Museum Arsitektur

8 Nov

Weekend kali ini kami tidak kemana-mana, karena Sabtu-Minggu Gen harus bekerja dalam rangka Festival Universitas. Akhir Oktober-Awal November merupakan waktu sibuk bagi sekolah, terutama universitas untuk mengadakan Festival Universitas. Karena tanggal 3 November di Jepang adalah hari libur resmi, Hari Kebudayaan、Bunka no Hi.

Jadi hari Selasa, tanggal 3 November yang lalu itu kami sekeluarga menggunakan waktu libur untuk pergi ke Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum yang terletak di dalam Taman Koganei. Bahasa Jepangnya Edo-Tokyo Tatemonoen, jadi sebetulnya terjemahan secara harafiahnya Museum Bangunan Edo-Tokyo. Sebab jika diterjemahkan Museum Arsitektur, agak kurang pas, karena sama sekali tidak ada keterangan tentang rumah-rumah tersebut, seperti maket, denah, keterangan bahan…. mungkin lebih mirip Taman Mini Indonesia Indah, versi Jepang… dan jauh lebih kecil luas wilayahnya. Tempat ini mengalahkan alternatif yang lain yaitu Taman  Showa Kinen Koen yang sudah pernah kami kunjungi.  Padahal saat ini pasti taman itu juga bagus dipenuhi oleh bunga Cosmos.  Alasannya: Hari itu DINGIN sekali. Menurut perkiraan hanya 7 derajat Celsius, sehingga pasti tidak nyaman untuk berjalan di taman yang begitu luas…. brrrr.

Tiak lebih dari 20 menit dengan mobil, kami sampai di Museum Bangunan ini. Parkir mobil, dan keluar mobil…brrr…. Aku terpaksa pinjam coat Gen,  Sedangkan Kai pakai shawl wool yang tadinya aku akan pakai. Riku? dia bawa jacket kantornya Gen deh. (Gen sih orang Jepang jadi tahan dingin hihihi). Untung kami parkir dekat sekali dengan lokasi. Tapi harus melewati kantin yang menjual AMAZAKE, minuman khas musim dingin. Namanya sih kalau diterjemahkan seperti Sake manis, tapi minuman ini sama sekali tidak beralkohol. Seperti tape ketan putih yang diblend hancur dan disajikan panas-panas. Manis.

Karena kami berniat untuk makan di restoran lain pada waktu makan siang, kami pikir masuk kantin itu untuk membeli amazake, dan menghangatkan badan sebentar. Ehhh jadinya malah aku membeli Oden, Riku Oshiruko ( bubur kacang merah panas dengan mochi), dan Gen membeli Amazake. Kai ikut makan denganku, dan dia suka Oden.

Setelah “istirahat” (belum apa-apa sudah istirahat hehehe), kami berjalan menuju gedung gerbang Museum Bangunan itu. Tiket tanda masuk seharga 400 yen untuk dewasa, dan gratis untuk anak SD ke bawah. Dalam gedung yang merupakan pintu gerbang museum open-air ini, dipamerkan sejarah jalur kereta api Tokyo, yang bernama Chuo Line. Chuo Line ini memotong Tokyo dari Timur ke Barat, dari Stasiun Tokyo sampai Gunung Takao. Rumahku juga bisa dicapai dengan menggunakan bus 20 menit dari stasiun Kichijoji, yang berada di Chuo Line itu. Hmmm…kapan-kapan aku bercerita soal Kichijoji deh, kota modis murah meriah di pinggiran Tokyo.

denah museum, kami menuju arah kanan
denah museum, kami menuju arah kanan

Dari gedung, kami keluar dan mendapati sebuah meriam besar. Jadi teringat meriam di depan Museum Fatahillah, Jakarta. Lalu mendapatkan denah keseluruhan museum taman. Kami langsung menuju salah satu rumah terdekat yaitu rumah mantan menteri keuangan Jepang, Takahashi Korekiyo   (pernah menjabat sebagai Perdana Menteri juga)  yang dibunuh dalam peristiwa kudeta 226 (Niniroku Jiken, 26-2-1936). Sebuah rumah tradisional Jepang yang besar, meskipun mungkin ada orang Jepang terkenal lain yang rumahnya lebih mewah. Kesannya rumah ini jauh dari glamour, meskipun besar.

Sayangnya kami tidak boleh memotret dalam rumah ini, karena sebetulnya kami juga memasuki kamar kerjanya di lantai dua, tempat dia dibunuh oleh tentara Jepang yang melakukan kudeta (katanya sih karena dia akan memotong budget angkatan perang… perlu keterangan akademis yang lebih detil… aku agak malas mempelajari Sejarah Showa Awal (1926-1989), yang waktu itu diajar oleh Pak Mossadeq Bahri — Kak Ade —… udah semester-semester akhir juga sih, udah males belajar, maunya cari bahan untuk skripsi aja hehehe)

Sento dilatar belakang merupakan pusat dari perkampungan itu, dan tempat diadakan pertunjukan sulap
Sento dilatar belakang merupakan pusat dari perkampungan itu, dan tempat diadakan pertunjukan sulap

Dari sini, kami menuju ke Sento (pemandian umum) di perkampungan Jepang untuk mengambil tiket menonton sulap dari jam 1. Karena pertunjukan gratis, tiket disediakan  satu jam sebelumnya untuk 200 orang pertama. Nah, sambil Gen mengambil tiket itu, aku dan anak-anak menunggu di mulut perkampungan tempat sebuah kereta tram dipajang. Di dekatnya juga ada warung-warung tradisional yang menjual makanan khas warung, seperti bakmi goreng, octopus ball alias takoyaki, sup suiton, sup miso daging babi, oden dan lain-lain.

Nah, karena aku belum pernah coba suiton, jadinya aku beli suiton. Ternyata suiton itu hanyalah adonan terigu yang dimasukkan dalam air rebusan sehingga membentuk bulatan bakso. Untuk membayangkannya, TEKWAN. Tapi tekwan jauuuuuh lebih enak, karena ada rasa ikannya kan? Kalau ini hambar …benar-benar hanya terigu saja hihihi. Jadi deh Gen yang menghabiskan sup itu. Lumayan sih air supnya bisa menghangatkan badan juga.

Karena Jam 1 kami masih akan berada di situ untuk menonton sulap, jadi akhirnya kami makan siang dengan bakmi goreng Jepang, Yakisoba, dan chijimi, martabaknya korea. Sambil membuat foto-foto juga di tram, karena kami makan di bangku dekat situ.

Waktu pertunjukan sulap yang diadakan di Sento, kami tidak boleh mengambil foto. Dan waktu itu aku juga sempat keluar dari gedung, karena si kai tiba-tiba ingin “pupu”. Terpaksa deh aku gendong dia sambil mencari toilet terdekat. Tapi satu hal yang memang aku sukai dari Jepang, WC di mana-mana bersih, dan biasanya ada WC khusus untuk penderita cacat/wanita dengan bayi yang terpisah.

Setelah selesai pertunjukan Riku sempat bermain gasing dan engrang, di halaman depan Sento. Aku yang bosan menunggu, duduk terkantuk-kantuk sampai akhirnya aku dan Kai membeli oden lagi deh. Kami duduk di bangku yang disediakan depan warung sambil menikmati terik matahari senja yang hangat.  Karena memang matahari cepat sekali turun dan meninggalkan bayang-bayang semakin panjang.

Sekitar pukul 3:3o kami bergerak ke arah pulang. Kami memang santai sekali menghabiskan waktu di perkampungan Jepang itu, sehingga sebetulnya kami baru melihat separuh dari museum bangunan ini. Well, selalu ada lain kali kan? Lagi pula kali ini aku melakukan satu kesalahan. Persis setengah jam sebelum berangkat aku men-charge batere kamera. Jadi kupikir seharusnya penuh. Tapi ternyata justru habis! sehingga aku tidka bisa pakai kamera digital seperti biasanya. Tidak tahu, apakah sistem chargenya mengosongkan dulu, baru mengisi penuh atau bagaimana. Karena sebetulnya sebelum aku charge masih setengah penuh. Terpaksa deh aku pakai kamera HP ku dan HP Gen. Jadi SEMUA foto di sini adalah hasil jepretan HP.

di depan pos polisi jaman dulu, di dalamnya ada kasur untuk tidur loh