Jika Asap Masuk ke Matamu

28 Sep

apa yang akan terjadi? Ya pastilah akan matamu akan berair ya? Air mata memang diciptakan untuk menghapus semua “rintangan” yang masuk ke mata.

Aku jarang sekali mengungkapkan perasaanku yang terdalam di blog ini. Tapi hari ini sepertinya aku harus menuliskannya.

Tadi pagi aku bangun jam 6 pagi. Masih mengantuk karena semalam tidur jam 1, dan malam sebelumnya tidur hanya 3 jam. Biasanya, aku menghapus kekurangan tidur di dalam kereta perjalanan kerja, tapi kemarin aku jarang bisa dapat tempat duduk dalam kereta. Aku masih belum “ahli” untuk tidur sambil berdiri 😀

Jadi, tadi pagi, setelah anak-anak dan suami pergi, jam 8 pagi… aku jemur cucian, lalu menuju tempat tidur. Ingin membayar tidurku paling tidak 1-2 jam. Tapi sekitar pukul 9:15 aku terbangun. Oleh mimpi….. 🙁

Aku bermimpi, aku berada di rumah ala Jepang, rumah tua, dengan pintu halaman terbuat dari kayu yang tinggi. Hujan lebat, pintu terbuka… Di luar pintu aku melihat tanjakan semen yang mengalirkan air… masuk ke dalam halaman rumah. Ah! Pasti akan kebanjiran. Aneh juga rumah ini yang lebih rendah dari jalanan, pikirku. Lalu kututup pintu untuk menghalangi air masuk. Kemudian aku berbalik menuju teras rumah, tanpa payung, sambil memandang ke bawah, jalan setapak menuju teras. Sepanjang jalan dan teras itu penuh dengan tanaman di kanan-kirinya. Ah ini pasti karena aku sering baca “Dapur Hidup”nya mbak Ni Made nih….

Tapi di sebelah kiri, di belakang sebuah tanaman gantung, aku melihat setengah badan dari pinggul ke bawah. Aku tahu itu alm mama 🙁  (Mama tidak pernah memperlihatkan mukanya dalam mimpi, tapi aku sadar dan merasa kehadirannya). Lalu aku berkata, “Mama biarkan aku memelukmu”. Dan aku peluk…erat sekali…. dan aku terbangun. Setelah sadar, aku tahu aku kangen mama! Aku rindu sekali. Sudah 4 tahun mama pergi, tapi baru kali ini aku bisa merasakan memeluk mama yang eraaaat sekali meskipun dalam mimpi. Dan aku teringat peristiwa suatu malam kira-kira 2 tahun sebelum mama meninggal. Aku dan mama berpelukan erat sekali, di kamarnya. Tanpa bicara dan hanya bisa menangis. Aku dan mama tahu, moment seperti ini mungkin tidak akan terulang kembali. 

Aku memang sudah 24 tahun berpisah dari keluarga dan tinggal di Jepang, tepat tanggal 23 September yang lalu. Dan sekarang aku menjalani tahun ke 25 aku berada di Jepang.  Aku pun tahu bahwa aku bukan anak yang suka “lendotan” nempel pada orang tua (atau orang lain). Mungkin karena aku anak pertama, aku juga tidak pernah merasa takut melangkah, meskipun aku akan menangis terus di dalam hati jika harus berpisah dengan orang yang kusayangi. Separuh hidupku sudah kulalui di perantauan ini. Dan akan terus bertahan… di mana saja aku harus berada. Sama seperti mama yang juga bisa kuat berpindah-pindah tempat tinggal.

Pagi ini aku merasa perlu mengingat mama yang mungkin sedang memikirkanku juga di sana. Aku ingat mama yang suka berkebun dan merawat tanaman apa saja. Dia tahan berlama-lama memberikan siraman tanaman seadanya di sekitar rumahku. Aku ingat mama yang suka sembunyi-sembunyi makan nasi sederhana, nasi dengan sekotak kaldu Bouillon dan air panas dengan sambal…. mirip ochazukenya di Jepang, atau nasi dengan emping dan kecap manis saja. Aku yang kerap memergokinya, melihatnya makan enaaaak sekali, selalu meminta suapannya. Mama begitu sederhana, selalu tanpa make-up meskipun punya kosmetik yang mahal-mahal. Seakan memakai make up itu beban baginya. Dan aku selalu membujuknya untuk memberikan kosmetik itu padaku saja 😀

Ah, aku merasa memang aku harus sekali-sekali menyisihkan waktu untuk mengingatnya. Proses mengingat masa lalu yang selalu aku hindari karena aku takut menjadi sedih dan menangis. Tapi ternyata perlu juga ya menjadi sedih itu ya 😀 Karena dengan membuat waktu seperti itu aku justru bisa merasakan kehangatan “pelukan” mama. Dan aku bisa menuliskannya di sini….

Aku beranjak dari bantal yang basah, merasa bahwa aku harus mulai bekerja lagi. Sambil bernyanyi lagu yang disukai mama yang pernah dinyanyikannya, dulu, waktu kami mempunyai mesin karaoke di rumah di Jakarta.

Smoke Gets in Your Eyes!

They asked me how I knew
My true love was true
I of course replied something here inside
Cannot be denied

They said someday you’ll find
All who love are blind
When your heart’s on fire you must realize
Smoke gets in your eyes

So I chaffed them and I gaily laughed
To think they would doubt our love
And yet today my love has gone away
I am without my love

Now laughing friends deride
Tears I cannot hide
So I smile and say when a lovely flame dies
Smoke gets in your eyes

 

NB: konon “When your heart’s on fire smoke gets in your eyes” adalah peribahasa dari Rusia.

Mai Mama

16 Sep

Aduh maaf…. sudah lama blog ini ditelantarkan. Kebetulan baru kemarin membuka dan membaca sebuah email dari “silent reader” TE, bernama Olivia. Jadi aku teringat bahwa sudah lama tidak menulis hehehe. Terima kasih banyak ya Olivia, dan semoga aku mulai rajin lagi menulis 😀

Pasti bingung membaca judulnya ya…. Mai Mama. Sebetulnya dalam bahasa Jepang, anak tersesat disebut 迷子 MAIGO, dan itu biasa dong kalau anak tersesat dan terpisah dari orang tuanya semisal di keramaian. Tapi kali ini aku ingin cerita bahwa aku yang tersesat, sehingga timbullah istilah Mai Mama 迷ママ di keluarga kami.

Ceritanya, waktu liburan musim panas lalu, anak-anak beberapa kali pergi ke perpustakaan dekat rumah. Mereka memang sudah mempunyai kartu perpustakaan di situ, dan sering pergi dengan papanya. Aku sendiri belum pernah ke sana. Biasanya papanya mengajak anak-anak ke perpustakaan sekaligus bermain ke taman, atau pergi ke pemandian umum (sento) justru untuk membiarkan aku sendiri di rumah melewati “me time” (yang biasanya kupakai untuk beberes malahan hahaha).

Nah beberapa hari setelah libur musim panas berakhir, anak-anak harus mengembalikan buku pinjaman dan Kai harus membuat kartu perpustakaan baru karena kartunya hilang. Padahal Riku ada pelajaran bimbel sehingga tidak bisa menemani Kai. Jadilah aku menawarkan diri pergi bersama Kai. Kami berdua naik sepeda menuju perpustakaan itu, yang ternyata cukup jauh. Kai di depanku sebagai penunjuk arah.

Tapi…. karena jalanan menurun, dia melesat jauh meninggalkanku. Aku sempat melihat dia berbelok, tapi waktu kumasuki jalan itu, dia sudah tidak ada. Aduh pasti dia belok lagi ke jalan kecil-kecil… tapi yang mana? Cepat-cepat aku buka GPS di iphoneku dan mencari letak perpustakaan itu. Ternyata aku keterusan, sehingga aku berbalik dan menuju perpustakaan itu. Dan… Kai (dan sepedanya) tidak ada! Nah loh!

Aku sempat masuk ke perpustakaan dan mencari dia, tapi tidak kutemukan. Langsung kupikir… Kai pintar, jadi dia pasti kembali ke rumah! Cepat-cepat aku menelusuri jalan yang sama kembali ke rumah. Sempat termegeh-megeh (bahasa Indonesianya ; terengah-engah!) karena tanjakan (kalau ada turunan, pasti baliknya tanjakan kan huhuhu). Aku juga tahu bahwa Kai tidak membawa kunci rumah. Tak lama aku lihat dari kejauhan Kai yang bersepeda kembali ke arahku, sambil menangis!

Begitu dia lihat aku,”Mama di mana? Aku cari mama…. kok tidak ada. Jadi aku kembali ke  rumah. Tapi lihat di parkir sepeda juga tidak ada. Jadi aku kembali lagi”
“Maaf Kai…. tapi Kai pintar. Lain kali tunggu saja di perpustakaan ya. Kan mama punya HP, jadi bisa cari letak perpustakaannya di mana”
“Iya sih… tapi aku kan panik lihat mama tidak ada. Aku pikir mama MAIGO! ….eh tapi mama bukan Kodomo (anak-anak) jadi Mayoi mama ya….”
“Hahaha.. iya Mai Mama!

Lalu sambil tertawa kami menuju perpustakaan dan mengurus kartu peminjaman yang baru. Setelah itu Kai bilang,
“Mama, pulang ya. Aku capek! Bukan capek badan, tapi capek hati. Karena aku khawatir sekali tadi mama kok tidak ada”
“Iya, kita langsung pulang saja. Nah begitu deh perasaan orang tua kalau anaknya hilang. Sama. Dan dulu waktu Kai kecil, Kai sering nyasar sendiri, meninggalkan kita. Tahu-tahu mama dengar tangisan. Mama hafal suara Kai, jadi mama tahu Kai ada di mana….”

Seperti yang kutulis di posting sebelumnya, Kai memang sudah ‘dewasa’ untuk ukuran 9 tahun. Dia yang paling memperhatikanku, kalau aku batuk, atau sakit. Dia selalu berkata, “Mama jangan sakit, jangan mati ya…. Kai tidak bisa kalau tidak ada mama!”.
Dan ya, akhir-akhir ini dia sering menangis kalau aku godain (aku memang suka iseng sih). Dia cepat tersinggung, karenanya sekarang aku juga harus hati-hati kalau bercanda dengannya.

Hmmm susah deh 😀 (ucapan mama yang nakal sambil nyengir) hehehe

Akhirnya mau difoto karena aku janji pinjamkan iphoneku. Sekarang sudah susah ambil foto Kai karena dia menolak terus!
Akhirnya mau difoto karena aku janji pinjamkan iphoneku. Sekarang sudah susah ambil foto Kai karena dia menolak terus!

 

Sembilan

16 Agu

Sembilan adalah sebutan angka bahasa Indonesia, yang paling sulit dihafal oleh Kai. Jadi setiap dia ditanya, “Umur berapa?” Dia pasti melihat padaku… “Apa aya?” …”Sembilan!” “Iya ituuu…”

Memang dia baru saja menjadi usia sembilan tahun, tanggal 16 Juli lalu (wih tepat sebulan lalu ya… terlalu sibuk nih.). Kebetulan jatuh pada hari Sabtu, dan papanya libur (ambil libur), jadi bisa kami rayakan bersama. Kasihan Kai sebetulnya karena ulang tahun kali ini, aku sibuk sekali dan tidak merencanakan membuat apa-apa, atau memesan tempat di restoran atau apa gitu. Yang aku sempatkan hanya membeli ice cream cake sehari sebelumnya, sehingga pada pagi hari ulang tahunnya, dia bisa tiup lilin. Setelah tiup lilin itulah, baru kami bingung… makan di mana? Memang seperti biasanya kami akan pergi ke Yokohama ke rumah mertua, tapi masak kami tidak memikirkan “pesta kecil” sama sekali? Terlalu deh.

Akhirnya sekitar pukul 9, Gen mengajak pergi ke restoran Zauo, di Yokohama, restoran yang biasanya kami pergi kalau Riku ulang tahun. Resto dengan konsep memancing sendiri, kemudian dimasakkan saat itu. Kai sebetulnya mau ke resto ini, tapi aku yang tidak begitu mood ke situ karena… mahal hahaha. (Mahalnya karena semua ikan yang dipancing harus dimakan, sedangkan anak-anak maunya mancing terus!)  Tanpa pesan tempat, kami janjian langsung di restonya, pukul 11:30 karena memang waktu bukanya jam segitu. Untung saja sekitar pukul 10:30 -an aku menyempatkan diri menelepon untuk pesan tempat dan bisa! Yeah…

Kami tidak naik mobil pribadi, karena memang mobil kami waktu itu sudah tidak ada asuransinya. Belum sempat diperpanjang! Jadi kami naik kereta dan taxi ke sana. Untungnya, dengan naik kereta, Gen bisa minum alkohol hehehe. Kai tentu saja sangat senang karena memang dia ingin ke resto ini. Apalagi dia mendapat hadiah ultah dari tante Titinnya, DVD Boruto, anaknya Naruto 😀

the birthday boy

Apa yang berubah dari Kai begitu usia 9 tahun? Dia langsung mau menginap di rumah kakek-neneknya sendiri! Biasanya dia selalu nempel denganku, “tidak bisa tidur kalau tidak ada mama!”… dan hari itu, dia minta untuk nginap sendiri. Huhuhuhu… yang nangis mamanya, bukan Kai 😀

Dan memang sejak itu dia tidak mau lagi dicium-cium mamanya. Yaaah anakku sudah gede 🙁

Dan sesudah menginap di rumah kakek-neneknya sendiri, Dia juga sudah pergi 4 hari hanya dengan papanya ke Miyazaki (sebelah selatan Jepang) untuk mengikuti “Summer Camp” dan malam kemarin juga menginap di Yokohama lagi, sendiri tanpa kami.

Well, aku sudah harus bersiap melepas ke dua anak laki-lakiku yang semakin lama semakin dewasa tentunya….

Father’s Day

21 Jun

Secara internasional, hari Minggu yang lalu adalah Hari Ayah atau Father’s Day. Memang biasa dirayakan pada hari Minggu ke-3 bulan Juni, sebagai “penyeimbang” Mother’s Day yang jatuh pada hari Minggu ke-2 bulan Mei.

deMiyashita hari Minggu itu sibuk! Tapi masih bisa merayakan Hari Ayah ala kadarnya. Pagi kami bergegas ke gereja naik taxi, karena mobil kami sedang tidak bisa dipakai. Nah, kalau naik taxi atau mobil, biasanya kami sampai 10 menit sebelum misa dimulai (8:50) dan itu menurutku waktu yang cukup tepat. Karena kita bisa mempersiapkan diri dulu sebelum misa dimulai, termasuk masih bisa ke WC dulu :D. TAPI tidak bagi anak-anakku! Karena mereka malas disuruh menjadi petugas misa (payah deh! :D). Memang sih menjadi petugas misa tanpa persiapan (hanya 10 menit sebelum dimulai) itu menegangkan. Mereka takut salah. Jadi biasanya aku menyuruh mereka menunggu di lobby gedung gereja saja. Aku dan Gen masuk gereja duluan dan menuju tempat duduk yang kami biasa duduki.

Tapi waktu aku masuk, aku melihat petugas di meja masuk (di gereja kami biasanya ada dua petugas meja yang membantu peserta misa baru,  atau membukakan pintu, membantu kelancaran misa) hanya satu orang. Jadi aku berkata pada Gen bahwa aku akan membantu menjadi petugas misa (meskipun bukan giliran aku). Kasihan juga sih Gen duduk sendiri, tapi ntah kenapa aku ingin membantu. Tapi di tengah misa, kami berdua juga dikejutkan oleh Riku yang menjadi pembaca Injil kedua :D. Rupanya dia disuruh membaca karena tidak ada lagi murid SMP yang lain saat itu. Untung saja bacaannya pendek hehehe. Dan kami berdua bangga meskipun mendadak, Riku bisa membaca tanpa salah dan jelas pengucapannya.

Misa selesai, anak-anak mengikuti Sekolah Minggu dan aku serta Gen berjalan ke arah stasiun. Gen memotong rambut, sedangkan aku langsung naik kereta ke akademi bahasa tempatku bekerja. Aku harus memberikan sampel kuliah kepada calon mahasiswa (murid SMA) yang berminat masuk ke college itu. Termasuk kegiatan promosi dalam Open School akademi bahasa itu. Aku harus berada di situ sampai pukul 4:30! Duh lama 😀 (dan ternyata dari jam 9 pagi sampai jam 3 siang aku berdiri terus! Pantas kakinya pegal :D)

Film Laut Bercermin di Iwanami Hall

Sedangkan Riku harus pergi ke tempat juku, bimbingan belajar, dari pukul 1 siang sampai pukul 6 sore. Karena hari Seninnya dia masih harus mengikuti test. Nah, tinggal papa Gen dan Kai yang tidak ada kegiatan. Jadi sementara aku berada di akademi bahasa, mereka berdua menonton film Indonesia di Iwanami Hall, yang memang letaknya dekat dengan akademi yang aku tuju. Sudah lama Gen ingin menonton film ”Laut Bercermin” yang disutradarai Kamila Andini. Film ini pernah ikut dalam Tokyo International Film Festival tahun 2011, tapi  saat itu Gen tidak bisa pergi. Dia mengajak aku menonton, tapi waktunya selalu tidak pas, selain aku juga tidak begitu senang menonton film. Kebetulan isi ceritanya masih bisa dimengerti anak-anak, dan Kai termasuk hobi menonton. Dan pasti mereka bisa menikmati keindahan pulau Wakatobi yang menjadi latar belakang cerita ini. Cocoklah mereka berdua pergi ke sana 😀 “hadiah” Father’s Day dari Kai untuk papanya, yaitu menemani papa menonton!

Makan malam bersama di Yamauchi Noujou

Setelah film selesai, Gen dan Kai menjemput aku, lalu kami bertiga pulang dan janjian dengan Riku makan malam di sebuah restoran khas Kagoshima. Namanya Yamauchi Noujou 山内農場, menyediakan makanan dengan bahan-bahan asli dari prefektur Kagoshima. Prefektur ini terkenal dengan produk ayam, hasil laut dan minuman Shochu. Sudah lama rasanya kami tidak makan berempat begini dengan santai. Dan tentu saja kesempatan untuk Gen minum alkohol karena dia tidak menyetir mobil. Father’s Day kami rayakan di resto ini menutup satu hari Minggu yang penuh dengan aktifitas.

makanan dengan bahan asli dari Kagoshima. Enak-enak semuanya, terutama karena mereka menyediakan juga Yuzu (sejenis jeruk) paste yang kusuka

NB: Film Laut Bercermin itu menceritakan pencarian ayah yang hilang, dan Gen&Kai menonton pas Hari Ayah, tapi kok tidak ada potongan harga khusus ya? Terutama untuk ayah 😀 (biasanya ada hari tertentu “Ladies Day” kan? hehehe)

Kartu Telepon

2 Jun

Masih ingat tentang Kartu Telepon?

Kartu telepon itu dipakai untuk menelepon waktu kita memakai telepon umum!

Wait! Telepon umum? Duh mel… memangnya masih ada telepon umum? Sekarang jamannya semua pakai HP atau telpon pintar a.k.a smartphone mel! Jadul tuh!

Eits, asal kamu tahu ya… di Jepang MASIH ADA telepon umum! Terutama dekat stasiun, atau dekat toko konbini yang terletak di daerah ramai.

Masih… masih… dan masih AMAT SANGAT BERGUNA, karena beberapa waktu yang lalu ada murid perempuan yang BERHASIL lari dari penculiknya setelah 2 tahunan disekap. Dia menelepon polisi pakai telepon umum. Jadi meskipun tidak ada uangpun, ada tombol di situ untuk menghubungi polisi gratis loh (di Jepang). Akhirnya si penculik tertangkap, dan si anak kembali ke orang tuanya.

Dan sebetulnya aku mau menulis tentang kartu telepon ini karena tadi pagi Riku minta kartu telepon kepadaku. Jadi dia minggu depan akan semacam KKN (kuliah kerja nyata), atau istilah keren di universitas itu INTERNSHIP, masuk bekerja ke kantor untuk mengamalkan ilmunya, sebelum bekerja benar. Tapi istilah untuk anak SMP adalah SHOKUBA TAIKEN 職場体験, mencoba bekerja, dan merupakan kurikulum untuk kelas 2 SMP. Memang masuk kurikulum, karena wajib belajar itu hanya SD dan SMP. Ada kemungkinan selepas SMP murid-murid ini harus langsung bekerja, tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu perlu dibekali pengetahuan untuk bisa dipakai waktu bekerja, dan salah satunya adalah Shokuba taiken ini. Si murid sebelumnya ditanya dulu minatnya apa. Dan kupikir Riku akan memilih perpustakaan, ternyata tidak atau perpustakaan jadi nomor-nomor terakhir (ada beberapa pilihan dari nomor 1 sampai 6). Alasannya : “Abis pilihannya perpustakaan dan taman kota… males ah kalau dapatnya taman kota, nanti disuruh nyapu aja. Ngga ketemu orang. Aku kan mau ketemu orang…. (wah baru tahu dia berminat bekerja seperti itu)” Daaaan, waktu kubaca pilihan pertamanya adalah SD…. wow…. berarti dia ada minat jadi guru? hehehe

OK, jadi dia perlu kartu telepon itu karena hari ini dia harus mengunjungi SD tempat dia akan “bekerja” untuk menanyakan persiapan-persiapan yang diperlukan (seperti pakai baju apa, datangnya jam berapa dll). Dan seandainya ada apa-apa mungkin dia perlu menelepon kepala sekolah SD itu diluar jam sekolah. Dia mungkin harus menelepon dari telepon umum SMP, dan untuk itu dia perlu membawa kartu telepon. Karena MURID SMP TIDAK BOLEH BAWA UANG (baik uang kertas/uang koin) tanpa ijin. Mereka BOLEH membawa kartu telepon atau kartu bus/prepaid card.

Memang kepala sekolahnya waktu orientasi pertama kali di SMP sudah mengatakan hal ini, jadi kami orang tua sudah tahu. Meskipun waktu orientasi lagi setelah Riku kelas 2, April kemarin, Kepsek menyatakan kebingungannya untuk mempertahankan telepon umum yang dipasang depan kantor guru di sekolah, karena pihak NTT mau mematikan saluran telepon umum itu. Katanya, “berkat kerja sama orang tua dan murid, semakin lama murid yang lupa membawa barang dan menelepon orang tua semakin sedikit, sehingga jarang ada yang pakai telepon umum. Jadi pihak NTT merasa rugi” hahaha… di satu pihak rugi, tapi di satu pihak menunjukkan keberhasilan pendidikan sekolah untuk membuat murid-murid MENGATUR diri sendiri, yaitu dengan mempersiapkan semua kebutuhannya sendiri, dan TIDAK LUPA pada tugasnya.

Jadi deh,  aku membongkar lemariku, karena aku tahu aku simpan kartu-kartu dalam satu kotak di lemari. Dan benar saja, aku masih punya beberapa kartu telepon yang masih baru, belum dipakai. Dan aku berikan satu pada Riku untuk dibawa. Sambil mencari kartu telepon yang maish bisa dipakai, aku bernostalgia melihat koleksi kartu-kartu yang kupunya. Selain kartu telepon, ada kartu prepaid bus, kartu abonemen kereta waktu aku mahasiswa, kartu nama, kartu mahasiswa, kartu IO dan orange yang merupakan prepaid untuk kereta waktu kartu prepaid dengan chip belum ada. Kartu teleponnya juga banyak bergambar bagus-bagus, terbanyak memang kartu telepon Jepang, tapi terselip juga kartu telepon Indonesia dan Singapore. Ada juga kartu telepon dari stasiun TV/radio yang aku pernah bekerja/muncul di acaranya. Natsukashiiiii…. 懐かしい.

Dan aku teringat ada beberapa teman yang dulu koleksi kartu-kartu telepon bekas. Sekarang mereka kemanakan kartu-kartu koleksinya ya? Aku sih masih akan simpan yang bagus gambarnya atau menyimpan kenangan. Oh ya, sebetulnya ada satu lagi KEGUNAAN kartu-karti telepon bekas itu bagi para ibu loh… Aku kasih tahu ya 😀

Jika memasak, kadang ada sisa makanan nasi/gosong yang menempel pada dasar panci yang sulit untuk dicuci. Kadang harus direndam dulu. Tapi dengan menggosokkan kartu telepon, biasanya gosong itu bisa terangkat dengan mudah. Coba deh 😀 😀 😀 (Ya kalau bisa sih jangan sampai gosong ya hehehe).

Ada kegunaan lain? 😉

berbagai kartu koleksiku 😀

 

YEAY….. posting pertama dalam bulan JUNI, setelah Mei kemarin tidak smepat membuat satu postingan-pun…padahal banyak yang bisa ditulis huhuhu. Nanti dirapel deh 😀 (ngga janji juga hahaha)

Kelas Tiga

24 Apr

Haduh tuh kan April sudah hampir habis baru bisa (maksa) nulis lagi. Sampai sudah lupa apa yang mau ditulis di sini. Parah ya? Dulu semua kutulis judulnya saja dulu, lalu masuk draft. Sekarang boro-boro, buka dashboard saja jarang sekali hehehe.

OK, kali ini aku mau tulis pendek saja dulu, yang penting update! Judulnya kelas 3, yaitu si Kai.

Kebetulan kemarin aku pergi ke rumah keluarga Indonesia, dan salah satu anaknya kelas tiga, sama seperti Kai. Badannya kekar, kalau tidak dibilang gede :D. Dan suka makan! Ibunya sampai harus mengerem karena anaknya mau makan terus. Apalagi anaknya ini sudah bisa masak sendiri, sehingga kalau lapar langsung udek-udek dapur, masak dan langsung dimakan.

Dengar cerita ibunya, aku jadi geli sendiri, karena Kai pun sama. Persis kemarinnya itu Kai menelepon aku dan meninggalkan pesan: “Ma aku mau masak telur ceplok, boleh ngga?”

Aku memang masih melarang dia pakai api sendiri, takut kalau terjadi apa-apa. Kalau bisa, pakai microwave saja. Tapi beberapa hari sebelumnya, aku melatih dia memasak telur dengan aku awasi. Aku selalu katakan kalau takut semisal telurnya meletup-letup, pakai tutup panci, dan matikan api. Kalaupun sampai kejatuhan masakan (air) panas pun, matikan api langsung nyemplung ke bak mandi. Jangan buka baju (ini aku lihat di TV Jepang, karena kalau buka baju/celana maka kulit yang melepuh bisa terkelupas).

Jadi aku telepon kembali dia dan mengatakan, “Boleh masak. Hati-hati dan ingat pesan mama”
“Iya ma… harus begini begini begini kan?”

Aku berhasil mengalahkan ketakutan sebagai seorang ibu, memperbolehkan si anak 8 tahun masak sendiri, tanpa ada orang lain di rumah. Dan senang juga karena Kai sudah merasa bisa dan percaya diri bahwa dia pasti bisa. Menurutku, ini penting buat kami berdua.

Dan waktu aku pulang, aku lihat bekas panci yang dia pakai, dan tahu bahwa dia memasak nasi goreng ala dia sendiri 😀 Caranya, dia campur nasi dengan telur mentah, baru dimasak, pakai lada garam saja. Aku tanya, “Enak Kai? Lain kali masak buat mama ya?” hehehe

Mungkin saat ini memang cuma Kai yang rajin membantuku melakukan pekerjaan rumah. Dia setiap malam membersihkan kamar mandi dan mengisi bak mandi dengan air panas. Terharu sekali waktu suatu malam aku pulang dengan badan capek, disambut Kai: “Mama, aku sudah isi bak mandi untuk mama…” Wah itu yang kuharapkan! Jadi aku langsung mandi berendam dulu sebelum menyiapkan makan malam.

Di sekolahnya, Kai mendapat guru wali kelas yang baru. Seorang ibu yang sudah lewat dari 50 tahun, dan terlihat tegas (baca: galak) 😀 Setiap hari bu wali kelas menyuruh setiap anak melakukan furikae atau evaluasi apa yang terjadi hari itu. Dan di akhir minggu, kertas itu diperlihatkan kepada orang tua untuk kami beri komentar. Di situ terlihat pentingnya anak-anak mengungkapkan pikirannya dalam kalimat yang baik dan berurut.

Belum lagi setiap hari dia harus berlatih kanji 2 buah, dan harus mencari sendiri penggunaan kanji serta artinya. SUSAH! Sampai aku pun harus selalu mendampingi dia untuk mengerjakan PR Bahasa Jepangnya itu. “Wah si guru ngerjain gue juga nih…” .pikirku hehehe. Perasaan dulu waktu Riku kelas 3 SD, tidak pernah melihat PR sesusah ini deh.

Semoga Kai dapat menjalankan kehidupannya sebagai murid kelas 3 dengan sebaik-baiknya.

(Aku sampai mengenang kembali, aku masak nasi/lauk pertama kali kelas berapa ya? Kalau kue aku memang sudah suka buat sejak kelas 5-6 SD sih. Kamu kelas berapa?)

S.M.

2 Apr

Singkatan S.M. yang kupakai sebagai judul adalah kepanjangan dari Simbiosis Mutualisme, atau gampangnya Saling Menemani. Tapi kalau Kai bilang, Oyakoukou 親孝行 istilahnya.

Tanggal 30 Maret, aku mesti pergi ke KBRI untuk mengambil sebuah dokumen. Tapi karena Kai  (dan Riku) sedang libur musim semi, aku ingin mengajak dia jalan-jalan. Tahun ini, kami tidak bisa pergi jauh-jauh seperti dua tahun lalu yang pergi ke Kyushu dan tahun lalu ke Kyoto. Selain lagi bokek, juga waktunya tidak pas. Riku seperti biasa, meskipun libur sekolah, tetap harus datang untuk latihan bukatsu ekskul badmintonnya. Dan meskipun ada libur ekskulnya, jadwalnya persis sesudah masuk bulan April, yang aku juga  sudah mulai sibuk kerja. Tahun ini agaknya sulit untuk bepergian jauh berempat deh.

Kai itu suka menonton! Persis papanya, persis oma alm. Dia sejak kecil suka menonton film yang sulit-sulit juga, termasuk film-film kaliber national georaphic tentang alam semesta 😀 Lain dengan Riku yang mirip mamanya, hanya mau menonton film yang disuka, dan jumlahnya terbatas. Nah, Kai punya 3 film yang masuk wishlistnya, yaitu sebuah film Doraemon Birth of Japan, Kamen Rider dan Chihaya Furu. Chihaya Furu masuk listnya Riku dan papanya, sehingga biar saja kalau mereka mau menonton bertiga. Tapi kalau aku menemani Kai pergi menonton, aku tentu lebih pilih doraemon dong.

Senangnya Kai bisa menonton film yang ditunggu-tunggu

Jadilah kami berdua naik bus dan membeli karcis Doraemon di Kichijouji Odeon. Dan lucky hari itu hari rabu jadi Women’s Day! Aku cukup membayar 1100 yen (biasanya 1800)… senangnya!

Seperti biasanya film doraemon, gedung  bioskopnya dipenuhi anak SD (dan orang tuanya). Karena film ini sudah cukup lama, jadi tidak penuh. Aku dan Kai memilih kursi paling belakang. Dan…. harus kuakui dibanding Doraemon yang Stang By Me, film kali ini tidak menarik untukku. Buktinya aku tidur separuh film hahaha.

Seusai film, kami makan siang lalu pergi ke kedutaan. Dengan asumsi bisa keluar KBRI jam 5, aku ingin mampir ke restoran Cabe yang sudah pindah ke dekat KBRI, dan buka hari itu jam 5:30 sore. Sebetulnya aku diundang dari tanggal 23-26 untuk datang ke pembukaan resto di tempat baru, tapi persis tanggal itu aku sibuk dan jadwal penuh. Resto Cabe memang pindah dari tempatnya yang dulu, dan sekarang menempati bekas restoran Indonesia yang sudah 30 tahun berdiri di situ, namanya Sederhana. Jadi sebetulnya mudah dicari tempatnya, dan strategis, tidak begitu jauh dari stasiun. Cuma memang gedungnya sudah tua. Kamipun makan early dinner di situ, baru pulang.

Resto Cabe yang menempati bekas tempat Resto Sederhana di Meguro

Sebetulnya aku ingin melihat sakura di malam hari. Tapi mengingat Kai yang sudah capek (dan agak tidak enak badan), kami langsung pulang. Sebelum naik bus, di Kichijouji kami mampir untuk berbelanja. Kai ingin membeli pensil mekanik dengan uangnya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering mendapat uang saku dari neneknya di Yokohama, jadi dia ingin membayar sendiri. Gaya deh!

Tapi yang mengharukan, setelah dia membeli pensil, dia menghitung uang yang dia bawa (dia hanya membawa 1500 yen hari itu, jatah yang dia bisa pakai sendiri). Lalu dia mengajak aku ke toko aksesori, katanya,

“Mama aku waktu itu belum beli kado ulang tahun mama. Sekarang aku mau beli sesuatu untuk mama. Hmmm sekitar 1300 yen deh. Mama suka aksesori warna apa?”

Aku terharu melihat tindakan dia, meskipun ingin tersenyum senang juga. Lalu aku katakan,
“Mama biasanya sih suka merah atau hitam. Tapi biru juga suka”

Dia mencari ikat rambut berwarna merah, tapi aku katakan jangan ikat rambut karena kepala mama sering sakit kalau pakai ikat rambut. Jadi dia cari anting-anting deh. Lucuuuu sekali melihat anak lanangku ini memilih anting-anting. Tadinya dia memilih yang kecil-kecil untuk beberapa lubang di sau telinga. Lalu aku bisikin bahwa mama suka anting-anting yang menjuntai. Jadi dia memilih yang berwarna biru (horree memang sudah aku lirik).

Petugas tokonya sepertinya tahu bahwa anak ini beli untuk mamanya, jadi waktu Kai bayar, dia tanya,

“Mau dibungkus kado ya?”

“Ya, tolong”

Dan dengan coolnya dia membayar harga anting itu.

Sambil senyum-senyum dia bilang, “Mama, nanti aku kasih di rumah ya”

Duhhhh gemes! Kapan lagi aku bisa gandengan tangan dengan dia jalan-jalan begini.
Kapan lagi bisa duduk berdua di dalam bus sambil senderan dan tidur 😀

Lalu dia serahkan anting-anting itu di rumah.

“Mama suka?”

“Suka dong!”

“Aku bahagia hari ini, bisa oyakoukou. Ini yang namanya oyakoukou kan ya? Aku sekarang 8 tahun, nanti 8 tahun lagi aku belikan mama lagi ya?”

“Yaaaah, kok 8 tahun lagi? Setiap tahun dong…. Ngga usah belikan apa-apa, asal jalan-jalan bareng ya?”

Kai mencari anting-anting untukku

Dan ternyata tidak perlu tunggu 8 tahun lagi kok. Tanggal 1 April kemarin, kami pergi berdua lagi. Kai menemani mama melihat sakura, dan mama menemani Kai main dragon ball card game di Yodobashi Camera.

Mama happy karena bisa melihat sakura di Inokashira Koen.

dan Kai happy karena mendapat 3 kartu bagus di gacha-gacha yang dia beli dengan uangnya sendiri. Dan kami pulang dengan senyum, dan perut kenyang makan sushi yang murah-meriah berduaan. Dan Kai pun bilang, “Aku bahagia hari ini, bisa pergi berdua mama! Ya, memang mama nomor satu!” huhuhu terharu deh

sakura di Inokashira Park 01042016

Daaan baru sadar bahwa kemarin itu 1 April. Terlalu sibuk untuk memikirkan joke yang bisa dilontarkan untuk April Mop. Tapi ada 2 orang yang berhasil mengelabui aku dengan postingan bahwa dia akan nikah, dan yang satunya akan pindah kewarganegaraan menjadi wni (orang Jepang).

Daaan terlalu sibuk dan capek untuk menulis padahal TWILIGHT EXPRESS mestinya berulang tahun yang ke 8! Delapan tahun blogging…. ritme semakin menurun, tapi semangat masih ada kok 😀  Meskipun untuk satu tahun ke depan aku juga belum bisa janji rajin menulis, karena justru semakin sibuk dengan satu proyek yang rencananya akan selesai tahun 2017.

I’ll do my best!

Welcome Spring
Welcome New Fiscal Year
Welcome New Students

 

Well Done

23 Mar

Sebetulnya aku mau menulis judul “Finished” tapi sepertinya Well Done lebih bagus, meskipun tulisan ini sama sekali tidak berhubungan dengan tingkat kematangan steak 😀

Jadi ceritanya sejak bulan Oktober lalu, aku yang memang menjadi seksi publikasi di SMP-nya Riku sibuk meliput dan mulai bulan Desember mendesain dan mengedit artikel, foto supaya menjadi buletin cetak setebal 20 halaman. Kemudian mencetaknya untuk dibagikan sekitar pertengahan Maret, sebelum/pas acara kelulusan kelas 3 SMP.

Tugas memotret diawali dengan acara kesenian yaitu lomba paduan suara di bulan Oktober. Saat ini aku datang dari pagi dan pulang terakhir bersama teman-teman seksi publikasi yang lain. Karena pada pertunjukan yang diadakan di music hall kelurahan itu pengunjung TIDAK diperbolehkan memotret. Sebetulnya ini karena ada perusahaan yang akan merekam dengan video dan akan dijual. Kalau pengunjung diperbolehkan memotret, bisa jadi videonya tidak laku kan? Tapi karena PTA akan menerbitkan buletin, maka khusus PTA saja yang diperbolehkan, dan diberi tanda dan tempat khusus supaya bisa memotret di dalam hall. TAPI sebetulnya, kamera ibu-ibu itu kurang memadai untuk bisa memotret dengan bagus! Ibu-ibu tentu bukan kameraman dan tidak biasa memotret di dalam gedung. Aku pun tidak pede! Dengan cahaya yang minim, aku tidak yakin bisa memotret tanpa flash, dengan kamera DSLR ku. Tapi aku ada canon yang cukup memadai untuk memotret dalam ruangan. Jadi aku hanya mengandalkan kamera pocket digital ini saja. Kalau sudah begini rasanya ingin punya kamera mirrorless yang lebih canggih deh heehe.

Selain acara lomba paduan suara, kami juga harus mengambil foto klub ekstrakurikuler, pada hari latihan mereka. Hampir setiap hari  aku datang membawa kamera ke SMP (setelah kerja tentunya) untuk memotret mereka. Tapi ada beberapa ekskul yang jadwalnya tidak pas dengan jadwalku sehingga teman seksi publikasi yang lain yang memotretnya. Tapi selain foto klub ekskul masih ada satu yang terpenting yaitu mengambil foto per kelas, dan satu angkatan! Foto satu angkatan itu diambil dari lantai 2 atau 3 dan akan dipakai sebagai sampul buletin. Dan pada hari itu aku harus mengajar (tidak bisa dibatalkan) sehingga sampai di sekolah mepet waktunya. Itupun sudah naik taxi dari stasiun. Begitu aku datang, teman yang lain mengambil tasku, dan aku lari naik ke atas. Memang sudah ada satu teman sebagai cadangan kalau aku tidak bisa datang, dan dia sudah standby. Karena toh sudah ada dia, aku ambil saja seenakku, sambil naik turun tangga deh 😀 Baru setelah mengambil foto keseluruhan itu, kami berdua turun dan mengambil foto per kelas.

DAN ternyata….. untung sekali aku mengambil foto dengan kamera DSLRku itu! Ternyata pada saat mengatur layout isi buletin itu, baru ketahuan bahwa hasil foto dari kamera temanku itu semua resolusinya kecil dan KOTAK ala instagram. Haduh! Benar-benar tidak bisa dipakai untuk sampul, atau yang memerlukan hasil yang besar. Paling hanya untuk hiasan saja. Kasihan sekali dia, waktu aku beritahu bahwa setting kameranya salah, dia sedih sekali. Jadi deh, aku harus memilih foto-foto dari kameraku saja yang memang resolusinya tinggi. Proses layout dan editing dilakukan berdua, memakai office word, karena memang paling gampang. Setelah desain jadi masih harus disetujui pihak guru dan sekolah, sehingga aku harus bolak balik sekolah. Untung waktu itu sudah masuk bulan Februari sehingga pekerjaanku sudah banyak yang libur.

Nah, yang paling sulit menurutku sebenarnya adalah proses pencetakan. Karena temanku yang satunya lagi sibuk, harus aku yang mengurusnya. Sebetulnya kalau cuma membawa original ke percetakan lalu minta cetak sih mudah sekali. Tapi ini karena budget terbatas, sesuai tahun-tahun sebelumnya, kami minta cetak secara online. Aduh, aku memang sering belanja online, tapi minta percetakan secara online seluruhnya… ngeri juga. Karena banyak istilah percetakan yang aku tidak tahu bahasa Jepangnya 😀 Misalnya halaman membuka ke kiri atau ke kanan (di Jepang pada umumnya membuka ke kanan, terbalik dengan Indonesia. Aku pernah menulisnya di sini ) , lalu setting marginnya ternyata juga tertentu. Juga aku harus memilih jenis kertas yang dipakai. Semuanya mudah kalau petugas yang sebelumnya mau memberikan keterangan rinci, apalagi kalau dia mau bantu pengurusannya. Masalahnya menghubungi petugas sebelumnya juga sulit sekali. Orang Jepang tidak ada yang tidak sibuk sih (tapi toh masih mau membantu kegiatan PTA hehehe).

Pokoknya untuk order cetak saja aku harus membaca peraturannya 3 hari hihihi. Sambil aku mempelajari cara untuk mengirim naskah ke percetakannya, yang sudah ditentukan juga caranya (tidak bisa kirim via email!) . Lalu pembayaran juga melalui credit card, juga permintaan pengiriman hasil cetakan langsung ke sekolah. Aku pelajari benar-benar karena jangan sampai karena aku salah baca dan salah order, 1500 eksemplar terbuang begitu saja (dan tentu aku harus ganti semuanya secepatnya). Supaya biaya murah, aku minta prosesnya 10 hari, karena semakin cepat semakin mahal…semakin lama semakin murah 😀 Dan karena ongkos kirim ditanggung percetakan, aku perlu menghitung mundur, supaya hasil cetakan dikirim pada hari kerja…. beuh (ngelap keringat).

Naskah masuk percetakan tgl 25 Februari dan selesai tanggal 6 Maret. Selama itu tentu aku tidak bisa tenang dong. Baru bisa lega tanggal 8 Maret, karena sesudah kerja aku langsung ke sekolah dan membuka satu dari dua kardus untuk melihat hasilnya. Rencananya buletin itu akan dibagikan keesokan harinya. Hampir nangis terharu waktu membuka satu eksemplar dan melihat setengah karyaku tercetak dengan rapi dan bagus! Kata orang Jepang: 文句なし Monku nashi (tidak ada keluhan). WELL DONE!

Bahayanya kalau begini, aku jadi ketagihan untuk mencetak buku/buletin deh hahaha. Apa aku ganti profesi saja ya? 😀 😛

NB: maaf tidak bisa pasang foto karena buletinnya memuat data/informasi pribadi dan sekolah.

Nyeni

19 Feb

Wah … sudah tanggal 18 Februari. Kalau melihat daftar posting aku terakhir tulisannya tanggal 12 Januari. Setelah itu sebetulnya mau menulis tentang ultahku, atau tentang perjalanan dengan bus ke daerah Kanzawa…. tapi ya begitu, ditunda-tunda terus sehingga akhirnya ceritanya “terasa” basi! Sedangkan untuk cerita yang melulu tentang anak-anak sekarang aku tulis di Rabbit’s Home sih. Sehingga bisa dikatakan TE ditelantarkan 😀

Tapi hari ini aku memaksakan diri menulis di sini. Karena aku mendapat ucapan selamat dari WP (wordpress) waktu aku membuka dashboardku ini. Katanya 8 tahun yang lalu aku join WordPress. Ya, memang 8 tahun lalu, sahabatku si Marten membuatkan blog dengan domain ini, mendaftarkan aku di wordpress, dan menjadikan wordpress sebagai platform blog Twilight Express. Meskipun sebetulnya aku sudah menulis blog di blogspot sejak 2005. Tapi karena perlu belajar pemakaian wordpress, memasang thema, menentukan mau menulis apa, tulisan pertama baru bisa tampil tanggal 2 Maret. Dan aku biasanya sih “merayakan” ultah TE di awal April.

OK, Hari ini aku mau menulis sedikit tentang seni dalam merintang waktu. Kalau dulu aku merintang waktu di taman, kemarin aku mempunyai waktu kosong 5 jam sebelum aku mengajar malam. Jadi aku merintang waktu di sebuah museum Art di Roppongi.

Biasanya aku memang ke rumah dulu untuk masak makan malam, baru keluar lagi untuk mengajar. Itu kalau aku tidak ada janji atau pekerjaan lain. Nah, kebetulan ada dua teman baru di sebuah grup di FB mengajak anggota grup untuk pergi melihat karya lukisan Murakami Takashi yang sedang mengadakan pameran di Roppongi. Murakami Takashi ini konon terkenal di seluruh dunia dengan karyanya yang kontemporer.

OK, aku ingin sekali bertemu ke dua teman baru itu. TAPI aku tidak suka lukisan kontemporer hehehe (dan aku terus terang), jadi aku bertanya apakah mereka mau bertemu ngopi setelah melihat pameran lukisan Murakami itu. Dan mereka meng-iya-kan. So, aku pikir aku akan mengerjakan sesuatu sambil menunggu mereka ke museum dan bergabung pada pukul 4:30 untuk minum kopi bersama.

Poster di museum Kiri: Murakami Takashi Kanan: Vermeer dan Rembrant kamu pilih mana? hehehe

Tapi waktu aku mencari transportasi tersingkat untuk bisa ke Roppongi dari Kanda (yang ternyata naik bus dari Shinbashi adalah solusi terbaik), aku menemukan bahwa di tempat yang sama, tapi ruangan yang lain, sedang berlangsung pameran lukisan dari Belanda, yaitu Vermeer dan Rembrant (dan pelukis lain tentunya). Pelukis-pelukis Belanda yang hidup dalam jaman keemasan di abad 17. Nah, kalau aliran ini aku suka. Klasik, impressionis, realisme. Apalagi lukisan Vermeer yang Gadis dengan Bejana itu merupakan lukisan terkenal. Aku lupa apakah aku sudah lihat lukisan aslinya atau belum. Kalau Rembrant aku sudah pernah lihat di Rijks Museum (dan benar-benar kagum dengan lukisannya yang besar-besar).

Jadilah aku pergi ke bagian museum yang lain untuk melihat lukisan-lukisan Belanda ini sendirian, sementara ke dua temanku pergi ke bagian lain. Memang orang Jepang suka pameran! Untuk membeli karcis saja harus antri 10 menit. Dan harga karcis tidak murah. 1600 yen untuk karcis hari itu, terasa cukup mahal. Tapi bagi orang Jepang, segitu sih cemen! murah!  hehehe. Dan aku pun berada di belakang sepasang suami istri yang memakai kimono menuju ke lantai 52 untuk melihat lukisan-lukisan orang Belanda.

Banyak sekali lukisan yang dipamerkan. Menurutku untuk jumlah sebanyak itu, wajar lah harga tiket semahal itu. Pihak museum menata lukisan dengan baik, sesuai dengan jamannya dan kategorinya. Ada kategori lukisan tidak bergerak, ada kategori lukisan potret, kategori laut, kategori pemandangan dll. Bak seorang yang “nyeni” aku melihat lukisan-lukisan itu satu persatu lamat-lamat sambil mengikuti arus pengunjung.

Aku tidak mengerti lukisan! Pertama kali melihat lukisan dengan “sadar” ya di Jepang. Awalnya tidak bisa menikmati, tapi lama kelamaan bisa menyukainya. Tapi memang secara keseluruhan lukisan Belanda ini menurutku ya memang bagus, memang real, tapi dominan berwarna coklat tanah (termasuk piguranya), dan sambil melihat lukisan-lukisan itu, aku membayangkan kedua temanku yang sedang melihat lukisan kontemporer itu. Ya, pasti menurut orang yang suka kontemporer, lukisan yang kulihat ini semesti membosankan. Semua hampir sama goresannya, warnanya terbatas, dan dan tidak dinamis. Membosankan deh. Tapi ya itulah seni, hanya bisa dinikmati oleh orang yang mengerti, dan kita tidak bisa memaksakan bahwa aliranku yang paling bagus.

Ada dua lukisan yang menarik menurutku, tentu saja selain yang populer, yaitu dua buah lukisan bundar dan kecil. Kok bisa dengan kanvas sekecil itu menggambarkan detil memakai cat minyak. Satu lagi adalah lukisan seorang wanita yang membawa lentera di jendela. Aku cukup kaget dengan ukuran lukisan-lukisan itu. Kusangka lukisannya berukuran besar, ternyata tidak.

Satu lagi yang selalu menjadi pertanyaannku adalah mengapa di pameran-pameran lukisan di Jepang tidak boleh memotret! memang itu tergantung perjanjian antar pihak museum dengan empunya lukisan. Dan…. karena itu orang Jepang suka membeli souvenir sebelum pulang. Karena itu aku juga biasanya membeli kartu pos dari lukisan-lukisan yang dipajang. Mungkinkah ketentuan tidak boleh memotret itu supaya jualannya laku? hehehe

Setelah menikmati lukisan-lukisan terkenal itu kamipun akhirnya bertemu dan  ngopi di dekat Roppongi Hills sampai waktuku mengajar.

Kurasa cara yang nyeni dan mendidik seperti itu merupakan salah satu cara jitu untuk merintang waktu. Don’t you think so? 😉