrab sejak aku merencanakan kunjungan ke Kweni untuk bertemu bocah-bocah yatim di sana, Maret 2009. Jadi kopdar pertama kami adalah tanggal 5 Maret 2009 di hotel Rumah Mertua Yogyakarta. Bukan saja di kopdar pertama saja, tapi sejak aku chatting persiapan kunjungan, aku banyak belajar mengenai muslim dan agama islam  pada ustad bersahaja ini.

Setelah 2 tahun berselang, baru kami bertemu lagi kali ini di Jakarta. Tapi…rasanya kami sudah sering berjumpa, sampai aku kaget sendiri menemukan kenyataan bahwa aku dan Uda baru dua kali bertemu fisik. Rasanya aku cukup tahu tentang Uda dan keluarganya melalui blog, dan akhir-akhir ini melalui facebook.

Karena itu waktu kami melewati waktu dengan brunch sushi  di Sushi Tei Plaza Senayan, kami tidak lagi bertanya “Bagaimana kabar keluargamu” tapi sudah langsung berbicara mengenai pemikiran-pemikiran dan cerita-cerita lain yang belum diketahui dari blog masing-masing. Tentang gempa di Tohoku, tentang PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) seorang anak di Padang yang menyebabkan bapaknya pindah kerja, pindah kota. Suatu cerita yang sama yang dialami oleh adik iparku pasca gempa, meskipun penyelesaiannya berbeda. Mengenai kuliner Jepang karena kami makan sushi, mengenai pendidikan di Jepang dan lain-lain. Silakan baca juga tulisan Uda tentang kopdar kami di sini.

Satu tambahan cerita seperti yang juga sudah dituliskan Uda yaitu waktu kami keluar dari restoran sushi kami berpapasan dengan 4-5 orang murid SMA berseragam. Kami menyatakan keheranan kami dengan berpandangan, dan membandingkan situasinya dengan kami di jaman dulu. Mau traktir makan bakso saja susah, ehhh ini ke restoran sushi yang sudah pasti jauuuh lebih mahal, dan … yah bukanlah tempat makan yang cocok untuk pelajar. Mewah!

Tapi ternyata aku baru mengetahui  dari Apin sempai bahwa sekarang ada trend, kecenderungan di kalangan remaja untuk berlomba-lomba makan sushi. Seakan sushi itu menjadi “standar pergaulan”. Belum asyik rasanya kalau remaja sekarang tidak bisa makan sushi. Sehingga katanya banyak orang tua yang “terpaksa” mengantar anaknya makan sushi dan menraktir anak-anak di restoran sushi, sedangkan dia si orang tua sendiri tidak makan, HANYA SUPAYA ANAKNYA TIDAK KETINGGALAN JAMAN, dan tidak dikucilkan. Waaah suatu pendidikan yang salah. Jika alasannya untuk kesehatan (karena sushi itu memang termasuk makanan sehat) OK deh. Tapi untuk memenuhi standar pergaulan? Salah besar tuh. Turut prihatin atas kecenderungan ini. Di satu pihak aku memang senang bahwa semakin banyak orang Indonesia bisa makan dan mengetahui kuliner Jepang, tapi jika hanya untuk menjadi GAUL… tunggu dulu deh. Kerja dulu, cari uang sendiri dulu baru boleh makan makanan yang mahal. Tentu saja aku tidak menentang jika orang tua membelikan makanan mahal pada anaknya SESEKALI, karena aku juga selalu berusaha memberikan kesempatan pada anak-anakku untuk makan yang mewah dalam kondisi tertentu seperti peringatan/selamatan, tapi jangan jadikan kebiasaan. Memang benar “duit gue ini“, tapi pikirkan dampak negatifnya juga terutama di masa depan.

Terima kasih atas pertemuannya Uda. Semoga kita dapat bertemu lagi.