Supaya korban berkurang

2 Sep

Disaster Prevention Day adalah bahasa Inggrisnya Bousai no hi 防災の日 dan kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi hari pencegahan bencana. Wait! Bencana ALAM tidak bisa dicegah, tapi KORBAN bisa diperkecil, dengan segala macam pengetahuan dan persiapan/kesiapan kita menghadapi bencana itu. Jadi yang lebih tepat adalah Pengurangan Korban Bencana.

Jepang memang negara Gempa. Tidak bisa diganggu gugat lagi. Dan orang Jepang sudah mengerti hal itu sejak lahir. Karena kesadaran itu pulalah mungkin orang Jepang “halus” hatinya, menghargai seni budaya dan interaksi dengan manusia. Bagaimana sih perasaan orang yang harus selalu “alert”, pasti lebih binkan, lebih perasa. Yah, ini sih menurut aku saja, tanpa ada penelitian yang lebih mendalam (dan pastinya bukan karena “gempa” ini saja yang membuat manusia Jepang seperti ini).

Tanggal 1 September ditetapkan sebagai hari pencegahan korban bencana, karena 87 tahun yang lalu telah terjadi Gempa Bumi Besar Kanto yang memporakporandakan Tokyo. Oleh karena itu setiap tanggal 1 September kami diingatkan kembali akan dampak gempa bumi, dan biasanya menjelang tanggal 1 September ini dimana-mana diadakan pameran/latihan/kegiatan yang berkaitan dengan bencana.

Jadi kemarin pukul 13:40 aku harus ke SD Riku untuk melakukan latihan penyerahan murid kepada orang tua/wali jika terjadi bencana hikiwatasu kunren 引き渡す訓練. Jika terjadi bencana apapun, murid berada dalam pengawasan dan perlindungan sekolah. Untuk itu,  murid hanya akan diperbolehkan pulang jika orang tua atau wali datang menjemput. Jika tidak, maka murid akan tinggal terus di sekolah sampai ada komunikasi dari/ ke orang tua. Pihak sekolah hanya akan menyerahkan murid kepada orang yang namanya tercantum di daftar “hubungan darurat”, sehingga jika ada orang lain yang tidak tercantum mau menjemput anak itu, tidak akan diserahkan. Tentu ini juga mencegah adanya penculikan. Pokoknya murid benar-benar merupakan tanggung jawab pihak sekolah.

Lalu bagaimana seandainya murid itu tidak dijemput-jemput. Jangan takut, di sekolah tersedia makanan dan minuman, juga peralatan tidur. Karena pada dasarnya sekolah negeri merupakan tempat pengungsian kami. Kami juga jika berada dalam keadaan harus mengungsi, kami akan mengungsi ke SD Riku, sebagai sekolah negeri (pemda) yang terdekat. Karena itulah perlu sekali mengenal masyarakat sekitar kami, karena kami akan hidup bersama dengan mereka jika terjadi apa-apa.

Untuk pengenalan masyarakat juga, pada hari Sabtu yang lalu, tgl 28 Agustus, di sekolah Riku diadakan Festival Bousai. Di lapangan sekolah mobil pemadam kebakaran termasuk yang jenis bertangga tinggi (hashigo-sha はしご車) diparkir. Dalam dua kali kesempatan 40 anak bisa menaiki tangga dari mobil tersebut dan “mencapai angkasa”. Bayangkan tinggi tangganya saja melebihi tinggi sekolah mereka. Suatu pengalaman yang jarang ada, sehingga Riku langsung antri supaya dapat menaikinya. (Sayang sekali orang dewasa tidak mendapat kesempatan itu…hiks…kadang… iri deh dengan anak-anak karena boleh mengalami hal-hal yang jarang bisa dialami)

Selain menaiki tangga mobil pemadam kebakaran, kami bisa mencoba memasuki ruangan berasap. Ceritanya dalam kebakaran, betapa kami tidak bisa melihat apa-apa dan dalam kepanikan, ruangan kecil rasanya sulit sekali untuk dilewati.Aku bersama Kai memasuki ruangan itu, dan memang benar-benar kami tidak bisa melihat apa-apa. Itu belum pakai bau asap, cuma pandangan terganggu. Kalau pakai asap, sudah pasti kami sulit bernafas juga. Hiiii ngeri.

Kemudian aku juga mencoba goncangan gempa berskala 7 Richter, dengan menaiki mobil simulasi. Well aku ternyata tidak mengetahui informasi terbaru. Yaitu ” First of all…. yang utama adalah melindungi diri sendiri dulu”. Dalam kepalaku masih informasi lama yang menyuruh mematikan api dan listrik selekas mungkin. Jadi waktu guncangan pertama terjadi, kami harus meringkuk, memasukkan kepala ke bawah meja untuk melindungi kepala dari kejatuhan benda-benda. Itu yang utama. Well, yang pasti kalau bersama anak-anak, memang itu yang selalu aku lakukan. MASUK MEJA! eh…meringkuk di bawah meja tepatnya.

Kami merasakan gempa bumi dari mobil simulasi ini. Pertama, berlindung di bawah meja

Selain mencoba “pengalaman” jika terjadi bencana ini, kami juga bisa melihat gudang penyimpanan barang-barang darurat yang memang disimpan di salah satu ruangan gedung SD itu. Popok untuk orang dewasa, selimut, makanan kering berupa crakers, peralatan mensteril air kolam renang sekolah menjadi air minum, wc darurat, kompor minyak tanah dan lain-lain.

WC darurat jika SD ini harus menampung pengungsi

Dan sebagai penutup Festival Bousai itu, diadakan pertunjukan oleh tokoh-tokoh pahlawan, seperti tokoh pemadam kebakaran (well, setiap “kebaikan” dilambangkan dengan satu tokoh karkater yang mudah diingat anak-anak). Selama pertunjukan juga diberikan beberapa kuis misalnya cara untuk menolong orang yang dehidrasi bagaimana…dsb. Tentu saja di akhir pertunjukan yang baik selalu menang.

antri untuk mendapatkan sticker. Yang mengharukan, Riku selalu ingat adiknya, dan mengajak adiknya kemanapun dia pergi

Dengan membawa hadiah “sticker” yang diserahkan langsung oleh si “Hero”, Kai dan Riku pulang dengan wajah berseri …dan merah karena panas. Sejak kami kembali ke Tokyo, suhu udara di Tokyo teruussss max 35-36 derajat. Mati deh gue.

senangnya kalau mendapat hadiah. Untuk acara anak-anak di sini selalu dibagikan hadiah. Dengan selembar sticker saja mereka sudah senang sekali.

32 Replies to “Supaya korban berkurang

  1. Di kantor juga ada alat simulasi gempa.. isinya cuma kursi, meja dan dinding saja.. alat itu bisa distel untuk gempa skala berapa, dan kita bisa liat seberapa keras goncangannya..

    Saya sendiri belum pernah coba, tapi sering lihat tamu2 menggunakan alat tersebut :D, yang mencoba biasanya tertawa2 geli, karena tau alat itu cuma simulasi..

    Tapi kalo mengalami kejadian yang sebenarnya, waduuhhh.. pasti ngeri sekali

    Ya, karena mengetahui itu hanya simulasi, jadi biasanya tertawa-tawa. Riku malah bilang, “Asyikkk”. Tapi pada kenyataannya tentu tidak selancar itu. Apalagi jika terjadi di luar rumah, di tempat yang kita tidak biasa. Pernah bayangin kalau terjadi di dalam supermarket atau stasiun bawah tanah? hiii…dan yang biasanya aku tulis adalah men-charge batere HP penuh-penuh, karena HP bisa menjadi pengganti senter.
    EM

  2. wouw….

    Sayang sekali di Indonesia belum ada pelatihan seperti itu, padahal Indonesia juga rawan gempa…semoga pemerintah semakin sadar ya.

    o iya mbak,kalau yang pernah aku baca, katanya sih melindukan kepala di bawah meja itu adalah cara yang salah. Ada yang namanya segitiga kehidupan, jadi seahrusnya kita berbaring di sebelah lemari, ataupun tempat tidur, karena jika amit-amit kalaupun ada yang roboh, bentukannya itu akan menyisakan sedikit ruangannya untuk kita.

    Tapi, siapa sih yang mau gempa ya, mbak…lebih baik kita berdoa semoga kita selalu di lindungi sama yang maha kuasa. Walaupun, berjaga-jaga dengan informasi dan pengetahuan yang luas, adalah wajib juga.

    Ya, yang belum dipikirkan pemerintah bagaimana koordinasi untuk penyelamatan warga. Bisa dipastikan semua berebut makanan dan terjadi chaos. Sedangkan di Jepang yang sudah terlatih aja masih terjadi celah “kejahatan” dengan memasuki rumah-rumah yang ditinggal mengungsi. Nah, kalau di indonesia? walahualam deh.

    Tentang segitiga aman itu, aku memang pernah baca, tapi belum ada pengumuman resmi dari pemerintah. Perlu diketahui, rumah orang Jepang jarang ada sofa/tempat tidur. Biasanya satu kamar bersih dari perabot, atau perabotnya bisa dilipat, karena kamar itu berfungsi sebagai kamar tamu dan kamar tidur sekaligus. Jadi boleh dikatakan sulit untuk menentukan segitiga aman itu. Lain dengan rumah-rumah di amerika yang memang mempunyai perabot fix.

    EM

  3. Memang kesadaran penanggulang masalah darurat di jepang sudah canggih dan selalu disosialisasikan jadi kalo ada apa-apa korban bisa diperkecil, btw dana untuk simulasi itu dari pemda setempat atau dari swadaya masyarakat setempat? Di Indonesia memang belum ada yg seperti ini kecuali di daerah-daerah rawan bencana, seperti penduduk di sekitar gunung berapi. Memang sih yg seperti ini sangat penting di simulasikan dan di imformasikan, akhir-akhir ini kan negeri kita rawan bencana, tidak hanya gempa saja, tsunami, banjir, tanah longsor,hingga kebakaran hutan, aku juga tahu cara-cara menyelamatkan dirin dari bencana dari baca majalah dan browsing internet bukan dari sosialisasi pemda setempat, kalo ada apa-apa ngga tahu mau pergi kemana? Wah, Mbak kalo anakku Rizky liat pahlawan superhero itu dia bakalan girang banget, maklum dia suka banget sama superhero dari Jepang spt Ultraman, Satria Baja Hitam. Biar anak-anak tertarik ikut acara ini memang patut untuk ditiru.

  4. pernah nyobain rumah simulasi gempa di musium iptek tmii
    diknator juga pernah simulasi bencana alam (gempa dan kebakaran) yang ada disuruh turun tangga 24 lantai….wuiiiiiiihhhh sampai bawah ini kaki rasanya ga ketulungan pegelnya

  5. (Maaf) izin mengamankan KELIMAAAX dulu. Boleh, kan?!
    Indonesia perlu belajar banyak pada Jepang dalam hal penanganan bencana. Di negeri ini kerap menjadi langganan bencana baik yang diakibatkan faktor alam maupun kesalahan manusia tetapi selalu kalang kabut dalam penanganannya.

  6. Saya suka dengan kalimat “Bencana ALAM tidak bisa dicegah, tapi KORBAN bisa diperkecil”.

    Sayangnya di Indonesia pengetahuan tentang bagaimana seharusnya masyarakat bertindak kalau terjadi sesuatu hampir tanpa ada sosialisasi, apalagi demo. Adanya paling2 dilakukan di mal, dikota besar.

    Orang Desa melakukannya secara alami, seperti saat terjadi longsor dan gempa.

    Saya juga pengin naik tangga mobil pemadam yang menjulang tinggi itu…
    Salam!

  7. Satu lagi acungan jempol untuk Jepang. Ternyata disana pemerintahnya sudah banyak melakukan hal2 utk mengatasi kesulitan jika bencana gempa terjadi. Salut 🙂

    Hem…kalau disini boro-boro mbak….Sudah kejadiaan aza, masih dicueki.
    Yach… semoga aza kedepannya disini lebih baik mbak, secara dlm skala kecil-kecilan spt dibbrp sekolah & kantor sempet disosialisasikan hal spt ini juga, tapi nggak selengkap spt di Jepang. Masih besifat ala kadarnya.

    Ok, see you mbak Imelda 🙂

    best regard,
    Bintang

  8. Indonesia seharusnya juga melakukan pelatihan yang terus menerus untuk warganya, karena Indonesia terletak di cincin api, negara yang rawan bencana, dari letusan gunung api, longsor, gempa dan banjir.

    Biarpun sudah latihan jika terjadi gempa yang sebenarnya, situasi tetap akan beda, tapi minimal orang sudah terlatih mengenal tanda-tanda dan apa yang harus dilakukan.
    Saya pernah mengalami gempa di Jakarta pas lagi di ketinggian lantai 18…untuk berjalan aja sudah nggak bisa, jadi memang amannya harus di bawah meja dulu. Sayangnya satpam gedung malah menggedor-gedor pintu dan kami semua diarahkan untuk berjalan pelan-pelan turun melalui tangga darurat…padahal tangga ini paling rawan konstruksinya. Baiknya, karena semua orang berjalan lewat tangga (tanpa terburu-buru..karena goyangan masih kuat)…semua berdoa sesuai ajaran agama masing-masing…rasanya tentram dan siap aja jika dipanggil saat itu. Sampai lantai bawah…sudah lemas sekali…..langsung duduk merosot di tanah.

    Riku ikut naik ditangga kebakaran, sampai di atas? Dia nggak takut ketinggian?
    Saya tertarik dengan WC daruratnya….semua sudah disiapkan….Yang penting memang orantua sudah diberitahu, jika ada apa-apa anaknya aman di sekolah dan sudah ada persediaan makanan. Sebetulnya di Jakarta juga perlu, karena setelah hidup lebih dari 30 tahun di Jakarta, saya mengalami beberapa kali yang terpaksa jalan kaki karena ada kerusuhan dll….dulu paling takut saat anak-anak masih kecil karena keingintahuan mereka, jika ada apa-apa. Padahal yang penting, anak tetap di sekolah menunggu situasi reda (aman).

  9. hehehe seru banget kayaknya. Anakku pernah naik mobil pemadam tapi cuma sekedar naik, nggak sampai naik tangga tinggi begitu. Latihan gempa juga sekedar naik turun tangga saja di sekolah (sepertinya anakku nggak benar-benar tahu apa yang diajarkan ya…yang seru kok kamu bisa ikutan dan tahu)

  10. Mestinya, Indonesia juga menjadi “negara gempa”. Tidak hanya Jepang. Volume gempa di Indonesia juga tinggi. Mungkin tanggal terjadi Tsunami Aceh bisa dijadikan kalender nasional untuk hari pencegahan bencana.

  11. latihannya keren tante.
    aku pasti jiper mau naik si pemadam itu karena setelah diliat2 lagi, tangganya tinggiiiii banget *_*

    Tentang triangle life itu sendiri masih jadi perdebatan di kalangan peneliti. Informasi yang terakhir saya dapet di sini sih, katanya itu hoax. Saran berlindung di bawah meja katanya untuk bangunan2 yang menggunakan konstruksi reinforced (beton bertulang?). Katanya di negara maju, probabilitas orang terluka dan mati karena benda/perabot terbang jauh lebih besar ketimbang probabilitas tertimpa gedung runtuh.

  12. menaiki tangga itu?? gak kebayang deh
    ampunnnn..gak berani dehhh

    kalo dikantorku pernah mendapat traiing serupa
    intinya berlindung, mau segitga, dibawah meja..pokoknya berlindung
    🙂

  13. Hai…hai…sensei…salam kenal ya…duh andai di indonesia sering2 diadain beginian..ya..apalagi dari kecil pasti berguna…

  14. Di Jogja, pasca gempa tempo hari, kerap juga diadakan pelatihan semacam ini. Tapi, sayangnya, paradigma “proyek” masih mendominasi kita. Jadi, kegiatan ini hanya akan dilakukan jika ada proyek untuk itu. Biasanya, gak lama setelah bencana terjadi. Sekarang, setelah lebih dari 4 tahun gempa Jogja, sama sekali tidak ada pelatihan semacam itu. Dan bahkan, ruang simulasi gempa (seperti mobil simulasi yang di atas), sudah dijadikan wahana bermain buat anak-anak… Sayang sekali memang… 🙁

    • Betul Uda, habis gempa besar 4 tahun lalu, semua orang bicara gempa, peduli gempa. Pelatihan dilakukan dimana-mana. Sekarang, kayaknya orang sudah pada lupa (kecuali para korban yang masih merasakan penderitaan sampai sekarang … 🙁 )

      Tetapi minimal, sekarang jika orang akan membangun rumah, sudah lebih memperhatikan kekuatan bangunan.

  15. program seperti ini yang juga seharusnya ditiru oleh Indonesia …
    tapi kenyataanya … masih banyak sekola di Indonesia yang roboh duluan jika gempa …
    hahaha … ditiup angin aja roboh, reot soalnya … “sedikit menyindir” …

    salam akrab dari burung hantu …

  16. Simulasi dan persiapannya termasuk lengkap ya mbak, mulai dari makanan cadangan semuanya ada. Memang beda ya krn di sana always gempa jadi sudah ancang2…
    Di sini sih simulasinya ala kadarnya, dan memang seperti katamu mbak, kalau pas simulasi sih kita lancar-lancar saja, tapi waktu kejadian beneran, bisakah kita bersikap tenang dan tidak panik?

  17. Tiga Hal EM

    1. Memang seharusnya hal ini terus dimasyarakatkan … agar korban dapat dikurangi … terhitung sudah berkali-kali kami melakukan latihan evakuasi …

    2. Persiapan peralatan pendukung … seperti makanan … pakaian darurat dan sebagainya … sepertinya itu yang perlu kami lengkapi disini …

    3. 35 – 36 derajat … Oh My God … Panas Banget ya EM …

    Salam saya

  18. Persiapan bencana sudah segitu matangnya…hmm…masyarakat Jepang dilatih untuk mandiri dari dini. Dan terkesan tidak mau merepotkan orang (bangsa) lain kalau ada bencana. Aku jd inget beberapa waktu lalu pas peristiwa Sinabung meletus dan dimuat sama situs luar negeri, ada yang kasih komentar kayak gini :

    And soon they will be asking for money… prepare the wallets!

    Read more: http://www.dailymail.co.uk/news/worldnews/article-1307360/21k-people-evacuated-Indonesian-volcano-continues-spew-ash.html#ixzz0yk56otAq

    Sedihnya…

  19. Hebat bgt jepang dalam kesiap siagaan, lha kita di Indonesia khusunya sumatera barat, sejak gempa terjadi, latihan yang begini gak pernah ada, padahal daerah kita paling rawannnn waaaaa

    ah orang Indonesia memang pelupa kok. orang korupsi aja dilupakan bahwa dia pernah korupsi, apalagi yang korupsi, lupa berapa yang dia tilep kan?

    EM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *