Wah baru bisa menulis lagi, setelah tanggal 3 April! huhuhu. Memang bulan April itu bulan yang menyibukkan sekali ya. Sebelum terlambat, aku ingin menuliskan bagaimana aku melewatkan satu hari kemarin dulu deh. Nanti kalau sempat baru kegiatan mendetil bulan April … tapi ngga janji 😀
Jadi ceritanya kemarin aku pulang dari kegiatan KMKI (Keluarga Masyarakat Kristen Indonesia) pukul 9malam. Untung aku dijemput Gen dan anak-anak, lalu kami makan di sebuah restoran pizza/spaghetti di tengah perjalanan pulang. (Yang ternyata tidak enak, sehingga kami berjanji tidak akan ke situ lagi hehehe). Karena capek sekali, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur, paling tidak meluruskan punggung deh. Memang aku salah juga, mengangkut botol minuman 500 ml sebanyak 100 biji ke mobil sendiri (tentu tidak sekaligus… aku belum menjadi wonder woman kok) . Akibatnya buruk bagi punggungku.
Nah sekitar pukul 11 an, Kai masuk kamar dan seperti biasa peluk memeluk sebelum tidur. Lalu aku minta dia untuk memijat punggungku. Dia lumayan pandai loh. Aku beritahu bagian mana yang perlu ditekan dan dia lakukan. Sambil kesakitan aku bilang enak! Lalu tiba-tiba dia menirukan ucapan sebuah tokoh tukang pijat yang terdapat dalam film Thermae Romae. Begitu mirip dan lucu! Aku, Gen dan Kai sendiri langsung tertawa terbahak-bahak, karena mengingat adegan lucu itu. Apalagi aku sampai keluar air mata karena mengingat karakter pemijat itu yang jempol a.k.a ibu jarinya besar. Lalu kucari fotonya di google dan menemukan foto ini:
Ternyata tokoh pemijat yang ada dalam film itu benar-benar ada! Kupikir buatannya yang buat cerita saja. Namanya Namikoshi Tokujiro (1905-2000), yang merupakan bapak Shiatsu Jepang. Jepang itu memang keren! Mereka sering sekali membuat film dengan selipan-selipan adegan yang memuat sejarah asli Jepang! Kalau begini kan kita sambil menghibur diri jadi belajar juga.
Sayangnya, karena kami tertawa terus, pemijatanku terhenti deh 😀 Dan karena celetukan Kai yang meniru pemijat itu, kepenatanku yang sudah menggunung selama bulan April bisa terbang habis dan membuatku ingin menuliskannya di Twilight Express!
Bulan April ini memang melelahkan. Tapi pekan emas “Golden Week” di depan mata, dan deMiyashita bermaksud untuk menikmati liburan yang jarang dan berharga ini bersama. Semoga aku bisa menemukan waktu juga untuk menuliskannya di TE ya.
Kalau aku merencanakan perjalanan, memang selalu “rakus” ingin ke sana, ke sini juga dalam waktu yang ditentukan. Ya mikirnya ekonomis saja, jauh-jauh datang dengan budget yang cukup besar, tentu maunya menikmati banyak. Dan selalu mikir, “kapan lagi bisa ke sini?”. Padahal kadang perjalanan itu hanya dilakukan untuk satu tujuan: melepaskan penat keseharian!
Jadi Minggu pagi yang cerah kemarin, setelah pergi mengikuti misa di gereja Kichijouji, aku sedikit memaksa Gen dan anak-anak untuk melihat sakura di Jindai Botanical Park, Chofu. Padahal tinggal belok sedikit dari gereja, ada Inokashira Park yang terkenal. Tapi memang aku tahu bahwa bunga sakuranya belum banyak di situ, dan Riku menolak untuk ke situ…. takut ketemu teman-temannya 😀 Susah deh punya anak ABG yang sangat sensitif dengan pertemanan dan penampilan 😀 Itu pun setelah sampai di Jindai Koen itu, dia menunggu dalam mobil, sementara aku, Gen dan Kai masuk taman. Tujuannya sudah pasti menyusuri ke arah kiri taman ke padang rumput yang dikelilingi pohon sakura.
Namun sesuai perkiraanku, sakuranya belum banyak. Baru 20 persen deh. Tapi ada sekitar 3 pohon yang sudah berbunga lebat, dan tentu saja dikerumuni pengunjung untuk memotret dan menikmati keindahannya. Pengunjung di sini memang relatif sedikit dibandingkan taman-taman lainnya, dalam musim apapun. Padahal aksesnya cukup praktis (naik bus dari Stasiun Kichijouji atau dengan mobilpun ada parkir tersedia). Luasnya juga tidak terlalu luas seperti Showa Memorial Park di Tachikawa yang adzubilah besarnya 😀 Jadi kalau mau yang sepi, aku sarankan bertandang ke sini.
Yang menarik kami temukan di taman ini adalah kenyataan bahwa pohon Almond itu ternyata masuk keluarga Sakura dan bunganya memang mirip sakura! Juga kami diberitahu seorang kakek bahwa ada tanpopo (Dandelion) yang bunganya putih (biasanya dandelion berbunga kuning)
Jadi kami cukup menghabiskan 45 menit saja, mulai masuk sampai keluar ke mobil lagi dalam “perjalanan” kali ini. Tapi gema kebahagiaan melihat karya Tuhan ini terus terasa sampai malam hari, waktu kami melihat foto-foto yang kami ambil.
Kenapa kami “cuma” 45 menit saja berada di sana? Soalnya aku ada rapat PTA di SMPnya Riku mulai jam 1. Itupun aku tidak sempat makan siang sebelum rapat yang berlangsung sampai pukul 4:30 sore huhuhu. Isi rapatnya juga cukup membuatku “gemetaran” karena banyaknya tugasku sebagai Sekretaris PTA yang otomatis harus cukup sering hadir dalam kegiatan dan rapat-rapat sekolah. Untung sekretarisnya ada tiga (tapi semua bekerja, jadi harus atur jadwal jauh-jauh hari). Tugas pertamaku tanggal 7 April nanti, pas upacara penerimaan murid baru! Gambarou…..
Bahasa Jepangnya : Hajimari wa itsumo ame. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Chage Aska, yang dirilis tahun 1991. Tadi pagi aku teringat lagu ini, karena memang sejak pagi hujan turun. Padahal awal April, dan padahal diprediksi juga bahwa seharusnya sakura sudah bermekaran. Banyak wisatawan dari Indonesia yang berkunjung ke Jepang harus kecewa karena tidak bisa menemukan deretan pohon sakura di Jepang. Yah memang kita berhadapan dengan alam yang tidak bisa diprediksi. Semuanya hanya perkiraan. Siapa sangka Tokyo akan kembali dingin lagi beberapa hari terakhir.
Satu April merupakan awal tahun fiskal di Jepang. Biasanya pegawai kantor juga dimutasikan mulai awal April. Sedangkan untuk tahun ajaran di kelurahan kami akan dimulai tanggal 6 April nanti. Riku akan menjadi kelas 3 SMP dan Kai kelas 4 SD. Jadi mereka sekarang masih dalam liburan di rumah saja. Riku terus belajar karena ada kelas intensif dari bimbelnya, sedangkan Kai di rumah. Bahayanya kalau Kai di rumah dia main gadget terus. Jadi biasanya aku ajak dia masak, atau pergi bersama aku. Tapi kemarin aku kesal melihat dia bermain terus…. padahal aku juga sambil kerja. Jadi aku tanya dia mau apa, masak atau menjahit? Nah, dia langsung bilang mau coba menjahit. Mulailah aku mengajari dia memasukkan benang, membuat simpul di ujung benang, lalu mulai dengan jelujur. Dan tadi pagi dia melanjutkan berlatih dan mencoba menjahit namanya sendiri. Ketrampilan menjahit biasanya diajarkan di kelas 5, jadi dia senang karena sebelum menjadi kelas 5 dia sudah bisa.
Dia sempat berkata sama kakaknya: “Riku bisa menjahit? Kalau kamu ngga bisa jahit, ngga bisa hidup sendiri loh!” (Hidup sendiri maksudnya tinggal nge-kos sendirian, bukan di rumah sendiri). Namaiki …. belagu deh dia.
Satu April juga April Fool. Aku sih sudah malas untuk menggoda orang, meskipun aku dengar si Riku sempat menggoda temannya dengan April Fool. Apalagi waktu sore hari, aku dihubungi oleh om yang tinggal di Belanda memberitahukan bahwa oma Dodo, yang pernah kutulis di sini, kritis dan mungkin tak lama lagi akan meninggal. Tak lebih dari 1 jam setelah itu, aku membaca bahwa Oma Dodo telah tiada dalam 97 tahun. Manusia memang akan kalah dengan umur, tapi aku percaya Oma Dodo telah mengisi hidupnya dengan penuh semangat dan keceriaan. Selamat Jalan Oma.
Dan… sebagai penutup tulisan, hanya mau menuliskan bahwa dengan ini blogku Twilight Express sudah berusia 9 tahun! Yeaaaahhhh! Semoga panjang umur ya blogku ini hehehe.
Haduhhhhh… posting pertama dan terakhir di bulan Maret 2017, akhir tahun fiskal 2016! Benar-benar (keterlaluan) deh 😀 Sampai tidak menulis apa-apa tentang ulang tahun anak sulungku yang berulang tahun di bulan Februari 🙁
Memang, aku benar-benar sibuk sih selama bulan Maret ini. Dimulai dengan pembuatan silabus, pengisian tax return yang tenggatnya tanggal 15 Maret, pekerjaan terjemahan dan editing yang disambil dengan membuat makalah-makalah dan bahan ajar. Duh!
Tapi aku senang sekali ketika namaku disebut-sebut untuk menjelaskan pendidikan anak-anak di Jepang untuk ibu-ibu yang tergabung dalam WIB-J (Wanita Indonesia Berkarya di Jepang). Kebetulan saja ada yang bertanya, lalu namaku disebut sebagai yang bisa menjelaskan. Ini merupakan kegiatan yang baru dicanangkan yaitu membuat workshop kecil berdasarkan tema untuk sesama anggota. Yang bisa menggambar mengajarkan menggambar, yang bisa menjahit mengajarkan menjahit untuk sesama wanita Indonesia yang lain. Kegiatan sukarela yang sangat aku pujikan. Tapi aku terus terang tidak punya keahlian apa-apa yang bisa dibagikan kepada ibu-ibu lain, kecuali mengajar bahasa Indonesia …dan ibu-ibu ini kan tidak perlu bahasa Indonesia hehehe.
Tapi karena ada yang bertanya tentang pendidikan Jepang untuk anaknya, aku jadi tersentak. Ya betul, banyak orang (Indonesia) yang tidak mengerti pendidikan Jepang seperti apa, apalagi kalau tidak bisa berbahasa Jepang. Memang ada yang ditulis dalam bahasa Inggris, tapi tidak mendetil juga. Jadi aku tentukan waktu workshop itu tgl 25 Maret, dengan perkiraan anak-anak sudah mulai libur dan ibu-ibu belum begitu sibuk menghadapi tahun ajaran baru.
Bertempat di rumah salah satu ibu di daerah Yokohama, ada 12 ibu yang berkumpul. Tentu mereka sudah punya satu (atau dua, tiga) anak dan ingin sekali mengetahui tentang pendidikan Jepang untuk anaknya. Ada yang baru datang ke Jepang, ada yang sudah cukup lama dan hampir semua akan lama tinggal di Jepang. Yang luput dari perkiraanku adalah suami dari ibu-ibu ini semua adalah orang Indonesia/bukan orang Jepang. Baru di situ aku tersadar! Tentu saja ibu-ibu inilah yang perlu mengetahui pendidikan Jepang, karena kalau yang menikah dengan orang Jepang (suami Jepang) kan tidak perlu mengetahui atau bisa menyerahkan pada suaminya untuk mengurus pendidikan anaknya.
Jadi aku sangat kagum dengan antusiasme ibu-ibu muda ini. Karena waktu yang dialokasikan 1,5 jam molor menjadi 3 jam. Tapi rasanya bahagia sekali bisa membantu menghilangkan kebingungan mereka memilih pendidikan bagi anak-anak mereka. Pemilihan antara day care (hoikuen), TK (yochien) dan kemudian SD negeri atau SD swasta. Memang topik yang dibahas dibatasi tentang pendidikan dari 0-12 tahun. Diskusi dan sesi berbagi pengalaman antar ibu juga sangat meriah sehingga acara yang dimulai pukul 12 dengan makan siang bersama, terpaksa harus dihentikan pukul 4sore.
Dan ya, workshop ini juga membangkitkan kenangan masa lalu waktu belajar dan meneliti pendidikan Jepang dan menyadarkanku bahwa aku belum banyak menghasilkan sesuatu dari bidang yang cukup aku dalami: Sejarah Pendidikan Jepang. Semoga bisa deh.
Kali ini aku ingin memperkenalkan sebuah restoran khusus. Khususnya adalah karena restoran itu memakai bahan-bahan dari daerah yang diwakilinya.
Nama restoran itu Tsukada Noujou 塚田農場、mewakili daerah Miyazaki di sebelah selatan Jepang. Awalnya Gen yang bercerita ingin makan di restoran ini. Memang sejak adiknya pindah ke Miyazaki, dia selalu ingin membuat “hubungan” dengan daerah tempat tinggal adiknya. Dulu waktu adiknya tinggal di Sendai (Miyagi) dia juga suka membeli barang/makanan dari daerah itu. Waktu Gen mengajak pergi ke restoran itu aku tanya, memangnya apa keistimewaannya?
Ternyata keistimewaannya, restoran itu memakai hasil bumi dan hasil peternakan dari prefektur Miyazaki. Setiap pagi dikirim ayam yang memang merupakan andalan daerah ini. Ayam segar sehingga bisa dimakan setengah mentah (sashimi/ tataki). Kalau ayam itu enak, dagingnya juga tidak amis bahkan manis! Tapi jangan coba makan ayam setengah mentah di Indonesia ya. Kalau di Jepang, semua bahan sudah melalui pemeriksaan sehingga bisa dimakan mentah (demikian pula dengan telur yang dijual umum, semua sudah diperiksa dan bisa dikonsumsi mentah). Ayam setengah matang itu hanya dibakar bagian luarnya, sedangkan bagian dalamnya masih mentah, kemudian disiram kecap asin khusus. Enak!
Selain itu ada juga ayam panggang dengan arang, yang juga merupakan menu andalan restoran ini. Aku selalu memesan kedua jenis masakan ayam ini di sini. Dan karena menu utamanya adalah ayam, aku bisa mengajak teman muslim yang tidak keberatan makan ayam tanpa tanda halal (asal ayam).
Selain ayam, mereka pasti mengeluarkan makanan awal appetizer berupa sayur mentah hasil perkebunan Miyazaki. Biasanya kol dan ketimun, yang dimakan dengan miso khusus. Duh sayurannya benar-benar segar dan juicy dan enak! Bahkan aku pernah makan terong mentah dan wortel berwarna yang mentah sebagai appetizernya. Enak! Kaget juga aku waktu makan terong mentahnya, karena dalam pikiranku terong itu selalu harus dimasak (kena api).
Ada satu lagi menu andalan resto ini yaitu Ramen Jahe. Tentu ramen dengan kaldu ayam lalu diberi parutan jahe, banyak! Wah cocok sekali kalau kurang enak badan, atau seperti saat ini, musim dingin. Menghangatkan perut dan badan.
Restoran ini juga mempunya cara tersendiri menarik pengunjung. Jadi kalau pertama datang, pengunjung akan diberi kartu nama. Tulis nama sendiri dan posisinya sebagai “pegawai”. Nanti setelah dua kali, diangkat menjadi kepala bagian. Dan sebagai “hadiah” promosi kenaikan pangkat, diberikan satu piring masakan gratis. Kemudian naik pangkat lagi setelah 5 kali menjadi boss, dan setelah itu ada posisi komisaris (lupa setelah berapa kali). Lucu juga cara mereka, sehingga aku selalu membawa “kartu nama”ku di dalam dompet, siapa tahu aku bisa jadi komisaris ya 😀
Tapi ada satu lagi layanan mereka yang menarik hati pengunjung (terutama wanita), yaitu memberikan pencuci mulut berupa jelly (kecil sih) tapi piringnya dihias dengan pesan-pesan, tergantung kreatifitas pelayan yang bertugas di meja kami. Misalnya waktu aku pergi berdua dengan Riku saja, waktu itu Riku pulang dari bimbel sedangkan papa Gen dan Kai menginap di rumah Yokohama. Jadi pelayannya menghias piringnya dengan tulisan: “Selamat belajar! Untuk ibu-anak yang serupa”. Atau waktu pergi dengan teman-teman alumni UI dalam rangka tutup tahun, petugasnya menulis dalam bahasa Indonesia! Ah perhatian “kecil” seperti ini memang menghangatkan hati.
Oh ya sebagai penutup layanan mereka, biasanya kami diberi sekotak kecil plastik berisi miso khas mereka waktu pulang. Dan pelayannya akan mengantar sampai pintu keluar. Good service!
Cara pemasaran seperti Tsukada Noujou ini menjadi terkenal, sehingga ada perusahaan lain yang juga menirunya. Kata Gen pasti perusahaan itu “beli” ide dari Tsukada Noujou. Nah nama restoran itu adalah Yamanouchi Noujou 山内農場, yang mengandalkan hasil bumi (sama-sama ayam dan sayuran) dari Kagoshima (tetangganya Miyazaki). Menu ayam setengah mentah dan ayam panggangnya sama, tapi di Yamanouchi Noujou lebih banyak variasi menu-menu dengan ukuran kecil. Secara pribadi aku lebih suka Yamanouchi Noujou karena menu makanan yang lebih kaya. Tapi mereka tidak menerapkan sistem kartu nama atau piring jelly, atau memberikan “hadiah” miso waktu pulang. Harga masakan di Yamanouchi Noujou juga sedikit lebih murah daripada Tsukada Noujou. Tapi ada satu yang kurasa Yamanouchi Noujou itu “kalah” yaitu, mereka tidak mempunyai menu Ramen Jahe 😀
Kedua restoran ayam ini sekarang menjadi restoran favoritku, sehingga aku biasanya mengajak teman-teman ke sana. Apalagi kedua restoran ini mempunyai cabang (waralaba) di mana-mana, di setiap stasiun besar. Tapi baru-baru ini aku menemukan lagi satu restoran khusus yaitu restoran dari prefecture Yamaguchi (masih daerah di selatan Jepang). Tapi aku tidak merasa menu masakan mereka itu istimewa, kecuali soba hijau yang dipanggang di atas genteng. Biasa saja untuk makanan. Tapi prefecture Yamaguchi mempunyai sake jepang yang sangat enak dan terkenal, yaitu Dassai! Jadi restoran ini wajib dikunjungi oleh mereka yang ingin menikmati sake Jepang yang sudah terkenal di dunia.
Restoran dari 3 prefektur, masing-masing dengan keunggulannya. Dan kurasa restoran ini cukup berhasil menunjang perekonomian daerahnya masing-masing.
Kalau kemarin aku menulis tentang pernyataan Riku tentang “Bulannya indah ya!” padahal merujuk ke I Love You, hari ini aku ingin menulis tentang pendapat Kai yang dia ucapkan di dalam mobil, hari Sabtu yang lalu.
Katanya, “Kalaupun mau membuat sesuatu yang original (asli) pasti akan ada bagian yang mirip dengan yang lain ya? Pasti selalu ada kesamaannya”. Memang waktu itu kami sedang mendengar lagu dari pemain biola terkenal Hakase Tarou. Maksudnya Kai, dalam suatu lagu, ada bagian-bagian yang pernah di dengar di lagu lain. Jadi dalam membuat sesuatu, orang tidak bisa mengatakan bahwa ini ASLI, karena pasti ada bagian yang menyerupai karya orang lain.
Duh, masih kecil saja sudah berpikir demikian 😀 Yang sudah dewasa saja kadang kala main comot sana sini dan MENGAKU karyanya ASLI100% …. Kai … kai.
Lalu papanya menjelaskan bahwa sebenarnya MANABU 学ぶ atau belajar itu, awalnya adalah MANEBU まねぶ yang mane artinya meniru. Jadi kalau mau belajar sesuatu, kita awalnya adalah meniru guru kita. Ada pola, ada panduan, dan kita harus menjaga, mengikuti 守る pola itu. Sesudah berhasil menguasai/ berhasil meniru apa yang dibuat guru itu, maka si murid akan menemukan sebuah pola baru yang cocok untuk dirinya. Saat ini dia akan merobek/merusak 破る pola awal yang dipelajari dari gurunya. Sesudah itu dia akan menguasai pola yang sesuai dengan dirinya dan menemukan kiatnya sendiri, sehingga menjauh 離れる dari pola pertama. Tiga tingkat SHUHARI 守破離 ini merupakan tingkatan/ langkah dalam mempelajari sesuatu ketrampilan seperti upacara minum teh, bela diri atau kesenian dan lain-lain yang membutuhkan hubungan guru-murid. Jadi kalau Kai mau belajar sesuatu yang sebaiknya mulai dari MENIRU dulu. Itu adalah pendidikan dasar yang harus dikuasai sebelum bisa berkreasi dan menemukan aliran/penemuan baru.
Sulit untuk bisa dimengerti Kai yang sekarang berusia 9 tahun, tapi semoga dia selalu ingat 3 langkah, 3 tingkatan ini untuk bisa berkembang di kemudian hari.
(sambil mamanya ngedumel dalam hati… pantesan aku bukan orang Jepang, apa-apa maunya bebas dan tidak terikat pada buku manual sih 😀 Hayoooo kamu pernah buka dan baca buku manual dulu sebelum melakukan sesuatu ngga? :D)
Tadi siang, kami sekeluarga makan bersama di restoran. Suatu kesempatan yang sudah mulai jarang terjadi. Kemudian Riku yang kemarin berada di sekolah dari pukul 7 pagi sampai 6 sore karena ada pertandingan badminton di sekolah, bercerita bahwa dia kemarin melihat bulan purnama yang cantik dan besar sekali. Sayang sekali, aku kemarin menyetir mobil dan ada acara di gereja, kehilangan moment itu.
Riku melihat bulan yang besar itu di sekolahnya, sambil menengadah ke atas bersama beberapa teman-temannya. Dan ada pula teman wanitanya. Saat itu dia berkata,
“Mestinya ada laki-laki yang berkata, Tsuki ga kirei desu ne (harafiah Bulannya indah ya)”
tapi sekelilingnya tidak ada yang mengerti, tidak ada pula yang mengatakan “Tsuki ga kirei desune”. Lalu Riku berpikir, ya tentu saja ada yang bisa mengerti perkataanku, ada pula yang tidak ya….. Lalu papa Gen bertanya, “Jadi, Riku bilang tidak Tsuki ga kirei desune”
“Tentu saja tidak… tidak ada juga yang bisa dibilang sih”
Terus terang, aku tidak mengerti percakapan itu. Kenapa? Apa maksudnya?
Lalu Riku mengatakan, “Coba saja mama cari di internet apa arti Tsuki ga kirei desune. Itu perkataannya Natsume Soseki”
Saat begini, aku merasa perlunya HP karena aku segera bisa mencari di internet. Jadi rupanya ada sebuah kejadian sewaktu pengarang Jepang terkenal (“Botchan” dsb) Natsume Soseki menjadi guru bahasa Inggris. Ada muridnya yang menerjemahkan “I Love You” sebagai “我君を愛す(ware kimiwo aisu)”, dan disalahkan oleh Natsume Soseki, katanya harus menerjemahkan dengan “Tsuki ga kireidesu ne (Bulannya Indah ya)”. Tentu saja maksudnya bahwa orang Jepang TIDAK AKAN MENGATAKAN aku cinta kamu secara langsung, tetapi biasanya akan mengatakan “Bulannya Indah ya” dan itu dimengerti sebagai pernyataan cinta.
Haduuuh ribet banget, tapi ini menunjukkan bahwa memang orang Jepang tidak pernah mengatakan cinta! Lalu tambah Riku, “Bahasa Inggris tuh bagus ya, ada LOVE ada LIKE, jadi bisa dimengerti. Tapi kalau bahasa Jepang hanya ada SUKI yang bisa artinya suka terhadap teman, atau suka terhadap pacar”. Hmmm anakku sudah mulai mengerti perbedaan bahasa, tapi ini didapat hanya karena dia suka membaca karya sastra dan sejarah. Karena itu dia tadi mengatakan “tentu saja ada yang bisa mengerti perkataanku, ada pula yang tidak ya”. Hanya orang yang mengetahui hubungan “Tsuki ga kirei desune” dengan Natsume Soseki sajalah yang mengerti, bahwa topiknya bukan BULAN tapi pernyataan CINTA.
Ini adalah nama program kegiatan membaca dari sekolah SD nya Kai. Memang dalam satu tahun ada dua kali yang dinamakan “Pekan Membaca” 読書週間. Biasanya anak-anak harus menuliskan target mereka, semisal dalam 10 hari itu ingin membaca berapa buku. Tapi sekarang kebanyakan bukan jumlah bukunya yang penting, tapi jumlah halamannya. Dan untuk kelas 3, gurunya mengatakan bahwa targetnya 1000 halaman waktu liburan musim panas. Hmmm 1000 halaman kan banyak! Dan terus terang Kai tidak bisa membaca 1000 halaman selama liburan musim panas, karena lebih banyak bermain di Indonesia atau di Jepang. Tapi setelah itu, pada bulan November, Kai berhasil membaca 1000 halaman lebih dalam 1 minggu!
Tapi sebagai kelanjutan kegiatan “Pekan Membaca”, pada bulan Desember, mereka mengadakan “Bibliobattle” dengan tema: Cerita kuno dunia atau cerita rakyat. Masing-masing anak diwajibkan memilih dari sekian banyak buku dan mempromosikan buku yang dibacanya (battle). Kemudian dari kelas akan dipilih buku yang paling populer di antara murid.
Saat itu Kai memilih ブレーメンの音楽隊 ”Town Musicians of Bremen” padahal menurutku itu bukan cerita rakyat 😀 Jika disuruh memilih cerita rakyat yang populer di Jepang, aku akan memilih buku yang berjudul 大きなかぶ Ookina kabu “The Big Turnip” yang merupakan cerita rakyat Rusia atau てぶくろ Tebukuro ”Sarung Tangan” yang merupakan cerita rakyat Ukrania. Tapi memang anak-anak Jepang terbiasa membaca cerita rakyat dunia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Penerbit yang terkenal sering menerbitkan buku cerita anak-anak adalah Fukuinkan Shoten. Dulu waktu Riku usia 1 sampai 3 tahun setiap bulan dikirimi buku baru berseri yang merupakan hadiah dari temannya Gen.
Kalau soal cerita rakyat dunia, buku apa yang ingin kamu sarankan?
Seperti beberapa teman sudah ketahui, sejak akhir Februari, Riku terjangkit influenza. Aku pernah menulis di sini mengenai apa bedanya Influenza dan Masuk Angin. Jangan sembarangan berkata flu di Jepang deh, kalau tidak mau dituding penyebar penyakit 😀 Karena kalau influenza di Jepang, pasti tidak boleh keluar rumah, untuk mencegah mewabah.
Nah sesudah Riku sembuh, giliran aku yang kena… aku hampir sembuh, papa Gen dan Kai yang kena. Berturut-turut dan sepertinya memang lebih baik begitu, karena kalau sekaligus empat-empatnya sakit berbarengan, siapa yang akan merawat kami? 😀
Selama Gen di rumah, aku jadinya suka menonton deh. Karena dia suka merekam acara-acara tertentu yang dirasa bagus. Kesempatan untuk menonton, dan menghapus supaya kapasitas BR kami bisa kosong kembali untuk diisi acara TV lain. Dan salah satu acara yang suka direkam Gen adalah tentang seni (art). Sambil “melirik” acara yang ditayangkan (sambil lalu) aku bisa mengetahui nama-nama seniman terkenal. Dan salah satunya adalah Francois Pompon, yang terkenal dengan patung beruang kutubnya.
Daaaan… tiba-tiba aku teringat! Almarhum mama punya koleksi beruang itu yang terbuat dari kristal! Aku memang mempunyai hobi yang sama dengan mama, yaitu menyukai gelas/kristal. Karena toh dipajang di rumah, aku dan juga adikku sering membelikan kristal sebagai hadiah untuk mama. Koleksinya banyak! Tapi sayangnya, aku tidak bisa bawa koleksi itu ke Jepang. Bukannya apa, sayang saja. Jepang kan negara gempa, kaca-kaca itu pasti akan hancur waktu gempa. Jadi mendingan taruh di Jakarta saja hehehe.
Ada satu tempat di Hakone yang sudah lama aku ingin kunjungi. Namanya Hakone Garasu no Mori 箱根ガラスの森 Venetian Glass Museum. Tapi sejak kami punya mobil, itu berarti kami punya anak. Duh, ngga deh membawa anak kecil ke museum yang isinya kaca semua. Nanti kalau pecah dan aku harus ganti, mau petik uang dari pohon apa ya? hehehe.
Jadi keinginan aku untuk masuk Museum Kristal itu baru terwujud pada tanggal 11 Desember tahun lalu. Kami ke museum Kristal itu setelah mengunjungi Museum Little Prince yang ke dua kali (pertama kali waktu anak-anak masih kecil). Riku mulai membaca bukunya, sehingga dia yang minta untuk pergi lagi ke Museum Little Prince itu. Karena dia sudah puas bisa ke Museum Little Prince, dia mau tinggal di mobil dan baca buku saja waktu kami mampir di Museum Kristal. Dia tidak suka kristal, lain dengan Kai yang sangat suka barang-barang mengkilat dan berkilau. Jadilah aku, Gen dan Kai saja yang masuk ke Museum Kristal ini.
Begitu masuk memang sudah “silau” dengan tunel terbuat dari gelas kristal. Melalui tunel ini kita masuk ke bagian museum yang memamerkan kristal-kristal antik yang biasa terdapat di istana-istana Eropa. Kami tidak berlama-lama di sini karena mengingat Riku juga yang menunggu di mobil. Pokoknya asal lihat saja.
Di bangunan ke dua lebih banyak memamerkan karya gelas yang lebih bisa diterima awam. Lebih banyak bentuk, banyak warna dan desain. Selain itu di bangunan yang kedua ini terdapat toko yang menjual apa yang dipamerkan. Di sini aku harus menutup dompetku erat-erat karena cukup banyak yang ingin kubeli. Beberapa kali Gen menggoda untuk membelikan kalung yang kelihatan cocok untukku, tapi kutolak dengan mengatakan, “suka sih… bagus sih… tapi pakainya kapan dan bajunya apa?”
Nah yang kurasa memang menjadi daya tarik tempat ini adalah pohon kristal. Pohon besar yang semuanya kristal. Mengkilat terkena sinar matahari, tapi keindahannya menjadi “biasa” saja kalau difoto. Memang lebih bagus melihat langsung. Meskipun aku yang suka kristalpun mengetahui bahwa itu hanya keindahan semu, karena buatan. Mungkin akan lebih senang berlama-lama melihat pohon asli daripada pohon kristal. Cukup satu kali lihat saja sebagai pengalaman.
Sebetulnya di dekatnya ada beberapa museum seperti museum Pola, Lalique dan museum seni patung (ini sudah pernah pergi tapi waktu itu tidak punya kamera hehehe). Nanti suatu saat ingin coba juga masuk museum-museum ini.