Bakso Buah Bunga

29 Okt

Sejak hari Sabtu aku sudah merasa kurang enak badan. Sepulang kerja Sabtu kemarin itu, Gen juga merasakan keanehan pada tenggorokan dan hidung. Hmmm mulai deh keluarga kami masuk angin karena udara memang mulai mendingin, selain dari waktu istirahat yang kurang. Karena itu hari Minggunya kami sama sekali tidak keluar rumah, pakai untuk dara-dara (santai-santai di rumah) makan yang benar dan minum obat. Ada satu perkembangan dari Kai (6th). Dia yang tadinya selalu hanya bisa tidur kalau bersamaku, mulai hari Sabtu kemarin dia sudah bisa tidur sendiri dan tidak mencariku. Yatta….(Horee) Tapi yang membuat aku terharu tadi waktu dia bilang “Oyasuminasai” padaku, aku jawab “Selamat tidur… ” dan dia tambahkan, “Mama juga cepat tidur ya. Nanti sakit…” huhuhu…. terharu biru deh. Padahal kemarin pagi aku sudah senang sekali waktu aku bilang, “Aduuuh pinggang mama sakit” lalu dia bilang, “Sini aku pijat!” dan aku manja ke dia minta dipijat. Enakan loh!~~Oyabaka edition (edisi ortu pamer)~~

humidifiernya keren loh (dan murah juga), langsung dipakai untuk melegakan pernapasan

Tadi pagi dini hari aku terbangun jam 3 dan sulit tidur lagi. Udara semakin kering tanda musim dingin tambah mendekat. Yang tadinya hidungku pilek, jadi kering dan sulit bernafas. Aku masak air dan membuat teh hangat. Tidak mempan. Lalu aku cari vicks vaporub oleskan di leher, tetap tidak mempan. Hidung mampet ini membuat aku tidak bisa tidur lagi, dan membuatku langsung membeli mesin pelembab humidifier di amazon. Tadi sore sudah sampai dan aku masukkan aroma oil dari vicks vaporub sehingga kami bisa mengisap uap peppermint untuk melegakan pernapasan.

bakmi bakso buatan anak-anak kemarin. Karena mereka berkelahi terus, aku suruh saja membulatkan bakso. Tapi dasar anak-anak ya tanya, boleh bentuk lain ngga? Jelas boleh dong, toh nanti masuk mulut juga jadi tidak peduli mau bentuk apa juga hehehe

Karena aku kurang tidur, begitu pulang mengantar Kai ke TK, aku minum obat dan tidur sampai siang. Makan siang menghabiskan sisa bakmi bakso yang kubuat kemarin dan membuat badan yang kedinginan menjadi cukup hangat. Apalagi waktu keluar rumah ternyata di luar itu hangat karena terkena matahari. Tapi waktu Kai minta bermain di halaman sekolah, terpaksa aku tolak karena berdiri di luar untuk waktu yang lama bisa tambah membuat masuk angin. Untung anakku ini bisa mengerti, dan mengajakku pulang. Kami sempat mampir ke konbini Circle K untuk membeli jus buah dan snack.

aku dan Kai goro-goro selonjoran di tempat tidur berduaan setelah pulang sekolah. Dia main DS aku main iphone eh ngga aku bobo kok 😀

Begitu sampai di rumah, aku tidur lagi. Kai bermain game di sebelahku. Ah, shiawase bahagianya masih bisa memeluk Kai yang hangat. Aku tertidur lagi 1 jam sampai Riku pulang sekolah pukul 4. Merasa cukup sehat, aku tanya pada Kai apakah dia bisa jaga rumah sekitar 1 jam, karena aku mau belanja. Dan ya, dia bisa sehingga aku punya cukup waktu untuk belanja. Tujuan utama untuk belanja sayuran dan buah, karena sebetulnya freezerku penuh dengan daging-dagingan. Sepertinya aku cenderung menjadi vegan nih, karena sudah bosan makan daging euy. (Mungkin lebih bosan ke masak dagingnya sih)

Berbagai jenis buah (dan jeruk-jerukan) yang kubeli sore ini. Berapa banyak kandungan vitamin C nya ya? hehehe.

Pergi ke toko sayur langganan, wah borong deh. Coba lihat buah yang kubeli. Persediaan untuk seminggu lebih nih. Mulai dari apel, pear korea, pear yamagata yang disebut La France, grape fruit, orange (seperti sunkist), mikan (jeruk mandarin), lemon tiga jenis, jeruk sudachi (Citrus sudachi) dan Shikuwasa (Citrus depressa), Yuzu (Citrus junos), kaki atau buah kesemek dan 3 jenis buah anggur. Semoga buah-buahan ini bisa mengusir bibit penyakit dari rumahku deh.

Tapi sebelum pulang aku sempat mampir ke toko bunga. Sebetulnya keranjang depan dan belakang sepedaku sudah penuh sekali. Tidak boleh belanja lagi. Tapi kok aku ingin sekali membeli bunga untuk ditaruh di meja makan. Sempat melihat kembang sepatu tapi sudah pasti tidak bisa kubeli karena ukurannya cukup besar sehingga tidak bisa lagi disumpelin di keranjang sepeda. Jadi aku beli cyclamen yang kecil. Tapi memang sempat ragu mau membeli cyclamen pot atau buket bunga potong mini yang cantik dan tidak mahal. Tapi aku putuskan untuk membeli cyclamen saja 2 pot kecil. Tahu-tahu si ibu penjual bunga  memberikan buket mini itu sambil berkata, “Ini untuk kamu sebagai orang asing di Jepang pasti sudah banyak berusaha dan beradaptasi. Gambatta ”
Aku pun sudah menjadi setengah orang Jepang (tidak bisa menerima begitu saja) dengan berkata, “Jangan bu, saya memang tadi sudah mau beli kok. Saya bayar saja”.
Akhirnya aku beli buket itu setengah harga +diberi setangkai mawar putih. Aku sempat terpana dengan kejadian itu, karena sebegitu lamanya aku tinggal di Jepang, baru kali ini aku diberi bunga dan mengingatkanku bahwa kamu itu orang asing dan pasti tidak mudah untuk hidup di Jepang. Ya, aku tahu kadang aku memaksakan diri menyelesaikan dan mengerjakan semua dengan sempurna. Kadang saja aku membiarkan segala sesuatunya dan tidur seharian, seperti hari ini. Si ibu itu menyentuh hatiku, dan memberikan semangat baru lagi.

bunga cyclamen merah dan putih yang kubeli, serta buket mini yang tadinya mau diberikan ibu penjual bunga padaku

Sambil tersenyum aku menaruh bunga-bunga itu di atas belanjaan di keranjang sepeda, dan waktu baru akan menaiki sepedaku, seorang lelaki bertanya padaku, “Maaf Anda tahu tukang kunci di mana?”
“Tukang kunci? Setahu saya masih jauh dari sini….”
“Katanya ada sekitar sini”
“Kalau begitu coba jalan sedikit lagi, lalu ada pertigaan. Coba tanya pada toko di situ apakah dia bisa buat kunci atau tidak”
“Terima kasih”

Rasanya kontradiksi sekali, baru diingatkan bahwa aku orang asing, eh sudah ada yang bertanya padaku layaknya aku orang Jepang 😀 Well, hidup itu memang penuh kontradiksi ya.

Rasa Bangga

27 Okt

Rasa bangga tentu bisa bermacam-macam. Bangga sebagai seorang ibu misalnya, aku bangga waktu bertemu dengan tetangga sebelah apartemenku yang mengatakan, “Anak lelakimu yang besar amat sopan ya. Anda sudah berhasil mendidiknya”. Dan memang meskipun Riku tidak cemerlang di bidang pelajaran, selama ini bagus perilakunya, dan semoga terus demikian.

Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Jepang, aku ikut bangga jika mendengar berita-berita bagus tentang Jepang. Seharian ini kami tidak keluar rumah (bahkan sejak kemarin) karena masing-masing masih belum begitu fit. Terutama sekarang papanya yang masuk angin. Selain itu aku perlu mengeluarkan baju-baju musim dingin, juga mencuci baju yang tertimbun selama cuaca tidak cerah kemarin-kemarin. Dan seperti biasanya jika 3 boys ada di rumah, TV pasti nyala terus.

Ada dua acara TV yang kulihat hari ini, yang pertama tentang permaisuri Michiko yang berasal dari keluarga biasa di Jepang. Bagaimana perjuangannya mengubah kekolotan tradisi kekaisaran dan membesarkan anak-anaknya sendiri. Ada satu adegan yang kurasa bagus, yaitu beliau memasang kaca spion di baby car yang dipakai putra mahkota. Jadi sang bayi bisa melihat wajah orang tuanya yang sedang mendorong! Pintar!

Dan yang kedua adalah rekaman mengenai Ogata Sadako, mantan kepala UNHCR yang mengurusi pengungsi dunia selama 10 tahun. Bagaimana Mrs Ogata selalu menekankan penyelamatan hidup manusia yang terpaksa menjadi pengungsi. Katanya, “Jika mereka hidup, mereka punya kesempatan sekali lagi untuk berusaha. Tapi kalau mereka mati, selesai sudah!” Bagi para pengungsi, Mrs Ogata (UNHCR) adalah penyelamat mereka.

Yang mengagumkan keduanya lulusan universitas khusus wanita Sacred Heart (katolik) . Dan keduanya mendapat gemblengan dari rektor pertama universitas itu yaitu Mother Elizabeth Britt. Dan kata-kata Mother Britt yang paling membekas adalah : “Kalian dalam status apapun di masyarakat, hendaknya menjadi pelita yang dapat menerangi sekeliling.”  『あなたたちは社会のどんな場所にあっても、その場に灯を掲げる女性となりなさい』. Ah aku jadi ingat sekolah SMAku dulu yang juga wanita semua :D, dan memang kami juga diharapkan menjadi “bintang penerang”. Kami memang dididik untuk bisa mengerjakan semuanya sendiri. Aku bangga pada pendidikan ala katolik.

Kebetulan juga beberapa waktu lalu ada hasil dari survey yang diadakan di negara- OECD mengenai  Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC), yang dalam bahasa Jepangnya Seijinryoku 成人力. Kalau di-indonesia-kan menjadi “Kemampuan sebagai Orang Dewasa”. Dan untuk bidang pemahaman matematika Jepang menempati ranking pertama, mengalahkan Finlandia, Belanda, Australia dan Sweden. Tapi bukan hanya di bidang matematika saja, ternyata Jepang juga menempati ranking pertama di bidang pemahaman bahasa. Jadi ada standard tertentu yang seharusnya diketahui orang dewasa. Aku sempat melihat acara TV yang menanyakan orang Jepang di jalanan, dan hampir semua benar menjawab pertanyaan yang diberikan. Contohnya nih: 3,6,10,15, ….?  Bisa jawab cepat? Orang Jepang bisa langsung jawab deh….  (Jawabannya 21). Ikut bangga sebagai sesama orang asia 😀

Yang pasti aku bangga tinggal di kelurahan Nerima, tempat tinggalku sekarang. Kebetulan aku sedang beres-beres dan menemukan sebuah buklet yang dibagikan ntah di sekolahnya Riku atau Kai, atau bahkan masuk ke kotak pos. Tapi waktu aku baca, ternyata buklet itu berisi tulisan-tulisan bertopik, “Nerima Nomor Satu”. Ternyata dari 23 kelurahan (KU) di Tokyo Nerima nomor satu untuk lahan ladang , yaitu seluas 250ha. Selain itu merupakan nomor satu untuk taman dan segala yang “hijau-hijau”. Kelurahan kami ini merupakan penghasil Kubis nomor satu di Tokyo. Juga menjadi penemu robot pembuat sushi yang pertama di dunia.  Nerima juga merupakan satu-satunya kelurahan di Tokyo yang mempunyai peternakan sapi dan juga nomor satu dari 23 kelurahan di Tokyo yang tersedikit jumlah sampah yang dikeluarkan perhari. Masih banyak lagi yang tertulis dalam buklet itu, dan membuat aku makin mencintai tempat tinggalku ini. Memang tak kenal maka tak sayang ya. 

Apa yang bisa dibanggakan dari daerah tempat tinggalmu? Siapa tahu ada sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi kita saja yang tidak/belum tahu loh. Kenali daerahmu~~~

Oh ya, aku bangga sebagai seorang Blogger Indonesia loh! Hari ini tgl 27 Oktober adalah Hari Blogger Nasional. Dan bangga juga sudah bisa menyelesaikan 27 tulisan untuk bulan ini 🙂

 

Ada Mutu Ada Harga

26 Okt

Tadinya aku mau menulis judul “Ada Rupa Ada Harga” seperti yang sering alm. mama katakan. Kalau mau bagus ya mestinya mau bayar mahal. Tapi rasanya itu bagaimana kita menilai barang, sedangkan yang ingin aku tuliskan di sini adalah lebih tentang jasa.

Ada seorang eksekutif Jepang yang akan pergi ke Indonesia. Tentu dia harus mengambil Visa on Arrival (VoA) di imigrasi Jakarta, waktu mendarat nanti. Harganya 25 dollar untuk 30 hari. Nah, dia ingin supaya tidak perlu mengantri untuk mengurus VoA ini karena dia dengar koleganya harus antri selama 2 jam untuk mendapatkan VoA. Dia tanya apakah tidak ada cara lain sehingga dia bisa masuk Indonesia tanpa harus mengantri begitu lama. Ya, aku tahu memang mengantri VoA itu amat menyebalkan. Karena aku harus menemani anak-anakku yang warga negara Jepang untuk mengurus visa mereka. Dan terakhir aku sempat murka! Karena kami disuruh bolak balik karena loket untuk VoA tidak buka. Kami disuruh ke antrian orang Indonesia, ada 2 orang asing di depanku dan kulihat petugas imigrasi menyuruh orang asing itu untuk kembali ke loket VoA. Tanpa penjelasan, dengan cara mengusir dengan melambaikan tangan seperti mengusir anjing ke arah belakang. Dan tiba giliranku, dia bilang: Tidak bisa mengurus VoA di sini bu, kami tidak punya alatnya. Lalu aku katakan, “Lah kenapa kami disuruh ke sini? Jangan begitu dong. Beri keterangan yang benar. Pakailah bahasa Inggris. Orang asing ini tidak tahu harus bagaimana kan?”

Akhirnya aku dengan suara keras mengatakan pada orang-orang asing di belakangku dalam bahasa Inggris dan Jepang untuk kembali ke loket VoA, dan antri….. Waktu kami kembali itu sudah panjang karena sudah ada pesawat lain yang mendarat 🙁 Duh menyebalkan sekali. Orang Jepang memang sabar, mereka tidak ngomel-ngomel seperti aku. Tapi bersamaan dengan itu, ada rombongan orang Italia dan mereka marah-marah karena mereka terlambat untuk naik pesawat lanjutan. Aku dengar mereka mengancam dan memaksa petugas Imigrasi mengganti tiket pesawat dan hotel mereka. RASAIN!!!

Ekskutif ini menanyakan apakah tidak ada Fast Line seperti di Thailand, karena di Thailand ada jalur khusus bagi mereka yang mau cepat dengan membayar biaya tambahan. Duh, setahuku memang tidak ada. Kalaupun mau bisa saja mengurus visa multiple di kedutaan besar RI sebelum berangkat. Tapi bukan visa biasa, sehingga biayanya 12.000 yen (1,2 juta). Waktu aku mendengar biaya itu aku langsung kaget: “Mahal! Soalnya waktu aku mengambil multiple visa untuk Jepang HANYA 6.000 yen. Apa standarnya sehingga KBRI menetapkan harga visa segitu ya?

Aku sendiri juga sering heran. Biaya legalisasi di KBRI Tokyo biayanya 1800 yen. Dan kalau aku browsing berapa harga legalisasi di KBRI negara-negara lain, aku mendapatkan angka yang berbeda-beda. Apa standarnya? Padahal yang mengurus legalisasi itu kebanyakan warga negara Indonesia sendiri loh. Aku baca keluhan mahasiswa di luar negeri lain (Eropa) yang harus membayar mahal untuk legalisasi ijazah. Belum pernah aku bayar surat-surat di pemerintah daerah di sini lebih dari 300 yen! Mungkin ada pegawai Deplu yang bisa menjelaskan standar penentuan harga yang kadang tidak masuk akal.

vending machine di KBRI Tokyo

Tapi ada satu perubahan yang kurasa bagus pada pelayanan imigrasi dan konsuler di KBRI Tokyo sekarang, yaitu pembayaran dilakukan bukan di loket lagi, tapi dengan membeli “karcis” di vending machine sesuai dengan keperluannya apa. Jadi misalnya mengurus legalisasi 1800, kami disuruh membeli tiket no 33 seharga 1800. Masukkan uang ke mesin dan kami mendapat struk. Serahkan struk dan setelah berkas selesai, kami akan mendapat kwitansi. Sistem vending machine ini memang banyak dipakai di kantor-kantor pemerintah, sekolah dan universitas untuk mengatur pembiayaan surat-surat yang diperlukan. Dengan demikian tidak ada lagi uang “di bawah meja” dan semuanya terekam otomatis oleh mesin tersebut. Inginnya sih mesin seperti itu ada juga di kantor-kantor kelurahan di Indonesia ya…. hehehe.

Ah ya, ada satu curhat lagi mengenai “jasa” ini. Aku melihat suatu kecenderungan negatif di Jepang, yaitu mengenai harga pasaran atau souba 相場 penerjemah. Semakin lama harga pasaran semakin rendah. Banyak perusahaan yang mencari penerjemah semurah-murahnya, dan aku sering menemukan hasil terjemahan yang begitu amburadul. Sepertinya  si penerjemah memakai google translator dan memindahkannya semua plek plek secara harafiah. Masih mending kalau perusahaan itu membayar mahasiswa yang baru 2-3 tahun tinggal di Jepang.  Langsung ketahuan kok dari hasilnya siapa yang menerjemahkan. Inilah yang kumaksud dengan ada mutu ada harga. Kalau mau membayar sedikit, ya silakan puas dengan hasil yang tidak bagus. Apalagi kalau mau gratisan? ya siap-siap saja menerima klaim atau dituntut karena salah translasi hehehe.

Jadi? Aku masih harus mencari cara supaya si Eksekutif Jepang itu bisa tidak menunggu lama di imigrasi mengurus VoA.  Pernah dengar? Aku sih cenderung menyuruh si Eksekutif untuk antri dan merasakan yah begitulah Indonesia 😀 Cuma memang aku ikut malu sih, soalnya kalau aku mendarat dan di imigrasi Jepang, tidak sampai 10 menit (termasuk antri) udah selesai 😀 Loketnya puluhan bo…. begitu dilihat banyak orang langsung dibuka semua.

Gembel

26 Okt

Dalam tulisanku di Menggenapi 21 tahun di Edo Castle, banyak yang merasa heran, memangnya di Tokyo ada gembel? Dan ya, di setiap negara, di mana saja di dunia ini sebetulnya ada gembel, gelandangan, atau yang disebut homeless di Jepang. Masalahnya terlihat atau tidak, atau lebih dalam lagi apakah kita mau melihat atau tidak.

Homeless adalah mereka yang tidak punya rumah yang tetap sehingga membuat tempat tinggal di jalan, taman, bantaran sungai, sarana umum seperti stasiun dan lain-lain. Dahulu mereka dinamakan furosha 浮浪者, tapi karena kata ini mengandung prejudice atau henken 偏見 kata ini tidak dipakai lagi. Kata homeless kesannya lebih manusiawi, “tidak punya rumah”. 

Aku tidak meneliti tentang homeless, tapi sekedar memberikan informasi dari apa yang kudapat di internet saja dalam tulisan kali ini. Homeless memang membuat pusing pemerintah daerah. Dan pemerintah pun sampai merasa perlu untuk meneliti, mengadakan survey tentang homeless di seluruh negeri Jepang. Maksudnya tentu untuk menghapus keberadaan homeless di dalam kota, yang “mengotori” pemandangan. Apalagi tahun 2020 nanti olimpiade akan diadakan di Tokyo, jadi Tokyo tentu harus banyak bebenah, membersihkan dirinya.

Dalam lembar laporan “Kondisi Homeles tahun 2012” diketahui bahwa jumlah homeless di seluruh negeri sejumlah 9576 orang. Tapi jumlah ini jauuuh lebih sedikit daripada jumlah tahun 2008 yang 16.018 orang. Di Tokyo sendiri jumlahnya 2368 orang, berkurang 304 orang dari tahun sebelumnya. Dari jumlah homeless itu, mereka terbanyak menempati bantaran sungai, kemudian taman kota. Sumber :  Ministry of Health, Labour and Welfare http://www.mhlw.go.jp/stf/houdou/2r98520000027ptf.html

Homeless yang tinggal di bawah jembatan. Foto diambil oleh seorang pastor

Survey ini diadakan untuk mengurangi jumlah homeless dan terlihat dalam 5 tahun sudah terlihat penurunan yang signifikan. Hal ini diperkirakan akibat peningkatan kebijakan pencegahan pertambahan homeless dan peningkatan penerima tunjangan hidup dari pemerintah atau yang disebut dengan seikatsu hogo 生活保護. Seikatsu hogo ini merupakan suatu program pemerintah yang memberikan jumlah tertentu untuk kehidupan sehari-hari. Tapi syaratnya orang tersebut memang tidak bisa bekerja. Jika sudah bekerja maka tidak bisa lagi menerima tunjangan tersebut. Ini memang cocok sekali dengan “dipelihara negara”. Aku sendiri pernah bertemu dengan seorang supir taxi yang sebelumnya dia adalah penerima tunjangan pemerintah ini. Jadi memang warga dibantu untuk bisa berdikari, dan selama mencari kerja itu mereka dipelihara negara.

NAMUN akhir-akhir jumlah penerima seikatsu hogo ini semakin banyak dan mulai merepotkan negara. Tentu saja uang tunjangan ini asalnya juga dari pajak penduduk lainnya.

Tempelan peringatan di “rumah plastik” bahwa sampai dengan tanggal yang tertera, tempat itu harus dibersihkan. Berarti mereka harus pindah dari situ.

Jadi negara maju seperti Jepang pun, mempunyai banyak masalah sosial seperti homeless, seikatsu hogo, bahkan laju pertumbuhan kaum lansia. Mereka semua merupakan tanggung jawab generasi muda pekerja Jepang.

Perangko Meteran?

24 Okt

Bisa membayangkan perangko meteran? Perangko yang panjaaaang sekali? Sebetulnya namanya Meter Stamp. Aku cari nama ini cukup lama, dan akhirnya ketemu.

Selain perangko yang biasa kita lihat, kadang ada seperti kertas tempelan dengan harga, nama negara, tanggal-bulan-tahun dan kadang kalau dari Jepang ada sedikit ilustrasi, dan capnya biasanya berwarna merah. Nah, kertas pengganti inilah yang disebut Meter Stamp. Biasanya alatnya dimiliki kantor pos atau perusahaan besar, dan harganya bisa disesuaikan dengan berat amplop yang akan dikirim. Keuntungannya tentu saja menghemat tempat. Bayangkan jika biaya pengiriman 1000 yen, tapi dari perangko misalnya @ 100yen. Sepuluh perangko memenuhi amplop, dan tentu merepotkan pengecapannya. Sedangkan kalau pakai Meter Stamp cukup satu lembar saja.

foto dari wikipedia

Kekurangan penggunaan Meter Stamp yaitu tidak bisa dibeli di sembarang tempat. Jadi amplop yang akan dikirim harus dibawa ke kantor pos  untuk ditimbang dan langsung ditempelkan saat itu juga. Selain itu bagi kolektor perangko, Meter Stamp sama sekali tidak menarik! Meskipun ada beberapa orang yang mengumpulkan Meter Stamp dengan maksud mengumpulkan “cap”nya, kebanyakan kolektor tentu saja lebih senang mengumpulkan perangko biasa yang lebih beragam. Namun penggunaan Meter Stamp itu sudah disetujui UPU (Universal Postal Union) sejak tahun 1920, dan mulai digunakan secara luas sejak 1922.

meter stamp Jepang, masih ada gambarnya 😀 foto juga dari wikipedia

Eh, tapi bicara soal meteran, aku jadi iseng ingin mengetahui apakah ada perangko yang terbesar di dunia ya? Dan ternyata ada! Perangko dari Mongol yang diterbitkan tahun 2004 ini besarnya 1 sheet :29×19,9cm terdiri dari 9 perangko, dan yang terbesar itu ukurannya 18,6×13,5cm. Dan harganya sekitar 1500 yen (Rp150.000 ) . Konon perangko ini memang dibuat untuk mengumpulkan dana untuk pendidikan. Sayang sulit mencarinya, masak aku mesti ke Mongol :D TAPI kalau mau dipakai pun, perangko ini pasti memenuhi satu amplop 😀

Nah, bukan Imelda kalau tidak cari perangko terkecil di dunia deh 😀 Dan aku temui keterangan bahwa perangko terkecil berukuran 1,5 x 1,5 cm dari India. Tapi ada juga sebetulnya yang berukuran 1,2 cm x 1,3cm dari Colombia dan 1,2cm x 1,2cm dari Jerman. Tapi ternyata sudah ada peraturan dari Universal Postal Convention bahwa perangko itu harus lebih besar dari 1,5 x 1,5 cm. Jadi yang India itu sesuai peraturan ya.

Perangko terbesar di dunia : Peace Mandala, dari Mongol, terbit 2004

 

Telepati

23 Okt

Percayakah akan telepati? Telepati adalah kemampuan untuk berkomunikasi atau saling menukarkan informasi dengan orang lain tanpa menggunakan indera. Aku sendiri lebih condong percaya 🙂

Seperti yang pernah kutulis di “Senangnya diingat“, aku melihat sebuah foto di reklame kereta yang mirip dengan teman DJku Luis Sartor dan  teringat dia, eh malamnya aku dihubungi produserku bahwa dia akan membuat acara perpisahan dengan si Luis. Weleh baru teringat sudah harus berpisah.

Beberapa waktu aku sempat memikirkan seorang mantan mahasiswaku. Dia seorang pemuda yang sangat perhatian. Setiap tahun dia mengirimkan buah-buahan kepadaku, atau mengajak aku dan dosen bahasa Indonesia lain serta mantan mahasiswa lainnya untuk berkumpul dan makan-makan bersama. Aku ingin menanyakan kabarnya, tapi karena sibuk kupikir malam saja. Eh tahu-tahu dia mengirimkan pesan lewat Line, dan memberikan kabar terbarunya bahwa dia sudah menikah (hanya catatan sipil). Kaget juga aku, karena baru saja terpikir dia, kok bisa dia yang memberi kabar.

Kira-kira seminggu yang lalupun, aku teringat seorang sahabat, seorang adik yang sudah pulang ke Jakarta. Dini hari aku ingin menghubungi si Ekawati Sudjono …eh tahu-tahu dia juga menghubungiku. Bahasa Jepangnya Isshin denshin 以心伝心, yaitu “terhubungkan lewat hati”.

Cukup sering aku begitu, memikirkan seseorang yang sudah lama tak berkabar, tahu-tahu orang tersebut menghubungi. Apakah ini keturunan, aku pun tidak tahu. Karena alm mama sering begitu. Kalau dia mau ngobrol dengan kakaknya yang di Cirebon, sering kali cukup memikirkan kakaknya, dan tak lama kakaknya akan telepon. Tapi kurasa mama memang punya indera keenam, karena sering dia mengetahui sesaat sebelum seseorang meninggal 🙁  Dia yang memaksa papa mengunjungi teman yang sedang sakit, dan tak lama sang teman meninggal. Mama memang “khusus”.

Aku sendiri tidak merasa mempunyai kemampuan itu, tapi kata Eka: “Kak Imelda perasa sih, jadi terhubungkan”.

Terlepas dari telepati atau tidak, aku menyukai kiriman dari Eka :

indeed….

Apa kabar teman-teman, sahabat-sahabatku, semoga kalian semua sehat ya…. Kami di Tokyo sedang bersiap lagi menghadapi kemungkinan datangnya Badai no 27 dan 28 berbarengan pada akhir minggu ini, dan konon badai taifu ini jauh lebih besar dari yang kemarin-kemarin. Nah loh…. Semoga saja angin membelokkan jalan si Fransisco dan Lekima (nama untuk si badai 27 dan 28, karena Jepang memakai nomor timbulnya badai bukan nama untuk menyebutkan badai) sehingga tidak lewat di atas Jepang.

Antara Semprit dan Semprong

22 Okt

Salah satu narablogger memakai nama di FB dengan NhHerSabarNyempritt, dan entah kenapa waktu  melihat kata “semprit” aku teringat kue semprong. Padahal ada juga loh kue semprit, biasanya terbuat dari sagu dan aku suka! Kalau kue semprong?

Waktu aku kecil dulu, sekitar kelas 4-5 SD, ada seorang penjual semprong yang secara rutin datang ke rumah kami untuk menjajakan kue semprongnya. Kue itu kebanyakan berbentuk roll dan dimasukkan ke dalam kaleng kotak seperti kaleng untuk krupuk di warung-warung begitu. Aku lupa apakah dia datang jalan kaki atau naik sepeda, tapi aku masih teringat wajahnya waktu berbicara dengan mama, di depan pintu masuk dekat dapur. Ah ya dulu rumah kami tidak mempunyai pintu pagar besar karena pintu masuk dipakai untuk dua rumah yang bersebelahan. Space di depan 2 garasi 2 rumah ini bisa masuk 6 mobil jika dipaksa, tapi kami sendiri hanya punya satu mobil, jadi kebanyakan space dipakai oleh tetangga kami yang punya 3 mobil.

Bapak penjual semprong ini pandai menjajakan dagangannya, sehingga biasanya mama membeli cukup banyak dan selalu mengingatkan agar jangan terlalu cepat datang lagi. Kalau setiap minggu datang, pasti kami kewalahan menghabiskan kue semprong itu. Bagi kami saat itu membeli kue semprong segitu banyak merupakan kemewahan, tapi Imelda kecil mengerti bahwa mama juga ingin membantu si bapak penjual semprong itu supaya jualannya laku. Hal yang sama yang dilakukan mama kepada kakek buah-buahan yang kadang mampir ke rumah kami menawarkan pepaya atau buah apa saja yang bisa dipikulnya. Kakek ini sudah tua dan bongkok tapi masih harus memikul buah-buahan.

Tapi dibanding kakek tua itu, aku masih mengingat jelasssss sekali wajah penjual semprong itu. Kenapa?

Dia berbicara seperti wadam dengan bibir yang lentur membuat gerakan-gerakan gemulai, meskipun suaranya biasa saja. Dengan gerakan tangan yang khas sekali. Sampa sekarang pun aku masih ingat jelas wajahnya. Hebat ya dia, sampai bertahun-tahun wajahnya tetap diingat oleh Imelda 😀 😀 😀 Dia tipe orang yang sering kita sebut sebagai #setengah lelaki #melambai #gemulai #wadam… apa lagi ya? Kalau di Jepang #Onee #half #okama dsb 😀 😀 😀

(dan aku mendengar suara semPRITTTTTT deh :D)

Maaf untuk postingan ini aku tidak pasang foto karena tidak punya foto kue semprit atau semprong hasil jepretan sendiri 😀

Kamu suka kue semprong? Aku makan kue semprong roll itu dimasukkan jari dan dipotel sedikit-sedikit…. lebih suka wafer sih, tapi kalau adanya semprong ya apa boleh buat kan?

Atau kamu pernah mengingat seseorang penjual atau apalah yang wajahnya terpatri di benakmu bertahun-tahun bahkan sampai sekarang, padahal namanya saja kamu tidak tahu?

 

 

Bazaar dalam Hujan

20 Okt

Hari ini tanggal 20 Oktober ada bazaar di gereja kami, Kichijouji 吉祥寺. Memang aku pergi ke dua gereja, satu di Meguro yang merupakan komunitas umat Indonesia dengan misa berbahasa Indonesia oleh pastor Indonesia (setiap Sabtu sore pukul 5), sedangkan satu lagi di Kichijouji. Dan secara resminya memang aku terdaftar di Kichijouji sebagai kepala keluarga dengan dua anak. Riku juga ikut sekolah Minggu di sini (Minggu jam 9 pagi), sehingga aku tergabung dalam kelompok “orang tua Sekolah Minggu”. Kai yang tahun depan masuk SD, akan masuk Sekolah Minggu di sini. Sekolah Minggu memang dimulai dari kelas 1 SD.

Gereja Katolik Kichijouji ini mempunyai program tahunan, salah satunya adalah Bazaar yang dinamakan Minna no Hiroba みんなの広場 disingkat Minahiro yang selalu diadakan hari Minggu ketiga bulan Oktober. Tahun ini sudah tahun kedua aku ikut sebagai panitia pelaksana yang mewakili kelompok orang tua Sekolah Minggu. Karena ini kemarin pun aku pergi ke gereja untuk mempersiapkan kegiatan kelompok kami, padahal Kai masih demam dan menunggu di rumah bersama Riku.

menjual barang-barang sumbangan orang tua. Paling kanan terlihat candy wreath yang dibuat bersama

Kelompok kami membuat dua kegiatan yaitu penjualan barang-barang yang disumbangkan para orang tua. Barang yang disumbangkan bisa berupa buku, piring, baju, sepatu, apa saja. Tapi kami juga membuat candy wreaths dan sabun hias untuk dijual. Katanya candy wreath disukai anak-anak dan sabun hias disukai ibu-ibu lansia. Sedangkan kegiatan yang lain adalah membuka cafe Jepang. Bertempat di ruang Jepang washitsu 和室 kami menjual teh hijau Matcha, oshiruko atau dessert Jepang yang hangat, jelly, dan sweet decoration berupa kue madeleinne dan marshmallow lapis coklat.

bermacam topping hiasan kue yang kusediakan

 

Nah, aku bertanggung jawab untuk sweet decoration ini, sehingga aku harus menyiapkan coklat cair dan bermacam topping hiasan kue. Hari ini aku menjual 20 tusuk marshmallow seharga 50 yen (Rp5000) . Tentu saja tidak balik modal, tapi yang penting happy bisa melihat anak-anak gembira  menghias marshmallow berlapis coklat dengan topping sesuka mereka. Apalagi 3 gadis yang terakhir membeli, aku beri coklat yang banyak sampai mereka berkata, “tante baik sekali, terima kasih ya”.

Ruang Jepang dan kue madeleine serta marshmallow lapis coklat yang kujual

Nah, kami memang mendapat tempat di dalam gedung. Gedung paroki Kichijouji terdapat dalam mansion 3 lantai, dan kami mendapat tempat di lantai 2. Sedangkan untuk bazzar tentu tidak cukup tempat di dalam gedung, sehingga ada tenda-tenda yang didirikan di halaman gereja. Riku dengan kelompok kelas 5 dan 6 menjual fruit punch di luar. TAPI hari ini HUJAN DERAS!!!! Duh kasihan deh mereka yang mendapat tempat di tenda. Jadi anak-anak tidak berjualan di tenda tapi berkeliling dalam gedung. Sedangkan yang aku lihat masih semangat berjualan di luar seperti mie goreng, ramen, sate, pasta, minuman dan masakan Filipina. Kupikir pasti tidak ada yang beli, tapi ternyata aku salah! Pembeli tetap semangat membeli dalam hujan dengan payung! Toh mereka (pembeli) harus pergi ke misa sehingga selesai misa bisa mampir berbelanja.

Bazaar dalam hujan. Foto ini sudah terakhir waktu beberes-beres, jadi sudah banyak yang pulang. Maklum aku baru bisa keluar setelah selesai sih

 

Memang akhirnya banyak pembeli juga yang berlama-lama di dalam gedung karena menghindar hujan. Apalagi kaum lansia. Sehingga hall utama yang menjual nasi kare dan makanan lainnya penuh sesak. Tapi cafe Jepang kami juga cukup penuh, sehingga banyak orang yang terpaksa harus “duduk bersama” memenuhi 4 meja yang tersedia. AISEKI 相席 ini memang banyak dilakukan di restoran Jepang pada waktu jam makan siang. Jangan kaget kalau Anda diminta meminjamkan kursi yang kosong di meja makan kepada orang yang tidak dikenal. Jadi bisa saja kalau melihat meja penuh dan yang duduk sama sekali tidak bercakap-cakap satu sama lain, ya karena mereka tidak saling mengenal. Orang Indonesia kurasa tidak bisa melakukan hal ini. Pasti akan merasa risih jika ada orang lain yang makan di depanmu bukan? Kalau di warung pun duduk bersama orang lain, tapi bersebelahan, bukan berhadapan kan? Aku cukup kaget waktu pertama kali ditanya apakah bisa aiseki, dan tentu harus aku jawab silakan 😀 Tapi pintar-pintarnya petugas restoran saja, biasanya aiseki pun sesama jenis. Coba kalau ojisan atau ojiisan (om-om atau kakek-kakek) makan di depanku, bisa bisa tidak tertelan deh makanannya. Apalagi kalau pemuda cakeeep banget seperti Kimura Takuya gitu musti aiseki sama aku. Bisa pingsan deh hahahaha. Ah, soal makan ini aku memang mengalami culture shock cukup parah di awal-awal kedatanganku.

Menjelang pukul 3 kami beberes dan menghitung hasil penjualan. Banyak sisa bakmi yang tidak terjual kemudian diobral kepada ibu-ibu. Lumayan bisa untuk makan malam 😀 Akhirnya aku bisa pulang sekitar pukul 4 dan masih hujan! Duh, hari ini memang tidak berhenti hujannya. Tapi semangat untuk tetap melaksanakan bazaar patut diacung jempol deh. Dan kutahu di gereja Ignatius, Yotsuya pun diadakan bazaar. Lain kali aku perlu mencari tahu kenapa gereja-gereja melaksanakan bazaar di hari minggu ketiga ya?

Aku dan Riku yang sudah dari pukul 8:30 datang ke gereja pulang mendapati Kai tertidur dan masih demam 🙁 Duh sakitnya kali ini kok cukup lama ya? Sepertinya besok aku perlu membawa dia ke dokter lagi deh. Kasihan mendengar dia batuk-batuk terus sepanjang malam dan melihat dia tidak bisa makan. Dan semoga besok cerah ya.

Ini Perangko ya?

19 Okt

Tadi sore aku sempat membaca sebuah artikel di surat kabar Jepang bahwa harga perangko untuk mengirim kartu pos dan surat akan naik bulan April 2014. Memang semua pajak pembelian akan naik dari 5 % sekarang, menjadi 8 %. Karena itu pula banyak yang berlomba-lomba untuk membeli barang sebelum pajak pembelian itu naik.

Karena itu Japan Post yang sudah bukan BUMN lagi, merasa perlu menaikkan harga perangko kartu pos yang tadinya 50 yen (dalam negeri) menjadi 52 yen, sedangkan untuk surat biasa (dalam negeri) dari 80 yen menjadi 82 yen. Saat itu aku langsung teringat perangko yang ada sekarang hanya 50 dan 80, berarti harus menempelkan perangko tambahan 2 yen untuk perangko yang lama yang dicetak sebelum April 2014 itu.

Nominal perangko di Jepang yang lazim dipakai sekarang ini mulai dari 1 yen,3 yen, 5 yen, 10 yen, 20 yen, 30 yen, 50 yen,70 yen, 80 yen, 90 yen, 100 yen, 110 yen, 120 yen, 130 yen, 140 yen, 160 yen, 200 yen, 270 yen, 300 yen, 350 yen, 420 yen, 500 yen, 1000 yen. (Kalau mau lihat contohnya silakan klik di sini).  Hampir semuanya aku punya dalam koleksiku kecuali 1000 yen (sepertinya harus beli nih untuk melengkapi koleksiku).  Tapi tentu dulu ada nominal lain, misalnya 62 yen (aku punya tapi belum sempat foto). Atau ada perangko khusus 50 yen untuk duka cita (mengirim kartu pos pemberitahuan berduka) atau untuk suka cita (mengirim kartu pos pemberitahuan pernikahan/selamatan yang lain). Selain itu setiap tahun ada perangko khusus untuk tahun baru yang disesuaikan dengan shio tahun barunya.

Aku juga teringat ucapan Drajat dalam foto perangko di FB: kok seperti bukan perangko ya? Memang ada perangko Jepang yang berupa seal, sticker untuk greetings atau karakter tertentu. Namun meskipun seperti sticker, namanya tetap perangko karena tetap dipakai sebagai tanda pembayaran. Cuma memang rasanya kurang sreg bagi kolektor perangko bekas ya. Di Jepang sendiri ada 3 macam perangko dilihat dari jenis kertasnya, yaitu perangko tanpa lem (dulu begitu, karena itu dulu disediakan lem di kantor pos) lalu perangko dengan lem kering (yang tinggal dibasahkan dengan air untuk direkatkan, kebanyakan semua perangko sekarang begitu), dan stiker yang tinggal dilepaskan dari alasnya sehingga lebih mudah. Konon (aku tidak tahu pasti) di Amerika banyak perangko jenis stiker begini. Dan satu lagi waktu aku mencari nominal perangko US kebanyakan sekarang tidak ada tulisan angka ya. Aku sulit sekali mencari informasi berapa nominal tertinggi perangko di US. Eh tapi aku juga tidak tahu nominal tertinggi perangko Indonesia loh…. Rp 10.000?

Perangko BlackJack yang di kiri berbentuk stiker, sedangkan serial Heidi yang di kanan biasa (bukan stiker). Aku jelas lebih suka yang perangko biasa daripada stiker.

Ada banyak pro kontra tentang perangko stiker yang kubaca di website Jepang. Katanya jenis stiker ini lebih sulit dipakai oleh penyandang cacat (tuna netra). Sulit untuk dilepaskan dari alasnya. Selain itu cengan meraba saja, akan sulit mengetahui apakah yang dipegang itu perangko atau bukan. Kalau perangko biasa kan ketahuan geriginya. Selain itu katanya kalau berbentuk stiker, tidak begitu tahan lama dibanding perangko biasa, dalam arti lem nya cepat “habis”. Menarik juga membaca polemik orang Jepang mengenai perangko stiker ini. Padahal perangko stiker masih sedikit. Yang kutahu perangko Hello Kitty itu banyak yang berbentuk stiker. Aku sendiri tidak begitu suka perangko bentuk stiker ya karena aku koleksi perangko. Bagiku perangko harus ada gerigi pinggirnya. Bentuk boleh segiempat, segitiga atau bundar, tapi gerigi harus ada.

Mengumpulkan perangko atau filateli mungkin tidak sepopuler dulu, tapi aku masih tetap melanjutkan hobiku ini meskipun sekarang mengandalkan pemberian dari bapak mertua dan suami yang bekerja di kantor. Sebelum Kai lahir aku masih sering membeli perangko sheet yang bagus untuk koleksi, tapi mengeluarkan 500-800 yen per sheet untuk koleksi cukup menguras dompet. Karena Jepang secara rutin mengeluarkan seri-seri baru, belum lagi yang temporer seperti persahabatan dua negara, atau simposium dsb. Bisa-bisa kami harus makan perangko deh kalau mau beli semua jenis 😀 Jadi akhir-akhir ini aku hanya sesekali saja membeli perangko sheet yang khusus atau kurasa bagus gambarnya.

Tapi bagiku yang sudah mulai mengumpulkan perangko sejak SD, aku banyak belajar dari perangko. Dengan perangko aku mengetahui georafis, kebudayaan, alam, peninggalan, arsitektur dsb. Aku sempat mengumpulkan perangko berdasarkan negara, berdasarkan tema semisal kupu-kupu, bunga, atau aku juga mengumpulkan perangko bentuk aneh, seperti segitiga, jajaran genjang, bulat dan lain-lain (kalau tidak salah pernah ada segi enam juga, tapi aku lupa taruh di mana, mungkin di Jakarta). Setiap papa pergi ke luar negeri, aku cuma minta dibelikan souvenir perangko. Dan aku ingat waktu aku pergi ke Wina, aku tanya kepada petugas hotel bisa beli perangko untuk koleksi di mana. Dan aku sampai di sebuah toko di lantai dua yang menjual perangko bekas ( lawan bekas = perangko mint -belum dipakai) kiloan! Rasanya aku ingin beli semua, tapi akhirnya aku hanya beli satu kantung. Dan satu hal yang kutahu di situ ternyata perangko Wina banyak yang memakai warna emas. Kalau British emasnya hanya di siluet wajah Ratunya saja (one point).

Semoga aku masih bisa terus melanjutkan hobi lamaku ini, ntah sampai kapan. Aku percaya kok, meskipun orang bilang perangko akan lenyap, di Jepang untuk sementara waktu, (sepertinya sampai aku mati sih) masih akan menerbitkan perangko. Semoga.