Sukaipu

1 Jul

Skype dibaca dalam pelafalan Jepang dengan su-ka-i-pu. Sebetulnya sahabat blogger Donny pernah mengatakan agar tanggal 11 November 2011 dijadikan “hari Skype bagimu dan mertuamu?”. Meskipun bagiku ada beberapa kali yang ingin kujadikan hari Skype, terutama waktu mama di Rumah Sakit dan kami “berjumpa” lewat skype. Tapi kebetulan sekali hari Jumat yang lalu adalah hari Skype yang cukup “mendebarkan” untukku.

Ceritanya mantan dosen pembimbingku di Yokohama National University  (cowok cukup keren, dan aku selalu teringat dosenku kalau melihat wajahnya Hugh Grant yang main di Notting Hill)  itu mempunyai SNS (Social Networking Service) seperti layaknya FB yang dibuat sendiri untuk mahasiswa dan mantan mahasiswanya. Terakhir aku bertemu dengan mantan dosenku ini waktu Riku berusia 2-3 tahun, berarti 6 tahun yang lalu. Dia belum pernah bertemu Kai, tapi sesekali lewat kartu tahun baru aku mengirim berita tentang Riku dan Kai. Boleh dikatakan aku sudah lama sekali tidak membuka SNS itu, tapi secara berkala, aku mengetahui perubahan atau pengumuman di SNS lewat notifikasi di email. Dan hari Kamis itu aku membaca bahwa dosenku itu membuat akun Skype, dan sudah menambahkan akun skype mahasiswa-mahasiswa yang dia ketahui, tapi belum ada reaksi. Dia tentu belum tahu akun skype-ku sehingga akulah yang mengundang akun dosenku untuk menjadi teman di skype, lalu aku matikan.

Aku memang jarang online di Skype. Biasanya kalau aku mau bicara dengan keluarga di Jakarta, janjian dulu dengan mengirim email. Nah, waktu hari Jumat, aku pulang cepat dari universitas karena ada Festival di Universitas. Setelah aku mengikuti diskusi perkembangan belajar Riku bersama guru wali kelasnya di sekolah, aku pulang dan membaca email dari adikku. Katanya papa sedang dirawat di  RS karena tidak enak badan. Dan setelah aku mengirim email ke adikku yang di Jakarta, aku secara iseng masuk online di Skype, dan….. kring…kring…. Pas kulihat siapa yang menelepon di Skype, ternyata keluar nama dosenku itu… Aduuuuh bagaimana nih 😀 ….. Mau kujawab dengan video call (pasang webcam), akunya masih kusut keringatan baru pulang…. jadi aku angkat saja callnya tanpa video, dan minta maaf tidak menyalakan webcam. Rasanya aneh saja melihat tayangan webcam dari dosen yang sudah 6 tahun tidak bertemu. Untung aku tidak pakai webcam, kalau tidak mungkin rasanya seperti ketangkap basah habis menyontek … hahaha. (Padahal sih karena akunya sudah lama sekali tidak mengirim berita padanya…..)

Bicara ngalor ngidul, dia menceritakan bahwa dia baru saja mencoba skype, jadi belum tahu cara-caranya, tapi ingin mencoba. Siapa tahu bisa mengadakan meeting dengan skype, atau bahkan reuni dengan skype. Tak terasa 25 menit kami bicara tentang macam-macam, mengejar ketinggalan berita selama 6 tahun itu. Sambil berjanji akan menghubungi lagi jika aku berada bersama adik kelasku di Jakarta nanti, aku menutup pembicaraan lewat internet sore itu karena harus menjemput Kai di TK. Wah sekarang musti hati-hati kalau online di Skype deh 😀 (takut ketangkap basah lagi gitchuuu)

Setelah menjemput Kai, aku menyalakan lagi Skype untuk berbicara dengan papa yang sedang dirawat di Rumah Sakit. Kelihatannya papa kecapekan karena mesti kejar tayang mengajar di Lemhanas dan kantor papa yang dulu. Sedih rasanya melihat dia terbaring lemah dengan selang oksigen di RS. Rasanya dia kelihatan bertambah tua sejak mama meninggal 🙁 Semoga benar kata dokter bahwa papa hanya perlu observasi 3 hari dan bisa segera kembali sehat. Harus sehat dong Pa, supaya kita bisa merayakan ulang tahun papa yang ke 74 nanti tanggal 29 Juli ya. Tidak sabar menunggu hari keberangkatan deh….

Skype memang canggih, bisa meredam kerinduan pada keluarga, apalagi kalau dalam keadaan sakit…

Hari Jumat kemarin itu kupikir cocok deh dikatakan hari Skype untukku :D. (Dan hari reuni :D)

Kamu juga pakai skype? Tapi kupikir skype di Indonesia agak sulit karena koneksinya musti kencang tuh 😀

oh ya ini merupakan posting yang ke 1150 di awal bulan Juli!
Jadi mau mengutip mottonya teman blogger Gratcia, “Write like Nobody’s Reading” …..

Senangnya melihat senyum papa dan adikku Andy, waktu skype-an lagi malam ini. Semoga bisa cepat keluar RS ya….

Langganan Koran

30 Jun

Di jaman serba ‘e-‘ begini masih langganan koran? Mungkin pertanyaannya akan sama dengan “masih membeli buku?”. Tapi kurasa memang meskipun sudah ada e-paper dan e-book, membaca koran dan buku langsung itu menimbulkan sensasi tersendiri! Sentuhan kertas, bau kertas, besarnya tulisan, suara kertas yang dibalik dsb dsb… aku masih senang membaca koran dan buku langsung. Memang sudah banyak juga tawaran berlangganan lewat iPad, tapi karena aku belum berencana membeli iPad, deMiyashita masih berlangganan koran. (Ssst selain itu lembaran-lembaran promosi yang diselipkan dalam koran itu banyak yang berguna loh)

Pembayaran biasanya dilakukan dengan cara si loper koran yang bertugas di daerah kami mendatangi apartemen kami dan aku membayar langsung biaya langganan koran, sekaligus menerima kwitansi dan kertas pembungkus koran-koran bekas untuk dijadikan satu dan dikumpulkan pada akhir bulan. Satu tumpuk koran bisa masuk dalam satu “kantong” koran bekas, dan jika kami kumpulkan pada hari yang sudah ditentukan, kami akan mendapatkan satu gulung tissue WC untuk satu tumpuk. Tidak ada tukang loak di Tokyo yang mau membeli koran bekas, seperti halnya di Indonesia. Jadi sebagai gantinya kami mendapatkan tissue WC itu. Memang koran-koran bekas yang dikumpulkan itu akan didaurulang untuk menjadi tissue atau barang lain.

Sebetulnya aku agak malas membayar langsung kepada loper koran setiap menjelang akhir bulan. Meskipun jarang sekali aku tidak ada uang tunai untuk membayar, kadang mereka datang pas aku sedang sibuk memasak atau membereskan makan malam. Pernah terpikir untuk membayar dengan credit card saja, tapi masih aku pikirkan dulu. Karena ada satu cerita di TV yang pernah kulihat yaitu tentang manfaat bertemu dengan pengantar/penagih koran.

Jadi ceritanya ada seorang ibu tua yang jatuh pingsan tidak sadarkan diri karena sakit. Setiap pagi dan sore, si pengantar koran mengantar koran seperti biasa, dan dia melihat bahwa sudah dua hari korannya tidak diambil dari tempat koran di depan pintu apartemen ibu itu. Biasanya jika ibu itu tidak ada di rumah pasti akan memberitahu. Kami juga jika akan pergi lama pasti menelepon ke distributor koran dan minta mereka menyimpankan koran selama kami pergi…. tumpukan koran akan mengundang pencuri masuk, karena berarti tidak ada orang. Waktu kami terpaksa pergi mendadak bulan Februari lalu ke Jakarta, apartemen kami kosong selama 3 hari, dan si loper koran mengatakan padaku waktu aku bayar, “Waktu itu jika lebih dari 3 hari, saya akan bawa pulang dan kumpulkan dulu di kantor.”

Kembali ke cerita ibu itu, karena ibu itu tidak memberitahukan apa-apa, dia mencoba buka pintu apartemen, dan terbuka! Dia menemukan ibu itu tengkurap di lantai. Segera dia menelepon polisi dan ambulans, dan si ibu tertolong. Seandainya lebih dari 2 hari mungkin ibu itu akan mati lemas. Untung saja langsung ditemukan oleh si loper koran. Komunikasi, paling sedikit dengan loper koran seperti itu, memang perlu.

Barusan aku membayar rekening langganan koran untuk bulan Juni. Tidak biasanya ditagih sudah terlambat begini, di akhir bulan. Biasanya tanggal 24 sudah ditagih. Rupanya penagih koran itu bukan yang biasanya. Setelah aku membayar, dia menanyakan apakah ada masalah dalam pengantaran koran akhir-akhir ini? Lalu kukatakan… “Tidak sih… eh tapi, dulu koran diantar sekitar pukul 4 pagi ya? Sekarang kok sudah hampir jam 6 baru diantar? Kami sih tidak masalah, cuma kok lebih lambat dari biasanya saja….” (Dalam hati aku pikir juga, ternyata aku manusia pagi ya :D… dari dulu sih)
Sambil tertawa, dia menjawab, “Maaf, itu saya yang mengantar…. ” Dan baru aku perhatikan mukanya, seorang anak muda yang… cakep! ikemen! dan amat sopan… Saking mudanya (jangan-jangan dia masih mahasiswa), aku berkata, “Gambatte ne….”
dan dia jawab, “Yoroshiku onegaishimasu”….

 

Hidup Miskin

29 Jun

Siapa sih mau hidup miskin? Tapi jika memang kita cuma punya uang sedikit, tentu kita harus hidup sesuai kemampuan kita itu kan? Di  Terebi Asahi ada sebuah acara yang menampilkan seleb yang bisa hidup dengan jatah uang 10.000 yen (1 juta rupiah) sebulan. Tentu mereka harus berhemat sekali untuk bisa tetap hidup, tanpa kelaparan. Tiga peserta itu memulai pertandingan berhemat dalam acara Ikinari Ougon Densetsu いきなり黄金伝説 setiap Kamis malam, dengan tajuk “Hidup hemat ala seleb sebulan 10.000 yen「芸能人節約バトル 1ヶ月1万円生活 “. Padahal untuk perbandingan biasanya budget makanan satu keluarga di Tokyo sebulan sebesar 40.000 – 60.000 yen (4-6 juta Rp).  Tentu saja karena ini battle atau pertandingan, mereka berusaha hidup seminim mungkin, sehingga sedapat mungkin pada hari yang ke 30 masih ada sisa uang. Besarnya sisa uang itu yang menentukan kemenangan mereka.

Yang kurasa bagus dalam acara ini adalah mereka memasak semurah mungkin tapi (kelihatannya) enak. Bahkan penonton diberitahu resep dan cara masaknya, tentu original peserta sendiri dan setiap masakan dihitung berapa biayanya. Tidak jarang kita lihat masakan sebanyak dan seenak itu hanya 100 yen (Rp10.000) saja. Kalau mau murah memang tinggal di pantai, tinggal menangkap ikan lalu bakar. Atau harus tahu toko/pasar yang menjual barang-barang/bahan makanan murah. Biasanya ada beberapa toko sayur yang bisa dibeli dengan memasukkan sayur sebanyak-banyaknya dalam satu kantong plastik. Jadi yang dipertanyakan adalah kemampuan mengatur sampai tak ada celah lagi. Atau satu lagi yang suka makan mie, dia membuat mie sendiri. Karena jika makan nasi terus, pasti kurang uangnya. Harus dicari alternatif lain pengganti nasi yang lebih murah dari beras. Ampas tahu juga bisa didapat gratis, padahal cukup bergizi dan bervolume sehingga membuat perut kenyang loh. Peserta perempuan biasanya memperhatikan keseimbangan gizi dan sayuran, sehingga tidak jarang mereka menjadi langsing setelah acara ini. Selain itu ada pula komentator ahli gizi/kuliner yang menilai setiap masakan yang dibuat peserta dilihat dari segi ekonomis, gizi, penampilan dan rasa.

Sebelum 30 hari berlalu, biasanya ada laporan tengah waktu, untuk membandingkan pengeluaran masing-masing peserta. Biasanya di situ bisa diketahui untuk selanjutnya perlu berhemat seberapa banyak lagi supaya bisa menang. Ada yang mematikan lemari es dan menyimpan bahan makannya dalam kotak styrofoam yang diberi es gratisan. Atau lebih mengurangi lagi pemakaian lampu. Kalau melihat acara ini, banyak yang bisa dipelajari apa saja tindakan dan ide-ide untuk berhemat. Tentu saja jika tinggal sendirian saja, kalau ada anak ya tidak bisa diterapkan, atau tidak bisa berhasil. Dan tetap saja merasa kagum dengan kemampuan mereka untuk berhemat, bahkan biasanya bisa menyisakan uang sebesar 2000 an yen di akhir bulan.

Satu lagi acara televisi di Jepang yang bisa kami nikmati sekeluarga, sambil belajar pelit berhemat!

 

 

Alat Vital

27 Jun

Eits jangan keburu berpikiran jorok dulu! Coba deh lihat Kamus Bahasa Indonesia (aku sih pakai KBBI daring) dan carinya jangan di lema ‘vital’, tapi di lema ‘alat’ nya deh. Di situ tertulis:

 vital 1 bagian mesin (pesawat, pabrik, dsb yg sangat penting fungsinya); 2 cak alat kelamin;

Jadiiiiiii sebetulnya kita tidak boleh berpikiran ngeres dulu kalau melihat foto seperti ini:

Maaf aku tidak tahu sumber foto ini dari mana…lupa! Terlepas dari benar tidaknya foto ini, aku hanya mempersoalkan bahasa yang dipakai. Alat vital justru merupakan bahasa percakapan loh! Tapi karena lebih sering dipakai, orang langsung menganggap “alat kelamin” begitu membaca kalimat di atas.

Karena memang sebetulnya sah-sah saja dituliskan begitu. Alat-alat yang dipakai di areal itu tentu VITAL sekali :D. Tidak bisa tidak – harus ada fukaketsu 不可欠。

Beberapa waktu yang lalu alat vitalku rusak! Sepertinya memang sudah seharusnya rusak. Atau memang sudah masanya untuk rusak. Tapi aku sangat perlu kehadirannya, untuk memudahkan tugas-tugasku. Dia adalah food processorku. Berlainan dengan blender atau mixer biasa, food processor ini memang multifungsi. Dia bisa menggiling daging! Kalau untuk membuat sambal biasa sih, memang bisa memakai blender biasa, yang memang kulakukan sejak food processorku rusak. Aku juga masih punya cobek, sehingga tentu masih bisa mengulek sambal. Tapi kalau kamu bekerja juga dan mau memasak serba cepat, cobek adalah alat terakhir yang akan dipakai. Jadi akhirnya aku tak bisa menahan lagi dan membeli food processor baru. Harganya sebetulnya tidak mahal, dan waktu kucari di amazon, dengan berbekal nomor seri food processorku yang lama, aku mengetahui bahwa aku membeli alat itu sudah 4 tahun yang lalu. Hebat deh si amazon, menyimpan “riwayat belanja” kita, sehingga kita tidak sampai membeli dobel, kecuali memang perlu banyak.

susah deh kalau tidak ada alat ini! Vital!

Karena food processor baruku sudah datang, tentu aku jadi semangat masak dong 😀 Dan hasilnya kemarin aku sudah buat lagi rendang 2 kg… yipppieee, ada persediaan makanan di freezer jika aku malas masak. (Dari 2 kg itu kemarin sudah termakan 300 gram deh :D)

tercapai juga untuk membeli ini!

Alat vitalku di dapur, selain food processor itu adalah microwave, dan mixer untuk membuat kue. Akhirnya tercapai juga keinginanku untuk membeli mixer yang ada standarnya dengan harga murah. Ingin sekali mempunyai mixer standar yang besar dan bagus, tapi harganya rek… semurah-murahnya 5 juta rupiah. Jadi begitu ada yang cuma 400ribu, langsung beli deh. Hasil kue pertama dengan mixer baru itu adalah bread cake tanpa resep. Karena aku hanya ingin mendaur-ulang 4 iris roti yang sudah mengering daripada dibuang. Jadi aku celup dalam susu segar secukupnya sampai susu meresap, hancurkan dengan food processor. Kemudian masukkan dalam 3 telur + 4 sendok gula yang sudah dikocok, tambahkan dry fruits, taruh dalam pyrex dan bakar 40 menit. Jadi deh. Tadinya kupikir kalau kurang manis bisa dikasih topping es krim vanilla atau caramel sauce, eh ternyata cukup manis kok.

bread pudding ala imelda, menggunakan apa yang ada

Jadi untuk saat ini alat vitalku adalah Food Processor, Mixer dan Microwave +oven (soalnya lagi suka masak nih). Kalau kamu? Apa alat vitalmu?

BTW, dengan posting kemarin TE telah melampaui komentar dengan angka cantik 23232, yang ditulis oleh Uda Vizon. Angka cantik berikutnya adalah….. 23432 ya 😉 Semoga bisa terpantau siapa yang mendapatkannya, sehingga bisa diberikan hadiah.

Komentar Uda Vizon yang mendapat nomor cantik!

 

 

Peceru Rere dan Sesudah 10 Tahun

26 Jun

Huh susah banget sih mau bilang pecel lele ajah! 😀 Ya, memang dalam bahasa Jepang tidak ada huruf ‘L’  adanya ‘R’ tapi tidak getar. Jadi namaku kalau diucapkan orang Jepang menjadi Imeruda. Judul posting kali ini memang mengenai Pecel lele dan sesudah 10 tahun.  Aku tidak begitu gandrung dengan pecel lele, dan mungkin hari minggu kemarin itu adalah kali ke dua aku makan pecel lele, tapi aku lupa apakah pecel lele pertamaku itu 10 tahun yang lalu atau bukan.

Dan selalu merasa aneh dengan nama pecel lele. Setahuku pecel adalah sayuran dengan bumbu kacang, ya seperti gado-gado lah. Lalu apa dalam pecel itu ditaruh lele? Eh setelah melihat, ini sih goreng pecel pakai sambal saja namanya 😀 Siapa sih yang pertama kali kasih nama Pecel lele?

Hari Minggu kemarin, setelah kegiatan gereja di Kichijoji selesai, aku dan Riku menunggu papa Gen dan Kai di stasiun (ssst sambil makan es krim Baskin Robbins sih.. soalnya lagi ada promo Triple Challenge, beli double akan dapat triple gitchuuu. Jadi cukup pesan 1 triple seharga 600 yen, dan kami makan berdua deh). Dari stasiun Kichijoji kami menuju ke Ogikubo dan ganti Marunouchi line untuk menuju ke Shin Koenji (dua stasiun saja dari Ogikubo sih). Tujuan kami siang itu adalah untuk mencoba restoran Bali Campur. Sudah lama aku lihat beberapa teman yang tinggal di Tokyo “check in” di restoran itu, tapi kami sendiri belum pernah coba, padahal kalau dihitung-hitung jaraknya lebih dekat dari rumah kami daripada harus ke restoran Indonesia yang lain.

Papan yang terpasang di depan tangga naik ke Cafe Bli Campur

Karena aku tidak membawa alamatnya, kami bergantung pada daya ingatnya Gen, yang mengatakan bahwa setelah keluar dari stasiun ada Mac Donald, masuk jalan itu dan jalan teruuuuus saja. Nanti restorannya ada di sebelah kanan. Karena tidak tahu musti jalan berapa lama, Riku sempat ira-irashita (kesal). Maklumlah orang lapar memang bawaannya kesal kan? (Well, Riku itu memang jiplakan aku …jadi hati-hati ya kalau bicara dengan Imelda waktu dia lapar :D) . Untunglah tidak sampai 5 menit kami menemukan restoran itu. Letaknya di lantai 2 persis di depan sebuah supermarket kecil. Menaiki tangga, ada dua pintu, maka kami masuki pintu yang kiri ke restoran Bali Campur. Hanya ada 3 meja lepas dan 2 bangku, sehingga maksimum hanya bisa menampung 10-12 orang. Waktu kami masuk sudah ada sepasang tamu yang sedang makan. Jadi kami menggabungkan dua meja untuk kami berempat.

Menu untuk makan siang hanya ada 3 jenis, yaitu nasi goreng, nasi kare ayam dan nasi campur Bali. Akhirnya kami pesan masing-masing jenis satu. Aku mencoba nasi campur Balinya, yang lauknya terdiri dari mie goreng, 1 tusuk sate lilit, lawar dengan pare dan goreng cumi serta sedikit sambal di atas sendok kayu. Nah ternyata ketiga masakan ini tidak cocok untuk Kai, karena dia mengeluh pedas (dia memang tidak bisa pedas sama sekali, lain dengan Riku), jadi kami memberikan jatah sup sayur kami untuk Kai (yang ternyata dia tidak makan juga, karena rupanya sudah sempat sarapan sebelum pergi). Yang pasti rasanya enak dan MURAH, jika dibandingkan dengan restoran lain. Sayang sekali aku tak bisa memesan Pecel Lele, yang selalu diupload fotonya oleh teman-temanku di FB. Katanya pecel lelenya enak. Sambil mengeluh kepada waiter (yang ternyata adalah istri -orang Jepang- dari koki – orang Bali- ) dan mengatakan bahwa ingin kembali lagi untuk mencoba pecel lele. Kemudian dia berkata: “Sebetulnya asal ada bahannya, bisa saja dibuatkan menu malam, tentu dengan harga menu malam….”
“Bener bisa dibuatkan? Gen… kamu masih bisa makan kan (Aku tahu dia PASTI bisa makan sepiring lagi deh), nanti aku cicip sedikit”

Pecel Lele. Lele bahasa Jepangnya adalah Namazu, dan memang tidak dimakan dengan cara dibakar aau digoreng. Mungkin banyak orang yang tidak tahan melihat wajah si Lele ini.

Jadilah kami menunggu menu susulan : Pecel Lele. Sambil menunggu, waktu Gen dan Kai ke WC, Pasangan yang duduk di sebelah kami menoleh padaku, lalu yang laki-laki berkata:
“Imelda Sensei ya?”
“Betul….”
“Saya dulu pernah ikut kursus dengan sensei di Balai Indonesia…. kira-kira 10 tahun yang lalu”
“Pantas, sepertinya saya pernah lihat di mana ya…”
“Waktu itu saya masih SMA, dan akan belajar ke Yogya”
“Ya ampuuuun kamu yang murid SMA itu? Tentu saya ingat, karena selama saya mengajar di Kursus itu peserta yang anak SMA cuma 2 orang, satu laki dan satu perempuan….”
“Iya, tadi saya dengar sensei panggil nama ‘Riku’ lalu saya ingat dulu memang pernah dengar bahwa nama anaknya sensei itu Riku…..”
“Kalau begitu kamu kelas terakhir saya di sana, karena setelah itu saya sempat cuti panjang, kembali mengajar, lalu cuti lagi waktu melahirkan Kai.
Ini istri kamu?”
“Ya, dia orang Yogya, satu universitas….”
“Wah sudah lama menikah?”
“Baru dua tahun”

Jadi begitulah, hari Minggu yang berkesan, bukan hanya karena bisa mencoba restoran baru dengan menu pecel lele yang memang mantap sambalnya, tapi juga bisa bertemu dengan mantan murid 10 tahun yang lalu.  Meskipun kalau mengingat bahwa 10 tahun yang lalu itu dia masih SMA…. berasa tuaaaa deh. Well …. umur memang tidak bisa dihentikan. Tapi sesuai slogan radio termashur generasi 80-an, aku masih merasa “berjiwa muda” kok 😀

Bertemu lagi dengan mantan murid dan istrinya setelah 10 tahun

Selain itu aku sempat bercakap-cakap dengan pemilik sekaligus koki restoran itu, dan tercetuslah nama-nama “tokoh” masyarakat Indonesia di Jepang, terutama di bidang kuliner. Masyarakat Indonesia di sini memang kecil dan hampir semua tahu si ini dan si itu. Positifnya kami masih bisa menjaga “rasa kebangsaan” meskipun tinggal di rantau, tapi negatifnya kalau terlalu “akrab” justru bisa terjadi “letupan-letupan” yang bisa menyakitkan hati. Yah sama saja deh dengan arisan di Indonesia 😀

Sekitar pukul 14:20 kami meninggalkan Cafe Bali Campur dan pulang dengan arah berlawanan dengan waktu datang. Kami bermaksud menyusuri jalan langsung menuju stasiun Ogikubo dan menikmati toko-toko sepanjang jalan.

Menyiasati Hari

22 Jun

Kemarin pagi, aku bingung. Malam sebelumnya Kai batuk-batuk dan memuntahkan semua dahak dan otomatis semua isi perutnya. Dia tidur dalam keadaan perut kosong. Dia tidak mau makan kecuali minum teh susu hangat sebelum tidur. Aku temani dia tidur sambil sesekali meraba leher dan dahinya. Benar, tengah malam dia demam. Perkiraanku tidak lebih dari 38 derajat. Sambil berdoa semoga pagi hari demamnya turun, aku pun tidur.

Tapi waktu aku terbangun aku meraba, hmmm tidak tinggi demamnya. Kai bernafas cukup sulit dan berbunyi, sesekali batuk. Hanya satu yang selalu kudoakan supaya dia jangan pnuemonia. Kemudian sambil aku bersiap-siap mandi dan ganti baju, akupun menyiapkan sarapan untuk Riku. Kotak bekal untuk Kai masih belum kuisi apa-apa. Aku bingung apakah Kai bisa ke TK hari ini? Sementara di luar kulihat langit mendung. Langsung aku membuka situs goo, tempat aku biasanya melihat prakiraan cuaca sehari-hari, dan tampilannya seperti ini.

Selalu siapkan diri untuk menyiasati cuaca hari. Ada keterangan suhu max, suhu min, kemungkinan turun hujan , arah angin, kemungkinan cucian kering, harus bawa payung/tidak, % keinginan untuk minum bir, persentasi dehidrasi, kemungkinan keluar keringat, persentasi terlihatnya bintang di malam hari.

Prakiraan cuacanya Kumori nochi ame, Berawan (mendung) sesudah itu hujan, dengan persentasi 50 persen pada pukul 12 siang. Jadi aku lebih baik tidak naik sepeda, karena pulang mengajar pukul 3 kemungkinan hujan. Selain itu dari data di atas, lebih baik tidak mencuci baju, karena disarankan jemur dalam kamar. (Yang lucu juga ada prediksi keinginan untuk minum bir berapa persen setiap musim panas, dan hari ini 60% ingin minum bir, menyegarkan tenggorokan di hari yang lembab). Karena tahu juga bahwa suhu maksimum 24 derajat, aku bisa menentukan baju yang akan kupakai hari itu. Batik paling nyaman untuk hari-hari lembab dan panas di Jepang.

Tapi masalahnya waktu kubangunkan Kai untuk bersiap, temperatur badannya mencapai 37,5 derajat. Sudah tidak demam, tapi 37,5 merupakan batas untuk memperbolehkan ke sekolah (TK). Kalau turun bagus, tapi kalau naik? Pasti akan dipulangkan gurunya. Jadi Kai lebih baik di rumah saja, dan kalau begitu masalahnya aku harus membatalkan kuliah 🙁 Mau memaksakan Kai ke sekolah juga kasihan karena dia masih batuk-batuk. Untunglah Gen kemudian mengatakan: “Kamu dosen honorer, jangan absen. Biar aku saja yang absen, kamu pergi mengajar sama.” Padahal hati ini antara ingin mengajar tapi ingin di rumah menemani Kai juga. Apalagi waktu Kai berkata, “Aku maunya mama yang absen, bukan papa….” dengan wajah memelas. Aku ajak Kai untuk tidur lagi. Waktu itu pukul 8 pagi. Kalau mengajar aku harus keluar rumah paling lambat pukul 9:30. Dengan harapan Kai tidur, aku melarikan diri. Tapi mungkin karena dia tahu mamanya punya niat buruk 😀 maka dia tidak tidur-tidur. Susah deh aku. Batalkan kelas…. ngga…batalkan kelas… ngga… Sayang di Tokyo tak ada tokek yang bisa dimintai pendapat.

Sekitar pukul 9:15 aku memeluk Kai dan berkata, “Kai hari ini mau makan apa?”
“Mau makan daging”
“Kare?”
“Ngga… aku takut muntah”
“Kai belum makan apa-apa… kai mau coklat?”
“Mau… Aku mau jelly”
“Wah sekarang tidak ada jelly. Mama musti beli. Gimana kalau mama pergi kerja. Kai di rumah nonton video, makan, tidur dengan papa. Nanti pulang kerja mama beli jelly dan coklat untuk Kai. Boleh?”
“Boleh….”

Horreeeee, aku cepat-cepat menyuruh dia memasang video (beberapa hari ini dia lagi suka nonton “Howl the moving castle”nya Ghibli), sambil aku bersiap pergi, dan menyerahkan Kai pada Gen, sebelum dia berubah pikiran. Dan tentu saja aku naik bus pergi-pulang, dan waktu pulangnya tak lupa membelikan Kai jelly dan coklat.

Senang sekali waktu pulang sampai di rumah (pukul 4 sore)  melihat dia sudah lincah lagi meskipun belum 100%. Malamnya dia berkata, “Mama….laparrrr, buatkan ayam goreng dong” Jadi meskipun aku sudah masak kare, demi si Kai, aku buatkan ayam goreng deh, dan senang melihat dia makan banyak. jelas saja otomatis 1 harian dia tidak makan 😀 Makan banyak = sudah sehat!

Nah masalahnya hari Jumat ini, begitu bangun tidur pukul 5 pagi, aku melihat di luar hujaaaaan keras. Harus pakai sepatu boot dan jas hujan kalau tidak mau basah. Padahal Kai masih sesekali batuk,dan aku tak bisa bolos hari ini. Hujan… tolong mereda sedikit dong …. please

Peringatan dengan tanda payung: HARUS BAWA PAYUNG! Jelas saja hari ini jarak pandangan hanya 100 meter terhalang hujan 😀

Oh ya pagi itu aku juga sibuk mengumpulkan sampah dapur untuk kegiatan membuat pupuk di sekolahnya Riku. Kami orang tua diharapkan membawakan anaknya masing-masing sebanyak 200 gram yang terdiri dari kulit buah-buahan, sisa makanan, sisa daging, tidak boleh ada plastik/kertasnya. Waktu aku sudah membawakan sekitar 300 gr yang terdiri dari campuran, ternyata cukup bau kan? Jadi papanya menyuruh aku bawakan ampas kopi saja. Untung ada ampas kopi yang selalu aku sisihkan untuk pupuk tanaman hias di teras rumah. Jadi aku ganti deh sampahnya Riku. Padahal sudah disiapkan susah-susah ….. hehehe Katanya semua sampah dapur yang dibawa dikumpulkan dalam ember dan katanya akan jadi pupuk dalam 1 bulan.  Well pelajaran yang bagus untuk anak kelas 4 SD.

Beta-beta

20 Jun

Kalau ‘beta’ dalam bahasa Indonesia, artinya saya (digunakan orang-orang besar pada zaman dahulu dalam cerita klasik Melayu, penyair dalam karya sastra masa kemudian, atau masyarakat di Maluku, KBBI daring), tapi ’beta’ dalam bahasa Jepang artinya bodoh, misalnya Kuchibeta 口下手 (tidak pandai bicara). Tapi kalau diulang dua kali menjadi beta-beta, artinya pliket (apa sih bahasa Indonesiaya yang baik dan benar? Peliket atau pliket tidak ada dalam KBBI sih hehehe). Kondisi lembab sehingga membuat keringatan, lalu terasa semua menempel ke badan. Kondisi itu juga yang membuat aku tidak suka ke pantai di Indonesia atau di sini pada musim panas. Well, you know what I mean kan? 😀

Hari ini beta-beta! Pagi dibangunkan alarm pukul 5 (padahal baru tidur jam 3 loh), kemudian aku menyiapkan sarapan dsb dsb. Di luar matahari sudah tinggi dan bersinar teraaaaang sekali (maksudnya terang gitu). Panas! Pada pukul 8 pagi saja suhunya sudah 27 derajat, dam maksimum suhu hari ini adalah 31 derajat, hari terpanas dalam tahun 2012. Ya memang musim panas sudah siap menghampiri Jepang.

Tadinya jika langit mendung, sudah bisa aku pastikan bahwa anak-anak TK tidak akan jadi menjalankan kegiatan panen kentang bersama di TK. Tapi karena terik, tanah juga pasti cukup kering, malah bagus tidak terlalu kering, sehingga bisa memudahkan anak-anak untuk menggali. Kai kuberitahu bahwa hari ini pasti bisa memanen kentang. Dan aku siapkan peralatan yang harus dibawa yaitu kantong plastik yang kuat untuk memasukkan hasil panen, kaus tangan gunte  軍手(untung aku sudah lama beli dan siapkan karena kaus tangan untuk anak-anak itu susah carinya. Ini aku beli di toko 100 yen) dan sepatu boot karet yang biasa dipakai waktu hari hujan. Sesudah memberi nama peralatan yang dibawa, aku menyiapkan sarapan untuk Riku  dan bekal makanan untuk Kai. Sebelum berangkat ke TK aku bisikkan ke telinga Kai : “Gali yang banyak ya…” (kan lumayan tuh tidak usah beli kentang untuk beberapa waktu hihihi).

Kai dengan kentang panenannya

Jam 2 kurang 10 menit aku menjemput Kai di TK. Aku sempat bingung apakah bisa menjemput pakai sepeda, karena suara angin yang bertiup cukup keras. Tapi untung yang keras bunyinya saja, terutama kalau pas buka pintu, kekuatannya sendiri tidak terlalu besar sehingga aku masih bisa mengayuh sepeda ke TK. Dan dengan bangganya Kai menyerahkan tas berisi bungkusan kentang yang masih berlapir tanah. Lumayan berat untuk anak TK, karena setelah di rumah aku timbang beratnya 1,6 kg.

Sambil pulang naik sepeda, aku sempat membahas soal beta-beta (擬態語・擬音語 onomatope) dengan Kai.

“Mama, beta-beta itu apa?”
“Hmm beta-beta itu ya seperti sekarang Kai merasa keluar keringat tapi tidak banyak kan? Ngga enak rasanya badannya. Tidak kering. Misalnya nih sekarang Kai taruh tangan di atas kertas, kertasnya nempel deh”
“Ohhh nanti kalau mandi bisa jadi tsuru-tsuru?”
“Iyaaaaa kalau mandi tsuru-tsuru jadi licin (biasanya mengkilap juga karena sering dipakai juga untuk kepala gundul hehehe), kering dan enak rasanya badannya.”
“Bukannya kasa-kasa ya ma?”
“Bukaaaaan kalau kasa-kasa itu terlalu kering, jadinya kulitnya seperti banyak yang pecah, gatal. Kalau Kai tidak akan kasa-kasa deh, karena Kai masih kecil. Biasanya yang kasa-kasa itu orang dewasa. Kalau Kai yang bagus itu sube-sube (kata yang paling cocok untuk kulit bayi). Lembuut deh.”

dan tambahan onomatope hari ini ditutup dengan ucapan Kai:
“Aduh hari ini aku kuta-kuta (capeeeeek) deh!”

dan aku teringat ucapan guru pembimbingku: “Bari-bari hataraite,kuta-kuta naru made Kerja keras banting tulang sampai capek sekali”…. Well di BALI memang ada KUTA 😀

Semoga percakapan ini bisa menjadi referensi penggunaan onomatope bahasa Jepang, terutama untuk mereka yang sedang belajar bahasa Jepang.  

Hasil survey motif payung yang dipunyai 100 anak kelas 5 di SD Riku. Yang terbanyak ternyata payung dengan motif polka dot, ke dua polos, dan yang ke tiga motif bunga. Bagaimana payungmu? Payungku Hitam dengan bingkai merah 🙂

 

Prakiraan dan Persiapan

19 Jun

Selasa, 19 Juni 2012 pukul 21:21 malam saat aku mulai menulis posting ini. Di luar suara hujan bertalu-talu dan angin meraung-raung.  Anak-anak sudah tidur sehingga aku bisa menulis dengan santai, meskipun hati was-was karena Gen belum pulang. Tadi aku sudah kirim email padanya, jika perlu lebih baik menginap saja di kantor. Badai Topan no 4 dan 5 mulai melewati daerah Tokyo. Memang badai di Jepang diberi nama dengan nomor saja, dan biasanya tanpa disadari sampai nomor 30-an pada bulan September. Badai di musim hujan tsuyu 梅雨 ini memang tidak biasa, dan kebetulan arah angin membuatnya “mampir” ke daratan Jepang.

Aku sudah tahu mengenai badai ini sejak kemarin. Beberapa hari sebelumnya waktu badai itu terjadi di lautan Hindia, diperkirakan tidak akan “mendarat” ke Jepang. Tapi arah angin membelokkan jalannya, sehingga mulai kemarin TV memberitahukan untuk bersiap-siap untuk menghadapi badai. Jauhi sungai dan laut, juga bukit yang mungkin akan longsor jika air deras mengalir. Badai = hujan deras, angin kencang yang mengakibatkan banjir dan longsor. Kami yang tinggal di apartemen lebih “aman” dibanding yang punya rumah sendiri. Karena bisa saja saking kuatnya angin, atap “terbang”. Tapi aku tadi sudah menurunkan pot-pot tanaman yang ada di teras. Jangan sampai pot ini terbang dan mencelakakan orang yang lewat. Selain itu aku sudah menyiapkan makanan dan minuman jika seandainya aku tidak bisa pergi belanja. Persiapan perfect deh kalau cuma untuk badai. Lagipula apartemenku di lantai 4.

Tadi pagi kami sempatkan melihat prakiraan cuaca di TV, dan memang diberitahukan bahwa mulai pukul 6 sore badai akan sampai di Tokyo, dan berlangsung sampai pagi keesokan harinya. Jadi kupikir kalau jam 3 siang masih belum datang, sehingga aku tidak menyuruh Riku membawa payung. Untung dia sempat berkata sebelum masuk lift, “Dalam ransel ada payung lipat kok ma”.

Sebelum jam 2 siang sempat tiba-tiba turun hujan, tapi waktu aku mau pergi jemput Kai jam 2 tidak hujan. Kalau hujan aku akan berjalan kaki sampai ke TKnya Kai. Tapi karena (saat itu) tidak hujan, aku naik sepeda sambil berdoa mudah-mudahan bisa pulang sampai rumah sebelum hujan lagi. Sayangnya doaku tak terkabul, karena persis waktu aku meninggalkan TK seratus meter, byuuur tiba-tiba hujan turun dan tidak tanggung-tanggung. Sambil mengayuh sepeda, aku berkata pada Kai, “Kai kita hujan-hujan ya… kapan lagi loh bisa basah gini… Tapi begitu sampai rumah harus mandi. Kalau tidak nanti bisa sakit!” Sambil aku menutup kepala Kai dengan handuk kecil yang kubawa. Untung tas kami berdua dari plastik dan kulir jadi kalaupun basah, tidak akan sampai ke dalam. Lima menit naik sepeda rasanya lama, sementara bajuku sudah basah kuyup. Dan ternyata susah juga naik sepeda dengan muka basah. Air hujan masuk ke mata euy.

Begitu sampai rumah, aku langsung menyalakan air panas dan mengisi bak mandi. Sambil menunggu bak penuh, Riku pulang. Untung saja jadi aku tidak khawatir. Tapi dia mengeluarkan kertas pengumuman darurat dari sekolahnya. Isinya tentang kondisi angin topan dan langkah-langkah yang akan diambil jika besok belum reda.

kertas pengumuman darurat dari sekolahnya Riku dengan langkah-langkah menghadapi badai topan besok

1. Kemungkinan yang akan terjadi :  sekolah diliburkan, atau jam mulai sekolah diperlambat, atau jam pulang dipercepat, pulang bersama-sama dengan teman yang searah atau untuk keselamatan anak disuruh menunggu di sekolah (jika langkah ini yang diambil maka orang tua harus menjemput anak-anaknya di sekolah).
2. Keputusan yang diambil besok akan dibertahukan melalui website sekolah  dan atau melalui jaringan telepon.
Dan tambahan jika orang tua khawatir kondisi anaknya, besok boleh tidak menyuruh anak ke sekolah (bolos) dan tidak akan dihitung terlambat/absen. (Soal absen ini memang penting, karena ada ibu-ibu yang menginginkan anaknya 100% masuk sekolah dan tidak bolos supaya mendapatkan piagam penghargaan 皆勤賞)

Yang kasihan Kai, dia sudah semangat untuk pergi ke TK besok, karena rencananya besok akan mencabut kentang di ladang. Tapi meskipun besok mungkin badai topannya sudah berhenti, dengan keadaan tanah yang lembek habis hujan, pasti acara memanen kentangnya akan dipindah jadi minggu depan. Sedangkan Riku tadi sempat bisik padaku, “Ma,…moga-moga besok kelas diliburin ya …” hahaha. Murid itu memang senang ya kalau pelajaran diliburkan (padahal gurunya juga senang loh, kan guru juga pernah jadi murid, bisa tahu perasaan itu.

Bagaimana besok ya harus dilihat kondisi besok. Tapi prakiraan (cuaca) dan persiapan (langkah-langkah dengan berbagai alternatif) itu memang ciri khasnya orang Jepang. Hebat deh!

Untuk snack sore aku siapkan nanas yang kubeli kemarin. Nanas okinawa dan menurut tulisan si empunya toko “Bisa dikupas dengan tangan”… Ah masaaaaa. Aku coba tidak bisa tuh, tetap harus pakai pisau. Rasanya? TIDAK manis! (Dan anak-anak tidak mau coba, sehingga aku sendiri yang makan. Untung MINI!)

 

 

Bagaimana Telurmu Hari Ini

14 Jun

Dalam pelajaran bahasa Indonesia kelas menengah biasanya aku berikan bacaan yang mudah, yang kira-kira mahasiswa bisa selesai menerjemahkan dalam 90 menit. Bacaannya kubuat sendiri, yang pernah diterbitkan oleh Sekolah Bahasa Asing Keio dengan judul Serba-serbi Bahasa Indonesia. Itu merupakan buku keduaku setelah buku tata bahasa. Seperti  reading dengan kalimat yang baku dan mengambil tema kebudayaan Indonesia. Dan salah satu tema pelajarannya adalah “Kebiasaan Makan”

Setelah menerjemahkan kalimat per kalimat ke dalam bahasa Jepang, aku akan menanyakan kebiasaan makan mahasiswa satu per satu. Kebanyakan dari mereka hanya minum kopi saja tanpa sarapan, atau sarapan roti yang gampang. Tapi mereka yang masih tinggal bersama orang tuanya akan makan yang lebih bergizi. Sarapan ala Jepang biasanya terdiri dari semua atau paduan dari adalah nasi atau bubur, sup miso (misoshiru), ikan bakar, natto (kedelai yang difermentasikan), telur, nori (rumput laut), dan acar.

Nah kemudian aku tanya mereka, telurnya diapakan? Yang paling banyak menjawab adalah Tamagoyaki 卵焼き selain Medamayaki 目玉焼き (telur mata sapi). Terus terang pertama kali aku datang ke Jepang, aku tidak suka makan Tamagoyaki. Tamagoyaki ini sering juga muncul di restoran sushi, dan aku selalu minta untuk tidak pakai tamagoyaki. Kenapa aku tidak suka? Karena MANIS! Bayanganku masakan telur itu harus asin, kalaupun manis,bentuk  “telur”nya sudah tidak kelihatan seperti pancake atau kue, bukan sebagai lauknya nasi.

Tapi setelah bertahun-tahun tinggal di Jepang (wah september ini aku pas 20 tahun di Jepang loh), akhirnya aku bisa menikmati Tamagoyaki ini. Dan setelah berlatih terus, bisa membuat tamagoyaki yang tidak hancur, tepat kelembutan dan manisnya. Memang tamagoyaki ini butuh kesabaran karena harus masak dengan api kecil-sedang dan TIDAK BOLEH DITINGGAL! hehehe… maklum aku kan multitasking person, jadi maunya masakan bisa ditinggal sebentar untuk mengerjakan sesuatu yang lain.

Untuk membuat tamagoyaki, biasanya aku pakai 3 telur, lalu diberi susu segar kira-kira 4-5 sendok makan, beri kaldu sedikit (aku biasanya pakai shirodashi), lalu gula 1 sendok makan munjung (tergantung selera). Campur lalu taruh dalam wajan (kalau di sini wajan kotak, khusus untuk tamagoyaki) dengan api sedang, sedikit-sedikit. Biasanya 1 adonan dibagi 2 kali. Adonan pertama yang sudah agak terbentuk keras dilipat lalu masukkan sisa adonan. Jika tidak bisa membentuk berlapis-lapis kurasa dengan adonan itu bisa dibuat dadar saja. Hasilnya akan lain dengan dadar biasa. Manis dan lembuuuut karena pakai susu dan gula. Silakan dicoba!

Tamagoyaki buatanku, lembut dan manis. Silakan coba

Kalau orang Indonesia jarang tidak ada yang tahu tamagoyaki, maka kebanyakan orang Jepang tidak tahu cara makan telur rebus setengah matang 😀 Waktu aku membuatkan Riku telur rebus setengah matang, dia terheran-heran dan mengatakan “Enak!!! aku suka”. Memang dia suka yang telur kuningnya setengah matang, sehingga kalau membuat telur mata sapi untuk dia, aku juga selalu mengusahakan bagian kuningnya untuk setengah matang. Sedangkan untuk suamiku kuning telurnya harus matang, dan putih telurnya membentuk kerak di pinggir.

Telur mata sapi dengan kuningnya setengah matang. Kali ini kubuat sandwich untuk Riku

Kalau aku sih apa saja makan, tidak ada “pesanan” khusus. Semua cara masak telur bisa aku makan, telur mata sapi, dadar, scrambled egg, poach egg, onsen tamago , tamagoyaki, atau telur rebus baik setengah matang/matang. Yang aku tidak bisa makan adalah telur mentah. Tapi di Jepang TAMAGOKAKE GOHAN (nasi dengan telur mentah) juga populer sebagai makan pagi. Caranya mudah sekali: pecahkan telur di atas nasi panas  dalam mangkok dan beri kecap asin (shoyu). Duh… aku belum bisa deh). Tapi Kai sukaaaaa sekali, sehingga hampir setiap pagi dia makan tamagokake gohan.

So, bagaimana telurmu untuk sarapan pagi ini?

Aku masak telur mata sapi diberi kecap manis…. yummy!