Kalau melihat jumlah tulisanku di Twilight Express ini per bulan, bisa diketahui bahwa pada bulan November 2014 aku hanya menulis 2 posting. Duh! Banyak memang yang mau ditulis, tapi memang aku sibuk pada bulan itu termasuk mudik kilat ke Jakarta dan Makasar. Jadi begitu masuk bulan Desember aku bertekad untuk menulis setiap hari, tapi akhirnya stop berhenti di tanggal 16. Karena mulai tanggal itu aku harus membuat test akhir dan juga menemui teman-teman dari Indonesia yang berkunjung ke Tokyo. Ada beberapa kebetulan yang nanti akan kutulis terpisah deh.
Seperti laporannya WordPress, blog TE ini performancenya cukup bagus lah. Tapi kalau ternyata aku hanya mampu menulis 85 posting dalan tahun 2014. Sedikit! Sepertinya tahun 2015 aku harus meniatkan diri menulis, sependek apapun deh. Masak dulu bisa menulis setiap hari, sekarang tidak bisa sih? Memang sih, aku mempunyai beberapa blog seperti SeSeRaGi lebih difokuskan tentang Jepang, Miror Site yang biasanya untuk backup file tapi sekarang kupakai untuk mengikuti weekly photo chalenging, Rabbit Home isinya tentang cerita keseharian anak-anakku.
Tapi seperti janjiku kepada Donny Verdian, aku akan menulis sampai mati! Jadi aku akan terus berusaha menulis mulai tanggal 1 Januari ini 😀 Dan aku berterima kasih sekali kepada teman-teman yang sudah mau mampir dan membaca tulisanku selama ini, baik yang menulis komentar maupun yang silent reader. Terutama kepada Arman, Lydia, Dani, Nh18 dan mbak Prih.
Yosh! Keep blogging! Masih banyak draft yang belum diselesaikan nih, jadi harap maklum kalau ceritanya lompat lompat ya 😀
Seperti biasanya, setiap tahun deMiyashita membuat pilihan berita besar dari keluarga kami, yang oleh Gen dipilih 10 tetapi karena aku suka angka 8, aku hanya pilih 8 besar saja.
Delapan kejadian besar di rumah kami selama tahun 2014:
1. Kai lulus dari TK dan masuk SD negeri dekat rumah kami. Karena aku mulai sibuk dengan pekerjaan baru, sejak awal masuk sekolah, Kai sudah bisa pulang sendiri dan menunggu di rumah sendiri, bahkan awal-awalnya makan siang sendiri dari apa yang sudah kusediakan di atas meja. Anak kedua memang lebih “mandiri” ya.
2. Riku, naik kelas 6 dan menunjukkan semangat belajar yang tinggi (dibanding tahun sebelumnya). Nilai-nilainya mulai naik, terutama untuk sejarah dan matematika. Setiap dua kali seminggu pergi ke bimbingan belajar. Selain itu dia membaca banyak buku, meskipun lebih banyak manga (komik) nya. Uang saku yang didapat dari “arbaito” menjaga adik dan pergi-pergi belanja/buang sampah dia belikan buku/majalah terus. Kadang dia membelikan coklat/kue untuk adiknya. Selain uang saku, uang angpao -kebiasaan tahun baru- yang didapat dari kakek/neneknya dia tabung dan membeli kamera sendiri. (Ssst dia bisikin aku bahwa kalau dapat angpao tahun 2015 dia akan tabung untuk beli laptop sendiri)
3. Imelda, mendapat dua pekerjaan baru yang cukup memakan waktu (dan otak) sehingga membuatku harus bekerja setiap hari selama bulan April, Mei, Juni. Karena semakin sibuk itu mungkin yang membuatku sakit punggung sehingga harus pergi ke chiropraktik. Begitu pekerjaan selesai bulan Juli, sakit punggungnya hilang hehehe.
4. Ternyata selama tahun 2014 ini, kami cukup banyak melakukan perjalanan. Bulan Maret, kami pergi ke Kyushu : Fukuoka (Fukuoka Castle, Oono Castle dan Dazaifu-ato, Dazaifu Tenmangu), Kumamoto (Kumamoto castle), Nagasaki (Shimabara Castle, Nagasaki Peace Park, Urakami Cathedral, Oura Church, Twenty Six Martyr Museum), Saga (Yoshinogari dan Saga Castle). Bulan April Kayama Castle, Misato Shibazakura. Bulan Juli ke Jakarta, Makassar, Surabaya, Malang, Klaten, Jogja. Bulan Agustus sekeluarga pergi ke Nagano bersama bapak-ibu mertua : Komoro Castle, Ueda Castle, Matsushiro Castle, Kawanakajima kosenjo, kuil Zenkouji, Kasugayama Castle, Takada Castle. Bulan November : pulang kilat ke Jakarta dan Makassar, Nikko Toshogu dan Kegon Waterfall
5. Papa Gen seperti biasanya sibuk sekali karena ada akreditasi, sehingga begitu ada waktu libur, kami pergunakan untuk driving (ke Nagano dan Nikko). Tapi tahun ini tidak bisa ikut ke Indonesia. Semoga tahun depan bisa lebih banyak istirahat dan ikut mudik ke Indonesia.
6. Tahun 2014, untuk pertama kalinya Riku mengikuti lomba penulisan karya ilmiah tentang Castle. Dia menulis tentang perbandingan Kastil di Indonesia (Fort Rotterdam di Makassar) dan di Jepang (Kastil Segilima Goryokaku di Kusatsu). Meskipun karyanya tidak terpilih, ini merupakan pengalamannya yang pertama. Semoga dia bisa lebih aktif lagi di masa datang, mengingat bulan April 2015 dia akan masuk SMP. Sedangkan Kai tahun ini, sebagai murid kelas 1, terpilih hasil gambarnya tentang dinas pemadam kebakaran yang dipamerkan di balai pemerintah daerah kami.
7. Hobi kedua anak kami memang berbeda. Riku tahun ini lebih banyak baca. Dimana saja kapan saja pasti membawa buku. Dan kemarin tgl 30 Desember untuk pertama kalinya dia membaca novel 200-an halaman selama 3 jam! Duh, semakin lama semakin mirip aku waktu kecil nih anakku yang sulung. Oh ya satu lagi hobi Riku yaitu menonton film cerita yang dia sudah baca bukunya, yaitu Rurouni Kenshin dan Naruto. Selama 3 kali pemutaran film itu, dia pergi menonton sendiri dua kali karena aku dan Kai tidak mau menonton film dan untuk film Naruto, Riku dan Kai pergi berdua saja karena aku ada janji di tempat lain. Setiap mereka pergi sendiri, aku membeli tiket secara online dan memberitahukan passwordnya untuk mencetak tiket di bioskopnya. Dan biasanya aku memberikan uang 500 yen untuk membeli popcorn+ cola. Untuk pertama kalinya juga tanggal 25 Desember yang lalu, aku mengijinkan Riku pergi dengan 6 temannya untuk “pesta Natal” di sebuah departemen store dekat bioskop, dari jam 5 sampai jam 8:30 malam! Temanku yang anak gadisnya termasuk dalam “grup” yang pergi pesta itu menanyakan padaku: Kamu tidak apa-apa Riku pulang jam segitu? Lalu aku katakan: “Tidak apa-apa. Aku percaya Riku tidak akan berbuat apa-apa dan dia tahu apa yang harus diperbuat jika terjadi apa-apa”. Saat itu aku merasa…. ah aku juga orang tua yang dewasa ya hehehe
8. Hobi Kai? menulis! Dia menulis kanji yang dia suka dan asal tulis (sebetulnya kanji ada aturannya, tapi kalau aku ajarkan menurut aturan dia marah hehehe). Dia juga punya buku hariannya sendiri dari kertas-kertas yang dia jadikan satu. Selain menulis dia juga suka memasak loh. Dia yang sering memintaku untuk mengajarkan masak. Tapi kalau aku sedang sibuk biasanya aku ajarkan yang cepat-cepat saja hehehe.
Tahun 2015 akan menjadi tahun yang lebih sulit bagi kami. Di usia pernikahan yang memasuki tahun ke 16, Riku akan masuk SMP, sedangkan Kai kelas 2. Pekerjaanku masih sama seperti tahun 2014 tapi semoga tidak perlu ke chiropraktik lagi 😀
Well, selamat menghabiskan tahun 2014 yang tinggal beberapa jam dan menyambut tahun 2015!
Memang bukan BIG Issue jika hari ini aku pergi date lunch dengan “adik lesung pipit”ku Sanchan, dan “adik sama harlah” Yanz di Shinjuku. Tapi BIG Issue waktu aku pulang setelah belanja, bawa belanjaan berat-berat dan harus menunggu taksi selama 40 menit dalam hujan yang dingin. Waktu kulihat di iphoneku, saat itu temperatur 3 derajat tapi real feelnya minus 2. Haduh, rasanya tanganku mati rasa akibat dingin, karena aku tidak bawa sarung tangan atau Kairo. Angin yang kencang berkali-kali menerpa payungku, dan untung “tulang” payungku ada 16 sehingga kuat tidak rusak oleh angin. Tanganku masih beku sesampai di rumah setelah ada sebuah taksi berhenti di depan stasiun dan mengantarku ke rumah yang hanya 10 menit itu.
BIG Issue adalah nama majalah yang dijual oleh para furosha, homeless, bahasa Indonesianya…gelandangan (Karena mereka TIDAK mengemis tapi menggelandang di taman-taman atau di jalanan). Majalah ini diberi harga 350 yen, tapi 180 yen dari harga penjualan akan menjadi milik si penjual, yaitu si furosha itu. Dan syarat untuk menjual majalah ini adalah TIDAK BOLEH menawarkan majalah sama sekali. Hanya berdiri saja, sehingga tidak mengganggu masyarakat umum. Nah, bagaimana warga tahu dia menjual? Ya, dengan kuchikomi, atau penyebaran dari mulut ke mulut (atau seperti aku sekarang menulis begini)
Majalah BIG Issue ini diterbitkan pertama kali di United Kingdom oleh pendiri The Body Shop, John Bird MBE dengan dukungan Gordon dan Anita Roddick tahun 1991. Sedangkan di Jepang dimulai tahun 2003 dengan maksud untuk membantu para homeless mendapatkan uang BUKAN dengan mengemis, tapi menjual BIG Issue. Para homeless awalnya mendapat 10 eksemplar secara gratis dan dengan uang yang didapat bisa dia beli lagi BIG issue seharga 170 yen. Menurut website BIG Issues Japan, dari September 2003 sampai Maret 2013, sudah ada 1427 homeless yang mendaftar sebagai penjual BIG Issues. Sampai Maret 2013, 5.71juta majalah terjual di Jepang dengan pemasukan 802 juta yen pendapatan bagi para homeless.
Jadi, kalau ada yang kebetulan bermain ke Tokyo (atau kota di Jepang yang lainnya), dan melihat ada orang yang berdiri dengan majalah diletakkan di sampingnya, dan mempunyai uang 350 yen…. belilah, meskipun mungkin Anda tidak membacanya. Belilah karena dengan demikian Anda telah memberikan KAIL kepada mereka, BUKAN ikannya.
Dan percayalah, homeless yang bernama Yoshizawa san tadi yang kutemui, TIDAK bau, dan TIDAK kasar seperti kebanyakan homeless di Tokyo. Dia memberikan kartu namanya kepada kami dan bahkan memberikan permen berhiaskan boneka salju sebagai tanda terima kasihnya. Dan tentu saja dia mengijinkan aku mengambil foto bersamanya.
Ntah kapan, tapi kuharap suatu waktu nanti, akan ada usaha semacam BIG Issue Indonesia yang membantu pengemis dan gelandangan di Indonesia. INGAT, kita lebih baik memberikan Kail daripada ikan, meskipun mungkin pada saat tertentu kita harus memberikan ikan dulu, supaya dia bisa pergi ke sungai dan memakai kailnya 🙂
Memang sekolahnya hanya pada hari Minggu makanya disebut Sekolah Minggu. Tapi biasanya istilah ini langsung dimengerti oleh orang Indonesia sebagai waktu untuk “belajar” agama di gereja, karena umat Kristen pergi ke gereja pada hari Minggu.
Aku terdaftar sebagai umat katolik di paroki (wilayah) Kichijouji, Tokyo. Paroki Kichijouji konon adalah paroki kedua terbesar di Tokyo. Sejak 2 tahun lalu aku menyertakan Riku pada Sekolah Minggu di sini, karena dia harus belajar dulu untuk komuni pertama kelas 5. Kai baru ikut April lalu seiring masuknya dia ke SD.
Ada banyak kegiatan yang sudah terprogram, dan hari ini mereka menyelesaikan kegiatan sebelum masuk libur akhir tahun serta merayakan natal bersama. Pagi-pagi jam 5 pagi aku sudah bangun untuk menggoreng ayam, karena aku menjanjikan membawa ayam goreng untuk 20 orang leader (istilah untuk kakak pengajarnya).
Setelah misa jam 9 (misa anak-anak memang selalu jam 9), kami berkumpul di hall dan menonton sandiwara dari anak-anak sekolah minggu yang dibagi jadi dua grup. Riku dan Kai masuk grup A, dan tampil pertama. Karena minggu lalu Riku ikut test tryout dan tidak ke gereja, dia baru datang latihan kemarin (Sabtu) dan dicadangkan bermain drama sebagai Yosef. Ternyata anak yang seharusnya menjadi Yosef tidak datang, sehingga benar Riku harus bermain sebagai Yosef. Untung saja dia hafal apa yang harus diucapkan (pagi tadi dia belum hafal sehingga tulis di kertas kecil)
Kai hanya ikut bernyanyi saja, tapi mereka menyanyikan satu lagu yang disertai bahasa isyarat. Kai sejak pagi mengatakan tidak mau ikut pentas karena tidak bisa bahasa isyaratnya, jadi aku bilang, Kai di belakang saja…. Eh ternyata dia benar-benar di belakang, sampai aku saja tidak melihat dia 😀
Nah, yang jadi masalah apakah Riku yang berperan sebagai Yosef bisa melakukan bahasa isyarat? Karena Yosef posisinya paling depan. Jadi aku ikut deg-degan apakah Riku bisa mengucapkan part bagiannya dan apakah bisa berbahasa isyarat. Eh Ternyata bisa loh, dia juga hafal apa saja yang harus dikatakan selaku Yosef. Kalau aku, hmmm pasti aku seperti Kai, tidak mau tampil di panggung hehehe.
Acara sandiwara anak-anak dilanjutkan dengan lagu yang dibawakan oleh pastor Ardy, pastor paroki Kichijouji, yang kebetulan berasal dari Indonesia. Ternyata pastor Ardy akan menyanyi sebuah lagu dari sekolah minggu di Indonesia, dan aku tahu lagunya. Dari jauh pastor sudah memberi isyarat supaya aku ikut menyanyi 😀
Sayang aku tidak bisa mengikuti acara penutupan yaitu pembagian hadiah dari Santa Claus, karena aku ada rapat di tempat lain. Buru-buru pergi, sambil meninggalkan pesan bahwa anak-anak pulang sendiri ke rumah. Gen memang kurang enak badan sehingga beristirahat di rumah. Baru setelah anak-anak kembali ternyata Gen mengajak mereka menonton rakugo (permainan kata-kata oleh satu orang) di Shinjuku. Aku kemudian bergabung dengan mereka setelah selesai rapat dan kami pulang sama-sama. Hari Minggu yang melelahkan dan kalau dipikir-pikir hari ini memang merupakan Minggu yang sibuk.
Setiap tanggal 12 Desember, sebuah lembaga Jepang yang biasa menyelenggarakan Ujian Kanji, 日本漢字能力検定協会 mengadakan pemilihan huruf Kanji yang mewakili tahun itu. Kalau tahun 2012 terpilih 金 (kin= emas) dan 2013 輪 (wa = lingkaran), maka tahun 2014 terpilih kanji 税 (zei = pajak). Memang sejak April tahun ini, pajak pembelian di Jepang naik dari 5 % menjadi 8%, dan itu menjadi topik terus, karena ada rencana untuk melanjutkan kenaikan dari 8% menjadi 10%.
Biasanya Kanji yang mewakili tahun itu memang yang terbanyak dipilih. Karena dua tahun terakhir, kanjinya berarti bagus, kali ini kok rasanya membuat “suram”. Dan kalau melihat calon berikutnya adalaj kanji 熱 (netsu = panas, dari yang positif dari “panas”nya olimpiade musim dingin, yang menghasilkan medali emas untuk Jepang, sampai “panas” negatid dari Ebola). 嘘 (uso = bohong, yaitu peristiwa ghost writer dari seorang komposer terkenal di Jepang serta penemuan STAP yang ternyata merupakan kebohongan juga). 災 (sai = bencana, terutama bencana tanah longsor di Hiroshima yang menimbulkan banyak korban). serta yang ke 5, adalah 雪 (yuki = salju, ini tak lain dan tak bukan populernya film FROZEN 😀
Aku suka naik kereta api di Jepang. Semuanya bisa direncanakan karena detil keberangkatan dan kedatangannya per menit, dan kita juga bisa memperkirakan berapa lama pindah kereta. Musim semi yang lalu, aku melewatkan 6 hari wisata di Selatan Jepang dengan kereta. Nyaman, meskipun tidak bisa dibilang murah.
Nah, waktu kami mudik musim panas lalu, aku ingin mengajak Riku dan Kai naik kereta di Indonesia. Supaya bisa membandingkan dengan Jepang. Kupikir bisa naik KA Parahyangan ke Bandung saja. EH ternyata waktu aku minta papa membelikan tiket pesawat Sby-Jogja, ternyata tidak ada rute itu, sehingga papa menyarankan aku naik kereta saja dari Surabaya- Jogja. Waktu kutanya pada Kang Yayat, beliau bilang kira-kiraa 5 jam sudah sampai kok. OK kalau 5 jam aku masih bisa tahan hehehe.
Setelah dari Zangardi, kami mampir ke stasiun Gubeng untuk membeli tiket kereta Surabaya-Jogja berangkat pagi. Mau antri di loket… hmmm banyak orang dan pasti makan waktu. Kemudian aku diajak mbak Lely untuk pergi ke Minimart yang ada di stasiun itu. Oleh mbak penjaga diberitahu bahwa bisa membeli secara online. OK deh, aku ahli kok kalau online-online an… jadi aku bilang padanya untuk bantu aku kalau aku tidak bisa. Jadilah aku beli secara online.
Masukkan tanggal, jam, pilih kereta lalu masukkan nama dan no HP. Karena kami bertiga, aku harus mengulang tiga kali! Dan no HP nya tidak boleh sama. Wah aku bingung, tapi mbaknya bilang, “Ngga papa kok bu, belakangnya aja diganti 1, 2, 3. Yang penting ada satu nomor yang asli”. Heran juga kenapa harus pakai nomor HP ya? Kalau tidak punya bagaimana dong? Pakai HP teman? atau isi asal-asalan?
Setelah mengisi data yang diperlukan, aku membayar harga tiketnya langsung di Minimart dan mendapatkan nomor transaksi. Katanya aku harus membawa nomor transaksi itu ke pencetakan karcis di samping loket. Duh, musti antri lagi?
Ternyata tidak sih, aku tinggal masukkan nomor transaksi di komputer yang ditunggui petugas PJKA, dan …. sret sret tiket langsung dicetak. Mudah! Coba kalau aku antri di loket pembelian, bisa mabok aku tunggu gilirannya 😀
Nah, tanggal 13 Agustus paginya aku tinggal datang ke stasiun Gubeng dan masuk peron. Karena pengantar tidak boleh masuk ke dalam, kami berpisah dengan Kang Yayat di depan pintu. Kami pakai jasa porter untuk membawa barang-barang kami yang bertambah dengan oleh-oleh. Begitu banyak piece dibawa oleh satu orang pemuda, wah hebat juga ini anak pikirku. TAPI yang menjadi masalah nantinya bagaimana aku menurunkan barang-barang itu di stasiun KLATEN, tujuan kami hari itu.
Dalam kereta Sancaka itu…hmmm ya kereta tua sih. Kalau sudah biasa naik kereta Jepang, langsung berasa Downgrade 😀 (dan memang Riku langsung berbisik padaku, “Mama keretanya jelek ya…”) Ya, harap dimaklumi lah nak.
Tidak kalah kok kereta Sancaka dengan kereta yang bisa kita pakai di Jepang. Buktinya ada colokan listrik sehingga bisa charge gadget seenaknya. Kalau di Jepang hanya beberapa jenis shinkansen saja yang bisa. Lalu di kereta Sancaka juga ada pelayan yang membawakan makanan bagi yang belum makan, meskipun pilihannya sedikit. Kalau di Jepang memang dalam shinkansen menyediakan gerobak berisi berbagai jenis makanan, tapi kereta biasa tidak ada pelayanan seperti itu.
Hanya ada satu pertanyaan Kai yang amat sulit kujawab. Sambil melihat keluar jendela, dia bertanya, “Mama, kok semua sungai airnya kotor begitu sih? Coklat dan banyak sampah …. iiih jijik”
Dan maaf…aku tak bisa jawab sama sekali. Aku cuma bisa bilang, “Ya begitulah….”
Karena hampir semua kali dan sungai di Jepang berwarna bening, anakku tidak mengerti kenapa kok harus coklat warnanya di Indonesia. padahal… sama-sama punya sawah, sama-sama punya gunung, sama-sama ada hujan …..
Sambil merenungi kenyataan bahwa air di Indonesia masih jauh dari layak, aku memutar otak juga bagaimana caranya untuk menurunkan barang-barangku di Klaten, yang sepertinya stasiun kecil, dan selama kereta Sancaka berhenti berhenti di stasiun kecil, aku tidak pernah melihat ada porter yang masuk ke gerbong kami.
Karenanya menjelang klaten, aku mencari petugas cleaning yang masih muda. Lalu kutanya padanya apakah ada porter di stasiun Klaten. Lalu dia tanya, “Ibu turun di Klaten? Nanti saya bantu” dan dia tanya aku duduk di mana. Lega aku karena aku sudah menemukan solusi, si petugas cleaning akan memanggilkan porter untukku. 🙂
Setelah hari pertama di Surabaya kami menginap di hotel yang masih baru bernama MidTown, malam kedua kami pindah hotel. Pindahnya ke hotel yang konon “fenomenal”. Karena setiap teman yang kuberitahu bahwa kami akan menginap di hotel Majapahit, pasti bertanya, “Kok di situ sih mel?”
Jadi ceritanya, waktu aku merencanakan pergi ke Surabaya, aku tentu cari-cari hotel di Surabaya dong. Maklum aku memang suka mencoba-coba hotel, jadi biasanya tidak pernah berlama-lama di satu hotel saja. Nah, aku cari deh nama hotel di Surabaya melalui situs Agoda. Dan aku melihat foto Hotel Majapahit! Wow… bagus, senada dengan hotel Raffles di Singapore. Tarifnya mahal (menurutku) tapi tidak semahal hotel-hotel chain yang terkenal. Apalagi waktu kucari itu Agoda sedang memberikan diskon cukup banyak, dengan syarat tidak boleh diganti/dibatalkan. Biasanya aku sih tanpa pikir panjang memesan saja, tapi….. tanya-tanya dulu ah!
Orang pertama yang kutanya mengatakan, “Kamu berani tidur di situ?”
“Loh emang kenapa?”
“Hmmm kan……. Tapi kalau kamu mau sih boleh saja” ayashiii…. mengherankan. Dan membuatku jadi ingin mengetahui tentang hotel itu. Kenapa dan ada apa?
Menurut wikipedia, Hotel Majapahit didirikan tahun 1910 dan awalnya bernama LMS, kemudian menjadi hotel Oranje, lalu berubah nama menjadi Hotel Yamato, Hoteru dan sekarang namanya menjadi Hotel Majapahit.
Begitu membaca nama hotel Oranje itu aku teringat… Ooooh ini hotel yang tempat insiden perobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih. Tapi…. emang ada apa ya?
Ternyata biang keladi hotel itu dianggap angker yaitu karena hotel itu setelah menjadi hotel Yamato, pernah dipakai sebagai penjara dan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran). Jadi deh banyak cerita seramnya.
Tapi waktu aku cerita ke Kang Yayat dia bilang “katanya sih, tapi ada teman fotografer yang sengaja ke sana, cari dan tidak menemukan apa-apa….” (Mungkin karena dicari ya hehehe).
Karena waktu mendesak, aku akhirnya memutuskan untuk memesan satu hari saja tapi ambil kamar suite (tadinya sih mau dua hari, tapi Yanz temanku bilang… jangan dua hari, seandainya ada apa-apa jadi tidak kelamaan :D), dan menguatkan diri untuk pergi. Padahal sih sempat juga kepikiran dan mau membatalkan saja 😀
Jadi setelah kami selesai makan es krim di Zangardi, kami menuju ke hotel Majapahit dan cek in. Memang hotelnya bagus, bersih, terang (karena berwarna putih…warna kesukaanku untuk bangunan), pelayanannya bagus dan tamannya juga bagus. Tak disangka aku mendapat kamar persis menghadap Presidential Suite, jadi indah!
Anak-anak kaget melihat kamar sebagus itu, dan langsung deh terjun ke tempat tidurnya 😀 Norak bener.
Sedangkan aku bersama Kang Yayat sekeluarga + Yuni berfoto di taman tengah. Karena kami merencanakan mengadakan kopdar blogger jam 6, jadi semua bubar dulu untuk istirahat.
Aku sendiri tidak istirahat karena menerima kedatangan dua orang kohai, junior dari sastra Jepang yang menjadi dosen di Surabaya. Padahal aku belum pernah tatap muka dengan mereka, tapi berkat FB kami bisa saling berkomunikasi.
Setelah mandi dan bersiap kami meninggalkan kamar hotel untuk pergi ke Dapur Sunda, tempat kopdar malam itu.
Lalu pertanyaan semua orang, “Bagaimana hotel itu?”
Kujawab, “Baik, bagus….. aku tidak melihat apa-apa. Tapi karena sudah diinput cerita macam-macam sebelumnya, jadi aku sulit tidur. Itu saja. Anak-anak sih lelap, karena mereka tidak tahu cerita-cerita itu kan? ”
“Mau nginap lagi lain kali?”
“Ya! ASAL berdua dengan suamiku. TIDAK jika harus sendiri. Aku justru mau jalan-jalan malam hari berdua, hunting :D” (Gelo ah!)
Keesokan harinya tgl 13 Agustus, kami bagun pukul 5 dan sarapan pukul 6 pagi karena kami harus pergi ke stasiun. Ya, kami akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan kereta api! Makan paginya enak-enak , tapi sayang anak-anak tidak berselera makan karena masih kepagian. Sebelum cek out, kami sempatkan berfoto di luar, di bawah tempat bersejarah.
Tambahan : Waktu aku mengupload foto hotel ini, seorang saudaraku bercerita di FB bahwa oma Dodo, omaku yang di Belanda yang berusia 94 tahun dan kutemui bulan November lalu di Makassar, rupanya pernah bekerja di sini. Dan waktu kejadian ramai-ramai itu, dia diungsikan lewat belakang hotel… ah sayang aku lupa menanyakannya waktu bertemu. Padahal aku ingin tahu ceritanya, cerita bersejarah, bahwa salah seorang keluargaku pernah menjadi saksi sejarah.
Ada 3 hal yang membuat Hari kedua perjalananku di Surabaya menjadi sampoerna!
Pertama: kami mengunjungi Museum House of Sampoerna yang katanya blogger Nh18 dan agoyyoga wajib dikunjungi jika ke Surabaya. Kami bersama Kang Yayat sekeluarga memasuki museum dan disarankan untuk langsung menuju lantai dua, mumpung kami bisa melihat proses penggulungan rokok secara manual yang hampir berakhir. (Tidak boleh memotret di sini). Seru juga melihat dari atas, seakan kita sedang mengawasi pekerja-pekerja itu. Yang pasti di situ Kai ngedumel terus…. “Oh gini ya buat rokok itu. Rokok kan tidak bagus untuk kesehatan. Mestinya tutup saja pabrik ini, biar papa juga tidak merokok lagi … bla bla bla” duh cerewet deh! Apalagi dia ingat lambang 234 memang ada di meja papanya 😀
Setelah itu kami mengelilingi lantai dua lalu turun ke lantai satu melihat sejarah pabrik rokok ternama itu. Tak lupa anak-anak kusuruh berpose di beberapa tempat. Dasar anak lelaki tidak seluwes Aiko yang kenes banget kalau berpose 😀
Kami tidak lama berada di sini karena anak-anak tidak berminat dengan sejarah…apalagi sejarah rokok di Indonesia. Jadi kami cepat-cepat saja pindah tempat dan mencari makan! Sayangnya aku lupa tidak tahu bahwa sebetulnya di samping museum itu terdapat Cafenya, dan mobil Kang Yayat sebetulnya parkir tepat di depan situ hahaha. TAPI ada untungnya juga kami tidak makan di Cafe Sampoerna itu. Karena …..
Kedua: Setelah bingung menentukan mau makan siang apa, akhirnya kami langsung menuju Zangardi. Tempat es krim yang wajib dikunjungi di Surabaya. Apalagi anak-anakku suka sekali es krim. Jadi deh kami langsung saja ke Jl Yos Sudarso dan memarkirkan mobil di sana. Karena memang jamnya nanggung (jam makan siang), tokonya sepi. Kami langsung masuk dan memesan snack seperti siomay dan risoles. Enak! Sehingga cukuplah kami makan snack itu untuk mengganjal perut yang lapar, dan pas setelah itu langsung makan es krim. Seandainya kami makan di resto lain dulu, pasti sulit untuk menghabiskan es krimnya (eh tapi kalau orang Jepang bilang BETSUBARA 別腹 perutnya lain yang untuk es krim jadi pasti bisa masuk hehehe)
Aku pesan Blue Island, dan Riku pesan apa lupa namanya yang coklat. Lalu aku juga pesan tutti frutti yang menjadi andalan Zangradi sejak lama. Entah kenapa aku merasa es krim di sini lebih enak daripada Ragusa Jakarta, yang dibangun sekitar tahun 1930-an juga. Tapi ternyata setelah browsing aku malah baru tahu bahwa sebenarnya yang punya sama saja, jadi tidak mungkin rasanya lain 😀
Nah, setelah selesai dari sini, kami pergi cek in ke hotel Majapahit (tulisan tentang hotel terpisah ya) tempat kami menginap malam itu, dan selanjutnya Sampoerna yang ketiga deh
Ketiga: Kopdar blogger + teman SMP dan SMA
Akhirnyaaaaa aku bisa bertemu Pakdhe (dan Budhe) Cholik, komandan Blogcamp di Surabaya. Selain itu Niar , Yuni dan Yoga! Juga teman FB ku Aaliyah Keke, teman SMA dan Univ ku Nana beserta suami. Dan tak ketinggalan yang terakhir datang adalah Gatot, teman sebangku waktu di SMP yang bekerja di Surabaya. Teman SMP memang yang paling “membekas” kenangannya karena masih sekolah campur laki-laki dan perempuan. SMA aku hanya perempuan saja sehingga kenangannya lain dengan waktu SMP.
Kami berkumpul di sebuah restoran masakan Sunda dan masih sempat berfoto bersama. Sayang waktu itu Riku kurang enak badan sehingga tidur di mobil duluan.
Demikianlah tiga ke-sampoerna-an yang kudapat di hari kedua di Surabaya, setelah 30 tahun tidak kukunjungi
Perjalananku bersama MakDea yang amat singkat sebetulnya sudah direncanakan dengan matang oleh MakDea. Sebelumnya di chat dia sempat tanya apakah aku suka rawon, atau soto atau bakso. Dan aku bilang bahwa aku paling suka Bakwan Malang!
Tapi wiskul yang direncanakan MakDea untukku ternyata bukan sembarang bakwan/bakso tapi Bakso Sumsum yang katanya belum lama masuk koran! Konon bukanya jam 4 sore dan kalau tidak cepat-cepat bisa kehabisan. Jadi setelah dari Musium Angkut, kami segera menuju Bakso Sumsum yang fenomenal itu, dan ternyata cukup jauh. Tempatnya dekat Candi Singosari, di jln Kertanegara. Kami parkir di pinggir jalan besar, dan harus jalan kaki masuk gang. Sudah gelap waktu kami sampai di sana. Nah loh… masih kebagian ngga ya?
Eh, ternyata masih! Rupanya si MakDea sudah langganan di sana sehingga sudah telepon dulu minta dipersiapkan untuk tamu dari Jepang 😀 Langsung deh kami duduk dan menunggu dihidangkan. Eh tapi sambil menunggu aku sempat dikenalkan dengan yang punya toko, Cak Hadi. Tuh sempat berfoto bersama (yang membuat MakDea tertawa si Cak Hadi sok akrab bener sama aku hahaha)
Menurut cerita yang bisa dibaca di sini, Cak Hadi yang bernama lengkap Hadi Prayitno itu sudah lama berjualan bakso dan menemukan sendiri resep khasnya untuk Bakso sumsum. Aku sendiri tidak ada bayangan bagaimana sih itu bakso sumsum, kupikir dalamnya ada semacam lapisan lembut putih seperti tahu, ternyata ya seperti cairan saja. Jadi kalau makan harus kunyah di dalam mulut, jangan gigit di luar mulut gitu hehehe. Lucu jadinya Riku dan Kai otomatis menutup mulutnya setelah aku wanti-wanti jangan muncrat 😀
Rasanya memang enak, tapi kata MakDea musti hati-hati jangan keseringan makan bakso ini karena tensi bisa naik tak terkendali. Untung saja aku tidak tinggal di Malang ya, karena bakso /bakwan merupakan kesukaanku 🙂
Setelah selesai makan, kami berpisah karena kami langsung kembali ke Surabaya sedangkan MakDea pulang ke rumahnya di Malang tentunya. Tapi dalam perjalanan ke Surabaya, kami sempat mampir dan membuat foto Mesjid Cheng Hoo Pandaan dari depan.
Kami sampai di hotel Surabaya sekitar pukul 9 malam sudah capek dan malas cari makan malam lagi. Hotel kami malam itu adalah MidTown yang terletak di jalan Basuki Rachmat. Hotel yang masih baru dan lumayan murah, dengan interior berwarna hitam. Aku sebetulnya kurang suka interior hitam, tapi lumayan lah karena masih baru (dan cuma untuk 1 malam saja). Tadinya aku berharap bisa menginap bersama Apikecil dan Masbro di sini, tapi karena Apikecil sakit jadi terpaksa batal bermain bersama kami. Yang keenakan Riku karena dia bisa tidur sendiri di satu kamar, mungkin ini pertama kalinya Riku tidur sendiri di satu kamar hotel. Takut? Dia sama sekali tidak takut tuh tidur sendiri hehehe.
Setengah hari di Malang memang tidak cukup, tapi aku berharap kelak bisa kembali lagi ke kota yang sejuk ini. Dan kuharap jarak waktunya tidak selama kunjunganku ke Malang pertama kali yaitu 30 th lalu… harus lebih cepat ya 🙂