Menjelang hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 63 ini, seperti juga tahun-tahun yang telah lewat, banyak kita jumpai rangkaian bendera kita yang terpampang di sepanjang jalan. Baik untuk dijual maupun sudah merupakan hiasan daerah tertentu. Entah karena saya jarang pergi ke jalan-jalan protokol atau ke tempat keramaian….saya menganggap 17-an tahun ini sepertinya tidak begitu ramai. Mungkin juga karena jatuh pada hari Minggu, dan seninnya dilibrkan sehingga merupakan kesempatan bagi mereka yang bisa mengambil cuti panjang untuk pergi berlibur atau mudik.
Merah dan Putih memang warna bendera kita ini dikatakan sebagai lambang kesucian dan keberanian. Tapi saya pernah membaca dalam otobiografi Soekarno, “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” oleh Cindy Adam, suatu keterangan lain. Hari ini saya baca kembali dengan cara scanning baca cepat dan menemukan keterangan itu di halaman 338 sebagai berikut:
Warna bendera kami tidak diputuskan secara serampangan saja untuk revolusi. Ia telah mulai dari bibit pertama dari penjelmaan manusia. Getih seorang perempuan merah. Getah dari seorang laki-laki putih. Sang Surya berwana merah. Sang Tjandra berwarna putih. Warna tanah kami merah. Getah dari tumbuh-tumbuhan putih. Sebelum adanya agama yang teratur, makia makhluk Tuhan menyembah benda-benda alam ini. Demikianlah warna itu dipusakakan turun temurun sepanjang masa sampai pada peradaban kita sekrang. Merah adalah lambang keberanian, Putih lambang kesucian. Dalam ilmu kebatinan Jawa sesajennya terdiri dari bubur merah dan bubur putih. Bendera kami telah ada semenjak 6000 tahun yang lalu.
Puas juga mencari pernyataan ini dan menemukannya. Karena saya membaca buku ini sebetulnya sudah sejak SMP, sehingga lupa pada kata-kata persisnya. Dan menemukannya di halaman 338 dalam 2 jam sungguh menyita konsentrasi yang besar. Satu hal lagi yang saya ingat bahwa saya baca di dalam buku ini adalah pernyataan Soekarno tentang guling,
Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu-satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantak sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami hanya untuk dirangkul sepanjang malam (otobiografi, p2.)
Pagi ini aku mengikuti misa jam 7:30 pagi, di gereja Blok B karena koor Cavido tugas menyanyi. Jam 7 lebih sedikit aku sudah sampai, dan bertemu dnegan Vitri, Mas Atok dan Marianti. Langsung masuk ke dalam, dan sedikit-demi-sedikit anggota koor lainnya mulai datang. Banyak anggota yang muda dan tak kukenal lagi. Kemudian sambil menunggu wkatu aku bolak-balik map lagu…. hmm begini nih kalau tanpa latihan langsung ikut. Sebetulnya aku alto, tapi tanpa latihan tentu saja tidak bisa. Maka aku pilih tempat perbatasan alto dan sopran. Kalau tidak tahu not altonya, join sopran aja ahhh.
Ternyata memang aku tidak bisa nyanyi parts altonya, karena aransemennya baru. Dibuka dengan Satu Nusa Satu Bangsa, lalu lagu “Indah tanahku Indonesia”, Indonesia Pusaka dan terakhir Hari Merdeka. Aransemen lagu Indonesia Pusakanya yang dikerjakan mas Atok bagus, tapi dasar aku tidak bisa menyanyi lagu ini tanpa menangis…. tempat berlindung di hari tua…. Mungkin ini juga yang menyebabkan aku tidak mau asimilasi.
Misanya dipimpin pastor Bertens…pastor ini termasuk pastor tua yang sudah lama melayani di paroki Blok B. Gaya bicaranya yang khas masih terdengar… membuat aku merasa memang kangen suasana seperti ini. Setiap minggu sibuk dengan latihan Cavido, dan gereja memang dekat rumahku. Kayaknya aku emang harus berusaha nih untuk lebih rajin lagi ke Meguro. Oh ya…. padahal begitu aku pulang harus buat rapat KMKI untuk acara barbeque tanggal 23 September…….
Sesudah misa, mulai jam 8:40 diadakan upacara penaikan bendera oleh Mudika. Kasian juga sih sedikit yang datang, so aku potret aja mereka. Jadi ingat juga aku sering jadi petugas bendera. Dan seringnya bagian tengah yang membuka bendera…. musti ingat-ingat cara melipat bendera sehingga bendera bisa membuka dengan bagus, tidak melilit. Kenapa ya aku selalu ingat Agnes, yang berasal dari Flores. Sepertinya dia selalu ada di samping aku, entah dia komandan pramuka aku wakil v.v. atau dia selalu ada di samping aku dalam pengibar bendera. Kemana ya dia? Dede selalu panggil dia dengan Agnes talang betutu, karena memang model rambutnya berponi seperti talang air hehehe.
Hari ini panas… sarapan sate ayam depan RSPP, lalu pulang… sorenya belanja deh dan mulai packing. Maunya besok ngga mikirin koper lagi, tapi mana bisa ya….. Biasanya last minutes baru teringat perlu ini itu. Seharusnya aku tulis, tapi…. malas dan sengaja tidak mau ingat-ingat.
MERDEKA!!!~
atau mati eh tidak merdeka….
Ah, cuplikan bukunya keren banget. Jadi pingin baca nih. Kayaknya dulu Papi pernah punya, tapi sekarang kemana ya? Waduh, wajib cari nih!
Sepertinya masih dijual kok versi cetakan barunya. Karena saya punya yang baru di Jepang, di sini yang sudah kuning dengan ejaan lama.
Selamat hari kemerdekaan ke 63!
saya sudah mulai ketagihan membaca blog mbak.
Tadi sore baca, dan baca sekarang juga karena penasaran ada nggak posting yang baru.
Ternyata ada tuh!
hehehe…kan saya udah lama kasih tahunya. oh ya terima kasih smsnya ya. cukup pusing juga baca sms kamu…. singkatan semua. nanti sesudah kembali ke tokyo mungkin bisa tulis lebih banyak lagi. asal jangan bosan ya.
Saya pengen baca Penyambung lidah rakyat. Bagus bgt katanya. Masih ada ga ya bukunya?
hmmm bagus banget? Ya dengan baca itu kamu bisa tahu isi perutnya Bung Karno! Saya baru SMP saja terkagum-kagum BUT he is really a womaniser, jadi kalau penganut feminisme mungkin akan muak bacanya heheh. Tapi untung aku bukan feminisme karena memang wanita kodratnya seperti itu, jangan mau melebihi pria…karena sebetulnya juga tidak perlu.Kayaknya sih masih ada… coba mulai cari di bookshop online deh. Agak mahal sih bukunya.
Saya browsing dan menemukan ebook dalam pdf, bisa download dgn membayar 50.000 rupiah, murah tuh. silakan dicoba: http://panjalu.multiply.com/journal/item/107/Bung_Karno_PENYAMBUNG_LIDAH_RAKYAT
merdekaaaaaaaaaa
idem heheheh
iya..jadi pengen baca juga kaya yg lain. Masih kangen jadi warga Indo ya mbk,,dengan segala “kehangatannya” semoga mbk Imel ga’ lupa klo aslinya emang Indo…tetep baik hati….
Baca dong… baca dengan mata terbuka jangan hanya karena mengagung-agungkan sosoknya. Untuk jaman itu memang diperlukan sekali Bung Karno. Saya pernah baca tulisannya yang Sarinah kalau tidak salah… nah itu agak kacau, alias tidak sistematis dan banyak kutipan tapi dasar. Tapi jujur saya kagum pada orang yang bisa menguasai banyak bahasa… Ingin seperti dia. Beres dewi….aku luar dalam masih tetap Indonesia.
“tempat berlindung di hari tua…”
Bagi kita yang tinggal di Indonesia, syair ini tidak begitu bermakna.
Wong, kita pasti meninggal di sini.
Namun bagi orang yang tinggal di luar negeri seperti Ime-chan, pasti syair ini mengandung makna yang luar biasa dahsyat hingga bisa menggoncang seluruh syaraf dan sumsum. Adanya pilihan untuk menghabiskan hari tua di sini atau di sana, membuat keputusan apapun akan menimbulkan keharuan luar biasa.
Merdeka….
Bukan soal meninggalnya saja Bang. Tapi melewatkan hari tua. Tinggal di Indonesia masih lebih manusiawi daripada tinggal di belahan manapun di dunia ini. Karena kita bagaimana pun juga tetap orang asing.
Kebayang Emiko nyanyi Alto …
tapi pindah-pindah ke Sopran …
hehehe
ini judulnya kurang latihan … hehehe
Ok hap-hap …
Kita mulai ibu-ibuuuu …
Ayo .. ayo … ayo …
hehee
makanya kakakkkkk ajarin aku nyanyi dunk…. tapi jangan diajarin BAZZ hehehhehe
Waduh tuh buku keren banget pasti.. Bisa ngelengkapin tulisan gue tentang merah-putih.. Hehe..
hmmm bagian merah-putihnya kayaknya cuman itu sih, but kalau mau tahu pemikiran Bung Karno silakan dibaca.
Pingback: LPLPX.COM » » What’s your Independence Day?
saya lagi cari partitur lagu “Indah tanahku Indonesia”
lagu ini terngiang2 kembali, dari jaman SD
kalau ada info mohon berkenan share..
thx