Menurut KBBI, label (ternyata sudah menjadi kata bahasa Indonesia) adalah 1 sepotong kertas (kain, logam, kayu, dsb) yg ditempelkan pd barang dan menjelaskan tt nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat, dsb; 2 etiket; merek dagang; 3 petunjuk singkat tt zat yg terkandung dl obat dsb; 4 petunjuk kelas kata, sumber kata, dsb dl kamus; 5 catatan analisis pengujian mutu fisik, fisiologis, dan genetik dr benih dsb. Tentu saja dalam kehidupan kita sehari-hari banyak berjumpa dengan apa yang dinamakan label. Aku ingat dulu jaman SD-SMP ada trend untuk membuat label nama dan alamat di atas kertas stiker lalu bertukaran dengan teman-teman. Labelku jaman itu sederhana berwarna perak dengan tulisan hitam, karena paling murah. Bisa pakai gambar macam-macam kalau mau tapi ya harus tambah biaya tentunya.
Hari ini aku masih ingin melanjutkan tulisan kemarin soal kunjunganku ke SD Riku. Jam pelajaran ke 5 aku mengikuti pelajaran “Mengenalkan Buku” (Bahasa), dan yang menarik kelas 3 yang terdiri dari 3 kelas, dicampur muridnya, sehingga satu kelas berisi sepertiga dari murid kelas 3-1, 3-2 dan 3-3. Riku di kelas 3-2. Menurutku ini juga usaha yang bagus untuk mengendalikan anak-anak yang ramai di kelas biasanya. Maklumlah kalau teman sekelas kan sudah biasa bercanda. Dan kali ini setiap murid-murid dibagi menjadi grup beranggotakan 3 anak. Setiap anak harus memperkenalkan buku yang menurutnya bagus. Jalan cerita dan menerima pertanyaan dari 2 temannya mengenai buku itu. Jadi seperti latihan review buku deh. Sebetulnya aku agak sebal dengan Riku, karena dia memilih buku bukan berupa cerita, tapi kamus bergambar mengenai Kupu-kupu dan Ngengat! Bagaimana coba buat review kamus? Tapi Riku bilang gurunya tidak melarang dan tidak menegur apa-apa, jadi ya sudah biarlah Riku memperkenalkan kamus bergambar itu. Tapi sepanjang yang aku lihat, salah satu temannya amat tertarik dengan buku yang diperkenalkan Riku dan banyak bertanya. Syukurlah. Sebagai penutup pelajaran ke 5 itu, mereka harus menulis kesan tentang pelajaran itu. Jadi pelajaran ini mengajarkan : cara berpidato, cara mendengar dan bertanya, serta cara menulis kesan-kesan. Hmmm makanya orang Jepang suka baca, karena diwajibkan banyak membaca di sekolah. Oh ya, ada satu buku yang dijadikan “Buku Pilihan kelas 3-2” yaitu Petualangan Tom Sawyer. Well, aku akan belikan untuk Riku, karena aku ingat waktu kecil aku juga baca buku ini.
Pelajaran ke 6 tentang mata pencaharian masyarakat sekitar(IPS), dan ini yang berhubungan dengan label. Jadi masing-masing murid diharapkan membawa label bahan makanan dari rumah. Semua bahan makanan di Jepang PASTI ada label keterangan berupa:
1. Nama bahan
2. Daerah asal
3. Cara penyimpanan (kulkas-suhu kamar)
4. Tanggal pembuatan
5. Kedaluwarsa
6. Harga per gram
7. Berat bersih
8. Harga jual
9. Perusahaan pengemas
Oleh gurunya masing-masing murid menerima peta buta peta Jepang tanpa tulisan apa-apa, serta selembar kecil peta lengkap. Di lembar peta buta itu mereka harus menuliskan daerah itu menghasilkan bahan makanan apa. Misalnya Hokkaido menghasilkan kentang, di daerah Hokkaido mereka menuliskan kentang. Untuk yang berasal dari luar negeri, ditulis di tempat terpisah.
Masalahnya mereka belum banyak bisa membaca kanji. Kebetulan aku berdiri dekat meja Riku dan 3 teman (mereka duduk berkelompok ber-4) Jadilah aku ditanya-tanyain oleh mereka. “Riku no mama, Nagano itu nishi Nihon? (Jepang Barat)?” Lalu aku tunjukkan tempatnya. Yang aku rasa sulit juga buat anak-anak adalah 愛知 (Aichi) dan 愛媛 (Ehime), sama-sama memakai kanji 愛 ai, tapi bacanya berbeda. Memang kanji nama tempat itu sulit dibaca.
Melihat pelajaran seperti itu, aku merasa bagus karena mereka memakai bahan yang ada di sekitar mereka (label makanan) untuk mempelajari peta dan nama daerah Jepang, sekaligus belajar membaca huruf Kanji. Selain itu mereka bisa mengetahui daerah itu paling banyak menghasilkan apa. Misalnya Hokkaido biasanya hasil laut dan Nagano banyak menghasilkan bermacam-macam jamur. Pelajaran seperti ini sudah pasti TIDAK NGANTUK! Karena tidak melulu harus menghafal nama dan tempat. Ah seandainya saja pelajaran Ilmu Bumi di Indonesia bisa seperti ini ya? hehehehe. Masalahnya di Indonesia pelabelan juga tidak sedetil seperti Jepang kan? (Well sebetulnya aku juga sering membeli sayuran di ladang sekitar rumah sehingga sudah pasti tidak ada labelnya).
Bagaimana? Menarik kan pelajarannya. Mau jadi murid SD di Jepang ngga? 😀 (Pasti ngga mau ya, karena tulisannya kruwel-kruwel :D)