The Show Must Go On

18 Mar

Apapun yang terjadi! Kita tentu sering mendengar ungkapan ini kan? Tapi siapa sangka bahwa ini berlaku juga dalam keadaan musibah? Dalam kekacauan setelah gempa. Kalau orang kita mungkin, “Batalkan saja!”….

Memang orang Jepang terkenal dengan dedikasinya yang tinggi terhadap pekerjaannya. Sampai dikatakan bahwa orang Jepang tidak sayang keluarga. Dan itu memang benar. Aku sendiri mengalami dan mengetahui, pantaslah negara Jepang maju, karena setiap orang seperti ini.

Sudah baca ceritaku yang Pemadaman Listrik kan? Suamiku pagi sesudah Gempa Tohoku itu masih pergi ke kantor, naik mobil karena transportasi banyak yang dibatalkan, belum lagi giliran pemadaman listrik. Orang Jepang lainnya? Tetap ke stasiun sambil menunggu kalau-kalau kereta jalan, atau naik bus, jalan kaki ke kantor. Dan tahu dong bahwa kebanyakan pegawai tinggal di pinggiran Tokyo atau bahkan di prefektur lain, seperti Kanagawa, Chiba atau Saitama. Adikku tidak ke kantor karena tidak ada transportasi, dan diperintahkan atasannya untuk kerja di rumah. Lagipula dia memang sering kerja di rumah. IT memang tidak perlu berada di kantor, bisa di remote dari rumah. Tapi itu juga karena perusahaannya adalah perusahaan Amerika. 🙂

Kalau orang Indonesia mungkin fifty-fifty, ada yang pergi ke kantor dengan segala cara, ada yang tetap di rumah. Masalahnya memang bukan “sayang atau tidak sayang keluarga”!

Ok deh, memang suamiku masih tinggal di Tokyo, yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa. Pasti mereka yang tinggal di Sendai tidak akan “ngoyo” begitu kan? Tapi dari percakapan dengan adik ipar Empat Telepon, aku tahu bahwa meskipun dalam keadaan gempa begitu, Adik Gen TETAP pergi kerja, meninggalkan anak-istrinya dalam gelap di apartemen sendirian. Tentu saja jalan kaki, menunaikan tugasnya sebagai bagian editing berita.

Ada yang memberikan komentar “Saya pikir sekolah diliburkan?”
Memang ada beberapa sekolah yang diliburkan di Tokyo berkenaan dengan pemadaman listrik bergilir, tapi SD nya Riku sejak Senin, jalan terus.

Pagi hari Senin itu daerah kami mendapat giliran pemadaman pagi hari dari pukul 6:20 sampai 10 pagi. Karena ragu apakah sekolah tetap jalan atau tidak aku memutuskan dalam hati bahwa Riku akan sekolah jika listrik sudah nyala jam 10, biarlah terlambat. Eh tahu-tahu jam 7 pagi aku mendapat telepon beranting dari Ibu pengurus kelas yang isinya, “Pemda memang menyatakan bahwa sekolah SD wilayah kami terkena dampak pemadaman listrik, tapi kegiatan pembelajaran tetap dilaksanakan. Makan siang juga tetap disediakan”. Karena aku yang terakhir aku perlu menelepon ketua pengurus kelas kami bahwa sudah menerima pesannya. Sistem telepon beranting  Renrakumou benar-benar dipakai saat-saat begini. (Bisa baca di Hubungan dari Hantu ke Hantu)

Jadi aku membiarkan Riku berangkat ke sekolah sendiri seperti biasa, lagipula ternyata wilayahku tidak jadi mati listrik. Tapi begitu pulang Riku membawa surat pengumuman dari pihak sekolah dan memakai topi pelindung yang dinamakan Bousai Zukin 防災頭巾. Topi ini sebetulnya berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari bahan anti terbakar, dan diberi busa pelindung kepala jika kejatuhan barang. Topi ini jika tidak dipakai dilipat dan dijadikan cushion, bantal duduk. Tapi yang aku tahu TK menjadikannya cushion, tapi SD ditaruh di senderan kursi . Tapi yang pasti, berada dalam jangkauan anak-anak. Sehingga jika terjadi kebakaran atau gempa bumi, anak-anak sudah terlatih untuk mengambil Bousai Zukin ini dan memasangnya di kepala. Setiap sebulan sekali ada latihan mengungsi Hinan Kunren 避難訓練 di sekolah.

Bousai Zukin

Isi pengumumannya sebagai berikut:
1. Sedapat mungkin murid datang ke sekolah diantar orang tua/ atau bersama-sama teman. Harap menggunakan topi pelindung.
2. Untuk tgl 17 dan 18, kami sulit menyediakan makan siang karena kemungkinan pemadaman listrik dan ada masalah distribusi bahan makanan ke masing-masing sekolah (masaknya di sekolah). Karena itu tolong bawakan bento (bekal makan siang) untuk anak-anak Anda.
3. Karena ada kemungkinan pemadaman listrik, berarti tidak bisa memasang heater. Anak-anak harap memakai baju yang tebal, yang memungkinkan belajar tanpa heater.
4. Selama seminggu ini harap terus membawa thermos berisi air minum.

Ah, mereka memang sudah siap semua untuk segala kemungkinan. Aku bahkan lebih percaya menitipkan anak-anakku di sekolah daripada di tempat lain.

Jadi begitulah sekarang setiap pagi aku mengantar Riku ke sekolah bersama Kai. Tanggal 15 kemarin Kai memakai helmet sepeda, karena melihat Riku pakai Bousai Zukin. Untuk Kai dia belum memakai Bousai Zukin karena belum sekolah di TK. Begitu masuk TK dia akan memakai Bouzai Zukin yang kira-kira sama bentuknya seperti SD. Tapi mulai tgl 16 Kai tidak memakai helmet lagi.

Gempa susulan yang agak besar hampir terjadi setiap malam. Biasanya persis waktu kami bertiga sudah dalam selimut akan tidur. Tiga kali kejadian, Riku sudah tertidur dan tidak terbangun oleh gempa susulan itu, sedangkan Kai masih melek dan selalu memeluk aku setiap gempa. Aku cuma berdoa asal jangan gempa lebih besar dari 6 SR, kalau 6 SR kami sudah terbiasa, jadi sudah tahu apa yang harus diperbuat.

Lagipula hampir setiap akan ada gempa besar, HP ku berbunyi sebagai “Earthquake warning”. Aku tidak tahu bahwa pemakai HP jenis lainnya, yaitu Softbank — operator yang terbanyak dipakai oleh orang Indonesia, karena bisa iPhone — tidak otomatis memberikan servis ini. Aku beruntung sekali karena setiap kali berbunyi, meskipun deg-degan, anak-anak dan aku bisa langsung berlindung di bawah meja makan. Kai sudah terlatih sekali sehingga begitu dia mendengar bunyi tertentu dia selalu bersembunyi di bawah meja. Kemarin malam (sekitar jam 8 malam) pas aku berada di WC, alarm itu berbunyi. Aku cepat keluar WC dan melihat kedua anakku sudah di bawah meja. HEBAT!

Sebagai penutup aku mau melampirkan Surat Press dari Ketua PPI Jepang mengenai Radiasi PLTN Nuklir. Selamat membaca:

 

***************************************************************

SIARAN PERS

Pernyataan Sikap Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang)

Perihal Pemberitaan Media Nasional yang Tidak Profesional Terkait Bencana di Jepang, Maret 2011

Berkaitan dengan bencana gempa di Perfektur Miyagi, Jepang, berskala 9 Richter yang disusul dengan tsunami dan ancaman radiasi nuklir, kami mahasiswa Indonesia di Jepang sangat menyayangkan berita-berita di beberapa media nasional yang dinilai tidak profesional dalam menyiarkan informasi. Kami mendapati berita-berita tersebut salah dan tidak sesuai dengan fakta sebenarnya di Jepang sehingga mengakibatkan keresahan berlebihan bagi masyarakat dan keluarga di tanah air.

Untuk itu, atas nama seluruh mahasiswa Indonesia di Jepang, Pengurus Pusat PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Jepang menyampaikan pernyataan sikap seperti di bawah ini, meliputi peringatan bagi pers dan informasi keadaan WNI di Jepang secara umum.

Peringatan bagi pers

Menimbang:

1. bahwa kami banyak mendapati berita di media-media nasional yang bersifat berlebihan dan meresahkan. Berita-berita ini umumnya salah dalam mengungkapkan data serta salah dalam memahami konteks sehingga menimbulkan misinterpretasi bagi masyarakat Indonesia.

2. beberapa contoh yang kami anggap fatal dari beberapa berita yang tersebar adalah berita bertajuk:

– “881 WNI di Jepang Selamat, 30.636 Belum Diketahui Nasibnya” tanggal 15 Maret dan,

– “Jepang Berusaha Hidupkan Kembali Listrik PLTN Fukushima” tanggal 17 Maret.

Keduanya dipublikasikan oleh salah satu portal berita nasional.

– berita pertama, walaupun kemudian diralat, dinilai salah dalam memahami konteks demografi persebaran WNI yang ada. Sebab, selain keempat perfektur ini, Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori, kondisi WNI di lokasi lain tidak mengalami gangguan yang berarti. Angka 30.636 orang adalah salah konteks.

– berita kedua dinilai tidak mengindahkan kaidah jurnalistik sehingga menimbulkan kesan seluruh Jepang mengalami pemadaman listrik padahal kenyataannya tidak demikian.

3. berita-berita seperti di atas menyebabkan kecemasan yang berlebihan, terutama di tanah air. Salah satu akibatnya adalah Posko Crisis Center KBRI Tokyo banyak sekali menerima permintaan konfirmasi terkait berita-berita tersebut, padahal KBRI Tokyo telah menyediakan informasi di situsnya.

Meminta:

4. kepada media nasional agar lebih profesional dalam berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Pers. Salah satunya dengan menyiarkan berita secara informatif, berimbang serta diambil dari sumber-sumber yang kredibel.

Kondisi umum WNI di Jepang

5. PPI Jepang menghimbau agar segala informasi mengenai kondisi WNI di Jepang dapat dirujuk melalui satu sumber yaitu Posko Crisis Center KBRI Tokyo. Silahkan merujuk pada situs KBRI Tokyo, Twitter @KBRITokyo maupun Facebook Kbri Tokyo.

6. bencana gempa, tsunami, dan meledaknya PLTN Fukushima hanya berdampak langsung pada   perfektur-perfektur di daerah utara Pulau Honshu, seperti Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori. Sedangkan secara umum kondisi di daerah selain itu, termasuk Tokyo, Osaka, Hiroshima, Fukuoka, di mana masyarakat Indonesia paling banyak berkumpul, dilaporkan aman dan tak ada korban.

7. KBRI telah berhasil mengevakuasi dan memulangkan lebih dari 100 WNI asal Sendai, Perfektur Miyagi ke Indonesia. Dan sampai saat ini, KBRI sedang mengevakuasi WNI lainnya di kota-kota di utara, seperti Iwate, Fukushima, Kesennuma, dan sebagainya. Selengkapnya bisa diakses di situs KBRI Tokyo.

8. terkait ancaman radiasi nuklir PLTN Fukushima, berdasarkan pada hasil rapat antara KBRI Tokyo dengan para ahli nuklir Indonesia di Jepang tanggal 16 Maret 2011, dinyatakan bahwa ancaman radiasi nuklir masih dalam lingkup kota Fukushima (radius 0-50km dari PLTN), sehingga tidak ada ancaman serius bagi kota-kota di luar radius 50km. Namun demikian, dilaporkan bahwa KBRI Tokyo terus melakukan evakuasi terhadap WNI yang berada pada radius 0-100km ke Tokyo. Perlu diketahui, KBRI Tokyo berada pada lokasi berjarak 250km dr PLTN Fukushima. Selengkapnya dapat diakses di situs KBRI Tokyo.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan dengan iktikad baik menuju perubahan positif. Semoga menjadi peringatan bagi insan pers di Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan berita.

Tokyo, 17 Maret 2011

Ketua Umum PPI Jepang

Fithra Faisal Hastiadi