Perawat

12 Jun

Dalam perjanjian kerjasama ekonomi (EPA) Jepang Indonesia yang ditandatangani beberapa waktu yang lalu, terdapat kesepakatan untuk mendatangkan tenaga perawat media dan perawat lansia dari Indonesia ke Jepang. Dan untuk tahun pertama direncanakan untuk mendatangkan 300 orang perawat lansia , tetapi ternyata dari pendaftaran yang dibuka, hanya 115 orang saja yang mendaftar. Masalahnya memang disebabkan perawat lansia/panti jompo di Indonesia tidak memiliki sertifikat, padahal pengirimannya memakai standar perawat sehingga sulit untuk mengumpulkan calon yang memenuhi standar.

Pengiriman tenaga perawat medis dan perawat lansia ini memang diharapkan membawa angin segar dalam hal ketenagakerjaan, tetapi saya sendiri melihat banyak sekali kendalanya. Pertama standar pengetahuan perawat di Jepang apakah bisa dipenuhi oleh perawat Indonesia. Kedua, faktor bahasa yang amat sangat menentukan. Memang mereka akan mendapatkan pelajaran baahsa jepang 6 bulan sebelum mulai bekerja, akan tetapi menurut saya 6 bulan tidaklah cukup. Karena banyak sekali istilah kedokteran/medis yang harus dihafalkan, belum lagi jika merawat orang tua, bahasa mereka tentunya lain dengan yang dipakai oleh anak muda/pelajaran yang diberikan. Ada banyak ekspresi pengungkapan misalnya letih saja, berbeda menurut asal pasien. Bahasa Jepang memang tidak mudah, jika tidak mau dikatakan sulit.

Tapi mengapa banyak pegawai toko/penghibur dari negara tetangga kita Filipina atau Thailand? Tentu dalam faktor bahasa orang Indonesia dan orang Filipina/Thailand sama saja kendalanya. Satu kendala lain yang memang amat sulit juga untuk saya kemukakan sebetulnya masalah agama. Agama Islam. Amat sangat delicate, tapi merupakan kenyataan. Pengertian orang Jepang pada khususnya dan orang asing negara lainnya pada umumnya tentang agama islam amat minim. Jika pengetahuan tentang agama islam dikuasai, saya rasa tidaklah sulit untuk mencapai kesepakatan. Misalnya waktu untuk sholat, atau dalam menjalani puasa. Belum lagi kecanggungan orang asing /Jepang menghadapi perawat yang berjilbab. Sulit. Apalagi yang dihadapi adalah orang sakit atau orang tua yang notabene sedikit sekali pengalaman dan pengetahuan akan negara asing (baca islam). Orang sakit/orang lansia lebih ganko (keras kepala) daripada masyarakat umum.

Selain masalah bahasa dan agama, ada lagi masalah iklim 4 musim. saya sempat membaca bahwa Hokkaido tidak bisa mendatangkan perawat dari Indonesia, karena tidak ada yang mau mendaftar untuk bekerja ke sana. Calon perawat Indonesia takut untuk menghadapi suhu dingin. Ini wajar sekali. Saya pun belum tentu mau untuk tinggal di Hokkaido. Salju bermeter-meter bisa menutupi rumah di musim dingin. Belum lagi setiap hari kita harus mencangkul salju, membuka jalan, membuang salju yang ada di atap supaya atap tidak roboh menahan beban salju, dll. Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yang terbiasa hidup di negara yang suhu udaranya stabil kira-kira 28 derajat, akan betah dan mau tinggal di tempat yang bisa bersuhu minus 20 pada musim dingin?

Selain faktor-faktor external perawat itu sendiri, saya memang tidak mengetahui jumlah perawat di Indonesia ada berapa banyak. Apakah memang negara kita surplus perawat? Bagaimana jika kelak Indonesia malah akan kekurangan perawat? Semakin makmur suatu negara, semakin tinggi usia harapan hidup dan sebagai akibatnya masalah kesehatan dan penanganan lansia akan menjadi masalah yang serius. Apalagi jika tidak ditunjang dengan pertumbuhan tenaga kerja yang memadai. Anda belum mempunyai pekerjaan? Anda mau mencari jenis pekerjaan untuk bisnis yang akan laku terus sampai 20-50 tahun ke depan? Pilihlah profesi perawat, atau bisnis penanganan lansia (panti jompo). Tapi syaratnya, Anda harus sehat, dan kuat!!! Karena tenaga Anda akan diperas untuk merawat orang tua yang berat badannya minimal 40 kg. Karena itu pula panti jompo akan senang sekali mempekerjakan perawat pria. Daikangei (very welcome!!)

Perawat oh perawat… Anda tahu hari peringatan perawat kapan? Saya hafal yaitu tanggal 12 Mei, karena itu bertepatan dengan ulang tahun ibu saya. Dan kok kebetulan ibu saya juga mantan perawat. Tapi perawat yang terpaksa (menurut beliau sendiri). Karena dulu sekolah perawat itu gratis, malah mendapat gaji. Padahal ibu saya tidak tahan melihat darah. Bahkan sempat pingsan waktu melihat orang disuntik. Untung saja dia tidak lama menjadi perawat. Tapi dia sempat bercerita kepada saya, tentang seorang nenek yang sakit parah. Si nenek hanya mau dilayani oleh ibu saya. “Suster Maria…..” teriaknya setiap kali suster lain yang datang….
Si Nenek sudah pikun. Tidak ingat lagi bahwa dia sudah makan, tapi dia bilang belum dapat makanan. Sampai dia juga tidak bisa kontrol lagi tindakannya. Dia ambil kotoran bab (maaf…) nya, dan dia leper ke tembok. Suster Maria harus membersihkan tembok itu. Dan Suster Maria harus menghadapi kasur kosong keesokan hari tugasnya, sebagai tanda si nenek telah berpulang.

Perawat…. betapa mulia pekerjaan itu.
dan betapa perawat dituntut untuk bersabar….dan bersabar….

(Sumber berdasarkan berbagai media dan pendapat pribadi ** Imelda lagi serius nih hihihi)

2008/06/10-23:47 応募わずか115人=EPAの介護福祉士派遣-インドネシア   【ジャカルタ10日時事】日本とインドネシアとの経済連携協定(EPA)に基づく看護師・介護福祉士候補者派遣事業で、インドネシア保健省は10日、介護 福祉士の応募が115人にとどまったことを明らかにした。EPAでは初年度300人の受け入れを予定していたが、これを大幅に下回る結果となった。
保健省関係者によれば、応募が少なかった理由としては、インドネシアには介護福祉士の資格がなく、派遣対象は看護師とされたため、看護師協会が派遣に慎重な姿勢を示したことや、日本側の批准の遅れで十分な準備期間が取れなかったことが挙げられている。