Ayo Makan Ikan!

29 Mei

Akhirnya pekerjaan menerjemahkan yang dimulai tanggal 11 Mei lalu bisa aku selesaikan dengan baik. Tidak begitu banyak sih sebetulnya, tapi nambah terus setiap hari, dan minta cepat 😀 Dan tadi siang terakhir datang permintaan lanjutan menerjemahkan 2 kalimat, sambil diberi kepastian bahwa ini benar-benar file terakhir. Jadi baru hari ini rasanya aku bisa legaaaaa banget. Sekaligus merasa kesepian karena teman chatku yang selama hampir dua minggu aku telantarkan **lebay** berangkat ke Medan. Katanya: “Giliran mbak… selama ini kan aku yang kesepian” hihihi

Lalu sore ini aku sempat blogwalking ke salah satu blog sahabat “must visit blog” dan menemukan artikel berjudul, Bangkitlah Nelayanku! tulisan dari mbak choco. Tulisannya itu memuat saran-saran untuk mengatasi musim paceklik (musim tidak bisa menangkap ikan) yang dialami nelayan Indonesia, sehingga masih tetap dapat bertahan hidup dengan membuat terobosan-terobosan baru. Dari tulisannya ini aku teringat akan sebuah topik yang diangkat dari artikel koran Tokyo, Tokyo Shimbun persis 3 hari yang lalu. Yaitu bahwa telah terjadi perubahan pola makan masyarakat Jepang yang “menjauhi” ikan, yang juga terjadi pada kalangan manula yang tinggal sendiri, sehingga mereka menjadi “pemakan daging”.

Konon penemuan bahwa konsumsi warga Jepang satu hari menunjukkan perubahan dari “ikan” menjadi “daging” bermula tahun 2006. Dan kenyataan itu terus berlanjut sampai sekarang, dan kecenderungan itu pun terjadi pada kaum manula yang tinggal sendiri. Mereka lebih memilih makan daging daripada ikan. DalamPutih tanggal 25 Mei, pemerintah menuliskan bahwa pada tahun 2000, konsumsi ikan satu orang warga Jepang per hari adalah 92 gram, sedangkan daging 78,2 gram, jadi ikan lebih banyak, tapi pada th 2010 angka itu berubah 72,5 gram untuk ikan dan 82,5 gram untuk daging.

Kenyataan ini sebenarnya menurutku cukup bermasalah. Aku memang bukan ahlinya, tapi menurutku rata-rata usia hidup masyarakat Jepang yang tinggi itu, selain dari pola hidup sehari-harinya, juga ditentukan pada pola makan mereka yang banyak makan ikan. Aku termasuk orang yang berpikir bahwa ikan jauh lebih bagus daripada daging. Sehingga jika pola makan ini berubah, aku khawatir usia hidup orang Jepang akan “menciut”. Tapi tentu saja ini baru bisa diketahui 50-60 tahun yang akan datang. Semoga saja tidak.

Aku sendiri suka ikan, maklum deh karena nenek moyangku orang pelaut 😀 dan nenek moyang itu bahkan sejak tahun 1600 sudah mengarungi lautan dengan kapal buatannya sendiri.  Tapi merupakan kenyataan bahwa harga ikan di Jepang itu mahal, jauh lebih mahal dari daging ayam atau daging babi. Meskipun memang ada jenis-jenis ikan tertentu yang murah. Kebetulan jenis ikan yang kusuka bernama “buri” ブリ(鰤)、nama latinnya Seriola quinqueradiata, (Japanese amberjack, Five-ray yellowtail) yang hidup di laut dingin. Dagingnya mirip dengan tongkol tapi lebih berlemak. Enak dimakan mentah untuk sushi, tapi juga enak dibakar. Dan yang menarik dari ikan buri ini adalah menurut besarnya ikan, namanya bisa berubah-ubah. Nah, ikan jenis ini cukup mahal. Misalnya satu potong ikan buri potongan untuk satu orang harganya bisa mencapai 300 yen. Atau termurah yang pernah kulihat 4 potong 750 yen. Nah untuk harga segini, aku bisa membeli ayam halal 2 kilo 😀 Jadi bisa mengerti kenapa aku juga akan lebih memilih membeli ayam daripada ikan kan?

Satu ekor Inada (nama lain buri) yang pernah kubeli

Selain harganya mahal, ikan segar jauh lebih enak. Sejak tinggal di Jepang, aku tidak pernah masak ikan yang sudah masuk freezer. Frozen fish itu rasanya berubah! Jauh lebih enak ikan segar (tentu saja). Apalagi jika mau makan sashimi (mentah), harus membeli yang khusus sashimi dan tidak bisa dibiarkan menginap. Tapi untuk dibakarpun akan jauh lebih enak jika ikannya segar, belum pernah masuk lemari beku. Jadi, kalau mau makan ikan, aku harus pergi ke pasar untuk membelinya. Atau paling lama dibakar keesokan harinya. Ini juga membuat orang malas masak ikan. Tentu kita bisa bayangkan bahwa manula itu juga jarang dan malas keluar rumah kan?

Bagiku alasan ekonomis dan kesegaran itu amat sangat dapat dimengerti. Tapi selain kedua alasan itu, ada alasan MALAS. Untung aku tidak malas, karena aku bisa menyiangi ikan, membuang sisik dan insang, memotong, membakarnya sendiri, dan …. makan tanpa merasa repot jika bertemu tulang! Tapi banyak orang muda di Jepang yang malas! malas bertemu tulang, karena biasanya jika kita membeli ikan di pasar/supermarket, kita bisa minta pelayan untuk membersihkan dan memotongnya untuk kita. ATAU tentu saja membeli ikan potongan, bukan yang utuh. tapi itu saja mereka MALAS membakarnya, dan makan ikan yang mungkin saja masih bertulang (padahal menurutku ikan laut di Jepang tulangnya sedikit, coba deh bandengnya Indonesia, durinya boooo!Apalagi ikan air tawar :D). Salah satu kesalahan waktu mereka makan ikan yang bisa kuteliti adalah bahwa mereka makan ikan tetap dengan sumpit sih. Coba pakai tangan seperti orang Indonesia, pasti tidak takut dengan tulang :D.

Cara makan ikan bakar dengan sumpit: Makan satu sisi sampai bersih. Kalau sudah, ikan tidak boleh dibalik, tapi singkirkan tulangnya sehingga yang tertinggal adalah daging ikan sisi satunya, baru dimakan 😀 repooooot kan :D, enakan juga pakai tangan. Sayang aku tidak punya foto makan ikan dengan sumpit. Nanti deh aku beli khusus ikan sanma untuk ambil fotonya 😀

Menanggapi kecenderungan turunnya konsumsi ikan di Jepang, Kementrian Pertanian, Kehutanan dan Perairan (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries) Jepang mulai bulan Juli mendirikan proyek baru bekerjasama dengan pihak terkait untuk menggalakkan konsumsi ikan di Jepang. Mereka bermaksud mengubah padangan warga Jepang bahwa ikan hanya bisa “dibakar” dan “direbus”. Well, memang di Jepang jarang atau tidak ada yang menggoreng ikan, apalagi pepes ikan 😀 Selain variasi masakan mereka juga bermaksud menggalakkan penjualan “ikan tanpa duri”. (Sumber : Tokyo Shimbun 26 Mei 2012)

Bagaimana dengan teman-teman? Suka makan ikan? Mari kita galakkan makan ikan, baik di Jepang maupun di Indonesia.

 

日本人の魚離れが止まらない。国民一人の一日当たりの魚と肉の摂取量は、二〇〇六年に初めて肉が魚を上回り、その後「肉食化」の傾向が拡大。肉を好む若者だけではなく高齢者でも魚離れが進んでおり、水産庁は消費拡大の取り組みに乗り出すことにした。

 政府が二十五日に閣議決定した水産白書によると、国民一人の一日当たり摂取量は、二〇〇〇年には魚が九二・〇グラム、肉が七八・二グラムと魚が上回っていたが、一〇年には魚は七二・五グラム、肉が八二・五グラムと大きく逆転している。

 年齢別にみても、二〇〇〇年と一〇年の比較で、子どもから高齢者まですべての年齢層で魚の摂取量が減少。水産庁は魚離れの一因を、「骨があって食べるのが面倒」「肉より割高」と感じる消費者が増えているためと分析する。

 七十歳以上でも魚が減少し、肉の消費が増えていることについて水産庁は「単身住まいの高齢者が増えているため、冷凍庫での保存や調理の簡単な肉が好まれているのではないか」とみている。

 こうした低迷に歯止めをかけるため、水産庁は七月に消費拡大に向けたプロジェクトを立ち上げ、生産や加工、流通、小売り業者と連携。「焼く」「煮る」だけではない魚の食べ方の提案や、売り場で手に取ってもらうための工夫などを検討、試行していくことにした。

 水産加工業者も介護施設のお年寄りや、骨を取るのが面倒な消費者に合わせて「骨なし魚」の新商品を開発しており、官民一体で魚の消費減に歯止めをかけるべく取り組んでいく方針だ。http://www.tokyo-np.co.jp/article/economics/news/CK2012052602000103.html

Happening

26 Mei

Aku baru tahu pemakaian kata “happening” sejak aku datang ke Jepang. Orang Jepang mengatakan “happening” pada suatu kejadian atau peristiwa yang mendadak, peristiwa yang memalukan/menyebalkan yang tidak direncakan dan tidak bisa dihindari juga (kebanyakan negatif). Well, things happened!

Hari Sabtu ini, sesudah misa di gereja Meguro, akan ada kumpul-kumpul bersama umat, dan sudah pasti kalau ada kumpul-kumpul ada masakan Indonesia dong deh sih :D. Karena pastor Ardy suka makan rendang, aku ingin mencoba membuat rendang. Biasanya aku masak pakai bumbu instant (utamanya) lalu ditambah-tambah sendiri. Tapi aku ingat sahabatku Whita pandai membuat rendang padang yang berwarna hitam dan maknyus punya. Jadi aku tanyakan resepnya padanya.

Baiknya sahabatku ini, dia menawarkan untuk memasakkan dan mengantarkan sampai Meguro keesokan harinya. Ya percakapan via email itu terjadi sudah hari Jumat sore. Duuuh ingin rasanya bermanja padanya. Enak toh kalau tinggal makan saja hehehe. Tapi karena aku tidak yakin bisa tepat waktu waktu menjemput “pesanan” di stasiun Meguro, aku menolak. Kebetulan aku bisa membeli daging Aussie yang cukup bagus dan murah yang bukan frozen di Atre Kichijoji. Saat itu aku belum membaca resepnya, karena tidak bisa membuka attachment lewat HP ku.

Nah, begitu pulang aku baca resepnya, dan tertawa karena aku tidak punya bawang merah! Hmm… bagaimana nih. Tapi sambil aku menyiapkan bumbu-bumbu lain, semua ada hanya tidak ada bawang merah saja. Semua bumbu cukup untuk daging 2 kg, sesuai saran tante Christine (maklum daging kan mengkeret kalau sudah dimasak). Waktu aku laporan pada whita, “Aku tidak ada bawang merah…alamat pakai bumbu instant nih!” lalu dia jawab: “Pakai bawang yang merah besar itu saja”……. Memang ada bawang merah yang besar seperti bawang bombay tapi merah di tukang sayur. Tapi saat itu jam 7 malam, tukang sayurku itu sudah tutup. Adanya bawang bombay. Hmmmm ….. OK aku coba saja pakai bawang bombay!

yes! mulai masak. Aku keluarkan wajan besarku yang disebut Chuka Nabe (Wajan Chinese), dan mengikuti resepnya Whita. Selama 3 jam rumahku berbau rendang deh 😀 Tapi waktu sudah selesai, penampilan sudah OK, berwarna hitam, aku rasa pakai nasi tentunya (setiap kali rasa pakai nasi deh hihihi)…laah kok kurang maknyus ya? Memang kurang pedas karena aku kasian jika banyak yang tidak bisa makan. Tapi aku merasa kurang sedikit garam. Aku memang selalu kasih sedikit garam pada masakan untuk kesehatan, yang cenderung hambar bagi orang lain. Tapi kupikir ya sudah besok saja.

Pas hari Sabtu pagi, aku melihat daging rendang 2kg yang sudah jadi yang sudah dimasukkan ke dalam wadah. Hmmm kok sedikit ya 😀 Yang pasti aku tidak bisa tinggalkan sedikit untuk Gen yang tidak bisa ikut bersama ke gereja karena harus kerja. Pikir punya pikir, sebaiknya aku masak lagi karena aku masih ada daging 1 kg lagi. Dengan bumbu seadanya, aku mulai memasak daging 1 kg terpisah, dengan cabe yang lebih banyak. Nah, waktu itulah “happening”!

Waktu mau menggiling bumbu-bumbu dengan food processorku, eh kok pisaunya tidak mau berputar? Setelah aku perhatikan di bagian tengah ada sumbu pemutar yang dilapis bahan plastik. Nah kepala plastiknya itu pecah. Tanpa kepala itu, pisau tidak bisa berputar. Jadi kupikir ok aku coba ambil patahan plastik itu, dan menempelkannya kembali dengan lem bond.  Sudah selesai menempelkan, aku masukkan mixer bowlnya, dan langsung pasang On. Tapi…. lah kok ngga goyang juga? Terpaksa deh aku keluarkan lagi bumbu yang mau dihaluskan, untuk memeriksa bowlnya. Laaahhhhh nempel! Bowlnya tidak bisa diambil deh, mungkin nempel sama sumbunya. Hahaha. Aku cuma bisa tertawa saja. Sial deh. Sudah pasti tidak bisa diapa-apakan, sudah tidak bisa dipakai dan aku harus buang begitu saja dengan bowl menempel 😀 Things happened!

Sempat terpikir untuk membatalkan masaknya, tapi karena aku masih punya juicer, keluarkan juicer dan coba pakai. Bisa! Masak diteruskan. Aku bahkan masih sempat mengembalikan semua rendang 2 kg yang sudah jadi dan menambahkan garam serta santan sehingga rasanya bisa maknyus. Selain itu aku masih sempat membuat puding coklat dan ….kue black forrest. Aku sengaja tidak memberitahukan tentang black forrest ini, karena aku takut waktunya tidak cukup untuk membuatnya. Ternyata bisa.

Aku, Riku dan Kai bernagkat dari rumah pukul 4 sore (misa mulai jam 5) naik mobil (pinjam mobilnya papa Gen). Yah perkiraanku giri-giri alias mefet jam 5 sampai. Tapiiiii ternyata di Meguro Dori, 4 menit lagi dari gereja, ada kecelakaan yang menewaskan orang (sepertinya dua orang), jadi ada gemba kensho (on-site investigation) yang membbuat polisi menutup 2 jalur dari 3 jalur yang ada. Akibatnya muaceeeet. Jadi aku sudah di jarak 4 menit dari gereja, tapi tak bisa maju-maju selama 20 menit 😀 One kind of happening juga. 😀

Rendang hasil karya mama Imelda. Kedua anakku tak malu-malu mengambil makanan ...hihihi

Setelah selesai misa (yang kami terlambat), kami makan-makan untuk merayakan 5 orang yang berulang tahun di bulan Mei, permandian Kai dan penyambutan pastor Ardy yang kembali dari Akita. Yummy deh makan banyak :D. Dan setelah selesai acara, aku mengajak pastor pulang naik mobil karena memang kami satu arah. Apalagi anak-anak senang sekali dengan pastornya bisa bercakap-cakap di mobil juga. Daaaan satu lagi happening dalam perjalanan pulang.

Kue black forrest dadakan 😀

Sekitar 10 menit sebelum sampai di gereja Kichijouji, tempat pastor Ardy bermukim, Kai mengeluh sakit perut 🙁 Aku tanya, kenapa? “Mau unchi….. (b.a.b)….” Kasihan dia tidak bisa tahan lagi, jadi begitu aku melihat ada family restoran, aku berhenti,memarkirkan mobil dan sambil kami pesan makanan membantu Kai di WC. Jadi kami yang sudah kenyang itu terpaksa minum untuk meminjam toilet 😀 Well, tidak apa-apa….aku memang sering impulse begitu, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (kalau Kai b.a.b di mobil kan parah). TAPIIIII ternyata happeningnya bukan kasus toilet saja. Karena setelah Kai makan es krim, dia batuk-batuk, lalu m*ntah! Masuk ke tempat sendok yang terbuat dari anyaman. dan banyak…. Pastor dan aku panik, karena tissue di meja juga tidak ada. Aku yang biasanya bawa plastik kresek juga tidak bawa. Ya terpaksa deh …… Dan kemudian pelayan datang, langsung aku minta maaf, minta tissue. Si pelayang dengan ramahnya mengambil tempat sendok, dan mengambilkan tissue. Duh hospitality restoran Jonathan ini memang patut diacungkan jempol deh. (Kebanyakan restoran memang begitu, mungkin karena banyak kejadian ya)

Sebelum kejadian m*ntah di resto Jonathan jadi masih sempat berfoto 😀

Setelah Kai redaan batuknya, kami meninggalkan restoran dengan membayar 1.700 yen 😀 untuk minuman dan parkir. Tapi yah cukup murah lah karena Kai keluarkan atas bawah 😀 dan merepotkan pelayan di sana.

Well, things happened. Dan untung aku masih bisa tertawa menghadapinya 😀 Sambil teringat pada hari yang sama aku memecahkan teko teh waktu mencuci piring dan wajan, juga beberapa hari yang lalu aku memecahkan 4 piring sekaligus karena tumpukan piring terlalu berat waktu mau memasukkan ke dalam lemari….. Memang sudah waktunya diganti 😀
Happening oh happening… semoga tidak sering-sering datang ya 😀

Have a nice sunday 😉

(Berhubung mau ke gereja antar Riku Sekolah Minggu, foto-foto menyusul ya 😉 )

 

 

Tiga bulan yang lalu

23 Mei

Tepat tiga bulan yang lalu, atau 90 hari yang lalu, Mama berpulang kepada Bapa, dan “pindah rumah” ke Rumah Abadi….. Eternal Home.

Bagaimana perasaanku? Ya masih sedih, apalagi jika teringat, atau menyadari bahwa jika aku mudik nanti aku tidak bisa bertemu mama lagi, menciumnya, memeluknya. Padahal aku juga selama ini pulangnya setahun sekali paling lama satu bulan. Tidak bisa sering-sering bertemu. Juga tidak terlalu sering menelepon. Jika aku menelepon biasanya mama hanya mendengarkan “kicauan”ku, dan jika aku tanya, “Mama bagaimana?” dia selalu menjawab, “Ya… begitu. Namanya sudah tua. Sudah sering lupa” Dan kalau dia sudah bicara begitu, aku bilang, “Ngga usah mama, aku aja juga suka lupa. Suka sakit badannya. Namanya manusia ya ma…. pasti menjadi tua…” Tapi…. dia tidak pernah cerita bahwa dia mau dikremasi saja kalau meninggal. Tidak kepadaku, tetapi kepada adikku.

Ya, kami yang ditinggalkan masih belum bisa memahami keinginan mama jika dia meninggal. Ia ingin dikremasi dan abunya dibuang ke laut, sama seperti kakaknya. Rupanya pengalamannya waktu mengikuti prosesi kremasi dan dilarung abunya ke laut sangat membekas pada diri mama. Ntah karena dia ingin “bertemu” dengan kakaknya di perairan 7 samudra, atau lebih ke alasan ekonomis. Ya, dikremasi dan dilarung lebih murah dan tidak merepotkan bagi yang ditinggal, dibandingkan dengan pemakaman biasa.

Jadi waktu aku pulang ke Jakarta, aku saat itu hanya ingin mengetahui keinginan papa dan adik-adik bagaimana. Bagiku, cara apa saja OK. Apalagi aku sudah sering melihat upacara kremasi dari keluarga Gen. Yang memang untuk pertama kali pasti akan shock mengikutinya. Silakan baca di tulisan lamaku?http://twilightexpress.blogspot.jp/2006/07/for-dust-thou-art-and-unto-dust-shalt.html

Dua malam aku menjaga jenazah mama di kamar tamu rumah Jakarta sambil berdiskusi mengenai pemakaman mama. Tapi yang paling penting adalah keinginan papa. Papa sendiri sebetulnya tidak setuju kremasi apalagi dilarun atau ditebarkan abunya ke laut. Aku baru tahu bahwa papa tidak ikut waktu kremasi kakaknya mama, karena tidak setuju 🙁 Ya memang perlu mengubah mindset untuk bisa mengerti mengapa harus “kremasi”. ?Sama seperti tulisanku waktu omanya Gen meninggal, baru saat dikremasi kita bisa mengerti ayat dalam kitab suci :

 

in the sweat of thy face shalt thou eat bread, till thou return unto the ground; for out of it wast thou taken: for dust thou art, and unto dust shalt thou return. (Genesis3:19)
dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil;?sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kejadian 3:19)

Ya, manusia pasti akan kembali menjadi abu/debu. Jika dimakamkan, dikubur dalam tanah akan butuh waktu bertahun-tahun, tapi dengan dikremasi hanya dalam hitungan jam.

Papa memang sudah memesan kepada pengurus pemakaman untuk mempersiapkan kremasi di Oasis Lestari. Sepertinya ada keluarga jauh kami yang juga pernah di sana. Sebuah areal kremasi dan kolumbarium (tempat menyimpan abu seperti koloseum) yang dikelola oleh sebuah yayasan katolik yaitu?Dana Pensiun??Konferensi Waligereja Indonesia ? (DP KWI)?. Untungnya yayasan ini memiliki website dan aku diberitahu websitenya justru oleh sahabat mayaku, Nique.

Dalam website itu tertulis begini:

Dalam Order of Christian Funerals bagian Appendiks II no. 417 yang diterbitkan pada tahun 1997, diberikan catatan bagaimana kita mesti memperlakukan abu kremasi [sebenarnya partikel-partikel tulang].

1. Hal yang dilarang oleh gereja :

Penaburan/pelarungan abu kremasi ke laut/sungai, entah dari udara atau dari pantai dan Penyimpanan abu kremasi di rumah sanak kerabat atau sahabat.

2Hal yang dianjurkan Gereja :

Supaya abu jenazah yang dikremasi itu dimakamkan di pemakaman atau disemayamkan di mausoleum atau columbarium agar ada tempat untuk mengingat pribadi yang meninggal sekaligus tempat kita berziarah dan berdoa.

Berdasarkan keterangan ini, maka papa pun memutuskan untuk tetap mengadakan kremasi dan menyimpan abunya dalam kolumbarium. Ya, aku pun sependapat dengan papa. Meskipun aku menyetujui kremasi, aku tidak bisa membayangkan jika abu mama disebarkan ke laut misalnya. Bagaimana aku akan berziarah jika di laut? Memang semua laut di seluruh dunia sambung menyambung, tapi aku tetap tidak bisa pergi ke Teluk Tokyo misalnya untuk berdoa pada mama. Memang benar juga bahwa kita bisa berdoa di mana saja, tapi tetap yang namanya manusia tetap memerlukan simbol, tempat yang kasatmata, yang bisa dilihat. Meskipun mungkin hanya setahun sekali saja kita berziarah ke makam. Jadi makam, atau kolumbarium atau mausoleum itu lebih terletak pada kepentingan orang-orang yang ditinggal. Orang yang meninggal tidak memerlukannya.?

Rumah Abadi Mama

Jadi kami meletakkan abu mama dalam guci ke dalam kolumbarium. Sebuah kotak kaca kecil dalam sebuah dinding panjang. Kami menyebutnya sebagai flat baru mama. Ah mama, dia memang menurunkan sifat bercandanya pada kami. Begitulah keluarga Mutter… selalu bercanda, baik dalam upacara kematian. Bercanda sambil menangis….. Sehingga kami yang mewarisi sifatnya bisa mengatakan, “Mama, ini flat baru mama. Rumah abadi mama. Apartemen Nomor E-1 ya. Semoga mama kerasan” 😀 🙁 🙁

Memang banyak tempat menaruh guci itu yang benar-benar dihias seperti rumah oleh keluarga-keluarga. Ditaruh foto atau barang kesukaannya. Yang bagusnya di Oasis Lestari ini, kami pun bisa berdoa di depan “rumah abadi” mama dengan khusyuk tanpa takut kena hujan. Belum lagi setiap bulan, Oasis Lestari ini juga mengadakan misa arwah, mengenang saudara-saudara yang “tinggal” di situ. Dan persis tanggal 12 Mei kemarin, persis hari ulang tahun mama, mereka mengadakan misa arwah di sana.

Kami di Tokyo, memperingati hari ulang tahun mama, tanggal 12 Mei 2012 yang berdekatan dengan Mothers Day dengan mengadakan misa di gereja St. Anselmo, Meguro. Pada hari itu, aku memutuskan untuk membaptis Kai menjadi katolik. Memang biasanya kami, umat katolik membaptis anak-anak kami waktu masih bayi. Tapi selama ini aku pribadi belum menemukan pastor yang cocok, waktu yang pas, karena aku ingin adikku Tina yang menjadi ibu permandian bagi Kai. Sehingga aku baru membaptis anak keduaku ini waktu dia sudah berusia 4 tahun. ?Dan kebetulan pastor Ardy Hayon SVD, yang sudah kukenal sejak aku hamil Kai pindah tugas dari Akita ke Kichijouji, Tokyo.

Dan aku merasa memang seperti semua sudah seharusnya. Kai sudah mengenal cara berdoa, cara umat kristen bersikap. Bahkan setiap malam terlebih sesudah mama meninggal, dia selalu berdoa dengan suara keras. Doanya yang dia karang sendiri :

“Tuhan, tolong aku supaya tidak mimpi buruk. Bisa bangun pagi dan sehat. Tolong papa yang belum pulang supaya selamat sampai di rumah. Tolong oma supaya oma bisa bertemu Tuhan. Tolong opa jika kesepian, temani dia. Tolong opa jika takut, dampingi opa. AMIN”

aaahhh waktu pertama kali dia menyebut “Supaya oma bisa bertemu Tuhan” tangisku tak bisa berhenti…..juga ketika aku beritahu bahwa opa akan operasi kateter tanggal 8 Mei lalu (dan sampai sekarang masih belum tahu cara operasi apa yang terbaik untuk penyumbatan jantung Opa) dia langsung tambahkan dalam doanya, “Tolong Opa jika takut….”

Ignatius Kai Miyashita

Ignatius Kai Miyashita, 4 tahun … semoga kamu menjadi anak kristen yang berguna bagi gereja, keluarga dan masyarakat. Jangan takut karena Yesus dan St Ignatius melindungimu. Selalu….

 

sebuah postingan yang tertunda 1o hari….

Pemersatu

22 Mei

Aku selalu mengajarkan pada murid-muridku bahwa bahasa Indonesia adalah pemersatu bangsa Indonesia, yang memang mempunyai sekian banyak bahasa daerah untuk sekian banyak suku bangsa. Tapi bahasa itu memang skala “besar” dan “abadi”, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya butuh beberapa “rangsangan” untuk lebih merasakan persatuan bangsa. Suatu kegiatan atau acara atau apalah namanya yang dapat membuat satu negara ini merasakan sesuatu yang sama.

Padahal Indonesia punya banyak hari peringatan, yang setiap tahun, pada hari tertentu diperingati seluruh masyarakat. Entah dengan kegiatan besar seperti kegiatan hari Kartini yang sampai melibatkan anak TK berpakaian adat, atau kegiatan kecil yang “hanya” dirayakan oleh pegawai negeri dengan upacara bendera. Atau mungkin karena sudah terlalu sering, maka peringatan itu kehilangan maknanya? Hmmm semestinya tidak boleh kehilangan makna, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarahnya, bukan? (Jangan jawab bukaaaaan yah hehehe)

Kemarin tanggal 21 Mei 2012, hampir seluruh penduduk Jepang menyaksikan gerhana matahari, annular eclipse. Seperti sudah diketahui, fenomena  gerhana matahari adalah suatu saat jika posisi bulan berada di antara bumi dan matahari dan bulan menutupi  menutupi sebagian atau seluruh cahaya matahari. Biasanya gerhana matahari berlangsung setahun 2 kali. Tapi gerhana matahari total atau gerhana matahari cincin amat sangat jarang bisa dilihat. Kali ini Jepang mulai dari selatan sampai utara, bisa melihat gerhana matahari cincin, yang merupakan kejadian bersejarah setelah 932 tahun (terakhir pada tahun 1080). Dari seluruh kota Jepang, Shizuoka (tempat gunung Fuji berada) dan Tokyo, beruntung dapat melihat gerhana matahari cincin yang sempurna (pas di tengah-tengah).

Aku memotret Riku yang sedang memotret gerhana matahari yang sedang terjadi di Kagoshima (selatan Jepang) dengan Nintendo DS nya. Saat itu di Tokyo matahari sudah seperti bulan sabit.

Sudah sejak sebulan sebelumnya media masa Jepang mengangkat topik ini, sehingga hampir seluruh masyarakat Jepang mengetahuinya. Tentu saja fenomena ini juga menjadi kesempatan untuk bisnis. Suamiku membeli sebuah majalah “Newton” yang mengulas tentang Gerhana Matahari Cincin lengkap dengan jadwal bisa dilihat pukul berapa di kota apa, serta sebuah kacamata khusus untuk melihat gerhana matahari. Harga majalahnya 1500 yen (+pajak jadi 1575 yen). Tapi banyak pula yang hanya membeli kacamata saja, seharga minimum 500 yen. Seorang teman FBku menulis: “Coba kita hitung-hitungan berapa untungnya pebisnis dengan adanya gerhana matahari cincin ini”. Tentu saja pasti untung!

Kai dibangunin kakaknya supaya melihat kejadian langka ini. Masih menguap deh 😀 Dia melihat dengan kacamata yang dijual bersama Majalah Newton yang dibeli Gen. Satu kacamata untuk berempat, gantian deh.

Meskipun pada hari H nya mendung menggelayut, gerhana matahari cincin dapat dinikmati oleh orang-orang yang ingin menjadi bagian dari sejarah. Belum tentu anak cucu kita bisa melihatnya lagi loh. Sampai-sampai ada beberapa sekolah yang menyuruh murid-muridnya datang lebih cepat (karena diperkirakan pukul 7:30 padahal hari biasa sekolah mulai pukul 8:30). Satu sekolah menyaksikan gerhana matahari cincin bersama, di halaman sekolah. Coba tuh, gerhana matahari bisa menjadi pemersatu!

Gerhana matahari cincin di Tokyo pada pukul 7:34 pagi. Aku tidak berani ambil foto karena katanya kamera/mata bisa rusak... cari amannya aja deh.

Dan hari ini tanggal 22 Mei, satu lagi “pemersatu” Jepang dibuka. Menara pemancar tertinggi di dunia, Sky Tree Tokyo (634 meter) diresmikan. Meskipun hujan dan udara dingin (16 derajat, turun 9 derajat dari kemarin), warga Tokyo mulai memenuhi pelataran Sky Tree di bawah payung sejak pukul 6 pagi. Pengunjung umum belum bisa masuk dan naik ke atas Sky Tree tanpa reservation sampai bulan Juli. Setelah itu baru pengunjung umum bisa masuk dengan membayar 3000 yen untuk naik ke tenboudai (observatory deck) tertinggi (350 meter). Diharapkan Sky Tree dapat menarik wisatawan untuk datang, dan menggeliatkan perekonomian Jepang yang sedang lesu.

So, kapan kopdar di Sky Tree? 😀

 

Rasa itu tetap ada -5-

20 Mei

Melanjutkan seri tentang makanan atau rasa-rasa jadul yang tetap bisa dirasakan pada saat ini, maka pada hari ini aku ingin menulis sedikit tentang sebuah makanan yang terbuat dari telur.

Kalau di tulisan dulu, aku mencoba masak Oliebollen, roti goreng karena dulu mama sering buat, kali ini aku mencoba membuat “Telur Isi” yang namanya “Deviled Egg”. Secara tidak sengaja aku menemukan masakan kesukaanku itu, waktu ibu S. Mara Gd menulis tips masakan di FB nya. Waaah aku langsung girang, karena memang sudah lama aku mencari-cari namanya. Deviled Egg ini dalam bahasa Belanda disebut gevuld ei , dan dulu pernah mama buat waktu aku masih SD. Begitu enaknya sampai sekarangpun aku masih ingat rasanya. Tapi setelah saat itu, mama tidak pernah buat lagi. Mungkin karena merepotkan harus merebus dan menghias telur itu satu per satu. Apalagi kalau ada pesta di rumah kami, jumlah tamunya tidak tanggung-tanggung sih hehehe.

Kali ini aku hanya mencoba buat dengan 4 butir telur saja. Rebus telur sampai matang. Supaya kulit telur mudah dikupas, langsung masukkan telur rebus panas ke dalam air dingin. Pasti deh mudah dikupas. Setelah dikupas, potong menjadi dua dan ambil kuning telurnya saja. Kalau ada waktu putih telur yang sudah kosong itu bisa dibuat zigzag dengan pisau.

Kuning telur kemudian dicampur dengan mayoneise, mustard sedikit dan keju parut. Dulu mama memasukkan peterseli, tapi karena tidak ada, aku pakai basil dressing sedikit. Menurut ibu Mara, bisa juga dimasukkan irisan ketimun kecil atau apasaja untuk menimbulkan rasa “krenyes-krenyes”. Tapi setahuku dulu mama tidak memasukkan acar-acaran. Adonan kuning telur yang sudah dicampur itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam putih telur. Dan sudah, selesai. Begitu saja 😀

Deviled Egg ini cocok untuk appetizer atau teman minum wine/bir juga, menemani bermacam crakers yang dihias dengan keju, caviar, tomat, olive dll. Tidak susah dibuat, hanya sedikit merepotkan hehehe. Tapi yang pasti rasanya enak! (Cuma hati-hati kolesterolnya naik loh hihihi).

Nostalgia dengan masakan mama berpuluh tahun yang lalu, Deviled Egg. Minggu 20 Mei 2012

 

Panik

17 Mei

Duuuh rasanya kangeeeen sekali untuk menulis. Bayangin posting terakhir tanggal 11, sedangkan sekarang sudah tanggal 17! Aduuuuhhhh…… Tapi apa daya waktunya memang tidak ada. Karena bagi kalian yang tinggal di Indonesia hari ini libur kan? Tapi karena di sini tidak libur,  aku tetap harus bekerja dong deh sih!  Dan sebetulnya ada banyak hal yang ingin kutulis saat ini, termasuk ulang tahun Mama tanggal 12 Mei kemarin. Tapi ya gitu deh, kalau mau menulis tentang mama, masih tersendat oleh turunnya air mata sehingga perlu waktu yang cukup banyak. Jadi tulisan instant ini pendek saja, hanya ingin menuliskan “kepanikan” ku yang baru-baru saja terjadi.

Sesudah pulang mengajar minggu lalu, aku cepat-cepat pulang ke rumah dengan maksud menaruh belanjaan dulu sebelum menjemput Kai di TK nya jam 5 sore. Sudah beberapa bulan ini, aku tidak memakai tas ransel, karena ternyata punggungku sering sakit gara-gara ransel itu. Jadi aku sekarang memakai tas jinjing a.l.a dosen (lah emang dosen kok hahaha) untuk memasukkan buku dsb dsb. Tas wanita itu berwarna hitam dengan dua kantong di bagian dalam. Nah, di depan pintu apartemenku, aku hendak mengambil kunci rumah, yang biasanya aku masukkan ke kantong bagian dalam itu. Tapi…… TIDAK ADA! Duhhh aku panik sekali saat itu, aku jatuhkan di mana kunci itu? Apa mungkin jatuh dari tas yang kutaruh di keranjang sepeda? Atau aku lupa masukkan ke dalam tas, lalu taruh di kantong celana panjang, dan jatuh waktu aku mengayuh sepeda? Macam-macam pikiranku saat itu.

Tenang melll…. tenang. Aku taruh belanjaan dan tas di lantai, lalu aku mulai mengeluarkan semua isi tas. Satu per satu, siapa tahu terselip di sela buku dan kertas. Tapi… tidak ada. Hmm, aku sih bisa menjemput Kai dulu, lalu menunggu Riku pulang, karena Riku punya kuncinya sendiri. Tapi masa sih tidak ada?

Nah saat itu aku teringat, dulu pernah kejadian dengan tas wanita yang lain, kunciku juga hilang. Dan ternyata kantong bagian dalam tas itu berlubang, sehingga kuncinya jatuh ke dasar tas, di antara lapisan kain dan kulit luar. Dan kunci itu bisa ditemukan jika aku rogoh lewat lubang yang ada sampai ke dasar tas. Mungkin kejadian itu terulang kembali? Jadi deh, aku mulai mencari lubang di kantong bagian dalam tas, dan ternyata KETEMU lubangnya, kecil sehingga aku cuma bisa memasukkan dia jari saja. Jadilah aku merogoh-rogoh bagian  dasar tas, dan …… taraaaa… ADA kuncinya. Ketemu. Huh… rasanya lega tapi capeeeek sekali deh.

Itu panik pertama, nah panik kedua terjadi pada hari Senin, pukul 1 siang. Jadi ceritanya aku ada pekerjaan terjemahan 2 halaman saja, yang kuperkirakan bisa selesai dalam 2-3 jam. Tapi karena permintaan terjemahan itu datangnya hari Jumat, maka aku janjikan akan selesai jam 12 siang hari Senin. Tapi Sabtu dan Minggu aku sibuk urusan gereja, dan Senin paginya aku bahkan sempat tidur siang dengan santainya selama 2 jam dari jam 10 sampai jam 12. Begitu bangun, aku pergi belanja deh, sebelum menjemput Kai jam 2 siang. Tahu-tahu waktu aku sedang belanja (jam 1) ada telepon masuk yang aku tidak dengar. Jadi waktu aku lihat di missed callnya, aku lihat si penelepon adalah orang yang minta terjemahan itu. Dan aku baru sadar… LOH AKU ADA KERJAAN ITU!  “$%%(&()&)’

Mampus deh hehehe. Langsung aku telepon temanku itu, dan minta waktu 2jam saja untuk mengerjakan. Untung saja dia memang sudah membuat waktu luang yang cukup banyak untuk memperbaiki lay-out dsb, jadi meskipun aku terlambat 2 jam tidak menjadi soal, dan dia akan tunggu. Jadi deh aku ngebut menyelesaikan tugas itu, dan memang hanya butuh 1,5 jam saja. Langsung aku kirim email mohon maaf dan hasil terjemahannya. Duuuh, jangan sampai deh kejadian gitu lagi. Panik bener. Untung cuma sedikit, coba kalau banyak kan aku harus tunda penyerahan lebih lama lagi, dan itu berarti mencoreng kredibilitas kerjaku kan? Kalau kata orang Jepang, “Kepalaku menjadi putih! atama masshironinatta. 頭真っ白になった”, maksudnya blank isi kepalanya karena panik. 😀

Jadi kurang dalam seminggu aku mengalami “kepala putih” sudah dua kali… Apakah itu bukti aku sudah menjadi tua a.k.a menua (ya emang kenyataan juga sih hihihi) ? rouka genshou 老化現象?

Semoga teman-teman tidak mengalami panik-panik sepertiku ini ya…. Menyebalkan sekali loh kondisi ini 😀

Aku tutup posting hari ini dengan mengucapkan selamat libur panjang buat yang besok libur atau meliburkan diri :D, dan semoga aku bisa menemukan celah-celah waktu untuk menulis apa yang tertunda selama ini. (Mohon maaf aku juga belum bisa BW maksimal… Nanti dirapel yaaaaa)

Plus Family

11 Mei

Sebetulnya nama acara televisi ini cukup panjang yaitu “Seandainya seleb tinggal bersama keluarga – membina kembali keutuhan rumah tangga”…. fuih panjang ya. Acara ini ditayangkan setiap Selasa di TV Tokyo jam 7 malam, dan diasuh oleh 3 “komentator” yaitu Tokumitsu, Pinko dan Mitsu (transgender yang pernah kubahas di sini).

Sesuai judulnya memang acara ini khusus menugaskan seleb untuk tinggal bersama keluarga-keluarga yang bermasalah selama 3 hari 2 malam. Diharapkan dengan kehadiran “orang luar” yang juga idola dari salah satu/semua anggota keluarga itu, dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk mengobati luka/ menyelesaikan masalah mereka.

Nah hari Selasa kemarin ini, temanya tentang single father. Kebetulan kedua keluarga yang ditampilkan adalah keluarga yang terdiri dari bapak dan anak perempuan. Bapak-bapak ini menjadi single father karena istrinya lari atau bercerai. Yang mengharukan adalah keluarga pertama, anak perempuannya baru berusia 10 tahun (aku ngebayanginnya seusia Riku). Entah karena masalah apa, si istri minta cerai dari suaminya dan membawa pergi anak perempuan itu, kemudian menikah kembali. Dengan suami baru itu dia mempunyai anak juga. Tapi sekitar 2 tahun yang lalu, tiba-tiba si ibu ini menghilang! Entah melarikan diri ke mana. Si anak (namanya Misaki chan) tidak tahu bahwa “bapak” yang tinggal bersama dia sebetulnya bapak tiri. Dan karena masalah ekonomi si bapak (yang sebetulnya sayang pada Misaki) harus memasukkan dia ke Panti Asuhan.

Si bapak tiri kemudian mencari bapak asli Misaki untuk memberitahukan keadaan Misaki, dan mempertemukan mereka berdua. Bapak asli ini tentu saja menerima Misaki, dan mengurus alih hak kepengurusan, serta tinggal bersama Misaki, berdua di Nerima (satu daerah denganku). Tapi…. masalahnya selama 1 tahun mereka tinggal bersama, mereka jarang bicara. Si ayah sibuk bekerja dari subuh sampai malam, dan tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan Misaki karena tidak terbiasa. Bisa dibayangkan sih, tinggal bersama seorang anak gadis, padahal sebelumnya tidak tahu apa-apa.

Artis yang bertugas, bernama Okuyama (tentu saja wanita) kemudian tinggal bersama keluarga Misaki selama 3 hari dan 2 malam. Meskipun singkat, dia berhasil menjadi “teman” bagi Misaki chan, dan berhasil mengusahakan supaya Misaki bisa mengatakan keinginannya kepada papanya. Misaki, yang sebatang kara, kelihatan takut minta ini itu atau menyatakan keinginan karena tidak mau kehilangan papanya. Tapi…. diam saja, sehingga si papa juga tidak tahu isi hati anaknya.

Akhir cerita, mereka merayakan ulang tahun Misaki yang terlambat 3 bulan (seharusnya bulan Januari dan tidak dirayakan… ah seorang anak pasti ingin sekali merayakan ulang tahun meskipun sederhana). Saat itu pula kedua bapak anak bisa “mengaku” dan menceritakan keinginan mereka, disaksikan artis Okuyama ini. Ah mengharukan sekali, betapa seorang anak 10 tahun menahan diri terhadap papanya yang juga sejak muda sudah kehilangan ibu karena meninggal.

Kadang kala memang perlu campur tangan orang luar untuk bisa menyelesaikan masalah keluarga. Dan kebetulan orang itu adalah idola atau seleb sehingga bisa didengar. Tentu saja ada kamera yang berputar, sehingga belum tentu itu keluar dari hati. Tapi selama aku menonton acara ini, reality show ini cukup “jujur” dan bagus untuk dinikmati.

So, jika ada acara seperti ini di Indonesia, kira-kira kamu mau siapa (seleb) yang tinggal bersama kamu dan menyelesaikan masalah keluargamu? 😀

Selamat hari Jumat….. nyangkul dulu ya 😀

Tiga Besar – Gosanke

7 Mei

Dalam bahasa Jepang ada sebuah istilah Gosanke, untuk menunjukkan 3 besar dalam hal apa saja. Nomor 1, 2,3 dalam bidangnya, meskipun di antara mereka kadang kala tidak ada pembagian yang jelas, misalnya si A pasti nomor 1, bisa jadi nomor 2 atau 3 atau untuk periode tertentu dia nomor satu, sementara untuk periode tertentu dia nomor 3. Tapi masyarakat tahunya si A adalah salah satu dari TIGA BESAR.

Kata-kata GOSANKE ini sebetulnya berasal dari jaman Tokugawa, untuk merujuk pada tiga penguasa daerah atau daimyo terkenal yaitu Mito, Owari dan Kii. Implementasinya di masa sekarang bermacam-macam, dan bisa dilihat dari TIGA BESAR misalnya untuk SMP khusus laki-laki terkenal di Jepang : Azabu, Kaisei, dan Musashi. SMP khusus perempuan Oin, Futaba, Joshigakuin. Secara tidak resmi ada pula yang mengatakan bahwa Waseda, Keio dan Sophia University adalah tiga besar untuk universitas. Untuk bidang musik misalnya jaman dulu (tahun 70 an) penyanyi Go Hiromi, Saijo Hideki, Noguchi Goro adalah penyanyi gosanke 😀

Mengapa aku tiba-tiba teringat pada gosanke ini. Karena pagi tadi Gen menanyakan apakah aku tahu daerah penghasil teh terbanyak di Indonesia? Kemarin aku menulis tentang Teh Sayama. Sayama memang terkenal sebagai daerah penghasil teh nomor 3 di Jepang. Nah dia ingin tahu TIGA BESAR penghasil teh di Indonesia. Hmmm kujawab : mungkin Jawa Barat, tapi aku tidak tahu daerah mana yang nomor 2 dan 3. Kata Gen: Sebetulnya dengan menetapkan TIGA BESAR dalam suatu bidang, akan memudahkan anak-anak belajar pengetahuan umum dan geografi. Misalnya di Jepang ada Nihon Sankei (Tiga besar tempat wisata terindah di Jepang) yaitu Matsushima , Amanohashidate, dan Miyajima. Aku sudah pernah pergi ke Matsuhima dan Miyajima, tinggal Amanohashidate yang aku belum pernah kunjungi. Nah jika ditanyakan di Indonesia TIGA BESAR lokasi wisata terindah itu apa? Ada yang bisa jawab?

Lalu kutanya, “Siapa yang harus menentukan apa-apa atau siapa-siapa saja yang termasuk dalam TIGA BESAR?” Pemerintah?   Kantor Wisata? Ya… siapa saja, tapi kalau di Jepang memang berdasarkan sejarah, sudah dari dulu diketahui umum. Ya, tentu saja dilihat dari kemampuan, atau yang paling aman dari jumlah/ luas/ besarnya sesuatu.

Ada satu lagi yang kuingat waktu menuliskan gosanke ini, yaitu sebuah lagu yang dinyanyikan dalam acara anak-anak yaitu “Niban de iijanai” (Apa salahnya menjadi nomor dua), dan dalam acara itu diperkenalkan semua yang berstatus nomor 2. Nomor dua pun baik kok, jika tidak bisa nomor satu. Pemikiran yang bagus, karena semangat ini tetap menomorsatukan USAHA.

Sebagai penutup Gen mengingatkan : Ada Sandai Tenor (Tiga Tenor Terkenal) loh … yaitu Plácido Domingo, José Carreras, and Luciano Pavarotti.

Memang SATU DUA TIGA, paling mudah diingat ya. Dan pencetus 3 point di kalangan blogger adalah Om Trainer, sayangnya waktu kucari Rules of three tidak ketemu tautannya. Mungkin dengan judul lain ya.

 

NB: tulisan ini aku buat buru-buru selama 20 menit, karena keburu ter”publish” waktu ingin simpan di draft 😀 Jadi foto-foto menyusul ya

 

Malam ke 88

6 Mei

Natsu mo chikazuku hachijuu hachiya
No ni mo yama nimo wakaba ga shigeru
Areni mieru wa chatsumi janaika
Akane dasuki ni suge no kasa

Dengan datangnya malam ke 88, musim panas mendekat
Di padang rumput dan gunung dirimbuni daun muda
Lihat yang di sana orang memanen teh
Dengan topi tikar dan tali pengikat kimono berwarna merah

Bahasa Jepangnya Hachiju hachiya 八十八夜, merupakan hari ke 88 dihitung dari Risshun awal musim semi ( sekitar 5 Februari). Lagu di atas khusus menggambarkan suasana di hari ke 88 itu dan memang ditandai dengan “Teh Baru” Shincha 新茶, karena pada hari ini daun-daun teh baru mulai dipetik. Karena Jepang peminum teh (hijau) yang fanatik, maka setiap keluarga pasti menyediakan teh baru dan menikmati harumnya sambil menyambut hari-hari mulai menghangat menuju musim panas.

Tanggal 3 Mei yang lalu, merupakan hari libur pertama setelah hari ke 88. Gen dan anak-anak pergi ke kantor balai kota Sayama-shi karena di sana ada festival “Teh Sayama dan Bunga”. Sayama terletak di prefektur Saitama dan terkenal sebagai penghasil teh. Sayang sekali hari itu hujan, sehingga tidak bisa ikut belajar memetik daun teh. Tapi ada pertunjukkan dan kesempatan mencoba mengeringkan teh hijau yang diberi nama Chamomi (手もみ茶). Momi sebetulnya artinya memijat, jadi daun teh yang kering di “pijat-pijat” supaya harum dan rasanya enak.

Pengalaman "memijat" teh di balai kota Sayama.

Sore ini aku membuat dry-fruits cake dan minum teh hijau dari Sayama yang dibeli seharga 1000 yen untuk 50 gram! Haduh mahal … aku tidak tahu Gen membeli itu, kupikir gratisan hahaha. Pantas saja dalam anime Chibi Maruko chan yang diputar hari ini dikatakan bahwa Shincha (Teh Baru) itu mahal karena baru masih segar dan enak.

Meskipun memang cocok makan manis dan minum teh hijau, aku masih belum biasa minum teh hijau karena memang pahit menurutku. Teh hijau yang dijual di Indonesia (apalagi yang dalam botol) itu aneh menurutku karena manis 😀 Teh hijau di Jepang tidak pernah diberi gula ataupun madu. TAPI aku suka minum maccha, yaitu bubuk teh hijau yang dipakai untuk upacara minum teh. Rasanya lain (bayangkan saja dengan makan es maccha ya :D).

Bagaimana teman-teman pernah atau suka minum teh hijau?