Take it for granted

28 Feb

Dalam sepuluh hari ini aku banyak belajar mengenai hidup… Pertama waktu aku mendengar, tepatnya membaca bahwa seorang Romo, Pastor Kepala paroki Kotabaru Jogja meninggal. Beliau dulu pernah bertugas di paroki blok B, Barito, Jakarta dan kami yang bergabung dalam paduan suara Cavido sangat akrab dengannya. Romo Wisnu ini mengalami kecelakaan waktu naik sepeda motor. Ah, seorang romo pun menghadap Tuhan dengan cara yang tak biasa.

Lalu ada lagi seorang mantan murid bahasa Indonesiaku K.M. san yang meninggal waktu sedang jogging. Biasa kan kalau sedang jogging tidak membawa tas/dompet, paling kunci rumah dan dompet uang kecil. Nah lagi lari-lari begitu, rupanya ada mobil naas yang dikendarai nenek usia 70 th naik ke trotoar… blesss nabrak K.M. san ini deh. Tragisnya polisi perlu waktu lama mencari jatidirinya, sehingga terlambat diketahui kematiannnya. Coba dia lebih lambat larinya 5 menit, atau lebih cepat, pasti tidak kena tabrak. Well, nasib? Cara kita “pulang” ke rumah Sang Pencipta memang bermacam-macam. Bagaimana caraku? Entahlah….

Dua kejadian dalam 10 hari ini yang memang terjadi di dunia nyataku.

Tapi…. dalam 10 hari ini aku juga banyak blogwalking. Dan menemukan beberapa tulisan yang sangat menyentuh dan berguna.

Take it for granted. Kata-kata ini aku dapatkan minggu lalu dari tulisannya Arman. Ge ge ahhhh… katanya kalau ada ngga pengen, tapi kalo ngga ada pengen. Memang kalau segala sesuatu tersedia di depan mata, kita selalu merasa lumrah.

Sama seperti waktu kita kecil, disediakan pendidikan oleh orang tua kita. Dengan penuh kesal, jengkel misalnya karena tidak bisa bermain, kita harus belajar terus…. kita tidak merasakan saat itu bahwa pendidikan itu amatlah berharga (di kemudian hari… ya saat ini). Dibelikan buku catatan yang bagus-bagus, dipakai dengan boros. Dan itu memang wajar saja karena masih anak-anak. Belum tahu bagaimana harus mencari uang untuk membeli buku sendiri. Semua tersedia. Gratis!

Coba teman-teman baca tulisan Adi Nugroho yang ini Hanya Ingin Membaca… Betapa anak pemulung yang tidak bisa bersekolah, memanfaat buku yang dipungut untuk menimba ilmu. Dia menggunakan apa yang ada untuk memperbaiki dirinya. Meskipun tidak bisa bersekolah, dia bersekolah dari kehidupan ini.

Karena itulah seorang sahabat blogger Kika Syafii, juga aktif mengadakan penyuluhan kepada anak-anak jalanan untuk membaca dan membangun dirinya menjadi lebih baik dari sekarang. Salah satunya dengan membagikan minat baca kepada anak-anak ini.

Meskipun kadang selalu birokrasi menghalangi kemajuan mereka yang otodidak, yang berusaha maju dengan kerja keras sendiri tanpa masuk lembaga/insitusi pendidikan. Masyarakat juga lebih mempercayai formalitas daripada kemampuan yang jelas terlihat di depan mata. Seperti kata Prof. Aminuddin Sale dalam tulisannya di sini: “Cara berpikir formalistik sesungguhnya telah banyak membelenggu masyarakat kita. Salah satu indikasinya ialah  kecendrungan menyandang gelar, baik gelar akademik, gelar bangsawan, maupun gelar agama, dan lainnya. Padahal ada kemungkinan bahwa gelar yang disandang itu tidak sesuai dengan perilaku dan isi penyandangnya.” Aku senang sekali membaca tulisan Prof Aminuddin ini terutama karena menyinggung nama bapakku :). Terima kasih banyak Prof.

Yang pasti sepuluh hari aku blogwalking dan mengikuti kejadian di sekitarku membuatku lebih membuka mata agar jangan hanya “take for granted” atas apa yang ada. Memaksimalkan apa yang ada yang dipunyai, dan tentunya bersyukur atas apa yang aku punyai sekarang ini. Terutama HIDUP ini.

 

Hubungan Riku dan Pa’ Mali

26 Feb

Tanggal 22 Malam (selasa) aku ditelepon papaku dari Jakarta. “Mel, Riku ulang tahun kapan? ” “Oh masih lama, Jumat tanggal 25 kok”. Rupanya mama yang menyuruh papa telpon dan meyakinkan diri bahwa memang tanggal 25. Mama itu hebat, dia selalu ingat tanggal-tanggal ulang tahun orang. (Tapi… pas tanggalnya lupa, karena tidak tahu hari/tanggal 😀 )

Yang mau berulang tahun sendiri, si Riku sudah hitung-hitung hari ulang tahunnya sejak sebulan sebelumnya. “Ma, aku tinggal tidur 20 hari lagi ulang tahun ya?” “Iya…. ”  (huh kalau masih kecil rasanya senang ya menghitung HUT, kalau sudah tua maunya sih jangan cepat-cepat bertambah tuanya :D)

Dan aku memang tanya kepada Riku, bagaimana dia mau melewati hari ultahnya tahun ini. Tahun lalu dia gagal memanggil teman-temannya ke rumah, jadi apakah tahun ini mau panggil teman? Kalau memang mau, lebih baik diadakan hari Kamis, sehari sebelumnya. Pertimbangannya tentu saja waktu.

Kami cuma bisa memanggil anak-anak untuk datang sendiri kerumah kami sampai dengan pukul 4:30 sore. Selama winter bel kelurahan yang menyuruh anak-anak SD pulang akan berbunyi pukul 16:30. Silakan baca di sini untuk keterangan bel kelurahannya. Padahal kelasnya Riku selesai sekitar pukul 3 siang. Jadi hanya ada waktu 1,5 jam saja. Kalau hari Jumat, pas di hari ulang tahunnya, Riku harus pergi ke les Inggris dari jam 3:30 sampai 4:30. Jadi tidak mungkin diadakan pas hari ulang tahunnya. Tapi aku tanya dulu pada Gen, apakah pamali mengadakan pesta HUT sebelum harinya. Kalau orang Indonesia pamali, tapi aku  pribadi tidak jadi masalah…. hehehe (Tidak begitu percaya pamali-pamalian)

Nah, supaya kesalahan seperti dulu tidak terulang, aku membuatkan surat undangan kepada ibu dari teman-teman dekatnya Riku yang ingin diundang. Riku mau mengundang 3 teman laki-lakinya, jadi aku membuat 3 lembar. Dan tak lupa aku tulis, “Pesta kecil ini hanya makan pizza dan kue tart, jangan membawa apa-apa”. Soalnya orang Jepang tidak bisa datang dengan tebura 手ぶら (tangan kosong).

Dan sebetulnya ada satu lagi kebiasaan merayakan ulang tahun di Jepang yang agak aneh. Kalau di Indonesia, yang berulang tahun merayakan pesta dengan biaya dari yang berulang tahun kan? Sedangkan kalau di Jepang biasanya yang berulang tahun tidak mengeluarkan biaya apa-apa. Semua disediakan oleh teman-temannya yang menyelenggarakan pesta. Makanya aku sering bilang, kalau aku ulang tahun kita pakai cara Jepang ya. Kalau kamu ulang tahun pakai cara Indonesia :D.

Jadilah hari Kamis, 5 temannya Riku datang ke rumah. Loh kok 5? Hehehe, bertambah 1 teman perempuan dan 1 teman laki-lakinya, jadi total 4 laki dan 1 perempuan. Bahkan si cewe ini sudah membuat program pelaksanaan pesta HUT Riku. Kapan main ini, kapan main itu, kapan makan dsb… Dan memang si cewe ini pintar dan agak cerewet euy. Aku sempat diinterogasi olehnya. Such as, Kapan datang ke Jepang, belajar masak dari mana, dsb dsb… Huh dasar cewek …cerewet hahahaha.

Pesta untuk anak-anak itu tidaklah perlu menyediakan makanan mahal. Buktinya yang laku dari yang aku sediakan (Pizza, ayam goreng, kentang Mac D) adalah French Friesnya Mac D….weleh…tahu gitu kan aku beli aja yang banyak :D. Apalagi anak laki-laki, tidak begitu makan yang manis (kecuali anakku 😀 RIKU, kalau Kai juga tidak begitu suka manis). Kue tartnya kebanyakan tidak dimakan. Yang membuat mereka asyik adalah meniup balon yang kalau dilepaskan akan putar-putar sambil berbunyi. Selain itu mereka senang waktu boleh menarik tali cracker… yang mengeluarkan bunyi seperti petasan dan mengeluarkan pita-pita kertas. (Itu loh yang biasa dipakai untuk tahun baruan :D)

Tiada yang lebih menyenangkan dari melihat tawamu nak!

Tamu cuma 5 orang, udah gitu kira-kira cuma 1,5 jam, tapi aku merasa capeeeek sekali deh. Soalnya aku harus meyakinkan mereka tidak bermain yang berbahaya, dan langsung pulang ke rumah masing-masing tepat waktunya (agak telat sih, tapi karena masih terang, diperbolehkan). Yang lucu si cewe ini waktu pulang minta pada Riku untuk mengantarkan sampai ke taman depan sekolah. Baru dari sana mereka pulang ke rumah masing-masing. Tapi Riku bilang, “Engga ah, kan kamu sama si A, B dan C mereka semua tahu jalan kok sampai sekolah. Aku males. ” Ya ampuuun Riku! Ngga gentle ahh (tapi emang iya sih, wong bebareng teman-teman lain, ngapain juga Riku musti anterin hahaha)

Dan pas hari HUTnya yang beneran, Jumat. Hanya diawali dengan potong kue di pagi hari sebelum pergi ke sekolah, dan aku tidak masak apa-apa. Buat dinnerpun makan seadanya hihihi. Tapi buat Riku HUT tahun ini berkesan karena dia bisa bermain bersama temannya, dan mendapatkan game DS baru Inazuma Eleven (sepak bola-sepak bolaan deh). Tuh sampai Sabtu siang saat aku menulis ini pun dia masih main. Well Riku tahun depan udah ngga bisa main-main loh. Menjadi kelas 3, semakin banyak yang harus dipelajari dan semakin sulit.

Happy Birthday our Crown Prince Riku Miyashita!

Ngidam yang Terpuaskan

24 Feb

Selama aku mengandung Riku dan Kai, tidak pernah “ngidam” dalam arti ingin makanan tertentu. Sama sekali tidak ada, mungkin karena “mabok”nya lebih parah. Mabok muntah-muntahnya berlangsung sampai hari melahirkan, tapi tidak pengaruh dengan kenaikan berat badan loh (maksudnya BBnya naik wajar saja, 1 bulan 1 kg).

Tapi setelah melahirkan Kai, rasa rindu pada tanah air, homesick yang amat sangat bisa menyebabkan aku “ngidam” masakan tertentu. Apalagi saat-saat vakum setelah mudik (September) , sampai sekitar Maret/April kala aku belum bisa menentukan punya budget tidak untuk mudik waktu summer vacationnya. Bulan Desember – Januari kemarin aku banyak mencoba membuat risoles, kroket, lumpia semarang, jajanan Indonesia karena homesick. Apalagi puncaknya waktu Kai makan ikan asin terakhirku pas aku mau makan bubur manado…. huhuhuhu, pengen nangis rasanya tapi apa boleh buat. Apalagi Kai bilang, “Enak loh ikan ini”

Kai "mencuri" ikan asinkuuuuu

Nah, sahabatku di Tokyo, Whita rupanya juga tukang masak. Dia pernah upload foto batagor dan sate padang di FB nya. Dan tentu saja aku berteriak… “MAUUUUUU!”. Jadi kemarin tgl 23 Februari, aku bertandang ke rumahnya untuk menagih janjinya 😀 (Padahal ceritanya ngumpul untuk merayakan HUT Whita tgl 8 Februari yang lalu).

pertemuan kedua di tahun 2011

Aku datang bersama Kai dan begitu dipersilahkan makan, langsung deh ngga malu-malu lagi ambil nasi + Rendang + Sate Padang dan Gulai Kepala Ikan. Tentu saja makan pakai tangan duongggg… Tuh kan saking serunya menceritakan makanan, sampai lupa bahwa selain mengundang aku,  Jeng Whita juga mengundang Ekawati Sudjono yang tinggal nun jauh di Tsukuba. Ini pertemuan kami ke dua tahun 2011, sesudah pertemuan waktu aku ulang tahun.

obat untuk yang ngidam

Bisa bayangkan kan? Jika kita ingiiiin sekali sesuatu dan terpenuhi. Rasanya puaaaassss banget kan? Aku tidak pernah berharap bisa makan sate Padang di Tokyo. Satu-satunya masakan yang aku suka dan belum coba buat ya Sate Padang ini. Membayangi buatnya aja males gitu hehhee. Nanti aku berguru pada Whita deh, biar setiap kali “ngidam” Sate Padang bisa langsung makan. (But u know, dimasakin itu sensasinya lain dengan masak sendiri :D)

Monyong semua untuk blow the candles....

Karena aku harus pulang paling lambat jam 3, aku hanya punya waktu 2 jam di rumah Whita. Begitulah kalau emak-emak, ngga bisa santai-santai musti pikir anak pulang jam berapa dsb dsb. Itupun Riku pulang sekolah jam 2:30, sehingga dia menunggu di rumah sendirian cukup lama karena perjalanan dari rumahku ke rumah Witha makan waktu 1, 5 jam.

Terima kasih untuk undangannya ya Whit. Bener deh ngidamnya terpuaskan. Dan waktu makan di rumah Whita itu aku merasa yakin bahwa memang makanan yang selalu aku kangeni adalah Sate Padang 🙂 🙂 🙂

Sky Tree maskot Tokyo sebagai Tower tertinggi dunia yang masih dibangun terlihat dari beranda apartemen Whita

 

Manis, Merah dan Montok

22 Feb

Ini cerita tentang hari Minggunya deMiyashita. Seperti  sering aku tulis, Gen sering harus bekerja juga di hari Minggu, padahal hari Minggu adalah satu-satunya hari untuk keluarga yang dinanti-nanti Riku dan Kai.

Nah, tgl 20 Februari kemarin, Gen perlu ke kantornya juga, tapi tidak tentu jamnya. Terserah. Dan dia mengusulkan supaya aku adan anak-anak ikut sampai kampusnya, dan kemudian aku jalan-jalan ke daerah sekitar naik mobil dengan anak-anak. Hmmm usul yang bagus, meskipun aku sebetulnya malas menyetir hari Minggu. Karena selain jalanan macet hari Minggu, mereka yang biasanya tidak menyetir hari biasa, keluar rumah pas hari minggu. Weekend drivers ini boleh dibilang agak “bego” kalo nyetir hihihi. Lelet, plin-plan dsb dsb deh. Nyebelin!

Padahal hari Minggu aku dan anak-anak sudah siap dari pagi, tapi akhirnya kami berangkat pukul 11 lagi deh. Untung jalan tol menuju daerah Saitama tidak begitu padat, sehingga kami bisa sampai di dekat kantornya Gen pukul 12:20. Usul Gen untuk pergi ke Taman Stroberi Kasuya, tapi aku bilang, bagaimana kalau kita pergi bersama saja. Toh kita tidak akan berlama-lama memetik dan makan stroberi. Satu jam maksimal. Dan Gen tergoda….cihuy…

Jadi kami bersama-sama pergi ke Taman Stroberi untuk Ichigogari (memetik stroberi sepuasnya). Waktu mau parkir lumayan padat tempat parkirnya, sehingga kami pikir tidak bisa masuk lagi seperti minggu lalu. Karena kami tidak reserve juga hari ini. Tapi coba saja deh….

Ternyata kami masih bisa masuk, karena tempatnya cukup luas, dan tamu waktu itu belum begitu banyak (Ya jelas kami sampai di situ pas waktu orang makan siang). Untuk dewasa (Riku sudah dianggap dewasa) kami harus membayar 1600 yen/orang dan untuk Kai kami membayar 1000 yen. Kemudian kami membuka sepatu, ganti dengan selop, dan membuka jaket kami untuk ditaruh di loker. Ya di dalam green house itu suhunya nyaman sekali berkisar 20-23 derajat. Kami kemudian diantar oleh petugas ke dalam green house.

Petugas menjelaskan cara-cara dan peraturan memetik stroberi di situ. Stroberi yang ditanam di situ setinggi pinggang orang dewasa sehingga mudah sekali melihat dan memetiknya. Jadi tidak usah membungkuk-bungkuk untuk memetik. Selain itu bagi yang memakai kursi roda juga bisa enjoy.

Stroberi dalam planter yang setinggi pinggang orang dewasa, sehingga anak-anak dan yang berkursi roda dapat ikut enjoy memetik stroberi.

Peringatan pertama waktu memetik adalah jangan ditarik. Karena kalau ditarik maka akar akan luka dan semua stroberi yang belum jadi (masih hijau) juga akan rusak…. dan tentu ini merugikan ladang itu. Jadi potong dengan kuku tangkai buah kira-kira 3-4 cm dari buah. Kedua jika mau makan, petik dulu daunnya, baru makan. Maksudnya supaya jangan banyak bagian buah terbuang. Mereka menyediakan condensed milk (susu kental manis) tapi disarankan untuk mencoba makan stroberi begitu saja dan rasakan manis buah aslinya. Untuk memetik stroberi itu kami tidak dibatasi waktu. Jadi kalau mau seharian juga boleh 😀

Nah waktu kami datang hanya dibuka seperempat green house. Dan memang buahnya kecil-kecil, meskipun manis. Sudah banyak buah merah yang dipetik oleh pengunjung sebelum kami. Mungkin ada pengunjung yang complain, dan/atau memang sudah waktunya membuka lahan lebih banyak lagi, jadi kami bisa mencari buah stroberi yang lain di bagian lahan yang baru dibuka. Dan situ stroberinya BESAR BESAR! Wah aku cukup kaget karena biasanya buah stroberi yang sebesar itu dijual seharga 2000-3000 per paknya. Memang rasanya lain. Padahal katanya sih jenisnya sama. Coba saja lihat perbandingan buahnya.

Stroberi regular (biasa) dan stroberi giant (raksasa) 😀

Aku tentu saja lebih mementingkan ambil foto daripada makan. Aku tidak begitu tergila-gila dengan stroberi. Tapi aku baru tahu bahwa suamiku itu suka stroberi hihihi. Jadi dari awal masuk sampai keluar Gen makan banyak stroberi, termasuk bagiannya Kai. Karena Kai baru 2-3 biji sudah berkata, “Aku kenyang!” (dia memang tidak begitu suka stroberi).

Kalau Riku? Dia menurun dari papanya, suka yang manis-manis seperti mama stroberi dan diam-diam bergerak sendiri cari stroberi yang merah, dan langsung makan. Bahkan dia pergi sendiri menjumpai petugas untuk minta susu kental manis, dan kembali lagi :).

Riku dengan stroberinya

Riku mau makan tapi malas metik, jadi kebanyakan apa yang sudah aku petik aku berikan pada Riku. Tapi setelah wadah yang aku punya penuh dengan stroberi yang Giant itu, aku duduk dan menikmati manisnya stroberi.

Di dekat tempat kami duduk ada dua kotak yang bertuliskan Maruhanabachi, lebah untuk penyerbukan bunga stroberi. Bunga stroberi itu juga manis, berwarna putih kecil-kecil, tapi aku sendiri tidak pernah melihat lebah itu menempel pada bunga stroberi di tempat kami.

Lebah untuk mengisap madu bunga stroberi

Riku dan Kai ketakutan melihat lebah yang beterbangan. Takut disengat, padahal kami di situ semua tenang-tenang saja. Asalkan tidak mengganggu kegiatan mereka, kita tidak akan disengat.

Akhirnya sekitar pukul 1:30 an kami keluar dari situ dengan perut kenyang dengan stroberi. Dan meskipun tidak minum apa-apa selama di dalam ladang stroberi ini, aku sampai 2 kali pergi ke WC… Ternyata stroberi itu kandungan airnya banyak juga yah hehehe. (Bilang aja beser 😀 )

Setelah dari ladang stroberi, kami menuju stasiun Shin Sayama, karena katanya setiap hari Minggu ke tiga dalam bulan, ada semacam pasar kaget di situ. Dan benar, ada beberapa kios di jalan yang ditutup, termasuk sebuah kios untuk menembak mainan dengan senapan.

Wah Riku senang sekali, dan karena 1 kali game hanya 100 yen, Gen berikan 100 yen ke Riku. Tanpa ba bi bu, dia bayar dan mendapat 6 buah peluru. Dia membidik ke kertas penyambung mainan yang dia ingini, dan di butir ke 3 dia dapat merobek kertas itu. Senang sekali dia. Di Tokyo biasanya permainan shateki atau menembak senapan ini 1 kali 300 yen, dan tidak ada hadiah hiburan. Di sini ada hadiah hiburannya berupa kue/permen.

Tentu saja melihat kakaknya main, Kai ingin juga. Jadi aku bantu dia memegang senapan itu. Bagaimana bisa kena, kalau senapannya saja tidak terarah. Aku belum bidik, dia sudah tembak! Jadi aku bilang, “Tunggu dong kai, kalau mama bilang tembak, baru tembak”. Si kakek petugas berkata, “Duuuh mama cerewet amat ya nak” hahaha. Aku jadi tertawa dan bilang ke kakek itu, “Soalnya kalau dia tidak dapat mainan itu bisa nangis, cengeng dan bikin repot!”. Padahal kalau mau dipikir ya jelas ngga mungkin dong. Kai sependek itu membidik ke mainan yang tinggi jauh di atas dia. Nah petugas yang satu lagi sampai sengaja “merobek” sedikit lagi kertasnya supaya kalau kena bisa langsung jatuh :D…. Makasih opa hehehe

Riku membidik, Kai merengek, Riku dan Kai senang!

Tetap saja dengan 6 butir peluru, Kai tidak berhasil mendapatkan mainan yang dia inginkan. Apalagi melihat kakaknya membawa mainan helikopter… “Kai juga mau….” Ya sudah, aku minta Riku untuk bermain lagi supaya bisa mendapatkan mainan yang Kai inginkan. Tentu saja yang Kai inginkan adalah helikopter yang sama 😀 Heran deh … Dasar anak-anak, maunya yang sama hihihi.

Riku tentu saja senang disuruh main lagi, dan GOTCHA, dia dapatkan helikopter. Muka sedih Kai berganti jadi senyuman deh hihihi

Sementara itu aku belanja sayuran di kios sayuran. Ada beberapa yang mahal, tapi sayuran umum seperti bayam, wortel, daun salada, jauh lebih murah daripada di Tokyo. Borong deh mama Imelda.

Pasar di kampung, harga murah, senyum juga murah. Sampai aku bilang ke Gen, aku disuruh pindah ke sini mau juga deh…. Cuma memang lebih susah untuk hubungan tetangga. Harus bermanis-manis dengan tetangga supaya tidak jadi sumber gosip. Hal yang lumrah sebetulnya, tapi di Tokyo sudah tidak ada… Dingin, cuek semua! (And sometimes I missed it)

Setengah jam saja di situ, kami lalu ke kantornya Gen. Gen langsung masuk kantor, sedangkan aku dan anak-anak bermain bola di lapangan rumputnya. Puas deh anak-anak berlarian, sementara aku berlatih memotret dengan kamera “lungsuran” bapak mertua Nikon D80. Yes, We’ll become Nikonians. Masih belum biasa, dan memang kamera Canon G9ku adalah yang teringan, bagus hasilnya dan pasti jadi 😀

Lama-lama main di luar dingin, jadi kami masuk ke dalam kantor. Bukan ngadem, tapi nganget 😀 Mencari kehangatan. Tapi Gen merasa “terganggu” dengan penampilan kami (padahal kami tidak ganggu loh), dan meminta aku ajak anak-anak pergi ke tempat lain. OK boss… (agak malas sebetulnya), dan kami pergi ke Saibokujo. Sebuah tempat peternakan babi, yang mempunyai restoran, pemandian air panas, tempat bermain anak-anak, dan semacam pasar festival. Tak lupa ada juga supermarket yang menjual hasil perkebunan dari peternakan itu. Tapi karena aku sudah belanja sayur ya tidak masuk ke supermarketnya deh.

Tadinya kami mau masuk ke pemandian air panas, hot springnya. Tapi bingung 😀 Karena Riku tidak bisa mandi bersamaku (Kai karena belum SD masih bisa ikut aku)  jadi agak sulit untuk janjian selesai jam berapa. Padahal Riku ingin sekali masuk onsen (hot spring) berendam di air panas belerang, apalagi kalau melihat gambarnya, ada bermacam-macam kolam di dalamnya (yang terpisah pria dan wanita). Ada kolam arus, ada kolam terbuka dsb.

Aku telepon Gen menanyakan progress, kemajuan kerjanya, dan katanya sudah hampir selesai. Jadi kami membatalkan masuk hot spring, dan membeli snack saja di kios-kios yang ada di pasar festival situ. Hampir jam 6 kami meninggalkan Saibokujo dan menjemput Gen di kantor.

Biasanya “Dont mix bussiness with pleasure” but hari ini kami mencampuradukkan kerjanya Gen dengan kesenangan kami berekreasi kecil-kecilan. Petit Zeitaku (bacanya puchi zeitaku) istilahnya Gen, Petit = kecil dari bahasa Perancis, dan Zeitaku =kemewahan dari bahasa Jepang. Kemewahan yang tidak mahal. Yang dalam keluarga kami berarti rekreasi yang tidak mahal. Dan aku yakin setiap keluarga punya caranya masing-masing untuk melewati hari libur dengan biaya rendah ya. (Aku tidak yakin bahwa dengan ke Mall bisa biaya rendah :D)

Kalau ini pipi merah, tapi montok dan manis ngga ya????

Rumba-rumba

19 Feb

Imelda salah sebut kaliiiii… mustinya Lumba-lumba yang diucapkan oleh orang Jepang menjadi Rumba-rumba 😀 hehehe. Lumba-lumba? Hmmm suka sih tapi ngga kepingin, soalnya susah cari tempat tinggalnya :D. Tidak salah tulis kok, memang betul namanya rumba.

Rumba (Roomba iRobot) adalah produk dari iRobot, sebuah mesin penyedot debu yang bisa bergerak sendiri tanpa perlu kita ikut “mendorong”. Dia akan bergerak di lantai sambil mengisap kotoran yang ditemukan. Tapi….. sayang sekali tidak mungkin memakainya di rumahku.

(Foto dari Amazon.jp)

Soalnya lantai harus bersih dari spectacles, barang-barang yang tidak perlu yang menggangu kelancaran kerjanya si Rumba. Mana bisa itu terjadi di rumahku? Bonekanya dan mobil-mobilannya si Kai sudah pasti akan menghambat kerja si Rumba ini. Mungutin mainannya Kai aja sudah capek, mending sekalian bersihkan lantai sambil mengumpulkan mainan-mainan itu kan?  Padahal kalau dicari info harganya juga tidak mahal-mahal banget, cuma 50ribu yen (5 juta rupiah) loh.

Aku termasuk freak pada alat elektronik. Tapi itu dulu, sebelum menikah dan punya anak. Sudah berkali-kali  Gen menawarkan membeli Dishwasher, tapi aku selalu menolak. Soalnya di antara pekerjaan ibu RT, aku paling suka cuci piring :D, jangan ambil pekerjaan saya dong 😀 (Soalnya Gen merasa kasian dia tidak pernah bisa bantu cuci piring)

Memang banyak kemudahan dengan memakai alat eletronik, baik perlengkapan rumah tangga maupun hiburan. Tapi karena harganya tidak murah, tentu harus selektif sebelum membelinya. Ada satu gadget baru yang aku temui di rumah mertuaku waktu itu. Aku belum pernah lihat… ihhhh serasa kuper banget. Yaitu Digital Frame.

Frame dengan foto yang berganti-ganti 😀

(foto diambil dari sini)

Jadi seperti display komputer tapi tanpa keyboard, ya seperti frame biasa saja sih. Masukkan SD card berisi foto-foto digital dan foto yang ingin ditampilkan bisa berganti-ganti dengan slide mode on. Hmmm produk baru biasanya memang menarik, tapi kok aku tidak ingin beli ya? Harganya tidak seberapa mahal, hanya 7000 yen (sekitar 700rb) tapi apa bedanya dengan display laptopku? Kecuali kalau ada yang kasih sebagai hadiah sih hehehe 😀

Ada gadget baru apa ya yang masuk dalam listku? Sekarang lagi kosong nih listnya (untuuuung). Bagaimana dengan teman-teman?

Stroberi Kertas

17 Feb

Karena pak Marsudiyanto sudah tidak sabar sampai menanyakan kok TE belum update, maka cepat-cepat aku publish cerita tentang hari Minggu lalu, yang memang tidak kelar-kelar penulisannya. Entah kenapa malaaaas terus bawaannya minggu ini :D. (Dan memang hari Senin turun salju lagi yang cukup tebal)

Minggu, 13 Februari lalu. Tokyo cerah! Saling cerahnya membuat kami ingin keluar rumah. Tapi kemana? Syaratnya harus murah dan tidak terlalu jauh. Lalu Gen mengajak kami pergi ke ladang stroberi dan ke kota Ogawa, Saitama.

Tapi siap-siap dan sarapan membuat kami akhirnya keluar rumah pukul 11 siang. Dan sekitar pukul 12:20 kami sampai di Hanazono, Kota Fukaya Saitama. Di situ ada semacam pasar dari koperasi Hanazono yang cukup besar, dan mempunyai parking lot yang luas. Tapi tujuan kami adalah sebuah ladang di belakangnya yang bernama Hanazono Ichigo-en (Taman Stroberi Hanazono). Ini adalah kedua kalinya kami mampir ke sini. Pertama kali sudah pukul 4 sore, jadi taman sudah ditutup. Dan kali ini kami juga gagal memetik stroberi karena sudah penuh dengan orang yang reserve. Kami belum reserve jadi tidak bisa ikut memetik stroberi hari itu.

Gagal deh memetik stroberi yang berada di dalam rumah vinyl di latar. Lain kali musti reserve dulu deh. (Tapi kemarin aku beli stroberi manis dan murah, lalu Gen bilang... beli aja deh sudah pasti enak hihihi)

Hmmm cukup kecewa, sehingga akhirnya kami langsung bergerak menuju kota Ogawa, tempat pembuatan kertas Jepang. Tapi begitu masuk kota Ogawa, terbaca sebuah papan “Pemandian Air Panas Kawaranoyu” yang katanya bisa merendam kaki. Coba-coba kami mampir ke situ, dan…. ternyata penuh sehingga harus antri. Ok lah kupikir aku ambil saja nomor gilirannya. Aku mendapat nomor 25, dan disuruh menunggu nanti akan ada pengumuman sampai dengan nomor berapa boleh masuk dan menyelesaikan pembayaran. Terus terang aku tidak tahu cara-caranya, jadi sambil menunggu Gen memarkirkan mobil (yang juga antri) aku cari-cari informasi. Dan setelah Gen masuk ke lobby, terdengar pengumuman bahwa sudah boleh masuk sampai dengan kartu no 5. HAAAAAHHHH!!!! Nomor 5, sedangkan kami nomor 25? Musti tunggu sampai kapan? Kami langsung memutuskan BATAL!

Tempat praktek membuat kertas, spt pabrik saja. Bawah jenis-jenis kertas yang dihasilkan (dan dijual)

Pembatalan ke dua deh 🙁 Jadi kami langsung menuju Balai Kerajinan Tradisional Saitama 埼玉伝統工芸会館.  Membayar 300 yen untuk dewasa kami langsung memasuki sayap kanan gedung, tempat praktek membuat kertas Jepang. Hmmm yang disebut kertas Jepang adalah kertas yang agak kasar permukaannya, masih kelihatan berserat, kadang terlihat ada potongan emas atau kertas perak, pokoknya nyeni deh. Biasa dipakai sebagai cover lampion, atau untuk pintu geser.

Kertas jepang yang biasanya dibuat tanpa mesin (handmade)

Nah, di sini kami bisa mencoba membuat kertas sendiri. Dengan membayar 840 yen kami bisa membuat 8 lembar kartu pos sendiri. Bisa juga ukuran lain dengan harga berbeda, tapi kami memilih membuat kartu pos saja. Kami diajarkan oleh Ibu Tanino Hiroko 谷野裕子, yang merupakan salah satu ahli pembuat kertas handmade ini.

Aku dan Riku bergantian menciduk pulp kertas

Memang tidak begitu susah, karena kami cukup “menciduk” air yang berisi bubur kertas, kemudian menggoyang-goyangkannya supaya airnya turun lewat saringan. Tapi proses menciduk itu dua kali sehingga kalau tidak hati-hati bisa masuk gelembung udara. Sesudah air turun semua, kertas kami ditaruh di atas lapisan kain supaya bisa kering, dan sementara itu kami menghiasnya memakai bunga, daun, kertas, pita, apa saja yang bisa dipakai sebagai hiasan.

Menghias kartu pos dengan bunga, kertas, pita dsb

Karena ada 8 lembar kartu pos, kami berempat termasuk Kai rame-rame menghiasnya. Kai paling senang membuat bentuk dari perforator berbentuk sakura atau hati. Jadi dia buat yang banyak, dan kami yang pakai 🙂

Sementara kami sedang menghias, ada seorang pengunjung bapak-bapak yang agak cerewet, minta dijelaskan proses pembuatan dari awal. Semacam kuliah singkat deh. Akhirnya kami juga “nebeng” dengerin kuliah singkat tentang pembuatan kertas Jepang ini.

Kertas Jepang terbuat dari kayu sejenis kuwa, yang diambil hanya bagian kulitnya saja. Kemudian kulit kayu itu dibersihkan sampai putih,  sambil direndam menjadi semacam kapas. Semua pekerjaan dilakukan dengan tangan, dan proses ini (pengumpulan kayu, pengulitan sampai menjadi semacam kapas) dilakukan di musim dingin. Jaman sekarang semua dikerjakan dalam ruangan, tapi dulu dikerjakan di sungai. Bisa bayangkan bekerja dengan memakai air sungai di musim dingin. Belum lagi punggungnya duuuh ngebayanginnya aja sudah bbbbrrrr.

Setelah bahan pulp itu bersih dari kotoran, dicampur dengan semacam lem (aku tidak tau apa namanya) untuk membuat bahan itu mengambang dalam air.  Karena jika bahan pulp ini tenggelam maka akan sulit untuk menciduknya.

Proses pembuatan dari kayu sampai pulp

Cara menciduk, berapa kali menciduk menentukan ketebalan kertas. Untuk seorang profesional mereka tahu kira-kira berapa kali menciduk atau dengan mata saja bisa mengetahuinya. Yang paling menentukan waktu pertama menciduk mengambil lapisan teratas yang amat tipis, seperti membran. Baru kemudian menciduk yang agak banyak dan “mengayak” sehingga seluruh permukaan saringan tertutup. Lakukan berulang kali, sampai tercapai ketebalan yang diinginkan. Kemudian lapisan kertas itu ditaruh di atas kain untuk menyerap air. Nah, yang lucu kertas ini ditumpuk berlapis-lapis di atasnya tanpa ada “pembatas”. Kok bisa tidak menyatu ya? Ya, mungkin karena membran itu 😉

Petugas membuat lapisan penutup kartu pos yang telah kami hias

Setelah mengikuti kuliah singkat itu kami sempat melihat petugas menumpuk kartu pos yang kami hias tadi dengan lapisan kertas tipis, untuk kemudian dikeringkan. Kami tidak bisa membawa pulang hasilnya saat itu karena masih basah. Jadi mereka akan mengirim ke rumah hasilnya (dan kami terima hari Rabu kemarin)

Selain ada tempat praktek membuat kertas, di Balai Kerajian Tradisional Saitama itu juga ada tempat pameran (dan percobaan) menenun kain, tapi sayang waktu kami datangi sudah ditutup. Kemudian kerajinan kayu dengan lemari khas Jepang, boneka Hina (untuk perayaan Festival anak perempuan), lampion dll.

Keluar dari Balai Kerajinan ini sudah pukul 4 sore. LAPAAAAR! Soalnya kami makan nanggung sih (brunch jam 10 pagi). Jadi tujuan selanjutnya mencari makan, dan sesudah muter-muterin gunung (karena masih penasaran cari tempat memetik stroberi) akhirnya kami bisa makan yakiniku di kota Fukaya.  Sudah jam 5 tuh.

Dan tujuan kami terakhir hari itu adalah Parking Area (tempat istirahat jalan tol) Yorii, yang terletak di sebelah kota Ogawa. Karena kami mendengar bahwa Parking Area itu mengambil pemandangan dari buku Le Petite Prince. Memang kami sudah pernah pergi langsung ke museumnya di Hakone, tapi mumpung di jalan tol, bisa gratis istirahat kan?

Yorii Parking Area yang mengambil pemandangan dari buku Le Petite Prince

Dan benar saja, begitu kami masuk PA tersebut, pemandangan kota Perancis di malam hari menyebarkan suasana romantis. Kami sempat mampir ke toko di situ, dan memang tokonya juga lain dari yang lain. Selain menjual pernik-pernik buku “Pangeran Kecil”, juga menjual kue-kue dan permen ala eropa. Kalau tidak tahan mata, aku bisa borong semua deh 😀

Kami sampai di rumah pukul 8 malam. Masih pagi, tapi cukup capek. Jadi kami menutup hari dengan membacakan buku dongeng untuk anak-anak.

Hari itu tidak dapat stroberi tapi dapatnya kertas deh…..

Kai dan kartu pos made by d'Miyashita

Salju Inspiratif

12 Feb

Memang sudah sejak hari Kamis malam, kami mendapat warning bahwa di Tokyo hari Jumat sampai Sabtu akan turun salju dengan perkiraan ketebalan 5 cm. Dan waktu bangun pagi….. benar saja, butir-butir salju putih beterbangan di udara. Tapi karena belum terlalu dingin, butiran itu langsung mencair. Tapi tetap saja sama….dingin.

Teman chattingku pagi itu, LL, bertanya hari ini hendak kemana. Memang hari Jumat tgl 11 ini adalah hari libur untuk Jepang, hari pendirian negara Jepang. Tapi karena bersalju begini, malas rasanya untuk pergi. Tapi…. Gen mau keluar rumah, dan tentu saja aku terpaksa ikut.

Berjalan dalam curahan salju dengan payung di tangan, merasakan dingin terutama di tangan, tapi entah kenapa aku tidak begitu merasa dingin seperti kalau tidak bersalju. Ntah ini sugesti atau bukan, pada waktu turun salju, dinginnya masih bisa ditahan, dibandingkan hari cerah tapi berangin. Angin musim dingin Tokyo memang jahat!

Tujuan kami adalah Pusat Recycle Sekimachi, milik pemerintah daerah Nerima. Kalau tidak salju, kami bisa naik sepeda 15 menit. Jalan kaki juga bisa sih, sekitar 40 menit, tapi kami naik bus untuk pergi ke sana. Hari ini di Pusat Recycle itu ada kegiatan “Save ecology for children”. Dengan sedikit pameran dan permainan, ingin mengajarkan anak-anak tentang ECO. (ketemu lagi deh mas eko hihihi)

Begitu sampai di tempat itu, seperti yang sudah kami duga, sepi sekali. Kami disambut oleh mas-mas eko, tapi kali ini mas-mas ekonya sudah sepuh. Mereka adalah pekerja sukarela pemda, pensiunan-pensiunan, kakek nenek yang “cari kesibukan di usia lanjut” dengan membantu kegiatan-kegiatan semacam ini.

Membuat pistol-pistolan dari sumpit kayu, karet dan jepitan jemuran

Opa-opa itu mengajarkan Riku dan Kai membuat pistol-pistolan dari sumpit kayu, karet dan jepitan jemuran. Mudah, murah tapi cukup membuat kedua anakku asyik berduaan, sampai sulit sekali kusuruh berhenti bermain. Sementara mereka bermain, aku sempat masuk WC di gedung berlantai 3 itu. Begitu masuk WC lampu langsung menyala, karena memakai sensor. Otomatisasi seperti ini sudah banyak dipakai di gedung perkantoran dan sekolah untuk menghemat listrik. Tapi lucunya rupanya sensor itu membaca gerakan manusia. Jadi waktu aku “duduk” di WC sambil baca emails/internet, otomatis aku tidak bergerak, jadi lampunya mati tiba-tiba… hahaha. Sempat kaget sih, dan karena kaget bergerak kan tanganku, jadi lampu menyala kembali. Wah canggih sekali sensornya, maksudku sensitif terhadap gerak manusia. (Sempat terpikir kalau ada yang tiba-tiba mati di sini, ngga ketahuan ya karena lampu mati dan gelap…. hiiiii)

Selain otomatisasi lampu WC, mereka memakai tissue WC hasil daur ulang yang diberi nama 23KuBrand. Tissue itu merupakan proyek lingkungan hidup dari pemda Nerima, untuk mengumpulkan kertas sebagai bahan daur ulang. Tissue ini dipakai di setiap kantor pemda di 23 kelurahan di Tokyo. Satu lagi gerakan ECO.

Tissue hasil daur ulang 23KuBrand

Kemudian aku mengajak anak-anak pergi ke lantai 3 karena di situ ada bermacam “pameran”. Begitu masuk ruangan ada percobaan membangkitkan listrik dengan turbin. Ada 6 “pistol mainan” yang memakai tuas. Jika diputar tuasnya maka lampu akan menyala. Memang sih begitu 1 orang berhenti memutar, maka lampu juga akan mati, tapi disitu diajarkan bahwa listrik dapat dihasilkan dengan memakai turbin. Kai senang sekali di sini, meskipun dia yang paling lemah memutarnya, tapi dia senang sekali melihat lampu bisa menyala. Melihat Kai senang begitu opa-opa di sana bersemangat deh membantu memutar 6 pistol-pistolan itu hahaha.

Kai senang sekali di tempat percobaan pembangkit listrik ini

Di meja berikutnya, dijelaskan tentang beda pemakaian lampu biasa dan lampu LED. Jika lampu biasa memakai 60 watt, maka lampu LED hanya pakai 6 watt….jadi bisa hemat uang juga. Riku di situ diingatkan oleh petugasnya bahwa dengan mencolok kabel saja tanpa menyalakan mesin-mesin atau TV, tetap ada konsumsi listrik sebesar 0.5 watt. Yang juga berarti pemborosan listrik dan uang. Baru sadar dia, bahwa mamanya setiap kali ngomel ada artinya. Setiap malam sebelum tidur mamanya matikan dan cabut semua kabel itu ada artinya 😀

Konsumsi listrik setiap lampu berbeda. Yang paling hemat tentu LED

Meja yang lain memamerkan karya penghangat tubuh untuk musim dingin dari bahan bekas. Juga pembuatan kairo (penghangat tubuh) yang bisa dipakai terus menerus dengan memanaskan di microwave. dengan memakai kaus kaki tebal, atau kairo penghangat leher, tentu kita tidak perlu terus menerus menyalakan heater pada musim dingin.

Meja terakhir sebenarnya mau menunjukan memasak dengan solar cooker. Wah aku melihat wajan solar itu jadi ingat dulu waktu SMA, ikut kegiatan Science Club juga pernah membuat wajan solar bekerja sama dengan SMA Pangudi Luhur. Meskipun percobaan itu gagal, hati kami cukup hangat karena bisa bertemu dengan pemuda-pemuda kece (SMA semua putri saja soalnya hehehe). (Sayang ngga ada yang nyantol hahaha)

Seperti ini nih dulu 27 th lalu, aku buat percobaan di SMA, wajan matahari untuk masak. Akhirnya gagal, sudutnya byk salah jadi telurnya ngga matang-matang

Di sini akhirnya opa-opa itu membuat pop corn dengan kompor biasa, dan membagikannya pada anak-anak yang datang. Bahkan mereka membuat khusus untuk Kai, yang lahap memasukkan pop corn dalam mulutnya. Salah satu opa sampai bertanya padaku, “Kai tidak apa-apa makan pop corn begitu?”… oh tentu saja tidak apa-apa. Memang di Jepang sebelum memberikan sesuatu pada anak-anak pasti menanyakan dulu pada orang tuanya, apakah boleh diberikan atau tidak. Seperti pembagian permen/coklat/krupuk. Karena banyak orang tua yang disiplin tidak memberikan makanan tertentu, atau memang anak-anaknya alergi pada bahan makanan tertentu. (Suatu hal yang tidak pernah dilakukan orang Indonesia, langsung kasih ke anak-anak tanpa tanya pada orang tuanya apakah boleh atau tidak 😀 Dan menggagalkan pendidikan “tidak boleh permen/coklat” karena anak-anak merasa “dapat angin”)

Opa-opa membuat pop corn untuk Kai 😀

Sebagai hadiah kehadiran anak-anak dalam acara itu, kami mendapatkan hadiah kecil yang ditukarkan dengan kertas kehadiran yang penuh dengan stamp. Boleh pilih hadiahnya, dan aku suka sekali dengan sebuah bros kerajinan yang berbentuk seperti pensil, padahal bukan.

Pensil, tapi tidak bisa dipakai. Karena hanya ranting pohon yang ujungnya diberi warna spt pensil. kreatif juga. Aku suka!

Setelah cukup lama menghabiskan waktu di Pusat Recycle itu, kami pulang dalam salju, berjalan menuju stasiun terdekat, Musashi Seki. Karena lapar kami mampir makan Ramen dan pergi ke toko buku membeli buku cerita bergambar untuk Kai dan Riku dan mamanya 😀 Ada Picture book baru karangan Nakaya Miwa, penulis favoritku, yang karyanya sudah pernah kutulis (Story of Black Crayon) di sini, (Tempat tidur si kacang babi) di sini dan (Si Hitam dan Hantu) di sini.

Sebagai penutup aku mau menuliskan sebuah kalimat inspiratif yang kudapat di televisi akhir minggu lalu. “Bagaimana bisa menumbuhkan dan mengembangkan sesuatu kalau tidak memulainya?” Sister Tsudo, 83 tahun, seorang dokter biarawati yang memimpin RS TBC di Haiti, yang rubuh oleh gempa. (はじめなければ何も成長しない)

Duh, melihat kegiatan beliau, aku yang usianya separuhnya seharusnya tidak mengeluh dengan kehidupan ini. Bayangkan dia 30 th membangun RS di Haiti dari yang tidak ada apa-apa, sampai punya RS megah, dan hancur seketika oleh gempa. Tapi dia tidak pernah menyerah!

Sama halnya dengan pengajaran penghematan listrik dan gerakan cinta lingkungan. Tidak akan bisa berlangsung kalau kita tidak mulai dari diri sendiri! Mulailah, baru mengembangkannya.

Aku sebetulnya tidak begitu suka dengan istilah “Kalimat inspiratif”. Karena kalimat itu akan tetap menjadi kalimat kosong belaka jika TIDAK DILAKSANAKAN. Tapi karena aku diminta oleh Jumialely untuk menyebarkan virus inspiratif, maka aku tutup postingan hari ini dengan kalimat dari Sister Tsudo itu.

“Bagaimana bisa menumbuhkan dan mengembangkan sesuatu kalau tidak memulainya?”

Belajar Berpuisi

9 Feb

Kapan ya kita pertama kali belajar berpuisi? Apakah masih ada puisi/ sajak yang kita ingat sampai saat ini? Yang kita pelajari di SD misalnya?

Aku sendiri lupa kapan persisnya aku belajar puisi. Sudah pasti dalam pelajaran bahasa Indonesia. Memang ada sebuah contoh puisi, lalu kami disuruh menulis puisi pendek, apa saja. Satu-satunya puisi pendek yang aku ingat pernah tulis di SD berjudul Ibuku.

Oh Ibu,
bila kudengar nama itu…. (selanjutnya lupa)

Dan terus terang, puisi yang aku buat bukan original. Ya, aku comot-comot sana sini menjadi satu puisi. Dulu aku punya kebiasaan membuat clipping puisi dan cerpen, sehingga dari situlah aku ambil… (payah banget yah? untung masih kreatif ngga plagiat plek hihihi)

Ada dua puisi penyair terkenal yang aku ingat sampai sekarang. Siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar dengan “Aku” nya. Dan satu lagi, sepenggal puisi dengan : Beta Pattirajawane yang dijaga datu-datu cuma satu. Masih karangan Chairil Anwar tahun 1946, dengan judul Cerita buat Dien Tamalea.

Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satuBeta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau….

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Aku temukan puisi Chairil Anwar ini dalam sebuah buku kumpulan puisi papa yang ada di kamar kerjanya. Waktu itu aku ingat, aku bersikeras ini menghafal sebuah puisi, dan terpilihlah puisi yang ini. Di kamar kerja yang sepi, aku bisa mendeklamasikan puisi itu dengan berapi-api tanpa malu…. maklum deh dulu aku memang benar-benar pemalu. Tapi …. aku yakin waktu itu aku sudah lebih besar dari SD.

Yang aku rasa hebat, semua murid Jepang dapat menghafal puisi-puisi penyair terkenal Jepang yang jumlahnya ratusan. Mereka harus menghafalnya, karena keluar dalam berbagai ujian/ujian masuk sekolah yang lebih tinggi!

Helloooooo sastra Indonesia? rasanya aku ingin malu deh membandingkan dengan sastra Jepang. Ok, memang sejarah Indonesia sebagai suatu negara masih baru. Anggap saja Indonesia masih anak SD yang baru mengenal huruf….hiks. Tapi benar deh, jika sebuah negara ingin maju, haruslah lebih mengenal sastra dan budayanya dengan benar. Bahasa, sastra budaya mutlak diperlukan dalam pembentukan diri.

Sebetulnya tujuan postingan ini hanyalah ingin memberitahukan bahwa anakku Riku, 2 SD, baru saja belajar puisi. Karena penasaran, aku intip, puisi macam apa sih yang diberikan sebagai contoh?  Apakah haiku seperti yang pernah ditulis IndahJuli di sini? Atau puisi modern yang lebih bebas tidak terikat dengan jumlah suku kata.

Mari kita intip puisi yang dipelajari:

Kaeru (Tanikawa Shuntaro)

Kaerukaeru wa
michimachi kaeru
mukaeru kaeru wa
hikkurikaeru

kinoborigaeru wa
kiwo torikaeru
tonosamagaeru wa
kaerumo kaeru

Kaasangaeru wa
Kogaeru kakaeru
tousan gaeru
itsukaeru

terjemahan bebas:

Kodok


Kodok yang pulang
salah jalan
Kodok yang menjemput
terbalik

Kodok yang memanjat pohon
tidak bisa konsentrasi
Kodok buduk besar
kodok-kodok pun pulang

Ibu kodok
Menggendong anak kodok
Bapak kodok
kapan pulang?

Ka no iroiro (Sakata Hiroo)

Ka
Tobu ka
Tobanu ka
Tobanu ka nanka
naidewanai ka
nemui ka
nemurenai ka
yorujuu naiteruka
kawaisouna ka
kawaisou ka
kawaisou dewanaika
kiitemita ka
kiitemo wakaranka
aa soudesu ka


Serba serbi nyamuk

Nyamuk
Nyamuk terbang
Apakah ada nyamuk tak terbang?

Ngantuk
Tidak bisa tidur
Sepanjang malam menangis

Kasihan nyamuk itu
atau tidak apa-apa ya?
Coba kubertanya
Ah, ditanyakan pun tidak mengerti
Begitu ya?

(FYI puisi-puisi ini aslinya ditulis dengan hiragana)

Dua puisi (ada 4 puisi sebenarnya) yang aku tuliskan di atas memang puisi modern, yang lebih menekankan pada permainan bunyi. Seperti cara kita berlatih huruf P dalam bahasa Inggris: Peter piper picked a pack of pickled peppers, how many packs of pickled peppers did peter piper really pick? atau huruf R bahasa Indonesia: Ular melingkar di pinggir pagar bundar.

Dan dua pengarang puisi di atas Tanikawa Shuntaro serta Sakata Hiroo adalah penulis puisi yang terkenal, pengarang Picture Book dan bahkan Sakata Hiroo adalah sastrawan anak-anak. Hampir semua orang Jepang mengenal nama mereka (well suamiku tahu dan memang dia suka sastra).

Tanikawa Shuntaro, 80th.... lihat senyumnya saja ikut senang ya. Ah, aku mau cari karya-karyanya yang lain

Memang Indonesia juga mempunyai penyair puisi/sajak yang terkenal. Tapi karyanya kebanyakan panjang-panjang dan tidak dipopulerkan di kalangan sekolah dasar. Mungkin juga karena isi puisi yang sulit dimengerti anak-anak. Tidak cocok untuk anak-anak karena berbau sosial atau protes terhadap pemerintah. Aku sendiri selalu suka karya W.S. Rendra, puisi mbelingnya Remy Sylado, Sutardji Calzoum, Eka Budianta atau yang paling baru aku kenal Joko Pinurbo (yang karya benar-benar tidak cocok untuk anak-anak alias 17 th ke atas 😀 ) Tapi aku tidak tahu apakah anak-anak SD sekarang kenal sastrawan-sastrwan ini. Atau mungkin saja karena aku tidak tahu kondisi di Indonesia sekarang, jadi tidak tahu puisi apa yang dihafal anak-anak SD Indonesia.

NB: Mohon maaf bagi teman-teman yang memakai blogspot (termasuk Intan rawit) saya tidak bisa menuliskan komentar, ditolak terus, ntah kenapa. Mungkin ada masalah dengan security IP saya atau bagaimana. ntahlah.

Tamiflu dan Kebijakan Sekolah

8 Feb

Ada seorang teman yang bertanya padaku, “Untuk influenza karena Virus H1N1 itu obatnya apa?” sambil bercanda dia bilang akan mempersiapkan kamus bahasa Jepang. Tapi sebetulnya tanpa kamus bahasa Jepang, cukup mas Google saja sudah bisa tahu spesifikasi obat yang Riku dan aku minum itu. Obat itu bernama Tamiflu dari Roche.

The drug is sold under the trade name Tamiflu and is taken orally in capsules or as a suspension. It has been used to treat and prevent Influenzavirus A and Influenzavirus B infection in over 50 million people since 1999.(wikipedia: tamiflu )

Seperti yang aku tuliskan sebelum ini, Dokternya sempat mengucapkan, “Kalau ibu demamnya naik, bisa minum obat yang sama ini. Saya rasa Riku tidak perlu semua”. Riku mendapat obat tamiflu itu, mungkin karena dia anggap sudah besar. Karena waktu kami baca surat keterangan dari apotik, sebenarnya obat ini dilarang diberikan pada anak berusia belasan tahun. Nah loh…..

obat keras tuh katanya ….

Selain tidak boleh diberikan pada pasien yang berusia belasan, dituliskan juga bahwa penderita flu yang minum obat ini jangan dibiarkan sendirian, paling sedikit selama 2 hari. Katanya karena obat ini keras, bisa beberapa penderita yang tidak kuat bisa melihat ilusi (penampakan? hihihi) atau keadaan setengah sadar yang mungkin dapat berbahaya.  Lucunya selama Riku minum obat ini, yang suka ngigau waktu tidur, justru bukan Riku, tapi Kai hahaha.

Akhirnya memang Riku cuma minum 3 butir saja. 1 butir setiap 12 jam. Sisanya 3 butir mamanya yang minum. Kami hentikan minum karena sudah tidak demam lagi.Masih ada 4 butir nih, untuk persediaan 😀

Ternyata memang sejak 2009, H1N1 dinyatakan sebagai virus influenza tipe baru yang diderita oleh kebanyakan penderita influenza, terutama jika belum pernah menderita influenza sebelumnya. H1N1 ini adalah yang dulu rame-ramenya disebut flu babi, swine flu. Tapi karena sekarang obatnya sudah ada, menderita influenza jenis baru ini sama sekali “biasa-biasa saja”, tidak ada perlakuan khusus. Aku ingat sekali, tahun lalu, waktu mau ambil obat di apotik saja, sampai harus lewat pintu belakang. Kayaknya heboooooh banget. Sekarang mungkin tipe barunya sudah jadi lama yah hihihi. (Tapi jangan lagi ada penyakit aneh-aneh ah).

Hari ini, Selasa 8 Februari, akhirnya Riku masuk sekolah kembali. Sejak tanggal 2 Februari dia dikenakan “Penghentian Absensi” 出席停止 shusseki teishi. Berdasarkan peraturan dalam “Hukum Kesehatan Sekolah” , bagi murid yang menderita penyakit-penyakit menular, yang kehadirannya bisa membuat orang-orang di sekelilingnya sakit, diberlakukan Penghentian Absensi, berhenti sekolah. Dengan adanya Penghentian Absensi,  maka waktu tidak masuk sekolah karena sakit itu tidak dihitung sebagai “tidak masuk sekolah/absen”. Karena banyak murid yang mengincar 皆勤賞 (kaikinshou) yaitu Penghargaan Tidak Pernah Absen…. (Riku juga mengincar ini, jadi dia tidak pernah malas dan minta bolos).

Nah, jika sudah sembuh, maka orang tua mengajukan surat mohon ijin sekolah kembali, dengan menyebutkan nama penyakit dan RS yang mengobatinya. Untungnya orang tua cukup mengisinya sendiri, karena untuk sekolah tertentu ada yang minta Surat Keterangan Dokter bahwa sudah sembuh dan itu tentu harus bayar 😀 minimal 300yen.

Penyakit menular apa saja yang dikenakan “Penghentian Absensi” ini, dan kapan boleh masuk (kapan dinyatakan sembuhnya):

1. Influenza     : 2 hari sesudah demam reda
2. Batuk Rejan (batuk 100 hari) : sampai batuk yang khas itu hilang
3. Measles Campak (Hashika) : 3 hari setelah demam reda
4. Gondong (Otafuku): setelah bengkak di bawah telinga kempis
5.  Measles jenis 3 hari (Mikka Hashika) : sampai bintik-bintik di badan hilang
6. Cacar Air (Mizubousou): Setelah semua cacar menjadi keropeng (kering)
7. Pharyngoconjunctival Fever (Adeno virus atau Puru byou): “hari setelah gejala penyakit hilang)
8. Tuberculosis : Sampai dokter menyatakan tidak berbahaya lagi

Ke delapan jenis penyakit ini dikategorikan menjadi penyakit jenis 2. Sedangkan penyakit jenis 3 semuanya membutuhkan pernyataan dokter bahwa sudah sembuh, seperti : Diare, muntaber, Kolera, hepatitis, Penyakit mulut, tangan dan kaki, Microplasma, Norovirus dll.

Memang untuk mencegah penyebaran penyakit menular harus ada peraturan yang ketat seperti ini. Apalagi untuk anak-anak (dan ibu-ibu) yang rajin belajar (kebanyakan orang Jepang memang rajin sih)  sehingga tidak mau absen. Kepentingan umum memang harus dijunjung tinggi ya.