Empat Telepon

16 Mar

Tanggal 14 Maret 2011. White Day di Jepang, tapi tentu saja gaungnya dikalahkan berita Gempa dan Tsunami yang diberi nama oleh pemerintah Jepang sebagai : Tohoku Chihou Taiheiyou Oki Shinsai (disingkat Gempa Bumi Tohoku). White Day adalah hari “pembalasan” dari Hari Valentine. Kalau di Jepang wanita memberikan coklat kepada pria yang disukai pada hari valentine, dan jika si pria OK, dia akan memberikan sesuatu pada hari White Day ini.

Pagi sekitar jam 8, aku mendapat telepon dari tempat penitipan Kai, telepon pertama. Gurunya mengatakan, “Maaf, sehubungan dengan Gempa Tohoku dan ada pemadaman listrik dan pembatasan transportasi, maka kami guru-guru tidka bisa memberikan pelayanan penuh. Jika orang tua bisa menjaga anak-anaknya sendiri,  kami mohon untuk tetap di rumah”. Lalu kujawab, “Tentu saja bisa. Untuk sementara waktu Kai akan libur terus. Terima kasih banyak.”  Aku akan lebih tenang jika Kai berada bersamaku terus, apalagi masih ada gempa-gempa susulan. Sebelum Riku pergi ke sekolahpun aku sudah katakan padanya, “Riku seandainya ada gempa besar. Ikuti perintah guru. Tinggal di sekolah dan mama akan jemput. Sekolah adalah pusat pengungsian. Jadi Riku tunggu mama di sana saja”. Riku memang masih terlihat trauma, sering menangis sendiri jika melihat berita-berita di TV.

Aku berdua Kai melewati pagi berdua. Kai memang masih kecil sehingga tidak begitu berpikir tentang gempa, dan bermain dengan asyiknya meskipun televisi menyiarkan berita-berita tentang gempa. (Tidak seperti kakaknya yang meminta untuk ganti chanel). Nah sekitar pukul 11 siang aku mendapat telepon lagi, telepon kedua. Orang di seberang sana mengatakan,
“Imelda sensei…..”
“Aaaaaaahhhh Watanabe san……. ”

Masih ingat Watanabe san? Yang aku ceritakan di “Belajar Terus Sampai Mati“. Mantan muridku itu sekarang berusia 95 tahun (April nanti 96 tahun). Sejak aku bertemu beliau Juni 2009, aku belum bertemu lagi. Aku dengar dari mantan murid yang lain, Watanabe san jatuh pertengahan tahun lalu dan sudah berhenti kursus. Aku mengirim kartu tahun baru 2011, tapi belum ada balasan dari beliau. Aku hanya berharap.. kabar apakah dia masih hidup atau….

tanpa aku sadari air mata mengalir,
“Watanabe san…. senang sekali mendengar suaranya”
“Saya cuma mau tanya sensei bagaimana waktu gempa kemarin. Daijobu? Riku dan Kai bagaimana?”

dan aku mengatakan kami baik-baik saja…. dan sangat berterima kasih atas perhatiannya. Dan mohon maaf kok bukan aku yang meneleponnya, tapi malah beliau yang meneleponku. Aku benar-benar terharu. Ah suaranya masih tetap bersemangat, meskipun memang sudah jelas beliau sudah  mudah capek. Telepon kedua yang begitu mengesankan.

Barang-barang yang berjatuhan dari rak rumahku

Telepon ketiga, urusan bisnis 😀 Jadi sebelum terjadi gempa aku sedang menyusun jadwal untuk rekaman perbaikan DVD Yamaha yang pernah aku buat 2 tahun yang lalu. Produser penghubung ini bernama Alex, orang Rusia sehingga aku harus berbahasa Inggris dengannya. Aku tidak menyangka dia akan telepon aku hari Senin itu. Karena sebetulnya sejam sebelum terjadi Gempa Tohoku pukul 14:44 itu dia meneleponku tapi aku tidak dengar. Sesudah terjadi gempa aku baru tahu ada miss called darinya, dan mendengar pesannya. Dia tanya apakah aku bisa tanggal 17 Maret (Kamis). Tentu saja aku mau menolak, apalagi kondiri transportasi Tokyo yang belum pasti, pemadaman listrik terjadwal apalagi masalah nuklir itu. Aku katakan,

“Oh please Alex not in this week. If you can arrange then maybe after 21st will be OK with me. But please set it in the morning, because I have to fetch my children and so on. ”
“Yes I know. I will do my best. Actually I cant believe they set on 17th and still asking me again even there was casualties from the earthquake. I will contact you again.”

Jadi kami berdua yang orang asing ini terheran-heran dengan perusahaan Yamaha yang masih “ngotot” mengadakan rekaman buru-buru tanpa memikirkan kemungkinan kekacauan akibat gempa. Bayangkan misalnya pas aku pergi ke studio itu keretanya masih belum teratur. Kapan aku bisa sampai rumah? Kami berdua ngomel…”dasar orang Jepang” hihihi. Ya kerja tetap kerja.

Dan telepon yang terakhir, telepon keempat sekitar pukul 8:30 malam.

“Ime chan… ini Ryoko”

“Ah Ryoko san…………..” ntah aku bicara apa saja saat pertama dengar suaranya. Dia juga berkata bahwa lega sudah mendengar suara. Hari Senin sore itu3x24 jam setelah gempa, telepon dan listrik menyala kembali. Dia juga bercerita bahwa dia dan Taku (adik Gen) sudah pergi jalan-jalan makan di restoran untuk menghibur diri setelah terkurung di apartemennya. Setelah gempa sampai Minggu, Taku harus bekerja terus di penerbitan surat kabar terbesar di Tohoku.

“Memang benar apa yang dikatakan orang-orang tentang trauma PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Saya mulai merasakan sekarang. Waktu gempa kami harus berusaha sendiri untuk tetap hidup, tanpa tahu keadaan sekeliling. Dalam gelap dunia hanya dunia kami. Tapi begitu keluar lalu melihat kerusakan di luar, apalagi ke kantor lurah dan menonton TV, melihat tayangan tsunami….. kami benar-benar kaget. Tidak menyangka bahwa ada yang LEBIH parah dari kami sampai segitunya. Penderitaan kami tidak ada apa-apanya. Kami harus bersyukur. ”

“Ya memang mungkin setelah ini kamu akan capek, atau sakit karena beban berat seakan terambil. Harus berusaha juga menghibur diri sendiri, tapi jangan ditahan. Kalau mau bicara silakan telepon saja.”

“Iya , tadi juga anak kami (2 th)  melihat tempat-tempat yang rusak itu dan bilang, Mama ini rusak karena gempa ya?. Kemarin kami juga sempat pergi ke gereja dan mengetahui bahwa pastor kami terbawa tsunami. Ada beberapa umat juga yang tinggal di pantai belum ditemukan. Kami merasa sedih”

“Ya aku tahu pasti sedih mengetahui orang-orang yang kita kenal sudah tiada. Tapi kami di sini semua merasa lega karena kamu dan suamimu selamat. Ada sedih ada lega. Bukan gembir, karena tidak ada yang gembira akan kematian orang lain, seberapa tidak kenalnya dia. Tapi ya, mati dan hidup di tangan Tuhan. Buktinya kamu masih bisa hidup dan tertolong. Biasanya kan Taku tidak ada di rumah jam segitu.”

“Taku waktu itu sudah akan berangkat ke kantor (karena dia sering shift malam, jadi pas kena shift malam). Karena bapak saya ulang tahun, maka saya minta Taku bicara di telepon dulu dengan bapak saya. Sesudah selesai, kami berjalan menuju pintu apartemen. Di lorong menuju pintu ada semacam ruang bulat yang cukup besar. Pas kami berada di situ gempa terjadi, sehingga kami bertiga hanya bisa meringkuk di situ. Tapi ternyata tempat itu adalah tempat yang paling aman. Di kamar lain semua lemari dan barang-barang sudah berjatuhan kemana-mana. Seandainya Taku berangkat 3 menit saja lebih cepat dia pasti ada dalam lift dan tidak bisa keluar. Dan kami tidak bisa saling berhubungan…..”

“Tuhan sudah mengaturnya ya. Tuhan melindungi kamu, kita semua. Aku juga bersyukur bahwa aku cepat memberitahu keadaan kami ke orang tua di Jakarta. Kamu juga langsung kirim email kepada kami sehingga kami tahu kamu juga aman, dan bertiga bersama. Kabar itu saja sangat melegakan, dan kami semua percaya kalian pasti bisa mengatasi kehidupan selanjutnya meskipun tidak ada kabar. ”

“Untung saja persediaan makanan dan air banyak. Jadi kami tidak kekurangan. Senter juga penting sekali. Karena di rumah juga ada selimut dan bisa berusaha menghangatkan badan kami.”

Kemudian aku juga bisa berbicara dengan Taku, suaminya… Dia juga terdengar terharu dan menahan tangis. Karena dia pernah bertugas di  daerah-daerah yang disapu tsunami, Ishinomaki dan Onagawa. Dia sangat shock mengetahui tsunami itu yang menghapus semua kenangannya, tempat kerjanya dulu, rumahnya dulu, dan teman-teman, kenalannya di sana belum bisa dihubungi…..

Empat telepon hari Senin itu, masing-masing berbeda tema dan kadarnya, tapi sangat berarti dalam kehidupanku.

Meteran gas yang langsung otomatis berhenti waktu gempa besar. Setelah gempa selesai bisa nyalakan lagi sendiri, dengan menekan tombol yang ada.