Sore tadi saya sempat berbicara di telepon dengan teman di Jakarta. Sama seperti bu Enny, dia mengkhawatirkan kondisi Riku dan Kai waktu gempa terjadi. Karena memang banyak yang tahu bahwa biasanya hari Jumat aku pergi mengajar, Kai dititipkan ke penitipan dan Riku ke sekolah. Tapi waktu gempa tanggal 11 Maret itu terjadi, aku sedang libur musim semi sehingga berada di rumah, Kai “bolos” penitipan dan Riku sudah pulang dari sekolah. Selain kondisi menguntungkan seperti itu yang memungkinan aku dan anak-anak bersama menghadapi gempa, aku memang berterima kasih sekali bahwa kedua anakku sudah tahu bahwa jika terjadi gempa mereka harus masuk ke bawah meja. Ini adalah usaha yang harus dilakukan pertama kali jika merasakan gempa. Find a shelter!
Semua penitipan, TK, SD pasti mengadakan latihan penyelamatan diri jika terjadi gempa bumi atau kebakaran paling sedikit sebulan sekali. Bayangkan saja anak-anak bayi, balita s/d usia 5 tahun yang berada di penitipan (Play Group) ini berlatih penyelamatan/pengungsian hinan kunren 避難訓練. Yang pasti mereka dilatih untuk “mendengar” gurunya. Waktu kemarin aku memesan foto-foto Kai di penitipannya, aku baru tahu juga bahwa anak-anak balita ini juga mendapat “pertunjukan” pemadaman api oleh pegawai pemadam kebakaran. Superb!
Dan latihan penyelamatan ini terpakai waktu terjadi gempa Tohoku, 2 minggu yang lalu. Dalam berita TV aku mengetahui bahwa di daerah yang kena tsunami, siswa-siswa SMP menggandeng murid-murid SD bersama-sama berlari ke tempat yang lebih tinggi yang ditentukan pada waktu latihan. Tapi waktu sampai di tempat itu, murid-murid SMP melihat bahwa tempat itu tidak layak dipakai sebagai tempat mengungsi, jadi mereka pergi lagi ke tempat lain yang lebih tinggi. Dan…. persis mereka meninggalkan tempat itu, tsunami sudah sampai ke tempat yang ditunjuk itu. Seandainya mereka tetap mengikuti manual, dan mengungsi ke tempat itu tanpa lari ke tempat yang lebih tinggi, maka sudah bisa dipastikan nyawa mereka tak tertolong. Ah senangnya kakak-kakak SMP itu bisa mengambil inisiatif sendiri. Miracle.
Namun, meskipun demikian, banyak juga korban murid SD/SMP yang tidak sempat menyelamatkan diri, karena memang waktu itu pas waktu pulang sekolah. Mereka terbawa tsunami ketika berjalan pulang ke rumah. Menurut Harian Asahi, korban jiwa pelajar/anak sekolah di 3 Prefektur(Iwate, Miyagi, Fukushima) sudah tercatat sebanyak 184 orang, dan 885 orang masih tidak jelas nasibnya. Sementara jumlah korban jiwa guru di ketiga prefektur tsb, tercatat 14 orang, ditambah 56 orang yg masih hilang. Menyedihkan sekali melihat upacara kelulusan sekolah-sekolah itu di pengungsian. Ada anak yang hilang, sehingga ayahnya mewakili. Dan ada anak yang tidak ada seorangpun bisa mewakili (karena satu keluarga hanyut) dan diwakili oleh foto saja. So sad!
Tapi sekolah juga merupakan tempat “pertemuan” bagi mereka yang tercerai berai. Keluarga yang kehilangan sanak keluarganya bisa mencari keberadaan sanak keluarganya di SD/SMP yang dipakai sebagai tempat pengungsian. Seandainya kami harus mengungsi dari apartemenku, kami sudah tahu harus berkumpul di SD terdekat, yaitu SD nya Riku yang sekarang. Seperti yang pernah kutulis, di gudang SD itu menyimpan barang keperluan dalam pengungsian, termasuk WC darurat. Bisa baca di Supaya Korban Berkurang. Pada hari kelulusan itu juga pertama kali para murid bertemu beberapa temannya yang mengungsi ke tempat lain. Pertemuan mereka yang ditayangkan di TV bisa membuat kami yang menonton merasa lega. Relief!
Jumlah sekolah yg rusak akibat gempa/tsunami di 3 Prefektur tercapai sampai 1,722. Jika ditambah kerusakan sekolah akibat gempa bumi di Prefektur Nagano, dan Prefektur Shizuoka, jumlah total di 24 prefektur konon tercapai sampai 6,253. Sementara sebanyak 436 sekolah masih dipergunakan sebagai tempat pengungsian di 8 prefektur.
Pendidikan pasca gempa tetap dilaksanakan terus. Riku memang sejak tanggal 25 Maret lalu memasuki libur musim semi. Tahun ajaran baru akan dimulai tanggal 6 April untuk SD, dan untuk TK tanggal 8 April. Seharusnya aku juga mulai mengajar di universitas Waseda tanggal 7 April, tapi akhir minggu lalu, aku mendapat email pemberitahuan bahwa kuliah semester genap di dua universitas tempat aku mengajar diundur sampai akhir April (kira-kira undur 1 bulan). Alasannya? Pemadaman listrik bergilir yang berimbas pada transportasi, juga akan berimbas ke masalah internal seperti penyediaan kelas dan lain-lain. Gen yang juga bekerja di universitas mengatakan, “Di universitas kami yang paling mengganggu jika terjadi pemadaman listrik adalah pemakaian WC. Ada beberapa WC yang memakai sensor untuk flush, dan itu berarti butuh listrik. Belum lagi pompa distribusi air juga memakai listrik. Jadi jika listrik mati, payah deh….”
Well, Jepang memang sudah begitu modern, sehingga jika ada satu yang tidak bisa terpenuhi, semua akan tertatih-tatih untuk menyesuaikan lagi. Untuk hal ini mungkin Indonesia lebih canggih. Lebih canggih karena tidak modern 😀 Yang pasti Indonesia tidak perlu listrik untuk buang hajat di kakus hehehe….
oh ya…. posting ini adalah posting yang ke 900!!! yipppieee….
aku jg dappat buku Emergency Manual: instruksi saat terjadi gempa, kebakaran, angin besar, dan tsunami.. Kupelajari baik2 karna kita tidak tau kapan & di mana kejadian itu akan terjadi.
Anak SMP yg membantu anak SD itu luar biasa ya kak… Berkat Tuhan untukmu, Nak…
Sy yg katrok ini juga sering terkagum2 kak.. Waktu masuk toilet di center sy cari tombol lampu. Belum ketemu tombolnya, lampunya sudah menyala… Hehehe…rupanya pake sensor otomatis… :D. Flushnya juga otomatis…untung ada gambarnya, jadi tau mana yg harus dipencet, soalnya tulisannya gk bisa dibaca… hehehe…. 😀
Aku terharu membaca acara kelulusan sekolah yang tidak dihadiri orang tua, atau siswanya hanya diwakili photo. Tapi acara kelulusan juga tempat berkumpul dengan mengetahui teman-teman yang selamat, wah acara kelulusan tahun ini pasti penuh keharuan dan berbeda dari acara-acara kelulusan sebelumnya disana yaa.
memang kita tuh kudu dilatih agar terbiasa….masalahnya sebagian besar orang Indonesia jarang mau mengikuti manual ataupun petunjuk. Mereka masih lebih senang emnggunakan insting mereka. Kalau orang2 desa yang dekat dengan alam, saya percaya intuisi mereka masih ok, tapi kalau orang yg tinggal di kota hukumnya mesti menjadi wajib….
Masalah kalau Indonesia lebih canggih saya juga setuju banget, contoh: kendaraan Bemo, ditempat produksinya aka Jepang (ya khan?) kendaraan iti sudah lama tidak di produksi…tapi Indonesia masih ada dan tetep beroperasi dengan bail2 aja…
menyedihkan ya, apalagi gempa di jepang sudah bukan hal baru, seteleh tsunami beberapa waktu yang lalu saja, gempa terjadi dan susul menyusul, yah, semoga jepang cepat kembali pulih, apalagi yang di reaktor nuklir itu…
Imel,
Antara sedih, terharu, dan juga ingin senyum baca tulisanmu kali ini.
Saya termasuk kikrik (istilah bahasa Jawa, dalam hal kebersihan maupun makanan), gara-gara alm ibu yang over protektif. Akibatnya, saya susah BAB kalau tempatnya tak memadai. Juga mesti ganti baju tiap hari.
Namun pelatihan outbound (tiap mau menjadi senior manager harus ikut ini) selama 5 hari di daerah yang jauh dari mana-mana, mesti memanggul ransel seberat 40 kg, padahal berat badanku saat itu 44 kg…bikin tenda sendiri menjelang malam….juga jika BAB, seperti kucing…pinjam garu, buat lubang dan langsung nongkrong disitu, terus tutup lagi dengan tanah jika udah selesai…badan dibersihkan dengan tisueyang dibasahi air aqua. Hari terakhir mesti memanjat tebing, dalam kondisi sulit makan (nggak doyan makan), tak mandi (lha cuma di lap badan pakai tisu basah)…badan lemas dan nyaris tak bisa naik. Waduhh…saat malam terakhir, yang harus tidur sendirian, dengan hanya diberi tenda kecil..rasanya nikmat banget.
Terbayang bagaimana rasanya di pengungsian, tapi pengalaman itu membuatku bisa bepergian kemana saja tanpa takut, dan bisa menggunakan air seminimal mungkin, bisa BAB dimana saja…bayangkan beberapa temanku tak BAB selama seminggu…terbayang rasa badannya seperti apa. Kondisi ini membuat saya mendorong anak-anak untuk suka jalan-jalan, bersama teman-teman nya dengan bawaan minimal, dan bisa tidur dimana saja…agar nanti lebih bisa menyesuaikan dibanding saya.
Begitu dengar gempa, nomor satu, yang saya pikirkan adalah Riku dan Kai….dan betapa tenangnya setelah tahu mereka berdua dan Imel berada di rumah…..saya betul2 ikut senang mendengarnya.
whuaaaaa…
keren banget sih anak anak SMP gitu ya mbaaaaa…
benar benar udah bisa diserahi tanggung jawab ya mereka ituh…
tambah senang aja ama dorama jepang deh…*lho*
Ya begitulah akibat terlalu canggih ya mbaaa…
ke toilet aja gak boleh mati lampu…
Mungkin harus bawa bekal air buat nyiram kali ya mba…hihihi
*komen gak penting*
Kadang insting dan intuisi diperlukan untuk melengkapi & menyempurnakan latihan manual Bu…
Termasuk dalam nulis komentar inipun, saya nggak sekedar gunakan ilmu manual tapi pakai intuisi… 😀
Memang selalu ada sisi untung dan ruginya menjadi maju dan modern ya mbak. Tdk enaknya tentu saja kalau WC flushnya musti pake listrik. Duh bisa berabe.
Tapi Indonesia juga musti belajar banyak dari Jepang tentang manual booknya menghadapi gempa karena setiap orang harus belajar dari bencana orang lain.
nyesek membayangkan upacara kelulusan yang biasanya penuh kegembiraan, harus diwakilkan. apalagi dengan foto *berkaca-kaca*
Aku salut sama anak smp yang menggandeng adik sdnya….salut sekali