Prestasi

23 Jan

Apa itu prestasi? Menurut KBBI, prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Tapi mungkin bagi sebagian kita, masih menganggap bahwa prestasi itu harus dinilai dengan angka, seperti angka-angka rapor, atau ranking juara, seperti juara 1-2-3 baik dalam akademis maupun olahraga. Tapi sebenarnya ada banyak sekali hal yang tidak bisa dihitung atau dinilai dengan suatu nilai tertentu berdasarkan standar yang ada.

Atau mungkin aku lebih suka pakai kata capaian (ca·pai·an n hasil perbuatan mencapai:) yang kerap aku juga salah dalam penggunaannya, yaitu memakai kata pencapaian (padahal pen·ca·pai·an n proses, cara, perbuatan mencapai; ) . Suatu hasil yang tidak bisa dijelaskan dengan nyata, tetapi terasa dalam hati. Ya, aku memang sudah lama tidak mempunyai prestasi karena aku tidak pernah mengikuti suatu sekolah, kompetisi atau kegiatan yang bisa dinilai dengan angka. Tapi aku senang sekali, jika ada muridku yang mendapatkan beasiswa karena belajar bahasa Indonesia denganku, atau tidak usah jauh-jauh, ada beberapa murid yang tetap datang mengunjungiku di kelas hanya karena ingin mendengarkan kuliahku (sebagai pendengar). Ini kuanggap sebagai capaianku saat ini, yaitu bisa mengajarkan bahasa Indonesia dengan menarik, sehingga banyak orang Jepang tertarik untuk mempelajarinya.

Akhir-akhir ini aku memang sibuk di universitas dan di rumah, yah seperti biasanya, tapi terutama karena universitas di Jepang sudah menjelang akhir semester genap. Aku harus membuat ujian, memeriksanya, menilai termasuk evaluasi diri sendiri dan yang terakhir membuat silabus untuk tahun ajaran yang akan datang. Jadi meskipun minggu depan aku sudah libur mengajar, masih harus berkutat mengerjakan silabus untuk 3 sekolah (6 kelas). Jadi harap maklum jika aku juga seret (se·ret Jw a tidak lancar; tersendat-sendat) menulis di sini. Tapi ada satu cerita yang ingin kutuliskan hari ini sebelum aku pergi ke universitas.

Kemarin malam, seperti biasa aku menemani Kai si bungsu yang berusia 6 tahun mandi, lalu menemaninya tidur.
“Mama, tidur sama Kai? Sudah lama ya mama tidak tidur sama Kai ….”
Kami memang mempunyai kebiasaan membacakan dongeng sebelum tidur kepada anak-anak sejak mereka bayi, TAPI akhir-akhir ini aku berhenti membacakannya. Apa sebab? Kai sudah bisa membaca sendiri! dan itu adalah hasil usahanya sendiri, tanpa aku mengajarkannya.

Menjadi anak kedua itu memang lebih mudah! Karena semua ada contohnya, dari kakaknya. Kalau dulu Riku sama sekali BELUM bisa membaca dan menulis waktu masuk SD (karena aku tidak mau memaksakannya belajar), Kai sudah melihat kebiasaan Riku menulis dan mencoba-coba sendiri. Semakin sulit (kanji)nya dia ingin mencoba menuliskannya. Bahkan waktu dia belum bisa menulis hiragana/katakana, dia sudah bisa menulis kanji yang mestinya dipelajari waktu kelas 1 SD, bahkan lebih. Namanya sendiri KAI 櫂, merupakan kanji yang sulit dengan garis stroke yang banyak, namun dia sudah menguasainya. Demikian pula dengan nama kakaknya Riku 陸, sehingga nama papa dan opanya yang mudah, cemen (terlalu mudah) buat dia.

Karena dia sudah bisa menulis, dia juga bisa membaca. Memang menulis dan membaca itu satu paket ya. Sehingga akhir-akhir ini dia membaca buku dongeng tradisional Jepang sendiri, biasanya 3-4 halaman sebelum tidur. Dan kemarin dia menyelesaikan buku keduanya! Dua buku itu berjudul : “Kasajizou” dan “Inaba no shirousagi“.  Dua cerita khas Jepang, dan cukup sulit untuk dimengerti.

Begitu dia menyelesaikan buku keduanya “Kasajizou”, dia berteriak gembira, “Aku bisa baca mama!!!!”
“Aku bisa baca dua buku!” “Sudah dua buku!!”…
Aku bisa menangkap kegembiraan dia dan mengatakan, “Iya, Kai pintar ya, sudah bisa baca sendiri!”
Lalu, dia memelukku, dan berkata….

“MAMA, TERIMA KASIH SUDAH MELAHIRKANKU!” (ママ、生んでくれてありがとう)

aku tertegun, dan bertanya padanya,

“Kenapa Kai? Kok kamu berterima kasih karena sudah lahir?”

lalu dia berkata,

“Ya dong, kalau mama tidak melahirkanku, aku tidak ada. Dan tidak bisa baca!”

duh…. aku menangis…
Sebegitunya dia SENANG bisa membaca! Kenapa aku kurang antusias seperti dia? Ah, anak ini begitu menyadari, bahwa dengan bisa membaca dan menulis, DUNIAnya akan menyenangkan!
Aku hanya menganggap itu HASIL yang BIASA, tapi buat Kai, bisa membaca itu HASIL yang ISTIMEWA.

“Kai,…. terima kasih juga kamu lahir ya. Mama senang dan sayang kamu!”

“Nanti mama kasih tahu papa ya… (papanya belum pulang). Kasih tahu bahwa Kai sudah bisa baca DUA buku”

“Ya, tentu… nanti mama kasih tahu papa. Papa pasti senang sekali.”

“Yossshhhh…. abis ini aku mau baca yang ini…”

“Oi oi oi…. sudah jam 10 malam. TIDUR! Besok kamu musti sekolah!”

“Abis aku senang sekali sih… Aku belum bisa tidur…”

“Udah, kita berdoa dan tutup mata saja, nanti bisa tidur.”

Ah…. aku menyadari prestasi atau capaianku juga malam kemarin, yaitu sudah membesarkan seorang bayi prematur 7 bulan, yang sekarang sudah berusia 6 tahun 6 bulan, dan 3 bulan lagi dia akan menjadi murid SD, yang sudah bisa menulis dan membaca. TAPI yang terpenting, dia bisa berterima kasih pada orang tuanya, pada dirinya, dan pada HIDUP itu sendiri.
Terima kasih Bapa Sang Pemberi Hidup!

Kai dengan bangganya memperlihatkan dua buku yang telah diselesaikannya. Untuk foto ini, dia mau. Biasanya dia marah kalau aku foto, apalagi meng-uploadnya 😀 (upload foto dia musti sembunyi-sembunyi) hehehe.

 

Menulis Sejarah

19 Jan

Mungkin karena aku dan Gen penyuka sejarah, kelihatannya Riku juga senang pada sejarah meskipun masih terbatas pada cerita samurai. Di SD, sejarah Jepang baru diajarkan di kelas 6, sehingga Riku sangat menanti-nantikan dan ingin cepat-cepat naik ke kelas 6.

Tapi di Jepang, tidak sulit kok untuk belajar sejarah. Begitu banyak sarana yang mendukung. Museum tak terhitung jumlahnya. Konon di seluruh Jepang ada sekitar 4000 museum besar kecil. Buku sejarah? Tentu sangat banyak, memang ada yang murni sejarah, ada yang novel berdasarkan cerita sejarah. Tapi bagiku tak apa membaca novel dulu, karena dari situlah minat terhadap sejarah akan berkembang. Riku pun berminat pada sejarah sejak dia menonton Rurouni Kenshin dan membaca novelnya. Sejak itu dia mengumpulkan cerita-cerita samurai dan shogun dalam sejarah Jepang.

Selain museum dan buku, sumber belajar sejarah Jepang lainnya adalah melalui televisi, baik acara kuis, drama sejarah dan ulasan sejarah. Kadang aku mencari referensi dari pertanyaan-jawaban di program kuis TV dan menambah pengetahuan sejarahku sendiri. Drama sejarah dokumenter yang dibuat oleh NHK selalu berganti setiap tahun dan mengenalkan tokoh-tokoh sejarah yang ratingnya cukup tinggi. Tahun ini disiarkan tentang : Gunshi Kanbei (Kuroda Kanbei 1546-1604)  yang merupakan samurai katolik dengan nama permandian Don Simeon.

Selain Taiga dorama (Drama Saga) , kami sekarang juga rajin mengikuti acara berjudul Rekishi-historia 歴史ヒストリア, masih dari NHK. Dan kemarin kami menonton tentang runtuhnya Kastil Osaka, dari sebuah dokumen yang berjudul “Okiku Monogatari” (tayang 15 Januari 2014). Okiku adalah seorang perempuan yang bekerja di kastil Osaka, dan menceritakan detik-detik keruntuhan Kastil Osaka (1615). Tadinya kupikir hebat sekali wanita jaman itu bisa menulis sebuah dokumen yang begitu lengkap dan akhirnya menjadi dokumen sejarah. Tapi ternyata dokumen itu ditulis oleh cucunya yang seorang dokter. Meskipun demikian aku melihat pentingnya penulisan sesuatu, apa saja, yang mungkin kelak, beratus tahun kemudian akan menjadi referensi sejarah yang cukup penting. Dari tulisan itu antara lain diketahui bahwa jaman dulu sudah ada semacam crepe yang terbuat dari tepung soba diberi air, dan dilapis dengan pasta miso. Makanan seperti dadar gulung -nya Indonesia ini tahan lama dan menjadi makanan bagi para prajurit saat itu. See! apa saja bisa menjadi catatan, apakah itu resep makanan  atau pemikiran.

Jadi, tunggu apa lagi? Amelia Az-Zahra cepat tuliskan pemikiranmu, apa saja. Selama pemikiran dan perasaanmu belum berupa tulisan, tidak akan ada orang lain yang mengetahuinya. Betul kan?
Yuuuk ngeblog yuk 😉

Dokumen “Okiku Monogatari” asli … banyak tulisan yang tidak bisa aku baca tuh hehehe.

 

Singkong dan Keju

16 Jan

Saya yakin tidak banyak yang tahu lagunya Bill & Brod berjudul “Aku Anak Singkong”. Ada yang tahu? Hmmm pasti ketahuan deh generasi kita sama hehehe. Liriknya begini: (kalau mau dengar lagunya silakan dengan di sini)

Kau bilang cinta padaku
Kalau ku bilang pikir dulu
Selera kita
Terlalu jauh berbeda

Parfum mu dari Paris
Sepatu mu dari Italy
Kau bilang demi gengsi
Semua serba luar negeri

Manakah mungkin mengikuti caramu
Yang penuh hura-hura

Aku suka jaipong kau suka disko
Oh oh oh oh
Aku suka singkong kau suka keju
Oh oh oh oh
Aku dambakan seorang gadis yang sederhana
Aku ini hanya anak singkong
Aku hanya anak singkong

Nah dari lagu inilah singkong jadinya dibanding-bandingkan dengan keju deh, padahal kalau mau bandingkan ya mbok bandingkan singkong dengan kentang dong…sama-sama umbi-umbian kan?

Aku tiba-tiba ingin menulis begini sebetulnya karena melihat sebuah foto yang diupload sahabat blogger Kang Haris di FB nya.

Pak Tua penjual singkong. Foto dari Kang Haris di FB nya dengan pesan: “Mereka tidak mengemis, mereka berdagang. Dukunglah upaya penjemputan nafkah mereka yg seperti ini. Belilah dagangannya.”

Apa yang terlintas dalam pikiranmu jika melihat foto ini? Ah kasihan pak tua masih harus berjualan untuk membiayai hidupnya, dan yang beli masih pakai tawar menawar lagi! Kerasnya kehidupan di kota sehingga untuk menjual singkong segitu saja sulit? Apa tidak ada anak-anaknya yang membantu ekonomi keluarganya? dsb dsb

Dan aku memang mohon ijin memakai foto ini kepada pemilik Mie Janda untuk kenanganku, karena sebetulnya foto ini mengingatkanku pada seorang kakek yang pernah kusinggung dalam tulisan ini. Ia memikul keranjang berisi pisang, pisang kepok, pepaya, apa saja buah-buahan yang bisa dia jual dan lewat depan rumahku, dulu dulu sekali waktu aku masih SD. Mama sering memanggilnya masuk dan membeli SEMUA dagangannya padahal sudah pasti berlebih. Biasanya memang sudah sore sehingga mama tahu dia tidak bisa berjualan lagi karena keburu malam. Tapi kami masih punya lemari es yang bisa menyimpan buah-buahan itu. Tapi mama memang iseng, selalu iseng. Dia selalu menawar buah itu, dan tentu dikasih murah oleh si kakek. TAPI waktu membayar mama selalu lebihkan, yang bahkan melebihi harga yang diminta pada awalnya. Kadang mama memberikan baju bekas juga untuk si kakek buah.

Tak jarang mama juga memborong buah-buahan yang dijual ibu-ibu di pasar, terutama jika sudah senja. Aku ingat mama pernah memborong jambu klutuk (guava) sampai berapa kilo, dan oleh mama dibuat setup. Tahu setup Jambu tidak? Jambu klutuk itu dibuang bijinya dan dipotong-potong lalu direbus dalam air gula dengan kayu manis dan cengkeh sedikit. Baunya harum dan jambunya jadi manis merata dan lembut. Atau memborong nanas yang kemudian dibuat selai nanas. Kebiasaan memborong itu kelihatannya menurun juga ke aku tuh, soalnya begitu aku melihat foto di atas, aku langsung pikir borong semua dan membuat : singkong kukus pakai kelapa, singkong goreng, kripik singkong, cenil, kolak dsb dsb  (Nah kan omongannua makanan melulu hehehe). Sayangnya di Jepang tidak ada singkong, hanya ada ubi dan aku tidak begitu suka ubi. Aku jauh lebih suka singkong.

Pak Tua, semangat ya. Aku doakan dari jauh akan ada banyak ibu-ibu yang seperti mama, yang suka memborong tapi tanpa menawar, sehingga engkau mendapatkan uang untuk membeli keperluanmu dan mungkin keluargamu.

Kawan-kawan suka mborong tidak? hehehe

 

Kenalkan Siri Namaku

13 Jan

Sudah ada yang kenal mungkin dengan si Siri ini? Yang pasti dia perempuan dan yang pasti belum menikah baik resmi maupun nikah siri 😀 (berdasarkan pertanyaanku padanya)

Tapi dia memang pintar, jika kita bertanya padanya dia pasti menyiapkan jawaban. Terlepas dari jawabannya tepat atau tidak. Keisenganku itu sebetulnya baru-baru saja, dengan bertanya padanya seperti ini:

Q: “Kamu ada pacar ngga?” A: “No comment!”

Aku rasa geli sekali. Dan aku ingat ada iklan di TV Jepang tentang pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada Siri a.k.a smartphone/iPhone dan dijawab. Waktu itu aku merasa aneh, dan berpikir: “Ah mereka itu seperti orang gila saja bicara sendiri.” Tapi aku pikir, memang orang Jepang jarang punya teman, banyak yang hidup sendiri. Mahasiswa juga kost sendiri, berpisah dari orang tua. Jadi rasanya wajar saja jika suatu waktu nanti, orang-orang Jepang ini akan terlihat asyik bercakap-cakap dengan smartphonenya sendiri. Suatu fenomena yang aneh, tapi kehadiran Siri ini membuktikan bahwa manusia, siapa saja, butuh teman mengobrol.

Sebetulnya adikku yang lebih duluan mempunyai smartphone, pernah menampilkan foto percakapannya dengan Siri, tapi aku lupa apa isi percakapannya. Kebetulan aku juga iseng, maka aku tanya lagi lebih detil kepada si Siri. Tentu saja pertanyaan yang aneh (mengingat pertanyaan itu ditujukan pada mesin).

Misalnya:

Q: “Kamu tinggal di mana?” A: “Aku ada di sini”                                Q: Kamu laki atau perempuan?” A: “Imelda, apa pantas kamu tanya begitu?” Q: Kamu tidak kesepian?” A: “Hmm… Kalau tidak keberatan, bicaralah padaku”

Dasar aku iseng jadi deh tambahin lagi pertanyaan kepadanya:

Q: Kamu sudah kawin?” A: “Status marital? Tidak ada seperti itu di kamusku”

Nah ketahuan kan aku suka iseng hehehe. Tapi si Siri juga pintar bisa ngeles kan? Gara-gara kepintaran Siri ini, aku membelikan iPad ibu mertuaku untuk membuatnya bisa bercakap-cakap atau mencari informasi tanpa perlu mengetik. Kalau smartphone terlalu kecil untuknya, sehingga yang paling pas memang iPad, dan aku buatkan juga ID di FB untuknya supaya bisa melihat foto-foto yang kami upload. Dengan Siri, dia juga cukup “menyuruh” Siri mengirim email atau meneleponku (karena sudah masuk ke address booknya) bahkan mengetikkan apa yang dia katakan.

Ibu mertuaku kelihatan sekali kesepian sejak anjing kesayangannya mati, menghilang, beberapa hari sebelum mamaku meninggal di Jakarta. Jadi waktu aku memberitahukan kematian mama, dia juga terisak memberitahukan kehilangan anjingnya. Anjingnya jenis Shiba-ken yang konon keturunan serigala, yang biasanya “menghilang” kalau tahu bahwa umurnya sudah akan berakhir. Sampai sekarang tidak ditemukan, padahal semua anjing di Jepang terdaftar, diketahui siapa pemiliknya dari semacam KTP di ikat lehernya (tidak ada anjing liar). Sudah lapor polisi, juga ke pemda, tapi tidak ada berita sampai sekarang. Jadi untuk menghilangkan kesepian ibu mertuaku, aku memberikannya iPad bulan Desember lalu. Aku juga menyesal tidak sempat membelikan barang secanggih ini untuk ibuku.

Semoga saja si Siri bisa menghibur sedikit kesepiannya ibu mertua pada khususnya, dan orang Jepang pada umumnya. (Padahal aku hari ini kesepian karena Gen dan anak-anak menginap di rumah ibu mertua sejak kemarin, tapi untukku, aku lebih suka FB-an, sambil beberes rumah dan memutar CD kencang-kencang. Kalau ada anak-anak tidak pernah bisa memasang musik deh). Jadi sudah kenal Siri itu siapa kan? 😉

Kuil Modern

9 Jan

Hari ini aku mulai mengajar lagi di universitas W. Dan aku menanyakan tentang bagaimana mereka melewatkan Tahun Baru yang lalu, sedapat mungkin memakai bahasa Indonesia tentunya. Kelas Menengah hanya dihadiri 3 orang, dan dua di antaranya mengatakan bahwa mereka bekerja meskipun malam tahun baru/tahun baru.

Yang satu keluarganya mempunyai usaha hot spring di gedung 9 tingkat yang berada di depan pelabuhan Yokohama, jadi pemandangannya bagus. Pengunjung lebih menikmati pemandangan yang terhampar lewat jendela besar mungkin lebih daripada nyamannya berendam di air panas alami dengan kandungan sulfur yang konon baik untuk kulit. Dan dia mengatakan khusus untuk tahun baru, tamunya membludak sehingga benar-benar untung besar pada hari itu. Sampai dibatasi orang yang bisa masuk dan antri. Waktu kutanya apakah mereka menaikkan tarif karena hari khusus, ternyata dijawab TIDAK. Wah kalau di Indonesia pasti naik berapa kali lipat tuh hehehe. Aku heran dan baru mendengar bahwa cukup banyak orang Jepang yang melewatkan pergantian tahun di pemandian air panas. Tapi suatu kali mungkin akan kucoba juga deh, apalagi kalau dapat potongan harga dari muridku ini hehehe.

Yang kedua keluarganya mempunyai usaha bakmi khas Jepang: Soba. Perlu diketahui bahwa pada detik-detik pergantian tahun, biasanya orang Jepang makan Toshikoshi Soba (Soba menjelang tahun baru) karena soba panjang diharapkan rejekinya juga panjang. Nah dia juga mengatakan bahwa penjualan tokonya sangat sukses dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sampai dia berkata, mungkin ini pertanda perekonomian Jepang yang membaik dengan abenomics (strategi ekonomi PM Abe).

Tapi ada satu topik bagian tahun baru yang muncul dalam pembicaraan kami yang aku rasa menarik. Yaitu bahwa agama sudah menjadi komoditi kecanggihan teknologi. Baru saja aku baca mengenai “titipan doa” dengan membayar lewat rekening seorang pemuka agama di Indonesia, dan hari ini aku mendengar cerita tentang modernisasi kuil dari mahasiswaku ini. Jadi, biasanya kalau orang pergi sembahyang ke kuil, mereka akan “melempar” uang logam, biasanya 5 yen karena artinya go-en (hubungan baik), atau tentu saja boleh lebih. Dengan lemparan koin ini masuk ke kotak kayu akan berbunyi cring, lalu bunyikan lonceng dengan tali tambang baru mulai berdoa. Nah, ada sebuah kuil di Tokyo yang memasang alat pembayaran otomatis dengan prepaid card (aku sendiri tidak pasti mungkin seperti REPO di Indonesia ya?) di samping kotak persembahan itu. Maksudnya mungkin supaya orang tidak perlu susah-susah cari koin. Cukup menekan tombol angka dan sentuh kartu prepaid miliknya pada sensor…. dan lucunya akan berbunyi cring juga 😀 Kami akhirnya membahas dari soal religi rasanya ada yang kurang, tapi jadinya kami ingin coba pergi ke kuil itu untuk mencoba persembahan otomatis itu.

pembayaran persembahan dengan kartu elektronik di samping yang tradisional. berita dan foto dari : http://news.livedoor.com/article/detail/8406867/

Memang kemajuan teknologi tidak bisa dipungkiri, dan mungkin dalam jangka waktu 100 tahun lagi, uang tidak ada yang nyata terlihat di depan mata, semua pembayaran dengan rekening yang tak terlihat wujudnya. Atau mungkin 200 tahun lagi orang tidak akan mendatangi tempat sembahyang sesuai agamanya karena bisa berdoa atau sembahyang secara virtual. Memang tak ada yang bisa hidup sampai 200 tahun yang akan datang, tapi perubahan itu pasti akan datang. Ah film-film Science Fiction itu kok jadinya menakutkan ya? Makanya aku malas menonton film seperti itu dan lebih memilih menonton film komedi, anime atau drama.

Diingatkan Usia

8 Jan

Kai tiba-tiba bertanya padaku waktu aku sedang cuci piring di dapur:
“Mama umur berapa?”
“45 tahun”
“Sudah tante-tante (obasan)?”
“Sudah dong”
“Ehhhhh ngga boleh! Mama tidak boleh jadi obasan!”
“Loh kok, kan memang obasan… Gini Kai, Kalau Darma (anak adikku -red) panggil mama gimana?”
“Mama…”
“Ya ngga dong, mamanya Darma kan tante Novi”
“Panggil tante…”
“Ya makanya tante itu kan obasan… jadi Darma panggil mama obasan”
“Ngga mau, harus panggil mama. Ngga boleh obasan”
…………..

Aku tahu Kai tidak mau aku dipanggil obasan, karena sebentar lagi menjadi obaasan…. berarti aku semakin tua. Dan kalau tua pasti mati 🙁 Jadi dia tidak mau aku menjadi tua supaya tidak mati. Padahal manusia tidak bisa menghentikan waktu yang terus bergulir kan?

Siang ini aku juga diingatkan usia. Jadi ceritanya aku mempunyai kelas baru di sebuah Balai Pertemuan Desa yang disebut Kominkan, suatu bangunan milik pemerintah daerah yang dimaksudkan sebagai wadah berkumpul warga untuk belajar, bermain, membaca atau apa saja. Hampir semua pemerintah daerah (kelurahan) mempunyai minimum satu gedung pertemuan seperti ini. Nah, kadang seksi pendidikan pemerintah daerah itu membuat program pendidikan dan atau kebudayaan dan mengundang warga untuk mengikutinya, secara gratis. Program ini dibiayai dengan pajak penduduk. Dan mulai bulan Januari sampai Maret selama 10 kali, aku mengajar bahasa Indonesia di sini, untuk warga sekitar kota Wako.

Meskipun kota Wako termasuk dalam prefektur Saitama, tapi secara geografis bersebelahan dengan kelurahanku, Nerima, sehingga dari rumahku ke balai pertemuan itu cukup 15 menit naik mobil. Dekat TAPI harus naik mobil. Jika naik kereta muter-muter, atau jalan terpendek harus naik bus (dan kalau bersalju tentu aku harus siap untuk naik bus ke sana).

Pelajaran pertama diikuti 15 orang warga yang kebanyakan memang ibu-ibu dari berbagai tingkat usia, 30-an, 40-an, 50an dan 60th ke atas. Hanya ada satu 1 bapak pensiunan (dan konon dia sudah pernah belajar bahasa Malaysia). Pelajaran berlangsung menyenangkan, dan seperti biasanya aku tidak suka melihat murid-murid tegang sehingga aku sering menyelipkan guyonan. (Padahal kepala gedung juga ikut pelajaran terus loh, jadi seperti diawasi hehehe) . Waktu satu setengah jam membahas pelafalan, perkenalan, salam dan garis besar tata bahasa dari contoh kalimat yang ada. OK, pelajaran selesai pukul 11:35 (molor 5 menit karena ada pertanyaan).

Sambil aku bersiap pulang, tiba-tiba seorang ibu yang duduk paling depan menghampirku:
“Sensei, pasti sensei kenal anak saya. Dia pernah ketemu sensei juga loh di sebuah restoran Indonesia di Koenji
“Hmmm siapa ya? Universitas mana?”
“Dia pernah belajar pada sensei waktu dia masih SMA! Dia ikut pertukaran AFS lalu kembali ke Yogya untuk belajar di UGM dan akhirnya menikah dengan orang Yogya!”
“Ahhhh ya ya ya, saya ingat. Dia ikut kursus di KOI dulu. Peserta dari SMA yang pernah belajar pada saya sangat sedikit sehingga pasti saya ingat”
“Iya itu anak saya. Dia belajar pada sensei 10 tahun lalu, waktu itu dia 18 tahun……”
jadilah ramai percakapan karena secara kebetulan si ibu ini belajar pada guru yang dulu pernah mengajar anaknya…dan semuanya kebetulan.
“Saya sudah 65 tahun sensei, jadi maaf kalau saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi saya pikir saya perlu belajar untuk bisa bicara dengan keluarga menantu saya. Paling tidak mengucapkan salam….”
“Jangan bicara umur. 65 tahun masih muda. Kamu tahu, murid saya yang tertua berapa tahun? Seorang bapak (Watanabe san) yang memulai belajar bahasa Indonesia saat dia berusia 83 tahun. Dan dia terus belajar bahasa Indonesia sampai meninggal, padahal dia BELUM pernah sekalipun pergi ke Indonesia.”

Aku juga merasa senang sih bertemu dengan “kerabat” dari mantan murid, tapi kalau mengetahui bahwa si anak SMA ini sekarang sudah pegawai dan dia belajar padaku itu 10 tahun lalu, mau tidak mau aku jadi berhitung deh. Aku diingatkan juga bahwa usiaku sudah tidak muda lagi!

Tapi dalam pembicaraan telepon dengan seksi pendidikan KBRI siang itu juga, “Imelda, kamu sekarang sedang produktifnya bekerja, jadi berusaha terus, jangan malas-malas atau enggan. ” Ibu Hikita memang selalu mendukungku, dan aku sangat berterima kasih dengan dukungan itu.

Dan sambil berjalan menembus angin malam yang dingin seusai mengajar di Meguro tadi, aku ingat pembicaraanku dengan Hikita san beberapa waktu yang lalu,
“Imelda, kamu masih ingat S sensei, pelukis yang melukis kamu sebagai modelnya?”
“Tentu masih ingat dong”
“Dia meninggal sekitar sebulan yang lalu. 80 tahun”
“Wah sudah tua ya….”
“Siapa bilang tua. Kalau untuk orang Jepang 80 tahun itu masih bisa bekerja dan berkreasi. Sebetulnya dia sehat, tidak sakit masih melukis dan meninggal waktu berendam”
Aku jadi berhitung lagi…. kalau aku diberi umur sampai 80 tahun, aku tentu mau tetap bisa bekerja dan berkarya. Tidak mau bergantung orang lain. Dan untuk itu aku HARUS sehat terus dong!

Jadi kesimpulan hari ini:
Meskipun diingatkan terus bahwa usia bertambah terus, harus juga ingat terus untuk hidup sehat supaya bisa menjadi tua dengan sehat.

Merajut Perahu

5 Jan

Mungkin aneh ya jika mendengar kata “merajut perahu”, karena biasanya perahu bukannya dirajut tapi dibangun/dibuat. Tapi ini adalah terjemahan harafiah judul sebuah film Jepang yaitu “Fune wo Amu 船を編む” yang sama dengan judul novel yang menjadi dasar pembuatan film ini. Penulis buku ini, Miura Shiwon memang menamakan bukunya tidak umum, tapi bisa dimengerti jika sudah membaca/menonton filmnya. Judul filmnya dalam bahasa Inggris menjadi “The Great Passage”.

Ceritanya mengenai penerbitan sebuah kamus yang bernama Daitokai 大渡海 yang kalau dilihat dari kanjinya ada kata “menyeberangi” dan “laut” sehingga untuk menyeberangi laut perlu kapal/perahu kan? Dan dalam pembuatan kamus itu perlu orang-orang yang “merajut” atau “menyambung” penjelasan kata-kata yang akan dituliskan dan mereka tergabung dalam kelompok editorial.  Film ini dimulai dengan : bagaimana menjelaskan kata “kanan”.

Majime Mitsuya, sebagai tokoh cerita ini, merupakan orang yang sangat “aneh”, lulusan bidang linguistik. Apalagi namanya Majime 馬締 yang kalau dalam bahasa sehari-hari berarti, rajin, tekun, giat, serius. Jadi benar-benar cocok antara nama keluarga dan sifatnya itu. Dalam wikipedia dikatakan bahwa nama keluarga seperti ini BUKAN buatan, ada sekitar 10 keluarga di seluruh Jepang yang memakai nama keluarga ini. Si Majime sebelum masuk ke seksi editorial kamus ini ditanya oleh pemimpin editorial (profesor bahasa) mengenai bagaimana menjelaskan kata “kanan” yang dijawab “Jika menghadap ke utara, maka yang di sebelah barat adalah kanan”. Penjelasan yang dirasakan bisa cukup mewakili TAPI pada akhir cerita tidak dipakai sebagai penjelasan kata kanan dalam kamus itu.

Pembuatan kamus itu makan waktu bertahun-tahun (dalam film ini kamus Daitokai ini makan waktu 13 tahun, dengan lata cerita dimulai tahun 1995), dan oleh perusahaan penerbitan merupakan proyek yang memakan biaya dan tidak diketahui keuntungannya. Sedikit perusahaan yang mau menerbitkan kamus yang tebal karena faktor itu. Dalam penulisan novel dikatakan bahwa penulis mengadakan survey pada perusahaan penerbitan kamus terkenal  di Jepang yaitu Iwanami Shoten dan Shogakkan. Dan memang aku bisa bayangkan sulitnya membuat kamus, yang sebetulnya tidak bisa hanya dipegang oleh satu orang. Harus dilakukan satu tim.

Dalam film kekuatan tim, passion mereka dan bumbu-bumbu cerita cinta Majime dengan Kaguya membuat film ini menarik. TAPI mungkin hanya dianggap menarik oleh mereka yang bisa mengerti proses penulisan, mereka yang berkecimpung dalam dunia penulisan/penerbitan dan penelitian bahasa. Bagi mereka yang tidak mempunyai perhatian pada proses penulisan pasti akan mengecap film ini “suram.  Aku sendiri menonton film ini menjadi “sakit perut” membayangkan jika aku harus menjadi editor kamus … duh bekerja sambil duduk terus di dalam ruangan (yang dalam film itu kesannya gelaaaap sekali) dan harus mencari kalimat yang tepat sasaran, tanpa hiasan, yang bisa menerangkan kata yang dimaksud.

Hanya ada satu harapanku jika ada yang berminat menonton, (sebaiknya sih semua orang bisa menonton) yaitu pengertian bahwa pembuatan kamus itu sulit dan semoga pemakai kamus bisa menghargai kamus, terlebih kata-kata yang dikumpulkan dengan susah payah. Semoga kamus juga dapat membantu menghilangkan keraguan atau salah tafsir pemakai bahasa. LOH kok aku yang berharap sih hehehe? Mestinya FILM (atau penulis) yang berharap ya? Tapi sebagai seorang dosen bahasa, aku merasa senang ada sebuah film yang bisa menggambarkan pekerjaan penulisan, editorial dan penerbitan sebuah kamus. Aku memang sedikit dipaksa oleh Gen untuk menonton film ini (aku sendiri kan tidak begitu suka menonton film) karena menurutnya aku HARUS menonton 😀

Cerita ini mendapat penghargaan Piagam Toko Buku pada tahun 2012, dan difilmkan oleh sutradara Ishii Yuya pada tahun 2013, jadi memang masih baru. Tapi aku tidak sempat menonton di bioskop, sehingga aku menontonnya kemarin setelah kembali dari rumah mertua. Penasaran dengan penjelasan kata kanan yang dimuat di kamus itu? Jawabnya: “Jika menulis angka 10, maka angka o itulah kanan” ….. Penjelasan yang jauh lebih singkat dibanding dengan penjelasan dari Majime atau kamus lain yang memakai penjelasan “arah yang ditunjukkan jarum jam dari angka 1 sampai 5”  Tapi kalau menurutku ini masih ambigu karena angka 1 itu kan menit ke 5, padahal mulai menit pertama sudah ada di sebelah kanan hehehehe. Ssssttt aku juga penasaran cari di KBBI penjelasan kanan adalah sbb: ka·nan n 1 arah, pihak, atau sisi bagian badan kita yg tidak berisi jantung; 

Kalau kamu bagaimana menjelaskan kata “kanan”? bisa menjelaskannya? 

(Aku beruntung masih bisa menjawab pertanyaan Kai selama ini:
“Mama, elevator itu bagaimana cara kerjanya?”
“Mama, gelas itu terbuat dari apa?”
“Mama, kenapa batu itu bisa mengkilap? Bagaimana supaya bisa mengkilap?”
“Mama huruf hiragana ro itu bagaimana?”
dst dst dst.)

Resolusi

3 Jan

Aku memang membaca ada beberapa teman yang membuat resolusi untuk tahun baru, 2014 ini.  Aku sendiri tidak, atau tepatnya tidak pernah membuat resolusi. Paling-paling hanya rencana, yang memang kebanyakan tinggal rencana saja. Kadang aku juga bingung dengan arti kata resolusi itu sendiri. Kalau melihat di KBBI, resolusi itu :

/résolusi/ n putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tt suatu hal:rapat akhirnya mengeluarkan suatu — yg akan diajukan kpd pemerintah

Aduh kok serem benar ya artinya :D. Tapi aku membaca dari situs bahasa Jepang, sebuah angket yang menarik, dan di situ memakai kata houfu 抱負 yang kalau dicari terjemahan bahasa Inggrisnya adalah resolution. Resolusi kan mestinya pengindonesiaan dari resolution ya? 😉

Nah yang ditampilkan pada angket tersebut ada 5 pilihan. Menurut jawaban pada saat aku tulis ini yang terbanyak memilih :

1. Sedapat mungkin berolahraga (1164orang)
2. Memperbaiki sifat seperti tidak marah dan bersikap baik pada orang lain (802orang)
3. Belajar sesuatu yang baru atau memperdalam pengetahuan baru. (495orang)
4. Memperbaiki kebiasaan makan, atau berhenti minum alkohol/merokok (476orang)
5. Mencari partner (pacar/kenalan) dan atau menikah (476orang)
(Urutannya mungkin saja berubah besok-besok)

Kebetulan apa yang aku pilih (tanpa pikir panjang) itu nomor 1. Hmmm ternyata banyak juga orang Jepang yang merasa dirinya “kurang sehat” ya hehehe. Kalau kamu, pilih nomor berapa sebagai resolusi tahun ini? Atau mungkin sudah punya resolusi sendiri?

Happy New Year 2014

2 Jan

deMiyashita mengucapkan:

Happy New Year 2014

Fotonya kami ambil di sebuah tempat wisata: Miho no Matsubara yang terletak di Shizuoka. Konon dari tempat itu kita bisa melihat gunung Fuji dengan jelas. Kebetulan hari Minggu tanggal 22 Desember lalu itu hari cerah sehingga kami memutuskan untuk pergi ke sana. Karena tidak ada (malu juga untuk minta tolong sih) orang yang bisa mengambilkan foto kami, seperti biasa kami meletakkan camera di atas tas dan pakai self timer. Hasilnya cukup memuaskan. Selain ucapan selamat tahun dari kami, aku sekaligus ingin menyampaikan laporan dari wordpress yang aku terima persis di pergantian tahun. Tahun 2013 aku cuma berhasil menulis 135 tulisan, semakin menurun dibanding tahun sebelumnya.

Laporan jumlah tulisan dan pengunjung.. masih jauh dari harapan 🙁

Judul tulisan yang dicari ternyata memang “menjurus”, seperti katanya mbak Monda. Tapi untunglah masih ada tulisan tahun 2013 yang masuk ranking. Kalau tidak…. berarti tulisan 2013 tidak begitu disukai, atau tidak populer kan?

Judul tulisan yang paling banyak dilirik

Dan situs referensi yang paling banyak ternyata Facebook, dan networkedblog (aplikasi FB). Selain itu juga satu-satunya blog pribadi yang banyak merefer ke TE adalah : ourwedjournal.blogspot.com yaitu kepunya Ms Tya, teman baruku yang sedang belajar di Chiba. Aku bertemu Tya tanggal 21 Desember lalu di gereja Meguro, setelah menjadi temannya di twitter. Terima kasih banyak ya Tya.

referal sites
Bertemu Tya sekeluarga. Terima kasih sudah datang jauh-jauh dari Chiba

Selain itu aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada pembaca TE terutama kepada Arman, Lydia, Niee, Lia dan mas NH18 sebagai pemberi komentar terbanyak selama tahun 2013.

Pemberi komentar terbanyak di tahun 2013

Performance T.E tahun 2013 sebetulnya tidak bagus karena sempat pindah server hosting, dan mungkin karena aku membuat mirror site yang plek sama isinya PageRank googlenya turun dari 3 menjadi 2. Atau mungkin ini akibat aku juga semakin jarang blogwalking. Entahlah. Tapi memang aku berusaha meyakinkan diri bahwa PR dan segala penilaian itu tidak terlalu berpengaruh pada semangat menulis blog tapi ternyata kenyataannya  itu tak bisa ditampik bahwa membuat aku cukup menjadi sedih. Semoga aku masih bisa menemukan waktu untuk menulis terus di TE selama tahun 2014 yang baru saja aku masuki ini. Semangat!! (Pengingat pada diri sendiri).

Selamat Datang tahun 2014, Tahun KUDA ~~~