Lapor 2x24jam !

18 Feb

Sering kita lihat di pengumanan RT/RW bahwa tamu 1×24 jam atau 2×24 jam untuk melapor ke ketua RT, yang konon mengacu pada UU No. 23/2006 soal pendatang. Peraturan ini menurutku baik juga, karena dengan demikian bisa mencegah masuknya “orang asing bertujuan jahat” dalam lingkungan kita. Tapi kalau setiap saudara dari daerah menginap harus melapor, kasihan juga pak RTnya ya :D, maklum rumahku di Jkt memang biasa jadi tempat singgah saudara-saudara yang tersebar di tanah air.

Tapi hari ini aku mau lapor ah kegiatanku dalam 48 jam sebelum hari ini, mulai Sabtu siang kemarin. Karena aku belum menerima abu pada hari Rabu Abu (awal masa puasa untuk umat Katolik)  aku “maksa” anak-anak untuk ke gereja di Meguro, gereja berbahasa Indonesia setiap Sabtu pukul 5. Memang kasihan juga kalau anak-anak mengikuti misa berbahasa Indonesia karena mereka tidak mengerti bahasanya. Jadi aku janji pada mereka bahwa aku kita akan makan MacD sebelum misa. Tapi karena perginya mepet, kalau mampir MacD dulu pasti terlambat, jadi aku minta anak-anak bersabar, mengikuti misa dulu baru setelah misa ke Mac D. TAPI… misa hari Sabtu itu cukup lama karena diawali dengan Jalan Salib dulu, kemudian pemberian abu baru dilanjut misa biasa. Untung saja anak-anak masih bisa tahan mengikuti 1,5 jam upacara yang tidak mereka mengerti. Tapi untuk aku sendiri, benar-benar merasa senang karena bisa merayakan ekaristi dalam bahasaku sendiri. Kalau papanya tidak bekerja sih sebaiknya memang aku titipkan anak-anak di rumah saja, sayangnya suamiku tetap harus bekerja meskipun Sabtu.

Jadi misa sudah dipenuhi hari sabtu, sambil aku menerangkan bacaan Injil yang dipakai hari itu kepada Riku, kami pulang ke rumah dalam udara yang dingiiiiin sekali. Brrr deh, north wind-nya benar-benar menusuk tulang. Dan tentu saja aku memenuhi janjiku kepada anak-anak makan di mac D.

Tapi seperti biasanya Riku harus mengikuti Sekolah Minggu di gereja Kichijouji. Kalau aku tidak ke misa di Meguro ini, kami biasanya ke misa pukul 9 pagi (misa anak-anak) lalu sesudah misa pukul 10, Riku akan mengikuti sekolah Minggu sampai pukul 11:15. Tapi karena Riku sedang persiapan komuni pertama, dia ada pelajaran tambahan katekismus sampai pukul 12 (dan seringnya sampai 12:30… bahkan kemarin sampai pukul 1….). Nah, biasanya aku mengantar Riku ke misa dan  manyun menunggu Riku sekolah Minggu. TAPI kemarin ini ada satu kemajuan besar pada Riku yang akan berulang tahun ke 10 minggu depan. DIA PERTAMA KALI NAIK BUS SENDIRI. 

“Ma, aku pergi sendiri aja deh…. mau coba naik bus”
“Berani? Gampang kan? Kamu sudah tahu tempatnya juga…”
“Iya bisa kok…”

Jadi aku berikan dia uang bus, dan aku lebihkan untuk membeli jus saja. Hanya membawa 420 yen saja! Dan tidak lupa aku bawakan dia kartu namaku, seandainya ada apa-apa. (Padahal aku baru ingat kartu namaku itu semuanya alfabet hihihi)
Sempat ragu-ragu juga dia sebelum pergi, lalu aku katakan…..
“Riku…. biasanya ibu-ibu itu khawatir SEKALI waktu melepaskan anaknya pergi sendirian. PARNO. Kelihatannya mama cuek banget ya? Memang mama cuek, karena mama tahu Riku pasti bisa. TAPI kalau Riku ragu-ragu nanti mama ketularan ragu-ragu, trus mama  khawatir, terus mama melarang kamu pergi, trus kamu musti pergi dengan mama teruuuuus sampai jadi kakek-kakek kan? Jadi… jangan ragu-ragu! Kamu sudah besar, sudah bisa baca kanji. Punya mulut untuk tanya, dan mama tahu kamu tidak pernah MALU bertanya sejak kecil. So…. GO GO GO!!”

Dia harus naik bus dari halte dekat rumah (kira-kira300 meter), lalu membayar ongkos bus untuk anak-anak (harus memberitahukan KODOMO – anak-anak ) seharga 110 yen. Kemudian duduk (kalau ada tempat duduk) selama kira-kira 25 menit. Turun di terminal lalu jalan kaki ke gereja Kichijoji 10/15 menit. MUDAH! Tapi segala sesuatu yang PERTAMA pasti menakutkan 🙂

Jadilah dia pergi pukul 9:15 untuk mengikuti sekolah minggunya, sambil aku antar sampai depan pintu rumah saja. Dan Gen mengatakan, “Ternyata memang benar ya, usia 10 tahun anak-anak sudah harus mulai kita lepaskan. Milestone buat Riku.”
Sambil memandangi punggung Kai yang sedang menonton TV, aku berkata…
“Anak laki-laki pasti akan pergi keluar rumah… jangan orang tua menahan kakinya untuk pergi. Dia akan menemukan kehidupannya sendiri,meskipun begitu hubungan dengan orang tua jangan sampai terputus….”
“Kita harus pikirkan masa tua kita akan lewatkan bagaimana ya tanpa anak-anak” Kata Gen….dan aku sambut tertawa saja… Aku tidak pernah memikirkan masa tua akan aku lewatkan bagaimana. Berdua maupun sendiri…. Que sera sera, what will be will be. Pernah dulu ada seseorang yang pernah dekat denganku mengatakan, “Aku membayangkan menyambut masa tua dengan kamu sambil duduk memandang jendela…” Duh…. aku tidak pernah tuh memikirkan hal itu? Egois kali ya aku ini? Atau aku memang penganut “nikmati masa sekarang dulu deh!”…. Ima ga Daiji. (Yang penting sekarang ini)

Karena Gen ada janji bertemu seseorang di Stasiun Tokyo, maka dia pergi naik bus jam 10, sedangkan aku dan Kai pergi jam 11 untuk menjemput Riku di gereja Kichijouji. Riku baru keluar pukul 1 padahal kami sudah lapar sekali…. jadilah kami bertiga makan di dekat stasiun. Dan…aku menikmati sekali makan bertiga begini. Biasanya aku masak dan memberikan mereka makan malam, jarang sekali bisa duduk tenang, dan lama di meja makan. Sebentar aku sudah ke dapur untuk mengambil ini itu, atau makan cepat dan cuci panci peralatan lainnya, sementara anak-aak masih makan. Kalau pergi makan di luar (restoran) itu, apalagi kemarin restorannya suasana mendukung sekali, typical japanese, aku bisa memandang ke dua anakku dengan santai, tanpa harus memikirkan masakan. Melihat Riku yang suka makan daging, sedangkan Kai pasti pilih ikan (eh ternyata ada bagusnya juga loh kuliner menurut golongan darah. Gol darah A seperti aku dan Kai tidak bagus makan daging dan itu cocok juga) Tentu…. aku harus melihat juga mereka berdua bertengkar mulut 😀 but… thats life!

makan siang

Persis setelah kami menyelesaikan makan siang, aku mendapat email dari Gen untuk menemui dia dan tamunya di stasiun Yotsuya. Jadi kami bertiga pergi ke stasiun Yotsuya, dan mampir ke gereja Yotsuya. Riku dulu dipermandikan di sini, sehingga aku menceritakan tempat-tempat dalam lingkungan gereja itu. Kami juga sempat mampir ke toko gereja untuk membeli buku Jalan Salib (Jujika no michiyuki 十字架の道行き) dalam bahasa Jepang untuk Riku. Well…. dengan demikian dalam waktu 1 x 24 jam aku telah mengunjungi 3 gereja ditambah satu peristiwa melepas Riku pergi naik kendaraan umum sendiri. What a day.

Di depan SJ House dan kapel Kultur Heim, Yotsuya

Dan mumpung kami telah di Yotsuya dan bisa meminta tamu kami untuk memotret kami berempat, aku dan Gen memperlihatkan kepada Riku dan Kai, tempat kami menerimakan sakramen perkawinan 13 tahun lalu di kapel Kultur Heim yang terdapat di lingkungan universitas Sophia. Kemudian dari situ berjalan ke hotel New Otani, tempat kami mengadakan resepsi penikahan yang hanya dihadiri 110 orang Jepang dan 10 orang Indonesia (resepsi di Jepang rata-rata sedikit yang diundang karena undangan harus memberikan angpao cukup mahal yang sudah ditetapkan. Bisa baca cerita pernikahan kami di sini).

depan hotel New Otani

Untung kami masih bisa menikmati Nihon Teien 日本庭園 Taman Jepangnya hotel yang cukup terkenal ini dan bisa berfoto-foto di sini sebelum akhirnya kami menikmati tea time di lounge nya. Hari Minggu itu jadi lengkap dengan tapak tilas sejarahnya Papa Gen dan Mama Imelda sebelum Riku dan Kai lahir…
Mau tahu apa kata Kai? “Iiih mama zurui (curang), menikah di tempat bagus tapi Kai ngga ikut!” hahahahahhahahahaha

Taman Jepang di hotel New Otani, Yotsuya. Riku cari obyek foto sedangkan Kai kejar-kejar burung Gagak 😀

 

 

Coklat Kasih

13 Feb

Bukan Kasih (ngasih) Coklat, tapi Coklat Kasih. Coklat Valentine.

Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa di Jepang itu waktu hari Valentine, justru yang perempuan mengirimkan coklat kepada yang lelaki. Ya memang tadinya sebagai tanda cinta, dan jika diterima, maka si pria akan memberikan “kembalian” pada tanggal 14 Maret, yang dinamakan sebagai White Day. Tentu, ini dimulai oleh perusahaan coklat, taktik mereka supaya coklat bisa laku dijual paling tidak dalam satu hari dari 365 hari. Dan perlu diingat, orang Jepang itu memang suka event-event khusus, sehingga menjadikan tanggal 14 Februari sebagai Hari Valentine di Jepang itu sangat tepat.

Buktinya selain coklat pernyataan cinta, akhirnya merupakan kewajiban bagi semua perempuan untuk mengirimkan kepada teman-teman (sekantor)nya yang laki-laki. Ini kemudian disebut sebagai Giri-choko…. ya seperti coklat “terpaksa ngasih” hehehe. Tapi akhir-akhir ini, karena aku punya anak usia SD, aku baru tahu ada istilah Tomo-choko, coklat yang diberikan kepada tomodachi a.k.a teman. Rupanya murid SD yang perempuan masih “malu” untuk memberikan kepada teman cowoknya, sehingga mereka bertukaran coklat dengan sesama teman perempuan. Daaaaan biasanya kalau coklat-coklat untuk valentine begini, mereka sedapat mungkin membuat sendiri! Tezukuri -hand made! Rajin yah 😀

Kemarin Riku datang padaku dan mengatakan, “Mama aku ngga mau valentine-valentinan, tapi aku mau coba buat coklat sendiri!” Ow, tentu saja boleh. Lagi pula aku memang masih ada banyak persediaan coklat, coklat putih dan segala pernak-pernik untuk membuat coklat atau menghias cake.
“Ayo, besok kan kamu pulang cepat. Setelah pulang sekolah kita buat coklat…. Eh, tapi kamu mau main dengan teman ya? Ya sudah kapan-kapan sebisanya saja. Kapan aja bisa kok”.

Dan, pagi tadi Riku pergi ke sekolah. Oh ya tadi pagi turun salju lagi, tapi meninggalkan lapisan tipis di atap, sehingga siang harinya yang max 10 derajat bisa mencairkan semua salju yang ada.

Karena aku batukku yang bertambah parah sejak kemarin, aku tidak bisa makan apalagi ditambah sakit kepala. Jadi ceritanya sekitar jam 1:30 aku mau leyeh-leyeh tiduran di sofa bed kamar tidur. Aku sudah buka kunci pintu sehingga kalau Riku pulang bisa langsung masuk. Apalagi ada Kai yang sedang menonton TV. Jadi waktu Riku masuk rumah aku tahu, tapi aku biarin. Tapi kok aku mendengar orang menangis? Kenapa?
“Kenapa? siapa nangis?”
Kai jawab, “Riku”
“Kamu apain Riku?”
“Bukan aku kok…..”
“Riku kenapa kamu nangis?”
Yang bersnagkutan tambah nangis…. Hmmm ada apa nih?
“Sakit?” dia menggeleng…
“Dibully?” dia menangis… sambil menggeleng.
“Kamu bukannya mau pergi main dengan teman-teman?”
nah, dia tambah nangis deh…
“Kenapa? Tidak ada teman yang mau bermain sama kamu?”

Lalu dia cerita, tentu saja sambil menangis. Dia ingin bermain dengan S-san, tapi S-san bilang tidak bisa karena dia ada janji dengan Y-san. Karena Y-san juga teman Riku, dia bilang… “Aku ikut dong…”
Dijawab…”Ngga bisa, karena ada beberapa perempuan yang ikut…”
(Nah aku sudah bisa nebak, ini pasti valentin-valentinan deh)
Ya sudah, lalu Riku tidak memaksa. Tapi teman Riku yang bernama I-san, dia juga tidak diajak… jadi dia nangis dan maksa untuk ikut…. Karena jadi ramai, S dan Y akhirnya mengajak I, tapi tetap tidak mengajak Riku. TERBUANG!

Ah kasihan anakku… Lalu aku bilang: “OK Riku mari kita pergi ke mana Riku mau. Sama mama dan Kai kita senang-senang yuk! Mama sakit, tapi bisa pergi. Yuuuk….”
Riku diam… “Atau kamu mau buat coklatnya hari ini. Lupakan saja. Kadang memang ada teman yang begitu. Tapi mama senang karena Riku TIDAK MENANGIS di sekolah dan merengek-rengek seperti I-san. Kalau kamu menangis, kamu setelah ini akan dikata-katain terus sebagai anak cengeng. Jangan takut, mama pasti dukung kamu. Tidak bisa bermain dengan mereka, ya sudah, nanti kita cari acara lain. Jadi bagaimana? mau pergi atau mau buat coklat?”

mulai mempersiapkan bahan

Dan dia memilih buat coklat! Mulailah aku ambil semua persedian, menyiapkan bahan-bahan sementara Riku melihat buku resep bergambar hadiah dari temanku Yeye (Ingat ngga kamu kasih buku resep kue ye? Saat aku ultah sekitar 18-19 tahun lalu?). Dan keputusannya dia mau membuat truffle….dan cake coklat seperti biasa.

Ok, mulailah kami bertiga memasak. Tentu Kai ingin berbuat SAMA PERSIS seperti Riku, sehingga aku sering harus mengingatkan dia bahwa dia lebih kecil dari Riku jadi ada kalanya tidak bisa melakukan yang sama persis. Jadi kalau Riku pakai pisau, Kai pakai serutan untuk memotong coklatnya.

hasil buatan Riku dan Kai. Kuenya sudah habis tapi trufflenya masih loh 😉

Lumayan makan waktu membuat dua macam itu. Apalagi trufflenya harus masuk lemari es dulu. Sehingga baru selesai semuanya jam 5 sore. Eh yang jam 5 sore itu trufflenya, sedangkan cakenya sudah siap jauh sebelum itu dan sudah dihias, dan SUDAH HABIS 😀 Lumayan deh kekesalan Riku hari itu bisa terobati sedikit, karena sebetulnya sekitar jam 3 an dia sempat nyeletuk, “Si S dan Y sekarang sedang ngapain ya?”… aku dengar sih, tapi pura-pura tidak dengar 😀

Terbuang…. Merasa  terbuang. Nakamahazure  仲間外れ. Aku sendiri sering mengalaminya, tapi untung mamaku selalu mengajarkanku untuk selalu percaya diri, dan mencari  distraksi yang lain.

Kebetulan hari ini hari Rabu Abu untuk umat katolik. Meskipun tidak pas setahun yang lalu, tapi mama meninggal sesudah merayakan hari Rabu Abu, Mama masih menerima tanda abu di dahi — simbol kerapuhan kita sebagai manusia, bahwa kita terbuat dari debu dan akan kembali menjadi debu,  menyambut Komuni suci, menjemput cucu-cucu dari sekolah, dan mandi keramas di sore hari… Mama betul-betul sudah siap untuk pergi…. Tapi yang ditinggalkan? Tidak pernah akan siap melepaskan orang terkasih, namun kami percaya bahwa Tuhan menyayanginya dan menginginkan untuk pulang ke rumahNya.

Aku sendiri belum menerima abu, karena di Jepang biasanya abu diterimakan pada hari sabtu berikutnya. Sulit untuk mengadakan misa pada hari kerja biasa di Jepang. Tapi, aku menaati puasa dan pantang ala katolik loh 😉

Besok valentine, aku kirim coklat kepada pembaca TE lewat blog saja ya 😀

coklat untuk TE 😀

 

25.000

8 Feb

Nobango, katanya orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kalau bahasa Jepangnya ni man go sen. Ini adalah jumlah komentar di blogku Twilight Express ini sejak April 2008 (wah sebentar lagi 5 tahun nih… bikin acara apa ya? :D).

Sebagai penyuka angka cantik, saya mengucapkan selamat kepada Krismariana yang pas menjadi komentator ke 25.000. Lucu juga sih sedari pagi tadi aku melihat Kris obrak abrik tulisan lamaku, kemudian disusul Priskilia yang ribut mengajak Arman di Twitter. Keduanya bersaing ketat, dan akhirnya Kris yang mendaptkan bolpen yang bisa dihapus, frixion sebagai hadiah dari TE.

Terima kasih untuk semua komentar teman-teman di Twilight Express yaaaaa. Love you all!!

Sempat aku menulis komentar di FB nya Kris: Kalau 25.000 rupiah bisa dapat apa ya? Sepiring sate padang + minuman teh botol mungkin (dan terus terang aku jadi pengeeeeeen sekali sate padang hiks :D) . Tapi seperti yang pak Marsudiyanto tulis di Jakartaria, sekarang Jakarta serba mahal! 25.000 itu bisa beli apa ya?

Kalau aku memang baru saja “membuang” uang setara dengan 25.000 rupiah  untuk SAMPAH! Ya, hari minggu kemarin, akhirnya kami membawa TV 14 inch yang sudah rusak ke toko elektronik untuk membuangnya! Sejak bulan Juni 1998 ditetapkan Law for Recycling of Specified Kinds of Home Appliances atau bahasa Jepangnya Risaikuru-ho リサイクル法, dan peraturan ini dilaksanakan mulai bulan April tahun 2001. Jadi kami TIDAK BISA membuang TV bekas sembarangan, harus membayar. Dan kami juga tidak bisa membawanya ke Dinas Kebersihan pemerintah daerah dekat rumah kami, karena khusus TV harus dikumpulkan di toko peralatan listrik. Kebetulan hari itu kami membeli BluRay Recorder di toko YamadaDenki, sehingga bisa membuang DVD recorder lama kami gratis, tapi untuk TV kami harus membayar 2.310 yen! (Dan karena petugas toko baik, kami boleh juga membawa satu set sound system yang hendak kami buang dengan gratis). Jadi begitulah di Jepang, buang barang harus bayar! Dan harganya beda-beda tergantung jenisnya. Masih ada beberapa peralatan listrik yang menunggu giliran untuk dibuang di beranda apartemen kami. Paling enak sih memang waktu membeli baru, langsung bawa yang lama sehingga tidak usah membayar lagi (biasanya toko elektronik mau ASAL beli baru hehehe). Susah deh buang aja musti merogoh kocek!

Kalau tidak mau bayar? Ada sih caranya, yaitu MUTILASI, copot semua yang bisa dicopot, lalu dikecilkan semua sehingga bisa dibuang bersama sampah tak terbakar yang lain. Tapi… lumayan bahaya sih. Aku sempat mau membeli gergaji multipurpose, tapi dilarang oleh Gen. Katanya, “buat apa? Lebih baik bayar sedikit tapi aman. Kamu tidak usah buang tenaga, belum lagi bahaya kalau ada anak-anak… pasti juga waktu barangnya udah ada, kamu juga jadi malas… mubazir kan?” Well, he knows me well 😀

Kalau di Indonesia buang (air besar dan air kecil) kadang harus bayar ya? Buang sampah bagaimana? Masih ada iuran kebersihan RT/RW? Buang apa lagi yang dikenakan biaya? EH iya BUANG WAKTU juga kena biaya ya… biaya ngebakso, ngopi, ngeteh dsb 😀 😀 😀

So, next angka cantiknya kapan?

25025 (20-an lagi) deh kasih hadiah hiburan  untuk yang belum sempat dapat hehehe

… dan selanjutnya 25252! (240-an lagi)

Selamat berkomentar TAPI ingat harus log in di mari ya (kalau komentar di FB atau pakai akun FB tidak terhitung) dan jangan OOT loh 😉

TGIF!

 

Influenza vs Masuk Angin

5 Feb

Beberapa hari yang lalu deMiyashita menderita Influenza. Mengutip komentar Narpen ” flu itu ‘serius’ ya tan? dulu bilang flu ke sensei, dia kaget  padahal klo org indo, flu kan level ‘biasa’…dan kujawab: beda influenza dan masuk angin (kaze). Kalau masuk angin tanpa virus, kalau influenza krn virus jadi menular. Orang Indonesia menyamakan semuanya dgn flu, padahal lain. Begitu bilang Influenza, pasti kamu akan diisolasi di Jepang hehehehe.

Jadi dalam bahasa Jepang ada dua kata yang sering dipakai yaitu KAZE untuk masuk angin, dan INFLUENZA untuk influenza parah. Bedanya? Setelah aku cari-cari sebetulnya penjelasanku bahwa masuk angin itu tanpa virus juga salah. Jadi untuk jelasnya aku tulis saja perbedaannya ya. (Sumber dari sini)

1. Kalau KAZE itu disebabkan Corona virus atau Rhinovirus sedangkan INFLUENZA disebabkan oleh virus Influenza. Untuk Influenza ada vaksin pencegahannya, tapi kalau virus Kaze tidak ada vaksinnya.

2. Gejala KAZE adalah sakit tenggorokan, pilek, batuk dan bersin, dan masih dianggap gejala ini ringan. Biasanya demamnya tidak tinggi (tidak setinggi Influenza), tidak ada komplikasi dan biasanya sembuh dalam waktu 1 mingguan. Sedangkan gejala Influenza adalah demam tinggi (38-40 derjaat), sakit kepala, sakit persendian dan otot, serta sakit seluruh tubuh. Tentu saja kadang disertai sakit leher, pilek dan batuk. Biasanya gejala ini berlangsung 2-3 hari dan paling lama 5 hari. Yang perlu diperhatikan jika lansia atau bayi/balita menderita Influenza, bisa terjadi komplikasi menjadi pnuemonia dan bisa meninggal.

3. Kaze dan  Influenza sama-sama menyebar melalui udara atau kontak langsung dengan penderita, tapi khusus Influenza, virus yang ada di udara bisa tahan lama (berjam-jam) dan mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Jadi misalnya virus yang menempel pada pegangan di kereta, tirai atau pegangan pintu dapat hidup terus selama 3 jam. Karena itu sebagai pencegahan selalu disarankan untuk selalu mencuci tangan.  Kalau Kaze tidak mengenal waktu penyebarannya, di Jepang masa mewabahnya influenza adalah sekitar bulan Desember sampai Maret.

4. Pencegahan Influenza yang paling disarankan adalah vaksin. Karena itu biasanya mulai bulan Oktober akan ada vaksin anti influenza. Meskipun belum berarti sesudah vaksin akan bebas dari penyakit, tapi jika terjangkit influenza biasanya akan lebih ringan daripada tidak mendapat vaksin. Tapi aku dan anak-anak belum pernah mendapat vaksin anti influenza. Vaksin ini tidak termasuk dalam asuransi sehingga harus bayar sendiri, sekitar 2500 – 4000 yen.

5. Selain vaksin, pencegahan dapat dilakukan dengan selalu mencuci tangan dan berkumur-kumur setelah bepergian. Hindari tempat yang ramai serta biasakan memakai masker. Tidur atau istirahata yang cukup serta mejaga kelembaban ruangan (virus Influenza menyukai udara kering, sehingga sedapat mungkin usahakan kelembaban 40-60 persen). Jika sampai terjangkit influenza, kalau di Jepang biasanya kami akan mendapat obat yang bernama Tamiflu (untuk influenza, antibiotik tidak dipakai). Nah seringnya kami diwanti-wanti jika minum obat jenis ini, karena pernah dilaporkan anak-anak yang minum obat ini menjadi “tidak sadar” sehingga dapat melukai diri sendiri. Mungkin karena demam tinggi tapi mungkin juga karena pengaruh obat. Karena itu orangtua diharapkan memperhatikan anak-anaknya waktu minum obat Tamiflu. Pelajar yang menderita Influenza (bisa ditest di dokter) biasanya HARUS istirahat di rumah dan tidak boleh masuk sekolah sebelum benar-benar sembuh (biasanya 5 hari setelah demam turun). Untuk sekolah yang disiplin, mereka meminta surat keterangan sembuh dari dokter (TK nya Kai meminta surat 完治証明書 ini dan bisa didapat di RS dengan membayar sekitar 300 yen). Jika 10 murid dari satu kelas absen karena influenza biasanya diberlakukan “Penghentian Pembelajaran” karantina untuk kelas tersebut 学級閉鎖, atau kalau sampai parah bisa saja satu sekolah diliburkan 学校閉鎖.

Karena itu bedakan penggunaan kata KAZE dan Influenza di Jepang. Karena levelnya berbeda, dan diharapkan masing-masing warga bertanggungjawab untuk tidak memicu wabah Influenza. Jadi jangan bilang “flu” deh di sini (kecuali memang benar terkena virus influenza)

Meskipun kemarin tanggal 4 Februari sudah dinyatakan bahwa Jepang sudah mulai memasuki musim semi (risshun 立春) cuaca di Jepang tidak menentu, kadang hangat, kadang dingin, bahkan untuk hari Rabu besok sudah diprediksi akan turun salju yang cukup lebat. Well, yang penting semuanya saja harus menjaga kesehatannya masing-masing ya.

Oh ya hanya mau mengingatkan bahwa TE (Twilight Express), blogku sebentar lagi akan menyambut  komentator yang ke 25.000 … yippie!!!! Seperti kebiasaaan yang sudah-sudah untuk angka cantik, sudah ada hadiah yang kupilih untuk yang pas angka 25.000 tersebut. TAPI semoga yang dapat bukan pendatang/komentator baru (dengan alamat email tidak jelas) atau spammer yang dapat yah :D. Kalau sampai terjadi, maka aku akan memilih yang terdekat deh 😉 FYI: komentar dengan login FB tidak dihitung oleh Jetpack jadi kalau mau dihitung tulis langsung di kolom komentar dengan tulis nama dan email ya….

Hadiahnya:

frixion, bolpen yang bisa dihapus

 

 

 

Nyaris

1 Feb

Kalau teman-teman melihat foto ini pasti tahu kenapa aku menulis judul NYARIS.

nyaris pecah

Ya, ini  salah satu kantong plastik belanjaanku. Dan rupanya sudut tempat telurnya cukup tajam sehingga bisa merobek kantong plastik dan hampir jatuh. Untung aku segera sadar dan akhirnya memegang tempat telurnya langsung dengan tangan. Kalau tidak kejadian lagi deh seperti beberapa hari yang lalu. Aku lupa tidak menutup plastik belanjaan yang aku taruh di keranjang sepeda padahal aku taruh telur di bagian atas. Nah, waktu mau masuk ke pelataran parkir apartemenku, ada semacam undakan kecil sehingga aku mesti turun karena bahaya, lalu aku dorong sepedanya. Tapi undakan itu membuat tempat telur yang ada di bagian atasnya menclat ke aspal dan….. kraaaak, pecah deh 8 butir dari 10 butir telurnya 😀 Terpaksa deh malam itu aku buat fuyunghai 😀

Tapi kalau teman-teman lihat foto ini, tidak tahu apa yang “Nyaris” ya? Meksipun mungkin bisa bahasa Jepang mungkin pinto konai ピンとこない tidak bisa langsung ngeh apa yang dimaksud. Ya karena aku sendiri yang menerima kartu pos itu butuh waktu cukup lama untuk bisa mengerti.

Kartu pos dengan keterangan apa yang hilang/ditemukan dan barang tersebut akan disimpan selama 3 bulan

Jadi kartu pos itu dari kepolisian. Dan memberitahukan bahwa ada orang yang menemukan Kartu Identitas Orang Asing punyaku (ya semacam KTP lah) pada tanggal 29 Januari lalu dan aku harus mengambilnya ke kepolisian daerahku. LOH! Aku baru sadar, bahwa Kartu itu tidak ada di dompetku ya saat aku membaca kartu pos itu! Aku tidak merasa kehilangan, tapi waktu kucari di dompet memang tidak ada! WAH…. seandainya loh… seandainya terjadi di Indonesia, atau…. seandainya tidak ada orang yang menemukan, aku pasti akan sulit sekali mencarinya pada waktu aku perlu, karena sama sekali tidak sadar. Lalu waktu kuingat-ingat kembali, hari itu aku pergi dengan Kai ke RS, lalu ke stasiun untuk makan siang dan belanja. Jadi pasti terjatuh waktu aku membayar atau membuka dompet. Duh…. kok bisa teledor begitu. Dan untung saja waktu aku cek kartu-kartu lainnya semua masih ada (termasuk credit card dan kartu bank).

Aku membaca kartu pos itu tadi pagi, dan waktu kulihat aku hanya bisa mengambil kembali pada hari kerja, begitu aku selesai mengantar Kai, aku langsung bersepeda ke kantor polisi itu. Lumayan sih kalau naik sepeda, kalau ngebut 10 menit juga sampai 😀 Aku langsung ke loket kehilagan barang dan segera mendapatkan kembali kartuku itu. Di dalam laporan juga tidak diberi keterangan ditemukan di mana, jadi tetap aku tidak tahu tepatnya kapan aku menjatuhkannya. Tapi untung saja bisa kembali, kalau tidak NYARIS aku tidak ber-KTP deh 😀

Kalau foto yang ini sih, untung tidak NYARIS hangus, karena aku aduk terus begitu bumbunya mulai mengering. Tapi belum tidka boleh NYARIS habis karena ini buat dibawa acara gereja besok!

 

 

Taman Nasional Bantimurung

29 Jan

Akhirnya aku bisa mewujudkan cita-citaku memperlihatkan Taman Nasional Bantimurung kepada Riku, anak sulungku. Meskipun sebetulnya dia sudah pernah ke sini waktu usia 6 bulan :D. Bagaimana mau ingat ya?

Riku di Bantimurung, 9 tahun yang lalu 😀

Sejak aku tahu bahwa Riku juga menyukai hobi barunya, dan menikmati kupu-kupu di Cihanjuang Bandung, aku ingin sekali membawa Riku ke Bantimurung, yang dikenal di Jepang sebagai “Lembah Kupu-kupu”. Tapi untuk ke sana tentu biayanya tidak sedikit. Karena aku harus menyediakan tiket p.p. Jakarta – Makassar yang harganya sama saja dengan naik shinkansen p.p. dari Tokyo ke Osaka 😀 dan bukan hanya untuk aku sendiri tapi untuk 3-4 orang . Belum lagi hotelnya karena meskipun ada rumah saudara, pasti anak-anakku ingin berenang, sehingga lebih baik menginap di hotelnya. Nah, waktu aku kemukakan keinginan mengajak papaku ke kampung halamanku pada Gen, dia amat menyetujui dan satu-satunya tempat yang diwanti-wanti HARUS pergi adalah Bantimurung. Jadilah Bantimurung menjadi tujuan kami pertama kali, bahkan langsung sesudah mendarat

Setelah minum teh tarik di salah satu restoran di bandara, kami langsung naik pajero milik om Benny menuju ke Bantimurung. Tidak jauh sebenarnya, tapi mendekati areal Taman Nasional itu ada satu mobil PU yang badannya segede Gaban dan menutupi jalan masuk. Setelah berputar dulu mencari jalur lain, kami bisa turun di gerbang masuknya. Ya, aku ingat di gerbang masuknya ada patung gorilla tapi aku baru tahu sadar bahwa ada patung kupu-kupu besar.

Dari gerbang masuk, pintu masuk dan jalan masuk menuju air terjun

Sesudah kami memarkirkan mobil, kami langsung masuk… dan terus terang kami tidak tahu berapa harga tiket masuknya. Rupanya om Ari sudah menyelesaikan pembayaran di luar sepengatahuan kami. Dan kami pelan-pelan berjalan masuk ke dalam. Terus terang aku lupa, apakah 9 tahun yang lalu seperti ini juga. Tapi sepertinya jauuuh lebih bagus sekarang. Ada sebuah kolam semacam kolam renang (yang butek airnya) di sebelah kiri dan di sebelah kanannya lebih merupakan sebuah kolam. Di sini warnanya bagus jika difoto dengan Canon (Hasilnya lain dengan Nikon)

kolam sebelum air terjun

Dan selama kami berjalan masuk ke dalam, waktu itu matahari sudah tinggi sekitar pukul 11:30 an dan lembab! Panasnya…. Tapi untung sih tidak hujan, karena kalau hujan sudah jelas kami tidak bisa melihat kupu-kupu.  Terus terang dibandingkan 9 tahun yang lalu, kali ini aku banyak melihat kupu-kupu! Senang sekali, dan ciri khas kupu-kupu Indonesia terbangnya cepat dan aktif sekali. Susah untuk memotret mereka. Tapi karena banyak kupu-kupu yang terbang, aku bisa mencari obyek potret dengan mudah. Aku baru ingat dulu waktu 9 tahun lalu ke sini, kami datang sudah siang, dan memang kalau mau melihat banyak kupu-kupu semakin pagi semakin bagus.

sebagian kupu yang kujumpai. Yang kanan bawah itu sedikit dari yang kami beli dari pemuda di sana

Akhirnya kami sampai di bawah air terjun. Rupanya yang membedakan dengan 9 tahun yang lalu, adalah adanya pagar keramik sepanjang pinggir air, sehingga kita bisa duduk-duduk di situ. Dan jika mau turun ke bawah air terjun, bisa masuk lewat pintu yang tersedia. Di bantaran juga tersedia tempat untuk duduk bertikar yang disewakan, juga loker penyimpanan baju bagi yang mau mandi di air terjun.

Nah mulai deh ke dua anakku memandangi air terjun dan melihat orang-orang yang dengan riangnya bermain air. Dan keduanya mau turun ke air. Kupikir tidak apa karena koper kami masih di dalam mobil, jadi bisa buka kalau perlu baju ganti. Jadi kuijinkan asal jangan jatuh karena licin. Yang lucu, Opanya melihat cucu-cucu bermain air begitu, juga ingin turun main air. Justru aku lebih khawatir kondisi opa daripada cucu-cucu. Orang tua/lansia TIDAK BOLEH jatuh! Jadi aku langsung wanti-wanti Riku untuk memperhatikan opa, dan terus terang aku juga tidak bisa konsen memotret (dengan 3 kamera karena aku akhirnya harus pegang kameranya opa juga!) , dan tentu saja bersiap-siap kalau perlu aku pun turun ke air. Masa bodo deh hehehe.

Opa ikut bermain air!

Tapi senang melihat Opa senang! “Wah aku pertama kali turun ke air terjun Bantimurung sejak bertahun-tahun pulang kampung!” Dengan senangnya dia menceritakan pengalaman “main air” dengan cucu-cucu kepada teman-teman dan saudara-saudara setelah pulang. Dia tidak  tahu aku deg-degan terus karena teringat kata-kata Novi, adikku, di BB….” Mel you have THREE dependant!” hihihi.

Setelah puas bermain air, kami duduk di bantaran, sambil aku memotret kupu-kupu kuning-coklat yang terbang mendekat, sambil Opa melihat-lihat kupu-kupu yang dijual anak-anak setempat. Aku biarkan saja, karena Opa berbicara dengan bahasa ibunya, bahasa Makassar dengan mereka, dan mau membelikan kupu-kupu itu untuk cucunya. Padahal kalau mau jadi environmentalist sejati, seharusnya aku tidak membeli kan? Ohh… idealisme kadang membuat ribet memang ya. Tidak lama 4 kotak set kupu-kupu berpindah tangan. Dan empat kotak ini kemudian aku foto satu per satu dan minta Gen check apakah masuk Konvensi Washington atau tidak. Dan ternyata dari sekian banyak kupu-kupu ada 4 ekor yang tidak bisa kami bawa, dan kutinggal di rumah Jakarta (lagi).

istirahat di bantaran sambil Opa melhat kupu-kupu yang dijual

Kemudian aku tanya pada Riku apakah dia mau pergi ke sumber mata air yang ada di atas? Kalau Riku tidak mau, aku yang akan pergi, karena sebetulnya aku ingin membandingkan kondisi mata air itu dnegan kondisi waktu 9 tahun yang lalu. Padahal 9 tahun yang lalu aku tidak naik ke atas, karena menjaga Riku yang masih bayi. Tapi paling tidak bisa memotretnya dan membandingkan dengan foto-foto yang diambil Gen dulu. Ternyata Riku mau, dan aku pesan untuk memotret kondisi di atas. Sayangnya aku tidak menjelaskan dengan detil apa saja yang perlu difoto 😀 Jadi…. dia hanya ambil SATU foto hahaha.

Mataair di atas air terjun. Foto-foto ini diambil Gen, 9 tahun yang lalu

Setelah Riku kembali, kamipun beranjak dari lokasi air terjun untuk pulang. Ya, kami sudah lapar! Mau mencari makanan tapi tentu tidak di daerah situ. Padahal sebetulnya Taman Nasional Bantimurung itu bukan hanya air terjun saja, masih ada museum dan tempat penangkaran kupu-kupu. Kami berniat untuk skip museumnya, dan menuju ke penangkarannya, tapi ternyata tidak dibuka. Rupanya penjaganya sedang pergi sholat Jumat dan belum kembali. Nah, di sekitar itu memang masih merupakan semacam hutan liar. Jauh deh dengan Taman Kupu-kupu Cihanjuang di Bandung yang memang ditata rapi. Wild deh! Tapi di situlah aku melihat untuk pertama kalinya seekor BUNGLON yang besarnya hampir sebesar BIAWAK! Tadinya aku tidak melihat, dan oleh si abang yang memandu kami ditunjukkan dan kupikir aku mau mendekat saja. Ternyata langkah kakiku membuatnya takut dan lari! TAPI dengan larinya aku jadi bisa tahu dia ada di mana! Jelas tidak ketemu karena aku pikir bunglon itu pasti di atas dahan pohon, ternyata ini di tanah! Si abang itu bilang, “Wah itu sih masih kecil, biasanya lebih besar….” Tentu dalam bahasa Makassar yang diterjemahkan papa 😀

bunglon sebesar biawak! dia beradaptasi warna dengan patahan kayu di tanah

Keringat dan panas serta lapar mulai menyerang sehingga kami akhirnya cepat-cepat meninggalkan areal taman dan naik ke mobil. Aku sudah siapkan tip untuk pemuda yang mengantar-antar kami, tapi oleh papa dilarang karena rupanya om Ari sudah menyelesaikannya semua. Duh, aku tidak tahu bagaimana balas budi kepada Om Ari dan Om Benny!

So, setelah itu kami bergegas ke darah pantai Losari dan mencari makan. Bukan Mie Titi, atau Nyuknyang, atau coto Makassar tapi ikan bakar :D. Dan lucuuuu rasanya melihat Kai makan ikan bakar dengan tangan 😀 (Kalau Riku sih sudah sering, kalau Kai biasanya aku suapi kalau ikan)… Aduuuh jadi ingin makan Pallumara deh 😀

Karena kami sampai sudah terlalu siang, tinggal sedikit jenis ikan yang tersisa…. padahal aku ingin sekali makan Baronang bakar 😀

Ntah kapan aku bisa ke sini lagi…. mungkin kalau ada rencana ke Toraja bisa mampir ya? 😀  Semoga!

Postingan yang cukup lama ditulis karena gangguan kesehatan dan… malasnya memilih foto-foto 😀

 

Pulang Kampung

23 Jan

Mudik atau pulang kampung. Di mana ya kampungmu?

Aku kadang heran karena sebetulnya kalau mau dikatakan aku “pulang kampung” ke Jakarta, kata-kata ini tidaklah tepat. Kurasa Jakarta bukanlah kampung, dan kita tidak mungkin juga mengubah menjadi “pulang kota” kan? Mau pakai kata mudik juga tidak tepat juga…. tapi karena tidak ada kata yang cocok untuk menggambarkan pulang ke tempat asalnya, maka kupakai saja pulang kampung.

Untuk bahasa Jepang ada istilah 里帰り Satogaeri (Sato = kampung, gaeri=kaeri = pulang), itu untuk orang Jepang. Tapi untuk orang asing biasanya dipakai 一時帰国 Ichiji kikoku (ichiji= sesaat, kikoku = pulang ke negaranya), dan ini adalah bahasa resmi yang dipakai orang Jepang kepada pelajar asing di sini.

Aku pulang kampung ke Jakarta mulai tanggal 22 Desember sampai tanggal 7 Januari yang lalu. Begitu sampai di Jakarta aku dijemput adikku yang membutuhkan 2 jam untuk sampai ke bandara, diakibatkan banjir di dekat Senayan City. Ya hari Sabtu itu banyak temanku yang terjebak banjir. Oleh karena itu sebelum pulang ke rumah, kami bersiap makan dan ke wc dulu, dan ternyata jalanan lancar jaya dan kami bisa sampai rumah kurang dari 1 jam. Padahal banyak temanku yang menyarankan lewat BB untuk nginap di bandara saja saking parahnya kemacetan hari itu. Makanya aku agak heran waktu jalan Sudirman ke arah blok M begitu lancar. Semesta mendukung nih.

Memulai “pulang kampung” tgl 28 Desember 2012 @Soeta

Setelah menghabiskan waktu memperingati Natal bersama keluarga di rumah Jakarta, tanggal 28 Desember aku benar-benar pulang kampung, atau tepatnya menemani papaku pulang kampung. Kalau aku kelahiran Jakarta, papaku kelahiran Makassar dan sebetulnya ingin pulkam bulan Oktober lalu. Aku tahu memang biasanya bulan Oktober papa pulang sekitar hari ulang tahun oma, untuk nyekar dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Terakhir papa ke Makassar masih bersama alm. mama, dan setelah mama meninggal papa menjalani pengobatan untuk jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi sudah pasti tidak diperbolehkan bepergian sendiri ke luar kota. Nah, waktu aku merencanakan pulkam Natal/Tahun Baru yang cukup mendadak ini (mendadak dalam hal keuangan juga hehehe), aku menawarkan pada papa apakah mau pulkam ke Makassar berempat dengan kami. Papaku tentu dengan gembira menyambut ajakanku sampai berkata, “Aku bisa bayar tiket pesawat sendiri kok mel…..” Tapi itu kan hadiah Natalku dan Gen untuk papa 🙂

Sebelum naik pesawat. Kiri : aku dengan baby Riku, Agustus 2003 dan Kanan: Kai dan Riku, 9 tahun kemudian. Ya aku sudah 9 tahun tidak ke Makassar.

Kupikir kapan lagi aku bisa mengajak kedua anakku mengetahui asal muasal keluarga Coutrier di Makassar. Gen sudah dua kali ke Makasar th 2000 dan tahun 2003, sehingga kurasa tidak perlu menunggu Gen untuk mengajak anak-anak ke Makassar. Sejak opa dan omaku meninggal (th 2000 dan th 2004), meskipun masih banyak saudara di Makassar, agak sulit meluangkan waktu dan biaya untuk pergi ke sana. Dan sebetulnya dengan biaya yang sama aku bisa saja ke pulau Bali ikut adikku yang memang setiap tahun berlibur ke Bali. Bali bisa menunggu, tapi Makassar kurasa hanya bisa kudatangi sekarang ini.  Merencanakan perjalanan ke luar kota memang harus banyak perhitungan. Dan aku beruntung masih bisa mendapatkan tiket pesawat dan hotel dengan harga murah meskipun jadwalnya sudah sekitar akhir tahun yang biasanya padat pengunjung.

anak lanangku, dengan sukarela menjaga opa dan membantu membawakan ransel opa. I’m proud of you son!

Kami berangkat dari rumah pukul 4 pagi, untuk naik pesawat Garuda yang take off sekitar jam 6. Kami hanya membawa satu koper yang berisi pakaian ganti untuk kami berempat. Sedapat mungkin travel light, dengan hanya membawa satu bagasi untuk cabin. Riku yang biasanya membawa ransel, kali ini tidak membawa. Dan dia yang langsung menawarkan diri untuk menggendong ranselnya Opa. Memang aku sudah beritahu dia untuk memperhatikan opanya karena opanya tidak boleh capek, tapi tak kusangka dia punya keinginan sendiri untuk membawakan ransel opa. Tanggung jawab yang besar karena ranselnya berisi uang :D. Sebelum berangkat, waktu memesan dua kamar hotel, aku juga sudah katakan pada Riku bahwa dia satu kamar dengan Opa. Dengan khawatir dia berkata, “Kalau ada apa-apa dengan opa, aku musti gimana?” “Ya cukup telepon ke kamar mama dong… nanti mama usahakan supaya kamarnya sebelahan. Paling  juga kamu tidak dengar apa-apa, langsung mlempus tidur duluan 😀

Bandara Hasanuddin yang baru… begitu turun dari pesawat

Tapi begitu kami sampai di bandara Hasanuddin yang baru itu, kami tidak langsung ke hotel. Kami menuruni pesawat lewat belalai dan bisa melihat bangunan megah itu dari luar. Yang aku masih tidak bisa mengerti, mengapa di bandara Cengkareng (waktu berangkat) kami harus turun dan naik shuttle bus sampai ke dekat pesawat, lalu naik tangga. Memang sih anak-anak senang bisa melihat badan pesawat dari dekat, tapi amat sangat tidak menyenangkan bagi mereka yang sulit berjalan. Aku jadi teringat dulu opa dan oma  Makassar (sebutan kami untuk opa dan oma pihak papa) kalau mau ke Jakarta, pasti kami minta bantuan staff garuda untuk menyediakan kursi roda. Perjalanan domestik di Indonesia amat tidak menyenangkan bagi lansia dan mereka yang sulit berjalan. Tidak barrier free tentu saja, tapi jika ada belalai langsung dari gate ke pesawat paling sedikit mempermudah mereka yang sulit berjalan. Papa yang jantungan sebetulnya tidak boleh naik turun tangga, sehingga aku khawatir sekali waktu dia harus naik tangga masuk pesawat. Ah, ini suatu kenyataan yang harus aku hadapi bahwa lansia di Indonesia memang tidak didukung untuk bepergian, dan harus berpikir banyak kali sebelum mengajak lansia bepergian di dalam negeri. Jauuuuh sekali dengan pelayanan bagi lansia dan penyandang cacat di Jepang. So, lakukanlah perjalanan jauh sewaktu engkau masih sehat (dan muda)! (Dan aku bersyukur kampungku di Jakarta, at least masih bisa merasakan pelayanan untuk orang asing 😀 Pakai belalai dan eskalator!)

Phinisi di bandara Hasanuddin, 28 Des 2012

Karena masih pagi (jam 10 pagi euy…. kalau di Jepang itu sudah siang hahaha) , kami santai dulu pergi ke WC dan berfoto di depan perahu Phinisi di lobby kedatangan. Sambil papa menelepon orang yang akan menjemput kami. Kami beruntung sekali karena disediakan mobil selama berada di Makassar oleh teman lama papa, Om Benny. Padahal om Bennynya sendiri berada di Manado. Aku sudah kenal om Benny ini sejak masih anak-anak karena setiap kami pergi ke Makassar pasti kami dijamu oleh Om Benny. Dan aku masih ingat “tangan kanan”nya om Benny di Makassar, Om Ari yang selalu bertugas mengantar kami. Setelah mengambil koper kami keluar bandara. Karena papa mau minum obat, kami mencari teh tarik. Memang papa penikmat teh sejak dulu. Jaman aku pertama kali minum kopi di usia 12-an, papa sudah berganti haluan dengan minum teh. Dan akhir-akhir ini papa kerajingan dengan teh tarik. Ada sedikit insiden di suatu toko gerai donut terkenal DD, karena itu toko yang terdekat begitu kami keluar pintu kedatangan. Jadilah papa minta teh susu di situ, yang dijawab tidak ada, adanya teh biasa. Dan papa harus memilih salah satu tea-bag yang tersedia. Aku sendiri tidak tahu awal mulanya apa, tapi aku lihat di daftar menunya ada tea latte, jadi aku bilang, “Loh ada tea latte kan? Itu kan teh susu… Kalau itu ada, kenapa tidak sediakan itu saja?” Dan dijawab ada! Papa langsung marah dan bilang, “Saya tanya ada teh susu, kamu bilang tidak ada. Sekarang bilang ada. Kalian niat jualan ngga sih? Ayo kita pergi dari sini!” Hmmm mulai deh. Memang aku tahu pelayanan di Indonesia itu membutuhkan kesabaran, dan tidak cocok bagi orang-orang yang mobilitasnya (bisa dibaca: tempramen) tinggi 😀 (Makanya aku tidak kerasan tinggal di Indonesia :D). Teh susu kok bisa beda dengan Tea Latte? Jangan kasih nama asing deh kalau tidak tahu artinya 🙂 Akhirnya kami pindah ke toko lain, yang justru malah menyediakan teh tarik dengan tempat duduk yang lebih nyaman…. Welcome home papa!

Setelah minum yang hangat, kami bersiap untuk menuju tujuan pertama di kampung halaman Papa/Opa. Bantimurung!

Bantimurung

 

Salju itu (Tidak) Menyenangkan?

17 Jan

Seorang tanteku di Belanda menulis begini : “Sneeuw is mooi om te zien … leuk voor the kids om te spelen … maar ellende voor veel mensen —- Salju indah untuk dilihat … menyenangkan untuk anak2 untuk bermain … tapi jadi masalah untuk banyak orang”. Dan memang begitu adanya. Kalau sesekali turun sih masih menyenangkan, tapi…..

Seperti kutulis di posting sebelum ini, tanggal 14 Januari lalu turun salju cukup lebat, bahkan untuk wilayah Yokohama sudah 13 tahun tidak turun salju sebanyak kemarin itu. Ketinggian 15 cm untuk wilayah Tokyo itu tinggi! Memang jangan dibandingkan dengan daerah di utara Jepang yang setiap musim dingin saljunya minimum 1 meter 😀 (Tidak jarang sampai 3 meter juga loh). Dan memang salju selalu ditunggu anak-anak karena mereka bisa bermain lempar-lemparan salju, membuat boneka salju atau meluncur di atas salju.

boneka snowman yang kubuat sekitar 16 tahun yang lalu di atas apartemen tingkat 4. hidungnya wortel, mulutnya cabe 😀

Tapi setelah salju berhenti turun itu masalahnya. Kami tidak bisa menyetir mobil jika bannya tidak dilengkapi rantai. Tanpa rantai, mobil bisa slip dan menimbulkan kecelakaan. Kami juga harus berhati-hati waktu berjalan, harus memakai sepatu yang tidak licin dan tentu saja menggandakan waktu yang diperlukan untuk bepergian. Jika tadinya cukup 30 menit, harus perhitungkan 1 jam untuk perjalanan.

sebelum pergi dengan mobil, salju yang menumpuk juga perlu disingkirkan dulu. Memakai spatula (apa saja yang tidak tajam) dan air panas.

Dan salju setelah berhari-hari itu kotor! Tidak lagi putih bersih. Kami harus menyekop tumpukan salju untuk membuat jalan dan itu harus dilakukan waktu salju itu masih lembut. Kalau sudah lewat sehari, salju itu berubah menjadi serutan es dan jika suhu rendah terus salju tidak mencair malahan menjadi keras seperti es batu, dan ini sangat berbahaya.

jalanan seperti begini yang berbahaya karena licin

Hari ini aku harus mengajar sehingga Kai baru ke TK hari ini. Dua hari kemarin TK nya membebaskan murid-murid untuk tinggal di rumah. Jadi tadi pagi aku pertama kali juga keluar rumah mengantar Kai, naik sepeda. Dan ada beberapa jalan yang tidak bisa kulewati dengan sepeda karena licin, jadi aku harus turun dan mendorong sepeda, Halaman sekolah Kai juga masih penuh oleh salju dan genangan air sehingga anak-anak tidak bisa bermain di halaman. Ah Nerima memang Tokyo bagian desa sih :D, suhunya juga lebih rendah dari bagian kota Tokyo yang lain.

halaman TK Kai sore hari ini

Bagaimana? Mau coba tinggal di negara bersalju? Tapi percaya deh, kalau sudah merasakan hari dengan salju, maka hari-hari berikutnya akan terasa hangat!

Ulang Tahun

15 Jan

Sudah beberapa tahun terakhir ini, aku dan Gen tidak bisa merayakan ulang tahun bersama, karena biasanya pas tanggal 14-nya, Gen harus menginap di universitasnya untuk membantu kelancaran pelaksaan Ujian Pusat (semacam Sipenmaru dulu). Jadi biasanya hanya sempat meniup lilin kue ultah di pagi hari atau bahkan sesudah kembali dari menginap. Jadi tidak pernah bisa melewatkan satu hari tanggl 14 Januari itu berdua.

Nah, kebetulan sudah sejak awal Desember aku melihat di kalender bahwa tanggal 14 Januari itu jatuh pada hari Senin dan tanggal merah, hari Dewasa seijin no hi  di Jepang. Hmmm tapi biasanya meskipun tanggal merah Gen kadang harus bekerja, sehingga sudah aku wanti-wanti untuk mengambil cuti. Karena aku ingin kita merayakan ulang tahun bersama. Karena aku bisa mendapatkan tiket masuk SkyTree pukul 4 sore, aku membeli tiket itu untuk ber-6. Maksudnya ingin mengajak bapak dan ibunya Gen juga untuk bersama-sama pergi ke Sky Tree dan merayakan ulang tahun di tower setinggi 634m itu. Dan karena aku tidak berhasil memesan tempat untuk dinner di restoran di atas SkyTree (dan mahal sekali sehingga aku tidak mau), Ibu mertuaku berhasil memesan tempat di restoran China di hotel Asakusa yang dari restoran di tingkat 27 itu kami bisa melihat ke arah SkyTree dan menikmati dinner sekaligus pemandangan SkyTree malam hari. Jadi sudah perfect deh rencana kami untuk tanggal 14 Januari.

Jadi sejak tanggal 13 sore, kami pergi ke rumah mertua di Yokohama untuk makan malam bersama, kemudian menginap dan esoknya akan pergi naik kereta ke SkyTree. Namun kami memang mengetahui dari prakiraan cuaca bahwa kemungkinan Tokyo hujan dan bercampur salju. Jadi kami sudah siap tidak naik mobil, memakai baju tebal dan siap dengan payung lipat, sambil berdoa semoga tidak hujan.

Tapi…. begitu kami sarapan pagi pukul 8 pagi, Hujan mulai turun disertai angin kencang. hmmmm…. masak sih akan bersalju? Dan…. saat itu aku melihat butiran salju kasar mulai turun. WAH ternyata memang salju. Tapi kami pikir ah cuma salju sedikit, toh tidak akan menumpuk jadi tetap pergi saja. Pas jam 11 kami mau bersiap ganti baju untuk pergi, kami mendapatkan pemandangan seperti ini di halaman belakang rumah.

jam 11 saljunya sudah segini

Waaaah ternyata salju menumpuk dan sialnya untungnya salju terus turun cukup deras. Wah kalau begini ada kemungkinan kami tidak bisa naik ke SkyTree. Di homepagenya juga terlihat tayangan pemandangan ke arah luar dari tembo deck (tempat di atas Skytree) yang tertutup hujan, tapi waktu itu masih dibuka. Terpaksa kami membatalkan dinner di hotel karena terlalu beresiko untuk pulang malam hari dalam salju. Tapi tetap berusaha untuk pergi ke SkyTree, kalau bisa naik ya naik, kalau tidak kami toh harus pulang.

menuruni jalan terjal di depan rumah sekitar pukul 1 siang

Keluar rumah pukul setengah satu mendapatkan jalanan putih dan tumpukan salju cukup dalam. Kami berjalan hati-hati supaya tidak jatuh. Memang ada kiatnya untuk berjalan di atas salju, yaitu menginjak salju yang masih baru. Jika menginjak salju bekas pijakan orang lain, ada kemungkinan saljunya sudah mengeras dan licin! Dan kami berjalan menuju stasiun terdekat bersama ibu mertua yang tetap keukeuh ingin ikut. Tapi melihat kondisi salju, aku mohon kepada ibu mertua untuk pulang saja, karena khawatir pulangnya beliau harus sendirian jalan pulang dalam salju. Rencana jalan bersama masih bisa ditunda, daripada nanti berakibat buruk misalnya jatuh karena licin. Jadi aku dan Kai menunggu di stasiun, sementara Gen dan Riku mengantar ibu mertua pulang ke rumah kembali. Brrr dingin juga duduk di ruang tunggu stasiun itu.

kameraku ikut basah kena salju…

Sambil membalas email, dan bermain game dengan Kai, kami melihat seorang gadis berkimono yang duduk di sebelah kami. Kasihan juga melihat dia yang basah kuyub. Dan disitu dia ditemani bapaknya, mengganti kaus kaki dan sandal kimononya yang basah dengan kauskaki dan sepatu yang kering. Aduh kaki yang putih itu memerah kedinginan. Memang hari itu karena merupakan Hari Dewasa, di tempat-tempat pemerintah dan hiburan ada upacara penyambutan pemuda-pemudi berusia 20 tahun yang dinyatakan dewasa. Jadi mereka memakai kimono untuk yang wanita dan hakama untuk yang pria. Dan bisa dibayangkan repotnya berkimono dalam salju. Sayang sekali cuaca tidak mendukung mereka.

Setelah Gen dan Riku bergabung, kami naik kereta dan terus memakai subway (kereta bawah tanah) sampai ke stasiun SkyTree. Perjalanan yang panjang tak terasa karena kami bisa duduk dan melewatkan waktu dengan bermain game. Sesudah sampai di SkyTree kami terus naik sampai lantai 4 untuk menukarkan tiket kami persis pukul 4.

kaki SkyTree yang tertutup salju

Dan ternyata, karena kami selalu di bawah tanah, kami tidak tahu bahwa angin bertambah kencang, sehingga pada pukul 2 siang SkyTree ditutup tidak ada yang bisa naik ke atas. Hmmm memang sudah bisa diperkirakan, dan aku juga sudah merelakan seandainya tiket kami itu hangus. EH ternyata, kami mendapat penggantian tiket 100% karena cuaca memang buruk. Senangnya karena karcis ber-6 itu memang cukup terasa deh untuk kami (1 orang dewasa 2000 yen = 230.000 rupiah).

mendapatkan bath powder dan sticker sebagai tanda maaf staff SkyTree

Akhirnya kami mencari makan siang seadanya dan window shopping di pertokoan yang terkenal dengan nama Solamachi. Sekitar jam 6 sore kami mulai beranjak pulang karena takut kereta berhenti dan kami tidak bisa sampai ke rumah.

Well, sekali lagi kami berlapang dada menerima kenyataan bahwa tidak semua rencana kami bisa berhasil semua. Masih teringat rencana pesta ulang tahun Riku tahun lalu yang batal karena mama meninggal. Dan tahun ini, pesta ulang tahun aku dan Gen, batal karena cuaca buruk. Tapi buatku…. aku tidak sedih karena aku senang sekali melihat salju dan berjalan bersama-sama keluarga dalam salju, dan bertualang naik subway pergi pulang. Ini merupakan rekor terpanjang aku bisa naik subway selama itu sejak aku terkena penyakit panic syndrome sehingga tidak bisa naik kereta bawah tanah. Yang pasti ulang tahun kami tahun ini sudah kami lewatkan bersama keluarga….. for better for worst 🙂

di tempat ticket SkyTree