Kesatuan Macan Putih

14 Nov

Jika kemarin aku sudah menulis tentang Tsurugajo Castle (istana dari han Aizu), maka untuk menulis tempat yang aku kunjungi setelah itu, aku harus menuliskan sedikit sejarah Jepang jaman Meiji awal, 1868-an.

Pada jaman sebelum Meiji, atau yang dikenal dengan jaman Tokugawa atau Edo (nama Tokyo waktu itu), Jepang dikuasai oleh Shogun dari keluarga Tokugawa dan menjadi pucuk pimpinan dari wilayah-wilayah yang disebut han, yang diketuai oleh seorang daimyo. Pada akhir kekuasaan Tokugawa, ada dua han yang melawan Tokugawa dan mendukung pemerintahan baru, yaitu Satsuma dan Chosu. Sedangkan han Aizu yang diketuai Matsudaira Katamori sebagai daimyo terakhir mendukung pemerintahan lama.

Pada perang antara pendukung Tokugawa dan pendukung pemerintahan baru yang disebut perang Boshin tahun 1868-1869 (yang berakhir dengan kekalahan Tokugawa), Aizu ikut bertempur dan sebagai pasukan cadangan dibuatlah pasukan yang diberi nama Byakkotai atau bisa diterjemahkan menjadi Kesatuan Macan Putih. Kesatuan ini terdiri dari 305 pemuda berusia 16-17 tahun yang terdiri dari anak-anak samurai dari han Aizu. Pada waktu terjadi pertarungan di Tonogahara, ada 20 anggota Byakkotai terpisah dan mundur ke bukit Iimori. Dari bukit Iimori ini, mereka bisa  melihat ke arah kastil Tsurugajo dan terlihat kastil itu terbakar. Merasa kalah dan tidak bisa mempertahankan tuan mereka, prajurit muda ini kemudian melakukan bunuh diri di bukit tersebut. Tapi ada satu prajurit yang selamat (diselamatkan penduduk) bernama Iinuma Sadakichi yang kemudian setelah perang selesai pindah dan tinggal di Sendai. Karena pengakuan Iinuma inilah diketahui nasib 19 orang anggota Byakkotai yang bunuh diri ini. Untuk mengenang keberanian mereka di bukit Iimori ini dibangun tempat kenangan, monumen dan kuburan yang diberi nama Byakkotai Kinenkan (Byakkotai Memorial).

Hadiah patung batu dari Mussolini

Dalam komplek ini terdapat puisi dari Matsudaira Katamori yang tertulis di batu peringatan yang bertuliskan: “Seseberapa banyaknya tangisan akan menghapus batu-batu ini, nama-nama mereka tidak pernah akan terhapuskan dari dunia”. Kagum akan keberanian dan kesetiaan pasukan Byakkotai, Benito Mussolini dari Italia mengirimkan sebuah patung batu dari Pompeii untuk didirikan dalam kompleks Memorial ini.

Tingginya tangga di bukit Iimori, sebelah kanan ada elevator untuk ke atas, tentu harus bayar

Setelah memarkirkan mobil, kami menuju Memorial dan di pintu masuknya kami mendapati sebuah tangga yang tinggi sekali. Sempat berpikir juga, apakah aku sanggup untuk naik ke sana. Tapi ternyata untuk turis penakut seperti aku, tersedia elevator sampai ke atas dengan membayar 250 yen. Jadi aku, Riku dan Kai naik elevator sedangkan Gen naik tangga. Sesampai di atas memang hanya monumen dan patung serta kuburan yang bisa dilihat. Bagi wisatawan yang tidak mengerti jalan cerita sejarah Byakkotai pasti menganggap tempat ini membosankan. Tapi buat mereka yang mengerti bisa merasakan dan membayangkan kegalauan anak-anak muda yang demi membela han dan tuannya, rela bunuh diri sendiri.

Tugu peringatan dan tempat berdoa

Dari bukit tempat memorial, kami menuju arah pulang sesuai dengan petunjuk yang ada. Dan kami menemui sebuah bangunan yang aneh. Semacam menara berwarna hitam. Kami diajak untuk mencoba masuk dan naik menara ini, dan merasakan keajaiban bangunan yang didirikan tahun 1796. Jika kita masuk dan menaiki tanjakan (bukan tangga) Aizu Sasaedo ini, kita akan bisa sampai atas, dan tanpa perlu kembali ke arah datang kita bisa turun ke bawah. Jadi waktu turun kita tidak akan pernah berpapasan dengan orang yang sedang naik. Memang menarik sekali bangunan kuno ini. Meskipun rasanya 400 yen cukup mahal sebagai tanda masuknya 😀

Menara Aizu Sasaedo dengan tangga beralur yang memungkinkan kita tidak usah kembali untuk turun

Tapi waktu kami meninggalkan Aizu Sasaedo dan akan berjalan pulang, kami menemukan sebuah kali kecil berarus deras dengan Jinja (tempat berdoa) dan pemandangan di sini indah! Tanahnya ditutupi daun-daun kuning sehingga kami bisa merasakan autumn yang sesungguhnya. Jepang Utara di musim dingin memang memikat.

menuruni bukit

 

Pintu Pemeriksaan

11 Feb

Posting kali ini adalah catatan wisata berbau sejarah, yang merupakan lanjutan perjalanan kami di Hakone yang telah saya tulis di Paten(i) Seni.

Pada bagian akhir saya menjelaskan bahwa ternyata tempat yang kami kunjungi itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Dan sebetulnya daerah Hakone memang terkenal sebagai jalan masuk/keluar menuju Edo (Tokyo) dan Kyoto. Karena itu di Hakone ada Pintu Pemeriksaan yang disebut Hakone Sekisho.

Pintu masuk Tokyo

Jaman Edo dulu (1603-1868) , para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota pada waktu-waktu tertentu. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan, tapi berdampak buruk untuk perekonomian, karena biaya perjalanan ditanggung oleh sang tuan tanah Daimyo.

Nah untuk melindungi keamanan Edo (Tokyo) maka pemerintah Bakufu (pemerintah Edo Pusat) mendirikan Pintu Pemeriksaan atau Sekisho ini di 53 titik yang dianggap sebagai pintu masuk ke Edo (Tokyo). Selama pemerintahan Bakufu, sedikitnya 260 tahun, Sekisho   menjalankan tugasnya untuk mengamankan Edo (Tokyo) sampai awal Meiji (runtuhnya pemerintahan Bakufu).

Loket penjualan karcis masuk di Pintu Kyoto. Lihat Kai "bersembuyi" di bawah....

Sebetulnya saya sudah pernah pergi ke Hakone Sekisho ini, di awal kedatangan saya di Jepang, sekitar tahun 1992-an.  Saya masih ingat, dulu tempat ini kusam, tidak banyak bangunan dan yang membekas ada semacam museum dengan dokumen-dokumen kuno. Hmmm boleh dikatakan tidak menarik untuk orang asing awam (kecuali yang suka sejarah). Dulu memang saya juga tidak membawa kamera sehingga tidak ada kenangan yang diabadikan.

Yang sebelah kiri tuh ceritanya pendeta Buddha Ikkyu-san

Tapi waktu kami pergi ke hakone Sekisho ini, amat banyak perubahan yang ada. Tempat pemeriksaan ini ternyata sudah direnovasi, setelah 140 tahun terbengkalai. Di bangunan yang di cat hitam ditempatkan patung penjaga, patung kuda, bahkan dilengkapi dengan dapur lengkap dengan panci dan patung orang yang sedang memasak. Patung-patung ini seukuran manusia dan karenanya Kai takut melihatnya.

Kami masuk dari pintu Edo, melintasi Kantor Pemeriksaan dan pos pengawal, untuk kemudian keluar lewat Pintu Kyoto. Tapi untuk melihat ke dalam Kantor Pemeriksaan termasuk dapur dan menara pengintainya, kami musti membeli karcis seharga 500 yen untuk dewasa di dekat pintu Kyoto. Saya merasa agak aneh saja, kok loket karcisnya hanya di pintu Kyoto. Dan sebetulnya 500 yen untuk melihat ke dalam Kantor itu agak mahal deh…. Untuk orang Jepang yang mengerti sejarahnya OK lah. Tapi untuk wisatawan asing…. hmmmm. Baru kali ini saya menyetujui perbedaan karcis masuk untuk wisdom dan wisman di tempat wisata Indonesia.

Pemandangan di kantor pemeriksaan

Di Kantor Pemeriksaan kami bisa melihat proses pemeriksaan yang dilakukan oleh satu petugas Bangashira, satu asisten Yokometsuke, 3 orang Jobannin, dan  15 petugas bawahan. Dan satu lagi yang tidak kalah penting perannya adalah hitomi-onna. Hitomi onna ini bertugas memeriksa wanita yang lewat. Karena peraturan sankin kotai itu mewajibkan tuan tanah meninggalkan anak-istrinya di Edo selama pulang ke daerah mereka. Sebagai tawanan sehingga mereka tidak bisa memberontak melawan penguasa pusat.

Jenis paku jaman Edo. Kok aku ngeliat gini jadi ngeri kalau paku itu dipakukan ke orang ya? hiiii

Meskipun saya merasa mahal karcis masuk yang 500 untuk melihat fasilitas seperti itu, bisa terobati juga sih karena memang pemandangan dari atas menara pengintai itu bagus. Di latar belakang terlihat danau Ashi dengan kapal wisata berbentuk kapal bajak laut. Kalau ada waktu banyak lumayan juga duduk di atas bukit sambil baca buku sambil menikmati pemandangan yang terhampar.

Setelah dari tempat ini, kami sempat mampir juga di sebuah hotel kuno di daerah Hakone Yumoto yang bernama Miya no shita Fujiya Hotel. Kami sudah 2-3 kali ke hotel ini, tapi memang tidak menginap. Karena tarif per malam menginap di hotel ini mahal sekali. Satu orang per malam bisa 3,6 juta rupiah saja hihihi. (FYI: menginap di penginapan Jepang hampir semua dihitung per kepala, bukan per kamar)

halaman hotel Fujiya

Hotel yang didirikan tahun 1878 ini memang terkenal sebagai hotel kuno, yang sering dikunjungi seleb dan orang terkenal dari manca negara. Karena kami belum menjadi seleb, jadi belum mampu deh menginap di situ. Cukup makan nasi kare saja di restorannya. Nasi Kare restoran di hotel ini begitu terkenal sampai dijadikan makanan retort (siap saji dalam kemasan).

Gambar kompleks hotel Fujiya. Diambil dari web resmi hotel ini.

Dan kami pernah mengajak papa-mama mampir ke hotel ini waktu papa mama datang ke Jepang. Salah satu foto mereka yang amat saya suka…. (obat kangen nih)

aku suka foto ini yang aku ambil 29 Mei 2005 di Fujiya Hotel, Hakone

Dengan selesainya tulisan ini, selesai deh perjalanan kami ke Hakone tanggal 11 Januari yang lalu. Satu hari wisata dengan 3 tulisan, yaitu: kerajinan Yosegisaiku Paten(i) Seni, Museum Pangeran Kecil , dan Pintu Pemeriksaan ini.